1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hak asasi manusia (human rights) merupakan hak manusia, yang melekat pada manusia, dimana manusia juga dikaruniai akal pikiran dan hati nurani.1 Hak asasi manusia bersifat universal yang berarti melampaui batasbatas negeri, kebangsaan, dan ditujukan pada setiap orang baik miskin maupun kaya, laki-laki atau perempuan, normal maupun penyandang cacat dan sebaliknya. Dikatakan universal karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan agama atau kepercayaan spiritualitasnya.2 Sebagai norma yang ditujukan bagi pengakuan hak semua orang, maka setiap orang baik sendiri-sendiri maupun kelompok perlu mengenali dasar-dasar hak asasi manusia dan selanjutnya menuntut peningkatan pelaksanaannya. Peletakkan rumusan tentang dasar-dasar hak asasi manusia merupakan bagian dari tujuan sosialisasi.3 Adapun norma-norma yang mengatur hubungan antara negara dengan individu (warga) adalah seperti yang
1
Suryadi Radjab, Dasar-dasar Hak Asasi Manusia, PBHI, Jakarta, 2002, hlm. 7. Soetandyo Wignjosoebroto, hak asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya dari Masa ke Masa, ELSAM, Jakarta, 2007, hlm. 1. 3 Suryadi Radjab, loc. Cit. 2
2
dijelaskan di dalam pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) tahun 1948.4 Lahirnya
Deklarasi
Universal
Hak
Asasi
Manusia
membawa
konsekuensi negara-negara anggota PBB untuk menyatakan bahwa mereka mengakui hak-hak setiap orang sebagai hak asasi yang harus dihormati, guna mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi berbagai tindakan dan kebijakan negara yang sewenang-wenang terhadap individu-individu warganya. Berdasarkan deklarasi ini semua negara menyatakan kewajibannya untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfil) hak-hak asasi setiap warganya.5 Hak dalam hak asasi mempunyai kedudukan atau derajat utama dan pertama dalam hidup bermasyarakat karena keberadaan hak asasi hakikatnya telah dimiliki, disandang dan melekat dalam pribadi manusia sejak saat kelahirannya. Seketika itu pula muncul kewajiban dari manusia lain untuk menghormatinya.6 Konsep HAM yang pada hakikatnya juga konsep tertib dunia akan menjadi cepat dicapai apabila diawali dari tertib politik dalam setiap negara. Artinya kemauan politik pemerintah, antara lain berisi tekad dan kemauan
4
Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia berbunyi, “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.” 5 Hendriati Trianita dalam Suryadi Radjab, op. Cit. Hlm. 7. 6 A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manuisa (HAKHAM), Ghalia Utama, Bogor, 2005, hlm. 8.
3
untuk menegakkan hak asasi manusia dapat menjadi awal masalah.7 Salah satunya adalah masalah pemenuhan hak-hak bagi penyandang cacat. Penyandang cacat terdapat di semua bagian dunia dan pada semua tingkatan dalam setiap masyarakat. Jumlah penyandang cacat di dunia ini besar dan senantiasa bertambah, baik penyebab maupun akibat kecacatan di dunia ini bervariasi. Dunia internasional pada dasarnya telah sepakat bahwa permasalahan penyandang cacat ataupun pemenuhan hak-hak penyandang cacat merupakan suatu permasalahan yang sangat penting untuk dikaji, karena orang-orang penyandang cacat juga merupakan aset bangsa yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya, oleh karena itu pada tahun 2006 anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan suatu pertemuan dan merundingkan yang kemudian menghasilkan suatu konvensi tentang hak-hak penyandang cacat yaitu Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) 2006 atau sering disebut juga dengan Konvensi Hak Penyandang Cacat. Terdapat hak-hak penyandang cacat yang tercantum dalam konvensi penyandang cacat tersebut, yaitu hak hidup, situasi beresiko dan darurat kemanusiaan, pengaturan yang setara di hadapan hukum, akses atas peradilan, kebebasan dan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, kebebasan dan keamanan seseorang, kebebasan dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan,
7
Ibid, hlm. 127.
4
perlindungan terhadap integritas seseorang, habilitasi dan rehabilitasi, pekerjaan, standar kehidupan yang layak dan jaminan sosial, partisipasi dalam kehidupan politik dan publik, partisipasi dalam budaya, rekreasi, waktu luang dan olah raga. Namun demikian realisasi terhadap pemenuhan,
pemajuan dan
perlindungan terhadap hak-hak penyandang cacat sebagai hak asasi manusia masih banyak mendapat hambatan. Hambatan-hambatan tersebut adalah kurangnya pengertian dan pemahaman hak-hak penyandang cacat sebagai bagian dari hak asasi manusia baik dalam pengertian subtansi maupun pengertian secara hukum. Selama ini, para penyandang cacat masih menghadapi berbagai hambatan dalam beraktivitas dan masih mengalami keterbatasan dalam berpartisipasi sebagai anggota yang setara dalam masyarakat, serta masih mendapatkan perlakuan diskriminasi terhadap pemenuhan hak asasi manusia (HAM) di segala aspek dalam lintas bidang kehidupan. Hambatan, keterbatasan dan diskriminasi yang umumnya dihadapi para penyandang cacat adalah dalam mengakses informasi, pendidikan, pekerjaan, transportasi serta sarana dan layanan publik lainnya. Kondisi inilah yang membuat penyandang cacat termasuk dalam kelompok miskin dan terpinggirkan. Hak-hak penyandang cacat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) memperoleh pengaturan secara internasional dalam instrumen internasional.
Umumnya
suatu
instrumen
HAM
internasional
yang
dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional pada hakikatnya akan
5
mengikat negara, apabila negara tersebut telah menyatakan diri untuk terikat pada suatu perjanjian internasional. Konvensi Hak Penyandang Cacat menandai akhir dari sebuah perjuangan panjang oleh orang-orang penyandang cacat dan organisasiorganisasi perwakilan mereka untuk diakuinya secara penuh sebagai isu hak asasi manusia, yang dimulai kembali pada tahun 1981, dengan Tahun Internasional Penyandang Cacat dan Program Aksi Dunia Cacat, diadopsi sebagai hasil tahun itu. Pada tahun 1993, oleh Majelis Umum Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat, laporan Pelapor Khusus tentang Kecacatan dan Sub-Komisi tentang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan terhadap Kaum Minoritas, dan serangkaian resolusi oleh Komisi Hak Asasi Manusia pada tahun 1998, 2000, dan 2002 memberikan kontribusi signifikan untuk membuka jalan bagi pendekatan hak asasi manusia.8 Konvensi Hak-Hak Penyandang cacat atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities merupakan sebuah pengakuan masyarakat internasional terhadap hak Penyandang cacat untuk hidup setara dengan warga masyarakat lainya. Konvensi ini disahkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang ke 61, 13 Desember 2006 lalu di Markas Besar PBB di New York.. Selanjutnya ditandangani oleh sekitar 82 negara termasuk Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamzah
8
Navanethem Pillay, “Monitoring the Convention on the Rights of Persons with Disabilities”, Guidance for human rights monitors, Halaman 12, www.ohchr.org, diakses tanggal 24 Oktober 2011.
6
pada 30 Maret 2007 yang lalu.9 Pada saat upacara penandatanganan pada 30 Maret 2007, Indonesia merupakan negara urutan ke-9 dari 82 negara pertama yang menandatangani Konvensi tersebut. Hingga saat ini sudah ada 152 negara yang sudah menandatangani dan 104 diantaranya telah meratifikasinya termasuk Indonesia. Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas juga memperkenalkan suatu paradigma baru yang sangat penting dalam pemajuan hak penyandang disabilitas. Melalui Konvensi ini, penyandang disabilitas tidak lagi dilihat sebagai obyek tetapi subyek penuh. Upaya pengembangan penyandang
disabilitas
tidak
lagi
secara
pemberian
charity
atau
penyembuhan, sarana medis, sedekah dan lainnya. Namun, penyandang disabilitas dilihat dan dinilai sebagai pribadi penuh yang bisa mengklaim haknya dan mandiri (autonomous individual) yang bisa memutuskan sendiri, serta dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Cacat pada tanggal 18 Oktober 2011. Proses persiapan ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Cacat ini telah berjalan selama 4 tahun di tingkat antar kementerian sejak 2007 hingga 2011, yang juga melibatkan perwakilan dari organisasi kemasyarakatan penyandang disabilitas. Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) dengan UU Nomor 19 Tahun 2011, konvensi ini
9
Agung Kuncahya B., Penyandang Cacat Harap Haknya Dipenuhi , www.jurnas.com, diakses pada tanggal 24 Oktober 2011.
7
mengganti istilah “penyandang cacat” dengan “penyandang disabilitas” yang dinilai lebih tepat dan manusiawi.10 Setelah meratifikasi konvensi negara harus melakukan tindakantindakan seperti menghilangkan hambatan-hambatan fisik para penyandang cacat, termasuk dalam hal ini adalah menetapkan kebijakan dan hukum yang mengatur dan menjamin akses penyandang cacat terhadap perumahan, gedung, transportasi publik, jalan dan semua lingkungan fisik lainnya. Negara juga harus menjamin bahwa dalam perencanaan suatu bangunan, konstruksi, dan desain fisik, utamanya yang bersifat publik, adalah mempertimbangkan akses para penyandang cacat dan para perencana pembangunan haruslah memahami kebijakan pembangunan fisik yang ramah terhadap penyandang cacat (disability policy). Atas dasar hal-hal yang telah diuraikan maka perlu untuk melakukan penelitian mengenai kesiapan pemerintah Indonesia dalam menerapkankan konvensi tersebut dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat berdasarkan hukum internasional khususnya hukum dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, penulis menetapkan judul untuk penulisan ilmiah (skripsi) ini yaitu PENGATURAN TENTANG PEMENUHAN HAK-HAK PENYANDANG CACAT BERDASARKAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES TAHUN 2006 DI INDONESIA.
10
----,” DPR RI Setujui RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, www.kemlu.go.id, diakses pada tanggal 24 Oktober 2011.
8
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaturan pemenuhan hak-hak penyandang cacat berdasarkan Convention on the Rights of Person with Disabilities tahun 2006? 2. Bagaimanakah penerapan Convention on the Rights of Person with disabilities 2006 dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaturan pemenuhan hak-hak penyandang cacat berdasarkan Convention on the Rights of Person with Disabilities tahun 2006. 2. Untuk mengetahui implementasi Convention on the Rights of Person with Disabilities 2006 dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis a. Menambah pengetahuan dan wawasan di bidang Hukum Perjanjian Internasional khususnya dalam penerapan perjanjian internasional dan hak asasi manusia dalam hukum nasional, sehingga hukum Internasional dapat diterapkan dengan baik di Indonesia.
9
b. Memperluas cakrawala berpikir penulis dan memberikan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan. 2.
Kegunaan praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi kepustakaan Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman , Purwokerto. b. Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman atau acuan bagi mereka yang melakukan penelitian serupa.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hak Asasi Manusia dan Penyandang Cacat 1. Pengertian Hak Asasi Manusia dan Instrumen Hak Asasi Manusia Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah droits de l’homme dalam bahasa Perancis atau Human Rights dalam bahasa Inggris, yang artinya “hak manusia”. Pengertian secara teoritis dari hak asasi manusia adalah : “hak yang melekat pada martabat manusia yang melekat padanya sebagai insan ciptaan Allah Yang Maha Esa, atau hak-hak dasar yang prinsip sebagai anugerah Illahi. Berarti hak-hak asasi manusia merupakan hakhak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya, karena itu Hak Asasi Manusia bersifat luhur dan suci.”11 Pengertian Hak Asasi Manusia yang diatur dalam hukum positif Negara Indonesia yaitu diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut : Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 11
Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1983, hlm. 7-8
11
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut sudah dijelaskan bahwa Hak Azasi Manusia merupakan hak yang paling hakiki yang dimiliki oleh manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, oleh karena itu terhadap hak azasi manusia negara sebagai pelingdung warganya diharapkan dapat mengakomodir kepentingan dan hak dari warga negaranya tersebut. Konsep hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan konsep tertib dunia, karenanya tanpa memperhatikan konsep HAM tersebut, apa yang dinamakan atau diusahakan manusia untuk mewujudkan tertib dunia akan sulit dicapai. Demikian pula tujuan hukum dan tujuan ilmu-ilmu lainnya yang bersama-sama berusaha mengangkat derajat manusia agar lebih adil, makmur, sejahtera, aman, tertib, dan tenteram tidak akan mudah diraih.12 Pengembangan dan perlindungan HAM untuk semua orang dan di seluruh dunia bukanlah merupakan suatu hal yang mudah, mengingat keanekaragaman latar belakang bangsa-bangsa baik dari segi sejarah, kebudayaan, sosial, latar belakang politik, agama dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Perbedaan-perbedaan latar belakang ini menyebabkan timbulnya perbedaan konsepsional dalam perumusan HAM. Globalisasi yang bergulir pada tahun 80-an bukan saja melanda masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik, hankam, iptek, sosial, budaya dan hukum. Globalisasi di bidang
12
A. Masyhur Effendy. Perkembangan dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). 2005. Hlm 127.
12
politik tidak terlepas dari pergerakan tentang HAM, transparansi dan demokratisasi. Adanya globalisasi dalam pergerakan HAM, maka Indonesia harus menggabungkan instrumen-instrumen HAM internasional yang diakui oleh negara-negara PBB ke dalam hukum positif nasional sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia dengan memperkuat lembaga masyarakat, lembaga studi, dan masyarakat luas untuk memainkan peran dalam mempromosikan dan melindungi HAM terhadap kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Penerapan instrumen HAM internasional dalam hukum positif nasional, maka akan membatasi kekuasaan pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat teologis, filsafati, ideologis, atau moralistik, dengan kemajuan berbangsa dan bernegara dalam konsep modern akan cenderung ke sifat yuridik dan politik, karena instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh dan hukum internasional baik tertulis maupun tidak tertulis. Instrumen-instrumen tersebut akan membebankan kewajiban negaranegara anggota
PBB sebagian mengikat secara yuridis sebagian lagi
kewajiban secara moral walaupun para negara anggota belum melakukan ratifikasi secara formal.13 Hak Asasi Manusia (HAM) dipercayai memiliki nilai yang universal. Nilai universal berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu, nilai universal ini yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk 13
H. Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsepdan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 6
13
hukum nasional di berbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan
nilai-nilai
dikukuhkan
dalam
kemanusiaan.
instrumen
Bahkan
internasional,
nilai
universal
termasuk
ini
perjanjian
internasional di bidang HAM, Namun kenyataan menunjukkan bahwa nilai-nilai HAM yang universal ternyata dalam penerapannya tidak memiliki kesamaan dan keseragaman. Penerapan instrumen HAM internasional akan terkait dengan karakteristik ataupun sifat khusus yang melekat dari setiap negara. Adalah merupakan suatu fakta bahwa negara di dunia tidak memiliki kesamaan dari berbagai aspek, termasuk ekonomi, sosial, politik dan terpenting sistem budaya hukum sebagai akibatnya terjadi ketidakseragaman dalam pelaksanaan HAM di tingkat paling nyata di masyarakat. Ada empat penyebab utama alasan perjanjian internasional di bidang HAM tidak dapat ditegakkan oleh negara setelah diikuti, yaitu : Pertama, perancangan dan pembentukan berbagai perjanjian internasional di bidang HAM yang sangat terdeviasi (bias) oleh kerangka berfikir (framework of thinking) dari perancangnya. Kedua, kendala pada saat perjanjian internasional diperdebatkan. Ketiga, menyangkut tujuan pembentukan perjanjian internasional di bidang HAM yang dibuat tidak untuk tujuan mulia menghormati HAM melainkan untuk tujuan politis. Keempat, perjanjian internasional di bidang HAM setelah diikuti kerap hanya mendapatkan perhatian secara setengah hati oleh negara berkembang.14
14
Ibid, hlm. 70-71
14
2. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Dalam perkembangan hak asasi manusia, pemikiran mengenai hak asasi manusia mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah peradaban manusia, terutama dalam ikatan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasang surut hak asasi manusia ini, sebenarnya mulai muncul setelah manusia memikirkan dirinya dalam lingkungan semesta. Pemikiran mengenai hak asasi manusia ini mulai mencapai titik paling rendah setelah dikemukakannya konsep kedaulatan Tuhan yang dilakukan didunia ini dilakukan oleh seorang Raja atau Paus (Pemimpin Gereja sedunia). Kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan oleh raja ataupun Paus tersebut, menjadikan raja atau Paus mempunyai kekuasaan yang maha dasyat, sehingga mengakibatkan hak-hak raja termasuk para keturunannya dan Paus dapat terpenuhi secara optimal, sementara bagi manusia kebanyakan sama sekali tidak memiliki hak apapun. Raja ataupun Paus mampu melakukan itu semua, karena menganggap bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata adalah perintah Tuhan, dan memperolah kuasa dari Tuhan. Kondisi yang demikian ini, maka hak asasi manusia dapat diibaratkan merupakan suatu impian dan barang impian dan barang komoditi yang sangat mahal harganya, sekaligus langka keberadaannya.
