1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Nama Aung San Suu Kyi (Suu Kyi) tidak asing lagi di telinga masyarakat
dunia. Sejak kemenangan partainya yang bernama National League for Democrazy (NLD) pada pemilu 1990 dan menguasai 82 persen kursi di parlemen.1 Sebagai salah satu tokoh pro-demokrasi Myanmar, kemenangannya dianggap menentang pemerintah yang dikuasai rezim militer (Junta Militer) di negaranya. Kediktatoran dan arogansi Junta Militer ini pada akhirnya tidak mengakui hasil pemilu dan justru menolak untuk menyerahkan kekuasaan. Suu Kyi tidak lain adalah putri dari Jenderal Aung San, tokoh Myanmar yang turut menegosiasikan kemerdekaan dari Inggris tahun 1947 yang tewas dibunuh ketika Suu Kyi baru berusia dua tahun. 2 Kemudian Suu Kyi mengikuti ibunya yang ditunjuk menjadi duta besar Myanmar untuk India pada tahun 1960 sekaligus melanjutkan pendidikannya di Lady Shri Ram College, New Delhi. 3 Setelah itu, Suu Kyi pergi ke Inggris untuk melanjutkan pendidikannya di St. Hugh's College, Oxford University. Ketika berkunjung ke Amerika Serikat, Suu Kyi bertemu dengan Sekretaris Jenderal PBB saat itu, U Thant dan sempat bekerja Yulia Permata Sari, 2010 , “Aung San Suu Kyi, Pejuang Demokrasi Myanmar”, Media Indonesia, diakses pada 17 Agustus 2011, URL: http://www.mediaindonesia.com/mediaperempuan/read/2010/11/16/4365/10/Aung-San-Suu-KyiPejuang-Demokrasi-Myanmar 2 Elis Widayanti, 2011, Wanita – Wanita Penakluk Badai, Laksana, Jogjakarta, h. 25 3 Anonim, “Aung San Suu Kyi”, diakses pada 13 September 2011 , URL: http://www.thefamouspeople.com/profiles/aung-san-suu-kyi-11.php 1
2
sebagai Assistant Secretary, Advisory Committee on Administrative and Budgetary Questions.4 Pada tahun 1972 Suu Kyi bekerja untuk Kantor Riset Kementerian Luar Negeri di Bhutan. 5 Di tahun yang sama pula Suu Kyi bertemu dan menikahi Michael Aris seorang pria berkewarganegaraan Inggris dan dikaruniai dua orang anak, Alexander dan Kim. 6 Suu Kyi menyelesaikan rangkaian pendidikannya di Shimla, India pada 1987 setelah sempat sebelumnya belajar lagi ke Kyoto University tahun 1985-1986.7 Myanmar sendiri kala itu sudah mulai menjadi sorotan publik internasional karena dianggap sebagai negara pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Myanmar diperintah oleh rezim militer dengan nama The State Peace and Development Council (SPDC). SPDC ini dipimpin oleh Jenderal Than Shwe yang juga kepala negara Myanmar selama hampir dua dekade terakhir ini sebelum akhirnya mengundurkan diri tahun 2011.8 Sedangkan saat ini jabatan presiden dipimpin oleh Jenderal Thein Sein sejak ditunjuk pada Februari 2011 oleh parlemen.9 Junta Militer telah berkuasa di Myanmar selama hampir 50 tahun terhitung sejak terjadinya kudeta militer oleh Jenderal Ne Win terhadap pemerintahan sipil
4
Ibid Vina Ramitha, 2010, “Awal Perjuangan Demokrasi Myanmar”, diakses pada 17 Agustus 2011 URL: http://www.inilah.com/read/detail/977692/awal-perjuangan-demokrasi-myanmar 6 Ibid 7 Ibid 8 Anonim, 2011, “Myanmar Dipegang Pemerintah Sipil”, diakses pada 14 September 2011, URL: http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_be ritacetak=141818 9 Ibid 5
3
yang saat itu dipimpin oleh U Nu pada tahun 1962.10 Berkuasanya Junta militer menimbulkan banyak protes dan gejolak dalam masyarakat Myanmar yang menentang pemerintahan diktator. Puncaknya terjadi pada tahun1988 ketika muncul peristiwa demonstrasi terbesar sepanjang sejarah berkuasanya Junta Militer. Pemerintah berkuasa pada saat itu tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan kepada warga sipil yang menuntut demokrasi. Lebih dari 3.000 orang meninggal sebagai korban akibat tindakan respresif Junta Militer Myanmar saat itu yang terdiri dari para bhiksu, aktivis mahasisiwa, dan warga sipil. 