BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Saluran komunikasi di seluruh dunia kini semakin menguat berkat pesatnya perkembangan teknologi
yang menghilangkan batas-batas
negara
sehingga
membentuk apa yang dinamakan “Global Village” (Marshall McLuhan and Bruce R. Powers, dalam Argenti, 2007 : 6). Namun, kemajuan teknologi yang menghilangkan batas-batas antar negara ini, menimbulkan permasalahan sendiri bagi para pelaku bisnis. Akibat dari perluasan jangkauan media massa, kini sebuah isu tidak lagi menjadi permasalahan komunitas lokal tetapi dapat menciptakan gema di seluruh dunia. Oleh sebab itu, perusahaan tidak dapat mencegah baik pemberitaan negatif maupun positif tentang mereka untuk mencapai semua individu di seluruh sudut dunia. Selain itu, meningkatnya persaingan dalam dunia usaha turut mendorong perusahaan-perusahaan untuk berlomba-lomba agar dapat lebih unggul dari pesaingnya. Konsumen kini juga semakin mengerti dan mulai mencari tahu mengenai produk atau jasa sebelum memutuskan untuk menggunakannya. (Keller, 2008 : 30). Sehingga dalam dunia pemasaran sekarang, banyak pihak yang percaya bahwa saat ini lebih sulit mempersuasi konsumen dengan komunikasi tradisional daripada dahulu.
1
Perubahan lingkungan ini kemudian juga menyebabkan implikasi terhadap reputasi. Pertumbuhan media dan informasi yang pesat, tuntutan peningkatan transparansi, dan peningkatan perhatian terhadap tanggung jawab sosial menjadi fokus besar dalam membangun dan mempertahankan reputasi sebuah organisasi. Kepercayaan publik rendah dan pengawasan publik terhadap bisnis tinggi. Dengan latar belakang tersebut, semakin banyak organisasi yang kian menghargai pentingnya reputasi yang kuat. Reputasi korporasi dapat diartikan sebagai pembentukan persepsi orang lain atau publik mengenai organisasi . Persepsi yang terbentuk bisa positif maupun negatif bergantung dari pengalaman dan interaksi yang terjadi. Selain penting untuk membangun reputasi melalui strategi-strategi yang tepat, memelihara dan mengelola reputasi yang baik juga tidak kalah pentingnya. Karena reputasi yang dibangun selama bertahun-tahun lamanya, dapat hancur dalam sekejap jika tidak dikelola secara tepat. Oleh sebab itu, terkait permasalahan perubahan lingkungan, salah satu cara yang dapat dilakukan perusahaan dalam menghadapinya adalah dengan mengelola reputasi (reputation management) yang mana dalam substansinya, reputasi yang baik akan menarik stakeholder serta shareholder dan investor dengan senantiasa membentuk refleksi dari rekan investasi yang aman dan terpercaya (Dowling, 2004 : 196-205). Sebagai hasilnya, entitas yang intangible dari reputasi tidak terbantahkan lagi merupakan sumber dari kelebihan yang kompetitif. Perusahaan dengan reputasi yang
2
kuat dan positif dapat menarik dan mempertahankan talent yang terbaik, juga konsumen loyal, dan partner bisnis, yang mana semuanya berkontribusi secara positif terhadap pertumbuhan dan kesuksesan komersial. Di Indonesia sendiri, menurut A.B. Susanto seperti dikutip dari the Jakarta Consulting Group (http://www.jakartaconsulting.com/art-11-09.htm), belakangan ini semakin banyak perusahaan di Indonesia bergiat dalam mengelola reputasinya. Seperti contohnya, Telkom, Sari Husada dan Cargill yang pada 2011 mendapatkan Indonesian CSR Award. Tidak bisa dipungkiri, apa yang terjadi dengan Enron, Arthur Andersen, Merrill Lynch, General Electric dan WorldCom menjadi pemicu yang mendatangkan hikmah akan pentingnya mengelola reputasi perusahaan. Adapun kegiatan yang telah terbukti memberikan keuntungan terhadap perusahaan yang menjalankannya, terutama dalam membangun citra dan reputasi yang positif di mata publiknya, adalah Corporate Social Responsibility (CSR). Berdasarkan survey yang dilakukan Cone/Roper terhadap konsumen di Amerika, 1 dari 5 konsumen akan membayar lebih untuk produk yang memiliki label sosial, etis, atau lingkungan (Cone/Roper Study, 2000). Pada tahun 2002, 30% warga Amerika menyatakan bahwa mereka cenderung akan berpindah dari satu brand ke brand lainnya jika brand tersebut diasosiasikan dengan tujuan yang baik (Cone’s 2002 Corporate Citizenship Study). Selain itu survey yang dilakukan pada 1993/1994
3
