BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ketidakadilan gender sebuah isu yang tidak lagi asing ditelinga masyarakat. Salah satu faktor kemunculannya adalah adanya perbedaan gender. Sesungguhnya perbedaan gender tidaklah menjadi sebuah masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Berdasarkan realita yang terjadi, ketidakadilan gender baik dialami kaum laki-laki maupun perempuan, banyak disebabkan oleh perbedaan gender. Terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya adalah dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan juga dikonstruksikan secara sosial dan kultural dengan media yang beraneka ragam. Dampak yang dibawa salah satunya yaitu perbedaan gender seakan-akan dipahami sebagai sebuah kodrat lakilaki dan perempuan.
Ketidakadilan gender sesungguhnya merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum perempuan dan laki-laki menjadi korban dari adanya sistem dan struktur tersebut.
Ketidakadilan
gender
termanifestasikan
dalam
berbagai
bentuk
ketidakadilan, yakni : Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, pembentukan stereotipe atau pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran ganda (Fakih, 1996 : 12-13). Dilihat dari realita yang terjadi dalam masyarakat, yang paling ironis adalah ketidakadilan gender tersebut, perempuan lah yang justru banyak 1
mengalaminya. Banyaknya bentuk manifestasi ketidakadilan gender yang marak terjadi di masyarakat adalah berupa kekerasan (violence) terhadap perempuan. Bahkan kekerasan dalam perempuan ini merupakan salah satu masalah sosial yang semakin memanas, baik dalam konteks nasional maupun juga internasional. Berdasarkan tabel di bawah ini, menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun memiliki jumlah yang besar. Tabel I. 1 Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan TAHUN
JUMLAH
1994
18
1996
102
2004
349
2010
312
Sumber : www.rifka-annisa.or.id
Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang (Fakih, 1996 : 17). Kekerasan yang terjadi akibat bias gender disebut gender-related violence. Gender-related violence merupakan sebuah produk dan legitimasi sosial, sehingga pemahaman terhadap fenomena tersebut tidak dapat terlepas dari upaya pemahaman ideologi yang berlaku pada sebuah masyarakat. Masyarakat yang bertumpu pada budaya dan ideologi patriarkhi, dengan basis nilai laki-laki, kedudukan perempuan berada pada posisi subordinat, marginal, dan bahkan tidak dapat diperhitungkan (Manurung, et al., 2002 2
:1). Dikaitkan dengan konteks relasi gender, ideologi patriarkhi menekankan adanya dominasi antara laki-laki dan perempuan. Kekerasan terhadap perempuan pun pada satu sisi merupakan perwujudan budaya patriakhi. Semakin jelas bahwa berbicara masalah kekerasan terhadap perempuan, pada dasarnya adalah membicarakan bagaimana sistem kekuasaan laki-laki dalam masyarakat yang bersifat dominatif. Ruang lingkup terjadinya kekerasan terhadap perempuan itu pun beraneka ragam, seperti kekerasan dalam berpacaran, kekerasan dalam dunia pekerjaan, dan juga kekerasan dalam rumah tangga. Di antara banyaknya kekerasan yang dialami oleh perempuan, Kekerasan Terhadap Istri (KTI) hingga saat ini memiliki tingkat kekerasan paling tinggi. Hal tersebut salah satunya dibuktikan oleh keterangan berikut ini : Manager Divisi Humas dan Media Rifka Annisa Yogyakarta mengatakan angka kekerasan pada 2010 meningkat sebesar 13,8% ketimbang tahun sebelumnnya. Data Rifka menunjukkan jumlah kasus yang ditangani mencapai 321 kasus, terdiri dari 226 kasus kekerasan terhadap isteri, 43 kasus kekerasan dalam pacaran, 31 kasus perkosaan, 10 kasus pelecehan seksual, 10 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan 1 kasus trafficking. (http://www.harianjogja.com/baca/2011/01/10/kasus-kekerasanpada-perempuan-dan-anak-meningkat-144214, akses 14 November 2012).
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa kasus kekerasan terhadap istri memiliki jumlah yang paling tinggi yaitu sebesar 226 kasus. Dibandingkan dengan kasus kekerasan yang lain, seperti kekerasan dalam berpacaran, kekerasan dalam rumah tangga, atau pun kasus trafficking, bahkan perbedaan jumlahnya pun cukup jauh.
3
Tabel I. 2 : Persentase Kekerasan Perempuan Berdasarkan Pelaku Kekerasan PELAKU
PERSENTASE
Suami
51,1%
Orang tua/mertua,
11,7%
anak/cucu, dan family Tetangga
19,6%
Atasan/majikan
2,5%
Rekan Kerja
2,9%
Guru
0,2%
Lainnya
8,0%
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2002 : 24. (www.kompasiana.com)
Berdasarkan tabel di atas, digambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan berdasarkan pelaku kekerasannya mayoritas dilakukan oleh suami yaitu sebesar 51,1%. Dengan kata lain, korban kekerasan yang paling tinggi adalah dialami oleh istri. Jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas istri menjadi landasan yang cukup kuat untuk menyebutnya sebagai Kekerasan Terhadap Istri (KTI). Lori Heise (1997 : 261) mengatakan bahwa “bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga yang paling banyak ditemui penyalahgunaan istri (wife abuse), atau lebih tepatnya oleh pasangan intim laki-laki”. Semakin memprihatinkan ketika kasus kekerasan terus menerus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dapat terjadi apabila 4
masyarakat belum mampu memahami mengenai keadilan gender dan juga kapasitas dari perempuan pun masih sering diremehkan dan dianggap “tidak mampu”.