11 Tragedi yang menewaskan ribuan masyarakat sipil Myanmar membuat pemimpin Junta Militer Jenderal Ne Win mengundurkan diri dari tahta kekuasaannya. Pengunduran diri Jenderal Ne Win sebagai reaksi atas tuntutan rakyat Myanmar agar tercipta pemerintahan yang lebih demokratis. Namun pengunduran diri Jenderal Ne Win tidak serta merta menghentikan kekerasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh Junta Militer di Myanmar. Dengan maraknya dinamika yang terjadi, muncul pula pejuang-pejuang yang pro terhadap demokrasi di Myanmar. Salah satu tokoh yang lahir kala itu ialah Suu Kyi yang benar-benar prihatin melihat kondisi negaranya pasca kembali dari India dan merawat Ibunya yang sakit. Suu Kyi bergabung dengan NLD di tahun yang sama dengan kedatangannya kembali ke Myanmar yakni tahun 1988. 12
Utami Septi Dewi, 2009, “Myanmar: Negeri Sang Junta Militer”, diakses pada tanggal 14 Agustus 2011, URL: http://komahiumy.wordpress.com/2009/03/04/myanmar-%E2%80%9Cnegeri-sang-junta 11 Ibid 12 Lihat kembali artikel Vina Ramitha mengenai “Awal Perjuangan Demokrasi Myanmar.” 10
4
Sebagai seorang Sekretaris Jenderal, Suu Kyi melalui berbagai orasinya mampu mendorong kembali gairah masyarakat sipil akan adanya reformasi di Myanmar. Suatu kejanggalan terjadi ketika kemenangan NLD dalam pemilu Myanmar tahun 1990 justru berimbas pada dijebloskannya Suu Kyi ke dalam penjara karena dianggap berbahaya bagi kelanggengan kekuasaan Junta.13 Tepatnya menjelang pemilu tanggal 17 Februari 1990 Suu Kyi dinyatakan dilarang mengikuti pemilu dan selanjutnya ia diasingkan dari kehidupan masyarakat tanpa tuntutan ataupun pengadilan yang jelas.14 Meskipun telah berada di dalam penjara, Suu Kyi dan NLD tetap berjuang keras untuk menegakkan demokrasi di Myanmar. Perjuangan tersebut tentu menantang risiko sebab hampir senantiasa dilakukan di bawah ancaman moncongmoncong senapan pasukan Junta. Perjuangan tanpa henti tersebut ini bukannya tanpa hasil sekalipun kekuasaan Junta Militer begitu kuat untuk dapat ditumbangkan. Simpati masyarakat internasional ternyata terus mengalir kepada Suu Kyi yang ditahan secara semena-mena dan seolah penuh rekayasa politik. Suu Kyi pun kemudian menjelma menjadi salah satu ikon HAM dan demokrasi di dunia. Adanya desakan kuat dari masyarakat Internasional membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut turun tangan dalam membantu proses penyelesaian kasus yang dialami oleh tokoh kharismatik yang juga peraih Hadiah Nobel Perdamaian ini. Dalam berbagai kesempatan, PBB telah berusaha untuk memberikan peringatan keras kepada pemerintah Junta Militer Myanmar agar Lihat kembali artikel Media Indonesia tentang “Aung San Suu Kyi, Pejuang Demokrasi Myanmar.” 14 Elis Widayanti, Op. Cit, h. 32 13
5
menghentikan tindakan-tindakan kejam mereka yang tidak mengindahkan hak asasi manusia. 15 Mukadimah Piagam PBB pada paragraf 2 menyebutkan, “to reaffirm I fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large and small.”16 Jadi adanya tekad untuk memperteguh kepercayaan pada hak-hak asasi manusia, harkat dan derajat manusia, serta persamaan hak bagi pria maupun wanita dan bagi segala bangsa besar maupun kecil menjadi pertimbangan utama PBB dalam rangka ikut serta untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh Suu Kyi. 17 Sejumlah organ yang berada di bawah naungan PBB, khususnya Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) juga semakin serius untuk memonitor perkembangan kasus tersebut belakangan ini. Hal ini sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB yang menyebutkan “Decides that the Council shall Promote the full implementation of human rights obligations undertaken by States and follow-up to the goals and commitments related to the promotion and protection of human rights emanating from United Nations conferences and summits.”
