1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wakaf sebagai perbuatan hukum sudah lama melembaga dan dipraktikkan di Indonesia. Diperkirakan lembaga wakaf ini sudah ada sejak Islam masuk ke Nusantara ini, kemudian berkembang seiring dan sejalan dengan perkembangan agama Islam di Indonesia.1 Wakaf
(waqf) di dalam bahasa Arab berarti habs (menahan). Dikatakan
waqafa-yaqifu-waqfan artinya habasa-yahbisu-hasban. Menurut istilah syara’ wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.2 Pengertian wakaf asal katanya “waqfa” yang berarti “menahan” atau “berhenti” atau “Diam di tempat” atau “tetap berdiri”. Pengertian menahan atau berhenti atau diam ditempat dalam pengertian wakaf ini adalah dihubungkan dengan kekayaan.3 Kenapa seseorang menahan hartanya dan tidak memindahmilikkannya serta tidak dizinkan untuk dipindahmilikkan? Sebabnya ialah karena pemilik harta yang menahan harta tersebut ingin supaya harta miliknya itu tetap dapat diambil manfaat atau hasilnya oleh orang lain, terlepas apakah perbuatannya itu dimotivasi oleh keinginan untuk mencari ridha Tuhan atau oleh motivasi dunia semata-mata. Apabila 1
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet. 1, hal. 235. 2 Sayyid Saabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14, Mu’ammalah, Terjemahan, Mudzakir AS., (Bandung: Alma’arif, 1994), Cet. 4, hal. 148. 3 M. Hasballah Thaib, Fiqih Wakaf, (Medan: Konsentrasi Hukum Islam Program Pascasarjana Hukum Universitas Sumatera Utara, 2003), hal. 1.
1
Universitas Sumatera Utara
2
seseorang mewakafkan hartanya, seperti mewakafkan sebidang tanah kepada seseorang maka hal itu berarti bahwa pihak yang berwakaf menahan harta yang diwakafkannya itu untuk tidak dipindahmilikkan, baik kepada keluarganya sendiri melalui jalan warisan ataupun kepada pihak lain melalui jalan hibah, sedekah, ataupun dengan jalan hadiah.4 Mewakafkan harta benda jauh lebih utama dari bersedekah dan berderma biasa, lagi pula jauh lebih besar manfaatnya, sebab harta wakaf itu kekal dan terus selama harta itu masih tetap menghasilkan atau masih tetap dieksploitir sebagaimana layaknya dengan cara produktif. Oleh sebab itu bagi kepentingan masyarakat bentuk harta wakaf amat besar manfaatnya dan amat diperlukan untuk kelangsungan kegiatan-kegiatan keIslaman.5 Pengertian wakaf menurut syari’ah yang diatur dalam hukum fiqih, wakaf ialah menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang Nadzir (penjaga wakaf), atau kepada suatu badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at Islam. Dalam hal tersebut benda yang diwakafkan bukan lagi hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula hak milik tempat menyerahkan, tetapi menjadi hak Allah (hak umum).6
4
hal. 101.
Helmi Karim, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), Cet. Pertama,
5
Abdurrahman, Masalah Perwakafan tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita, (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1990), cet ke-3, hal. 8. 6 M. Hasballah Thaib,Op.cit., hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
3
Pada dasarnya wakaf sudah dipraktikkan oleh orang-orang terdahulu sebelum Islam, meskipun praktik tersebut belum dinamakan wakaf. Praktik wakaf dalam sejarah telah dikenal lebih dulu sebelum lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW meskipun dengan nama dan istilah yang berbeda-beda.7 Wakaf dalam ajaran Islam tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan tentang perkembangan hukum Islam dan esensi hukum Islam. Hukum Islam itu sendiri merupakan perpaduan antara wahyu Allah SWT dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk mengejawantahkan nilai-nilai keimanan dan akidah dengan mengemban misi utama ialah mendistribusikan keadilan hukum, keadilan sosial, maupun keadilan ekonomi. Islam sangat memperhatikan keadilan ekonomi dalam rangka menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera dan meminimalisir terjadinya kesenjangan sosial yang berlatar belakang ekonomi antara yang miskin dengan yang kaya. Sehingga tercipta masyarakat yang makmur dalam keadilan dan masyarakat yang adil dalam kemakmuran. Islam memandang kekayaan sebagai amanat Allah SWT, yang seyogyanya
menjadi
sarana
perekat
untuk
membangun
persaudaraan
dan
kebersamaan.8 Wakaf harus dilakukan dengan memenuhi rukun-rukunnya. Rukun waqaf dalam fiqih Islam ada empat hal, yaitu: 1.
Orang yang melakukan perbuatan waqaf atau al-waqif 7
Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. Ke-1, hal. 81. 8 Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
4
2.
Harta benda yang diwaqafkan atau al-mawquf
3.
Tujuan atau tempat ke mana harta diwaqafkan atau al-mauquf alaihi
4.
Pernyataan kehendaknya dari yang mewaqafkan atau sighat.9 Syarat orang berwaqaf adalah (1) pewakif mempunyai kecukupan bertindak yang sempurna sehingga ia boleh mentabarru’kan hartanya (2) pewakif tidak dalam keadaan terpaksa dan harus didasarkan kepada keikhlasan dan kerelaan merupakan salah satu syarat penting yang harus dipunyai oleh pewaqif (3) benda haruslah milik sah dari pewaqif. Benda yang diwaqafkan harus dapat dimanfaatkan dan manfaat dari benda inilah yang menjadi tujuan dari waqaf tersebut. Syarat dari benda yang diwaqafkan ialah: 1. Benda ini mestilah milik sah pewaqaf 2. Benda yang tahan lama dan dan bisa diambil manfaatnya, ini berarti bendanya harus jelas baik wujudnya maupun halnya dan dapat diambil manfaatnya. 3. Benda yang dapat diwaqafkan itu mestilah sesuatu yang boleh dimiliki dan dimanfaatkan. Tidak sah mewakafkan apa yang telah rusak dengan dimanfaatkan bendanya dan juga tidak boleh diperjual belikan seperti barang tanggungan (jaminan, gadai borg), anjing, babi atau benda-benda haram lainnya 4. Kadar benda yang diwaqafkan tidak boleh melebihi jumlah sepertiga harta yang berwakaf.10 Di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dinyatakan
bahwa wakaf adalah perbuatan hukum Wakif memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.11 Wakaf adalah ibadah atau pengabdian kepada Allah SWT, yang bermotif rasa cinta kasih kepada sesama manusia, mambantu kepentingan orang lain dan kepentingan umum. Dengan mewakafkan sebagian harta bendanya, akan tercipta rasa
9
M. Hasballah Thaib, Op.cit., hal. 5. Ibid., hal. 5-6. 11 Abdul Ghafur Anshori, Op.cit., hal. 54. 10
Universitas Sumatera Utara
5
solidaritas seseorang.12 Amalan wakaf ini merupakan amalan shadaqah yang telah dilembagakan, dari harta benda yang telah diwakafkan tersebut digunakan untuk amalan kebajikan, yang terlepas dari hak milik perseorangan dan menjadi milik Allah (umum). Maka harta yang telah dilembagakan dan menjadi milik umum tersebut, penggunaannya harus disesuaikan berdasarkan tujuan wakaf itu sendiri.13 Wakaf adalah salah satu amalan ibadah. Oleh karena itu wakaf harus mempunyai tujuan tertentu yang tidak boleh bertentangan dengan niali-nilai ibadah. Ibadah disini maksudnya adalah ibadah ghairu mahdlah (ibadah yang tidak ditentukan), yakni ibadah yang bersifat sosial, misalnya untuk membangun sarana peribadatan, sarana pendidikan, sarana perekonomian, sarana sosial, sarana olah raga, kesehatan dan lain sebagainya, baik yang bersifat pribadi maupun yang bersifat umum. Sehingga wakaf dapat mengentaskan kondisi anak yatim, fakir miskin dan lain-lainnya agar menjadi sejahtera, baik itu keluarganya sendiri maupun bukan keluarganya. Wakaf juga bisa untuk membangun sarana kepentingan umum, misalnya masjid, sekolahan, jembatan, pasar dan lain-lain.14 Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk Indonesia. Sebagai salah satu institusi keagamaan yang erat hubungannya dengan sosial ekonomi, wakaf telah banyak membantu pembangunan secara menyeluruh di Indonesia, baik dalam pembangunan sumber daya manusia 12
Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002), hal. 7. 13 Ahmad Azhar Basyir, Garis Besar Sistim Ekonomi Islam, (Yogyakarta: BPFE, 1987), Cet. Ke-3, hal. 94. 14 Sadzali Musthofa, Pengantar dan Azas-azas Hukum Islam di Indonesia, (Solo: CV. Ramadlani, 1989), Cet. I, hal. 125.
Universitas Sumatera Utara
6
maupun dalam pembangunan sumber daya sosial. Tak dapat dipungkiri, bahwa sebagian besar rumah ibadah, perguruan Islam, dan lembaga-lembaga Islam lainnya dibangun diatas tanah wakaf.15 Perubahan atau peralihan peraturan wakaf dari Hukum Islam ke dalam Undang-undang wakaf Nomor 41 tahun 2004 merupakan pentransformasian Hukum Islam (fiqih) menuju Hukum Nasional. Adapun yang dimaksud dengan Hukum Nasional yang diambil dari Hukum Islam adalah peraturan dengan menganut prinsipprinsip yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta kaidah-kaidah yang dipetik dari Nas Syar’i. Menurut teori politik hukum, norma-norma Hukum Islam baru dapat dijadikan norma Hukum Nasional, apabila norma-norma Hukum Islam itu sesuai dan dapat menampung kebutuhan seluruh lapisan rakyat Indonesia.16 Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dijelaskan bahwa salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagaamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antar lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syari’ah.17 Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak 15
Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Bunga Rampai Perwakafan, (Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006), hal. 19. 16 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 248. 17 Abdul Manan, Op.cit, hal. 256.
Universitas Sumatera Utara
7
terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau tidak kemampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.18 Di Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf Bab II Bagian ketujuh Pasal 17 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa: 1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. 2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf oleh PPAIW. Ikrar adalah pernyataan kehendak dari Wakif, untuk mewakafkan tanah hak miliknya. Di dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 disebutkan bahwa yang dapat menjadi Wakif adalah: a.
Orang perseorangan
b.
Orang-orang (bersama-sama)
c.
Badan hukum Tiga (3) subyek Hukum diatas dapat mewakafkan tanah hak miliknya dengan
syarat telah dewasa, sehat akalnya, atas kehendak sendiri dan tidak terhalang oleh hukum untuk melakukan suatu perbuatan hukum.19
18
Ibid., hal. 256-257. Saroso dan Nico Ngani, Tinjauan Yuridis Tentang Perwakafan Tanah Hak milik (Seri Hukum Agraria No. 1), (Yogyakarta: Liberty, 1984), hal. 27. 19
Universitas Sumatera Utara
8
Ikrar wakaf ini dilakukan di depan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), tidak cukup dengan lisan atau isyarat saja melainkan harus dibuat dengan tertulis. Hal ini adalah berdasarkan ketentuan dalam Pasal 9 PP Nomor 28 tahun 1997 yaitu: 20 1. Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf. 2. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama. 3. Isi dan Bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama. 4. Pelaksanaan ikrar, demikian pembuatan Akta Ikrar Wakaf dianggap sah jika dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. 5. Dalam melaksanakan ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta menyerahkan kepada Pejabat tersebut ayat (2) surat-surat berikut: a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya b. Surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa. c. Surat keterangan pendaftaran tanah d. Ijin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Kantor Agraria setempat. Berkenaan dengan apa yang telah disebutkan di dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2014 tentang wakaf di dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1997 Pasal 9, ternyata sampai saat ini masih ada dijumpai pelaksanaan penyerahan tanah wakaf yang ikrar wakaf hanya diucapkan secara lisan, diketahui saksi tanpa ada dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW) oleh PPAIW, sehingga hal ini mengakibatkan tanah wakaf tidak mempunyai kekuatan hukum dan sulit untuk membuktikan bahwa harta benda yang telah diwakafkan itu benar-benar sudah menjadi wakaf, selain itu hal ini bisa menjadikan celah bagi Wakif atau ahli waris untuk mengingkari harta benda yang telah diwakafkan untuk ditarik kembali. 20
Ibid., hal. 27-28.
Universitas Sumatera Utara
9
Pelaksanaan hukum perwakafan di Indonesia semula masih sangat sederhana tidak disertai administrasi, cukup dilakukan ikrar (pernyataan) secara lisan. Pengurusan dan pemeliharaan tanah wakaf kemudian diserahkan ke Nadzir. Oleh karena tidak tercatat secara administratif, maka banyak tanah wakaf tidak mempunyai bukti perwakafan sehingga banyak tanah wakaf yang hilang dan banyak pula yang menjadi sengketa di Pengadilan.21 Di beberapa daerah di Indonesia sering terjadi permasalahan berkaitan dengan kisruh tanah wakaf, hal ini karena sebagian besar tanah wakaf tidak tercatat secara administrasi, maka banyak tanah wakaf yang hilang dan banyak pula yang menjadi sengketa. Status hukum yang pasti bagi tanah wakaf sangat penting artinya antara lain bagi pemanfaatan tanah wakaf sehingga sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri.22 Dari uraian diatas, Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pengingkaran wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan secara lisan, yang dituangkan dalam judul tesis “Analisis Yuridis Pengingkaran Wakaf Atas Tanah Yang Sudah Diwakafkan Secara Lisan Ditinjau Dari Fiqih Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (Studi Kasus Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batang Hari, Jambi)”. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut di atas, maka agar lebih jelasnya perlu dirumuskan pokok masalahnya sebagai berikut:
21 22
Ibid. Imam Suhadi, Op.cit., hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
10
1.
Bagaimana kepastian hukum terhadap pengingkaran wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan secara lisan ?
2.
Bagaimana hak dan kewajiban Nazhir apabila pewakif atau ahli waris menarik kembali ikrar wakaf secara lisan ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui kepastian hukum terhadap pengingkaran wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan secara lisan
2.