menunjukkan bahwa 84% konsumen mengatakan bahwa mereka memiliki citra yang positif terhadap perusahaan yang melakukan sesuatu untuk membuat dunia lebih baik. Isu pelaksanaan CSR tersebut kini kian mendapat perhatian, akibat munculnya berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh keteledoran komunitas bisnis dalam menjaga tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dan komunitas sekitar. Tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Walaupun sudah lama
prinsip-prinsip CSR diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam lingkup hukum perusahaan. Selain itu, tanggung jawab sosial perusahaan juga memiliki arti penting di negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia dalam laporan indeks perkembangan manusia United Nation Development Program (UNDP, 2011) menempati urutan 124 jauh di bawah 5 Negara rekan Association South East Asia Nation (ASEAN) yaitu Singapura yang memimpin diurutan 26, Brunei Darussalam (urutan 33), Malaysia (urutan 61), Thailand (urutan 103) dan Filipina (urutan 112) dan hanya sedikit lebih baik ketimbang Vietnam yang menempati urutan 128, Laos (urutan 138), Kamboja (urutan 139) dan Myanmar (urutan 149). Gambaran diatas mengindikasikan bahwa secara regional ASEAN, indeks perkembangan manusia Indonesia termasuk dalam kategori menengah dari keempat
4
kategori dalam indeks perkembangan manusia, yaitu sangat tinggi, tinggi, menengah dan rendah. Dalam indeks perkembangan manusia Indonesia versi UNDP (2011) tercatat bahwa usia harapan hidup
69,4 tahun, indeks pendidikan 0,584 dan produk
domestik bruto (PDB) 3.716 dolar perkapita, yang mana artinya kondisi di Indonesia hanya sedikit saja lebih baik dari pada negara-negara yang belum lama lepas dari konflik seperti Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar. Situasi tersebut menunjukkan bahwa masih perlu adanya usaha peningkatan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat untuk meningkatkan indeks perkembangan manusia Indonesia. Oleh sebab itu, perusahaan melalui program CSR nya memiliki potensi yang signifikan
untuk
mengembangkan masyarakat
sehingga terjadi
peningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui respon kepada masyarakat di sekitar perusahaan yang akhirnya bisa membantu memperbaiki kondisi tersebut. Lebih lanjut berdasarkan kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Hendeberg Simon dan Lindgren Fredrik dalam studi kualitatif yang berjudul “CSR in Indonesia” tahun 2009, komunitas lokal memainkan peran yang sangat vital dan memiliki dampak sangat besar terhadap perusahaan yang menjalankan bisnis di Indonesia, terutama di daerah terpencil dan rural. Walaupun data empiris menunjukkan bahwa ada banyak stakeholder yang dapat dianggap sangat penting dan berpengaruh, namun setelah melalui pertimbangan lebih lanjut, komunitas lokal lebih
5
menonjol. Setiap perusahaan yang menjalankan bisnis di daerah tersebut perlu mendapatkan penerimaan dan persetujuan untuk melangsungkan aktivitas bisnis. Ketika memasuki daerah baru, perusahaan menggunakan CSR untuk memperkenalkan diri ke penduduk lokal dan stakeholder lainnya. Dengan memberikan sesuatu kembali kepada komunitas, perusahaan dapat diizinkan untuk menjalankan bisnis. Selain itu, dengan menggunakan strategi CSR, perusahaan mendapatkan perlindungan dari komunitas lokal dalam lingkungan sekitar sehingga mengurangi resiko konflik yang dapat terjadi. Untuk itu, komunitas lokal kemudian dianggap stakeholder paling penting terkait aktivitas CSR di Indonesia. Tanpa klarifikasi dari komunitas lokal, ini akan sulit atau bahkan tidak mungkin bagi perusahaan untuk beroperasi di daerah terpencil di Indonesia. Adapun perusahaan dapat memuaskan komunitas lokal dengan pengembangan lingkungan, yang dapat dilakukan dengan community development seperti penyediaan healthcare, pendidikan, infrastruktur, aktivitas sosial, dan lainnya. Beberapa perusahaan juga melakukan kontribusi dengan memberikan sumbangan kepada organisasi seperti LSM yang kemudian menyalurkan dana ke komunitas lokal. CSR di Indonesia sendiri diatur dalam UU NO. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, Bab V, pasal 74: Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yang berbunyi, “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”.