18
Dari butir
tersebut dapat diartikan bahwa Dewan HAM mendorong agar negara-negara untuk melakukan kewajiban dalam pelaksanaan HAM-nya. Munculnya era baru Dewan HAM bukan melalui proses yang singkat. Dewan HAM sebagai pengganti dari Komisi HAM PBB yang sebelumnya berada Renne R.A Kawilarang dan Shinta Eka Puspasari, 2009, “PBB: Penahanan Suu Kyi Melanggar Hukum”, diakses pada 16 Sepetember 2011, URL: http://dunia.vivanews.com/news/read/43454pbb-penahanan_suu_kyi_melanggar_hukum 16 Charter of The United Nations, San Francisco - 1945 17 Sri Setianingsih Suwardi, 2004, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, h. 265. 18 General Assembly Resolution A/RES/60/251 part 5 (d) 15
6
di bawah Dewan Ekonomi Sosial PBB sepakat dilakukan di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tahun 2005 yang beranggotakan 47 negara dan dipimpin oleh Jan Eliasson dengan wewenang lebih luas. 19 Fungsi pokok Dewan HAM PBB ialah sebagai pengawas yang membongkar kasus-kasus pelanggaran HAM di muka bumi, di samping membantu negara anggota menyusun undang-undang tentang HAM. Melalui Resolusi MU PBB A/RES/60/251 tentang pembentukan Dewan HAM PBB yang berbunyi, “Decide to establish the Human Rights Council, based in Geneva, in replacement of the Commission on Human Rights, as a subsidiary organ of the General Assembly; the Assembly shall review the status of the Council within five years” sekaligus menegaskan berdirinya Dewan HAM pada tanggal 15 Maret 2006 dan dibentuk pada tanggal 9 Mei 2006.20 Dewan HAM memperkenalkan lembaga baru bernama Universal Periodical Review (UPR) yang dapat meninjau situasi HAM di seluruh negara besar atau kecil. Kiprah Dewan HAM ke depan sangat dipengaruhi oleh kultur banyak negara, terutama negara besar hingga dapat dikatakan tugas Dewan HAM PBB sangat berat.21 Di tahun 2011, salah satu peran Dewan HAM dengan kasus yang dialami Suu Kyi dapat dilihat pada resolusi yang diadopsi oleh Dewan HAM PBB A/HRC/RES/16/24 mengenai situasi HAM di Myanmar. Pada paragraph 3 resolusi tersebut dinyatakan: Welcomes the release of Daw Aung San Suu Kyi following the most recent period of her arbitrary house arrest, and noting that her release is 19
Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana, 2010, HAM Dalam Dimensi Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 170 20 Ibid 21 Ibid, h. 171
7
unconditional, calls on the Government of Myanmar to guarantee the full enjoyment of all human rights, including civil and political rights, and fundamental freedoms, for all people in Myanmar, including Daw Aung San Suu Kyi, in particular with regard to unrestricted movement in and outside the country and unrestricted contact with all domestic stakeholders
Merujuk pada isi resolusi tersebut, dapat dilihat secara jelas betapa Suu Kyi memang menjadi perhatian khusus bagi Dewan HAM PBB. Resolusi tersebut secara tegas mendesak Pemerintah Myanmar untuk menjamin hak-hak sipil dan politik yang dimiliki oleh Suu Kyi. Dalam International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) juga disebutkan , “Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with such procedure as are established by law.”