Untuk mengetahui hak dan kewajiban Nazhir apabila pewakif atau ahli waris menarik kembali ikrar wakaf secara lisan
D. Manfaat Penelitian Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1.
Secara teoritis, penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya ketentuan tentang pengingkaran wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan secara lisan ditinjau dari fiqih Islam dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf
2.
Secara praktis, adalah memberikan sumbangan pemikiran terhadap mahasiswamahasiswa
atau
praktisi-praktisi
hukum
dalam
mengetahui
tentang
perkembangan ketentuan hukum yang mengatur pengingkaran wakaf atas tanah
Universitas Sumatera Utara
11
yang sudah diwakafkan secara lisan ditinjau dari fiqih Islam dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatra Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatra Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Analisis Yuridis Pengingkaran Wakaf Atas Tanah Yang Sudah Diwakafkan Secara Lisan Ditinjau Dari Fiqih Islam dan UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (Studi Kasus Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batang Hari, Jambi)”. Akan tetapi ada beberapa penelitian yang menyangkut masalah wakaf antara lain penelitian yang dilakukan oleh: 1.
Saudari Evirosita (NIM. 107011037), Mahasiswi Magister Kenotariatan Universitas Sumatra Utara, dengan judul penelitian “Tinjauan Yuridis Atas Tanah Wakaf Yang Dikuasai Nazhir (Studi Kasus di Kecamatan Leung Kota Banda Aceh)”, permasalahan yang diteliti adalah: a.
Bagaimana kedudukan Nadzir sebagai pengelola tanah wakaf menurut hukum Islam dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ?
b.
Apakah yang menjadi kendala-kendala Nadzir dalam pengelolaan tanah wakaf ?
c. 2.
Bagaimana efektifitas pengelolaan pengawasan tanah wakaf ?
Saudara Rahmat Parlaungan Siregar (NIM. 107011037), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatra Utara, dengan judul penelitian “Problematika
Universitas Sumatera Utara
12
Pendaftaran Tanah Wakaf (Studi di Kecamatan Percut Sei. Tuan, Kabupaten Deli Serdang)”, permasalahan yang diteliti adalah: a. Bagaimanakah wakaf menurut perspektif hukum Islam dan hukum agraria? b. Bagaimanakah pendaftaran perwakafan tanah di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang? c. Bagaimanakah Problematika serta Peran Kantor Urusan Agama (KUA) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam pendaftaran tanah wakaf di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang? Daerah penelitian dan permasalahan yang dibahas dalam penelitian- penelitian tersebut berbeda dengan daerah dan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi, dan teori harus diuji dengan menghadapkan pada faktafakta dapat menunjukkan ketidakbenarannya.23 Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena
berdasarkan 23
teori
tersebut
variabel
bersangkutan
memang
dapat
J. JM. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-asas, (Jakarta: FE UI, 1996), Jilid 1,
hal. 203.
Universitas Sumatera Utara
13
mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab.24 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.25 Selain itu teori ini bermanfaat untuk memberikan dukungan analisis terhadap topik yang sedang dikaji. Disamping itu teori ini dapat memberikan bekal kepada kita apabila akan mengemukakan hipotesis dalam tulisan.26 Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atas butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.27 Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu keadilan (gerechtikeit), kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zweckmasigkeit).28 Aveldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertip dalam masyarakat secara damai dan adil, untuk mencapai kedamaian hukum, harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan penumbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang harus memperoleh hak-haknya sesuai hukum yang berlaku dalam hal mewujudkan keadilan.29 Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses
24 25
hal. 35.
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Rieka Cipta, 2003), hal. 192. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993),
26
Mukti Fajar Nd dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.144. 27 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. 28 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 2. 29 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal.57.
Universitas Sumatera Utara
14
tertentu.30 Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.31 Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan. Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut :32 a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta; b. Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta; c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang diuji kebenarannya. Adapun teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kemaslahatan. Maslahat, atau dalam bahasa Arab biasa disebut al-maslahah, artinya adalah manfaat atau sesuatu pekerjaan yang mengandung manfaat. 33 Imam Al-Ghazali ahli fikih Mazhab Al-Syafi’i mengemukakan pengertian maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syarak”.34 Menurut Al-Syarnubi mashlahah memiliki pengertian sebagai semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan. Dalam bahasa Arab, terdapat ungkapan 30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal.122. 31 M. Solly Lubis, Op.cit., hal. 80. 32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI PRESS, 1981), hal. 121. 33 Zamakhsyari, Teori-teori Hukum Islam dalam fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2013), hal. 36. 34 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
15
bahwa, “ra’y al-imâm al-mashlahah fî dzâlik” (pendapat iman itu baik tentang hal tersebut). Karena itu, pendapat seseorang yang menimbulkan manfaat atau kebaikan disebut mashlahah (Said al-Khuli Al-Syarnubi, tt). Najm al-Din al-Tufi, menerjemahkan mashlahah sebagai kondisi sesuatu dalam bentuknya yang sempurna, sesuai dengan tujuan, kegunaan dan fungsinya, seperti halnya ungkapan, “al-qalam yakûn ala hai’atih li al-darb bih” (pena yang dalam keadaan baik, maka akan baik pula untuk menulis dengannya). Dalam ungkapan lain dikatakan bahwa, “al-saif ala” hai’atih li al-darb bih” (pedang yang dalam keadaan baik, maka hasilnya akan baik pula memotong dengannya).35 Mashlahah berarti merupakan sesuatu dalam kondisi yang baik, lengkap, berfungsi dan berguna sesuai dengan tujuan barang itu diadakan, serta tidak menimbulkan kerusakan atau kebinasaan. Sejalan dengan hal tersebut, Muhammad Al-‘Amiri memberikan penjelasan (syarah) terhadap teori Al-Tufi bahwa, kata mashlahah diambil dari kata Al-Shalah, yang berarti kebaikan, kegunaan, validitas dan kebenaran. Ia juga memberikan makna, yang berarti bahwa suatu benda dalam bentuk yang sempurna (hai’ah kâmilah) sesuai dengan tujuan atau sasaran yang dimaksudkan, seperti pena berada pada bentuknya yang paling tepat (shâlih) ketika dipakai untuk menulis dan pedang berada pada bentuknya yang paling layak (shâlih) ketika digunakan untuk menebas.36 Ahli hukum terkemuka, Mustafa Zaid menyatakan bahwa, para ulama nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab), menetapkan bahwa kata mashlahah sepadan 35
Hasnan Bachtiar, Mashlahah Dalam Formasi Teori Hukum Islam, (Jurnal Ulumuddin, Vol. 7, No. 1, 10 Januari 2013), hal. 278-279. 36 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
16
dengan kata maf’alah yang berasal dari kata sulhu yang berarti hal yang baik. Dikatakan pula bahwa mashlahah itu mengandung pengertian kelezatan dan hal yang dapat membawa pada kelezatan, sedang kata mafsadah artinya kerusakan dan hal yang dapat membawa pada kerusakan. Karena itu, Mustafa Zaid menyimpulkan bahwa, keduanya mencakup arti jasmani dan rohani, duniawi dan ukhrawi.37 Mengenai aspek legal dalam praktek perwakafan dalam hal ini mengenai administrasi perwakafan tanah yang menyangkut keabsahan wakaf dimata hukum positif memang sangat menarik, seperti yang kita ketahui dalam hukum Islam tidak diatur mengenai aspek prosedural administrasi dalam berwakaf. Dalam hukum Islam, wakaf dianggap sah jika telah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya dan tidak memerlukan prosedur administrasi seperti di dalam hukum positif. Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Indonesia, dimana sejak dan setelah datangnya Islam ke Indonesia masyarakat kita melaksanakan wakaf berdasarkan paham keagamaan yang dianut, yaitu paham Syafi’iyyah dan adat kebiasaan setempat. Dimana perwakafan tanah dilakukan secara tradisi lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu. Dan menganggap bahwa perbuatan wakaf sebagai amal shaleh tanpa harus melalui prosedur administratif dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah SWT.38
37 38
Ibid. Ahmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Op.cit., hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
17
Berbicara mengenai tanah wakaf tanpa sertifikat, berarti kita harus berbicara juga mengenai hukum pendaftaran tanah wakaf menurut hukum Islam. Di dalam fikih Islam tidak banyak membicarakan prosedur dan tata cara pelaksanaan wakaf secara rinci.39 Masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam sudah lama mengenal lembaga wakaf, tujuan pokok yang menjadi common basic idie wakaf sebagai salah satu lembaga keagamaan Islam adalah sebagai sarana pendukung pengembangan kehidupan keagamaan, dan sejak Islam datang ke Indonesia, peraturan perwakafan diatur menurut hukum agama Islam (fiqih). Tata cara perwakafan cukup dengan ikrar dari Wakif bahwa dia mewakafkan miliknya, seperti tanah, sawah, rumah dan lainlain untuk kepentingan agama atau masyarakat, dengan tidak usah ada kabul menurut kitab kuning dari semua mazhab fikih.40 Sesungguhnya dalam perspektif pengaturan masalah perwakafan ini tidak hanya menyangkut masalah dibidang keagamaan Islam belaka, namun kini menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan, sehingga wakaf sebagai sebuah lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan beragama, khususnya bagi umat yang beragama Islam.41 Dalam hukum Islam sendiri tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan pendaftaran tanah wakaf apalagi pensertifikasian tanah wakaf, karena memang dalam
39
Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hal. 37 40 Rachmadi Usman, Op.cit., hal. 118. 41 Ibid., hal. 119.
Universitas Sumatera Utara
18
Islam sendiri praktek wakaf dianggap sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya.42 Seperti sudah di ketahui dalam hukum Islam tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan pencatatan, pendaftaran dan pensertifikasian tanah wakaf, dalam praktek wakaf. Begitu juga para ulama fiqih terutama para Imam mazhab yang empat tidak mencantumkan keharusan pengadministrasian dalam praktek berwakaf. Akan tetapi dengan keadaan sekarang ini banyak terjadi persengketaan dalam wakaf maka selayaknya kita lihat Firman Allah SWT, yaitu dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282 sebagai berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah (Bermuamalah ialah seperti berjual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. Ayat ini menegaskan keharusan mencatat kegiatan transaksi muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, hutang-piutang dan lain sebagainya. Selanjutnya Adijani alalabij meyatakan bahwa berwakaf adalah suatu kegiatan penyerahan hak yang tak kalah pentingnya dengan kegiatan muamalah lainnya seperti jual beli, sewa menyewa dan sebagainya, seperti yang dimaksud dalam ayat diatas, mengingat penyerahan
42
Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2006), hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
19
wakaf menyangkut status hak atas tanah wakaf untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Jika untuk muamalah lainnya Allah memerintahkan untuk mencatatkannya maka secara analogi untuk wakaf pun seyogyanya harus ditulis juga. Karena jiwa yang terkandung dalam ayat tersebut adalah agar dibelakang hari tidak terjadi sengketa atau gugat menggugat diantara para pihak yang bersangkutan. 43 Sehubungan dengan adanya penyerahan wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan secara lisan tanpa menggunakan Akta Ikrar Wakaf seperti yang disebutkan di dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf Pasal 17 ayat (1) dan (2). Jika dikaitkan dengan teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah menggunakan teori Maslahat, atau dalam bahasa Arab biasa disebut al-maslahah, artinya adalah manfaat atau sesuatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Maka tujuan
yang
hendak dicapai dalam penulisan ini diharapkan kedepannya memberikan manfaat terhadap wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan secara lisan tanpa Akta Ikrar Wakaf, sehingga dapat memberikan jalan keluar untuk penyelesaian masalah tersebut. Selain teori teori Kemaslahatan yang dipergunakan dalam membahas permasalahan yang dirumuskan, dalam penelitian ini juga menggunakan teori kepastian hukum. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kepastian hukum adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum, dimana kepastian hukum adalah asas negara hukum yang menjadi landasan peraturan perundangundangan, kepastian dan keadilan dalam penyelenggaraan negara.44 Menurut
43 44
Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1992), hal. 100. Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 145.
Universitas Sumatera Utara
20
Radbruch, hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh karena kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, walaupun isinya kurang adil atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi dapat kekecualian yakni bilamana pertentangan antara isi tata hukum dengan keadilan begitu besar, sehingga tata hukum itu tampak tidak adil pada saat itu tata hukum boleh dilepaskan.45 Menurut Utrecht, hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia dan hubungan-hubungan dalam pergaulan kemasyarakatan. Hukum menjamin kepastian para pihak yang satu terhdap pihak yang lain.46 Tanpa kepastian hukum orang tidak tau apa yang harus diperbuatnya, dan akhirnya timbulnya keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat menaati peraturan hukum, akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat” Lex dura, set tamen scripta (Undang-undang itu kejam tetapi demikianlah bunyinya).47 Berkenaan dengan wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan secara lisan tanpa menggunakan Akta Ikrar Wakaf (AIW) seperti yang disebutkan di dalam Undangundang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf Pasal 17 ayat (1) dan (2) jika dikaitkan 45
Theo Huijbers, Filsafat Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hal. 163. M.Solly Lubis, Beberapa Pengertian Umum tentang Hukum, (USU: Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana, 2004), hal.21 47 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1998), hal. 58. 46
Universitas Sumatera Utara
21
dengan teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah menggunakan kepastian hukum, maka tujuan
yang hendak dicapai dalam penulisan ini diharapkan
kedepannya dapat memberikan kepastian hukum wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan secara lisan tanpa Akta Ikrar Wakaf (AIW), sehingga wakif atau ahli waris tidak dapat mengingkari dan menarik kembali wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan secara lisan. 2.
Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.48 Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah: a.
Pengingkaran adalah proses, cara, perbuatan mengingkari (tidak mengaku; tidak membenarkan; menyangkal; memungkiri; menampik: ia berusaha membela diri dengan-tuduhan yg diberikan kepadanya): biasanya dinyatakan dengan kata tidak atau bukan.
b.