15
Perkembangan pemikiran mengenai hak asasi manusia dapat dijelaskan sebagai berikut:15 a. Abad XVII dan XVIII Berdasarkan sejarah perkembangannya, dijumpai adanya beberapa naskah yang dapat dikategorikan sebagai dokumentasi perkembangan hak asasi manusia, yaitu: a) Magna Charta (Piagam Agung 1215): Suatu dokumen yang mencatat hak yang diberikan oleh Raja John Lackland dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tutntutan mereka. Dengan adanya naskah ini, sekaligus menimbulkan konsekuensi terhadap pembatasan kekuasaan Raja John Lackland. Hak yang diberikan kepada para bangsawan ini merupakan kompensasi dari jasa-jasa kaum bangsawan dalam mendukung Raja John di bidang keuangan. b) Bill of Rights (UU Hak 1689): Suatu Undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap Raja James II, dalam suatu revolusi gemilang. Dalam analisis Marxis, Revolusi Gemilang tahun 1688 dan Bill of Rights yang melembagakan adalah kaum borjuis yang hanya menegaskan naiknya kelas bangsawan dan pedagang diatas monarki. Sementara rakyat dan kaum pekerja tetap hidup tertindas. 15
Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, & Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Yogyakarta, 2003, hlm 266-267.
16
c) Declaration des droits de I’homme et du citoyen (Peryataan hakhak manusia dan warga negara 1789), yakni suatu naskah yang dicetuskan
pada
permulaan
Revolusi
Perancis,
sebagai
perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dari rezim lama. d) Bill of Rights (UU Hak): suatu naskah yang disusun oleh rakyat Amerika dalam tahun 1789 (sama dengan Deklarasi Perancis) dan menjadi bagian dari UUD Amerika pada tahun 1791. Berdasarkan naskah-naskah dokumentasi tersebut diatas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa perkembangan mengenai Hak Asasi Manusia abad XVII dan XVIII muncul sebagai akibat adanya kesewenangwenangan penguasa. Naskah-naskah itu merupakan ekspresi perlawanan terhadap penguasa yang dzalim. Hak-hak yang dirumuskan pada abad ini sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai Hukum Alam (Natural Law) oleh John Locke (1632-1714) dan JJ. Rousseau (1712-1778) yang hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan lainnya. b. Abad XX Dalam abad ini ditandai dengan terjadinya Perang Dunia II yang memporak-porandakan kehidupan kemanusiaan. Perang dunia ini disebabkan oleh ulah pemimpin-pemimpin negara yang tidak demokratis, seperti Jerman oleh Hitler, Italia oleh Benito Mussolini, dan Jepang oleh Hirohito. Berkaitan dengan hal ini, maka hak-hak politik yang tertuang dalam naskah-naskah abad XVII dan XVIII
17
dianggap kurang sempurna dan perlu diperluas ruang lingkupnya. Franklin D. Roosevelt pada permulaan Perang Dunia II merumuskan adanya 4 (empat) hak, yaitu: a) Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (Freedom of Speech). b) Kebebasan beragama. c) Kebebasan dari ketakutan. d) Kebebasan dari kemelaratan. Kemudian pada tahun 1946, Commision on Human Rights (PBB) menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial, disamping hak-hak politik. Penetapan ini dilanjutkan pada tahun 1948 dengan disusun pernyataan sedunia tentang Hak-hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948. Dari penjelasan sejarah perkembangan tersebut diatas, maka nampak bahwa pengertian hak asasi manusia mengalami peralihan yang cukup signifikan, yakni dari semata-mata kepedulian akan perlindungan individu-individu dalam menghadapi absolutisme kekuasaan negara, beralih kepada penciptaan kondisi sosial ekonomi yang diperhitungkan akan memungkinkan individu-individu mengembangkan potensinya sampai maksimal.
18
3. Macam-macam Hak Asasi Manusia Hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi:16 a) Hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya. b) Hak-hak asasi ekonomi atau property rights yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli, dan menjual serta memanfaatkannya. c) Hak-hak asasi politik atau political rights yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum), hak untuk mendirikan partai politik dan sebagainya. d) Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau rights of legalequality e) Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights yaitu hak untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan kebudayaan dan sebagainya. f) Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan atau procedural rights yaitu peraturan dalam penahanan, penangkapan, penggeledahan, peradilan dan sebagainya. Pemenuhan hak asasi manusia dalam suatu negara, tidak lepas dari adanya suatu kewajiban yang timbul baik oleh suatu negara atau masyarakat dalam negara tersebut sehingga muncul suatu keharmonisan
16
Ramdlon Naning, Op.Cit, hlm. 17.
19
yang berjalan secara selaras dan seimbang antara hak dan kewajiban manusia.
B. Perjanjian Internasional 1. Pengertian dan Istilah-istilah Perjanjian Internasional Berdasarkan bunyi Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional
disebutkan
bahwa
yang
termasuk
sumber
hukum
internasional, yaitu:17 a. Perjanjian Internasional atau Traktat (International convention, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states). Traktat dalam pengertian luas adalah perjanjian antara pihak-pihak peserta atau negara-negara di tingkat internasional.18 Traktat memberikan pengaruh terhadap arah pembentukan suatu kaidah hukum internasional. Pada dasarnya traktat memiliki dua sifat, yaitu traktat yang membuat hukum (law making treaty) dan traktat kontrak (treaty of contract). b. Kebiasaan Internasional sebagai bukti dari praktik-praktik umum yang dilakukan oleh negara dan diterima sebagai hukum (International custom as evidence of a general practices accepted as law).
17
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hlm. 33. 18 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Perjanjian Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 12.
20
Kebiasaan merupakan hukum yang mengikat yang berasal dari praktik-praktik yang telah dilakukan oleh negara-negara.19 Tidak setiap kebiasaan internasional merupakan kaidah hukum. Agar suatu kebiasaan dapat diterima sebagai hukum kebiasaan internasional, maka harus memenuhi unsur-unsur berikut: 20 a).Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum, sehingga diperlukan suatu tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula. Tindakan tersebut harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional; b). Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum, apabila negaranegara tidak menyatakan keberatan terhadapnya. c. Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (The general principles of law recognized by civilized nations). Asas-asas umum hukum adalah sekumpulan peraturan hukum dari berbagai bangsa dan negara, yang secara universal mengandung kesamaan.21 d. Keputusan Hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum (Judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law). Berbeda dengan sumber hukum lainnya, keputusan hakim dan ajaran ahli hukum hanya merupakan sumber tambahan, yang artinya keputusan hakim dan ajaran ahli hukum 19
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Intenasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 51. 20 Mochtar Kusumaatmadja dan Ety R Agoes, Op.Cit, hlm. 144-145. 21 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit, hlm. 64.
21
dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas sumber
primer
yakni
perjanjian
internasional,
kebiasaan
internasional, dan asas-asas umum hukum.22 Pengertian perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :23 Dalam arti sempit pengertian Perjanjian Internasional disebutkan dalam Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties) : “Treaty means an internastional agreement concluded between States in written form and governed by international law, wether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular” Artinya : Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dengan apapun nama yang diberikan. Dalam arti sempit ini dimaksudkan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh negara saja. Terdapat dua unsur pokok yang ada dalam definisi perjanjian internasional diatas, yaitu :24 a. Adanya subjek hukum internasional Negara adalah subjek hukum internasional, (par excellence) yang mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional seperti yang tercantum dalam pasal 6 Konvensi Wina tahun
22
Mochtar Kusumaatmadja dan Ety R Agoes, Op.Cit, hlm. 150-151. I Wayan Parthiana,Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Penerbit Mandar Maju Bandung, 2002, hlm. 15. 24 Boer Mauna, Op.cit, hlm. 85 23
22
1969, namun pada saat ini organisasi-organisasi internasional juga memiliki wewenang untuk membuat perjanjian internasional, sebagai contoh perjanjian antara UNESCO dengan Perancis tanggal 2 Juli 1954 tentang pendirian gedung dan status UNESCO di Perancis, selain itu antara PPB dengan pemerintah Amerika Serikat tanggal 26 Juni 1947 tentang pendirian dan status hukum gedung PBB di kota New York. b. Adanya rejim hukum internasional Suatu perjanjian internasional apabila perjanjian tersebut diatur oleh rejim hukum internasional. Perjanjian yang tunduk dan diatur oleh rejim hukum nasional suatu negara tidak termasuk dalam definisi perjanjian internasional (treaty). Dalam arti luas pengertian perjanjian internasional adalah : “Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai obyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.” Berdasarkan pengertian secara luas tersebut terdapat unsur-unsur perjanjian internasional, yaitu :25 a) Kata sepakat. Kata sepakat merupakan unsur yang sangat esensial dari suatu perjanjian, termasuk perjanjian internasional. Kata sepakat adalah inti dari perjanjian, tanpa adanya kata sepakat antara para pihak, maka tidak akan ada perjanjian. 25
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, CV Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 16-18
23
b) Subjek – subjek hukum internasional. Subjek-subjek hukum dalam hal ini adalah subjek-subjek hukum internasional yang terikat pada perjanjian. Dalam perjanjian internasional yang tertutup dan substansinya lebih bersifat teknis, misalnya dalam perjanjian
bilateral atau
multilateral terbatas,
pihak-pihak
yang
melakukan perundingan (negotiating state) merupakan pihak yang terikat pada perjanjian tersebut. Sedangkan pada perjanjian internasional yang terbuka dan isinya mengenai masalah-masalah yang bersifat umum, antara para pihak yang melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang terikat pada perjanjian belum tentu sama. Subjek-subjek hukum internasional yang mempunyai kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional adalah: 1) Negara; Negara merupakan subjek hukum internasional yang memiliki kapasitas
penuh
(full
capacity)
untuk
mengadakan
atau
berkedudukan sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional. Kemampuan yang dimiliki negara untuk membuat suatu perjanjian adalah sebagai implementasi dari kedaulatan negara tersebut. Tidak ada batasan terhadap hak dari negara untuk membuat suatu perjanjian, jika ada batasan hak bagi sebuah negara untuk membuat suatu perjanjian biasanya lebih bersifat politis bukan yuridis26.
26
Ibid,, hlm. 19
24
2) Negara bagian; Dalam suatu negara federal, yang menjadi pengemban hak dan kewajiban subjek hukum internasional adalah pemerintah federal. Akan tetapi, ada kalanya konstitusi federal memungkinkan negara bagian mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas atau melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh pemerintah federal27. 3) Tahta Suci atau Vatican; Tahta Suci (Vatican) merupakan suatu hukum dalam arti yang penuh dan sejajar kedudukannya dengan negara. Hal ini terjadi terutama setelah diadakannya perjanjian antara Italia dan Takhta Suci pada tanggal 11 Februari 1929 (Lateran Treaty) yang mengembalikan sebidang tanah di Roma kepada Takhta Suci dan memungkinkan didirikannya negara Vatikan, yang dengan perjanjian itu sekaligus dibentuk dan diakui28. Oleh karena itu Vatikan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara dan dapat melakukan hubungan dengan luar negeri sebagai salah satu masyarakat internasional juga membuka hubungan diplomatik dengan negara-negara dan organisasi internasional. 4) Wilayah perwalian (Trusteeship Territory); Wilayah perwalian adalah wilayah bekas jajahan dimana dulu disebut dengan wilayah mandat dalam kerangka Liga Bangsa27
Oppenheim-Lauterpacht, Internasional Law, 8th, ed, London, Vol.I (peace), p.p. 489-490, pp. 252-254, dalam Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 98 28 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 100
25
Bangsa (LBB).
Wilayah perwalian merupakan wilayah yang
belum merdeka yang sedang diarahkan untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat penuh. 5) Organisasi internasional; Organisasi internasional sebagai subjek dalam arti yang luas dimaksudkan tidak saja menyangkut semua organisasi yang dibentuk oleh negara-negara (public international organization), tetapi juga yang dibentuk oleh badan-badan non-pemerintah (private international organization) personalitas dari suatu subjek hukum organisasi internasional, untuk melakukan tidakantindakan sesuai dengan ketentuan yang termuat di dalam instrument dasar yang dimilki oleh organisasi internasional tersebut29. 6) Kaum Beligerensi; Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent) dalam beberapa keadaan tertentu30. Kaum beligerensi atau kelompok yang sedang berperang memiliki kedudukan yang sama dengan pemerintah yang berkuasa maupun dengan negara-negara pada umumnya. Kaum beligerensi merupakan kelompok yang memberontak kepada pemerintahan yang tengah berkuasa. Namun, pemberontakan yang dilakukan bukan lagi dalam lingkup 29
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1990, hlm. 12 30 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op., Cit., hlm. 110
26
nasional negara tersebut melainkan sudah menjadi masalah internasional31. 7) Bangsa yang sedang memperjuangkan haknya. Misalnya
perjuangan
bangsa
Palestina
dalam
memperjuangkan hak-haknya tanpa dibelenggu oleh bangsa Yahudi Israel. Karena apa yang menjadi hak milik bangsa Palestina hampir seluruhnya raib. c) Berbentuk tertulis. Bentuk tertulis ini adalah sebagai perwujudan dari kata sepakat yang otentik dan mengikat para pihak. Kata sepakat itu dirumuskan dalam bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak yang bersangkutan. Biasanya bahasa yang umum dipergunakan adalah bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional. d) Objek tertentu Objek dari perjanjian internasional itu adalah objek atau hal yang diatur didalamnya. Setiap perjanjian internasional perjanjian pasti mengandung objek tertentu, tidak ada perjanjian yang tanpa objek yang pasti. Objek itu sendiri secara langsung menjadi nama dari perjanjian tersebut. e) Tunduk dan diatur oleh hukum internasional. Hukum internasional dalam unsur ini adalah baik hukum internasional pada umumnya, maupun hukum internasional pada khususnya, seperti
31
I wayan Parthiana, Op., Cit.,, hlm. 24
27
yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap perjanjian melahirkan hubungan hukum berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak yang terikat pada perjanjian tersebut. Sejak
perundingan
untuk
merumuskan
naskah
perjanjian,
pemberlakuan, pelaksanaannya dengan segala permasalahan yang timbul serta pengakhiran berlakunya perjanjian, seluruhnya tunduk pada hukum internasional. hal ini menunjukkan bahwa perjanjian itu memiliki sifat internasional dan oleh karena itu termasuk dalam ruang lingkup hukum internasional. Boer Mauna memberikan pengertian bahwa melalui perjanjian internasional, tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Perjanjian internasional yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah instrumeninstrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama, mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya, dan bersifat mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut.32 Dalam suatu praktik pembuatan perjanjian diantara negara-negara dikenal dengan berbagai macam nama dan istilah. Suatu terminologi perjanjian internasional digunakan berdasarkan permasalahan yang diatur
32
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global Edisi ke-2 2005, PT. Alumni, Bandung, 2010. hlm. 82
28
dengan memperhatikan keinginan para pihak dalam perjanjian internasional tersebut. Dari uraian tersebut maka dapat ditarik ciri-ciri dari perjanjian internasional, yaitu: a) Dibuat oleh subjek hukum internasional. Subjek hukum internasional yang mempunyai kemampuan untuk mengadakan perjannjian internasional terdiri dari negara, negara bagian, wilayah perwalian, tahta suci atau vatikan, kaum belligerensi, dan organisasi internasional yang merupakan subjek buatan, serta bangsa yang sedang memperjuangkan haknya. b) Perbuatannya diatur oleh hukum internasional. Dalam bukunya Boer Mauna menyebutkan, pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.33 c) Akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak (pacta sunt servanda). Sesuai dengan Pasal 26 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional bahwa “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.” Negara yang
33
Ibid. hlm. 1
29
menjadi pihak kemudian harus menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan perundang-undangen nasional negaranya. Perjanjian internasional mempunyai istilah-istilah yang sudah biasa digunakan secara umum antara lain, traktat, konvensi, deklarasi, statuta, piagam, kovenan, persetujuan, perjanjian, pakta, protokol, final act, agreed minutes dan sumary record, memorandum of understanding, arrangement, exchange of notes, process verbal, dan modus vivendi. Masing-masing dari istilah tersebut mempunyai kriteria sendiri-sendiri. 1)
Treaties (Traktat) Traktat atau treaties merupakan perjanjian internasional yang
mencakup seluruh instrument internasional dan
yang dibuat
memiliki kekuatan
oleh subjek hukum
mengikat
menurut
hukum
internasional. Traktat biasanya berisi materi perjanjian yang menyangkut masalah penting, besar, dan sangat prinsipil. 2)
Convention (Konvensi) Convention atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan konvensi
dalam praktek internasional merupakan istilah dari perjanjian yang mempunyai kedudukan paling tinggi salain treaties atau traktat. Konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional multilateral yang mengatur masalah yang sangat penting dan besar. Perjanjian yang dibuat dengan menggunakan istilah konvensi biasanya dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang berlaku secara umum dan luas.
