1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah sebuah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk tujuan komunikasi. Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis dan sistemis. Dikatakan sistematis karena bahasa memiliki kaidah atau aturan tertentu. Dikatakan sistemis karena bahasa memiliki subsistem, yaitu subsistem fonologi, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal. Ketiga sistem tersebut menurut Sudaryat (2009:2) bertemu dalam dunia bunyi dan dunia makna. Bunyi secara detail dikaji dalam ilmu yang disebut fonologi, sedang makna secara mendalam dikaji dalam ilmu yang disebut semantik. Untuk memahami semantik lebih dalam, seseorang yang akan belajar semantik haruslah dapat memahami beberapa sifat bahasa yang salah satunya adalah bahwa bahasa bersifat arbitrer. Sifat arbitrer dalam bahasa ini menurut Chaer (1989:32) diartikan bahwa tidak ada hubungan spesifik antara deretan fonem pembentuk kata dengan maknanya. Dengan demikian, tidak ada hubungan langsung antara yang diartikan (signifie) dengan yang mengartikan (signifiant). Dikatakan oleh Chaer (1989:29) bahwa setiap tanda linguistik terdiri atas unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur tersebut merupakan unsur dalam bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar bahasa (ekstralingual). Umpamanya tanda linguistik yang dieja ”kursi.” Tanda ini terdiri dari unsur makna atau diartikan ’kursi’ (inggris: chair) dan unsur bunyi yang mengartikan dalam wujud runtutan fonem (k, u, r, s, i). Tanda kursi ini mengacu kepada suatu referen yang berada di luar bahasa, yaitu kursi sebagai salah satu perabot rumah tangga yang biasanya
2
digunakan untuk duduk. Dengan demikian, kata kursi adalah hal yang menandai (tanda linguistik) dan sebuah kursi sebagai perabot (konsep) adalah hal yang ditandai.
Ruang lingkup kajian tentang makna sangatlah luas. Dan untuk membuat proposal penelitian ini menjadi lebih terarah pembahasannya, maka tema yang diangkat sebagai bahan kajian utama proposal ini adalah tentang makna yang ada dalam ranah semantik yaitu makna figuratif. Makna kiasan (figurative meaning, transfered meaning) adalah pemakaian leksem dengan makna yang tidak sebenarnya. Sebagai contoh frasa ’mahkota wanita’ tidak dimaknai sebagai sebuah benda yang dipakai seorang wanita di atas kepalanya yang merupakan lambang kekuasaan seorang pemimpin dan berhiaskan emas atau permata, namun frasa ini dimaknai sebagai ‘rambut wanita’. Selain itu, makna kiasan terdapat pula pada peribahasa atau perumpamaan. Misalnya, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Makna figuratif muncul dari bahasa figuratif (figurative language) atau bahasa kiasan. Bahasa figuratif atau kiasan merupakan penyimpangan dari bahasa yang digunakan sehari-hari, penyimpangan dari bahasa baku atau standar, penyimpangan makna, dan penyimpangan susunan (rangkaian) katakata supaya memperoleh efek tertentu atau makna khusus (Abrams,1981:63).
Peribahasa digunakan para pembicara untuk berbagai macam tujuan. Kadang-kadang mereka digunakan sebagai cara mengatakan sesuatu dengan sopan dan santun secara tidak langsung. Tujuan lainnya digunakan bila membicarakan sesuatu yang lebih berat dalam diskusi. Orang
menggunakan peribahasa untuk suasana percakapan lebih menarik dan tidak
menjemukan. Di beberapa negara peribahasa biasa digunakan oleh pembicara-pembicara yang handal.
3
Etos kerja orang Madura yang dikenal ulet ternyata banyak tercermin dan termotivasi dari nilai-nilai yang terkandung dalam peribahasa-peribahasa yang hidup secara turun temurun dari leluhurnya. Selain sebagai pengukuh pranata kebudayaan, peribahasa Madura ternyata mampu menyuguhkan citra pembawaan, sifat, perilaku, etos kerja serta penampilan manusia Madura. Peribahasa seperti "Oreng Madura ta` tako` mateh, tapeh tako` kalaparan` yang artinya orang Madura tidak takut mati, tapi takut kelaparan. Peribahasa itu menunjukkan kepasrahan orang Madura terhadap kematian karena hal itu merupakan hak prerogatif Sang Pencipta. Pada sisi lain menunjukkan orang Madura justru lebih takut lapar karena kelaparan itu ditimbulkan oleh ulah dirinya sendiri yang tidak rajin dan tidak bekerja keras sehingga membuat malu. Karenanya mereka kemudian bekerja apa saja dan seberat apapun asalkan tidak melanggar agama. Dengan kata lain, orang Madura tidak akan menganggap pekerjaan sebagai sesuatu yang berat, kurang menguntungkan atau hina selama kegiatannya bukan tergolong maksiat sehingga hasil akhirnya adalah halal. Karena itu orang Madura tidak akan sungkan menyingsingkan lengan baju untuk mendatangi atau menerima suatu pekerjaan yang hal itu tercermin dalam peribahasa "temon nantang lalab" (mentimun menantang untuk dibuat lalap). Namun demikian, tidak semua orang Madura "mara perreng taleh" (seperti bambu tali) yang menunjukkan keluwesan menerima pekerjaan apapun dan seberat apapun. Ada juga orang Madura yang "alos tanggung" (halus tanggung). Orang yang `alos tanggung` itu kelihatannya merupakan pekerja halus, tetapi ternyata tidak bisa menangani pekerjaan, baik yang halus apalagi yang kasar. Ada lagi yang diibaratkan `kerbuy koros menta esae` (kerbau kurus minta ikut membajak). Artinya orang minta tambahan tanggung jawab atau jabatan padahal tidak punya kemampuan. Etos lain yang ditampilkan orang Madura dalam "nyare kasap" (mencari penghasilan) dengan cara "kar-ngarkar nyolpe`" (mengais-ngais seperti ayam kemudian dimakan). Peribahasa itu menunjukkan kegigihan orang
4
Madura dalam melakukan pekerjaan yang kelihatannya sepele tapi di kemudian hari bisa meraup keuntungan besar. Selain itu, orang Madura memang dinasehati untuk tidak menghindari pekerjaan yang susah agar tidak kedatangan beban yang lebih berat lagi atau peribahasanya "ja` senggaih malarat sakone` nyopre ta` kadhatengan kasossa`an se rajah". Peribahasa lain menyebutkan, `oreng se nampek ka lalakon dhammang bakal nampane pakon berra` artinya orang yang menolak pekerjaan ringan akan menerima tugas berat. Atau ada lagi untuk nelayan, yakni `abantal ombak` asapo` angin` atau berbantal ombak berselimut angin. Yang artinya siang malam para nelayan tidak patah semangat dalam mencari ikan di luasnya samudera.