49
Wakaf menurut syari’ah yang diatur dalam hukum fiqih, wakaf ialah menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang Nadzir (penjaga wakaf), atau kepada suatu badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang
48
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 31. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://www.artikata.com/arti-365821-pengingkaran.html, diakses tanggal 06 April 2015. 49
Universitas Sumatera Utara
22
sesuai dengan ajaran syari’at Islam. Dalam hal tersebut benda yang diwakafkan bukan lagi hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula hak milik tempat menyerahkan, tetapi menjadi hak Allah (hak umum).50 c.
Tanah adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali,51 sedangkan menurut para ahli adalah sebagai berikut:52 1.
Menurut Marbut (ahli tanah Amerika Serikat) Tanah adalah bagian terluar dari kulit bumi yang biasanya dalam keadaan lepas-lepas, lapisannya bisa sangat tipis dan bisa sangat tebal, perbedaannya dengan lapisan di bawahnya adalah hal warna, struktur, sifat fisik, sifat biologis, komposisi kimia, proses kimia dan morfologinya.
2.
Menurut Hilgard (ahli tanah dari Amerika) Tanah adalah material lepas-lepas dan agak kering yang dipakai untuk tempat akar tanaman dalam mencari makanan dan sarana pertumbuhan tanaman.
d.
Lisan adalah lidah, kata-kata yang diucapkan 53
e.
Fiqih Islam Fiqih secara bahasa Arab berasal dari kata faqiha, faqoha, yafqohu, artinya faham betul tentang sesuatu. Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti, yaitu: Pertama, artinya pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani
50
M. Hasballah Thaib, Op.cit., hal. 1. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://kbbi.web.id/tanah, diakses tanggal 06 April 2015. 52 Setiawan Dimas, Definisi Tanah, http://definisimu.blogspot.com/2012/08/definisitanah.html, diakses tanggal 06 April 2015. 53 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan), http://www.kamusbesar.com/23763/lisan, diakses tanggal 06 April 2015. 51
Universitas Sumatera Utara
23
menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash Al-Qur’an dan As Sunnah serta yang bercabang dari keduanya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
Dalam
pengertian ini fiqih digunakan untuk mengetahui hukum-hukum (seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada). Kedua, artinya hukum-hukum syari’at, yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syaratsyarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya). Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia, karena kehidupan manusia meliputi segala aspek. Fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan
ditengah-tengah
mereka,
maka
fiqih
Islam
datang
memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.54 G. Metodologi Penelitian 1.
Sifat dan Jenis Penelitian.
a.
Sifat Penelitian Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis, bersifat analisis
deskriptif maksunya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan 54
Susanto, Pengertian Fiqih Islam, https://susantoshi.wordpress.com/2009/05/05/pengertian-
fiqih-islam/, diakses tanggal 10 Juni 2015.
Universitas Sumatera Utara
24
berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.55 Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkungan permasalahan dan berdasarkan teori dan konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komporasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain. 56 b. Jenis Penelitian. Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum dengan metode pendekatan yuridis empiris. Penelitian yuridis dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder, disebut juga penelitian kepustakaan.57 Adapun aspek yuridisnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang wakaf, yang merupakan data sekunder. Penelitian empiris dilakukan dengan cara meneliti di lapangan yang merupakan data primer.58 Penelitian empiris dilakukan sebagai usaha untuk mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata dan sesuai dengan 55
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 101. 56 Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 38 57
58
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 13.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
25
kenyataan hidup dalam masyarakat. Melalui penelitian empiris ini, peneliti bermaksud melihat perkembangan-perkembangan hukum dalam praktek, terutama yang berkaitan dengan pengingkaran wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan secara lisan. 2.
Sumber Data Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder
yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahanbahan kepustakaan dan data yang dikumpulkan melalui dokumen dan wawancara. Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan daftar kuesioner dan pedoman wawancara, yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi dari pihak yang berkaitan dengan pengingkaran wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan Secara Lisan dikaitkan dengan ketentuan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Daftar kuesioner dan wawancara dilakukan dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang diperlukan dalam penelitian tesis ini. Data sekunder dalam penelitian tesis ini diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu untuk memperoleh bahan-bahan yang digunakan untuk mengumpulkan datadata yang ada dikepustakaan atau data sekunder dan data primer serta tertier dalam bidang hukum antara lain :
Universitas Sumatera Utara
26
a. Bahan hukum primer.59 Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Undangundang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Kompilasi Hukum Islam, Ketentuan Al-Qur’an dan Al Hadits. b. Bahan hukum sekunder.60 Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan pengingkaran wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan secara lisan. c. Bahan hukum tertier.61 Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain yang terkait dengan pengingkaran wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan secara lisan. 3.
Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
59
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 53. 60 Ibid. 61 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
27
a. Studi Kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan data dengan melakukan penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. b. Pedoman wawancara dan permintaan data yang terarah dan sistematis dengan nara sumber yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu: Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Batang Hari, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Batang Hari, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) Kecamatan Batin XXIV, Wakif
Kecamatan Batin XXIV dan Nazhir
Kecamatan Batin XXIV; 4.
Analisa Data Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Adanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).62
Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh
gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti. Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat, atau kepercayaan orang yang diteliti; kesemuanya tidak dapat diukur dengan angka.63
62
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Kearah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 53. 63
Sulistyo-Basuki, Metode Penelitian. (Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006), hal. 78
Universitas Sumatera Utara
28
Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (bahan hukum primer, sekunder maupun tersier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.64 Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.65 Sedangkan metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.66 Selanjutnya data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) disusun secara berurutan dan sistematis kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dan untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus. sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.
64
hal. 106.
65
66
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 103.
Ibid, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
BAB II KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PENGINGKARAN WAKAF ATAS TANAH YANG SUDAH DI WAKAFKAN SECARA LISAN A. Tata Cara Perwakafan 1.
Jenis-jenis Wakaf Ahmad Azhar Basyir membagi wakaf menjadi dua macam yaitu pertama:
wakaf ahli atau juga disebut wakaf keluarga ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga Wakif atau bukan keluarga si Wakif, misalnya seseorang menyatakan mewakafkan buku-bukunya untuk anakanaknya yang mampu menggunakannya, kemudian kepada cucunya dan seterusnya, kedua: wakaf khairi atau wakaf umum ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang sejalan dengan jiwa amalan wakaf dalm hukum Islam yang pahalanya akan mengalir, meskipun orang yang memberikan wakaf itu telah meninggal dunia asalkan benda wakaf itu terus dapat diambil manfaatnya. Wakaf khairi ini adalah wakaf yang dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat secara luas dan merupakan salah satu sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat, baik dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan maupun keagamaan.67 Sayid Sabiq membagi wakaf dilihat dari segi pengguna atau yang menfaatkan banda wakaf, menjadi dua macam. Ada kalanya untuk anak cucu atau kaum kerabat dan kemudian sesudah mereka itu untuk orang-orang miskin. Wakaf demikian itu 67
Abdul Manan, Op.cit., hal. 243.
29
Universitas Sumatera Utara
30
disebut wakaf ahli atau wakaf dzurri (keluarga) dan kadang-kadang pula wakaf itu diperuntukkan bagi kebajikan semata-mata. Wakaf yang demikian dinamakan wakaf khairi (kebajikan).68 1.
Wakaf Ahli Wakaf zurri atau wakaf ahli yaitu wakaf yang ditujukan dan diperuntukkan kepada orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Namun karena wakaf jenis ini pada umumnya diberikan kepada keluarga wakif maka disebut dengan wakaf ahli (keluarga) atau wakaf zurri (keturunan).69 Wakaf secara hukum dibenarkan berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW tentang wakaf keluarga yang dilakukan oleh Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya.70
ﯾﺎ رﺳﻮل ﷲ إن ﷲ ﯾﻘﻮل – ﻟﻦ ﺗﻨﺎل اﻟﺒﺮ ﺣﺘﻰ ﺗﻨﻔﻘﻮا ﻣﻤﺎ: وﻋﻦ اﻧﺲ ان اﺑﺎ ﻃﻠﺤﺔ ﻗﺎل , وإ ﻧﮭﺎ ﺻﺪﻗﺔ ارﺟﻮا ﺑﺮھﺎ وذﺧﺮھﺎ ﻋﻨﺪ ﷲ, ﺗﺤﺒﻮن وان اﺣﺐ اﻣﻮاﻟﻰ اﻟﻰ ﺑﯿﺮﺣﺎء , وﻗﺪ ﺳﻤﻌﺖ, ذﻟﻚ ﻣﺎل راﺑﺢ ﻣﺮﺗﯿﻦ, ﺑﺦ ﺑﺦ: ﻓﻀﻌﮭﺎ ﯾﺎ رﺳﻮل ﷲ ﺣﯿﺚ اراك ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻘﺴﻤﮭﺎ ﻓﻰ اﻗﺎرﺑﮫ, اﻓﻌﻞ ﯾﺎ رﺳﻮل ﷲ: ﻓﻘﺎل اﺑﻮ ﻃﻠﺤﺔ,ارى ان ﺗﺠﻌﻠﮭﺎ ﻓﻰ اﻻﻗﺮﺑﯿﻦ ()ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ
وﺑﻨﻰ ﻋﻤﮫ
Artinya : Dari Anas bahwa Abu Talhah berkata: Ya Rasulullah, Allah berfirman “Kamu sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan sampai kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu sayangi”. Sungguh harta yang paling saya sayangi adalah Bairaha. Saya menjadikannya sedekah Lillahi Ta’ala. Saya mengharapkan kebaikan darinya dan sebagai simpanan saya di sisi Allah SWT, maka gunakanlah ya Rasulullah sebagaimana Allah tunjukkan kepadamu. Rasulullah SAW bersabda; Wah, itu harta yang menguntungkan (Rasulullah 68 69 70
Sayyid Sabiq, Op.cit., hal. 378. Tjek Tanti, Wakaf Ahli Dalam Konsep Fikih Tradisional, (Jurnal Al-Irsyad, t.th), hal. 8. Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Serang: Dar Al-Ulum Press, 1994),
hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
31
menyebut hal itu dua kali) sungguh aku telah mendengar dan aku telah ditunjukkan agar engkau sedekahkan harta itu kepada familimu terdekat. Abu Talhah berkata: Saya akan laksanakan ya Rasulullah. Lalu Abu Talhah pun membagi-bagikan harta itu kepada kerabat-kerabatnya dan sepupu-sepupunya.71
Pada perkembangan selanjutnya wakaf ahli dianggap kurang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum karena sering menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi harta wakaf, lebih-lebih kalau keturunan keluarga tersebut sudah berlangsung sampai pada anak cucu.72 Untuk lebih kongkritnya bisa kita lihat dalam fakta sejarah bahwa di beberapa negara yang mayoritas penduduknya bergama Islam seperti di negara-negara Timur Tengah, wakaf ahli ini setelah berlangsung puluhan tahun lamanya banyak menimbulkan masalah, terutama kalau wakaf keluarga itu berupa tanah pertanian. Maksud semula sama dengan wakaf umum yaitu untuk berbuat baik kepada orang lain dalam rangka pelaksanaan amal kebajikan menurut ajaran Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun kamudian terjadilah penyalahgunaan misalnya menjadikan wakaf keluarga itu sebagai alat untuk menghindari pembagian atau pemecahan harta kekayaan kepada ahli waris yang berhak menerimanya setelah Wakif meninggal dunia. Begitu juga wakaf keluarga ini dijadikan alat untuk mengelakkan tuntutan kreditor terhadap hutang-hutang yang dibuat oleh seseorang, sebelum ia mewakafkan hartanya itu. Oleh karena itu
71 72
Tjek Tanti, Op.cit., hal. 5-6. Suparman Usman, Op.cit., hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
32
di beberapa negara karena penyalahguanan tersebut wakaf keluarga ini kemudian dibatasi bahkan dihapuskan. Pada tahun 1952 wakaf ahli ini dihapuskan di Mesir. Demikian juga di beberapa negara lain seperti Turki, Maroko, Aljazair. Benda wakaf untuk keluarga telah dihapuskan karena pertimbangan dari berbagai segi, benda wakaf yang demikian tidak produktif dan praktek-praktek penyimpangan yang terjadi tidak sesuai dengan ajaran agama lslam.73 2.
Wakaf Khairi Jenis wakaf yang kedua adalah wakaf khairi atau wakaf umum, yaitu wakaf
yang tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu, tetapi kepada obyek kebajikan yang bersifat umum. Kebajikan pada dasarnya berarti taat kepada Allah, bila kebajikan itu dijadikan sebagai syarat dalam tujuan wakaf maka berarti wakaf ini harus ditujukan seperti kepada fakir miskin, yatim piatu, para ulama, atau kepada sesuatu bukan manusia seperti masjid, sekolah, panti asuhan, rumah sakit, jalan, jembatan, dan sebagainya. Semua wakaf yang demikian adalah semata-mata untuk laqarrub/mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa wakaf juga sah sekalipun segi pendekatan diri kepada Allah tidak kelihatan seperti berwakaf kepada orang kaya, kaum dzimmi, dan orang fasik.74 Jumhur ulama termasuk Imam Abu Yusuf mengatakan bahwa apabila penerimaan wakaf tidak tertentu seperti masjid telah hancur, sekolah telah rusak maka otomatis harta wakaf itu menjadi milik fakir miskin sekalipun di dalam akad
73 74
Nazaroeddin Rahmat, Harta Wakaf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), hal. 60. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
33
tidak disebutkan. Ulama madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali sepakat membolehkan apabila penerima wakaf sudah tidak ada lagi maka harta wakaf dikembalikan kepada keluarga terdekat Wakif yang miskin dengan pembagian yang sama antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa sekalipun harta diserahkan kepada keluarga terdekat Wakif yang miskin, namun tidak berarti bahwa fakir miskin yang bukan kerabat Wakif tidak berhak atas harta wakaf tersebut.75 Dalam kenyataannya, wakaf khairi inilah yang merupakan salah satu segi dari cara pemanfaatan harta di jalan Allah. Tentunya bila dilihat dari segi kemanfaatannya wakaf khari ini merupakan salah satu upaya untuk mensejahterakan masyarakat umum demi kepentingan kemanusiaan atau kepentingan umum, tidak hanya keluarga tertentu saja.76 Wakaf khairi inilah yang sejalan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik sebagaimana yang disebutkan di dalam penjelasan angka I umum bahwa: “Dalam Peraturan Pemerintah ini yang diatur hanyalah wakaf sosial (untuk umum) atas tanah milik. Bentuk-bentuk perwakafan lainnya seperti perwakafan keluarga tidak termasuk yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini. Pembatasan ini perlu diadakan untuk menghindari kekaburan masalah perwakafan. Demikian pula mengenai bendanya dibatasi hanya kepada tanah milik. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghindari kekacauan di kemudian hari.