30
3)
Agreement (Persetujuan) Persetujuan atau agreement merupakan perangkat
perjanjian
internasional yang tingkatannya lebih rendah dari traktat atau konvensi. Agreement mengatur masalah yang ruang lingkupnya lebih sempit dari traktat atau konvensi. Biasanya agreement digunakan untuk perjanjian bilateral atau multilateral terbatas. 4)
Charter (Piagam) Istilah charter biasanya digunakan untuk perjanjian yang merupakan
dasar pendirian sebuah organisasi internasional. Contohnya Piagam PBB 1945 5)
Protocol (Protokol) Istilah lain dari perjanjian internasional adalah protokol (protocol).
Protokol biasanya memuat perjanjian yang materinya lebih sempit dibandingkan dengan traktat atau konvensi. Penggunaan protokol memiliki berbagai macam keragaman, yaitu : 1. Protocol of Signature (Protokol Penandatanganan), Protokol penandatanganan merupakan perangkat tambahan suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh pihak-pihak yang sama pada perjanjian. Protokol tersebut umumnya berisikan halhal yang berkaitan dengan penafsiran pasal-pasal tertentu pada perjanjian dan hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan teknik pelaksanaan perjanjian. 2. Optional protocol (Protokol tambahan), Protokol tambahan memberikan tambahan hak dan kewajiban selain yang diatur dalam perjanjian internasional. Protokol tambahan memiliki karakter khusus dan memerlukan proses pengesahan yang terpisah dari perjanjian induknya. 3. Protocol Based of Framework Treaty (Protokol Kerangka Perjanjian),
31
Protokol ini merupakan perangkat yang mengatur kewajiban-kewajiban khusus dalam melaksanakan perjanjian induknya. 4. Protokol untuk mengubah beberapa perjanjian Internasional, 5. Protokol yang merupakan pelengkap perjanjian sebelumnya. 6)
Declaration (Deklarasi) Merupakan suatu perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan umum
dimana pihak-pihak pada deklarasi berjanji untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu dimasa yang akan datang. Perbedaan dengan konvensi ialah deklarasi isinya lebih ringkas dan padat serta mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang hanya bersifat formal seperti surat kuasa (full powers), ratifikasi dan lain-lainnya.34 Deklarasi dibagi menjadi empat macam, yaitu35; 1. Deklarasi sebagai suatu perjanjian dalam arti yang sejati atau sebenarnya. 2. Deklarasi sebagai suatu instrument yang tidak formal yang dilampirkan pada suatu perjanjian sebagai penafsiran atau penjelasan tentang ketentuan-ketentuan dari perjanjian tersebut. 3. Deklarasi sebagai persetujuan informal yang berhubungan dengan masalah-masalah yang tidak begitu penting. 4. Deklarasi sebagai sebuah resolusi yang dikeluarkan dalam suatu konferensi diplomatik yang berisi beberapa pernyataan tentang beberapa prinsip yang harus dihormati oleh semua negara. 7) Statute (Statuta) Istilah statuta biasa digunakan untuk perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional, organisasi internasional yang menggunakan istilah statuta untuk piagamnya adalah Mahkamah Internasional (Statute of International Court of Justice).36 34
Boer Mauna, Op.cit, hlm. 93-94 I Wayan Parthiana, Op., Cit,. hlm. 29 36 Ibid, hlm. 30-31 35
32
8) Agreement (Persetujuan) Istilah agreement memiliki pengertian umum dan khusus, sama halnya dengan convention, dalam pengertian umum Konvensi Wina 1969 menggunakan istilah agreement dalam artian luas. selain memasukkan definisi treaty sebagai international convention, konvensi tersebut juga menggunakan
istilah
international
agreement
bagi
perangkat
internasional yang tidak memenuhi definisi treaty, dengan demikian pengertian umum dari agreement
mencakup seluruh perangkat
internasional yang biasanya mempunyai kedudukan lebih rendah dari traktat atau konvensi. Pengertian agreement secara khusus dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama persetujuan. Menurut pengertian ini, persetujuan umumnya mengatur materi yang lebih kecil dibanding materi yang diatur pada traktat. Isitilah persetujuan saat ini cenderung digunakan bagi perjanjian bilateral dan terbatas pada perjanjian multilateral.37 9)
Arrangement (Penetapan) Digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang ditinjau
dari isinya lebih bersifat teknis dan administratif. Dalam hal ini arrangement juga digunakan untuk melaksanakan proyek-proyek jangka pendek yang betul-betul bersifat teknis. Istilah arrangement digunakan untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam persetujuanpersetujuan kerjasama teknis, persetujuan-persetujuan kerjasama teknik
37
Boer Mauna, Op.cit, hlm. 91-92
33
tersebut hanya menyebutkan bidang-bidang kerjasama saja sedangkan pelaksanaan tiap-tiap bidang serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak akan diatur dalam special arrangement.38 10) Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman). Nota
kesepahaman
merupakan
perjanjian
yang
mengatur
pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknis, nota kesepahaman dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian ini. Jenis perjanjian ini umumnya dapat
segera berlaku setelah penandatangan tanpa memerlukan
pengesahan.39 11) Pact (Pakta). Istilah pakta dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional dalam bidang, militer, pertahanan dan keamanan, misalnya perjanjian tentang organisasi kerjasama pertahanan dan keamanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) disebut Pakta Atlantik.40 12)
Exchange of Notes Pertukaran nota atau exchange of notes merupakan perjanjian
internasional yang bersifat umum yang memiliki banyak persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilakukan dengan menukarkan dua dokumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada masing-masing dokumen41.
38
ibid, hlm. 95 Ibid, hlm 95 40 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian 1, Op.cit, hlm. 33 41 Ibid., hlm 95 39
34
13)
Modus Vivendi Modus Vivendi merupakan suatu perjanjian yang bersifat
sementara dengan maksud akan diganti dengan pengaturan yang tetap
dan
terperinci.
Modus
Vivendi
tidak
memerlukan
pengesahan42.
2. Macam-macam Perjanjian Internasional Perjanjian internasional selain mempunyai berbagai istilah juga terdapat pengklasifikasian yang merupakan macam-macam perjanjian internasional yang membedakan antara perjanjian internasional yang satu dengan yang lain. Macam-macam perjanjian ini diltinjau dari sudut pendekatan yang ditempuh. Macam-macam perjanjian, yaitu43; 1)
Perjanjian internasional ditinjau dari jumlah peserta; a.
Perjanjian internasional bilateral Perjanjian internasional bilateral merupakan perjanjian yang disepakati oleh dua negara saja. Perjanjian tersebut hanya mengikat kedua negara tersebut.
b.
Perjanjian internasional multilateral. Perjanjian multilateral adalah perjanjian yang pihaknya terdiri dari lebih dari dua negara.
42 43
Ibid., hlm 95 I Wayan Parthiana, Op., Cit,. hlm. 40-47
35
2)
Perjanjian internasional ditinjau dari kesempatan yang diberikan kepada negara-negara untuk menjadi pihak a.
Perjanjian internasional khusus Perjanjian internasional khusus disebut juga perjanjian
tertutup yaitu hanya mengikat bagi para pihak saja , sifatnya tertutup hanya bagi yang ikut dalam perjanjian. b.
Perjanjian internasional terbuka Perjanjian internasional terbuka merupakan perjanjian yang
bersifat terbuka bagi negara-negara yang tidak ikut dalam perundingan untuk bergabung di dalam perjanjian tersebut. 3)
Perjanjian internasional ditinjau dari kaidah hukumnya; a.
Perjanjian internasional yang berlaku khusus (Treaty contract) Perjanjian internasional yang hanya melahirkan kaidah
hukum bagi negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian saja. Perjanjian ini bersifat tertutup. b.
Perjanjian internasional regional Perjanjian internasional yang hanya melahirkan kaidah
hukum bagi negara-negara yang ada dalam satu kawasan saja atau dalam satu regional. Mempunyai akibat hukum hanya bagi negara-negara yang berada dalam satu kawasan tersebut. c.
Perjanjian internasional yang berlaku umum (Law making treaty)
36
Perjanjian internasional ini melahirkan kaidah hukum yang diharapkan menjadi sebuah kaidah yamg berlaku umum bagi seluruh masyarakat internasional. Biasanya perjanjian ini berkaitan dengan hal-hal atau masalah yang penting dan besar. 4)
Perjanjian internasional ditinjau dari segi bahasanya; a. Perjanjian yang dirumuskan dalam satu bahasa, biasanya bahasa yang digunakan dalam perjanjian ini adalah bahasa Inggris sebagai bahasa universal. b. Perjanjian yang dirumuskan dengan dua bahasa, perjanjian ini biasanya dituangkan dalam bahasa Inggris dan bahasa yang sesuai dengan kesepakatan para pihak, tetapi hanya yang dirumuskan dalam satu bahasa saja yang merupakan perjanjian yang sah. c. Perjanjian yang dirumuskan dengan tiga bahasa, semua perjanjian tersebut sah dan otentik.
5) Perjanjian internasional ditinjau dari substansinya. a. Perjanjian
internasional
yang seluruh pasalnya
merupakan
perumusan dari kaidah hukum kebiasaan internasional dalam bidang yang bersangkutan. Perjanjian semacam ini tampaknya tidak ada lagi mengingat perkembangan hukum internasional yang semakin pesat yang mengakibatkan selalu ada unsur-unsur yang sama sekali baru
37
disamping kaidah-kaidah hukum yang sudah merupakan hukum kebiasaan internasional. b. Perjanjian
internasional
yang
merupakan
perumusan
dan
melahirkan kaidah-kaidah hukum internasional yang baru. Perjanjian internasional semacam ini biasanya berkenaan dengan masalah-masalah yang sama sekali baru dan kaidah hukumnya sama sekali belum ada. Pada umumnya masalahmasalah tersebut terjadi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. c. Perjanjian internasional yang merupakan perpaduan antara hukum kebiasaan internasional dengan kaidah hukum internasional yang baru. Perjanjian semacam ini yang semakin banyak muncul, karena masyarakat dan hukum internasional yang terus berkembang dengan pesatnya, sehingga perumusannya dalam bentuk perjanjian internasional, disamping harus menampung kaidah-kaidah hukum yang sudah ada sebelumnya, juga harus dipadukan dengan kaidahkaidah hukum yang merupakan unsur-unsur baru sama sekali. 6) Perjanjian internasional ditinjau dari pemrakarsanya. a. Perjanjian internasional yang diprakarsai oleh negara atau negara-negara; Perjanjian internasional ini diprakarsai oleh negara dengan negara atau negara-negara dimana objek dalam perjanjian ini
38
merupakan kepentingan dari negara-negara saja. Untuk itu perjanjian tersebut mengikat negara-negara yang mempunyai kepentingan. Namun, perjanjian ini juga terbuka bagi negara-negara yang mempunyai kepentingan yang sama untuk ikut terikat dengan perjanjian tersebut meskipun tidak ikut dalam perundingan. b. Perjanjian
internasional
yang
diprakarsai
oleh
organisasi
internasional. Organisasi internasional terutama organisasi internasional antar negara atau antar pemerintah dapat memprakarsai dibentuknya suatu perjanjian. Namun, perjanjian disini haruslah sesuai dengan objek yang merupakan kegiatan, tujuan, dan maksud dari dibentuknya organisasi internasional yang bersangkutan. 7) Ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya. Pada dasarnya macam-macam perjanjian internasional ini sama dengan perjanjian internasional ditinjau dari kesempatan yang diberikan kepada negara-negara untuk menjadi pihak atau peserta, karena negara-negara yang telah menjadi pihak atau peserta perjanjian internasional tersebut maka secara otomatis berlaku dalam ruang lingkup negara-negara pesertanya, yang membedakan terletak wilayah dan pemerintahnya, dalam hal ini berlaku asas teritorial dan personalitas dari negara-negara yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.
39
3. Tahap-Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional diatur dalam Pasal 6-10 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian.44 Pembuatan perjanjian internasional dapat melalui dua tahap atau lebih dari dua tahap, pembuatan perjanjian internasional yang melalui dua tahap hanya terdiri dari proses perundingan dan penandatangan. Pembuatan perjanjian internasional yang terdiri dari lebih dua tahap jika ditinjau dari isi atau materi dalam perjanjian yang dibuat pada umumnya menyangkut hal-hal yang mengandung nilai yang penting atau prinsip bagi para pihak terikat, hanya saja penentuan atau kriteria mengenai penting atau tidaknya masalah tersebut, ditentukan sepenuhnya oleh negara-negara yang bersangkutan.45 Berikut ini tahap-tahap dalam pembuatan perjanjian internasional : 1. Pendekatan Informal. Pada zaman modern sekarang ini, pihak-pihak yang bermaksud untuk membuat atau merumuskan suatu perjanjian internasional mengenai suatu masalah tertentu, terlebih dahulu melakukan pendekatan-pendekatan, yang bersifat informal dalam rangka mencapai kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian internasional yang mengatur suatu masalah tertentu. Dalam perjanjian bilateral atau multilateral terbatas biasanya dengan pendekatan antara dua pejabat negara yang berwenang dalam masalah yang sama, sedangkan dalam perjanjian multilateral umum atau terbuka, pendekatan-pendekatan tersebut dilakukan melalui pertemuan-pertemuan 44 45
I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar..., Op.cit, hlm. 172 Ibid, hlm. 171
40
informal antara para diplomat atau pejabat negara, baik secara bilateralbilateral untuk selanjutnya ditingkatkan dalam forum yang lebih resmi. Kesepakatan-kesepakatan hasil pendekatan informal itulah nantinya akan dilanjutkan dengan langkah-langkah formal untuk merumuskan suatu perjanjian yang disebut perundingan (Negotiation).46 2. Perundingan (Negotiation). Perundingan dalam suatu konferensi internasional baik yang bersifat bilateral maupun multilateral umumnya dilakukan oleh utusan-utusan yang ditunjuk oleh Presiden atau Menteri Luar Negeri, pada perundinganperundingan untuk soal-soal tertentu terkadang Presiden atau Menteri Luar Negeri atau Menteri lainnya sesuai dengan bidangnya masing-masing yang memimpin delegasi. Dalam praktek internasional utusan-utusan suatu negara dalam suatu konferensi internasional biasanya dilengkapi dengan surat kuasa (full powers), menurut Pasal 7 ayat (1) Konvensi Wina 1969,47 full powers adalah suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang menunjuk satu atau beberapa utusan untuk mewakili negaranya dalam berunding, menerima naskah atau membuktikan keaslian
46
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional 1, Op.cit, hlm. 93 Pengertian full powers dalam Konvensi Wina 1969 tercantum dalam Pasal 7, yang berbunyi : 1. A person is considering as representing a State for the purpose of adopting or authenticating the text of a treaty or for the purpose of expressing the consent to be bound by treaty if : (a) he produce appropriate full powers or; (b) it appears from the practice of the States concerned or from other circumstances that their intention was to consider that person as representing the State for such purposes and to dispense with full powers.