Ungkapan “bahasa menunjukkan bangsa” tampaknya masih tetap relevan hingga saat ini. Bahasa bukan saja alat komunikasi untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, tetapi juga menggambarkan budaya penggunanya. Bahasa yang kaya kosakata menunjukkan kekayaan budaya pemiliknya, dan sebaliknya. Bahasa Inggris, bahasa Arab ,dan bahasa China adalah sebagian kecil dari bahasa-bahasa dunia yang kaya kosakata. Selain itu, setiap bahasa niscaya memiliki nilai-nilai sastra yang mengandung pandangan bijak tentang kehidupan yang bisa dipelajari oleh setiap orang, tidak saja saat ini, tetapi juga di waktu yang akan datang, yang biasa disebut sebagai peribahasa yang dalam bahasa Inggris disebut proverb. Kamus Oxford Adavanced Learner’s Dictionary (1990: 1005) mendefinisikan proverb sebagai “short wellknown saying that states a general truth, or gives advice”. Sedangkan Kamus Umum karangan WJS Purwadarminta memberikan definisi peribahasa sebagai “kalimat atau kelompok perkataan yang tetap susunannya yang biasanya mengiaskan sesuatu maksud tertentu”. Mirip dengan peribahasa ialah pepatah, yang menurut D Zawami Imron adalah sebangsa peribahasa yang
5
mengandung nasehat dan sebagainya, perkataan (ajaran) orang tua; pepatah dan petitih, berbagai peribahasa.
Sebagaimana bahasa-bahasa yang lain, bahasa Madura tentunya juga kaya dengan peribahasa. Kekayaan peribahasa tersebut menunjukkan bahwa leluhur kita adalah orang-orang arif dan kreatif yang mewariskan banyak ajaran moral kepada generasi penerusnya. Selain arif dan kreatif, leluhur kita juga cerdas. Menyusun peribahasa bukan pekerjaan mudah, sebab dibutuhkan kecapakan memainkan kata dengan pilihan yang tepat sehingga enak dibaca dan diucapkan. Peribahasa bukan sekadar rangkaian kata-kata sekenanya, melainkan ada nilai estetika tinggi di dalamnya. Karena mengandung estetika, maka peribahasa enak didengarkan dan mudah dihafalkan secara turun temurun. Sayang, saat ini peribahasa sepertinya telah ditinggal oleh masyarakat kita. Hanya orang-orang tertentu yang masih menggunakannya sebagai bagian komunikasi. Lebih-lebih di kalangan generasi muda, peribahasa praktis tidak dipakai lagi. Peribahasa identik dengan bahasa orang tua dan terkesan kuno. Peribahasa tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah. Kalaupun diajarkan, porsinya hanya sedikit dan menjadi bagian dari materi sastra. Jika kita melakukan refleksi kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini yang ditengarai semakin lunturnya nilai-nilai moral, kearifan, dan kesantunan, tampaknya tidak terlalu salah jika disimpulkan bahwa masyarakat kita (terutama para elite negeri ini) sudah tercerabut dari nilai-nilai budaya warisan nenek moyang kita. Rasa malu karena melakukan korupsi uang rakyat tidak lagi ada, banyak penegak hukum justru terjerat masalah hukum, banyak petugas keamanan justru melakukan penipuan dan tidak menjadi pengayom masyarakat, orang yang diberi tugas mengumpulkan pajak sebagai pendapatan negara justru ngemplang pajak yang dikumpulkan, kebohongan publik seakan menjadi hal biasa, banyak pemimpin tidak lagi
6
bisa menjadi tauladan bagi masyarakat yang dipimpin, kejujuran tidak lagi diindahkan dan seterusnya. Selain gambaran lunturnya nilai-nilai luhur, yang terjadi saat ini adalah sikap apatis masyarakat terhadap bentuk-bentuk kejahatan. Itu terjadi karena sudah banyaknya kejahatan yang terjadi, sehingga kejahatan dianggap sebagai hal biasa saja. Semuanya menggambarkan bentuk erosi nilai-nilai luhur yang turun temurun menjadi bagian dari budaya masyarakat kita. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman makna dari peribahasa-peribahasa warisan leluhur. Seperti hal nya suku atau etnik lainnya, bahasa dan sastra Madura tampaknya mengalami hal yang sama. Yaitu berkurangnya apresiasi orang Madura terhadap bahasa Madura sebagai lingua franca. Bahasa dan sastra Madura yang konon memiliki ciri dan keunikan tersendiri itu, akhirnya harus mengalami nasib yang sama sebagaimana terjadi pada nasib bahasa daerah lainnya. Padahal banyak kalangan terkagum-kagung ketika mendengarkan dialog antara orang Madura dengan menggunakan bahasa ibunya. Ada sesuatu yang menarik, yang pekat dengan ciri dan warna khas, yaitu Madura. Apalagi ketika ungkapan-ungkapan kias yang disampaikan penutur dengan bahasa puitis, begitu indahnya hati dan telinga mendengarkannya.
Mengacu pada persoalan-persoalan di atas, maka perlu kiranya dilakukan penelitian dengan lebih mendalam mengenai peribahasa. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti tentang bahasa figuratif yang terdapat dalam peribahasa Madura. Apa jenisnya, bentuk, makna serta relasi antar peribahasa dan kebudayaan Madura itu sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa saja macam-macam bahasa figuratif yang terdapat di dalam peribahasa Madura?