75 76
Departemen Agama RI, Op.cit., hal. 1907. Suparman Usman, Op.cit., hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
34
Dalam Undang-undang Pokok Agraria hanya hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu yang terbatas, sehingga oleh karenanya pemegang hak-hak tersebut tidak mempunyai hak dan kewenangan seperti halnya pemegang hak milik. Berhubung dengan masalah perwakafan tersebut bersifat untuk selamalamanya (abadi), maka hak atas tanah yang jangka waktunya terbatas tidak dapat diwakafkan. 2.
Tata Cara Perwakafan Menurut Pasal 9 ayat (1) sampai dengan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, tata cara perwakafan adalah sebagai berikut : 1. Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan Ikrar Wakaf; 2. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama; 3. Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama; 4. Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf (AIW), dianggap sah, jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi; 5. Dalam melaksanakan ikrar pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) surat-surat berikut: a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya; b. Surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa; c. Surat keterangan Pendaftaran tanah; d. Izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria Setempat.
Universitas Sumatera Utara
35
Tugas Pokok Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) wajib menyelenggarakan daftar Akta Ikrar Wakaf (AIW). Adapun tugas dan kewajiban Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), yaitu:77 1.
Meneliti kehendak Wakif, tanah yang hendak diwakafkan, surat-surat bukti pemilikan, dan syarat-syarat Wakif serta ada tidaknya halangan hukum bagi Wakif untuk melepaskan hak atas tanahnya; 2. Meneliti dan mengesahkan susunan Nadzir begitu pula anggota Nadzir yang baru apabila ada perubahan; 3. Meneliti saksi-saksi Ikrar Wakaf; 4. Menyaksikan pelaksanaan Ikrar wakaf dan ikut menandatangani formulir Ikrar Wakaf bersama-sama dengan saksi-saksi; 5. Membuat Akta Ikrar Wakaf (AIW) rangkap 3 (tiga) dan salinannya sesaat setelah pelaksanaan Ikrar Wakaf; 6. Menyimpan lembar pertama Akta Ikrar Wakaf (AIW), melampirkan lembar kedua pada surat permohonan pendaftaran yang dikirimkan kepada Bupati/Walikota, Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan lembar ketiga dikirim kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah wakaf tersebut; 7. Menyampaikan salinan Akta Ikrar Wakaf (AIW) dan salinannya selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dibuatnya Akta Ikrar wakaf (AIW); 8. Menyampaikan salinan Akta Ikrar Wakaf (AIW) 4 (empat) lembar, lembar pertama kepada Wakif, lembar kedua kepada Nadzir, dan mengirimkan lembar ketiga kepada Kantor Departemen Agama, lembar keempat kepada Kepala Desa yang mewilayahi tanah wakaf tersebut; 9. Menyelenggarakan Daftar Akta Ikrar Wakaf; 10. Menyimpan dan memelihara Akta Ikrar Wakaf (AIW) dan Daftar Akta Ikrar Wakaf yang dibuatnya dengan baik; 11. Mengajukan permohonan atas nama Nadzir yang bersangkutan kepada Kepala kantor Badan Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. 3.
Pendaftaran Wakaf Menurut Pasal 10 ayat (1) sampai dengan ayat (5) Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, tata cara pendaftaran wakaf adalah sebagai berikut: 77
Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria Nasional, (Jakarta: Tatanusa, 2003), hal. 120-121.
Universitas Sumatera Utara
36
1.
2.
3. 4. 5.
Setelah kata Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan (5) Pasal 9, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) atas nama Nadzir yang bersangkutan, diharuskan mengajukan permohonan kepada Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat (1) mencatat perwakafan tanah milik yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya; Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya; Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan yang dimaksud dalam ayat (2) dan (3); Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya seperti dimaksud ayat (2) dan (3), maka Nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.
Di Dalam Petunjuk Teknis Tatacara Pencatatan Harta Benda Wakaf (Petunjuk Teknis bagi Nadzir Wakaf) Oleh. H. Nawawi Nurdin, merupakan salah satu upaya mempermudah pembina Nadzir wakaf untuk memberikan pembinaan terhadap Nadzir Wakaf dalam mendaftarkan wakaf yang dikelolanya sesuai ketentuan yang berlaku. Perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf, didaftarkan dan diumumkan. Dalam pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf. Prosedur pendaftaran harta benda wakaf tidak bergerak ke Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dan ke Badan Pertanahan Nasional. Proses Pencatatan Wakaf Benda Tidak Bergerak adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
37
1.
Prosedur Wakaf Baru a. Perorangan/Organisasi/Badan Hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya (sebagai calon wakif) diharuskan datang sendiri di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan Ikrar Wakaf b. Calon Wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu menyerahkan kepada PPAIW, surat-surat sebagai berikut : 1) Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah; 2) Surat Pernyataan dari Calon Wakif mengenai kebenaran pemilikan tanah dan tidak dalam sengketa diperkuat oleh Kepala Desa/ Lurah dan Camat setempat; 3) Surat Keterangan pendaftaran tanah; 4) Ijin Bupati/Walikota u.b Kantor Pertanahan Kab/Kota setempat, hal ini terutama dalam rangka tata kota atau master plan city. c. PPAIW meneliti surat-surat dan syarat-syarat, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan Nadzir. d. Dihadapan PPAIW dan dua orang saksi, Wakif mengikrarkan atau mengucapkan kehendak wakaf itu kepada Nadzir yang telah disahkan. Ikrar wakaf tersebut diucapkan dengan jelas, tegas dan dituangkan dalam bentuk tertulis (bentuk W.1). Sedangkan bagi yang tidak bisa mengucapkan (misalnya bisu) maka dapat menyatakan kehendaknya dengan suatu isyarat dan kemudian mengisi blanko W.1.
Universitas Sumatera Utara
38
Apabila Wakif itu sendiri tidak dapat menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), maka Wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf dan kemudian surat atau naskah tersebut dibacakan dihadapan Nadzir setelah mendapat persetujuan dari Kandepag. Selanjutnya penandatanganan Ikrar Wakaf (bentuk W.1). e. PPAIW membuat Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.2) rangkap tiga dengan dibubuhi materai menurut ketentuan yang berlaku dan selanjutnya dibuatkan Salinan Akta Ikrar Wakaf (W.2.a) rangkap 4 (empat). selambat-lambatnya satu bulan setelah dibuat Akta Ikrar Wakaf dikirim tiap-tiap lembar ke BPN dan lainnya,dengan pengaturan pendistribusiannya sebagai berikut: 1) Akta Ikrar Wakaf a)
Lembar pertama disimpan PPAIW
b) Lembar kedua sebagai lampiran surat permohonan pendaftaran tanah wakaf ke Kantor Pertanahan Kab/Kota (W.7) c)
Lembar ketiga untuk Pengadilan Agama setempat
2) Salinan Akta Ikrar Wakaf : a)
Lembar pertama untuk Wakif
b) Lembar kedua untuk Nadzir c)
Lembar ketiga untuk Kandep. Agama Kabupatan/Kota
d) Lembar keempat untuk Kepala Desa/ Lurah setempat.
Universitas Sumatera Utara
39
f. Setelah pembuatan Akta, PPAIW mencatat dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.4) dan menyimpannya bersama aktanya dengan baik. 2.
Prosedur Pendaftaran Wakaf Lama a. Wakif / ahli waris Wakif / Nadzir / Masyarakat yang mengetahui keberadaan tanah wakaf / Kepala Desa setempat mendaftarkan wakaf tanah kepada Kepala KUA setempat selaku Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). b. Pendaftar wakaf tersebut menyerahkan surat-surat kepada PPAIW, sebagai berikut : 1) Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah; 2) Surat Keterangan Pendaftaran Wakaf Tanah lama (blangko model WD) 3) Surat keterangan Kades/Lurah tentang keberadan tanah wakaf (WK). 4) Surat Keterangan Kepala Desa/Lurah diperkuat oleh Camat setempat mengenai kebenaran pemilikan tanah dan tidak dalam sengketa; 5) Ijin Bupati/Walikota u.b Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, hal ini terutama dalam rangka tata kota atau master plan city. c. PPAIW meneliti surat-surat dan syarat-syarat, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk didaftarkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan Nadzir. d. Jika Wakif masih hidup dapat dilakukan ikrar kembali wakaf tersebut dihadapan PPAIW dan dua orang saksi, Wakif mengikrarkan atau mengucapkan kehendak wakaf itu kepada Nadzir yang telah disahkan. Ikrar wakaf tersebut diucapkan dengan jelas, tegas dan dituangkan dalam bentuk
Universitas Sumatera Utara
40
tertulis (bentuk W.1). Sedangkan bagi yang tidak bisa mengucapkan (misalnya bisu) maka dapat menyatakan kehendaknya dengan suatu isyarat dan kemudian mengisi blanko W.1. Apabila Wakif itu sendiri tidak dapat menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), maka Wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf dan kemudian surat atau naskah tersebut dibacakan dihadapan Nadzir setelah mendapat persetujuan dari Kandepag. Selanjutnya penandatanganan Ikrar Wakaf (bentuk W.1). Selanjutnya dibuatkan Akta Ikrar Wakaf (W2) dan Salinan Akta Ikrar Wakaf (W2a) sesuai prosedur wakaf baru. e. Dalam hal pendaftaran wakaf yang Wakif sudah tiada, maka selanjutnya PPAIW membuat Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.3) rangkap tiga dengan dibubuhi materi menurut ketentuan yang berlaku dan selanjutnya dibuatkan Salinan Akta pengganti Akta Ikrar Wakaf (W.3.a) rangkap 4 (empat). selambat-lambatnya satu bulan setelah dibuat Akta Ikrar Wakaf dikirim tiap-tiap lembar ke BPN dan lainnya, dengan pengaturan pendistribusiannya sebagai berikut: 1) Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (W3) a)
Lembar pertama disimpan PPAIW
b) Lembar kedua sebagai lampiran surat permohonan pendaftaran tanah wakaf ke Kantor Pertanahan Kab/Kota (W.7) c)
Lembar ketiga untuk Pengadilan Agama setempat
2) Salinan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (W3a):
Universitas Sumatera Utara
41
a)
Lembar pertama untuk Wakif
b) Lembar kedua untuk Nadzir c)
Lembar ketiga untuk Kandep. Agama Kabupatan/Kota
d) Lembar keempat untuk Kepala Desa/ Lurah setempat. f.
Setelah pembuatan Akta, PPAIW mencatat dalam Daftar Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (W.4a) dan menyimpannya bersama aktanya dengan baik.
3.
Prosedur Pendaftaran wakaf ke BPN a. Kepala KUA Kecamatan setempat atas nama Nadzir Wakaf mendaftarkan wakaf ke BPN dengan mengisi Blangko W.7 dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: 1) Sertifikat Hak Atas Tanah (bagi yang sudah sertifikat), atau surat-surat pemilikan tanah (termasuk surat pemindahan hak, surat keterangan warisan, girik dll) bagi tanah hak milik yang belum bersertifikat. 2) Surat Keterangan dari Lurah setempat yang diketahui Camat bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa. 3) W.5 atau W.5.a. 4) Akta Ikrar Wakaf atau Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (asli lembar kedua) 5) Foto Copy KTP Wakif apabila masih hidup. 6) Foto Copy KTP para Nadzir. 7) Menyerahkan Materai bernilai Rp. 6.000 (enam ribu rupiah)
Universitas Sumatera Utara
42
b. Proses Sertifikasi Tanah Wakaf 1) Pihak Kantor Pertanahan Kab/Kota menerima berkas persyaratan untuk proses
sertifikasi
tanah
wakaf,
kemudian
meneliti
kelengkapan
persyaratan administrasi. 2) Pihak Kantor Pertanahan melakukan pengukuran tanah wakaf untuk dibuatkan Gambar Situasi Tanah. 3) Pihak BPN mencatat wakaf dalam Buku Tanah 4) Selanjutnya memproses dan menerbitkan sertifikat tanah. B. Kepastian Hukum Terhadap Pengingkaran Wakaf Atas Tanah Yang Sudah Diwakafkan Secara Lisan 1.
Dasar Hukum Wakaf Dalam Islam Berbicara mengenai dalil atau dasar hukum tentang wakaf memang tidak ada
nash Al-Qur’an yang secara tersurat di temui di dalam Al-Qur’an. Hal ini bisa diteliti dari tidak adanya satupun ayat di dalam Al-Qur’an yang menyinggung kata “wakaf” Karena dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf
bersumber dari
pemahaman teks ayat Al-Qur’an dan juga As-Sunnah.78 Para ulama sepakat bahwa wakaf merupakan salah satu bentuk amal kebajikan dalam ajaran Islam. Wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah SWT. Melalui harta benda miliknya yaitu dengan melepaskan benda tersebut guna kepentingan umum atau masyarakat.79
78 79
Departemen Agama RI, Op.cit., hal. 59. Suparman Usman, Op.cit, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
43
Adapun pun yang menjadi dasar hukum wakaf adalah sebagai berikut: a. Al-Qur'an Sekalipun tidak jelas dan tegas wakaf disebutkan dalam Al-Qur’an namun beberapa ayat memerintahkan kepada manusia berbuat baik untuk kebaikan masyarakat dipandang oleh para ahli sebagai landasan perwakafan.80 Sedangkan pendasaran ajaran wakaf dengan dalil yang menjadi dasar utama disyariatkannya ajaran ini adalah lebih dipahami berdasarkan konteks ayat Al-Qur’an, sebagai sebuah amal kebajikan.81 Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan wakaf antara lain firman Allah SWT dalam:82 1.