47
41
naskah atau
melaksanakan perbuatan
lainnya
sehubungan dengan
perjanjian.48 Full powers tidak selalu merupakan satu-satunya dokumen yang dimiliki oleh suatu delegasi dalam suatu konferensi bilateral maupun multilateral, suatu delegasi yang menghadiri konferensi internasional dalam kerangka suatu organisasi internasional biasanya dilengkapi dengan credentials
atau
surat
kepercayaan,
Indonesia
dalam
prakteknya
memisahkan full powers dan credentials untuk menghadiri konferensi. Delegasi RI yang dilengkapi dengan credentials hanya diberikan wewenang untuk menghadiri konferensi dan bukan untuk menandatangani suatu perjanjian, sedangkan full powers baru dikeluarkan bila suatu perjanjian akan ditandatangani. Pengertian full powers dalam Konvensi Wina 1969 sudah termasuk pengertian credentials. 49 3. Penerimaan Naskah (Adoption of the Text). Setelah melalui proses perundingan antara wakil-wakil para pihak ataupun perundingan melalui konferensi internasional sampai dengan tercapainya kesepakatan antara para wakil yang melakukan perundingan atas naskah perjanjian, maka dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian. Menurut Pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina 196950 penerimaan naskah suatu perjanjian internasional
48
Boer Mauna, Op.cit, hlm. 100 Ibid, hlm. 101-102 50 Ketentuan Pasal 9 Konvensi Wina 1969 berbunyi : 1. The adoption of the text of a treaty takes place by the consent of all the States participating in its drawing except as provided in paragraph 2. 49
42
dilakukan berdasarkan persetujuan dari semua negara yang berpartisipasi dalam perumusan naskah perjanjian itu, kecuali penerimaan naskah perjanjian yang lahir melalui suatu konferensi internasional seperti ditentukan dalam Pasal 9 ayat (2) konvensi ini. Pasal 9 ayat (2) tersebut menegaskan bahwa penerimaan atau pengadopsian naskah suatu perjanjian internasional yang dirumuskan melalui suatu konferensi internasional dilakukan dengan persetujuan dua per tiga dari negara-negara yang hadir dan memberikan suaranya, kecuali dengan suatu suara mayoritas yang sama negara-negara itu menerapkan peraturan yang berbeda.51 4. Pengesahan Naskah (Authentication of the Text). Pengesahan naskah suatu perjanjian internasional merupakan tahap lanjutan dari penerimaan naskah perjanjian. Pengesahan naskah ini akan meningkatkan status dari naskah yang sudah melewati tahap penerimaan menjadi naskah yang final dan definitif, dengan status final dan definitif ini, maka perjanjian itu tidak dapat diubah lagi, kecuali setelah perjanjian tersebut sudah mulai berlaku, dapat diubah melalui proses amandemen ataupun modifikasi sesuai dengan pengaturannya dalam perjanjian itu sendiri atau jika perjanjian itu tidak mengaturnya, menurut prosedur seperti yang dicantumkan dalam Bagian IV Pasal 39-41.52
2.
The adoption of the text of a treaty at an international conference takes place by vote of two thirds of the States present and voting, unless by the same majority they shall decide to apply a different rule. 51 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian 1, Op.cit, hlm. 106-107 52 Ibid, hlm. 107
43
Menurut Pasal 10 Konvensi Wina 196953, pengesahan naskah suatu perjanjian dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah perjanjian-perjanjian itu sendiri, atau sesuai dengan apa yang diputuskan bersama wakil-wakil yang ikut dalam konferensi, jika tidak ditentukan sebelumnya
maka
pengesahan
tersebut
dapat
dilakukan
dengan
membubuhkan tanda tangan atau paraf dibawah naskah perjanjian atau tanda tangan dalam suatu final act.54 5. Penandatanganan / Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian (Consent to be Bound by Treaty) Setelah naskah perjanjian resmi diterima sebagai naskah yang otentik, perjanjian itu belum mengikat para pihak, dengan demikian belum memiliki kekuatan mengikat sebagai hukum internasional positif, kecuali pada saat pengesahan sekaligus juga sebagai pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian. Agar perjanjian tersebut mengikat sebagai sumber hukum internasional positif, maka negara-negara tersebut perlu menyatakan persetujuan untuk terikat secara tegas pada perjanjian, jika negara tersebut tidak menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian atau secara tegas menolak untuk terikat, maka perjanjian tersebut tidak akan mengikatnya. Persetujuan atau penolakan untuk terikat merupakan
53
Ketentuan Pasal 10 Konvensi Wina 1969 berbunyi sebagai berikut : “The text of a treaty is established as authentic and definitive : (a) by such procedur as may be provided for in the text or agreed upon by the States participating in its drawing up; or (b) by failing such procedure by the signature, signature ad referendum or initialling by the representatives of those States of the text of the treaty or of the Final Act of a conference incorporating the text” 54 Boer Mauna, Op.cit, hlm. 108
44
kedaulatan dari negara, setipa negara berdaulat tidak dapat dipaksa oleh kekuatan apapun untuk menerima sesuatu yang tidak dikehendakinya, seperti menyatakan terikat pada perjanjian. Menurut Pasal 11 Konvensi Wina 1969,55 ditegaskan beberapa cara untuk menyatakan terikat persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian, yaitu dengan penandatangan (signature), pertukaran istrumen yang membentuk perjanjian (exchange of instruments constituting a treaty), ratifikasi (ratification), akseptasi (acceptance), persetujuan atau aksesi (approval or accession), atau dengan cara lain yang disepakati (or by any other means if so agreed). Semua cara tersebut masing-masing diatur lebih rinci dalam Pasal 12-17 Konvensi Wina 1969.
4. Akibat Hukum Perjanjian Internasional Perjanjian internasional mengikat para pihak (prinsip pacta sunt servanda). Selanjutnya negara-negara pihak pada perjanjian harus menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan perundang-undangan nasional. Sehubungan dengan itu, maka akibat dari perjanjian dibagi menjadi tiga, yaitu;56 1. Akibat perjanjian terhadap negara-negara pihak; Selain asas pacta sunt servanda yang digunakan, sesuai dengan Pasal 26 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional
55
Ketentuan Pasal 11 Konvensi Wina 1969 berbunyi sebagai berikut : “The consent of a States to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instrument constitutinga treaty , acceptance, apporval or accession, or by any other means if so agreed” 56 Boer Mauna, Op., Cit.,. hlm. 135
45
bahwa “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith,” yang berarti bahwa negaranegara yang terikat pada suatu perjanjian harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam perjanjian internasional yang telah disetujuinya dengan itikad baik. Negara yang terikat pada perjanjian harus menaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian. 2. Akibat perjanjian terhadap negara lain; Perjanjian internasional selain berakibat pda negara-negara dalam pihak perjanjian juga mempunyai akibat terhadap negara lain Disini berlaku prinsip terkenal pacta tertiis nex nocent nec prosunt yang berarti bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban dan memberikan hak pada negara ketiga.57 Namun ada pengecualian terhadap prinsip tersebut, yaitu58; a) Perjanjian yang mempunyai akibat kepada negara ketiga atas persetujuan mereka. Perjanjian ini memberikan hak kepada negara ketiga atas persetujuan negara ketiga tersebut, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 35 Konvensi Wina 1969 tentang hukum Perjanjian yang berbunyi; Suatu kewajiban dapat timbul bagi negara ketiga yang berasal dari ketentuan suatu perjanjian yang dibuat dengan sengaja oleh negara-negara pihak dan negara ketiga tadi menerima kewajiban tersebut dalam bentuk tertulis.
57 58
Ibid., hlm. 143 ibid., hlm. 144
46
b) Perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara ketiga. Klausula Most-Favoured Nation adalah suatu mekanisme yang sering dipakai dalam hubungan ekonomi internasional. Klausula ini berarti bahwa setiap keuntungan yang diperoleh suatu negara (negara A), dalam kaintannya dengan suatu perjanjian di bidang tertentu dengan negara lain (negara B), akan dinikmati pula oleh negara ketiga (negara C). c) Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa persetujuan mereka. Pengecualian mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 (6) Piagam PBB yang antara lain menyatakan bahwa PBB harus memastikan negara-negara bukan anggota PBB bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional. Jadi, negara bukan anggota PBB sepanjang mengenai perdamaian dan keamanan internasional harus bertindak sesuai dengan asas dari piagam. 59 3. Implementasi perjanjian pada peraturan perundang-undangan nasional Negara yang menjadi pihak dalam suatu perjanjian berarti negara tersebut sudah terikat dengan perjanjian untuk itu harus menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan perundangundangan nasional negaranya. Perjanjian internasional kemudian harus dituangkan dalam perundang-undangan negara yang terikat
59
Ibid., hlm. 145
47
sebagai wujud pelaksanaan perjanjian secara nasional oleh negara tersebut. Jika, suatu negara menolak pelaksanaan perjanjian internasional karena bertentangan atau tidak sesuai dengan hukum nasional negaranya padahal sudah terikat maka, tidak dapat dijadikan alasan bagi negara tersebut
untuk megalahkan perjanjian internasional dari hukum
nasionalnya karena terdapat asas pacta sunt servanda, sehingga tetap perjanjian internasional yang dimenangkan. Sebab, sebelum terikatnya negara dalam perjanjian internasional sudah melewati tahapan-tahapan dalam penyesuaiannya dengan perjanjian internasional tersebut. Kecuali, jika alasan yang digunakan adalah
mengenai masalah yang sangat
mendasar dan fundamental bagi suatu negara. Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional mengandung dua aspek, yaitu aspek eksternal dan aspek internal.
Aspek
eksternalnya
adalah
keterikatan
negara
yang
bersangkutan terhadap perjanjian dalam hubungannya dengan negara yang lain yang juga sama-sama terikat pada perjanjian itu. Sedangkan aspek internalnya berkenaan dengan masalah di dalam negeri dari negara yang bersangkutan, misalnya organ yang manakah dari pemerintah negara itu yang berwenang menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, bagaimanakah mekanismenya sampai dengan dikeluarkannya persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada
48
perjanjian, serta konsekuensinya terhadap hukum nasional dari keterikatan pada perjanjian60. Suatu
negara
yang
telah
meratifikasi
suatu
perjanjian
internasional dan juga telah mengundangkan ke dalam hukum nasionalnya,
serta
beberapa
hal
juga
telah
menjabarkan
atau
mentransformasikan ke dalam hukum nasionalnya sendiri, dalam pelaksanaannya di dalam wilayahnya, juga akan berhadapan dengan hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya yang lain. Dalam hal ini terdapat beberapa kemungkinan yang akan dihadapi, yakni : 1. Substansi maupun isi dan jiwa dari perjanjian itu sendiri selaras dengan hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya yang lain. Dalam hal ini tentulah tidak ada atau amat sedikit masalah yang muncul berkenaan dengan penerapan perjanjian internasional itu, baik secara internal maupun eksternal. 2. Setelah diratifikasi dan diterapkan oleh negara yang bersangkutan baru diketahui
bahwa
perjanjian
tersebut
terdapat
beberapa
isi
atau
ketentuannya ternyata bertentangan dengan hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya. Dalam hal kemungkinan kedua yang mungkin akan terjadi maka demi memelihara dan mempertahankan tertib masyarakat internasional, dan demi mempertahankan nilai-nilai dan tujuan luhur dari perjanjian60
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, CV Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 144-145
49
perjanjian internasional serta juga supaya negara-negara tidak mudah menjadikan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk mengesampingkan suatu perjanjian internasional, hal ini ditegaskan dalam Pasal 27 Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties 1986) yang berbunyi : “A party may not invoke the provisions of its internal law as justification of its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46.” (Salah satu pihak tidak boleh menjadikan ketentuan dalam hukum nasionalnya sebagai pembenar atas kegagalannya dalam melaksanakan suatu perjanjian internasional. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk mengabaikan Pasal 46). Maksud dari ketentuan ini adalah untuk membatasi penyalahgunaan perjanjian atas alasan berdasarkan hukum nasional, yang kemudian akan menimbulkan akibat / dampak buruk terhadap perjanjian internasional itu sendiri maupun terhadap negara peserta lainnya. 61
C. Penyandang Cacat Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Penderita Cacat menyatakan bahwa penderita cacat adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik atau mental yang oleh karenanya merupakan suatu rintangan atau hambatan baginya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan secara layak, terdiri dari: cacat tubuh, cacat netra, cacat mental, cacat rungu wicara, dan cacat bekas penyandang penyakit kronis.
61
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2,CV Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 275 - 278
50
Kategori penyandang cacat tersebut disempurnakan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat yang mendefinisikan bahwa Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan mental.62 Undang-undang No. 4 tahun 1997 juga menegaskan bahwa penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pengertian Penyandang Cacat dibagi dalam 3 hal : 1.
Impairment
diartikan
sebagai
suatu
kehilangan
atau
ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. 2.
Disability diartikan sebagai suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitas/kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan oleh kondisi impairment tersebut.
3.
Handicap diartikan kesulitan/ kesukaran dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, baik di bidang sosial ekonomi maupun
62
Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997.
51
psikologi
yang
dialami
oleh
seseorangyang
disebabkan
ketidaknormalan tersebut. Dalam situs Wikipedia disebutkan disabilitas (penyandang cacat) merupakan kelainan pada organ tubuh makhluk hidup yang seharusnya tidak dimiliki oleh suatu organ tersebut. Macam-macam disabilitas antara lain : a. Tuna netra, yaitu keadaan dimana organ penglihatan tidak berfungsi untuk melihat b. Tuna rungu, yaitu keadaan dimana organ pendengaran tidak dapat difungsikan untuk mendengar suara c. Tuna wicara, yaitu keadaan dimana seseorang tidak mempunyai kemampuan berbicara dikarenakan terjadi kelainan fisik, d. Tuna daksa, yaitu keadaan seseorang yang mengalami kelainan disebabkan oleh tidak dimilikinya tangan untuk melakukan sesuatu, atau tidak memiliki kaki untuk berjalan. e. Tuna laras, yaitu keadaan seseorang yang mengalami kelainan dalam cara dan sikap berperilaku yang berbeda dari kebanyakan orang pada umumnya. f. Tuna grahita, yaitu keadaan dimana seseorang mempunyai kelainan mental g. Tuna ganda, yaitu keadaan dimana seseorang mempunyai kelainan yang lebih dari satu. Tuna ganda dapat disebut juga keadaan dimana seseorang memiliki kombinasi kelainan (baik dua jenis
52
kelainan atau lebih) yang menyebabkan adanya masalah pendidikan yang serius, sehingga dia tidak hanya dapat diatasi dengan suatu program pendidikan khusus untuk satu kelainan saja, melaiankan harus didekati juga dengan variasi program pendidikan sesuai kelainan yang dimiliki
53
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif, yaitu metode dalam proses penyelidikannya meninjau dan membahas objek penelitian dengan menekankan pada aspek-aspek yuridis terhadap aturan-aturan atau instrumen hukum internasional berkaitan mengenai pengaturan mengenai pemenuhan hak-hak penyandang cacat berdasarkan Convention on the Rights of Persons with Disabilities tahun 2006 di Indonesia.
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif maksudnya bahwa penelitian ini menggambarkan keadaan atau gejala dari objek yang akan diteliti secara menyeluruh dan sistematis tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum. Analitis karena kemudian akan dilakukan analisis terhadap berbagai aspek yang diteliti dengan asas hukum, kaidah hukum dan berbagai pengertian hukum yang berkaitan dengan penelitian ini. C. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam penulisan mengingat jenis penelitian merupakan penelitian kepustakaan, maka lokasi bertempat di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas
Hukum Universitas
Jendral Soedirman,
Perpustakaan Pusat
54
Universitas Jendral Soedirman, Perpustakaan Daerah Kabupaten Banyumas, serta media internet dengan menelaah pustaka yang berkaitan dengan kajian penelitian. D. Sumber Data Sumber data dalam penyusunan penelitian ini adalah 1. sumber data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang terdiri dari: a. Bahan Hukum Primer adalah semua peraturan hukum yang merupakan sumber hukum internasional. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan berupa peraturan hukum internasional yang terkait dengan Penyandang Cacat 1) Undang-undang Dasar 1945 setelah Amandemen 2) Konvensi tentang hak-hak penyandang cacat tahun 2006 (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) 3) Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional (Vienna Convention On The Law Of Treaties, 1969). 4) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. 6) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities.
55
7) Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari bukubuku, literatur, jurnal, doktrin, dan hasil penelitian yang terkait dengan permasalahan penelitian. c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, mencakup63: Bahan-bahan
yang
memberi
petunjuk-petunjuk
maupun
penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, yaitu; kamus hukum, ensiklopedia, indeks komulatif, opini media yang diambil melalui internet. E. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara melalui metode kepustakaan, pengumpulan data sekunder dengan melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka (literatur, Perundang-undangan, Hasil Penelitian, Majalah Ilmiah, Buletin Ilmiah, Jurnal Ilmiah, dan sebagainya). F. Metode Penyajian Data Bahan yang diperoleh akan disajikan secara deskriptif dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, yang didahului dengan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah. Tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan diteruskan dengan analisa data dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan. 63
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 185
56
G. Metode Analisa Data Bahan hukum yang telah diperoleh akan dianalisis secara normatif kualitatif, normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturanperaturan yang ada sebagai norma hukum positif. Sedangkan kualitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai bahan hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis yang akhirnya akan ditarik kesimpulan pada karya tulis ini.
