BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan go public merupakan istilah yang tidak asing lagi di masyarakat. Perusahaan ini menggambarkan perusahaan yang menawarkan sahamnya kepada masyarakat luas (public). Perusahaan terbuka atau go public wajib mempublikasikan laporan keuangannya kepada para pemangku kepentingan atau stakeholder yang mana dalam hal ini adalah para pemegang saham. Menurut Clarkson (1994), pemegang saham adalah individu atau kelompok yang memikul berbagai risiko. Risiko ini diakibatkan dari aktivitas investasi yang mereka lakukan di sebuah perusahaan atau risiko ini juga dapat timbul karena kegiatan perusahaan itu sendiri. Maka dari itu, para pemegang saham merupakan pihak yang mendapatkan pengaruh langsung dari adanya suatu pengambilan keputusan maupun strategi dari manajemen. Kenyataannya, pihak manajemen tidak selalu mengutamakan kepentingan para pemegang saham, mereka cenderung untuk mengambil berbagai keputusan yang mengarah pada pencapaian tujuan pribadinya. Fenomena tersebut diperkuat dengan sudut pandang teori agensi (agency theory) yang dipopulerkan oleh Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa, tujuan yang dimiliki oleh pemegang saham perusahaan (prinsipal) berbenturan dengan tujuan yang dimiliki oleh manajer (agen). Prinsipal dan agen diasumsikan sebagai orang yang memiliki rasional ekonomis (rational economic person) yang
1
dimotivasi oleh kepentingan pribadi, tetapi mereka mungkin berbeda rasa dalam preferences, beliefs dan informasi. Dalam peningkatan kesejahteraannya, pemegang saham bergantung oleh manajer perusahaan sebagai penggerak operasional perusahaan tersebut, sehingga manajer perusahaan memiliki tugas dengan tujuan dan kepentingan yang berbenturan. Manajer seringkali menjalankan perusahaan tanpa memperhatikan risiko yang nantinya akan ditanggung oleh pemegang saham. Pihak manajemen akan melakukan tindakan-tindakan yang memberikan keuntungan terhadap kepentingan pribadinya. Hal ini sering kali memberikan dampak yang kurang positif terhadap citra maupun nilai perusahaan yang sudah dipastikan akan merugikan dan menimbulkan risiko bagi pemegang saham atau pemilik. Oleh karena itu, tak jarang perusahaan menghadapi masalah yang disebut dengan konflik keagenan (Jensen, 1986). Konflik keagenan merupakan konflik yang timbul akibat perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen. Eisenhardt (1989) dikenal membangun asumsi perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen yang menyebabkan timbulnya masalah keagenan. Masalah akan terjadi jika prinsipal tidak dapat mengetahui apa yang telah dilakukan oleh agen. Masalah keagenan ini dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, dikenal sebagai adverse selection (keputusan
merugikan),
terjadi
jika
seorang
agen
gagal
memberikan
kemampuannya. Kedua, dikenal sebagai moral hazard, yaitu kondisi lingkungan di mana agen melalaikan tanggung jawab, atau bertindak untuk kepentingannya sendiri sehingga bertentangan dengan kepentingan prinsipal.