22
Artinya Tindakan penahanan tanpa alasan yuridis yang
jelas seperti dilakukan oleh Myanmar tentu tidak sejalan dengan apa yang digariskan di dalam pasal ini. Walaupun Myanmar sendiri tidak ikut serta dalam Kovenan ini sehingga tidak mengikatnya secara resmi, namun Myanmar tidak dapat mengabaikan eksistensi dari Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang juga mengatur hal serupa dalam pasal 9 “Tak Seorang pun boleh dikenai penangkapan, penahanan, atau pengasingan sewenang-wenang.” Dalam konteks ini, bagaimana sesungguhnya peran Dewan HAM PBB untuk turut serta menyelesaikan kasus tersebut tentu sangat menarik untuk dikaji. Selain itu apakah
22
Lihat Pasal 9, General Assembly resolution 2200 A (XXI), 16 December 1966
8
PBB dan negara lain melakukan intervensi terhadap Myanmar sesuai dengan prinsip non-intervensi sebagai prinsip fundamental dalam hukum internasional. Dengan melihat pada uraian di atas, penulis berasumsi bahwa dirasa perlu untuk melakukan kajian lebih lanjut terhadap perlindungan HAM dalam kasus Aung San Suu Kyi ini. Walaupun perkembangan yang terjadi kini bahwa pada bulan November 2010 lalu Suu Kyi telah dibebaskan dari tahanan rumahnya dan secara serta merta disambut oleh ribuan pendukungnya di Rangoon.23 Selain itu, adanya kenyataan bahwa Suu Kyi dan partainya telah menduduki 43 dari 45 kursi di parlemen pada pemilihan umum (pemilu) sela yang diadakan pada 1 April 2012 tidak mengurangi nilai penting dari penulisan skripsi ini pula. 24 Terlebih lagi pada akhir tahun 2011 Myanmar telah membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang akan ikut menjaga kondisi hak asasi warga sipil di Myanmar.25 Komisi ini hanya bersifat rekomendasi kepada pemerintah tanpa bisa menindak atau pun mengambil keputusan. 26 Skripsi ini tetap penting untuk dikaji karena akan melihat lebih dalam lagi perlindungan hak asasi manusia secara individual yang diberikan kepada Suu Kyi dari perspektif hukum internasional. Oleh karena itulah, penulis tertarik untuk membahas kasus tersebut dalam bentuk karya tulis, dengan mengangkat judul
dikutip dari artikel BBC, “Aung San Suu Kyi Dibebaskan”, diakses pada 25 Pebruari 2012, URL : http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2010/11/101113_suukyifree.shtml 24 Dalam artikel Metro View - Suryopratomo, “Kemenangan Damai Suu Kyi” , diakses pada 8 April 2012, URL : http://www.metrotvnews.com/read/tajuk/2012/04/03/1093/KemenanganDamai-Suu-Kyi/tajuk 25 BBC News, “Burma sets up human rights commission”, diakses pada 24 April 2012, URL : http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-14807362 26 Diambil dari artikel Metrotvnews, “Komnas HAM Myanmar Belajar ke Indonesia”, diakses pada 24 April 2012, URL : http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/03/19/85538/KomnasHAM-Myanmar-Belajar-ke-Indonesia/1 23
9
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA SECARA INDIVIDUAL OLEH DEWAN HAK
ASASI MANUSIA PBB (STUDI KASUS TOKOH
DEMOKRASI MYANMAR AUNG SAN SUU KYI).
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, ada dua
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu : 1.
Bagaimanakah mekanisme yang berlaku di Dewan HAM PBB dalam pemberian perlindungan hak asasi manusia secara individual, khususnya pada kasus Aung Suu Kyi?
2.
Apakah kewenangan perlindungan hak asasi secara individual dalam kasus Aung San Suu Kyi tidak bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara dalam perspektif Hukum Internasional?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari agar isi atau materi yang terkandung di dalam skripsi
tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan maka skripsi ini akan membatasi pembahasannya dalam ruang lingkup sebagai berikut : 1.
Akan diuraikan tentang materi Dewan HAM PBB sebagai salah satu organ khusus PBB dengan suatu telaah historis untuk mengkaji bahwa sebelum terbentuknya Dewan HAM PBB telah ada Komisi HAM PBB yang berada di bawah Dewan ECOSOC yang dibentuk pada tahun 1946. Maka dalam tulisan ini akan dibahas mengenai kedudukan dan kewenangan Dewan HAM PBB yang mana berada langsung di bawah Majelis Umum PBB.
10
Selain itu juga mengenai mekanisme pelaksanaan kewenangan oleh Dewan HAM PBB yang lebih besar dibandingkan dengan organisasi yang digantikannya. 2.
Dalam penulisan ini akan dibahas pula mengenai perlindungan HAM terhadap Aung San Suu Kyi dilihat dari perspektif hukum internasional dan hukum hak asasi manusia. Akan dijabarkan pula instrumen-instrumen dalam hukum internasional yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Myanmar terhadap warga negaranya sendiri dalam hal ini adalah tokoh demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi. Suatu analisa akan difokuskan pada pelaksanaan kewenangan Dewan HAM PBB yang sejak awal pendiriannya melalui sejumlah resolusi, mengenai situasi HAM di Myanmar. Mengidentifikasi terhadap resolusi-resolusi Dewan HAM PBB yang menyikapi situasi HAM yang dialami oleh Aung San Suu Kyi akan menjadi analisa khusus dalam penulisan ini.
3.