57
BAB 1V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Manusia
sebagaimana
diakui
hukum
merupakan
subyek
hukum
(pendukung hak / kewajiban hukum), pada saat itu sebenarnya hukum secara formal mengakui hak asasi manusia, sehingga persoalan hukum dan hak asasi manusia adalah satu, dalam arti hukum yang memberi pengayoman, kedamaian serta ketentraman manusia bermasyarakat dan bernegara. Hal ini berarti ada hukum yang sekedar “ada” untuk menunjuk bahwa aturan hukum dipakai dalam suatu negara.64 Menyadari sepenuhnya bahwa persoalan hukum dan menegakkan hukum sebagaimana penulis sebutkan diatas, saat ini in proses baik dalam arti nasional maupun dunia internasional, hal ini sama persoalannya dengan hak asasi manusia yang juga in proses atau dalam perjuangan. Sejauh mana perjuangan menegakkan hukum dan menegakkan hak asasi manusia berhasil, kiranya sangat tergantung atau berhubungan dengan kesadaran umat manusia sendiri, terutama para negarawan Nasional dan Internasional. Persoalan hak asasi manusia apabila dikaji lebih lanjut maka akan sampai pada satu “daerah” atau area bidang politik tiaptiap negara yang terkadang sudut pandang masing-masing negara berbeda dengan aplikasi yang berbeda pula. Hal ini disadari oleh para ahli hukum internasional,
64
A. Masyhur Effendi, 1980, Tempat Hak-hak Azasi Manusia dalam Hukum Internasional / Nasional, Penertbit Alumni, Bandung, hlm. 14.
58
karena itulah dengan cara perundingan terus-menerus diusahakan adanya satu konsensus Internasional dalam menegakkan hak asasi manusia di seluruh dunia.65 Hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia yang harus tetap dihormati oleh setiap orang dan dilindungi oleh negara, meskipun seseorang itu memiliki kelainan fisik (penyandang cacat). Perlindungan hak asasi manusia tersebut mutlak diberikan tanpa pengecualian dan tanpa perbedaan menurut bangsa, suku, ras, agama, jenis kelamin, maupun status sosial dan status hukum seseorang. Konsensus internasional tersebut sudah dituangkan dalam satu perjanjian internasional atau konvensi internasional yaitu dalam Vienna Convention on the Law of Treaties tanggal 23 Mei 1969 yang diharapkan merupakan wadah atau sarana semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengadakan komunikasi dengan dasar itikad baik (Good Faith and Pacta Sunt Servanda), sehingga setiap pihak yang menghadapi keperluan atau persoalan dapat menyelesaikannya melalui perjanjian. Perjanjian internasional dalam perkembangan hukum internasional memang memiliki peranan yang sangat penting, karena selain sebagai sumber hukum yang paling utama dari hukum internasional, perjanjian internasional juga lebih banyak menciptakan kepastian hukum dibandingkan dengan sumber hukum internasional yang lainnya. Masyarakat internasional memang tidak memiliki penguasa yang berwenang untuk menetapkan dan memaksakan aturan hukum seperti dalam lingkup hukum nasional, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh
65
Ibid., hlm 15
59
aturan hukum yang tertulis dalam masyarakat internasional merupakan hasil dari kesepakatan yang dibentuk oleh para subjeknya guna mencapai suatu tujuan dan akibat hukum tertentu.66 Dewasa ini dan pada masa-masa yang akan datang negara-negara menampakkan kecenderungan untuk mengatur dan menuangkan hubunganhubungan hukum internasionalnya ke dalam bentuk perjanjian. Hal ini disebabkan oleh karena perjanjian internasional, lebih memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga. Contohnya pada isi, maksud dan tujuan dari para pihak baik yang tersurat maupun yang tersirat dapat diketahui dengan membaca dan memahami naskah perjanjian tersebut. Demikian pula mengenai cara-cara pembuatan, pengikatan diri dan pengakhiran berlakunya, sudah diatur secara baku yang diakui dan dihormati oleh negara-negara di dunia. Salah satu bentuk perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara yang berisikan tentang permasalahan yang ada dalam masyarakat internasional dan juga menjadi perhatian serius masyarakat internasional adalah mengenai hak asasi penyandang cacat atau disabilitas. Konvensi yang mengatur tentang hak-hak penyandang cacat dibuat pada tahun 2006 dengan nama Convention on the Rights of Persons with Disabilities / CRPD 2006 atau biasa dikenal dengan istilah Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat / Disabilitas.
66
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian 2, Op.cit., Hlm 50
60
A. HASIL PENELITIAN 1. Pengaturan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Cacat berdasarkan Convention on the Rights of Persons with Disabilities Tahun 2006 Pasal 1 Konvensi Penyandang Cacat 2006 diuraikan mengenai tujuan dibentuknya konvensi ini, berbunyi sebagai berikut: a. The purpose of the present Convention is to promote, protect and ensure the full and equal enjoyment of all human rights and fundamental freedoms by all persons with disabilities, and to promote respect for their inherent dignity. b. Persons with disabilities include those who have long-term physical, mental, intellectual or sensory impairments which in interaction with various barriers may hinder their full and effective participation in society on an equal basis with others. Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Cacat atau CRPD mempunyai tujuan untuk memajukan, melindungi dan menjamin penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar secara penuh dan setara oleh semua orang penyandang cacat dan untuk memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka. Orang-orang penyandang cacat termasuk mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan. Pada isi CRPD tidak terdapat definisi mengenai pengertian penyandang cacat itu sendiri, tetapi dalam pasal 2 CRPD terdapat definisi mengenai “Diskriminasi atas dasar kecacatan”.
61
Article 2, Definitions Discrimination on the basis of disability means any distinction, exclusion or restriction on the basis of disability which has the purpose or effect of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise, on an equal basis with others, of all human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any other field. It includes all forms of discrimination, including denial of reasonable accommodation.67 Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Cacat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3, meliputi : a. (Respect for inherent dignity, individual autonomy including the freedom to make one's own choices, and independence of persons) Penghormatan atas martabat yang melekat, otoritas individual termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan kemandirian orang-orang; b. (Non-discrimination) Nondiskriminasi; c. (Full and effective participation and inclusion in society) Partisipasi dan keterlibatan penuh dan efektif dalam masyarakat; d. (Respect for difference and acceptance of persons with disabilities as part of human diversity and humanity) Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan orang-orang penyandang cacat sebagai bagian dari keragaman manusia dan rasa kemanusiaan; e. (Equality of opportunity) Kesetaraan kesempatan;
67
“Diskriminasi atas dasar kecacatan” berarti pembedaan, eksklusi, atau pembatasan apa pun atas dasar kecacatan yang bertujuan untuk atau berdampak pada perusakan atau penghapusan terhadap pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar dalam hal politik, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya, berdasarkan kesetaraan dengan orangorang lain. Hal ini termasuk segala bentuk diskriminasi, termasuk penyangkalan atas akomodasi yang layak.
62
f. (Accessibility) Aksesibilitas; g. (Equality between men and women) Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; dan h.(Respect for the evolving capacities of children with disabilities and respect for the right of children with disabilities to preserve their identities) Penghormatan atas kapasitas yang berkembang dari anak-anak penyandang cacat dan penghormatan atas hak anak-anak penyandang cacat untuk melindungi identitas mereka.
Perlindungan hak-hak Penyandang Cacat dalam Konvensi ini dimuat secara rinci dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 30 yang terdiri dari ketentuan mengenai : 1. Kesetaraan dan nondiskriminasi (Equality and non-discrimination); Semua orang adalah setara di hadapan hukum dan berhak untuk mendapatkan perlindungan dan keuntungan yang sama dari hukum tanpa adanya diskriminasi terutama bagi penyandang cacat. Untuk itu dalam rangka memajukan kesetaraan dan menghapuskan diskriminasi, negara-negara pihak selayaknya untuk menjamin tersedianya akomodasi yang cukup bagi penyandang cacat. 2. Perempuan penyandang cacat (Women with disabilities); Pada perempuan dan anak-anak perempuan penyandang cacat sering mengalami adanya diskriminasi ganda. Diskriminasi ganda yang dialami tidak hanya pada fasilitas publik tetapi juga pada lapangan pekerjaan, padahal banyak diantaranya yang mampu dan mempunyai
63
keahlian kerja. Negara-negara pihak harus menagmbil langkah yang layak
untuk
menjamin
pembangunan,
pengembangan,
dan
pemberdayaan penuh perempuan dengan tujuan agar mereka dapat melaksanakan dan menikmati hak asasi manusia. 3. Anak-anak penyandang cacat (Children with disabilities); Seperti halnya orang penyandang cacat, kelompok anak dengan kecacatan juga mengalami diskriminasi, malahan dengan derajat kerentanan yang lebih ketimbang orang dewasa. Situasi ini menempatkan anak penyandang cacat menjadi tidak terlindungi dan rentan menjadi korban. Negara-negara pihak harus menjamin agar mereka berhak untuk menyatakan pendapat secara bebas dengan dasar kesetaraan dengan anak-anak normal lainnya serta menjamin bantuan yang disediakan selayaknya sesuai dengan kecacatan dan usia mereka demi perwujuan hak tersebut. 4. Peningkatan kesadaran (Awareness-raising); Kesadaran akan hak-hak penyandang disabilitas di kalangan aparat penegak hukum masih amat kurang. Maka negara-negara pihak harus segera meningkatkan kesadaran seluruh masyarakat, memerango praktik-praktik yang membahayakan bagi penyandang cacat dan memajukan
kesadaran
akan
kapabilitas
dan
kontribusi
bagi
penyandang cacat dengan tujuan untuk peningkatan kesadaran dan penghormatan terhadap hak-hak penyandang cacat.
64
5. Aksesibilitas (Accessibility); Negara-negara pihak harus menjaminkan akses penyandang cacat
terhadap
lingkungan
fisik,
transportasi,
informasi
dan
komunikasi termasuk teknologi dan sistem informasi dan komunikasi, serta fasilitas dan pelayanan lainnya yang terbuka atau tersedianya layanan publik baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lainnya. Maka negara pihak harus membangun,
memajukan serta
menyediakan aksesibiltas
yang
memadai kemudahan kehidupan penyandang cacat. 6. Hak hidup (Right to life); Setiap orang memiliki hak hidup yang melekat pada dirinya dan berhak memperoleh penikmatan yang efektif. 7. Situasi-situasi beresiko dan darurat kemanusiaan (Situations of risk and humanitarian emergencies); Penjaminan terhadap penyandang cacat yang harus dilakukan oleh negara-negara pihak dalam hal memberikan perlindungan dan keamanan sesuai dengan kewajiban mereka dalam melindungi warga negaranya. 8. Pengakuan yang setara di hadapan hukum (Equal recognition before the law); Penyandang cacat memiliki hak atas pengakuan di hadapan hukum serta menikmati kapasitas legal dalam berbagai aspek kehidupan, dalam hal ini negara pihak harus menyediakan akses
65
terhadap dukungan yang dibutuhkan oleh penyandang cacat dan menyediakan jaminan yang layak dan efektif untuk mencegah adanya pelanggaran hak asasi manusia internasional. 9. Akses atas peradilan (Access to justice); Negara-negara pihak harus menjaminkan adanya akses efektif bagi penyandang cacat, termasuk melalui akomodasi yang prosedural yang sesuai dengan usia atau juga sebagai saksi-saksi dalam proses peradilan termasuk ditingkat penyelidikan atau tingkat lainnya. Akses keadilan terhadap penyandang cacat bahwa negara-negara perlu memastikan agar penyandang disabilitas memiliki akses yang sama terhadap sistem keadilan seperti orang-orang lainnya. Bila diperlukan, negara-negara perlu mengubah cara-cara dilakukannya sesuatu untuk memungkinkan penyandang disabilitas mengambil bagian di segala tahap proses beracara secara hukum. Negara-negara juga harus mendorong pelatihan bagi orang-orang yang bekerja dalam sistem keadilan,
seperti
misalnya
hakim,
polisi,
dan
staf
lembaga
pemasyarakatan. 10. Kebebasan dan keamanan seseorang (Liberty and security of the person); Negara-negara pihak harus menjaminkan kebebasan bagi penyandang cacat dalam menikmati hak atas kebebasan dan keamanan seseorang dan keamanan untuk tidak adanya perampasan hak secara sewenang-wenang.
66
11. Kebebasan dari penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat (Freedom from torture or cruel, inhuman or degrading treatment or punishment); Negara-negara pihak harus menjamin untuk mencegah oragorang penyandang cacat menjadi subjek penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabatnya. 12. Kebebasan dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan (Freedom from exploitation, violence and abuse); Negara-negara pihak harus melindungi, mencegah dan menempatkan peraturan penyandang cacat dari segala bentuk eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan serta mengambil langkah dalam pemulihan fisik, kognitif, psikologis, rehabilitasi dan reintegrasi sosial penyandang cacat yang menjadi korban. 13. Perlindungan terhadap integritas seseorang (Protecting the integrity of the person); Setiap penyandang cacat memiliki hak atas penghormatan terhadap integritas fisik dan mentalnya. 14. Kebebasan bergerak dan kebangsaan (Liberty of movement and nationality); Negara-negara pihak menjamin para penyandang cacat memiliki hak untuk bebas segala sesuatu yang berkaitan dengan hak
67
kebangsaannya. Begitu pula dengan anak-anak penyandang cacat, mereka juga mempunyai hak untuk mendapatkan kebangsaannya. 15. Hidup
mandiri
dan
keterlibatan
dalam
masyarakat
(Living
independently and being included in the community); Negara-negara pihak menjamin bagi penyandang cacat untuk berhak hidup didalam masyarakat dan menyediakan akses pelayanan dan fasilitas umum di masyarakat yang memadai untuk mendukung aktfitas penyandang cacat. 16. Mobilitas personal (Personal mobility); Negara-negara pihak menjamin untuk memfasilitasi dan menyediakan akses dan alat bantu guna mendukung mobilitas personal penyandang cacat serta mendorong untuk adanya produksi alat bantu mobilitas, peralatan dan teknologi pendukung mobilitas tersebut.. 17. Kebebasan berekspresi dan berpendapat serta akses terhadap informasi (Freedom of expression and opinion, and access to information); Negara-negara pihak menjamin penyandang cacat untuk dapat melaksanakan
haknya
secara
bebas
dalam
berekspresi
dan
berpendapat, termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi atau ide-ide. Negara-negara perlu mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan agar penyandang disabilitas berhak menyuarakan apa yang mereka pikirkan dan mengagihkan gagasan-gagasan mereka seperti yang dilakukan orangorang lainnya. Hal ini termasuk kebebasan untuk meminta,
68
mendapatkan, dan mengagihkan informasi dan gagasan melalui penggunaan bahaa isyarat, aksara Braille, materi cetak berukuran besar atau jenis-jenis komunikasi lainnya. 18. Penghormatan terhadap privasi (Respect for privacy); Negara-negara pihak harus melindungi privasi atas informasi personal, kesehatan dan rehabilitasi orang-orang penyandang cacat. 19. Penghormatan terhadap rumah dan keluarga (Respect for and the family); Negara pihak harus menghapuskan diskriminasi terhadap penyandang cacat di semua bidang yang berkaitan dengan perkawinan, keluarga, status orang tua, dan hubungan personal. Negara menjamin hak dan tanggung jawab penyandang cacat dalam melaksanakan tanggung jawab merawat anak-anak mereka. Negara-negara pihak juga menjaminkan anak-anak penyandang cacat juga berhak atas haknya yang setara pada kehidupan keluarganya, seorang anak tidak boleh dipisahkan dari orang tuanya tanpa ijin dari orang tuanya, maka negara pihak harus menyediakan informasi, pelayanan dan dukungan bagi anak penyandang cacat. Bagi keluarga yang tidak mampu untuk merawatnya maka negara harus melakukan segala upaya untuk menyediakan perawatan alternatif bagi anak penyandang cacat. 20. Pendidikan (Education); Suatu sistem pendidikan yang influsif di semua tingkatan dan pembelajaran jangka panjang, agar dapat mengembangkan potensi
69
manusia sepenuhnya,pengembangan personalitas, bakat dan kreatifitas serta memampukan penyandang cacat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat. Maka negara pihak harus menjaminkan penyandang cacat harus dimasukkan dalam sistem pendidikan umum atas dasar kecacatan, bagi anak penyandang cacat dapat mengakses pendidikan dasar dengan gratis serta tersedianya sarana-sarana yang mendukung. 21. Kesehatan (health); Dalam upaya menjamin akses pelayanan kesehatan yang memadai bagi penyandang cacat, maka negara-negara pihak harus menjamin untuk menyediakan pelayanan dan program-program yang layak, berkualitas dan bebas biaya serta menyediakan tenaga ahli yang profesional untuk memberikan perawatan kepada penyandang cacat, dan juga melarang atau mencegah adanya diskriminasi pada pelayanan kesehatan apapun bagi penyandag cacat. 22. Habilitasi dan rehabilitasi (Habilitation and rehabilitation); Dalam mencapai dan mempertahankan kemandirian yang semaksimal mungkin di berbagai aspek kehidupan, negara-negara pihak harus mengorganisir, memperkuat, dan memperluas pelayanan dan program-program habilitasi dan rehabilitasi yang komprehensif khususnya di bidang kesehatan, pekerjaan, pendidikan, dan pelayanan sosial.