Jenis-jenis kekerasan terhadap istri pun bermacam-macam, diantaranya adalah kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Kekerasan terhadap istri pada prinsipnya merupakan salah satu fenomena pelanggaran HAM. Ironisnya kekerasan terhadap istri mulai meluas baik di kota besar maupun kota kecil. Permasalahan kekerasan terhadap istri semakin menjadi rumit ketika dikaitkan dengan aspek kultural oleh masyarakat. Seperti dalam sebuah kebudayaan, menjadi sebuah hal yang tabu dan memalukan ketika seorang istri membuka permasalahan keluarganya ke dalam ranah publik atau orang lain, apalagi permasalahan tersebut menyangkut kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Seorang istri korban kekerasan merasa ketakutan ketika permasalahan keluarganya diketahui oleh orang lain, karena ia takut akan dicemooh atau dikatakan sebagai istri yang tidak tahu sopan santun. Seorang istri meyakini bahwa dirinya adalah seorang perempuan, untuk itu ia hanyalah sebagai “penderek”, dan diciptakan di dunia ini bertugas untuk melayani suami. Sering pula didengar dalam kebudayaan Jawa, tugas seorang istri hanyalah meliputi “dandan, dapur, dan dipan” atau juga pepatah yang berbunyi “Swarga nunut, neraka katut”, sehingga apapun yang dilakukan suami harus dituruti dan dimaklumi oleh istri. Selain itu adanya sifat istri yang “nrimo”, sehingga menempatkan seorang istri dalam posisi yang kalah. Kekerasan terus dialami oleh seorang istri juga dikarenakan banyak masyarakat yang memiliki persepsi bahwa permasalahan dalam keluarga merupakan 5
permasalahan pribadi atau personal, dan karenanya pihak-pihak lain (di luar termasuk aparat penegak hukum atau polisi) tidak sepatutnya atau tidak boleh ikut campur ke dalamnya (intervensi) (Roosevelt, Jurnal Perempuan, No. 26, Desember 2002 : 8-9). Selain itu kekerasan terhadap istri dianggap sebagai sebuah hal yang “wajar“, karena diyakini bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga, serta kekerasan terhadap istri terjadi pada lembaga yang legal yaitu pernikahan. Bahkan kekerasan terhadap istri sering dianggap sebagai sebuah “bumbu” perkawinan, semakin berbumbu maka semakin lezat rasanya. Seorang istri cenderung bertahan dalam roda penderitaan hidup, melewati hari demi hari dengan penuh kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Sang istri hanyalah memilih untuk diam demi menjaga keutuhan dan martabat keluarga. Menjadi seorang istri lebih dimaknai sebagai sebuah pengabdian dibanding sebuah kerjasama untuk membangun rumah tangga yang bahagia tanpa masalah di dalamnya (Darmawan, 2008 : 71).
Maraknya kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi, dengan melihat kerentanan seorang perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan dan lemahnya akses perempuan terhadap hukum, mampu memunculkan keprihatinan dari berbagai kalangan masyarakat. Masyarakat banyak mendirikan Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM) perempuan sebagai salah satu bentuk nyata dari rasa prihatin mereka terhadap kekerasan perempuan. Kemunculan LSM perempuan yang didalamnya terdapat program-program yang ditujukan salah satunya untuk memberdayakan perempuan dan membantu korban kekerasan untuk dapat keluar dari jerat permasalahannya. 6
Program-program yang diberikan oleh LSM pun mampu menawarkan rasionalitas dan membuka logika berpikir masyarakat. Ditambah pula dengan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh LSM yang sangat bervariasi, seperti sosialisasi KKG dan Hak Asasi Manusia, advokasi terhadap perempuan korban kekerasan, penanganan terhadap dampak dari kekerasan yang dialami perempuan, fasilitas pembentukan organisasi yang menyatukan perempuan dan menggalang aksi bersama, tuntutan atas pengorbanan, serta pemenuhan hak-hak dasar perempuan. Kian hari berdirinya LSM perempuan semakin marak terjadi, di Kota Yogyakarta saja ini misalnya sudah terdapat beberapa LSM diantaranya, LSPPA, Rifka Annisa, Yayasan Cut Nya ’ Dien, Indriya-Nati, dan yang lainnya.
Kemunculan LSM perempuan menjadi salah satu bentuk perjuangan yang ditempuh seorang istri untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangganya. Bersama dengan LSM, begitu terbukanya para istri korban kekerasan menceritakan segala permasalahan yang sedang dialaminya. Kekerasan terhadap istri yang dahulu adalah sebuah hal yang privat berubah menjadi sebuah hal yang public. Pepatah-pepatah atau aturan-aturan yang dahulu membayangi gerak dan langkah istri pun mulai sirna. Para istri korban kekerasan mampu mempercayakan dirinya kepada LSM. Terjadilah sebuah pergeseran, jika dahulu seorang istri mengungkapkan kekerasan yang dialaminya menjadi sebuah hal yang tabu dan memalukan sehingga mereka memilih untuk berdiam diri saja, namun yang terjadi saat ini justru para istri telah berani terbuka dan percaya kepada LSM.