7
2. Apa makna dan fungsi bahasa figuratif dalam peribahasa Madura tersebut? 3. Apa relasi antara peribahasa Madura dan budaya Madura itu sendiri? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk bahasa figuratif yang terdapat dalam peribahasa Madura. 2. Mendeskripsikan makna dan fungsi bahasa figuratif dalam peribahasa Madura. 3. Mendeskripsikan relasi budaya dan peribahasa Madura. 1.4 Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini, maka diharapkan akan membawa beberapa manfaat yaitu sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoretis Dari segi teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya wawasan ilmu Linguistik, khususnya bahasa figuratif (figurative language). Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi tambahan referensi dan acuan bagi para peneliti yang tertarik dengan bahasa, khususnya bahasa figuratif, jenis-jenis dan maknanya dalam berbagai konteks. Mengingat bahasa figuratif tidak hanya ada dalam karya sastra semacam puisi dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari pun banyak kita jumpai pemakaian bahasa figuratif ini.
8
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu para pelajar dalam mempelajari bahasa figuratif. Dengan mengetahui makna dari bahasa figuratif sebuah peribahasa, maka diharapkan pelajar dapat dengan mudah memahami pesan-pesan luhur dari peribahasa tersebut yang menyangkut moral, etos kerja maupun etika dalam berinteraksi sosial dengan sesamanya. Sehingga tidaklah sulit untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai pengontrol emosi dan tingkah laku yang bisa diwujudkan dengan perilaku berbahasa yang santun. Bagi para pemerhati bahasa, diharapkan kajian ini dapat membantu mereka mengamati fenomena bahasa figuratif (figurative language) dan komponen-komponen yang tercakup di dalamnya, seperti simile, metafora, sinekdoke, metonimia dan personifikasi. 1.5 Tinjauan Pustaka Ada beberapa penelitian terdahulu yang mengilhami penelitian ini yaitu: Pertama, Sofyaningrum (2012) telah melakukan penelitian tentang Gaya Bahasa Kiasan dalam Dongeng anak berbahasa Inggris (studi kasus karya brothers grimm dan Hans Christian Andersen), yang mana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam gaya bahasa kiasan metafora dari Sembilan metafora yang diungkapkan Haley, terdapat metafora ke-ada-an (being), metafora kosmos (cosmos), metafora tenaga (energy), metafora permukaan bumi (terrestrial), metafora benda mati (object), metafora bernyawa (animate), dan metafora manusia (human). Sedangkan dalam gaya bahasa kiasan personifikasi, terdapat personifikasi benda mati dan personifikasi makhluk selain manusia. Simile dalam penelitian ini antara lain simile benda abstrak (being), simile benda (object), simile benda langit (cosmos), simile permukaan bumi
9
(terrestrial), simile hewan dan simile tumbuhan. Hiperbola yang melebih-lebihkan suatu keadaan dan suatu hal merupakan jenis gaya bahasa kiasan yang juga diketemukan dalam dongeng yang diteliti. Fungsi dari gaya bahasa kiasan pada keempat jenis gaya bahasa kiasan yang ada, antara lain; mengungkapkan keindahan yang terdapat dalam gaya bahasa kiasan, memberikan gambaran angan yang jelas, menyatakan hal yang tidak tertangkap, dan menimbulkan kesegaran atau penekanan, untuk memberikan penekanan pernyataan atau situasi untuk mengintensifkan dan meningkatkan kesan dan dampak dari maksud untuk sengaja melebih-lebihkan suatu hal dan keadaan. Kekhasan yang ditemukan berupa penggunaan gaya bahasa kiasan dengan kata pembanding (vehicle), benda permukaan bumi (terrestrial), benda langit (cosmos), dan binatang (animal). Kedua, Indarti (2008) mengulas kiasan metafora yang terdapat dalam kidung ludruk dengan berpedoman pada teori bahwa metafora termasuk dalam ranah semantik kognitif, maka kidung bedhayan dan kidung lawak dalam ludruk di analisis dengan menggunakan pendekatan semantik kognitif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pertama, metafora kidung ludruk digunakan sebagai sumber kata-kata baru dengan mempertimbangkan penggunaan kata-kata lama yang bermakna dan bahasa yang indah. Kedua, lambang metafora yang digunakan dalam kidung ludruk sudah disesuaikan dengan karakteristik masyarakat. Ketiga, penggunaan metafora kidung ludruk telah mempertimbangkan fungsi penggunaan bahasa sehingga kidung ludruk tersebut menjadi berterima oleh penonton. Ketiga, Sari (2011) dalam tesisnya yang berjudul Metafora dalam Lagu-lagu Spiritual Negro menganalisis lagu-lagu spiritual Negro yang merupakan ungkapan emosi dan perasaan frustasi, keputusasaan serta kepahitan hidup para budak di Amerika. Hasil dari penelitian ini
10
menunjukkan bahwa setiap metafora memiliki tiga elemen pembentuk metafora yang terdiri dari elemen tenor, elemen vehicle, dan elemen ground. Terdapat delapan jenis metafora pada lagulagu spiritual Negro berdasarkan medan semantiknya yaitu metafora ke-ada-an (being), metafora kosmos (cosmos), metafora energy (energy), metafora permukaan bumi (tersestrial), metafora benda mati (object), metafora tumbuhan (living), metafora binatang (animate), serta metafora manusia (human). Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat lima fungsi metafora pada lagu-lagu spiritual Negro yaitu metafora yang menunjukkan kesedihan, kemarahan, ketaatan pada Tuhan, keputusasaan dan harapan. Keempat, Efendi (2012) meneliti Metafora dalam Percakapan antartokoh pada Film “The King’s Speech”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa metafora tidak sebatas perbandingan atau peribahasa. Akan tetapi metafora hidup da nada dalam keseharian manusia seperti teori yang dikemukakan Lakoff dan Johnson (1980:3). Dari penelitian ini didapatkan: (1) jenis metafora yang paling banyak digunakan dalam film adalah jenis metafora ontologis. Selanjutnya metafora yang juga sering digunakan adalah metafora structural. Kemudian metafora orientasional teridentifikasi sebagai jenis metafora yang jarang dipakai. (2) Pertama, untuk elemen Ranah Sumber, Ranah Sumber Kekuatan, tempat dan posisi, gerakan dan arah, teridentifikasi sebagai elemen yang paling banyak menyusun metafora dalam film. Selanjutnya Ranah Sumber memasak dan makanan, Ranah Sumber hewan, Ranah Sumber gelap dan terang teridentifikasi sebagai Ranah Sumber yang sedikit ditemui. Kedua, elemen Ranah Sasaran (TD) dengan SD berbeda, dua TD atau lebih dengan satu SD, dan TD sama dengan SD. (3) Penggunaan konteks situasional metafora dipengaruhi oleh medan, pelibat, dan sarana yang ada dalam sebuah situasi tertentu, sedangkan penggunaan konteks budaya metafora terkait dengan maknanya yang ada dalam budaya tersebut dan terkait pula dengan latar situasinya.