2
Konflik ini tidak terlepas dari kecenderungan manajemen untuk mencari keuntungan sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak lain. Salah satu cara manajemen untuk memaksimalkan keuntungan adalah dengan melakukan rekayasa dalam pembuatan laporan keuangan. Aktivitas rekayasa membuat laporan keuangan tidak relevan lagi dengan kebutuhan pemilik perusahaan. Laporan
keuangan
tidak
dapat
menjalankan
fungsinya
sebagai
media
pertanggungjawaban manajer kepada pemilik karena informasi yang terkandung disesuaikan dengan kepentingan manajer. Aktivitas ini tidak hanya memberikan dampak negatif kepada pemilik saja tetapi juga merugikan pihak lain yang menggunakan informasi keuangan tersebut. Pihak yang berkepentingan akan melakukan kesalahan dalam mengalokasikan sumber daya. Pemilik harus mengendalikan konflik keagenan untuk menghindari permasalahan yang mengganggu kemajuan perusahaan di masa mendatang. Permasalahan keagenan ditelusuri dari beberapa kondisi, seperti penggunaan arus kas bebas (free cash flow) pada aktifitas yang tidak menguntungkan, peningkatan kekuasaan manajer dalam melakukan over investment, dan consumption of excessive perquisites (Jensen, 1986), atau disebabkan oleh perbedaan keputusan investasi antara pemegang saham dengan manajer (Bathala, et al, 1994). Konflik keagenan dalam suatu perusahaan dapat memicu timbulnya biaya keagenan (agency cost). Biaya keagenan (agency cost) adalah biaya yang dikeluarkan oleh pemilik perusahaan untuk memonitor perilaku manajemen perusahaan agar tidak melakukan investasi yang tidak diperlukan atau menyimpang dari tujuan pemilik perusahaan. Biaya keagenan muncul ketika
3
kepentingan agen (manajer perusahaan) tidak sesuai dengan kepentingan prinsipal (pemilik perusahaan) dan mempengaruhi pilihan dalam tugas, kelalaian, serta keputusan
manajer
berdasarkan
kepentingan
sendiri
maupun
keputusan
pembentengan (entrenchment), yang berarti mengurangi kesejahteraan prinsipal juga (Jensen dan Meckling, 1976; Watts dan Zimmerman, 1986). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan terdapat tiga jenis biaya keagenan, (1) monitoring cost yaitu biaya untuk memonitor setiap tindakan manajemen, (2) bonding cost yaitu biaya yang timbul untuk menjamin keputusan yang diambil oleh manajemen sesuai dengan keinginan pemilik perusahaan, dan (3) residual loss yaitu biaya yang timbul akibat dari keputusan manajemen yang seharusnya dapat mengoptimalkan keuntungan pemegang saham. Biaya-biaya keagenan tersebutlah yang ingin diminimalkan oleh setiap perusahaan. Terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan oleh pemegang saham untuk mengatasi konflik keagenan dan meminimalkan biaya keagenan tersebut. Salah satunya ialah melalui mekanisme tata kelola perusahaan atau yang biasa dikenal sebagai corporate governance (Fama dan Jensen, 1983). Menurut Linda (2012), mekanisme corporate governance diperlukan untuk mengurangi ketidakefisienan yang timbul dari bahaya moral dan pilihan yang buruk dari manajemen perusahaan. Hal ini ditunjang oleh penelitian yang dilakukan Chtourou, et al (2001) mengungkapkan prinsip corporate governance yang diaplikasikan secara konsisten dapat menjadi permasalahan dalam aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.
Mekanisme corporate governance dapat berupa mekanisme internal maupun mekanisme eksternal. Mekanisme internal merupakan mekanisme yang
4
digunakan perusahaan untuk menyelesaikan konflik agensi dengan memanfaatkan pengendalian yang berasal dari lingkungan dalam perusahaan itu sendiri (Destriana, 2011). Menurut Denis dan McConnell (2003), mekanisme internal termasuk di dalamnya struktur dewan dan struktur kepemilikan. Mekanisme eksternal governance, termasuk di dalamnya akuisisi pasar dan sistem perundangundangan legal. Konflik keagenan yang muncul antara prinsipal dan agen menjunjung penerapan corporate governance yang baik dalam suatu perusahaan yang diharapkan dapat menurunkan potensi tindakan oportunis dari manajemen (Ariwangsa, 2007). Core et al (1999) menyatakan bahwa perusahaan menghadapi konflik keagenan yang tinggi ketika corporate governance perusahaan tersebut lemah. Menurut Ariyoto (2000) dalam Sudarma dan Putra (2014), penerapan good corporate governance mampu memberikan mekanisme dan pengendalian agar dapat mendorong efisiensi perusahaan dan menciptakan keseimbangan pembagian keuntungan dan kekayaan bagi stakeholder. Perusahaan dengan penerapan corporate governance yang belum maksimal memiliki permasalahan keagenan yang besar (Linda, 2012). Jadi, penerapan good corporate governance sangatlah penting dalam suatu perusahaan yang dalam kasus ini dapat mengatasi konflik keagenan melalui pengendalian perusahaan sehingga akan dapat menekan biaya keagenan. Penelitian ini mengukur tingkat good corporate governance berdasarkan skor Corporate Governance Perception Index (CGPI) yang diterbitkan oleh The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG). CGPI merupakan skor
5
yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan di Indonesia atas penilaian terhadap good corporate governance yang dilakukan di perusahaannya. Hal ini bertujuan agar perusahaan tersebut memiliki kesadaran akan pentingnya penerapan good corporate governance yang dapat meningkatkan kualitas perusahaan melalui perbaikan secara berkelanjutan (continuous improvement). IICG menerbitkan CGPI ini sebagai bentuk apresiasi terhadap perusahaan yang berinisiatif untuk menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. Keikutsertaan CGPI bersifat sukarela serta ditunjang melalui kontribusi manajemen dan partisipasi aktif para stakeholders. Perusahaan publik, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), Perbankan merupakan perusahaan-perusahaan yang saat ini telah terdaftar sebagai peserta CGPI. Alasan digunakan Corporate Governance Perception Index (CGPI) sebagai alat pengukur corporate governance karena CGPI dipandang mampu mencerminkan keseluruhan mekanisme corporate governance dibandingkan dengan alat pengukur lainnya yang belum tentu dapat mencerminkan keseluruhan. Skor yang ada pada CGPI dapat mewakili keseluruhan penilaian terhadap tata kelola perusahaan. Alasan lainnya, The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) dipandang sebagai badan penilai yang komprehensif karena badan tersebut melakukan penilaian terhadap corporate governance secara independen tanpa membedakan jenis perusahaan tertentu. Cara lain yang dapat dilakukan oleh pemegang saham dalam mengatasi konflik keagenan ialah dengan meningkatkan proporsi utang (Jensen dan Meckling, 1976). Peningkatan rasio utang atau dengan kata lain terjadi
6
peningkatan leverage menyebabkan jumlah porsi saham yang akan dijual oleh perusahaan berkurang. Meningkatnya leverage juga dapat mengendalikan penggunaan aliran kas bebas (free cash flow) yang berlebihan oleh manajemen perusahaan. Di samping itu, peningkatan leverage juga akan memotivasi manajemen untuk memiliki tanggung jawab lebih besar terhadap pemegang saham dan terlebih terhadap pihak ketiga yang meminjamkan dananya. Hal tersebut dikarenakan manajemen harus menyediakan kas yang cukup untuk membayar utang dan bunganya serta manajemen mendapat pengawasan lebih oleh pemilik dana agar pemilik dana dapat mengetahui apakah penggunaan dananya telah dilakukan dengan tepat. Penggunaan variabel leverage ini dikarenakan masih adanya perbedaan hasil di antara penelitian-penelitian sebelumnya sehingga peneliti tertarik untuk mengkaji kembali hubungan leverage pada biaya keagenan (agency cost). Nantinya, hasil penelitian ini akan menjadi referensi baru bagi penelitian yang akan datang. Beberapa studi empiris telah dilakukan berkaitan dengan biaya keagenan (agency cost) yang ditimbulkan oleh konflik keagenan. Penelitian mengenai biaya keagenan (agency cost) memiliki hasil yang tidak konsisten. Schooley et al (1994) menggunakan kepemilikan saham sebagai salah satu mekanisme corporate governance dengan hasil berpengaruh negatif terhadap biaya keagenan (agency cost). Purnami (2011) juga melakukan penelitian yang sama namun dengan menggunakan variabel mekanisme yang berbeda, yaitu kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional, serta leverage terhadap biaya keagenan. Hasil yang didapat ialah kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap biaya
7
keagenan (agency cost), sedangkan kepemilikan institusional, dan leverage tidak berpengaruh terhadap biaya keagenan (agency cost). Penelitian Purnami (2011) mendukung penelitian yang dilakukan oleh Widanaputra dan Ratnadi (2008) yang menemukan hasil empiris mengenai kepemilikan manajerial yang berpengaruh negatif terhadap biaya keagenan (agency cost). Krisnauli (2014) meneliti biaya keagenan dengan variabel mekanisme tata kelola perusahaan dan struktur kepemilikan. Hasil yang didapat ialah ukuran dewan direksi, ukuran komite audit, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap biaya keagenan, namun ukuran dewan komisaris dan ukuran dewan komisaris independen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap biaya keagenan. Sanjaya dan Christianti (2012) melakukan penelitian berkaitan dengan corporate governance dan agency cost. Hasil penelitiannya ialah penerapan mekanisme corporate governance dapat menurunkan biaya keagenan. Penelitian tersebut didukung oleh Sudarma dan Putra (2014). Sudarma dan Putra (2014) menggunakan ukuran corporate governance yang berbeda dalam penelitiannya mengenai biaya keagenan, yaitu dengan skor index Corporate Governance Perception Index (CGPI). Hasil penelitiannya ialah penerapan good corporate governance dapat menurunkan biaya keagenan. Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, penelitian ini bermaksud untuk mengkaji kembali pengaruh corporate governance dan leverage pada biaya keagenan (agency cost). Penelitian dilakukan terhadap perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
8
1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan, maka pokok permasalahan dirumuskan sebagai berikut: 1) Apakah corporate governance berpengaruh pada biaya keagenan (agency cost)? 2) Apakah leverage berpengaruh pada biaya keagenan (agency cost)? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui pengaruh corporate governance pada biaya keagenan (agency cost). 2) Untuk mengetahui pengaruh leverage pada biaya keagenan (agency cost). 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan bagi yang berkepentingan. Adapun kegunaan dari penelitian ini ialah: 1) Kegunaan Teoritis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
menambah
wawasan
mahasiswa akuntansi khususnya dalam topik biaya keagenan (agency cost). Penelitian ini juga dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.