7
Bagaimana upaya perempuan korban Kekerasan terhadap Istri (KTI) dalam mengatasi kekerasan yang dialaminya, selanjutnya dibahas secara lebih terperinci dalam penelitian ini. Penelitian ini dilaksanakan di LSM Rifka Annisa, mengingat Rifka Annisa adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang aktif dalam menangani persoalan-persoalan kekerasan terhadap perempuan dan banyak menangani kasus kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga. Di samping itu juga, dengan melihat data-data kasus yang masuk ke Rifka Annisa ternyata dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami peningkatan. Berdasarkan data-data tersebut, dari segi kuantitas kekerasan terhadap istri berada pada posisisi teratas.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk kekerasaan yang dialami oleh perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI)? 2. Bagaimana proses dan implikasi bagi perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang memilih LSM sebagai upaya dalam mengatasi kekerasan yang dialaminya?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain :
8
1. Untuk mengetahui bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan korban Kekerasan terhadap Istri (KTI). 2. Untuk mengetahui proses dan implikasi bagi perempuan korban Kekerasan terhadap Istri (KTI) yang memilih LSM sebagai upaya dalam mengatasi kekerasan yang dialaminya.
D. Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian, yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain bermanfaat untuk : 1. Meningkatkan pengetahuan, sikap, dan kesadaran kaum perempuan agar dapat berani keluar dari kekerasan yang dialami. 2. Memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai kekerasan terhadap istri dan upaya untuk menanganinya. 3. Memberikan pemahaman mengenai peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan. 4. Memberikan pemahaman tentang perlunya keseteraraan gender pada masyarakat, khususnya dalam keluarga. 5. Memberikan kontribusi dan referensi pada ilmu pengetahuan.
E. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka adalah uraian sistematis tentang hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu yang berkaitan dengan masalah yang diteliti (Sangidu, 2004 : 10). Tinjauan pustaka dapat digunakan untuk mengetahui keaslian 9
penelitian. Tinjauan pustaka juga dapat berfungsi untuk mengembangkan secara sistematik penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian yang sedang diteliti ini. Salah satu bentuk tinjauan pustaka ini pun dapat berupa karya atau tulisan dari seorang penulis atau pun peneliti.
Salah satu kajian pustaka yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Achmad Chusairi yang berjudul Istri dan Ketidakadilan Gender, dan tulisannya ini telah diterbitkan dalam sebuh buku yang berjudul Menggugah Harmoni yang diterbitkan oleh Rifka Annisa Womes’s Crisis Center. Di dalam tulisannya, ia memaparkan bahwa perempuan barangkali tidak lagi memiiki ruang tersisa untuk merasa aman. Bagaimana tidak, jika lingkup rumah tangga yang umumnya dianggap sebagai terminal terakhir bagi individu modern meraih kebahagiaan, justru menjadi tempat penyiksaan bagi istri yang mengalami kekerasan oleh suaminya. Anne Grant (1991) dalam karyanya Breaking the Cycle of Violance, mendefinisikan kekerasan domestik sebagai pola perilaku menyimpang (assaultive) dan memaksa (coersive), termasuk serangan secara fisik, seksual, psikologis, dan pemaknaan secara ekonomi, yang dilakukan oleh orang dewasa dengan pasangan intimnya. Sedangkan Devision for the Advancement and Humanitarian Affairs, salah satu publikasi PBB, menyebutkan bahwa kekerasan terhadap istri adalah tindakan yang termasuk pada pengertian kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Para ahli menyatakan beberapa sebab terjadinya kekerasan terhadap istri. Salah satu pendapat menyatakan bahwa karena perempuan tidak memiliki kemandirian 10
ekonomi, maka ia sangat tergantung pada suaminya. Ketergantungan ekonomis tersebut menyebabkan suami merasa berkuasa dan melakukan kesewenangwenangan, salah satu bentuknya yaitu kekerasan terhadap istri. Adanya superioritas laki-laki atas perempuan juga tercermin pada anggapan bahwa suami berhak mengoreksi dan menghukum kesalahan istrinya, termasuk dengan cara kekerasan. Dijelaskan di dalamnya pula bahwa ciri seorang suami yang melakukan kekerasan terhadap istrinya adalah : mendominasi sumber ekonomi keluarga, memiliki persoalan psikis dan trauma masa kecil, dan tinggal dalam lingkungan yang penuh kekerasan.
Penanganan dan pencegahan terjadinya kasus kekerasan terhadap istri sudah seharusnya diberi perhatian khusus mengingat akibat-akibat yang ditimbulkannya. Akibat yang diterima istri sebagai korban dapat membahayakan secara fisik dan psikis. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Walker melalui wawancara terhadap 120 istri korban kekerasan suaminya, tercatat bahwa mereka mengalami penderitaan fisik seperti patah tulang, patah leher, bengkak pada mata dan hidung, luka di tangan, punggung, dan kepala, sampai yang lebih parah adalah kehilangan ginjal atau pendarahan dalam. Terdapat beberapa langkah strategi yang dapat dilakukan untuk meminimalkan terjadinya kekerasan terhadap istri, yaitu mensosialisasikan kesadaran kesetaraan gender pada calon suami istri maupun keluarga dan memberdayakan kelompok kegiatan kecil dalam mayarakat untuk peduli pada masalah kekerasan dalam rumah tangga. Berdirinya pusat krisis perempuan (Women’s Crisis Centre), kelak seharusnya hanya menjadi semacam lembaga konsultasi atau rujukan saja bagi 11
masyarakat. Selain itu, kemandirian masyarakat diharapkan dapat menghapus salah satu rintangan pengungkapan kasus kekerasan terhadap istri yaitu ketidakmauan istri sebagai korban untuk membuka masalahnya.