11
Dan yang terakhir Zain (2010) melakukan penelitian dengan judul A Semantic Study on Figures of Speech Used in Short Stories of New Stories from the South 2000 the Year’s Best. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat enam belas macam gaya bahasa yang digunakan oleh cerita pendek tersebut. Yakni;parison, onomatopoeia, chiasmus, periphrasis, parenthesis, antithesis, apostrophe,exclamation, pun (or paronomasia), aposiopesis, irony, climax, hyperbole, metonymy, metaphor and simile. Selain itu, penulis menggunakan gaya bahasa tersebut dengan tepat dan benar sehingga cerita pendek yang ditulis mereka menjadi lebih bagus, menarik dan dipahami. Pada beberapa penelitian tersebut, masih banyak diantaranya yang berfokus pada gaya bahasa kiasan yang berupa metafora pada karya sastra baik berupa novel maupun lagu. Dari penelitian tersebut, belum ada pembahasan secara khusus mengenai bahasa kiasan yang berupa bentuk, jenis-jenis dan maknanya dalam peribahasa. Oleh karena itu penulis berkeinginan untuk meneliti bahasa kiasan yang terdapat dalam peribahasa Madura, yang meliputi bahasa kiasan metafora, simile, dan personifikasi. Selain itu peneliti juga ingin mengupas lebih dalam mengenai peribahasa dan hubungannya dengan budayanya. 1.6 Landasan Teori 1.6.1 Semantik Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata benda) yang berart i ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah‘semaino’ yang berart i ‘menandai’atau‘ m e l a m b a n g k a n ’ . Y a n g d i m a k s u d t a n d a a t a u l a m b a n g d i s i n i a d a l a h t a n d a - t a n d a l i n g u i s t i k (Perancis : signé linguistique). Menurut Ferdinan de Saussure (1966), tanda lingustik terdiri dari :1) Ko mponen yang menggant ikan, yang
12
berwujud bunyi bahasa. 2) Ko mponen yang diart ikan atau makna dari ko mpo nen pertama. Ke d u a k o m p o n e n i n i a d a l a h t a n d a a t a u l a m b a n g , d a n s e d a n g k a n y a n g d it a n d a i a t a u dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai referent, acuan atau hal yang ditunjuk. Jadi, Ilmu Semantik adalah : -
Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguist ik dengan halhal yangditandainya.
-
Ilmu tentang makna atau arti. Sedangkan batasan cakupan dari semantik adalah makna atau arti yang berkenaan dengan
bahasa sebagai alat komunikasi verbal.
Untuk lebih memahami apa sebenarnya semantik itu perlu adanya definisi. Lyon (1971:1) menyebutkan bahwa:
”semantics is generally defined as the studi of meaning”.
yang bermakna bahwa semantik pada umumnya diartikan sebagai suatu studi tentang makna. Menurut Palmer (1981:1), Semantik dinyatakan sebagai:
“the technical term used to refer to the study of meaning and since meaning is a part of language, semantics is a part of linguistics”. yang berarti bahwa semantik adalah terminologi teknis yang mengacu pada studi tentang makna dan karena makna adalah bagian dari bahasa, maka semantik adalah bagian dari linguistik. Dengan demikian, kita dapat menyimpukan bahwa Semantik adalah ilmu yang menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan
13
makna yang lain dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat, menelaah makna-makna kata, perkembangan, serta perubahannya.
1.6.2 Peribahasa
Peribahasa adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu, terkadang disebut juga pepatah. Sebuah pepatah yang menjelaskan aturan dasar perilaku mungkin juga dikenal sebagai sebuah pepatah. Jika peribahasa dibedakan dengan ungkapan yang sangat baik, mungkin akan dikenal sebagai sebuah aforisme. Beberapa peribahasa merupakan perumpamaan yaitu perbandingan makna yang sangat jelas karena didahului oleh perkataan "seolah-olah", "ibarat", "bak", "seperti", "laksana", "macam", "bagai", dan "umpama". Kata mutiara atau kata bijak bisa berbentuk peribahasa. Peribahasa dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah Proverb, yang mana kata inipun berasal dari bahasa Latin Proverbium yaitu kata-kata konkrit dan sederhana yang dikenal secara berulang-ulang untuk mengungkapkan suatu kebenaran berdasarkan logika umum sebagai pengalaman praktis dalam hubungan kemanusiaan. Kata-kata ini sering kali pula disebut sebagai metaforis yaitu pengungkapan berupa perbandingan analogis untuk mengungkapan gambaran tentang perilaku seseorang atau sesuatu yang dianggap kurang cocok dalam lingkungan masyarakat. Peribahasa menggambarkan hukum dasar dari tingkah laku dan umumnya berlaku sesuai dengan budaya yang ada di masyarakat. Peribahasa merupakan motto sebagai aturan dan prinisip dalam hidup dimasyarakat yang tidak tertulis namun itu tetap berlaku sebagai cambuk atau pengingat bagi manusia yang melakukan perbuatan yang dianggap melanggar adat ataupun budaya di lingkungannya. Ilmu yang mempelajari peribahasa disebut: paremiologi (dari bahasa Latin – paroimia – [peribahasa] – logos – ilmu) dan ini bisa ditelurusi ke masa-masa dulu jaman
14
Aristoteles. Sebaliknya Paremiografi adalah kumpulan kata kata mutiara. Seorang ahli peribahasa yang terkenal dari Amerika yaitu Wolfgang Mieder telah menulis dan mengedit lebih dari 50 buku peribahasa dan menulis artikel mengenai peribahasa yang mana peribahasa tersebut sering disitir (dipakai) oleh para ahli lainnya. Peribahasa adalah kalimat pendek yang dikenal dimasyarakat yang mengandung ajaran bijak, kebenaran, moral dan tradisi dalam bentuk metaforis, mudah diingat dan pasti dan diajarkan turun temurun dari generasi ke generasi.