70
23. Pekerjaan (work and employment); Negara-negara pihak harus menjamin dan memajukan perwujudan hak atas pekerjaan, termasuk mereka yang mengalami kecacatan pada saat melaksanakan pekerjaannya. Negara pihak harus menjamin untuk adanya pelarangan diskriminasi dalam segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan, melindungi hak-hak penyandang cacat atas kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, menjamin bahwa para penyandang cacat juga mampu melaksanakan hak-hak ketenagakerjaan dan serikat buruh, memampukan penyandang cacat untuk mendapatkan akses efektif atas program-program panduan teknis dan kejuruan umum, memajukan atas kesempatan pekerjaan dan pengembangan karier bagi penyandang cacat, mempekerjakan penyandang cacat di sektor publik maupun swasta, menjaminkan adanya akomodasi yang layak, memajukan akuisisi pengalaman kerja, rehabilitasi kejuruan dan profesional. Negara pihak juga harus menjamin adanya pelarangan dan perlindungan bagi penyandang cacat yang diperbudak, kerja paksa atau kerja wajib. 24. Standar kehidupan yang layak dan jaminan sosial (Adequate standard of living and social protection); Negara-negara
pihak
harus
menjamin
akses
terhadap
pelayanan, peralatan dan bantuan lainnyayang layak dan terjangkau untuk kebutuhan yang berkaitan dengan kecacatan, khususnya bagi
71
perempuan dan anak-anak penyandang cacatserta orang-orang tua penyandang cacat diberikan program jaminan sosial dan program pengentasan kemiskinan. 25. Partisipasi dalam kehidupan politik dan publik (Participation in political and public life); Pada kehidupan politik, Negara-negara pihak harus menjamin bahwa penyandang cacat dapat berpartisipasi dalam kehidupan politikdan publik secara penuh dan efektif, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas, termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang cacat untuk memilih dan dipilih. Pada kehidupan publik, negara-negara pihak menjamin untuk memajukan secara aktif lingkungan dimana penyandang cacat dapat berpartisipasi penuh dan efektif dalam persoalan-persoalan publik. 26. Partisipasi dalam kehidupan budaya, rekreasi, waktu luang dan olah raga (Participation in cultural life, recreation, leisure and sport). Negara-negara pihak menjamin bagi penyandang cacat untuk menikmati akses terhadap segala kehidupan dan pelayanan budaya serta berhak untuk mendapatkan pengakuan terhadap budaya spesifik serta identitas bahasa mereka, termasuk bahasa isyarat dan budaya tuna rungu. Negara-negara pihak juga menjamin bahwa penyandang cacat memiliki kesempatan yang sama dalam hal akses terhadap olah raga, rekreasi dan turisme. Akses yang sama ada pada anak-anak penyandang cacatuntuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan
72
permainan, rekreasi, dan waktu luang, serta olah raga, termasuk kegiatan dalam sistem sekolah. Selain itu juga terdapat pengaturan didalam Optional Protocol to the Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Protokol Opsional Konvensi Hak Penyandang Cacat) yang dibuat pada bulan Mei 2008, yang memungkinkan perorangan atau kelompok yang merasa hakhaknya dilanggar untuk melakukan pengaduan dengan mekanisme internasional. Terdapat 18 pasal dalam protokol opsional yang telah disepakati oleh negara-negara pihak. Pada saat ini protokol opsional konvensi ini telah ditandatangani oleh 90 negara dan telah diratifikasi oleh 63 negara. Protokol opsional ini tidak memberikan hak tambahan pada negaranegara yang telah mengakui, menandatangani dan/atau meratifikasi konvensi
penyandang
cacat.
Sebaliknya,
protokol
opsional
ini
menetapkan prosedur untuk memperkuat dan melengkapi konvensi hak penyandang cacat dalam mengimplementasikannya di setiap negara. Prosedur-prosedur tersebut yaitu: a. Prosedur komunikasi (a communication procedure) Prosedur komunikasi memungkinkan untuk pengaduan individu yang akan diajukan kepada komite dengan tuduhan bahwa pihak negara telah melakukan pelanggaran kewajiban dalam melaksanakan konvensi penyandang cacat, dimana pengadu telah habis masa pemulihan domestik yang tersedia.
73
b. Prosedur penyelidikan (an inquiry procedure) Prosedur
penyelidikan
memungkinkan
komite
melakukan untuk memulai penyelidikan sendiri dimana ada informasi bahwa ada negara pihak yang telah terlibat melakukan pelanggaran berat atau sistematika dari konvensi penyandang cacat tersebut.68
2. Penerapan Convention on the Rights of Persons with Disabilities 2006 dalam Pemenuhan Hak-hak Penyandang Cacat di Indonesia Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional dalam kehidupan masyarakat
internasional,
ada
interaksi antara hukum
internasional dan hukum nasional. Negara dalam hidup bermasyarakat membentuk hukum internasional, sedangkan masing-masing negara memiliki hukum nasional. Perjanjian yang di buat oleh negara masuk dalam
ruang
lingkup
hukum
internasional,
tetapi
untuk
mengimplementasikan hukum internasional memerlukan perundangundangan nasional. Ratifikasi atau pengesahan suatu perjanjian internasional adalah tahap yang paling penting dalam treaty making process. Pada tahap itulah negara memberikan persetujuannya untuk diikat secara definitif. Ratifikasi juga berarti menyerahkan sedikit kedaulatan negara kepada suatu
68
http://www.disabilityrightsnow.org.au, diakses pada tanggal 10 Januari 2012.
74
perjanjian internasional. Proses ratifikasi bukanlah suatu hal yang mudah karena menyangkut berbagai aspek kehidupan bangsa.69 Secara teori, ratifikasi merupakan persetujuan kepala negara atau pemerintah atas penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan oleh kuasa penuhnya yang di tunjuk sebagaimana mestinya. Dalam praktik modern, ratifikasi mempunyai arti lebih daripada sekadar tindakan konfirmasi. Ratifikasi dianggap sebagai penyampaian pernyataan formal oleh suatu negara mengenai persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional. a). Pengaturan Hak Penyandang Cacat di Indonesia Sebelum Ratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities 2006 Indonesia telah meratifikasi Konfensi Hak Penyandang Cacat / CRPD pada tanggal 18 Oktober 2011. Sebelum meratifikasi konfensi tersebut, Indonesia dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan dan memenuhi hak-hak penyandang cacat, Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap penyandang cacat. Berbagai peraturan perundangundangan tersebut antara lain: a. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28A UUDNRI Tahun 1945 menjadi landasan konstitusional bagi perlindungan hak-hak penyandang cacat. Pasal 28A berbunyi:
69
Boer Mauna, Op., Cit, Hlm 186.
75
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sama dengan Pasal 28A UUDNRI Tahun 1945, pengaturan hak asasi manusia dalam hal untuk mendapatkan pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum dapat ditemukan dalam Pasal 28D UUDNRI Tahun 1945. Pasal 28D berbunyi: 2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum; 3) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja; 4) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintah; 5) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Penyandang cacat merupakan setiap orang yang memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan khusus dari negara. Hal ini diatur didalam Pasal 28H ayat (2) UUDNRI Tahun 1945. Pasal ini menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Pasal 27 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 juga memuat tentang kesamaan derajat bagi setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang biasa dikenal dengan sebutan equality before the law. Pasal ini menegaskan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
76
b. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal-pasal yang berkaitan dengan penyandang cacat meliputi: Pasal 1 ayat (9) berbunyi: “Anak cacat adalah anak yang mengalami hambatan rohani dan
atau
jasmani
sehingga
mengganggu
pertumbuhan
dan
perkembangannya dengan wajar.” Pasal 7 berbunyi: “Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yang bersangkutan.” Di samping anak-anak yang kesejahteraannya dapat terpenuhi secara wajar,di dalam masyarakat terdapat pula anak-anak yang mengalami hambatan rohani, jasmani, dan sosial ekonomi dan memerlukan pelayanan secara-khusus, yaitu: 1) Anak-anak yang tidak mampu. 2) Anak-anak terlantar. 3) Anak-anak yang mengalami masalah kelakuan 4) Anak-anak yang cacat rohani dan atau jasmani.
c. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat UU No.4 tahun 1997 dan peraturan pelaksananya, Peraturan Pemerintah No.43 tahun 1998 tentang Upaya-upaya Peningkatan
77
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat secara khusus memberikan pengaturan terhadap penyandang disabilitas. Definisi mengenai penyandang cacat di jelaskan dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari : 1) penyandang cacat fisik; 2) penyandang cacat mental; 3) penyandang cacat fisik dan mental.” Mengenai hak dan kewajiban penyandang cacat dituangkan dalam pasal 5 – 8 dalam undang-undang ini. Pasal 5 berbunyi: “Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.” Pada pasal 6, setiap penyandang cacat berhak memperoleh : 1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; 2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; 3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; 4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; 5. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan 6. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Pasal 7 ayat (1) berbunyi: “Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
78
Pasal 8 berbunyi: “Pemerintah dan/atau masyarakat
berkewajiban
mengupayakan
terwujudnya hak-hak penyandang cacat.” Pada pasal 16 dijelaskan mengenai upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak penyandang cacat. Pasal ini berbunyi: Pemerintah dan/atau masyarakat menyelenggarakan upaya : 1. rehabilitasi; 2. bantuan sosial; 3. pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Peraturan tentang perlakuan khusus bagi penyandang disabilitas tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain terdapat dalam pasal 41, 42 dan 54. Pasal 41 berbunyi: (1) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan priadinya secara utuh. (2) Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus. Pasal 42 berbunyi: “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan
79
bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan
kemampuan
berpartisipasi
dalam
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bemegara.” Pasal 54 berbunyi: “Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan. dan bantuan khusus atas biaya negara. untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bemegara.”
e. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini diatur didalam: Pasal 1 ayat (7) berbunyi: “Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.” Pasal 1 (15) berbunyi: Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan,
80
anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pasal 9 berbunyi: (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. Pasal 12 berbunyi: “Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.” Pasal 46 berbunyi: “Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.” Pasal 51 berbunyi: “Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.” Pasal 59 berbunyi: “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”
81
Pasal 62 berbunyi: “Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b, huruf c, dan huruf d, dilaksanakan melalui: a. Pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan b. Pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial.” f. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini diatur didalam: Pasal 27 berbunyi: Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia. Pasal 31 berbunyi: 1) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah tinggal. 2) Fasilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalam bangunan gedung dan lingkungannya. 3) Ketentuan mengenai penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
g. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
82
Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini diatur didalam: Pasal 5 berbunyi: Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat. Pasal 19 berbunyi: Pelatihan
kerja
bagi
tenaga
kerja
penyandang
cacat
dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan. Pasal 67 berbunyi: 1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. 2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 67 Ayat (1) berbunyi: Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat
ini misalnya
penyediaan aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya. Pasal 153 berbunyi:
83
1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. 2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. h. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini diatur didalam: Pasal 5 berbunyi: 1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. 2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Pasal 32 berbunyi: Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
84
i. Undang-undang
Nomor
3
Tahun
2005
tentang
Sistem
Keolahragaan Nasional Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini diatur didalam: Pasal 1 Ayat (16) berbunyi: Olahraga penyandang cacat adalah olahraga yang khusus dilakukan sesuai dengan kondisi kelainan fisik dan/atau mental seseorang. Pasal 30 berbunyi: 1) Pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang cacat dilaksanakan dan diarahkan untuk meningkatkan kesehatan, rasa percaya diri, dan prestasi olahraga. 2) Pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang cacat dilaksanakan oleh organisasi olahraga penyandang cacat yang bersangkutan melalui kegiatan penataran dan pelatihan serta kompetisi yang berjenjang dan berkelanjutan pada tingkat daerah, nasional, dan internasional. 3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi olahraga penyandang cacat yang ada dalam masyarakat berkewajiban membentuk sentra pembinaan dan pengembangan olahraga khusus penyandang cacat. 4) Pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang cacat diselenggarakan pada lingkup olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi berdasarkan jenis olahraga khusus bagi penyandang cacat yang sesuai dengan kondisi kelainan fisik dan/atau mental seseorang. Pasal 56 berbunyi: 1) Olahragawan penyandang cacat melaksanakan kegiatan olahraga khusus bagi penyandang cacat. 2) Setiap olahragawan penyandang cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak untuk:
85
1. Meningkatkan prestasi melalui klub dan/atau perkumpulan olahraga penyandang cacat; 2. Mendapatkan pembinaan cabang olahraga sesuai dengan kondisi kelainan fisik dan/atau mental; dan 3. Mengikuti kejuaraan olahraga penyandang cacat yang bersifat daerah, nasional, dan internasional setelah melalui seleksi dan/atau kompetisi. j. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini diatur didalam: Pasal 54 Ayat (1) berbunyi: Stasiun kereta api untuk keperluan naik turun penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf a paling rendah dilengkapi dengan fasilitas: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
keselamatan; keamanan; kenyamanan; naik turun penumpang; penyandang cacat; kesehatan; dan fasilitas umum. Pasal 131 Ayat (1) berbunyi: Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib memberikan
fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah lima tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia.
k. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini diatur didalam:
86
Pasal 42 berbunyi: (1) Perusahaan angkutan di perairan wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia. (2) Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan. l. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini diatur didalam: Pasal 134 berbunyi: (1) Penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 (dua belas) tahun, dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan udara niaga. (2) Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: 1. Pemberian prioritas tambahan tempat duduk; 2. Penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari pesawat udara; 3. Penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di pesawat udara; 4. Sarana bantu bagi orang sakit; 5. Penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di pesawat udara; 6. Tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit; dan 7. Tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia, dan orang sakit.
87
(3) Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipungut biaya tambahan. Pasal 239 berbunyi: (1) Penyandang cacat, orang sakit, lanjut usia, dan anak-anak berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara. (2) Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 1. pemberian prioritas pelayanan di terminal; 2. menyediakan fasilitas untuk penyandang cacat selama di terminal; 3. sarana bantu bagi orang sakit; 4. menyediakan fasilitas untuk ibu merawat bayi (nursery); 5. tersedianya personel yang khusus bertugas untuk melayani atau berkomunikasi dengan penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia; serta 6. tersedianya informasi atau petunjuk tentang keselamatan bangunan bagi penumpang di terminal dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.
m. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini diatur didalam: Pasal 5 Ayat (2) berbunyi:
88
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: a. kemiskinan; b. ketelantaran; c. kecacatan; d. keterpencilan; e. ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; f. korban bencana; dan/atau g. korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Pasal 7 Ayat (1) berbunyi: Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Pasal 9 Ayat (1) berbunyi: Jaminan sosial dimaksudkan untuk: Menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks
penderita
penyakit
kronis
yang
mengalami
masalah
ketidakmampuan sosial-ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi.
n. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa: 1. Rambu Lalu Lintas;
89
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Marka Jalan; Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; alat penerangan Jalan; alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan; alat pengawasan dan pengamanan Jalan; fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan 8. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan. Pasal 45 Ayat (1) berbunyi: Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Trotoar; Mobil; Lajur sepeda; Tempat penyeberangan Pejalan Kaki; Halte; dan/atau Fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut. Pasal 93 Ayat (1) berbunyi: Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk
mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Salah satunya dengan memperhatikan pemberian kemudahan bagi penyandang cacat; Pasal 242 berbunyi: (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit.