Tidak hanya penelitian tersebut, namun masih terdapat pula karya dari Sunardian Wirodono yang berjudul Istri Korban Tak Berkesudahan, yang telah diterbitkan pula ke dalam sebuah buku yang juga berjudul Menggugat Harmoni, yang juga diterbitkan oleh Rifka Annisa Womes’s Crisis Center. Di dalam tulisannya dijelaskan bahwa bagi kaum laki-laki yang berada di Indonesia (atau mungkin juga di negara-negara lainnya), masih merasa jengah ketika sang istri melaporkan bahwa dirinya diperkosa oleh suaminya. Hal tersebut dikarenakan adanya superioritas kaum laki-laki, yang atas nama patrap atau budaya ketimuran atau mitos-mitos lain, yang semuanya berujung pada penolakan mereka pada pola kesejajaran antara laki-laki dan perempuan. Sudah lama dinubuatkan, bahwa kaum perempuan adalah makhluk kedua setelah laki-laki, dan karena itu tidak selayaknya atau sebanding apalagi mendominasi. Semuanya itu, konon sudah merupakan keputusan sejarah, yang entah kapan diketukkan palunya.
Praktik kekerasan suami atas istri, bisa dilihat dari konteks ini. Bagaimana kalangan kaum laki-laki mencoba menegak-negakkan benang basah. Bagaimana pandangannya menjadi tidak relevan, karena perkembangan sosio kultural tidak dilihatnya secara cermat dan jujur. Praktik kekerasan atas kaum istri, adalah karena pandangan perempuan sebagai obyek. Yang tentu, hal itu bisa dibenarkan dalam 12
pranata sosial jaman dulu, dengan dominasi pria sebagai pusatnya sementara kaum perempuan hanyalah subordinat. Peran-peran yang tumbuh, adalah peran-peran yang dikembangkan dari jenis kelamin. Hingga spesifikasi itu melahirkan peran khusus lelaki dan peran khusus perempuan, peran khusus suami dan peran khusus istri. Pembagian peran-peran itulah yang memposisikan kaum lelaki sebagai penentu segalanya, penguasa segalanya, dan mencoba mempertahankannya sedemikian rupa. Dan menempatkan perempuan sebagai obyek, maka menjadi sah pula jika kaum lelaki berhak melakukan apa saja, seolah subyek dari dinamika kehidupan ini hanyalah pada dirinya semata. Pada sisi inilah, istri menjadi korban yang tak berkesudahan, lantaran praktik kekerasan itu bukan sesuatu yang istimewa. Ia menjadi perilaku wajar sebagai manusia bernapas. Dijelaskan di dalamnya bahwa sumber praktik kekerasan atas kaum perempuan, adalah sudut pandang yang bias dari kaum pria, dan juga perempuan itu sendiri, atas peran-peran yang telah diciptakan dan dimitoskan. Dan sepanjang hal itu tak dikoreksi dan direvisi, kaum lelaki akan merasa leluasa untuk melakukan kesalahan perannya, yang seolah dan selalu menganggap dirinya dominan. Untuk itulah, kritik yang mesti dilontarkan pada kaum lelaki, agar praktik kekerasan itu bisa dihentikan, adalah mencoba membangunkan kesadaran barunya. Bahwa dominasi peran itu sesuatu yang tidak menetap. Ada banyak faktor luar yang mempengaruhinya secara dinamis. Pola hubungan yang mesti dibangun sejak dulu, adalah pola hubungan antarpribadi, yang lebih manusiawi untuk melihat manusia dari integritas pribadinya sebagai manusia. Melalui hal itulah, pola kemitraan dan kesejajaran bisa diterapkan, karena masing-masing individu akan melihat potensi dan 13
posisi secara lebih jujur dan arif. Hanya dengan inilah, korban tak berkesudahan itu bisa dicegah. Bahwa istri bukanlah sekedar obyek, pemberdayaan istri akan mampu menolong hidup yang stereotype dan macet. Kekerasan pada istri, bukan hanya sekedar kejahatan, tapi lebih dari itu, kekerasan pada istri lebih menunjukkan kedunguan yang fatal.
Dari beberapa tinjauan pustaka tersebut, menjadi salah satu bukti bahwa hingga saat ini penelitian atau pun juga karya tulisan yang membahas mengenai Kekerasan Terhadap Istri (KTI) lebih banyak yang membahas seputar penyebabpenyebab Kekerasan Terhadap Istri (KTI) itu dapat terjadi, alasan seorang suami melakukan kekerasan terhadap istrinya atau juga peran-peran dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Melalui penelitian ini, salah satu fungsinya adalah mampu mengisi kekosongan penelitian yang membahas mengenai upaya perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) dalam mengatasi kekerasan yang dialaminya, khususnya melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang akan secara khusus membahas mengenai bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) dan proses dan implikasi bagi perempuan korban Kekerasan terhadap Istri (KTI) yang memilih LSM sebagai upaya dalam mengatasi kekerasan yang dialaminya.
14
F. Kerangka Teori Unsur penelitian yang paling besar perannya dalam penelitian adalah teori, karena dengan unsur ilmu inilah peneliti mencoba menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya (Singarimbun dan Effendi, 1987 : 37). Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep (Kerlinger, 1973 : 9). Penelitian ini pun menggunakan teori, dengan harapkan mampu menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep, dan juga melalui teori akan menerangkan fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya. Dalam Sosiologi, keberadaan teori itu salah satunya sebagai alat untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang dipelajari (Soekanto, 1990:30).