Surat Ali Imran ayat 92:
(٣:٩٢/)اَل ﻋﻤﺮان
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahui-Nya”. Kata (al-birr) pada mulanya adalah keluasan dalam kebajikan. Dan dari akar kata yang sama daratan dinamai dengan al-barr, karena luasnya. Dan karena luasnya, kebajikan mencakup segala bidang, termasuk keyakinan yang benar, niat yang tulus, kegiatan badaniah, dan tentu saja termasuk
hal. 80.
80
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press, 1988),
81
Ibid., hal. 60. M. Hasballah Thaib, Op.cit., hal. 2.
82
Universitas Sumatera Utara
44
menginfakkan harta di jalan Allah SWT sebagaimana dikuatkan dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 177.83 Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang contoh kebajikan sempurna antara lain berupa kesediaan memberikan/ mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain. Dimana seseorang tidak akan sampai pada kebaikan amal dari Allah SWT dengan memperoleh rahmat, karunia dan ridhoNya sebelum memberikan harta yang terbaik dan yang paling ia cintai yaitu dengan jalan mewakafkan sebagian harta yang dimilikinya kepada mereka yang membutuhkan.84 2.
Surat Al-Baqarah ayat 261 dan 267 sebagai berikut:
(٢٦١ :٢/ )اﻟﺒﻘﺮ ة
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim”.
(٢:٢٦٧/ )اﻟﺒﻘﺮة
83
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 152. 84 Syekh Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Bandung: CV Rosda Karya, 1987) juz 3, hal. 275.
Universitas Sumatera Utara
45
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. 3.
Surat Al-Hajj ayat 77 :
(٧٧ :٢٢ / )اﻟﺤﺦ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. 4.
Surat An-Nahl ayat 97 :
(١٦:٩٧/ )اﻟﻨﺤﻞ
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. b. Al-Hadist Para Ulama menilai bahwa wakaf itu termasuk kategori sedekah jariyah yang nilai pahalanya senantiasa mengalir selagi manfaatnya bisa dipetik.
Universitas Sumatera Utara
46
Dalam konteks inilah maka para fukaha mengemukakan hadis Nabi Muhammad SAW yang berbicara tentang keutamaan sedekah jariyah sebagai salah satu sandaran wakaf.85 1.
Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah:
َ أَنﱠ رَﺳُﻮْلَ اﻟﻠِﮫ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢ,ُوَﻋَﻦْ اَﺑِﻰ ھُﺮَﯾْﺮَةَ رَﺿِﻰَ اﷲُ ﺗَﻌَﺎﻟﻰ ﻋَﻨْﮫ ٍ اَوْﻋِﻠْﻢ،ٍ ﺟَﺎرِﯾَﺔ،ٍ ﺻَﺪَﻗَﺔ:ٍ اِذَا ﻣَﺎتَ اﺑْﻦُ اَدَمَ اِﻧْﻘَﻄَﻊَ ﻋَﻨْﮫُ ﻋَﻤَﻠُﮫُ اِﻻﱠ ﻣِﻦْ ﺛَﻠَﺎث:َﻗَﺎل ()رَوَاهُ ﻣُﺴْﻠِﻢ
ُ أَوْوَﻟِﺪٍ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﯾَﺪْﻋُﻮْﻟَﮫ. ُِﯾﻨْﺘَﻔَﻊُ ﺑِﮫ
Artinya: Dari Abu Hurairah ra.bahwasanya Rasullullah SAW bersabda: Apabila ada orang meninggal dunia, selesailah amalnya, kecuali tiga: shadakah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang mendoakanya. (RiwayatMuslim).86 Selain hadist diatas ada hadist yang secara tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi Muhammad SAW kepada Umar bin Khattab untuk mewakafkan tanahnya yang berada di Khaibar.87 2.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Umar :
85
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Grafindo Persada, 1993), Cet. Pertama, hal. 104. Terjemahan lengkap Hadis Bulughul Marham, terj. oleh: Mahlus Ali, (Surabaya: Balai Buku, t. th). hal. 393. 87 Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006), hal. 19 86
Universitas Sumatera Utara
47
Dalam penjelasan sejarah Islam, orang yang pertama sekali melakukan wakaf adalah Umar bin Khalah. Hal ini diterangkan oleh sebuah hadist yang diriwayatkan dari Ibn Umar:88
: ﻓَﺄﺗَﻰ اﻟﻨﱠﺒِﻰَ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ.َاَﺻَﺎبَ أَرْﺿًﺎ ﺑِﺨَﯿْﺒَﺮ: ِأَنﱠ ﻋُﻤَﺮَ ﺑْﻦِ اﻟْﺨَﻄﱠﺎب َ ﯾَﺎرَﺳُﻮْلُ اﷲِ اإِﻧّﻰِ اَﺻَﺒْﺖُ أَرْﺿًﺎﺑِﺨَﯿْﺒَﺮَﻟَﻢْ اُﺻِﺐْ ﻣﺎَﻟًﺎ ﻗَﻂُ أَﻧْﻔَﺲ:َﯾَﺴْﺘَﺄْﻣِﺮْه ﻓِﯿْﮭَﺎ ﻓَﻘَﺎل ﻓَﺘَﺼَﺪﱠ قَ ﺑِﮭَﺎ:َ إِنْ ﺷِﺌْﺖَ ﺣَﺒَﺴَﺖَ اَﺻْﻠَﮭَﺎ وَﺗَﺼَﺪَ ﻗْﺖَ ﺑِﮭَﺎ ﻗَﺎل:ﻋِﻨْﺪِى ﻣِﻨْﮫُ ﻓَﺘﺄْ ﻣُﺮُ ﺑِﮫِ ﻓَﻘﺎل ِ وَﻓِﻰ اﻟﻘُﺮْ ﺑﻰ وَﻓِﻰ ﺳَﺒِﯿْﻞ.ِﻋُﻤَﺮَاِﻧﱠﮫُ ﻟَﺎﯾَﺒْﺎعُ وَﻟَﺎﯾُﻮْھَﺐُ وَﻟَﺎﯾُﻮْرَثُ وَﺗَﺼَﺪﱠقَ ﺑِﮭَﺎ ﻓِﻰ اْﻟﻔُﻘَﺮَاء َاﷲِ وَاﺑْﻦِ اﻟﺴﱠﺒِﯿْﻞِ وَاﻟﻀﱠﯿْﻒِ وَﻟَﺎﺟُﻨﺎَحَ ﻋَﻠﻰَ ﻣَﻦَ وَﻟِﯿَﮭَﺎ أَنْ ﯾَﺄْﻛُﻞَ ﻣِﻨْﮭَﺎﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮوْفٍ وَﯾُﻄْﻌِﻢ ()رواه ﻣﺴﻠﻢ واﻟﺪارﻗﻄﻨﻰ
.ٍﻏَﯿْﺮَ ﻣُﺘَﻤَﻮَّل
Artinya: “Ibnu bin Khattab mendapat bagian sebidang kebun di Khaibar, ia lalu menghadap kepada Rasulullah untuk minta petunjuk penggunaan harta tersebut. “Ya, Rasulullah”, katanya “sesungguhnya aku telah mendapat sebidang tanah di Khaibar yang hal semacam ini belum pernah aku terima. Apa nasehatmu kepadaku tentang tanah itu?. Rasulullah Saw menjawab: Jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu dan besedekahlah dengan hasilnya”. Ibn Umar berkata: Umar lalu mewakafkan tanah itu dalam arti bahwa tanah tersebut tidak boleh lagi dijual, dihibahkan dan diwariskan. Ia menyedekahkan hasil harta itu kepada orang fakir, kepada kerabat, untuk memerdekakan budak, pada jalan Allah, untuk orang yang terlantar dan para tamu. Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya memakan sebagian harta itu secara patut atau memberi makan dengan harta itu asal tidak bermaksud mencari kekayaan”. (H.R. Muslim). 3.
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa bahwa Rasulullah SAW, bersabda: Artinya: “Barang siapa bersedekah seekor kuda di jalan Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka makanannya, tahinya dan
88
Helmi Karim, Op.cit., hal. 106-108.
Universitas Sumatera Utara
48
kencingnya itu menjadi amal kebaikan pada timbangan di hari kiamat”.89 4.
Hadits yang diriwayatkan dari Anaas: Artinya: Ta’kala turun ayat lan tanalu al-birr, Abu Thalha lalu berkata kepada Rasullullah. “Ya Rasullullah” Allah tabarak wa ta’ala berfirman lan tanalu al-birr. Sesungguhnya hartaku yang paling aku cintai ialah kebun bairuha” dan sesungguhnya harta itu aku sedekahkan kepada jalan Allah dan aku berharap harta itu sebagai buktiku disisi-Nya aku serahkan kepada engkau ya Rasullullah untuk menggunakannya”. Rasullullah bersabda “Alangkah besar labanya, itulah harta yang berlaba. Aku telah mendengar ucapanmu, dan upaya harta itu engkau berikan kepada karib kerabatmu”. Abu Talhan berkata “Aku akan lakukan ya Rasullullah”. Lalu Abu Talhan membagibagikan harta tersebut kepada kerabat dan saudara sepupunya.90 Mengenai hukum wakaf ini, para sahabat sepakat bahwa hukum wakaf sangat dianjurkan dalam Islam dan tidak satu-pun diantara para sahabat yang menafikan wakaf. Sedangkan mengenai hukum wakaf menurut shahibul mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal) tidak terdapat perbedaan yang signifikan.91 Semua Imam mazhab sependapat, bahwa perbuatan mewakafkan benda, yaitu menyedekahkan manfaat dari harta yang diwakafkan itu merupakan amal saleh yang institusinya terdapat dalam syariat islam. Mereka sependapat bahwa perbuatan itu mempunyai efek keagamaan,
89
M. Hasballah Thaib, Op.cit., hal. 4-5. Ibid., hal. 3-4. 91 Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit., hal. 35. 90
Universitas Sumatera Utara
49
yaitu pahala yang terus menerus selama benda yang diwakafkan itu masih diambil manfaatnya (sebagai amal jariah).92 2.
Fungsi Ikrar Dalam Berwakaf Salah satu unsur penting dalam perwakafan adalah “Ikrar Wakaf”. Ikrar wakaf
merupakan
pernyataan
dari
orang
yang
berwakaf
(Wakif)
kepada
pengelola/manajemen wakaf (Nazhir) tentang kehendaknya untuk mewakafkan harta yang dimilikinya guna kepentingan/tujuan tertentu.93 Perwakafan tanpa ikrar wakaf tentunya akan mengakibatkan tidak terpenuhinya unsur perwakafan. Kalau unsur perwakafan tidak terpenuhi, maka secara hukum otomatis perwakafan tersebut dapat dikatakan tidak pernah ada. Untuk membuktikan adanya ikrar wakaf, adalah dengan cara menuangkan ikrar wakaf tersebut kedalam Akta Ikrar Wakaf (AIW) yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).94 Untuk meminimalisir persoalan-persoalan yang mungkin timbul terhadap harta wakaf dikemudian hari, maka peraturan perundangan mencantumkan ikrar wakaf merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi pada saat perwakafan dilangsungkan di depan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf.95
92
Ismail Muhammad Syah et. al, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara dan Direktorat Jenderal pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag, 1992), hal. 241 93 Suhrawardi K Lubis, Perlunya Ikrar Wakaf Dalam Perwakafan, http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3602:perlunya-ikrarwakaf-dalam-perwakafan-&catid=59:opini&Itemid=215, diakses tanggal 25 juni 2015 94 Ibid. 95 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
50
Pernyataan Wakif yang merupakan tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan itu, dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan. Perbuatan mewakafkan dipandang sebagai perbuatan hukum sepihak, maka dengan pernyataan Wakif yang merupakan Ijab, perwakafan telah terjadi. Pernyataan qabul dari mauquf ‘alaih yakni orang-orang yang berhak menikmati hasil wakaf itu tidak diperlukan. Dalam wakaf hanya ada ijab tanpa qabul.96 Pernyataan wakaf dapat dikemukakan dengan tulisan, lisan atau dengan suatu isyarat yang dapat dipahami maksudnya. Pernyataan dengan tulisan atau lisan dapat dipergunakan menyatakan wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara isyarat hanya bagi orang yang tidak dapat mempergunakan dengan cara tulisan atau lisan. Tentu saja pernyataan dengan isyarat tersebut harus sampai benar-benar dimengerti pihak penerima wakaf agar dapat menghindari persengketaan di kemudian hari.97 Dikalangan ulama fikih terdapat perbedaan pendapat dalam memandang status
harta wakaf. Menurut Imam Syafi’i, wakaf adalah suatu ibadah yang disyari’atkan, wakaf telah berlaku sah bilamana Wakif telah menyatakan dengan perkataan waqaftu (telah saya wakafkan), sekalipun tanpa diputuskan hakim. Harta yang telah diwakafkan menyebabkan Wakif tidak mempunyai hak kepemilikan lagi, sebab kepemilikannya telah berpindah kepada Allah SWT dan tidak juga menjadi milik penerima wakaf, akan tetapi Wakif boleh mengambil manfaatnya.98
96
Muhammad Daud Ali, Op.cit., hal. 87. Abdul Ghafur Anshari, Hukum dan Praktik Perwakafan Di Indonesia, (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005), Cet. Ke-1, hal. 28. 98 Ibid., hal. 33. 97
Universitas Sumatera Utara
51
Bagi ulama Syafi’iyah, wakaf itu mengikat dan karenanya tidak bisa ditarik kembali atau diperjualbelikan, digadaikan, dan diwariskan oleh Wakif. Pendapat ini sejalan dengan ulama Hanabilah.99 Untuk sahnya suatu wakaf diperlukan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Wakaf harus dilakukan secara tunai, tanpa digantungkan kepada akan terjadinya sesuatu peristiwa di masa yang akan datang, sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik seketika setelah Wakif menyatakan berwakaf. Selain itu berwakaf dapat diartikan memindahkan hak milik pada waktu terjadi wakaf itu. 2. Tujuan wakaf harus jelas, maksudnya hendaklah wakaf itu disebutkan dengan terang kepada siapa diwakafkan. Apabila seseorang mewakafkan harta miliknya tanpa menyebutkan tujuan sama sekali, maka wakaf dipandang tidak sah. 3. Wakaf merupakan hal yang harus dilaksanakan tanpa syarat boleh khiyar. Artinya tidak boleh membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan sebab pernyataan wakaf berlaku tunai dan untuk selamanya. 100 Tentang Ikrar wakaf (siqhat wakaf) ini, merupakan rukun wakaf yang disepakati oleh jumhur Fuqaha. Tanpa adanya ikrar wakaf, para fuqaha mengganggap wakaf belum sempurna dilaksanakan. Yang dimaksud dengan dengan ikrar wakaf adalah pernyataan yang merupakaan penyerahan barang-barang wakaf kepada Nazhir untuk dikelola sebagimana yang diharapkan oleh pemberi wakaf.101 a.