90
(2) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 1. Aksesibilitas; 2. Prioritas pelayanan; dan 3. Fasilitas pelayanan. Pasal 244 Ayat (1) berbunyi: Perusahaan Angkutan Umum yang tidak memenuhi kewajiban menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anakanak, wanita hamil, dan orang sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif berupa: 1. peringatan tertulis; 2. denda administratif; 3. pembekuan izin; dan/atau 4. pencabutan izin.
o. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini diatur didalam: Pasal 29 Ayat (1) berbunyi: Masyarakat tertentu merupakan kelompok rentan, antara lain penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban
91
bencana alam, dan korban bencana sosial. Perlakuan khusus kepada masyarakat tertentu diberikan tanpa tambahan biaya.
p. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini diatur didalam: Pasal 139 berbunyi: (1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat. (2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis. Pasal 140 berbunyi: Upaya
pemeliharaan
kesehatan
bagi
lanjut
usia
dan
penyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
q. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin Pengaturan mengenai hak-hak penyandang cacat dalam UU ini diatur didalam: Pasal 1 ayat (2) berbunyi: Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan
92
pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
Pasal 2 berbunyi: Penanganan fakir miskin berasaskan: a. Kemanusiaan; b. Keadilan sosial; c. Nondiskriminasi; d. Kesejahteraan; e. Kesetiakawanan; dan f. Kemberdayaan.
b). Pengaturan Hak Penyandang Cacat Setelah Ratifikasi CRPD Implementasi perjanjian pada peraturan perundangundangan
nasional
adalah
membuat
ketentuan-ketentuan
untuk
menampung apa yang diatur didalam perjanjian yang telah diterima. Tanpa adanya perundang-undangan nasional yang menampung ketentuanketentuan yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian dimana Indonesia telah menjadi pihak, perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan dan tidak ada gunanya. Praktik yang dilakukan selama ini oleh Kementerian Luar Negeri RI dalam rangka ratifikasi suatu perjanjian atau konvensi internasional baik yang bersifat bilateral maupun yang bersifat multilateral adalah sesuai dengan tugas pokok pemerintah di bidang politik dan hubungan luar negeri, menurut pasal 2 Keppres No. 45 Tahun 1975.70
70
Ibid., Hlm 145.
93
Menurut Undang-Undang no. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi suatu perjanjian internasional yang berdampak pada sosial, penganggaran dan politik perlu mendapat pengesahan Dewan Perwakilan Rakyat dalam bentuk undang-undang. Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat termasuk kategori tersebut. Ratifikasi perjanjian ini oleh Indonesia membuatnya dijadikan Undang-undang.71 Melalui pengesahan Konvensi ini pada tanggal 18 Oktober 2011, Indonesia memiliki kerangka hukum yang semakin komprehensif dan kuat yang menjadi dasar bagi negara untuk semakin menyejahterakan rakyatnya, khususnya para penyandang disabilitas yaitu Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. RUU ini tetap bersifat peraturan nasional yang hak-haknya mengadopsi dari hak-hak yang ada dalam konvensi hak penyandang cacat. Didalamnya terdiri dari 46 pasal dan 17 bab yang lebih detail pengaturannya dari UU No 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat sebelumnya. RUU tersebut merupakan peraturan baru sebagai akibat hukum dari meratifikasi sebuah konvensi. Menurut pasal 1 dijelaskan bahwa penyandang disabilitas adalah mereka yang mempunyai kelainan fisik, mental dan intelektual, atau sensorik secara permanen yang dalam interaksinya dengan berbagai
71
Pasal 18 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 tentang Perjanjian Internasional.
94
hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan dengan orang lain. Pada RUU ini hak-hak penyandang disabilitas dijabarkan secara lebih mendetail. Pasal-pasal yang mengatur mengenai hak-hak penyandang disabilitas terdapat dalam pasal 5 sampai dengan pasal 33, yang ditengahnya terdapat pasal-pasal yang ditujukan pada pemerintah untuk wajib menghormati,
melindungi dan memenuhi hak-hak penyandang
disabilitas.72 Hak-hak penyandang disabilitas tersebut terdiri dari: a. Kesamaan kesempatan; Negara menjamin bahwa penyandang disabilitas mempunyai kesamaan kesempatan dalam
berbagai
bidang kehidupan dan
penghidupan. b. Bebas dari penyiksaan; Setiap penyandang disabilitas berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. c. Kebebasan bergerak dan berkebangsaan; Pemerintah
mengakui
hak penyandang disabilitas atas
kebebasan bergerak, kebebasan untuk memiliki tempat tinggal dan memiliki kebangsaan sendiri, atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lainnya. 72
Diatur dalam Bab III pada pasal 7 - 9 RUU tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
95
d. Standar kehidupan yang layak dan jaminan sosial; Pemerintah menyediakan standar kehidupan yang layak bagi penyandang disabilitas dan keluarga serta harus mengambil langkahlangkah yang layak untuk melindungi dan memajukan perwujudan ini atas dasar kedisabilitasannya. e. Partisipasi dalam kehidupan budaya, rekreasi, waktu luang dan keolahragaan; Pemerintah wajib memampukan penyandang disabilitas untuk memiliki kesempatan mengembangkan dan menggunakan kreativitas, potensi artistik dan intelektual mereka, tidak hanya bagi keuntungan pribadi mereka tetapi juga bagi pengayaan masyarakat. f. Hak atas aksesibilitas; Pemerintah berkewajiban melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin akses
penyandang disabilitas terhadap
lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, termasuk teknologi dan sistem informasi dan komunikasi, serta fasilitas dan pelayanan lainnya yang terbuka atau sarana umum baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, atas dasar kesetaraan dimana dalamnya harus termasuk identifikasi dan penghapusan semua hambatan terhadap aksesibilitas. g. Hak hidup; Pemerintah menjamin dan melindungi hak hidup bagi setiap penyandang disabilitas.
96
h. Kesamaan di hadapan hukum; Pemerintah
menjamin
penyandang
disabilitas
memiliki
kesamaan hak dihadapan hukum. Setiap penyandang disabilitas berhak untuk bertindak secara hukum baik untuk diri sendiri maupun berindak di depan hukum untuk mewakili orang lain hal ini dikecualikan kepada penyandang disabilitas dalam keadaan tertentu. i.
Hak atas penghormatan terhadap privasi; Pemerintah wajib melindungi privasi atas informasi personal, kesehatan, dan rehabilitasi orang penyandang disabilitas atas dasar kesetaraan dengan orang lain.
j.
Hak atas pendidikan, Pemerintah wajib memenuhi hak penyandang disabilitas atas pendidikan tanpa diskriminasi dan atas dasar kesetaraan kesempatan.
k. Hak atas kesehatan; Pemerintah wajib memenuhi hak penyandang disabilitas atas pelayanan kesehatan yang setinggi mungkin dapat dicapai tanpa diskriminasi atas dasar kedisabilitasan. l.
Hak atas pekerjaan Pemerintah wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi penyandang disabilitas, termasuk hak atas kesempatan untuk hidup melalui pekerjaan yang dipilih secara bebas atau diterima di pasar tenaga kerja serta lingkungan kerja yang terbuka, inklusif, dan dapat diakses oleh orang-orang penyandang disabilitas.
97
m. Penghormatan terhadap rumah tangga dan keluarga; Pemerintah mengakui hak penyandang disabilitas untuk berkeluarga dan meneruskan keturunan. n. Hak atas hidup mandiri dan berbaur ditengah masyarakat; Pemerintah mengakui hak yang setara bagi penyandang disabilitas untuk memilih hidup dalam masyarakat dan keterlibatannya dalam komunitas, dan harus mengambil langkah-langkah yang efektif dan layak dalam memfasilitasi penikmatan penuh penyandang disabilitas. o. Hak berpolitik; Pemerintah menjamin dan melindungi hak penyandang disabilitas memiliki kesamaan hak berpolitik baik didalam hak untuk memilih dan hak untuk dipilih dalam pemilu. p. Rehabilitasi dan habilitasi Pemerintah wajib menyelenggarakan upaya rehabilitasi dan hebalitasi penyandang disabilitas. q. Perlindungan khusus terhadap hak-hak perempuan penyandang cacat; Pemerintah menjamin pembangunan, pengembangan, dan pemberdayaan penuh perempuan disabilitas dengan tujuan memberikan jaminan bagi mereka dalam melaksanakan dan menikmati hak asasi manusia dan kebebasan mendasar. r. Anak-anak penyandang cacat;
98
Pemerintah berkewajiban untuk melakukan semua langkah yang diperlukan dalam menjamin penikmatan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar anak disabilitas secara penuh atas dasar kesetaraan dengan anak-anak lain. s. Situasi berbahaya dan darurat. Pemerintah
memberikan
prioritas
dalam
perlindungan
dan
penyelamatan penyandang disabilitas dalam situasi berisiko, situasi konflik bersenjata, darurat kemanusiaan dan bencana alam. Pada RUU tersebut pemerintah juga mengikutsertakan warga masyarakat
untuk
berpartisipasi
dalam
usaha
memajukan
dan
penghormatan terhadap penyandang disabilitas. Hal ini diatur dalam pasal 35 tentang partisipasi masyarakat. Pasal 35 berbunyi: (1). Pemerintah menjamin keterlibatan masyarakat dalam usaha pemajuan dan penghormatan terhadap penyandang disabilitas; (2) Pemerintah memberikan penghargaan kepada masyarakat atas usahanya terlibat dalam usaha pemajuan dan penghormatan terhadap penyandang disabilitas.
B. PEMBAHASAN 1. Pengaturan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Cacat berdasarkan Convention on the Rights of Persons with Disabilities Tahun 2006 Konvensi dibentuk dengan adanya beberapa fakta yang terjadi mengenai penyandang cacat, bahwa The World Health Organization
99
WHO)/Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan sekitar 15% dari populasi dunia (7 miliar orang) hidup dengan beberapa bentuk keterbatasan fisik, dimana 2-4% diantaranya mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatannya sehari-hari. Perkiraan jumlah penyandang disabilitas di seluruh dunia ini meningkat karena menuanya populasi dunia dan penyebaran penyakit kronis yang cukup cepat, serta peningkatan dalam
metodologi
yang
digunakan
untuk
mengukur
derajat
ketidakmampuan fisik. Kehidupan sehari-hari sekitar 25 persen dari populasi dunia dipengaruhi oleh keterbatasan fisik yang dimilikinya. Meskipun banyak diantara mereka bekerja dan berhasil serta berbaur dengan baik dengan masyarakat, dan sebagai kelompok, para penyandang disabilitas seringkali menghadapi kemiskinan dan pengangguran yang cukup besar jumlahnya. Menurut PBB, delapan puluh persen dari penyandang disabilitas hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar dari mereka tinggal di daerah pedesaan dimana akses terhadap pelayanan sangat terbatas.73 Terbentuknya CRPD oleh PBB banyak dipengaruhi oleh beberapa intrument internasional yang telah berlaku sebelumnya, antara lain : Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948, Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat Tahun 1993, UNESCO Tahun 1960 Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Dunia Pendidikan, Konvensi Hak Anak Tahun 1989, Deklarasi Dunia 73
Mempromosikan Pekerjaan Layak Bagi Semua Orang:Membuka Kesempatan pelatihan dan Kerja bagi Penyandang Disabilita, ILO, Reader Kit, www.ilo.org, diakses pada tanggal 5 Januari 2011.
100
tentang Pendidikan untuk Semua Tahun 1990 serta Stavanger Tahun 2004 Menuju Kewarganegaraan yang Penuh.74 Usaha-usaha menuju pemenuhan hak-hak asasi manusia yang menyandang kecacatan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah dimulai sejak tahun 1971, dimana diadopsinya “Deklarasi tentang Hak-hak Penyandang Cacat Mental Retardasi” (Declaration on the Rights of Mentally Retarded Persons) yang berbicara tentang peningkatan kehidupan komunitas penyandang cacat mental retardasi. Kemudian pada tahun 2001, pada konferensi Durban di bulan September Meksiko menegosiasikan kembali secara formal akan kebutuhan Konvensi, yang ditindak lanjuti pada sidang umum PBB di bulan Desember, dikeluarkan Resolusi No. 56/168 untuk pembentukan Ad Hoc Committee dengan mandat
”...mempertimbangkan
usulan
sebuah
Konvensi
yang
komprehensif dan integral dalam rangka meningkatkan dan melindungi Hak dan Martabat Penyandang cacat berdasarkan pendekatan secara holistic dari pekerjaan yang telah dilakukan pada lingkup pengembangan sosial, hak asasi manusia, dan non diskriminasi dengan memperhatikan rekomendasi dari Komisi HAM, dan Komisi Pengembangan Sosial” dalam Pedoman pembentukan komitte sejak awal sudah tergambar keterlibatan seluruh pihak pemangku kepentingan yang relevan termasuk negara anggota PBB, Peninjau PBB, Badan dan organisasi PBB terkait, Special 74
Serafina Shinta Dewi, Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Penyandang Cacat (The Convention on The Rights of Persons with Disabilities ), http://www.kumham-jogja.info,
diakses pada tanggal 5 Januari 2012.
101
Raporteur untuk kecacatan, para lembaga HAM tingkat nasional, organisasi non pemerintah termasuk organisasi kecacatan yang duduk dalam satu suara yang dinamakan International Disability Caucus (IDC).75 Konvensi diadopsi Majelis Umum PBB pada tanggal 13 Desember 2006. Konvensi terdiri dari 50 pasal dan Optional Protocol Konvensi Hak Penyandang Cacat. Konvensi memuat hak-hak sosial, ekonomi, budaya, politik dan sipil secara komprehensif. Konvensi Hak-Hak Penyandang Cacat menandai adanya perubahan besar dalam melihat permasalahan kelompok masyarakat yang mengalami kerusakan atau gangguan fungsional dari fisik, mental atau intelektual dan termasuk juga mereka yang mengalami gangguan indera atau sensorik dalam kehidupan sehari-hari
yang
berinteraksi
dengan
masyarakat
sekitar
dan
lingkungannya. Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Cacat terbentuk berdasarkan pada pertimbangan sebagaimana telah dinyatakan dalam prinsip-prinsip Piagam PBB yang mengakui martabat dan harkat yang melekat dan hak-hak yang setara dan tidak dapat dicabut dari semua anggota umat manusia sebagai dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia. Dalam konvensi ini, PBB menegaskan kembali tentang makna universalitas, sifat tidak terbagi-bagi, kesalingtergantungan dan kesalingterkaitan antara semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar dan kebutuhan orang-orang penyandang cacat untuk dijamin 75
PPCI, Sejarah Penyandang Cacat Menuju Hak-haknya di PBB, www.inklusi.com, diakses pada 5 November 2011.
102
sepenuhnya penikmatan atas hak asasi manusia dan kebebasan mendasar tersebut tanpa diskriminasi.76 Konvensi Penyandang Cacat mengakui pentingnya prinsip-prinsip dan panduan-panduan kebijakan yang termuat dalam Program Aksi Dunia tentang Penyandang Cacat dan dalam Peraturan Standar tentang Penyetaraan Kesempatan bagi Penyandang Cacat yang mempengaruhi pemajuan, pembentukan dan evaluasi kebijakan, perencanaan, programprogram dan aksi-aksi di tingkat nasional, regional dan internasional demi memajukan penyetaraan kesempatan bagi penyandang cacat. Di dalam pengaturannya, Konvensi menekankan pentingnya persoalan-persoalan penyandang cacat sebagai bagian yang integral dalam strategi-strategi pembangunan berkelanjutan dan mengakui bahwa diskriminasi terhadap setiap orang atas dasar kecacatan adalah pelanggaran terhadap martabat yang melekat dan harga diri setiap manusia. Konvensi Penyandang Cacat juga mengakui pentingnya aksesibilitas terhadap lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan serta terhadap informasi dan komunikasi untuk memampukan orang-orang penyandang cacat agar dapat menikmati semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar.77 Kelebihan kovensi penyandang cacat ini penting karena meskipun seluruh konvensi yang berkaitan dengan HAM dapat digunakan untuk penyandang cacat, namun tidak satupun yang menyebutkan penyandang 76 77
Serafina Shinta Dewi, Loc., Cit. Lihat pasal 3 Konvensi Hak Penyandang Cacat / CRPD 2006.