9
2) Kegunaan Praktis Penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan berpikir pelaku bisnis
mengenai
perusahaannya. pertimbangan
pengevaluasian Penelitian
investor
ini
sebelum
biaya juga
keagenan
bermanfaat
menanamkan
dalam sebagai
investasinya
berkaitan dengan tingkat efisiensi biaya keagenan dalam suatu perusahaan. 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika dalam penelitian ini terdiri dari lima bab yang akan diuraikan sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini merupakan bagian awal skripsi yang membahas tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian. Latar belakang permasalahan bercerita mengenai permasalahan atau fenomena dan diakhiri dengan alasan peneliti mengangkat topik tersebut. Peneliti juga menyisipkan alasan penggunaan variabel yang mempengaruhi topik. Kemudian, peneliti merangkum permasalahan dalam rumusan masalah yang dilanjutkan dengan tujuan penelitian dan kegunaan penelitian tersebut.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN Pada bab ini, peneliti menulis bagian teori yang dapat menjelaskan dan memecahkan permasalahan. Kajian pustaka diulas dari dasar
10
teori kemudian didukung dengan penelitian selanjutnya. Kemudian dilanjutkan dengan perumusan hipotesis penelitian. Hipotesis merupakan dugaan sementara yang disusun oleh peneliti dan didukung penelitian lain sehingga peneliti dapat menentukan arah hipotesis. BAB III
METODE PENELITIAN Bab ini menjelaskan tentang metode penelitian yang digunakan. Metode penelitian yang dijelaskan berupa desain penelitian, ruang lingkup atau wilayah penelitian, obyek penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, serta teknik analisis data. Peneliti menentukan populasi yang akan diteliti dan menjelaskan teknik pengambilan sampel yang akan digunakan. Pada bagian ini, peneliti juga menjelaskan variabel yang digunakan dan alat ukur untuk variabel tersebut.
BAB IV
DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Pada bab ini, seluruh hasil pengolahan data dipaparkan beserta interpretasinya. Pengolahan data dapat menggunakan aplikasi statistik berupa SPSS. Pembahasan ini hanya menggunakan angka yang dibutuhkan dalam pengolahan alat statistik tersebut. Pembahasan didukung dengan tabel yang didukung dengan hasil pengolahan statistik yang terlampir. Bab ini juga menjelaskan justifikasi atau penyesuaian apabila hasil tidak sesuai hipotesis.
11
Interpretasi dan justifikasi tersebut ditulis berdasarkan teori atau penelitian yang dapat mendukung. BAB V
PENUTUP Pada bab ini, ditulis kesimpulan dari hasil penelitian. Kesimpulan merupakan ikhtisar dari seluruh pemikiran dalam analisis permasalahan suatu penelitian. Bab ini juga memaparkan keterbatasan serta saran. Keterbatasan yang ada dalam penelitian ini akan digunakan sebagai saran untuk penelitian selanjutnya. Saran tersebut berfungsi sebagai pertimbangan bagi peneliti selanjutnya agar mendapat hasil yang lebih baik.
12