A proverb is a short, generally known sentence of the folk which contains wisdom, truth, morals, and traditional views in a metaphorical, fixed and memorizable form and which is handed down from generation to generation. (Mieder 1985:119; juga dalam Mieder 1993:24) Berikut contoh peribahasa dalam bentuk perbandingan: Dalam bahasa Madura: Akantha bulan kaseyangan (seperti bulan kesiangan) = wanita cantik Penulisan peribahasa biasanya menggunakan bentuk-bentuk gaya bahasa seperti: -
Aliterasi :
Asel ta’adina asal – (Madura) -
Paralelisme:
Ta’ atane, ta’ atana’ - (Madura) -
Rhyme (Irama):
Manis ja’ duli kalodhu’, pae’ ja’ duli palowa – (Madura) -
Assonansi (pengulangan vokal)
Badha pakon badha pakan - (Madura) Peribahasa dalam Bahasa Madura istilahnya bermacam-macam, seperti `parebasa`, `saloka`, `paparegan`, `paleggiran`, `pasemmon` atau `baburugan`,". Sebagai istilah,
15
parèbhâsan Madura tidak sama medan maknanya dengan ‘peribahasa’ Indonesia sekalipun bentuk morfemnya serupa. Dalam kaitan ini ca’-oca’an merupakan istilah supraordinat yang dapat dipadankan dengan istilah ‘peribahasa’ untuk mencakup semua bentuk yang ada. Bhâbhâsan adalah peribahasa yang mengandung kiasan untuk mengacu pada keadaan, sifat, atau perilaku, dengan kalimat yang sering tidak lengkap tetapi tetap pemakaiannya. Saloka merupakan peribahasa yang dengan kiasan mengumpamakan manusia sebagai intinya, umumnya merupakan kalimat lengkap. Parocabhân atau parompamaan adalah peribahasa yang langsung membandingkan persamaan keadaan, sifat, atau perilaku dengan sesuatu sehingga sering menggunakan kata pembanding akanta, mara, martabhât, marabhut yang berarti ‘seperti’. Parsemmon merupakan peribahasa yang berisi kiasan untuk menyindir sehingga mirip dengan bidal. Bângsalan merupakan frase pendek mengandung permainan kata-kata untuk menyembunyikan arti atau maksud yang sebenarnya ingin dikatakan. Sedangkan Paparèghân berupa puisi Madura yang berintikan peribahasa yang bentuknya agak mirip dengan gurindam. 1.6.3 Bahasa Figuratif (Figurative Language)
Bahasa figuratif sebenarnya adalah gaya bahasa kiasan. Altenbernd yang dikutip oleh Pradopo (1994:93) membedakan bahasa kiasan dan sarana retoris (rethorical device). Sejalan dengan pendapat Altenbernd, Abrams (1981:63) mengelompokkan gaya bahasa kiasan dan sarana retoris ke dalam bahasa figuratif. Menurutnya, bahasa figuratif sebenarnya merupakan bahasa penyimpangan dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa standar untuk memperoleh efek tertentu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abrams (1981:63):
Figurative language is a deviation from what speakers of a language apprehends as the ordinary, or standard, significance or sequence of words, in order to achieve some special meaning or effect.
16
Bahasa kiasan atau figure of speech atau oleh Kridalaksana disebut sebagai figure of rhetoric atau rhetorical figure yaitu alat untuk memperluas makna kata atau kelompok kata untuk memperoleh efek tertentu dengan membandingkan atau membagi serta mengasosiasikan dua hal. Menurut Abrams (1981:63) bahasa figuratif (figuratif language) adalah penyimpangan penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman bahasa yang dipakai sehari-hari (ordinary), penyimpangan dari bahasa standar, atau penyimpangan makna kata, suatu penyimpangan rangkaian kata supaya memperoleh beberapa arti khusus. Bahasa kias atau figuratif menurut Abrams (1981:63-65) terdiri atas simile (perbandingan), metafora, dan personifikasi.
Pada umumnya, untuk mendapatkan unsur kepuitisan maka penyair menggunakan bahasa figuratif (Pradopo menyebutnya dengan bahasa kiasan) atau majas (Sudjiman). Akan tetapi faktanya bahasa figuratif tidak hanya terdapat dalam syair, puisi, karya fiksi ataupun dongeng, akan tetapi mulai merambah ke dalam berbagai konteks baik dalam bahasa tulisan maupun lisan. Figurative berasal dari bahasa Latin figura yang berarti form, shape. Figura berasal dari kata fingere dengan arti to fashion. Istilah ini sejajar dengan pengertian metafora (Scott, 1980:107). Bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa; dengan cara tidak langsung untuk mengungkapkan makna (Waluyo, 1991:83). Jadi, jika bahasa fiiguratif mengatakan sesuatu secara tidak langsung untuk mengungkapkan makna maka bahasa literal menunjukkan makna secara langsung dengan menggunakan kata-kata dalam pengertian yang 'baku' (lihat Scott, 1980:107). Cuddon (1979:273) memberi contoh bahasa figuratif dan bahasa literal tersebut. 'He hared down street' atau 'He ran like a hare down the street' merupakan bahasa figuratif. Sementara itu, 'He ran very quickly down the street' merupakan bahasa literal.