Terakhir akan dibahas mengenai kewenangan yang dimiliki oleh Dewan HAM PBB tentang kedaulatan suatu negara, dalam hal ini Myanmar yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Pembahasan akan dimulai dengan pemikiran-pemikiran tentang kedaulatan negara dalam hukum internasional. Pengesampingan doktrin kedaulatan negara dalam hukum internasional juga akan menjadi fokus pembahasan sampai kepada doktrin kedaulataan negara yang akan dipakai Dewan HAM dalam melaksanakan kewenangannya terkait kasus Aung San Suu Kyi.
11
1.4
Tujuan Penelitian
a.
Tujuan Umum Secara umum, penulisan skripsi ini bertujuan :
1.
Mengkaji peran dari Dewan HAM PBB yang dilakukan dalam upaya perlindungan HAM sejak dibentuk pada tahun 2006 .
2.
Mengkaji dari sudut pandang HAM terhadap tindakan Myanmar yang melakukan pelanggaran HAM terhadap warga negaranya sendiri .
3.
Sebagai sumbangan pikiran penulis bagi pengetahuan dalam bidang hukum internasional khusunya yang berkenaan dengan hak asasi manusia.
b. Tujuan Khusus Sementara itu, secara khusus skripsi ini bertujuan : 1.
Menganalisis mekanisme yang berlaku di Dewan HAM PBB dalam memberikan perlindungan HAM baik melalui UDHR, ICCPR, serta Resolusi-Resolusi PBB yang terkait secara langsung kepada seorang individu.
2.
Menganalisis mekanisme Dewan HAM PBB yang tidak bertentangan dengan kedaulatan negara dalam memberikan perlindungan hak asasi individu, khususnya Aung San Suu Kyi.
1.5
Manfaat Penelitian
a.
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih
mendalam mengenai perlindungan HAM yang diberikan oleh Dewan HAM PBB, khususnya terhadap isu yang sedang hangat saat ini, yaitu pelanggaran HAM yang
12
dilakukan oleh Myanmar terhadap Aung San Suu Kyi, dalam hal ini upaya-upaya yang ditempuh oleh Dewan HAM PBB dalam memberikan perlindungan hukum bagi Suu Kyi.
Selain itu, skripsi ini diharapkan dapat dijadikan referensi
tambahan untuk pengembangan ilmu hukum secara umum, khususnya di bidang hukum internasional mengenai perlindungan HAM bagi warga sipil. b.
Manfaat Praktis Secara praktis, skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis yaitu
berupa pengetahuan tentang peran Dewan HAM PBB memberi perlindungan HAM secara individual dalam hal terjadi kasus yang serupa dengan yang dialami oleh Aung San Suu Kyi di negara lain. 1.6
Landasan Teoritis
a.
Teori Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional senantiasa
menjadi perdebatan bagi para penstudi hukum internasional. Dalam hal ini, ada dua teori utama memiliki penganutnya masing-masing, yaitu teori Dualisme dan teori Monisme. Teori dualisme Anzilotti dalam buku Pengantar Hukum Internasional karangan J.G Starke mengungkapkan suatu pendekatan yang berbeda, yakni membedakan hukum internasional dan hukum nasional menurut prinsip-prinsip fundamental dari masing-masing sistem itu ditentukan. 27 Menurutnya, hukum nasional ditentukan oleh prinsip atau norma fundamental bahwa perundangundangan negara harus ditaati, sedangkan sistem hukum internasional ditentukan 27
Mengenai uraian teori ini lihat J.G Starke, 1989, Pengantar Hukum Internasional 1 Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, h. 97-98
13
oleh prinsip pacta sunt servanda, yaitu perjanjian antara negara-negara harus dijunjung tinggi. Sehingga kedua sistem itu sama sekali terpisah. Sedangkan penganut teori monisme menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik negaranegara, individu-indiviu maupun kesatuan-kesatuan lain di luar negara. Sehingga menurut penulis-penulis monistis berpendapat bahwa hukum nasional dan hukum internasional merupakan sama-sama kaidah hukum yang memiliki bagian-bagian berkaitan di dalam suatu struktur hukum. Sebagai pengembangan lebih lanjut dari teori monisme, terdapat paham yang menyatakan bahwa hukum internasional lebih tinggi daripada hukum nasional, atau yang dikenal dengan Monisme Primat Hukum Internasional. Sedangkan, Monisme Primat Hukum Nasional justru berpandangan sebaliknya, yaitu hukum nasional lah yang lebih tinggi daripada hukum internasional. 28 Teori-teori tersebut akan sangat bermanfaat untuk memberikan suatu kerangka pikir dalam menganalisa penghormatan yang dilakukan negara, dalam hal ini Myanmar, terhadap eksistensi sejumlah instrumen hukum HAM. Tidak dapat dibantah bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu hukum dan karena itu kedua perangkat hukum tersebut sama-sama mempunyai kekuatan mengikat baik terhadap individu atau pun negara. 29 Termasuk dalam konteks ini, Myanmar tidak dapat menolak apa yang telah dikehendaki dan dirumuskan dalam berbagai instrumen yuridik internasional
28 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT Alumni, Bandung, h. 57-63 29 Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional; Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, h. 13
14
oleh negara-negara apabila Dewan HAM yang berwenang mengambil tindakan tegas terhadap pelanggaran hak asasi yang dilakukan terhadap Aung San Suu Kyi. Myanmar harus mematuhi hukum internasional sebagai pertanda negara tersebut masuk dalam masyarakat internasional yang terikat terhadap hukum internasional walaupun tanpa persetujuan Myanmar sendiri. 30 b.