Ikrar Wakaf Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Di dalam BAB I ketentuan umum Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, ikrar wakaf adalah pernyataan
99
Ibid., hal. 33-34. Ibid., hal. 30-31. 101 Abdul Manan, Op.cit., hal. 241. 100
Universitas Sumatera Utara
52
kehendak Wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Mengenai ikrar wakaf diatur dalam bagian ketujuh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 17 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa: (1)Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nazhir dihadapan PPAIW dengan disaksikan oleh dua orang saksi (2)Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 18 menyebutkan: Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi. Ikrar wakaf yang dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf oleh PPAIW mengandung arti bahwa pelaksanaan ikrar wakaf dianggap tidak sah kalau tidak dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Konsekuensinya adalah perwakafan yang
Universitas Sumatera Utara
53
dilakukan tanpa dihadiri dan disaksikan oleh dua orang saksi, harus dipandang tidak memenuhi syarat dan karenanya tidak sah dan tidak pula dilindungi oleh hukum. 102 Bila seorang Wakif tidak mampu menyatakan ikrarnya secara lisan, karena ia bisu misalnya, ia dapat menyatakan ikrar itu dengan isyarat. Bila Wakif tidak dapat hadir dalam upacara ikrar wakaf, ikrarnya itu dapat dibuat secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama setempat dan dibacakan kepada Nadzir di hadapan PPAIW dan saksi-saksi. 103 Kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 19 menyebutkan: Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, Wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW. Selanjutnya diatur di dalam Pasal 21 ayat (1) yang menyebutkan: Ikrar wakaf dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf. b. Ikrar Wakaf Dalam Fiqih Islam Ikrar dalam bahasa fikih dikenal dengan shighat, yaitu segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya.104 Dikalangan ulama fikih terdapat perbedaan pendapat dalam memandang status harta wakaf. Menurut Imam Syafi’i, wakaf adalah suatu ibadah yang disyari’atkan, wakaf telah berlaku sah bilamana Wakif telah menyatakan dengan perkataan waqaftu (telah saya wakafkan), sekalipun tanpa diputuskan hakim. Harta yang telah 102
Muhammad Daud Ali, Op.cit., hal. 110. Ibid., hal. 109. 104 Suparman Usman, Op.cit., hal. 27.
103
Universitas Sumatera Utara
54
diwakafkan menyebabkan Wakif tidak mempunyai hak kepemilikan lagi, sebab kepemilikannya telah berpindah kepada Allah SWT dan tidak juga menjadi milik penerima wakaf, akan tetapi Wakif boleh mengambil manfaatnya.105 Di dalam fiqih Islam dalam melakukan wakaf tidaklah sulit. Prosedur yang dilakukan sederhana, yaitu si Wakif menyatakan ikrar wakaf kepada Nadzir dengan disaksikan minimal oleh 2 orang saksi yang adil. Ikrar wakaf itu bisa dilakukan hanya dengan secara lisan. Apabila wakaf telah dilakukan dengan ketentuan rukun dan syarat wakaf, maka wakaf itu telah menjadi sah. Akibat hukumnya benda wakaf akan beralih fungsinya milik Allah SWT. Pernyataan Wakif yang merupakan tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan itu, dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan. Perbuatan mewakafkan dipandang sebagai perbuatan hukum sepihak, maka dengan pernyataan Wakif yang merupakan Ijab, perwakafan telah terjadi. Pernyataan qabul dari mauquf ‘alaih yakni orang-orang yang berhak menikmati hasil wakaf itu tidak diperlukan. Dalam wakaf hanya ada ijab tanpa qabul.106 Pernyataan Wakif harus jelas, yakni:107 a. Melepaskan haknya atas pemilikan benda yang diwakafkan, b. Menentukan peruntukan benda itu apakah khusus untuk kepentingan orangorang tertentu ataukah umum untuk kepentingan masyarakat.
105
Abdul Ghofur Anshori, Op.cit., hal. 33. Muhammad Daud Ali, Op.cit., hal. 87. 107 Ibid. 106
Universitas Sumatera Utara
55
Pelaksanaan wakaf dilakukan dengan cara seseorang yang hendak mewakafkan tanahnya memberitahukan kehendaknya itu pada kiai atau orang yang dipercayainya. Wakif bersama dengan kiai atau orang yang dipercayai itu dan beberapa orang saksi pergi ke Kepala Desa pada waktu yang ditentukan. Di depan Kepala Desa, Wakif mengulangi apa yang telah diucapkannya kepada kiai sebelumnya yakni menyatakan maksudnya untuk mewakafkan tanahnya. Pada waktu itu pula kepala desa mencatat tanah wakaf itu dalam buku catatan desa. Tetapi adakalanya juga, calon Wakif mengundang kiai atau imam mesjid dan beberapa warga desa serta lurah ke rumahnya sendiri. Di rumahnya itu Wakif mengikrarkan di depan mereka bahwa ia mewakafkan tanah atau sawahnya. Setelah pengikraran itu, terjadilah perwakafan tanah. Lurah sering tidak mencatat wakaf seperti ini, karena ia di sana bertindak sebagai saksi. Kalaupun ia mencatatnya, sering arsipnya tidak terpelihara dengan baik.108 3.
Kepastian Hukum Terhadap Pengingkaran Wakaf Atas Tanah Yang Sudah Di Wakafkan Secara Lisan Dalam praktek perwakafan sehari-hari, banyak persoalan perwakafan yang
timbul. Penyebab timbulnya persoalan ini antara lain karena ikrar wakaf tidak memenuhi ketentuan sebagaimana mestinya. Pewakaf mewakafkan hartanya hanya dengan lisan saja kepada Nazhir (biasanya seorang guru agama atau tokoh agama), bahkan terkadang tanpa ada saksi sama sekali.109
108 109
Ibid., hal. 108. Suhrawardi K Lubis, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
56
Akibatnya, setelah pewakaf dan/atau Nazhir meninggal dunia sering terjadi persoalan. Antara lain terjadinya sengketa antara Nazhir dengan keluarga atau ahli waris pewakaf. Atau sebaliknya Nazhir meninggal dunia, kemudian harta wakaf dikuasai oleh keluarga atau ahli waris Nazhir. Akhirnya banyak terjadi harta wakaf yang tidak jelas status dan keberadaannya lagi.110 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf menyebutkan wakaf sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian dari harta benda yang dimiliki untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum (kemashlahatan umat) menurut syariat Islam. Sempurna atau tidaknya wakaf sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada dalam perbuatan wakaf. Masing-masing unsur harus saling menopang satu dengan lainnya. Keberadaan yang satu sangat menentukan keberadaan yang lainnya. Adapun unsur-unsur atau rukun wakaf menurut sebagian besar ulama (Mahzab Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah dan Hanabilah).111 Hal ini sejalan dengan Unsur-unsur wakaf menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf diantaranya adalah harus memenuhi: 1. Ada orang yang berwakaf (Wakif) Orang yang mewakafkan hartanya, dalam istilah Islam disebut Wakif. Seorang Wakif haruslah memenuhi syarat untuk mewakafkan hartanya, diantaranya adalah kecakapan bertindak, telah dapat mempertimbangkan baik buruknya
110 111
Ibid. Abdul Ghofur Anshori, Op.cit., hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
57
perbuatan yang dilakukannya dan benar-benar pemilik harta yang diwakafkan itu. Mengenai kecakapan bertindak dalam hukum fiqih Islam ada dua istilah yang perlu dipahami perbedaanya yaitu baligh dan rasyid. Pengertian baligh menitikberatkan pada usia, sedangkan rasyid pada kematangan pertimbangan akal. Untuk kecakapan bertindak melakukan wakaf diperlukan kematangan pertimbangan akal seseorang (rasyid), yang dianggap telah ada pada remaja berumur antara 15 sampai 23 tahun.112 2. Ada harta yang diwakafkan (Mauquf) Barang yang dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama dipergunakan dan hak milik Wakif murni. Harta wakaf dapat berupa benda tetap maupun benda bergerak. Dalam hal barang wakaf adalah tanah, maka harus berstatus hak milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara. Dasar pertimbangannya adalah karena wakaf itu bersifat suci dan abadi, maka selain tanah itu berstatus hak milik juga harus bersih dari perselisihan, tanggungan, beban dan persengketaan.113 Barang atau benda yang diwakafkan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. 2. 3.
Harus tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama, tidak habis sekali pakai. Pemanfaatan itu haruslah untuk hal-hal yang berguna, halal dan sah menurut hukum. Harta yang diwakafkan itu haruslah jelas wujudnya dan pasti batasbatasnya. Benda itu harus benar-benar kepunyaan wakif dan bebas dari segala beban.
112
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf,Ijarah, dan Syirkah, (Jakarta: AlMa’arif, 1977), hal. 10. 113 Abdul Ghofur Anshori, Op.cit., hal. 26-27.
Universitas Sumatera Utara
58
4.
Harta yang diwakafkan itu dapat berupa benda, dapat juga berupa benda bergerak seperti buku-buku, saham, surat berharga, dan sebagainya.114
3. Ada tempat ke mana diwakafkan harta itu/ tujuan wakaf (Mauquf’alaih) Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah, termasuk dalam kategori ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya merupakan hal-hal yang dibolehkan atau mubah menurut nilai hukum Islam. Apabila ditujukan kepada kelompok orang-orang tertentu, harus disebutkan nama atau sifat maukuf’alaih secara jelas agar harta wakaf segera dapat diterima setelah wakaf diikrarkan. Demikian juga apabila diperlukan organisasi (badan hukum) yang menerima harta wakaf dengan tujuan membangun tempat-tempat ibadah umum.115 Tujuan wakaf harus jelas, misalnya: 1. Untuk kepentingan umum, seperti mendirikan masjid, sekolah, rumah sakit dan amal-amal sosial lainnya. 2. Untuk menolong fakir miskin, orang-orang terlantar dengan jalan membangun panti asuhan 3. Untuk keperluan anggota keluarga sendiri, walaupun misalnya anggota keluarga itu terdiri dari orang-orang yang mampu, namun yang lebih baik adalah kalau tujuan wakaf itu jelas diperuntukkan bagi kepentingan umum, kemaslahan masyarakat. 4. Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah. Tujuan wakaf itu harus dapat dimasukkan ke dalam kategori ibadah pada umumnya. 116 4. Ada akad/pernyataan wakaf
114
Muhammad Daud Ali, Op.cit., hal. 86. Abdul Ghofur Anshori, Op.cit., hal. 27. 116 Muhammad Daud Ali, Op.cit., hal. 86.
115
Universitas Sumatera Utara
59
Pernyataan wakaf dapat dikemukakan dengan tulisan, lisan atau dengan suatu isyarat yang dapat dipahami maksudnya. Pernyataan dengan tulisan atau lisan dapat dipergunakan menyatakan wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara isyarat hanya bagi orang yang tidak dapat mempergunakan dengan cara tulisan atau lisan. Tentu saja pernyataan dengan isyarat tersebut harus sampai benar-benar dimengerti pihak penerima wakaf agar dapat menghindari persengketaan di kemudian hari.117 5. Ada pengelola wakaf (Nazhir) Pengelola wakaf adalah orang, organisasi atau badan hukum yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sebaikbaiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya. Siapapun dapat menjadi Nazhir asalkan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Bila Nazhir itu adalah perorangan, maka harus memenuhi syarat antara lain beragama Islam, dewasa, dapat dipercaya (amanah) serta mampu secara jasmani dan rohani untuk menyelenggarakan segala urusan yang berkaitan dengan harta wakaf.118 6. Ada jangka waktu Mengenai
syarat
jangka
waktu
masih
banyak
kalangan
yang
mempertentangkan. Pendapat pertama menyatakan bahwa wakaf haruslah bersifat permanen dan merupakan pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama. Bahwa wakaf harus diberikan untuk selamanya (permanen) dan harus
117 118
Abdul Ghofur Anshori, Op.cit., hal. 28. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
60
disertakan statemen yang jelas untuk itu. Pendapat kedua menyatakan bahwa wakaf boleh bersifat sementara dan sah baik dalam jangka waktu yang panjang maupun pendek.119 Karena wakaf itu tujuannya untuk mengambil manfaat atau memetik hasil dan mawqitf, sudah tentu pihak yang mewakafkan hartanya dinilai sebagai orang yang paling berkuasa untuk mengurus dan mengelolanya. Waqif berhak menunjuk penggantinya untuk mengelola harta tersebut, bila ia mau. Kalau orang yang berwakaf itu wafat, hakim menunjuk ahli warisnya sebagai pengelola harta wakaf.120 Kaitannya dengan hal diatas adalah dalam hukum Islam wakaf dianggap sah apabila telah dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan. Selain itu tidak dikenal pula istilah pendaftaran dan sertifikat mengenai tanah wakaf yang ditemukan dalam literatur fikih. Selain itu dalam hukum Islam tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan adanya pencatatan dan pendaftaran tanah wakaf. Makanya tak heran jika umat Islam khususnya umat Islam di Indonesia dalam melakukan praktek wakaf ini hanya berdasarkan tradisi lisan, yaitu asas saling kepercayaan antara Wakif dan Nazhir. Pemahaman muslim Indonesia saat itu yang mendasarkan praktek wakaf hanya dengan tradisi lisan karena menganggap ketika tanah sudah
119 120
Ibid., hal. 28-29. Ibid., hal. 112-113.