Penelitian ini juga menggunakan teori di dalamnya, agar mampu menjelaskan secara lebih sistematis mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri dan mengetahui proses dan implikasi bagi perempuan korban Kekerasan terhadap Istri (KTI) yang memilih LSM sebagai upaya dalam mengatasi kekerasan yang dialaminya. Sesungguhnya fakta tanpa sebuah teori itu sangat sulit dibuktikan secara empiris, sedangkan teori tanpa fakta merupakan suatu hal yang sia-sia. Untuk itu perlu adanya keselarasan antara fakta dengan teori dalam sebuah penelitian, termasuk dalam penelitian ini. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
15
F.1. Teori Pilihan Rasional Salah satu teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Pilihan Rasional. Teori Pilihan Rasional secara umum berada pada posisi marginal dalam arus utama teori Sosiologi. Pada dasarnya Teori Pilihan Rasional merupakan kristalisasi dari pemahaman perkembangan aliran pemikiran dari paham rasionalitas di Eropa Barat, yaitu paham teori yang muncul pada abad pertengahan, sebagai antitesis atas pemikiran paham naturalis. Pilihan rasional merupakan model penjelasan dari tindakan-tindakan manusia, dimaksudkan untuk memberikan analisa formal dari pengambilan keputusan rasional berdasarkan sejumlah kepercayaan dan tujuan. Melalui asumsi bahwa individu dalam keragaman latar belakang sosial dan membuat pilihan tindakan atau keputusan berdasarkan kepercayaan dan tujuan mereka, teori ini dimaksudkan untuk dapat menerangkan sejumlah penyelesaian masalah sosial (social arrangement) sebagai efek keseluruhan dari pilihan tersebut.
Sebuah tindakan adalah rasional hanya jika sesuai dengan cara mencapai tujuan akhir, sesuai kepercayaan orang tersebut mengenai situasi dan pilihan yang ada. Seperti halnya dalam penelitan ini, di mana perempuan yang menjadi korban dari Kekerasan Terhadap Istri (KTI) mempunyai upaya untuk dapat mengatasi kekerasan yang dialaminya yaitu melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) tersebut dapat dikatakan bahwa ia memiliki tindakan yang rasional, karena keputusannya untuk memilih LSM sebagai upaya dalam mengatasi kekerasan dalam rumah tangganya merupakan salah satu cara agar dapat mencapai tujuan akhirnya, yaitu ia dapat keluar dari jerat kekerasan yang 16
dialaminya. Seperti yang dipertegaskan oleh salah satu tokoh dalam Teori Pilihan Rasional yaitu James S. Colemen bahwa orientasi pilihan rasional pada gagasan dasarnya adalah ”orang bertindak secara sengaja untuk mencapai suatu tujuan, dengan tujuan (dan tindakan) yang dibangun oleh nilai atau preferensi” (Ritzer, 2008 : 480). Semakin dipertegas pula oleh Heckathorn, dalam (Ritzer and Smart, 2001), ia memandang bahwa memilih itu adalah tindakan yang bersifat rasional, di mana pilihan tersebut sangat menekankan pada prinsip efisiensi dalam mencapai tujuan dari sebuah tindakan. Untuk itu dapat dikatakan pula bahwa, upaya perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) dalam mengatasi kekerasan yang dialaminya melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), memang merupakan sebuah tindakan yang bersifat rasional. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fokus kajian dalam teori pilihan rasional adalah pada aktor atau pelaku di mana seorang aktor merupakan manusia yang memiliki maksud dan tujuan tertentu, serta memiliki pilihan tindakan tertentu yang berorientasi pada pencapaian tujuan tersebut. Gagasan dasar dari teori ini adalah tindakan perseorangan yang mengarah pada suatu tujuan dimana tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan. Sehingga konsep yang tepat mengenai pilihan rasional adalah memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka.
17
F.2. Teori Feminisme Eksistensialis Eksistensialisme menekankan pada manusia, di mana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Untuk itu dapat dikatakan bahwa pusat renungan eksistensialisme adalah manusia yang konkret. Salah satu ciri eksistensialisme, yaitu selalu melihat cara manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkret. Jadi dapat dilihat bahwa pada hakekatnya, eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Secara pandangan feminisme, perempuan dianggap sebagai sebuah obyek terutama dalam masyarakat patriakhi seperti ini. Salah satu tokoh feminisme eksistensialis yaitu Simone de Beauvoir mengatakan bahwa dunia perempuan selalu akan dimasukkan ke dalam dunia lakilaki sebagai bukti penguasaan laki-laki terhadap perempuan. Beauvoir juga memberikan sebuah contoh yaitu pada institusi pernikahan yang sebenarnya institusi pernikahan merupakan lembaga yang merebut kebebasan perempuan. Beauvoir percaya bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kemampuan untuk memiliki rasa cinta yang mendalam, namun ia menyatakan bahwa lembaga perkawinan merusak hubungan suatu pasangan (Tong, 2004 : 269). Karena dalam perkawinan mampu mentransformasi perasaan yang tadinya dimiliki, yang diberikan secara tulus, menjadi sebuah kewajiban dan hal yang diperoleh dengan cara menyakitkan. Menurut 18
Beauvoir, perkawinan adalah sebuah perbudakan. Di mana di dalam kehidupan sehari-hari yang disamarkan, sehingga tampak lebih baik dari sesungguhnya. Begitu pula yang terjadi dalam kekerasan dalam rumah tangga, sang istri pun berusaha menutupinya dalam ranah publik.
Dilihat dari teori Feminsime Eksistensialis ini, sesungguhnya sang istri harus mulai berani untuk keluar dari jerat kekerasan tersebut untuk mencari kebebasan. Sebagai imbalan atas kebebasannya, sang istri diberikan “kebahagiaan”. Teori Feminisme Eksistensialis ini menjelaskan pula bahwa manusia dilahirkan bebas dan manusia berhak menentukan arah kehidupannya. Menurut Beauvoir, perempuan pun harus diberikan kebebasan yang sama dengan kebebasan yang diberikan pada lakilaki untuk menentukan kehidupannya sendiri.