Teori-teori yang berkaitan dengan Subjek Hukum Internasional: Negara, Individu, dan Organisasi Internasional Menurut Mochtar Kusumaatmadja, subjek hukum internasional dapat
diartikan sebagai pemegang segala hak dan kewajiban menurut hukum internasional. 31 Dari segi teoritis, hanya negaralah yang menjadi subjek hukum internasional. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran bahwa peraturan-peraturan hukum internasional adalah peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negaranegara dan traktat-traktat meletakkan kewajiban yang hanya mengikat negaranegara yang menandatanganinya. Teori Hans Kelsen dalam bukunya Principles of International Law menyatakan bahwa yang dinamakan hak-hak dan kewajibankewajiban negara sebenarnya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusiamanusia yang merupakan anggota masyarakat yang mengorganisir dirinya dalam negara itu. Oleh karena itu negara tidak lain merupakan konstruksi yuridis yang tidak akan mungkin ada tanpa manusia sebagai anggota masyarakat suatu negara. 32 Sementara dalam perkembangannya, individu juga dapat menjadi subjek hukum Internasional. Dalam perjanjian Perdamaian Versailles 1919 terdapat pasal-pasal yang memungkinkan orang perorangan mengajukan perkara ke 30
Ibid, h. 100 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit, h. 97 32 Ibid, h. 96-97 31
15
Mahkamah Arbitrase Internasional sehingga dalil lama mengenai hanya negara saja yang bisa menjadi pihak di hadapan suatu peradilan internasional sudah mulai ditinggalkan.33 Berkaitan dengan Dewan HAM PBB sebagai salah satu organ organisasi internasional terbesar di dunia saat ini, dapat dikemukakan bahwa PBB memiliki kapasitas internasional yang tidak penuh sebagaimana layaknya negara. Namun apabila dibandingkan dengan subyek-subyek hukum internasional, maka kapasitas yang dimiliki subyek-subyek tersebut adalah jauh lebih kecil daripada yang dimiliki oleh PBB. Piagam PBB yang menegaskan pentingnya promosi HAM merupakan kewajiban bagi PBB dan termasuk seluruh negara anggotanya. Dalam konteks ini Dewan HAM PBB menjadi organ sentral dan ujung tombak dalam implementasi hukum hak asasi manusia. c.
Peran Dewan HAM dalam Organisasi Internasional Christian Tomuschat, Profesor Hukum Tata Negara dan Hukum
Internasional Universitas Humboldt menguraikan konsep penting mengenai The Work of Political Bodies of International Organization dalam bukunya yang berjudul “Human Rights: Between Idealism and Realism.”34 Dewan HAM PBB merupakan salah satu Badan HAM yang dijadikan fokus pembahasan dalam buku tersebut. Dewan HAM yang dibentuk tahun 2006 memiliki peran sebagai pengawas yang membongkar kasus-kasus pelanggaran HAM di muka bumi, di samping membantu negara anggota menyusun instrumen-instrumen hukum internasional 33
Ibid, h.104 Christian Tomuschat, 2008, Human Rights: Between Idealism and Realism, Second Edition, Oxford University Press, New York, h. 138-144. 34
16
tentang HAM.35 Salah satu tindakan penting yang pernah dilakukan Dewan HAM dalam membantu penyelesaian kasus pelanggaran HAM terhadap Aung San Suu Kyi ialah dengan pernyataan sikap menentang penahanan tanpa sebab yang ilegal dan melanggar prinsip-prinsip yang tertuang dalam UDHR. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh kelompok kerja di bawah Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang beranggotakan perwakilan dari Chili, Pakistan, Rusia, Senegal, dan Spanyol meminta junta militer Myanmar segera membebaskan Suu Kyi.36 Segala kewenangan dan mekanisme yang terdapat dalam Dewan HAM dipergunakan penulis untuk menjawab permasalahan pada bab III. d.