17
Bahasa figuratif pada dasarnya digunakan oleh penyair untuk memperoleh dan menciptakan citraan (imagery) (Situmorang, 1980:22). Adanya bahasa figuratif ini menyebabkan puisi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan angan atau imaji (Pradopo, 1993:62). Lebih jauh Pradopo mengungkapkan bahwa bahasa figuratif tersebut mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan lebih hidup. Dengan demikian, ada hubungan yang erat antara citraan dengan bahasa fiiguratif. Citraan pada dasarnya terefleksi melalui bahasa figuratif. Sementara itu, bahasa figuratif sebenarnya merupakan bagian dari pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu (Keraf:1981:99). Oleh sebab itu, persoalan bahasa figuratif meliputi semua hirarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa dan kalimat atau mencakup sebuah wacana secara keseluruhan. Dengan demikian, pembahasan diksi, kata-kata konkret, citraan, dan bahasa figuratif, tidak dapat dipisahpisahkan secara tegas. Berikut diuraikan beberapa bahasa figuratif yang banyak muncul: 1.6.4 Metafora Metaphor is traditionally taken to be the most fundamental form of figurative language (Hawkes, 1980:1). Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, Iaksana, seperti, dan sebagainya (Hecker dalam Pradopo, 1993:66). The symbolic use of imagery reaches its zenith in metaphor, the most intense form that imagery can take. Metaphor identifies two distinct object and fuses them unforgettably in a white heat of imagination (Burton, 1984:109). Metafora mengandung unsur-unsur yang kadang-kadang tidak disebutkan secara eksplisit.
Definisi
metafora
menurut
Beekman
dan
Callow
(1974,
dalam
18
http/unsedukasisbi.bloksport.com dan http://www.e-li.orglmain/pdf/pdf-269.pdf) adalah suatu perbandingan yang implisit. Metafora disebutkan oleh Pradopo (1994:66) merupakan bentuk perbandingan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Gaya metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain. Metafora sebagai pembanding langsung tidak menggunakan kata-kata seperti dan lain-lain, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Salah satu unsur yang dibandingkan, yaitu citra, memiliki sejumlah komponen makna dan biasanya hanya satu dari komponen makna tersebut yang relevan dan juga dimiliki oleh unsur kedua, yaitu topik. Lebih lanjut, Beekman dan Callow menjelaskan bahwa metafora terdiri atas tiga bagian, yaitu (a) topic, yaitu benda atau hal yang dibicarakan; (b) citra, yaitu bagian metaforis dari majas tersebut yang digunakan untuk mendeskripsikan topik dalam rangka perbandingan; (c) titik kemiripan, yaitu bagian yang memperlihatkan persamaan antara topik dan citra. Ketiga bagian yang menyusun metafora tersebut tidak selalu disebutkan secara eksplisit. Adakalanya, salah satu dari ketiga bagian itu, yaitu topik, sebagian dari citra, atau titik kemiripannya implisit, seperti yang terlihat dalam contoh:
He is also Baldwin’s legal eagle ‘ Dia juga elang dalam urusan hukum Baldwin’
Topik metafora pada contoh di atas adalah he ‘dia’, sedangkan citranya adalah eagle ‘elang’. Akan tetapi, titik kemiripan yang menunjukkan dalam hal apa he ‘dia’ dan eagle ‘elang’ tidak disebutkan secara eksplisit. Untuk mengetahui titik kemiripan ini diperlukan pengetahuan tentang konteks tempat metafora tersebut terdapat, pemahaman terhadap makna simbol ‘elang’ dalam masyarakat dan unsur implisit lainnya.
19
Keraf menyebut metafora termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Gaya ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa polos atau langsung seperti “Dia sama pintar dengan kakaknya.” Sedangkan bentuk yang satu lagi adalah perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan, seperti “Matanya seperti bintang timur”. Berdasarkan contoh tersebut dapat dilihat perbedaan antara gaya bahasa langsung dan gaya bahasa kiasan. Keraf (1994:136) mengatakan bahwa perbandingan biasa atau langsung mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas kata yang sama, sedangkan perbandingan berupa gaya bahasa kiasan mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas kata yang berlainan.
Keraf (1994:137) mengatakan bahwa untuk menetapkan apakah suatu perbandingan itu merupakan bahasa kiasan atau tidak, hendaknya diperhatikan tiga hal berikut:
1)
Tetapkanlah terlebih dahulu kelas kedua hal yang diperbandingkan
2)
Perhatikan tingkat kesamaan atau perbedaan antara kedua hal tersebut
3)
Perhatikan konteks di mana ciri-ciri kedua hal itu ditemukan. Jika tak ada kesamaan maka perbandingan itu adalah bahasa kiasan.
Aristoteles mempergunakan kata analogi dengan pengertian kuantitatif maupun kualitatif. Dalam pengertian kuantitatif, analogi diartikan sebagai kemiripan atau relasi idenstitas antara dua pasangan istilah berdasarkan sejumlah besar ciri yang sama. Sedangkan, dalam pengertian
20
kualitatif, analogi menyatakan kemiripan hubungan sifat antara dua perangkat istilah. Dalam arti yang lebih luas ini, analogi lalu berkembang menjadi bahasa kiasan. Metafora menurut Keraf (1992:137) merupakan analogi kualitatif. Kata manis dalam frasa ”lagu yang manis” adalah suatu ringkasan dari analogi yang berbunyi:”Lagu ini merangsang telinga” dengan cara yang sama menyenangkan seperti manisan merangsang alat perasa. Ungkapan ibu pertiwi mengandung pula analogi yang berarti: hubungan antara tanah air dengan rakyatnya sama seperti hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya. Analogi kualitatif ini juga dipakai untuk menciptakan istilah baru dengan mempergunakan organ-organ manusia atau organ binatang. Misalnya kapal laut berlayar di laut maka kapal terbang berlayar di udara. Metafora disebutkan oleh Keraf (1992:139) merupakan semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya. Sebagai bentuk perbandingan langsung, metafora tidak mempergunkan kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua.