6
Kraft Foods, yang mengklaim diri sebagai perusahaan makanan ringan global terbesar kedua di dunia dengan pemasukan lebih dari $54 milyar, sangat rentan terhadap masalah yang terkait dengan kesehatan pangan. Sebagai contoh pada tahun 2003, di San Francisco seperti dikutip dari CNN.com : “San Francisco, California (May 15, 2003). A lawsuit seeking to ban Kraft Foods from selling Oreos to children because the chocolate-cream cookies are allegedly unhealthy will be dropped, the San Francisco lawyer who filed the suit said Wednesday. Stephen Joseph's suit alleged that Oreos are unhealthy because they contain trans fat, which the National Academy of Sciences has linked to heart disease.” (http://edition.cnn.com/2003/LAW/05/14/oreo.suit/) Kraft Foods dituntut karena dianggap menjual makanan (biskuit Oreo) dengan kandungan trans fat yang tidak sehat, terkait dengan isu obesitas yang dapat memicu penyakit jantung. Obesitas sendiri sampai saat ini masih menjadi isu yang hangat dibicarakan. Bahkan di Indonesia, pada akhir tahun 2008 yang silam, marak isu peredaran produk makanan dari Cina yang mengandung unsur melamin, dimana salah satu produk yang diisukan bermasalah tersebut adalah Oreo, brand andalan Kraft Foods, seperti dikutip dari USAtoday.com: “JAKARTA, Indonesia (September, 29 2008) — Two U.S. foodmakers were investigating Indonesian claims Monday that high
7
traces of melamine were found in Oreo wafers, M&Ms and Snickers imported from China. Indonesia's Food and Drug Monitoring Agency said a dozen allegedly tainted products distributed nationwide, including those popular brands, had repeatedly tested positive last week.” (http://www.usatoday.com/money/industries/food/2008-09-29kraft-mars-melamine_N.htm) Maka dari itu, Kraft Foods harus mempersiapkan diri untuk tidak hanya menghadapi sorotan media internasional, namun juga secara proaktif menjalin hubungan dengan kelompok advokasi dan menggunakan media untuk membantu dalam membentuk reputasi perusahaan secara global. Sadar akan hal tersebut, PT Kraft Foods Indonesia (KFI) melaksanakan program CSR Penguatan Posyandu yang berlangsung dari April 2009 hingga Maret 2012. Kelaparan dan malnutrisi merupakan ancaman terbesar terhadap kesehatan dan kesejahteraan di seluruh dunia. Berdasarkan laporan FAO yang dilansir 2011 silam, ada 900 juta orang di dunia yang kekurangan pangan dan sekitar 570 jutanya hidup di wilayah asia pasifik termasuk Indonesia. Sehingga sebagai perusahaan makanan, Kraft Foods berkomitmen untuk membantu mengubah keadaan tersebut dengan memerangi kelaparan serta mempromosikan gaya hidup sehat. Posyandu sendiri bukanlah barang baru bagi bangsa Indonesia. Sejak dicanangkan oleh pemerintah tahun 1990, Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) mulai dapat diandalkan sebagai upaya peningkatan kesehatan balita yang berbasis sumber
8
daya masyarakat dengan akses kepada modal sosial budaya masyarakat seperti nilai tradisi gotong royong menuju kemandirian dan keswadayaan masyarakatyang didukung oleh Inmendagri Nomor 9 Tahun 1990 tentang Peningkatan Pembinaan mutu Posyandu. Disamping itu wahana ini juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk tukar menukar informasi, pendapat dan pengalaman sertabermusyawarah untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi baik masalah keluarga ataupun masyarakat itu sendiri. Dalam rangka memperkuat daya tahan keluarga melalui perbaikan kesehatan, gizi dan status perkembangan anak-anak di Jawa Barat, KFI bekerjasama dengan Save The Children, organisasi independen terkemuka yang fokus dalam menciptakan perubahan dalam kehidupan anak-anak yang membutuhkan, mengadakan program FRESH yang bertujuan untuk memperbaiki praktek pemberian makanan, perilaku kesehatan dan layanan kesehatan berbasis masyarakat, pelayanan perkembangan anak usia dini. Berdasarkan pemberitaan dari Harian Ekonomi Neraca (19/12/11), lokasi intervensi berada di tiga kabupaten yaitu Bandung Barat, Bekasi, serta Karawang dengan fokus pada 556 posyandu, karena menurut data dari dinas kesehatan Jawa Barat, dari 3,7 juta balita di Jawa Barat sebanyak 10,8 persen mengalami gizi kurang dan 1,01 persen mengalami gizi buruk.