Hekekat manusia dalam hidupnya mempunyai beberapa kebutuhan guna melangsungkan eksistensinya di dunia ini. Seorang tokoh psikologi humanis yang bernama Abraham H. Moslow mengatakan bahwa terdapat beberapa macam kebutuhan manusia yang harus terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut pun bertingkat, mulai dari yang paling dasar atau asasi yaitu kebutuhan jasmani. Kebutuhan di atasnya secara berturut-turut adalah kebutuhan keamanan, kebutuhan untuk memiliki cinta, kebutuhan harga diri, kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan untuk tahu dan mengerti, serta kebutuhan eksis. Relevan dengan Teori Feminisme Eksistensialis, di mana satu kata yang mampu mewakili teori ini adalah eksis atau kebebasan. Seorang perempuan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu 19
salah satunya untuk mendapatkan rasa aman, harga diri, kebutuhan akan eksistensi diri, dan yang lainnya dapat diperoleh melalui kebebasan. Layaknya seorang perempuan yang diberikan kebebasan dalam memilih sebuah pilihan hidupnya, tanpa adanya larangan dalam pemilihan keputusan tersebut. Keputusan seorang istri dalam rumah tangganya, untuk memilih sebuah LSM sebagai upaya dalam mengatasi kekerasan yang dialami, sesungguhnya itu merupakan salah satu bentuk “kebebasan” bagi dirinya dalam menentukan keputusan yang baginya merupakan upaya yang terbaik dalam mengatasi permasalahan di dalam rumah tangganya. Seperti yang telah diungkapkan oleh Simone de Beauvoir bahwa perempuan yang sadar akan kebebasannya, mereka akan dapat dengan leluasa menentukan jalan hidupnya.
G. Metode Penelitian G.1. Jenis Penelitian Sebuah penelitian diperlukan metode sebagai alatnya. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelian kualitatif merupakan penelitian yang tidak perlu terikat dengan teori sejak awal (Sarantakos, 1993 : 15). Penelitian kualitatif memberikan peluang bagi tercapainya kesimpulan melalui interpretasi terhadap data yang diperoleh dengan kerangka pikir yang jelas. Metode ini dipilih agar dapat mencari informasi yang lebih mudah dan baik. Metode penelitian kualitataif merupakan sasaran kejadian atau penelitian. Untuk itu dengan menggunakan metode penelitian kualitatif ini, tidak diperkenankan mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam
20
sebuah variabel atau hipotesis, namun hal tersebut perlulah dipandang sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Metode penelitian kualitatif ini dipilih juga dikarenakan dalam metode penelitian ini lebih mudah disesuaikan apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, mampu membuat hubungan peneliti dan responden menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan akuntabel, serta metode ini lebih peka dan lebih bisa menyesuaikan diri dengan penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 1988 : 5). Ciri-ciri penelitian kualitatif diantaranya adalah sebagi berikut : 1. Pengumpulan data dilakukan dalam kondisi yang alamiah atau sewajarnya (natural setting), peneliti mengumpulkan data berdasarkan observasi situasi yang wajar, sebagaimana adanya. 2. Peneliti sebagai alat penelitian. Artinya merupakan alat utama pengumpulan data. 3. Pengumpulan data secara deskriptif, berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. 4. Instrumen yang digunakan adalah catatan, teknik pengumpulan data dengan wawancara dan observasi. 5. Subyek yang diteliti berkedudukan sama dengan peneliti. 6. Lebih mementingkan proses daripada hasil, lebih banyak mementingkan proses terjadinya suatu fenomena sosial, jadi bukan sekedar hasil. 7. Analisa data dilakukan terus menerus sejak awal sampai selama proses penelitian berlangsung. (Soeprapto & Sri Rahayu S, 2002 : 2.8-2.10) 21
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Metode deskriptif dapat diuraikan
sebagai
prosedur
pemecahan
masalah
yang
diselidiki
dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain), pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1983 : 64). Menurut Faised Ali (1997), tujuan penelitian deskriptif kualitatif adalah memberikan gambaran secara detail tentang latar belakang, karakter yang khas dari peristiwa yang terjadi atau status dari individu yang kemudian dari sifat yang khas akan dijadikan hal yang bersifat umum. Diharapkan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif mampu memaparkan masalah-masalah yang ada secara terperinci. Fokus perhatian studi deskriptif pada penelitian ini adalah upaya perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) dalam mengatasi kekerasan yang dialaminya, khususnya melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Melalui studi deskriptif ini, diharapkan hal-hal yang belum dipaparkan dan dideskripsikan dengan jelas dapat dipaparkan lebih terperinci dengan fakta-fakta yang ada.
Penelitian ini didesain untuk mendapatkan pemahaman, pengetahuan mendalam dari objek yang ada secara holistic, mengabaikan representatif subjektivitas peneliti terhadap informan. Penelitian ini juga tidak mengambil informan yang banyak atau besar, tetapi cukup mengambil informan sedikit, namun akan dieksplorasi sangat mendalam. Untuk itu penelitian jenis seperti ini dapat mendeskripsikan dan menginterpretasikan upaya perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) dalam mengatasi kekerasan yang dialaminya, khususnya melalui 22
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). yaitu berupa latar belakang, proses perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) dalam memilih LSM, proses penanganan, hambatan dalam penanganan, hingga implikasinya.