Bila dalam sebuah metafora, kita masih dapat menentukan makna dasar dari konotasinya sekarang, maka metafora itu masih hidup. Tetapi kalau kita tidak dapat menentukan konotasinya lagi, maka metafora itu sudah mati.
Contoh
: ”Perahu itu menggergaji ombak.”
”Mobilnya batuk-batuk sejak pagi tadi.”
”Pemuda-pemudi adalah bunga bangsa.”
21
Kata-kata menggergaji, batuk-batuk, bunga dan bangsa masih hidup dengan arti aslinya. Oleh sebab itu, penyimpangan makna seperti terdapat dalam kalimat-kalimat di atas merupakan metafora hidup. Namun, proses penyimpangan semacam itu pada saat dapat membawa pengaruh lebih lanjut dalam perubahan makna kata. Menurut Keraf kebanyakan perubahan makna kata mula-mula karena metafora.
Parera (2004:119) mengatakan salah satu unsur metafora adalah kemiripan dan kesamaan tanggapan pancaindra. Struktur metafora utama yang utama ialah (1) topik yang dibicarakan; (2) citra atau topik kedua; (3) titik kemiripan atau kesamaan. Hubungan antara topik atau citra dapat bersifat objektif dan emotif. Berdasarkan pilihan citra yang dipakai oleh pemakai bahasa dan para penulis di pelbagai bahasa, pilihan citra oleh Ulmann (1977) dan Parera (2004:119) dibedakan atas empat kelompok, yakni (1) metafora bercitra antropomorfik, (2) metafora bercitra hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke konkret, (4) metafora bercitra sinestesia atau pertukaran tanggapan atau persepsi indra.
1. Metafora bercitra antropomorfik merupakan satu gejala semesta. Para pemakai bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa yang terdapat pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Metafora antropomorfik dalam banyak bahasa dapat dicontohkan dengan mulut botol, jantung kota, bahu jalan, dan lain-lain. 2. Metafora
bercitra
hewan,
biasanya
digunakan
oleh
pemakai
bahasa
untuk
menggambarkan satu kondisi atau kenyataan di alam sesuai pengalaman pemakai bahasa. Metafora dengan unsur binatang cenderung dikenakan pada tanaman, misalnya kumis kucing, lidah buaya, kuping gajah. Dalam metafora bercitra hewan diungkapkan oleh Parera (2004:120) bahwa manusia disamakan dengan sejumlah takterbatas binatang
22
misalnya dengan anjing, babi, kerbau, singa, buaya, dst sehingga dalam bahasa Indonesia kita mengenal peribahasa “Seperti kerbau dicocok hidung”, ungkapan “buaya darat”, dan ungkapan makian ”anjing, lu”, dan seterusnya. Metafora dengan unsur binatang juga dikenakan pada manusia dengan citra humor, ironi, peyoratif, atau citra konotasi yang luar biasa, misalnya, fable dalam Fabel MMM yang dikutip oleh Parera terdapat namanama seperti Mr. Badak bin Badak, Profesor Keledai, dan terdapat pula Majelis Pemerintah Rimba (MPR), dan lain-lain. 3. Metafora bercitra abstrak ke konkret, adalah mengalihkan ungkapan-ungkapan yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan ungkapan itu masih bersifat transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran etimologi perlu dipertimbangkan untuk memenuhi metafora tertentu. Dicontohkan oleh Parera, secepat kilat ‘satu kecepatan yang luar biasa’, moncong senjata ‘ujung senjata’, dan lain-lain. 4. Metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain. Dalam ungkapan sehari-hari orang sering mendengar ungkapan “enak didengar” untuk musik walaupun makna enak selalu dikaitkan dengan indra rasa; “sedap dipandang mata” merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra lihat.
1.6.5 Simile
Jika metafora mengandung perbandingan yang biasanya tidak dinyatakan secara eksplisit kata-kata pembandingnya, maka simile mengungkapkan perbandingan secara eksplisit (Brett, 1983:24; Cuddon, 1979:275). Untuk itu simile memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan tersebut, misalnya seperti, sama, sebagai, bagaikan, dan laksana
23
(Keraf,1981:123; Pradopo:1993:62). Misalnya, O my love's like a red, red rose merupakan contoh simile sementara You're the cream in my coffee adalah contoh metafora (Brett, 1983:24).
1.6.6 Personifikasi
Personifikasi juga termasuk bahasa figuratif. Personifikasi berasai dari bahasa Latin persona yang berarti actor's mask, character acted a human being; dalam bentuk verbanya ialah personare yang berarti to sound through (Scott, 1980:244). Lebih jauh Scott menyatakan bahwa personifikasi merupakan gambaran terhadap objek-objek inanimate atau ide-ide abstrak yang diperlakukan seperti manusia atau dibantu dengan atribut-atribut persona.
Pernyataan yang relatif sama dikemukakan oleh Keraf dan Mas (1981:125; 1988:79) yaitu personifikasi adalah bahasa figuratif yang menggambarkan benda-benda mati atau barangbarang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Benda-benda tersebut bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia (memanusiakan alam, binatang, dan tumbuhtumbuhan ) .