Prinsip Non-Intervensi Terkait kasus Aung San Suu Kyi ini, sekilas terlihat adanya pelanggaran
terhadap prinsip non-intervensi namun demikian yang menarik ialah kedudukan sebagai individu subjek hukum internasional yang dilihat penting sehingga PBB melalui Dewan HAM memutuskan untuk melakukan intervensi dalam pemutusan masalah yang semestinya dapat diselesaikan sendiri oleh Myanmar. Meskipun saat ini belum ada pandangan yang baku mengenai intervensi, menurut Lauterpacht, “Intervensi ini adalah campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi, atau barang di negeri tersebut”.37 Namun prinsip non-intervensi yang digunakan disini dimaksudkan bahwa adanya kewajiban bagi para negara untuk saling menghormati kedaulatan negara lain 35
Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, Op. Cit, h.170 Lihat kembali artikel: Vivanews, PBB; Penahanan Suu Kyi Melanggar Hukum 37 Dalam Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 31 36
17
sehingga setiap negara tidak boleh mencampuri urusan internal negara-negara lain. Prinsip non-intervensi terdapat dalam pasal 2 (7) yang berbunyi : Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter Vll. dan pasal 2 (4) Piagam PBB, “All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purpose of the United Nations”. Kedua pasal dalam Piagam PBB tersebut mensyaratkan bahwa organisasi PBB dilarang turut campur dalam urusan domestik suatu negara, kecuali dalam rangka memelihara perdamaian dunia seperti yang ada dalam Bab VII Piagam PBB. Teori ini dipakai penulis untuk menjawab permasalahan pada bab ke IV. e.
Teori Common Consent Teori ini menyatakan bahwa dasar mengikat hukum internasional adalah
persetujuan bersama dari negara-negara yang berdaulat untuk mengikatkan diri pada kaidah-kaidah hukum internasional. 38 Teori ini pada hakikatnya hendak mengembalikan kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak atau persetujuan negara-negara untuk diikat yang memandang hukum internasional sebagai hukum perjanjian antara negara-negara.39 Sehingga dalam teori Common Consent yang diartikan sebagai persetujuan negara untuk tunduk menurut aturan
38 Trisna Widyana, “Sistem Hukum dan Peradilan Internasional”, diakses pada 23 April 2012, URL : http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=teori+common+consent&source 39 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit, h. 51
18
hukum internasional menghendaki adanya suatu hukum atau norma sebagai sesuatu yang telah ada sebelumnya. 40 Teori ini akan dijadikan dasar tindakan PBB untuk ikut membantu penyelesaian pelanggaran HAM yang dilakukan Myanmar terhadap Aung San Suu Kyi khususnya dalam kaitan dengan kedaulatan negara dalam bab IV. 1.7
Metode Penelitian
a.
Jenis Penelitian Skripsi ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang
meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Soerjono Soekanto mengidentikkan penelitian hukum normatif tersebut sebagai penelitian hukum kepustakaan, yang mencakup penelitian terhadap asas- asas hukum, sistematik hukum,
penelitian
terhadap
taraf
sinkronisasi
vertikal
dan
horizontal,
perbandingan hukum, serta sejarah hukum. 41 Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif karena meneliti asas-asas hukum yakni asas hukum internasional khususnya berkaitan dengan prinsip non-intervensi yang ada dalam Piagam PBB. PBB berhak mengambil tindakan apabila terjadi pelanggaran HAM di suatu negara seperti yang terjadi di Myanmar dalam kasus Aung San Suu Kyi. b. Jenis Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan
(statute
approach),
pendekatan
sejarah
(Historical
Approach), dan pendekatan kasus (the case approach).