G.2. Unit Analisis Unit analisis adalah satuan terkecil yang diteliti. Unit analisis ini dapat bersifat perseorangan ataupun kelompok. Penelitian kualitatif didalamnya penentuan unit analisis adalah penting untuk mengetahui lingkup dari subyek penelitian sebagai sumber atau tempat memperoleh keterangan atau fakta (Skripsi, Angkringan dan Krisis Ruang Publik, 2005). Berdasarkan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui bentuk kekerasan terhadap istri dan proses serta implikasi bagi perempuan korban Kekerasan terhadap Istri (KTI) yang memilih LSM sebagai upaya dalam mengatasi kekerasan yang dialaminya, untuk itu unit analisis yang diteliti dalam penelitian ini adalah perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM Rifka Annisa). Melalui unit analisis berupa korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) ini, dapat memberikan penjelasannya mengenai latar belakang, tujuan, dan proses perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) dalam memilih LSM. Sedangkan unit analisis yang berupa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM Rifka Annisa), mampu memberikan penjelasan mengenai peran dari keberadaannya. LSM Rifka Annisa merupakan organisasi yang secara khusus berkecimpung dalam penanganan kekerasan khususnya kekerasan terhadap perempuan. Lembaga ini memberikan pendampingan dan pengelolaan perempuan yang menjadi korban kekerasan. Berbagai 23
program dilakukan oleh LSM Rifka Annisa dalam rangka mengangkat posisi perempuan, khususnya perempuan yang mengalami kekerasan. Salah satu diantaranya adalah kekerasan terhadap istri.
G.3. Informan Informan yang diteliti dalam penelitian ini adalah anggota LSM Rifka Annisa. Informan yang dipilih adalah staf dan konselor Rifka Annisa. Di samping itu, peneliti juga melengkapi penelitian ini dengan mengambil beberapa informan perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang pernah berkonsultasi pada LSM Rifka Annisa. Metode pengambilan informan ini menggunakan snowball, tehnik ini digunakan untuk memudahkan proses pengambilan data dimulai dari satu semakin lama semakin banyak. Di sini peneliti mencari informan kunci yang akan menunjukkan informan lain yang akan diwawancarai untuk mencari dan mengumpulkan data secara mendalam dan komprehensif. Informan kunci dalam penelitian ini adalah staf dan konselor dari LSM Rifka Annisa. Melalui informan yang pertama ini mampu menjadi “pembuka jalan” untuk bisa menerapkan teknik snowball ini, salah satunya yaitu menentukan perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang telah melapor dan berkonsultasi pada LSM Rifka Annisa.
G.4. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dengan judul Upaya Perempuan Korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) dalam Mengatasi Kekerasan yang Dialaminya. LSM yang 24
dipilih adalah LSM Rifka Annisa, karena LSM Rifka Annisa ini merupakan lembaga perempuan yang secara khusus menangani permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Lembaga ini berlokasi di Jalan Jambon IV, Komplek Jatimulyo Indah, Yogyakara 55241. Alasan pemilihan lokasi ini di samping Rifka Annisa merupakan lembaga yang memang secara khusus menangani permasalahan perempuan, juga karena letaknya strategis dan dianggap dekat serta aksesnya pun mudah. Selain itu juga mengutamakan konsep KUWAT, yaitu kesempatan, uang, waktu, alat dan tenaga, sehingga penelitian ini telah meminimalisasi biaya, waktu, dan memudahkan dalam proses penelitian.
G.5. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah pencatatan peristiwa-peristiwa atau hal-hal atau keterangan-keterangan atau karakteristik-karakteristik sebagian atau seluruh elemen populasi yang akan menunjang atau mendukung penelitian (Hasan, 2002 : 83). Sedangkan metode pengumpulan data merupakan cara-cara untuk memperoleh data yang lengkap, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya serta sesuai dengan tujuan penelitan. Dilihat dari cara memperolehnya, data dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Menurut Rianto Adi (2004:57), data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti, sedangkan data sekunder adalah data yang sudah dalam bentuk jadi, seperti data dalam dokumen dan publikasi.
25
Pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik tertentu. Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
G.5.1. Data Primer a. Observasi Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian. Dijelaskan pula bahwa observasi adalah pemilihan, pencatatan, dan pengodean serangkaian perilaku dan suasana yang berkenaan dengan organisme in situ, sesuai dengan tujuan-tujuan empiris (Hasan, 2002 : 86). Pengamatan yang dilakukan tidak hanya sekedar melihat, namun juga merekam, menghitung, mengukur, dan mencatat kejadian. Teknik observasi dipilih dalam penelitan ini karena teknik observasi memiliki beberapa kelebihan, sebagai berikut : - Data yang diperoleh adalah data actual atau segar, dalam arti bahwa data yang diperoleh dari responden pada saat terjadinya tingkah laku. - Keabsahan alat ukur dapat diketahui secara langsung. Tingkah laku yang diharapkan muncul mungkin akan muncul atau mungkin juga tidak muncul. Karena tingkah laku dapat dilihat atau diamati, maka kita segera dapat mengatakan bahwa yang diukur memang sesuatu yang dimaksudkan untuk diukur (Hasan, 2002 : 86-87).