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif qualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode untuk menyelidiki obyek yang tidak dapat diukur dengan angka-angka ataupun ukuran lain yang bersifat eksak. Penelitian kualitatif juga bisa diartikan sebagai riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Penelitian kualitatif jauh lebih subyektif daripada penelitian atau survei kuantitatif dan menggunakan metode sangat berbeda dari mengumpulkan informasi, terutama individu, dalam menggunakan wawancara secara mendalam dan grup fokus. Teknik pengumpulan data kualitatif diantaranya
24
adalah interview (wawancara), quesionere (pertanyaan-pertanyaan/kuesioner), schedules (daftar pertanyaan), dan observasi (pengamatan, participant observer technique), penyelidikan sejarah hidup (life historical investigation), dan analisis konten (content analysis). Penelitian deskriptif kualitatif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi. Metode kualitatif ini memberikan informasi yang lengkap sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat diterapkan pada berbagai masalah. Metode penyelidikan deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang. Metode ini menuturkan, menganalisa, dan mengklasifikasi ; menyelidiki dengan teknik survey, interview, angket, observasi, atau dengan teknik test ; studi kasus, studi komperatif, studi waktu dan gerak, analisa kuantitatif, studi kooperatif atau operasional. Bisa disimpulkan bahwa metode deskriptif ini ialah metode yang menuturkan dan menafsirkan data yang ada. Data dari penelitian ini berbentuk ungkapan peribahasa Madura, yang mana data tersebut penulis gali dari berbagai macam sumber. Kemudian data tersebut dianalisa dengan mengkategorikannya ke dalam bentuk-bentuk bahasa figuratif, jenis, dan maknanya, selanjutnya dideskripsikan, dan yang terakhir data yang diperoleh disimpulkan. Sedangkan analisis data menyatakan beberapa penemuan yang menggambarkan masalah penelitian. 1.7.4 Sumber Data Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif yang menekankan pada penjelasan berdasarkan data yang ada. Data dalam penelitian ini adalah peribahasa Madura yang akan digali dari berbagai sumber baik tulisan maupun lisan. Untuk peribahasa Madura akan
25
penulis gali dari berbagai sumber baik lisan maupun tulisan, yang mana sumber utamanya adalah buku Kamus Madura-Indonesia karangan Adrian Pawitra (2012) dan ‘Manusia Madura’ karangan Mien Ahmad Rifai (2007). Dikarenakan peribahasa di dalam bahasa tersebut sangat banyak jumlahnya, maka di sini penulis akan membatasinya agar lebih terarah. Untuk itu akan di ambil 100 peribahasa yang sering di jumpai dalam bentuk tulisan maupun percakapan sehari-hari untuk selanjutnya diidentifikasikan berdasarkan bentuk, jenis, dan maknanya. 1.7.5 Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak atau penyimakan karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak sumber tulisan ataupun lisan yang berupa peribahasa Madura. Kesuma (2007:43), memberikan pengertian metode simak sebagai cara pengumpulan data yang dilakukan dengan kategorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen maupun buku-buku, koran, majalah, dan lain-lain. Penulis membaca dengan cermat data-data yang didapat berupa peribahasa Madura dan memastikan bahwa peribahasa-peribahasa tersebut memuat bahasa kiasan yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu berupa bahasa kiasan metafora, simile dan personifikasi. Untuk mendukung metode ini, teknik yang digunakan adalah teknik catat, yaitu penulis mencatat dan mengklasifikasikan data kebahasaan (Mahsun, 2007:133). Data yang sudah dipilih kemudian akan diidentifikasi sesuai dengan rumusan masalah yang telah dibuat sebelumnya. Pertama, data dikumpulkan berdasarkan bentuknya, baik dalam bentuk kata, frasa maupun kalimat. Data juga diidentifikasi berdasarkan jenis gaya bahasa kiasan dalam peribahasa Madura. Selanjutnya akan diidentifikasi berdasarkan jenis-jenis bahasa kiasan dalam penelitian ini antara
26
lain: metafora, simile, dan personifikasi. Selain mengidentifikasi bentuk dan jenisnya, selanjutnya data diidentifikasi berdasarkan makna bahasa kiasan dalam peribahasa Madura. 1.7.6 Metode Analisis Data Setelah data dikumpulkan, penulis mengelompokkan bentuk, jenis dan makna dalam peribahasa Madura. Selanjutnya, penulis menganalisis data yang sudah terkumpul dan sudah dikelompokkan tersebut. Analisis data ini dilakukan untuk menyederhanakan data sehingga analisis ini akan mudah dibaca atau diinterpretasikan oleh pembaca. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan, yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan atau diteliti (Sudaryanto, 1993:13). Analisis pertama berupa pendeskripsian bentuk bahasa kiasan yang ada dalam peribahasa Madura. Kemudian mendeskripsikan jenis-jenis bahasa kiasan yang ada dalam peribahasa Madura. Dan analisis yang terakhir berupa penafsirkan dan pendeskripsikan makna bahasa kiasan yang ada dalam peribahasa Madura yang didasarkan dengan teori semantik yang berkaitan dengan makna kata dalam bahasa kiasan. 1.7.7 Teknik Penyajian Data Menurut Mahsun (2005:123), ada dua cara dalam tahap penyajian hasil analisis data. Pertama, perumusan hasil analisis tersebut dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis. Dan kedua, perumusan dilakukan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang. Oleh karena itu, cara yang digunakan adalah cara pertama, mengingat bahwa penjabaran hasil data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan penjelasan dan pemaparan tanpa menggunakan tanda atau pun lambang.
27
1.8 Sistematika Penyajian Proposal penelitian dengan judul “Bahasa Figuratif dalam Peribahasa Madura (Kajian Semantik)” ini akan dibagi ke dalam lima bab. Bab pertama berupa pendahuluann yang terdiri dari latar belakang; rumusan masalah; tujuan penelitian; manfaat penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis; landasan teori yang terdiri dari teori hhubungan antar linguistik, peribahasa, gaya bahasa, gaya bahasa kiasan, jenis-jenis gaya bahasa kiasan, dan metode penelitian. Bab kedua akan mendeskripsikan bentuk bahasa figurratif yang terdapat dalam peribahasa Madura. Dan pada bab selanjutnya, membahas makna dan fungsi bahasa figuratif dalam peribahasa Madura. Pemaparan menggenai refleksi peribahasa dalam budaya Madura akan dibahas pada bab keempat. Pada bab terakhir berisi kesimpulan penelitian dan saran. Sebagai bagian penutup dari penulisan hasil penelitian, dilampirkan daftar pustaka dan lampiran data peribahasa Madura.