40
Ibid Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.12 41
19
Pendekatan perundang-undangan adalah metode penelitian dengan memahami dari hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. Dikatakan bahwa pendekatan perundang-undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 42 Namun demikian, dalam penulisan penelitian ini, penulis mencoba membandingkan antara instrumen-instrumen hukum internasional dan relevansinya dengan kasus sehingga akan ditemukan substansi dari permasalahan yang akan dibahas. Terkait kasus Suu Kyi instrument-instrumen yang akan sering digunakan tentunya Piagam PBB, UDHR, ICCPR, dan berbagai resolusi-resolusi Dewan HAM yang dikeluarkan oleh Dewan tentang kondisi HAM yang terjadi di Myanmar. Pendekatan sejarah (historical approach) dilakukan dalam pencarian kembali sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu sehingga melalui pendekatan ini dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut.43 Pendekatan sejarah digunakan penulis untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dialami oleh Aung San Suu Kyi sejak awal pergerakannya hingga berbagai ancaman dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negaranya sendiri, yakni Myanmar. selain itu sejarah pembentukan Dewan HAM PBB juga menjadi salah satu kajian dalam penelitian ini mengingat sebagai lembaga yang memiliki kewenangan khusus di bidang perlindungan hak asasi manusia maka Dewan HAM perlu dibahas secara lebih mendalam mengenai
42 43
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 97 Ibid, h. 126
20
dasar pembentukannya serta penyebab Dewan HAM menggantikan badan sebelumnya yakni Komisi HAM PBB. Pendekatan kasus (case approach) berlaku di mana putusan pengadilan akan dijadikan rujukan dalam memperoleh preskripsi untuk menjawab isu hukum yang dihadapi. 44 Namun dalam penelitian ini tidak akan menggunakan putusan pengadilan melainkan dari resolusi-resolusi Majelis Umum PBB dan/atau resolusi-resolusi Human Rights Council (HRC) . Resolusi – resolusi tersebut akan terdapat unsur ratio decidendi, yaitu alasan-alasan yang digunakan oleh Dewan HAM untuk sampai kepada putusannya dengan memperhatikan fakta materiil. Fakta materiil tersebut yakni berupa orang, tempat, dan waktu sehingga bagi Dewan HAM maupun Myanmar dapat mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut.45 c.
Sumber Bahan Hukum Karena penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, data yang
digunakan adalah berupa bahan-bahan hukum yaitu : 1.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. 46 Adapun bahan hukum primer yang akan dipergunakan berkaitan dengan penulisan skripsi ini, ialah : -
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR) United Nations General Assembly Resolution (UNGA) Human Rights Council Resolution (HRC)
44
Titon Slamet Kurnia, 2009, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT Alumni, Bandung, h.
45
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, h. 119 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit, h. 13
163 46
21
2.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku- buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar, pamflet, brosur, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat media massa dan berita di internet.47
3.
Bahan Hukum Tersier yaitu bahan yang diambil dari kamus, ensiklopedi, dan lain-lain. 48
d.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penulis mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang
dihadapi. 49 Dalam hal ini penelitian yang dilakukan adalah dengan pendekatan perundang-undangan. Jadi yang harus dilakukan adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai yang berkaitan dengan isu hukum pada kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh Aung San Suu Kyi yakni merujuk kepada Piagam PBB, UDHR, ICCPR. Kemudian melalui pendekatan kasus harus mengumpulkan putusan-putusan atau resolusi-resolusi Majelis Umum dan Dewan HAM PBB sehingga dapat memberikan inspirasi bagi penulis untuk meminjam ratio decidendi putusan atau resolusi tersebut dalam memecahkan isu yang sedang dihadapi.50 Terakhir dengan pendekatan sejarah, bahan hukum yang diperlukan adalah peraturan perundang-undangan, putusan-putusan, dan buku-buku hukum dari waktu ke waktu yang relevan dengan isu yang akan dipecahkan. 51 Terkait
47
Ibid Ibid 49 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, h. 194 50 Ibid, h. 195 51 Ibid 48
22
penelitian ini akan menggunakan bahan-bahan hukum sebelum tahun 2006 yang mana lembaga HAM masih berbentuk Komisi HAM hingga didirikan Dewan HAM PBB tahun 2006. e.
Teknik Analisis Bahan Hukum Dalam menganlisis bahan-bahan hukum yang telah diperoleh penulis,
teknik analisis yang dipergunakan di skripsi ini adalah teknik deskripsi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi. Teknik deskripsi merupakan uraian dari peristiwa yang sesungguhnya terjadi dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik selanjutnya adalah teknik evaluasi yakni penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, dan lain-lain yang ada dalam bahan primer maupun bahan sekunder. Dan terakhir adalah teknik argumentasi yang secara tidak langsung tidak dapat dilepaskan dari teknik sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan penilaian harus didasarkan pada alasanalasan yang bersifat penalaran hukum.