Observasi ini dilakukan dengan terjun langsung ke LSM Rifka Annisa dan melihat serta mencari informasi dan data terkait dengan LSM itu sendiri, serta 26
beberapa korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang pernah berkonsultasi pada LSM Rifka Annisa. Proses observasi dilakukan oleh peneliti dengan tidak melakukan interaksi dengan pihak yang diamati, tetapi melakukan pencatatan secara sistematis mengenai berbagai fakta yang ditemukan di lapangan.
b. Wawancara Seperti yang ditegaskan oleh Licoin dan Guba dalam Moleong (1989 : 12), wawancara adalah mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, triangulasi,
memverifikasi,
mengubah,
dan
memperluas
konstruksi
yang
dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota. Wawancara dapat dimaknai pula sebagai teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau pun direkam. Wawancara dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung menggunakan daftar pertanyaan yang dikirim kepada responden dan responden menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti secara tertulis, kemudian mengirimkan jawaban beserta daftar pertanyaannya kembali pada peneliti. Secara langsung bearti wawancara dilakukan dengan cara faceto-face, artinya peneliti berhadapan langsung dengan responden untuk menanyakan secara lisan hal-hal yang diinginkan, dan jawaban responden dicatat atau pun direkam oleh pewawancaranya. Peneliti memilih untuk menggunakan teknik wawancara ini karena respondenlah yang paling tahu tentang diri mereka sendiri, sehingga informasi yang tidak dapat diamatinya atau tidak dapat diperoleh dengan alat lain, akan diperoleh 27
dengan wawancara. Misalnya informasi tentang tanggapan, keyakinan, perasaan, citacita (Nawawi, 1983 : 117).
Wawancara dalam penelitiaan ini dilakukan dengan staf dan konselor LSM Rifka Annisa untuk mencari data yang diperlukan. Data yang dicari dalam lembaga ini terkait dengan peran dari Rifka Annisa dalam upaya mengatasi Kekerasan Terhadap Istri (KTI). Bersama dengan staf dan konselor LSM Rifka Annisa ini mampu memberikan gambaran secara garis besar mengenai korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang pernah melapor dan berkonsultasi pada Rifka Annisa. Untuk mendukung data dilakukan pula wawancara dengan perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI). Wawancara dilakukan untuk melihat bagaimana proses perempuan korban Kekerasan Terhadap Istri (KTI) dalam mengatasi kekerasan yang dialaminya melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Wawancara yang dilakukan ini berupa wawancara mendalam murni yaitu wawancara yang dilakukan tanpa adanya pedoman pertanyaan yang kaku. Wawancara ini digunakan pedoman wawancara (interview guide) yang berupa garis besar pokok pertanyaan yang dinyatakan dalam proses wawancara dan disusun sebelum wawancara dimulai.
G.5.2 Data Sekunder a. Dokumentasi Metode dokumentasi merupakan metode yang berlandaskan pada sumber data kepustakaan, dimana dokumen dan artikel menjadi sumber data. Penelitian ini 28
menggunakan metode dokumentasi salah satunya dengan pengumpulan data dari dokumen-dokumen yang sudah ada di LSM. Dokumen-dokumen tersebut membantu peneliti dalam mengumpulkan informasi yang relevan. Dokumen yang digunakan yaitu berupa foto, data-data, statistik, laporan, dan sebagainya. Data tersebut dapat berupa laporan, studi perencanaan terdahulu, dan data statistik menyangkut waktu dan jumlah. Selain itu metode dokumentasi yang digunakan juga bersumber dari buku, jurnal, skripsi, tesis, laporan penelitian, serta referensi lainnya yang dapat diakses melalui perpustakaan maupun website jurnal online. Metode dokumentasi ini digunakan sejak pembuatan proposal penelitian hingga berakhirnya penelitan, untuk dapat memahami fakta yang ada di lapangan dan konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian.
G.6. Analisis Data Menurut Patton (1980) analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Datadata kualitatif terutama terdiri atas kata-kata, maka analisis data harus dimulai sejak awal ketika memperoleh data di lapangan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menganalisa data kualitatif menurut Nasution adalah :
G.6.a. Reduksi Data Reduksi data merupakan tahap awal dalam menganalisis data. Data yang diperoleh di lapangan ditulis dalam bentuk uraian atau laporan yang terinci. Kemudian direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal 29
yang penting, dicari tema atau polanya dan diberi susunan yang sistematis sehingga mudah dikendalikan. Oleh karena itu, Reduksi data ini dilakukan dengan cara memilah data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Reduksi data dilakukan agar informasi dari responden dapat tersaring dan penelitian tetap terfokuskan pada tujuan awal.
G.6.b. Display Data Display data adalah sebagai pengorganisasian penyusunan informasi yang mendukung kesimpulan dan menggunakannya sebagai bagian dari analisa data. Display data ini bertujuan agar lebih memahami dan mendalami data awal yang telah direduksi. Data yang telah di display ini akan membantu untuk lebih fokus pada arah penelitian dan peneliti tidak akan terbenam pada data yang banyak.
G.6.c. Pengambilan Keputusan dan Verifikasi Pengambilan keputusan ini dilakukan untuk mencari hubungan kausal antara teori dengan hasil penelitian yang dilakukan dalam penelitian. Keputusan yang diambil dapat berupa kesimpulan dari informasi dan data yang telah diperoleh. Langkah ini menyangkut interpretasi penelitian, yaitu penggambaran makna dari data yang ditampilkan. Peneliti berusaha mencari makna dibalik data yang dihasilkan dalam penelitian serta menganalisa data dan kemudian membuat kesimpulan.
30
Secara singkat, Alur teknik analisis data dapat dilihat seperti gambar di bawah ini : Data Collection Data Display
Data Reduction Conclution: drowing/verifiying
Bagan Komponen dalam analisis data (interactive model) (Sugiyono, 2007:247)
31