Universitas Sumatera Utara
61
diwakafkan berarti sudah dianggap sebagai milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah.121 Bolehkah harta yang sudah diwakafkan ditarik kembali setelah ikrar wakaf dilakukan? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, yaitu ada yang mengatakan boleh dan ada yang mengatakan tidak membolehkan. Pada persoalan ini harus diakui bahwa tidak ada suatu dalil yang tegas yang menerangkannya.122 Ada pendapat yang mengatakan bahwa benda yang sudah diwakafkan itu tetap sebagai hak milik yang mewakafkan, kendatipun ikrar wakaf sudah diucapkan, sebagaimana kesimpulan dari pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Disamping itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa harta yang telah diwakafkan sudah keluar dari hak milik si Wakif, sebagaimana pandangan Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Abu Hanifah mengakui bahwa pada mula adanya wakaf memang ikrar wakaf itu menghilangkan hak milik. Akan tetapi, praktek seperti itu tidak berlaku lagi setelah turunnya ayatayat yang mengatur bagian warisan. Hal ini, kata Abu Hanifah, didasarkan sabda Rasullullah yang diriwayatkan oleh Baihaki sebagai berikut:123
ِﻟَﺎ ﺣَﺒﱠﺲَ ﺑَﻌْﺪَ ﺳُﻮْرَةِ اﻟﻨّﺴَﺂء Artinya: “Tidak ada wakaf setelah turunnya surat al-Nisa’ (yang mengatur warisan)”. 121
Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006), hal. 97. 122 Helmi Karim, Op.cit., hal. 110. 123 Ibid., hal. 110-111.
Universitas Sumatera Utara
62
Dari pemahaman tersebut, Abu Hanifah berkesimpulan bahwa walaupun wakaf masih dilakukan setelah turunnya, ayat-ayat waris, tetapi perbuatan tersebut tidak lagi menghilangkan hak milik yang berwakaf atas benda yang diwakafkannya. Sebagai konsekuensinya, si waqif tetap berhak sebagai pemilik penuh atas benda yang diwakafkannya, seperti ia berhak menarik kembali wakaf itu. Namun demikian, Abu Hanifah mengakui bahwa harta wakaf ada yang tidak boleh ditarik kembali, yaitu:124 1.
Apabila berdasarkan keputusan hakim bahwa harta wakaf itu tidak boleh dan tidak dapat ditarik kembali.
2.
Apabila wakaf itu dilakukan dengan jalan wasiat.
3.
Apabila benda yang diwakafkan itu ditujukan untuk kepentingan ibadat ataupun keperluan umum, seperti berwakaf untuk masjid. Berkenaan dengan pengingkaran wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan
secara lisan oleh pewakif atau pewaris, tidak dibenarkan dan dilarang menurut peraturan perundang-undangan wakaf yang berlaku, hal ini sebagaimana yang disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 3 yang menyebutkan bahwa wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan atau tidak dapat dilakukan penarikan kembali. Imam Malik juga mengakui bahwa harta wakaf untuk tempat ibadah sudah keluar dari hak milik si waqif. Ulama ini juga berpendapat bahwa harta 124
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
63
wakaf selain untuk tempat ibadah masih tetap sebagai hak milik yang berwakaf. Hanya saja, menurut Imam Malik, orang yang berwakaf itu, tidak berhak menarik kembali harta wakafnya itu. Ini berarti bahwa harta wakaf itu memang milik yang berwakaf, tetapi “milik dalam arti yang tidak sempurna”. Dalam persoalan ini, hubungan antara yang berwakaf dengan benda yang diwakafkannya tetap ada, karena dengan adanya hubungan itulah maka orang yang berwakaf tetap menerima pahala yang rnengalir dari pemanfaatan harta yang diwakafkan itu, kendatipun si pemiliknya sudah meninggal dunia. Oleh sebab itu, harta wakaf menurut Malik tidak dapat ditarik kembali untuk selama-lamanya.125 Seperti kita ketahui dalam mazhab Imam Syafi’i, wakaf dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya tanpa adanya pencatatan, pernyataan lisan secara jelas (sharih) menurut pandangan Imam Syafi’i merupakan bentuk dari pernyataan wakaf yang sah.126 Sebenarnya perwakafan tanah ini dapat dimasukan dalam kategori pengasingan tanah (Land-alienation) karena pengertian wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebahagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah, namum dalam kaitannya dengan 125
Ibid., hal. 111-112. Achmad Djunaidi, dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya Progresif untuk kesejahteraan umat, (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), hal. 48. 126
Universitas Sumatera Utara
64
administrasi pendaftaran tanah, wakaf masuk kedalam kategori penetapan hak atas tanah karena terdapat kegiatan penetapan tanah wakaf melalui keputusan pejabat yang berwenang.127 Sebagai langkah konkrit pemerintah dalam menertibkan administrasi perwakafan, telah disahkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Undang-undang ini terdiri atas 11 (sebelas) Bab dan 71 (tujuh puluh satu) Pasal yang meliputi tentang pengertian wakaf, syarat-syarat sahnya wakaf, tata cara mewakafkan dan pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian sengketa, pembinaan dan pengawasan wakaf, Badan Wakaf Indonesia (BWI), ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.128 Secara umum perwakafan tunduk pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, namun secara khusus ketentuan hukum yang mengatur tentang perwakafan tanah milik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.129 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik diatur mengenai peraturan perwakafan tanah yang mengharuskan adanya pencatatan dan pendaftaran tanah wakaf, karena sebelum adanya Peraturan Pemerintah tersebut praktek wakaf masih menggunakan kebiasaankebiasaan keagamaan seperti melakukan wakaf hanya dengan lisan dan atas dasar saling percaya.130 127
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 2010), hal. 266. 128 Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan: Peradilan Agama di Indonesia, (Medan: Perdana Publishing, 2010), hal. 347. 129 Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Op.cit., hal. 268. 130 Achmad Djunaidi, dan Thobieb Al-Asyhar, Op.cit., hal. 97.
Universitas Sumatera Utara
65
Akibat dari praktek wakaf seperti itu perwakafan tidak berkembang alias stagnan, bahkan banyak benda wakaf yang hilang atau bersengketa dengan pihak ketiga akibat tidak adanya bukti tertulis ikrar wakaf, sertifikat tanah dan lain-lain.131 Menurut
ulama
Syafi'iah
dan
Hanabilah,
setiap
ikrar
wakaf
menghilangkan hak milik yang berwakaf dan hartanya itu akan menjadi hak Allah semata-mata. Alasannya ialah hadis Nabi SAW yang menceritakan wakaf Umar bin Khatab yang menyebutkan bahwa tanah wakaf yang diberikannya tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Hal ini berarti bahwa pihak yang berwakaf dilarang menarik kembali harta yang diwakafkannya. Dalam konteks inilah ulama Syafi'iah dan Hanabilah berpendapat bahwa harta yang diwakafkan tersebut sudah keluar dari hak milik si Waqif.132 Bagaimana pandangan mereka tentang hadis riwayat Baihaki yang dipakai oleh Imam Hanafi? Dalam pandangan kelompok ini, kata habbasa pada hadis tersebut maksudnya adalah menahan hak anak-anak yang masih kecil dan hak kaum wanita yang pada zaman Arab jahiliah tidak diberi hak waris. Jadi, hadis tersebut, menurut mereka, tidak ada sangkut pautnya dengan soal wakaf. Karena itulah mereka berkesimpulan bahwa harta wakaf telah keluar dari hak milik seseorang yang berwakaf (waqif) dan sudah menjadi hak Allah. Ini berarti bahwa yang berwakaf tidak berhak menarik kembali harta
131 132
Ibid., hal. 98. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
66
yang sudah diwakafkan. Pendapat inilah yang dianut oleh mayoritas masyarakat muslim Indonesia.133 Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan keharusan adanya pencatatan ikrar wakaf yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.134 Selain Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 ini, ada peraturan yang baru yang mengatur tentang perwakafan, yaitu Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, dalam Undang-undang ini senada dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tanah wakaf dikatakan sah apabila telah dicatat dan didaftarkan menurut prosedur dan peraturan yang berlaku hal ini sebagaimana tercantum dalam penjelasan Undang-undang ini dalam bagian umum dijelaskan pada nomor 1 bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf dan didaftarkan dan diumumkan dan pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan harus dilakukan.135 Berdasarkan hukum Islam dengan terpenuhinya rukun-rukun wakaf, maka wakaf telah sah, akan tetapi jika dikaitkan dengan peraturan perundang133
Ibid. Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, Depag RI, 2006), hal.134. 135 Ibid., hal. 36. 134
Universitas Sumatera Utara
67
undangan yang berlaku keabsahannya belum sempurna, maksudnya adalah belum bisa mendapat kepastian dan perlindungan hukum apabila tanah wakaf tersebut belum diterbitkannya Akta Ikrar Wakaf oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) di Kantor Urusan Agama setempat dan sertifikat tanah wakaf oleh Kantor Pertanahan. Sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pada Pasal 17 ayat (2) bahwa pernyataan wakaf selain hanya diikrarkan secara lisan harus dilaksanakan dengan tertulis, begitu juga di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, yaitu Pasal 9, mewajibkan wakaf tidak cukup hanya dengan pengucapan ikrar lisan saja dan harus dilakukan secara tertulis, maksudnya adalah bertujuan untuk mendapatkan bukti yang otentik. Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 Pasal 17 ayat (1) dan (2), menyebutkan agar penyerahan tanah wakaf dilakukan dihadapan dan dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf oleh PPAIW, akan tetapi hingga saat ini masih banyak dijumpai penyerahan tanah wakaf yang diberikan hanya secara lisan saja tanpa ada Akta Ikrar Wakaf yang dibuat dihadapan dan dituangkan oleh PPAIW, penyerahan tanah wakaf tersebut diberikan kepada masyarakat setempat diketahui oleh ketua Rukun Tetangga (RT), pegawai sarak (Imam, Khotib dan Bilal) setempat, tidak ada mempunyai Nazhir secara khusus sebagaimana yang disebutkan di dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004
Universitas Sumatera Utara
68
Pasal 9 ayat (1). Seperti yang telah dijumpai di daerah Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batang Hari, Jambi, yaitu objek penelitian dalam tesis ini. Menurut Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Batin XXIV M. Sahid, selaku Pejabat Pembuat Akta Ikrar wakaf Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batang Hari, Jambi, mengenai pengingkaran wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan secara lisan tanpa Akta Ikrar Wakaf (AIW), pembuktian terhadap tanah wakaf yang sudah diwakafkan tersebut adalah dengan melakukan pendataan ulang yang akurat oleh KUA, terhadap Kelurahan/Desa dengan cara mendatangi Masjid/ Mushola yang telah diwakafkan kepada pegawai syarak masjid/mushola yaitu Imam Khotib Bilal yang menyatakan bahwa benar tanah wakaf tersebut telah diberikan menjadi tanah wakaf, akan tetapi saat ini pembuktian secara tertulis tidak dimiliki, secara ketentuan hukum yang berlaku tidak punya kekuatan hukum sebagai contoh: orang tua menurut pengakuan pernah mewakafkan sebidang tanah, sampai kepada istri atau ahli waris mengingkarinya, ketika tidak mempunyai bukti baik kementerian agama atau orang yang berwenang setempat misal perwakilan desa atas nama pegawai sarak orang tua adat tidak mempunyai bukti maka menjadi sulit secara hukum. Sedangkan yang jelas-jelas diketahui masyarakat bahwa tanah tersebut sudah menjadi wakaf tetapi kementerian agama tidak mempunyai data sedikitpun minimal Akta Ikrar Wakaf tidak ada bukti tertulis maka menurut secara hukum tidak bisa. Sekarang yang bisa dipertahankan
Universitas Sumatera Utara
69
adalah jumlah tanah-tanah wakaf yang telah terdaftar di kantor di KUA saja.136 Menurut Bapak Azhar sebagai Kasubsi Pendaftaran tanah dan Bapak Saiman sebagai Kasubsi Penetapan Tanah di Kantor Badan Pertanahan Indonesia (BPN)
Kabupaten Batang Hari, berkenaan dengan penyerahan
tanah wakaf secara lisan tanpa ada ikrar wakaf yang dituangkan di dalam Akta ikrar wakaf maka hal tersebut secara hukum tidak dapat diproses untuk pendaftaran tanah menjadi sertifikat sebelum adanya Akta Ikrar Wakaf dari PPAIW dan syarat lainnya yang harus dilengkapi dalam pendaftaran tanah wakaf, BPN hanya akan menerima syarat-syarat yang lengkap untuk dapat diproses. Apabila ada Nazhir yang ingin langsung mendaftarkan tanah wakaf tanpa ada bukti yang menyatakan bahwa tanah yang dikatakan adalah benarbenar telah menjadi wakaf maka BPN tidak dapat memprosesnya. BPN dalam hal ini tetap mengarahkan kepada Nazhir tentang prosedurnya agar terpenuhinya syarat untuk pendaftaran tanah wakaf memperoleh sertifikat tanah wakaf.137 Berdasarkan hasil rapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Kabupaten Batang Hari, tanggal 31 Mei 2015 berkenaan dengan permasalahan tanah wakaf yang ikrar wakaf hanya diberikan secara lisan tanpa Akta Ikrar Wakaf, Hal tersebut adalah banyak terjadi di masyarakat tidak hanya di Kabupaten Batang Hari saja, di dalam hukum Islam apabila sudah terpenuhinya syarat dan rukun
136
Hasil Wawancara dengan M. Sahid Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batang Hari, Jambi, 27 Mei 2015. 137 Hasil Wawancara dengan Kasi Pendaftaran Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Batang Hari, Jambi, 25 Mei 2015.