9
Padahal, daerah-daerah yang menjadi target CSR ini tidak terlalu jauh dari pembangunan kota modern, tetapi ternyata ditemukan berbagai permasalahan kesehatan dan gizi. Sehingga jika dilihat ada ketimpangan, dimana di satu sisi pembangunan begitu cepat dan majunya, tetapi di sisi lain yang ada disekitarnya masih terdapat persoalan yang belum tuntas bagi masyarakat setempat. Beberapa persoalan tersebut yakni masalah gizi buruk yang menimbulkan permasalahan kesehatan. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendidikan, ekonomi yang rendah sehingga menghambat mereka. Inilah yang kemudian menjadi prioritas KFI dan Save the children, untuk membenahi persoalan yang terjadi, dengan bantuan yang bukan hanya berupa dana, tetapi juga proses transfer pengetahuan tentang kesehatan dan pemberdayaaan bahan lokal yang dapat diolah untuk makanan yang sehat dan bergizi. Selain itu, juga dilaksanakan PAUD (Pengembangan Anak Usia Dini) sehingga dapat merubah pola hidup yang lebih sehat dan dapat meningkatkan ekonomi mereka. Adapun kegiatan CSR sendiri merupakan salah satu dari 4 pilar core programs corporate affairs KFI yaitu: government relation, CSR, brand PR, internal and external communication. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik meneliti bagaimana peran program CSR Penguatan Posyandu PT Kraft Foods Indonesia dalam mendorong reputasi korporat sehingga dapat mempertahankan posisi dalam persaingan ketat dunia bisnis.
10
1.2 Perumusan Masalah Berangkat dari latar belakang permasalaan diatas, dapat diketahui bahwa PT Kraft Foods Indonesia, menyadari pentingnya mengelola reputasi dalam menghadapi perubahan sosial dimana kini perusahaan dituntut untuk tidak hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya, tetapi juga memperhatikan lingkungannya. Salah satu kegiatan KFI dalam mengelola reputasi ini adalah komitmennya dalam program CSR Penguatan Posyandu yang kini telah memasuki tahun terakhirnya setelah berjalan selama 3 tahun. Secara garis besar, penulis melihat bahwa kegiatan CSR Penguatan Posyandu yang dilaksanakan KFI sedikit banyak mencerminkan mayoritas kegiatan CSR di Indonesia, yaitu community development. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat pokok permasalahan berikut, “Bagaimana strategi Corporate Social Responsibility PT Kraft Foods Indonesia dalam meningkatkan reputasi korporat?” 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis merumuskan tujuan penelitian untuk mendeskripsikan strategi corporate social responsibility PT Kraft Foods Indonesia dalam meningkatkan reputasi korporat.
11
1.4 Signifikansi Penelitian 1.4.1
Signifikansi Akademis Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembenahan, perbandingan, referensi serta kajian ulang mengenai strategi Corporate Social Responsibility dalam mendorong reputasi korporat, berikut peran public relations dalam strategi CSR tersebut bagi civitas akademika, khususnya program studi Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara.
1.4.2 Signifikansi Praktis Penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan strategi CSR yang tepat kepada perusahaan-perusahaan makanan ringan agar dapat bersaing dalam pasar dengan meningkatkan citra dan reputasi.
12