Universitas Sumatera Utara
70
wakaf, maka wakaf tersebut telah menjadi sah meskipun tidak dibuat dalam Akta Ikrar Wakaf. Jika dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 17 ayat 1 bahwa ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nazhir dihadapan PPAIW dengan dsaksikan oleh dua orang saksi dan ayat (2) ikrar wakaf sebagimana dimaksud ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf oleh PPAIW, hal ini lah yang menjadi permasalahan di dalam masyarakat, banyak penyerahan tanah wakaf yang ikrarnya hanya secara lisan saja tanpa ada ikrar wakaf yang dilakukan dihadapan dan dibuat oleh PPAIW karna banyak tanah wakaf yang telah terjadi adalah dalam masa sebelum adanya peraturan perundang-undangan. Masalah wakaf akan muncul pada saat pewakif telah meninggal dunia sedangkan pembuktian terhadap tanah yang telah diwakafkan tidak ada karna hanya pemberiannya hanya secara lisan, kemudian ahli waris mempermasalahkan karna tidak adanya bukti secara tertulis. Wakaf secara lisan dikaji dalam hukum Islam adalah sah akan tetapi dikatkan dengan syarat-syarat yang ada diatur dalam undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal (1) dan (2), pada pemasalahan wakaf sama halnya seperti kasus nikah dalam hukum Islam, apabila pernikahan yang tidak tercatat maka tetap sah apabila terpenuhi syarat dan rukunnya akan menjadi sah secara materil akan tetapi tidak legal secara formil. Upaya hukum yang dapat dilakukan berkenaan dengan masalah penyerahan tanah wakaf secara lisan apabila terjadi pemasalahan dikemudian hari adalah kewanangan Pengadilan Agama untuk memecahkan masalah tersebut karna Pengadilan Agama memiliki kompetensi absolut.138 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf di dalam Pasal 11 untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap tanah wakaf yang hanya di ikrarkan secara lisan tanpa Akta Ikrar Wakaf yaitu dengan melalui Nazhir wakaf itu sendiri, sebagimana yang disebutkan Nazhir mempunyai tugas: a.
138
melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
Hasil Rapat Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Batang Hari, tanggal 31 Mei 2015.
Universitas Sumatera Utara
71
b.
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya;
c.
mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d.
melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. Dalam hal ini maka seharusnya Nazhir melakukan pengadministrasian
tanah wakaf, seperti yang telah disebutkan diatas. Akan tetapi sehubungan terhadap tanah wakaf yang telah diberikan secara lisan tanpa ada Akta Ikrar Wakaf yang terjadi pada Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batang hari, Jambi, bahwasanya dalam penyerahan wakaf tersebut tidak ada diserahkan kepada Nazhir secara khusus seperti yang diatur dalam peraturan perundangundangan wakaf, penyerahan wakaf disini hanya diberikan secara lisan saja tanpa ada Akta Ikrar Wakaf seperti yang telah sebutkan di dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) kemudian penyerahan tanah tersebut hanya diberitahukan kepada pegawai syarak seperti Imam Masjid, Bilal dan Khatib, diketahui Ketua RT dan warga setempat, maka hal ini menimbulkan permasalan terhadap proses pengadministrasian tanah wakaf, karna dengan tidak adanya Nazhir secara khusus tersebut mengakibatkan kesulitan siapa yang seharusnya mendaftarkan tanah wakaf tersebut, yang bisa dilakukan adalah adanya kerjasama antara pegawai syarak, ketua RT dan Kepala Desa untuk mendaftarkan tanah wakaf tersebut, agar terlindungi dan terjaminnya status tanah-tanah wakaf yang telah ada.
Universitas Sumatera Utara
72
C. Perlindungan Hukum Terhadap Wakaf Atas Tanah Yang Diwakafkan Secara Lisan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dibentuk dengan pertimbangan bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Adapun Perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf mengenai masalah tanah wakaf yang diberikan secara lisan tanpa Akta Ikrar Wakaf belum ada mengatur secara jelas tentang perlindungan hukumnya, akan tetapi perlindungan hukum yang diatur terhadap tanah wakaf diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf antara lain sebagai berikut: Pasal 2 “Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syariah”, dan Pasal 3 “Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan”. Hal ini berarti bahwa wakaf telah menjadi sah apabila dilakukan menurut syariah, meskipun dalam hal pembuktiannya wakaf yang dilakukan secara lisan tidak dapat dibuktikan, wakaf yang telah diberikan tersebut
hanya sah secara materil
sedangkan pembuktian secara formil tidak bisa. Karna pembuktian terhadap tanah wakaf adalah dengan adanya Akta Ikrar Wakaf yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) hingga sampai keluarnya sertifikat tanah wakaf. Sejalan dengan konsep kepemilikan harta dalam Islam, maka harta yang telah diwakafkan memiliki akibat hukum, yaitu ditarik dari lalu lintas peredaran hukum yang seterusnya menjadi milik Allah, yang dikelola oleh perorangan dan atau
Universitas Sumatera Utara
73
lembaga Nazhir, sedangkan manfaat bendanya digunakan untuk kepentingan umum.139 Mengenai penyelesaian permasalahan wakaf dapat dilihat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 62 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf: (1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. (2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Apabila terjadi sengketa dikemudian hari yang berkaitan dengan kepemilikan tanah wakaf, penyelesaian sengketa termasuk dalam yurisdiksi Pengadilan Agama, yaitu sepanjang masalah sah dan tidaknya perbuatan mewakafkan tanah milik sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dan masalahmasalah lainnya yang menyangkut wakaf berdasarkan syari’at Islam.140 Yang dimaksud dengan Pengadilan adalalah sesuai dengan penjelasan Pasal 62 ayat (2) tersebut adalah: Yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke Pengadilan Agama dan/atau Mahkamah Syar’iyah. 139
Direktori Pemberdayaan Wakaf, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2007), hal. 68. 140 Rachmadi Usman, Op.cit., hal. 97.
Universitas Sumatera Utara
74
Kemudian di dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf menyebutkan: Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: 1. dijadikan jaminan; 2. disita; 3. dihibahkan; 4. dijual; 5. diwariskan; 6. ditukar; atau 7. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Mengenai sanksi ketentuan pidana dan sanksi administratif daitur di dalam Pasal 67 ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. Sebagaimana yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan wakaf Akta Ikrar wakaf adalah satu-satunya alat bukti otentik yang dapat membuktikan bahwa tanah yang telah diwakafkan telah dilakukan berubah kepemilikannya, bukan lagi menjadi milik pribadi, tetapi menjadi milik umum, dengan adanya Akta Ikrar Wakaf memiliki kekuatan hukum terhadap tanah yang telah diwakafkan. Menurut peraturan perundang-undangan wakaf pemberian wakaf yang diwakafkan secara lisan tanpa Akta Ikrar Wakaf secara negara tidak sah karena untuk sahnya wakaf haruslah dibuat dan dituangkan kedalam Akta Ikrar Wakaf yang dikeluarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf barulah menurut hukum diakui
Universitas Sumatera Utara
75
oleh negara. Akta Ikrar Wakaf harus dibuat karena merupakan alat bukti sahnya perbuatan perwakafan tanah yang telah dilaksanakan. Apabila pemberian wakaf hanya secara lisan tidak dibuat dan dituangkan kedalam Akta Ikrar Wakaf oleh PPAIW mengakibatkan wakaf sama halnya tidak ada menurut peraturan perundangundangan wakaf dan wakaf tidak mendapatkan perlindungan hukum. Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dalam melaksanaan wakaf peran Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dalam pelaksanaan wakaf sengatlah penting karena Wakif harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dan dituangkan dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf. Pemberian Wakaf yang dilakukan secara lisan tanpa Akta Ikrar Wakaf adalah wakaf yang dilakukan oleh para pihak sendiri tanpa disertai dengan pembuatan Akta Ikrar Wakaf oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Berdasarkan Pasal 1847 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak yang dilakukan tidak dihadapan pejabat umum. Pejabat umum yang dimaksud dalam kaitannya dengan wakaf adalah Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Pelaksanaan wakaf yang dilakukan secara lisan saja tanpa menggunakan Akta Ikrar Wakaf pada dasarnya dapat menimbulkan sengketa dikemudian hari terhadap status kepemilikan tanah wakaf. Pelaksanaan wakaf yang dilakukan secara lisan dapat menyebabkan hilangnya tanah yang sudah diwakafkan tersebut karena wakif dengan
Universitas Sumatera Utara
76
alasan tidak pernah memberikan wakaf disebabkan penyerahannya hanya secara lisan saja atau ahli warisnya telah mengambil alih dengan alasan mereka tidak pernah mengetahui adanya pemberian wakaf yang dilakukan oleh orang tuanya. Perlindungan terhadap tanah wakaf apabila terjadi sengketa yang berkaitan dengan tanah yang telah diwakafkan secara lisan tanpa Akta Ikrar Wakaf, yang mana Wakif telah meninggal dunia dan ahli waris dari Wakif mengingkari bahwa pemberian tanah wakaf pernah dilakukan oleh Wakif kepada Nadzir, yang hanya bisa dilakukan oleh Nazhir untuk mempertahankan tanah wakaf adalah dengan penyelesaian secara kekeluargaan saja karena pada prinsipnya pemberian wakaf diperuntukkan untuk ibadah kepada Allah SWT sedangkan Nadzir sendiri tidak dapat melindungi kedudukan Nadzir karena tidak mempunyai alat bukti yang otentik. Berdasarkan uraian tersebut diatas upaya untuk melindungi wakaf atas tanah yang sudah diwakafkan secara lisan tanpa Akta Ikrar Wakaf agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari adalah Nazhir sebagai yang ditugaskan menjaga dan mendaftarkan tanah wakaf segera melakukan: a.
Membuat Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (APAIW) oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), jika Wakif telah meninggal dunia.
b.
Nazhir harus segera mendaftarkan tanah wakaf tersebut, karena Nazhir sebagai orang yang telah ditunjuk untuk mengurus dan mendaftarkan tanah wakaf, karena pembuktian tanah wakaf adalah dengan telah terbitnya sertifikat tanah wakaf.
c.
Membuat Akta Ikrar Wakaf baru berdasarkan penetapan Pengadilan Agama.
Universitas Sumatera Utara
77
Hal ini sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 49 huruf (e) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ditegaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (e) wakaf. Dalam penjelasan Pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “wakaf” adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (Wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah. Di dalam fiqih Islam dan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tidak terdapat upaya melindungi wakaf atas tanah yang diwakafkan secara lisan tanpa Akta Ikrar Wakaf setelah menimbulkan permasalahan di kemudian hari seperti penarikan kembali tanah wakaf oleh Wakif atau ahli waris karna wakaf yang diberikan secara lisan tanpa Akta Ikrar Wakaf tidak bisa dibuktikan bahwa tanah yang telah diwakafkan tersebut benar-benar telah menjadi wakaf. Menurut Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Kota Medan Ahmad Zuhri, upaya melindungi tanah wakaf yang diberikan secara lisan tanpa Akta Ikrar Wakaf apabila terjadi penarikan kembali tanah wakaf oleh Wakif atau ahli waris maka diambillah beberapa pengakuan lebih dari dua orang yang menyatakan bahwa tanah yang telah diwakafkan secara lisan itu adalah pernah diwakafkan, seperti pegawai syarak (Imam Masjid, Bilal dan Khatib) Ketua RT, ketika pengakuan beberapa orang tadi waktu pernah diwakafkan oleh pewakif, kemudian pengakuan tersebut dituangkanlah dalam bentuk pengakuan tertulis, kemudian diformalkan lalu didaftarkan ke KUA, sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 31:
Universitas Sumatera Utara
78
“Dalam hal perbuatan wakaf belum dituangkan dalam AIW sedangkan perbuatan wakaf sudah diketahui berdasarkan berbagai petunjuk (qarinah) dan 2 (dua) orang saksi serta MW tidak mungkin dibuat karena Wakif sudah meninggal dunia atau tidak diketahui lagi keberadaannya, maka dibuat APAIW.” Dan pasal 35 ayat (1), (2), (3) dan (4): (1) Tata cara pembuatan APAIW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilaksanakan berdasarkan permohonan masyarakat atau saksi yang mengetahui keberadaan benda wakaf. (2) Permohonan masyarakat atau 2 (dua) orang saksi yang mengetahui dan mendengar perbuatan wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikuatkan dengan adanya petunjuk (garinah) tentang keberadaan benda wakaf. (3) Apabila tidak ada orang yang memohon pembuatan APAIW, maka Kepala Desa tempat benda wakaf tersebut berada wajib meminta pembuatan APAIW tersebut kepada PPAIW setempat. (4) PPAIW atas nama Nazhir wajib menyampaikan APAIW beserta dokumen pelengkap lainnya kepada kepala kantor pertanahan kabupaten/kola setempat dalam rangka pendaftaran wakaf tanah yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan APAIW. Permasalahannya waktu almarhum orang tua mewakafkan tanah tidak menggunakan surat hanya secara lisan saja, jawabannya adalah bahwa tanah atau masjid atau bangunan yang dianggap orang itu adalah wakaf maka status wukuf nya adalah wakaf, misalnya suatu tanah dahulu orang tidak tahu adalah wakaf, akan tetapi tidak menjadi masalah, maka itu bisa dihidupkan oleh yang mengetahui status tanah wakaf tesebut, dibuatlah penyaksian, lalu dari penyaksian ini lah bisa dibuat permohonan ke KUA untuk membuat peryataan ulang ikrar wakaf, tanah yang tidak tahu menahu asal usulnya, tidak tertulis tetapi diyakini adalah tanah wakaf maka bisa dibuat Akta Pengganti Ikrar Wakaf, sudah dikeluarkan oleh KUA, lalu KUA melaporkan ke (Badan Wakaf Indonesia) BWI maka keluarlah surat Nazhir, yang menerima adalah yang menjadi saksi dalam penyerahan tanah wakaf tersebut agar dapat berlanjut kepada proses pendaftaran tanah wakaf tersebut.141 Hukum pembuktian (law of evidence) dalam berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian peristiwa masa lalu dan suatu kebenaran (truth). Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterangan seorang saksi saja tidak dapat dipercaya, sehingga minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis) harus dipenuhi atau ditambah alat bukti lain. Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses 141
Hasil Wawancara dengan Ahmad Zuhri, Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Kota Medan, tanggal 27 Juli 2015.
Universitas Sumatera Utara
79
pemeriksaan, yang dilakukan di muka Hakim atau dalam sidang Pengadilan. Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR). Secara umum, para pihak dapat mengakui segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala hal dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.142
142
Pembuktian dan Alat-Alat Bukti Dalam Hukum Perdata, http://pobox2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html?m=1, diakses tanggal 9 Agustus 2015.
Universitas Sumatera Utara