103
cacat secara eksplisit. Oleh karena itu Konvensi Penyandang Cacat merupakan instrument hukum pertama yang mengikat dan berisi perlindungan yang komprehensif terhadap hak-hak penyandang cacat. Konvensi ini meminta pemerintah dari seluruh dunia menghormati dan menjunjung hak-hak penyandang cacat, terutama melalui UU yang mereka kembangkan ditingkat nasional. Namun demikian agar para penyandang cacat dapat menikmati hak-hak mereka secara penuh konvensi itu harus dihormati dan dipromosikan oleh semua anggota masyarakat, salah satunya dengan melalui upaya ratifikasi yang dilakukan oleh negara. Ratifikasi adalah pengesahan sebuah konvensi menjadi undangundang maka sesuai dengan UU No.24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional, maka sebuah konvensi akan menjadi hukum nasional apabila telah diratifikasi. Pada saat itulah secara internasional, negara yang meratifikasi konvensi akan disebut sebagai negara pihak. Implikasinya, setelah konvensi diratifikasi, Pemerintah akan mereformasi peraturan perundangan yang ada sehingga sesuai dengan kewajiban yang diamanahkan dalam Konvensi. Pada pasal 1 konvensi ini disebutkan tentang tujuan.78 Dijelaskan dalam pasal tersebut ‘Penyandang Disabilitas’ termasuk orang-orang yang memiliki kelainan (impairment) fisik, mental, intelektual, atau sensoris jangka panjang yang dapat menghambat mereka melakukan sesuatu atau
78
Tujuannya adalah untuk memajukan, melindungi, dan menjamin penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar secara penuh dan setara oleh semua orang penyandang cacat, dan untuk memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka.
104
menagihkan sesuatu di masyarakat dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang lainnya. Penyandang disabilitas termasuk orang-orang yang memiliki kelainan (impairment) fisik, mental, intelektual, atau sensoris jangka panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai penghalang dapat menghambat partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam masyarakat atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lainnya.’ Dari perspektif ini, partisipasi penyandang disabilitas di masyarakat baik dalam bentuk bekerja, bersekolah, mendatangi dokter, atau mencalonkan diri dalam pemilu menjadi terbatas atau terpinggirkan bukan karena kelainan yang mereka miliki, namun karena berbagai halangan, yang bisa berupa halangan fisik, namun juga dalam beberapa hal bisa berupa peraturan dan kebijakan. Konvensi tidak melarang penggunaan definisi di peraturan nasional, dan, pada kenyataannya, definisi bisa menjadi bagian penting di beberapa sektor, seperti misalnya ketenagakerjaan atau jaminan sosial. Akan tetapi penting bahwa agar definisi tersebut mencerminkan model sosial terhadap disabilitas seperti yang tercantum dalam Konvensi, dan perlunya merevisi definisi yang didasarkan pada daftar atau uraian kelainan atau keterbatasan fungsi.79 Jika dilihat dari tujuan dan penjelasan mengenai penyandang cacat yang dicantumkan di CRPD, maka konvensi tersebut telah sesuai dengan
79
Nicola Colbran, Op., Cit. Hlm 43.
105
konsep HAM yang telah ada. HAM didasarkan pada prinsip bahwa setiap orang dilahirkan setara dalam harkat dan hak-haknya. Semua HAM sama pentingnya dan mereka tidak dapat dicabut dalam keadaan apapun. Kesetaraan adalah prinsip dasar lainnya dari HAM. Kesetaraan memastikan bahwa semua orang dilahirkan bebas dan setara. Kesetaraan memastikan bahwa semua individu memiliki hak yang sama dan layak menerima tingkat penghormatan yang sama. Nondiskriminasi adalah bagian yang tak terpisahkan dari kesetaraan. Nondiskriminasi memastikan bahwa tak seorangpun ditolak hak asasinya karena faktor seperti usia, etnis asal, jenis kelamin, dan sebagainya.
2. Penerapan Convention on the Rights of Persons with Disabilities2006 dalam Pemenuhan Hak-hak Penyandang Cacat di Indonesia Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang cacat terdiri dari tiga kelompok, yaitu: a) Penyandang cacat fisik, meliputi: a. Penyandang cacat tubuh (tuna daksa); b. Penyandang cacat netra (tuna netra); c. Penyandang cacat tuna wicara/rungu; d. Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis (tuna daksa lara kronis);
106
b) Penyandang cacat mental, meliputi : a. Penyandang cacat mental (tuna grahita); b. Penyandang cacat eks prikotis (tuna laras); c) Penyandang cacat fisik dan mental atau cacat ganda; Upaya
untuk
memberikan
perlindungan
hukum
terhadap
kedudukan, hak, kewajiban dan peran para penyandang cacat, disamping dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, juga telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain peraturan yang mengatur masalah ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan dan lainnya yang telah disebutkan sebelumnya.
Peraturan
tersebut
memberikan
jaminan
kesamaan
kesempatan terhadap ppenyandang cacat pada bidang-bidang yang menjadi cakupannya, dan dalam rangka memberikan jaminan tersebut kepada
penyandang
cacat
diberikan
kemudahan-kemudahan
(aksesibilitas).80 Pemberian aksesibilitas terhadap penyandang cacat di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwujud. Sebagaimana diungkapkan dalam penjelasan UU No 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, bahwa upaya perlindungan belum memadai, apalagi ada prediksi terjadinya peningkatan jumlah penyandang cacat di masa depan.81 80
Uning Pratimaratri, 2005, Jaminan Aksesibilas bagi Penyandang Cacat, dalam Hak Asasi Manusia - hakekat, konsep dan implikasinya, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm 255. 81 “... upaya perlindungan saja belumlah memadai; dengan pertimbangan bahwa jumlah penyandang cacat akan meningkat pada masa yang akan datang, masih diperlukan lagi sarana dan
107
Pada kenyataannya betapa sulit seorang penyandang cacat untuk mendapatkan hak akses fasilitas-fasilitas publik, peran politik, akses ketenagakerjaan, perlindungan hukum, akses pendidikan, akses informasi dan komunikasi, serta layanan kesehatan. Fasilitas lalu lintas jalan dan alat transportasi umum di Indonesia tidak mudah diakses oleh penyandang cacat dan orang-orang berkebutuhan khusus lainnya (wanita hamil dan lansia). Seorang penyandang cacat tubuh sulit menyeberang jalan dengan menggunakan fasilitas penyeberangan jalan dengan undakan tangga yang terlalu sempit. Seorang penyandang cacat netra akan merasa kesulitan untuk menyimak marka-marka jalan dan papan informasi umum.82 Setiap perundang-undangan tertulis didalamnya terkandung suatu misi atau tujuan tertentu yang hendak dicapai. Lahirnya suatu perundangundangan tertulis baru merupakan suatu titik awal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat.83 Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi dan memajukan hak asasi manusia, dalam hal ini adalah hak penyandang cacat. Kewajiban pemerintah tidak hanya berhenti pada kebijakan formulatif (pembuatan peraturan perundangundangan) saja, namun juga pada kebijakan aplikatif serta kebijakan upaya lain terutama dengan penyediaan sarana untuk memperoleh kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, khususnya dalam memperoleh pendidikan dan pekerjaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosialnya.” 82 Ibid., Hlm 260. 83 Ibid., Hlm 262.
108
eksekutif. Aspek substansi hukum yang menjamin aksesibilitas bagi penyandang cacat dari segi jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah cukup di memadai. Namun perumusannya lebih banyak yang bersifat negatif, yaitu memberikan hak bagi penyandang cacat. Perumusan negatif ini antara lain jaminan hak penyandang cacat di bidang kesejahteraan sosial, perkeretapian, lalu lintas jalan, penerbangan, pelayaran, kesehatan dan pendidikan. Perumusan positif yaitu memberikan aksesibilitas bagi penyandang cacat antara lain ada pada ketentuan perlindungan anak, bangunan gedung, dan ketenagakerjaan. Pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi baik sanksi pidana maupun sanksi administrasi. Dilihat dari aspek struktur dan budaya hukum, belum sepenuhnya peraturan
perundang-undangan
yang
telah
ada
menunjang
bagi
perwujudan kemandirian dan kesejahteraan para penyandang cacat, sehingga banyak ketentuan yang ada dalam peraturan perundangundangan belum dapat dilaksanakan. Maka peraturan yang telah ada pun untuk pengaturan hak-hak penyandang cacat sebelum ratifikasi masih belum sesuai dengan konsep HAM yang telah ada. Indonesia ikut menandatangani konvensi pada tanggal 30 Maret 2007 pada waktu dibuka pertama kali penandatanganan dengan urutan ke9. Pada waktu itu Negara Indonesia diwakili oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dengan didampingi oleh Direktur Jenderal Pelayanan dan
109
Rehabilitasi Sosial Makmur Sunusi dan ketua Umum Persatuan Penyandang Cacat indonesia, Siswadi.84 Dalam upaya ratifikasi Konvensi Hak-hak penyandang cacat ini sesuai dengan pasal 43 Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat, Indonesia sebagai penandatangan Konvensi wajib meratifikasi (mengikat diri) dengan Konvensi. Keinginan meratifikasi juga didorong oleh alasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Tujuan pengesahan Konvensi tersebut adalah untuk memperkuat penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak-hak penyandang disabilitas di segala bidang.85 Sesuai dengan ketentuan pembuatan peraturan perundang-undangan, Rancangan Undang-undang Pengesahan Konvensi dibuat dengan disertai Naskah Akademis dan terjemahan resmi Konvensi ke dalam Bahasa Indonesia. Upaya penterjemahan dimulai dengan meninjau ulang istilah “penyandang cacat” yang selama ini berlaku di Indonesia pada pertemuan yang dihadiri oleh berbagai instansi, organisasi penyandang cacat, Komnas HAM dan ahli bahasa pada bulan Janauari 2009 di Cibinong Bogor. Pertemuan ini digagas oleh Kementerian Sosial bekerjasama dengan Komisi Hak Asasi Nasional. Pertemuan belum menyepakati secara penuh istilah terjemahan persons with disabilities dalam bahasa Indonesia, tetapi merekomendasi 6 usulan istilah untuk dibahas lebih lanjut.86
84
Kronologis Upaya Ratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas), Diakses pada tanggal 3 Januari 2012. 85 Ibid., Hlm 2. 86 Ibid., Hlm 2.
110
Sementara itu, atas usulan berbagai instansi / lembaga / kementerian dan organisasi sosial penyandang cacat, Kementerian Sosial didesak untuk segera memulai proses ratifikasi. Menteri Sosial mengajukan proses ratifikasi kepada Menteri Luar Negeri untuk selanjutnya meminta ijin prakarsa kepada Presiden. Menteri Sosial memperoleh Persetujuan Izin Prakarsa proses ratifikasi Konvensi ini melalui Surat menteri Sekretaris Negara No. B-72/M.Sesneg/D-4/02/2009 tanggal 17 februari 2009. Proses terjemahan terus berlangsung bersamaan dengan pembuatan Naskah Akademik
dan
Rancangan
Undang-Undang
tentang
Pengesahan
Convention on the rights of Persons with Disabilities dengan konsultasi antar kementerian, lembaga dan organisasi penyandang cacat disertai pula dengan sosialisasi isi Konvensi di tingkat pusat dan daerah baik itu dilakukan
oleh
Kementerian
Sosial,
Kementerian
Luar
Negeri,
Kementerian Hukum dan HAM, berbagai Organisasi penyandang cacat maupun Komisi Nasional HAM serta instansi dan lembaga lainnya. Upaya finalisasi terjemahan resmi naskah CRPD ke dalam bahasa Indonesia kembali dilanjutkan dengan difasilitasi oleh Komisi Nasional HAM dan Kementerian Sosial. Komisi Nasional HAM mengundang para pakar di bidang filsafat, komunikasi, psikologi, hukum hak asasi manusia, linguistik, bidang kecacatan, dan praktisi bidang kecacatan (disabilitas) untuk mendapatkan satu terminologi terjemahan resmi person with disability ke dalam bahasa Indonesia. Dalam proses ratifikasi konvensi ini,
111
Indonesia mengajukan reservasi (persyaratan)87 dalam konvensi tersebut, disability yang diterjemahkan menjadi istilah “penyandang cacat” yang dipergunakan selama ini tidak lagi dikendaki dengan alasan :88 1. Dari aspek bahasa, kata cacat secara denotatif mempunyai arti yang bernuansa negatif, seperti penderita, kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik, cela, aib, dan rusak. Kata cacat juga mempunyai makna konotatif yang berupa rasa merendahkan atau negatif. 2. Kata cacat muncul karena adanya suatu kekuasaan (kelompok atau negara) yang memberikan kata tersebut sebagai identitas kepada sekelompok manusia yang dianggap cacat. Cacat sesungguhnya merupakan konstruksi sosial bukan realitas keberadaan seseorang. 3. Secara filosofis, tidak ada orang yang cacat. Manusia diciptakan Tuhan dalam keadaan yang paling sempurna dan dengan derajat yang setinggitingginya. 4. Dampak psikososial dari adanya istilah “penyandang cacat” antara lain: menciptakan jarak sosial, membuat subyek dan orang-orang terdekat merasa bersalah, orang yang disebut “penyandang cacat” mengkonstruksikan diri sebagai tidak lengkap, tidak mampu, tidak diharapkan, dan memposisikan sebagai korban. 5. Secara empirik, istilah “penyandang cacat” yang digunakan selama ini telah menimbulkan sikap dan perlakuan yang tidak baik kepada orang yang disebut sebagai penyandang cacat. Istilah “penyandang cacat” telah menimbulkan kekeliruan dalam memahami keberadaan (eksistensi) orang yang disebut “penyandang cacat”. Kecacatan dianggap sebagai identitas dari sesorang, yang lebih rendah daripada orang yang disebut tidak cacat. Padahal ke-‘cacat’-an bukanlah suatu keadaan yang menentukan kualitas terhadap yang tidak ‘cacat’. Ke-‘cacat’-an bukanlah ukuran suatu keterbatasan eksistensi manusia. Ke-‘cacat’-an hanyalah kondisi tertentu dari manusia yang mengantarkan dirinya kepada permasalahan ‘perbedaan cara’ di tingkatan realitas ketika menghadapi kehidupan itu sendiri, dibandingkan manusia lainnya. Pada waktu itu ditetapkan kriteria yang termuat dalam terminologi baru yang diinginkan sebagai berikut :89
87
Dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, ketentuan mengenai pensyaratan ini secara terperinci diatur dalam pasal 19 sarnpai dengan pasal 23. Reservasi (reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral. 88 Ibid., Hlm 4.
112
a. Mendeskripsikan secara jelas subyek yang dimaksud dengan istilah tersebut (deskriptif maksimalis). b. Mendeskripsikan fakta nyata. c. Tidak mereinkarnasikan atau melembagakan unsur negatif (tidak melecehkan). d. Menumbuhkan semangat pemberdayaan. e. Memberikan inspirasi hal-hal positif (menonjolkan hal-hal positif). f. Istilah belum digunakan pihak lain untuk mencegah kerancuan istilah g. Memperhatikan ragam pemakai dan ragam pemakaian h. Dapat diserap dan dimengerti oleh pelbagai kalangan secara cepat i. Bersifat representatif-akomodatif-baku untuk kepentingan ratifikasi Konvensi j. Bukan istilah yang mengandung kekerasan bahasa atau mengandung unsur pemanis k. Mempertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah internasional l. Memperhatikan perspektif linguistik. m. Mengandung penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia n. Menggambarkan kesamaan atau kesetaraan. o. Enak bagi yang disebut dan enak bagi yang menyebutkan. p. Memperhatikan dinamika perkembangan masyarakat. Istilah “penyandang disabilitas” yang disetujui dalam pertemuan para pakar dalam perumusan terminologi istilah pengganti “penyandang cacat” yang digagas Komisi Nasional HAM pada bulan Maret 2010 di Jakarta itu, kemudian dibahas kembali dalam pembahasan Naskah Akademis dan RUU pengesahan CRPD dari lintas kementerian negara, instansi, lembaga, serta organisasi penyandang cacat, akademisi dan Komisi Nasional HAM di Bandung, April 2010 yang difasilitasi Kementerian Sosial. Pertemuan di Bandung menyepakati istilah “penyandang disabilitas” sebagai terjemahan dalam bahasa Indonesia dari person with disability. Istilah “penyandang disabilitas” yang disetujui dalam pertemuan para pakar dalam perumusan terminologi istilah pengganti “penyandang cacat” yang digagas Komisi Nasional HAM pada bulan Maret 2010 di Jakarta itu, kemudian dibahas 89
Ibid., Hlm 4-5.
113
kembali dalam pembahasan Naskah Akademis dan RUU pengesahan CRPD dari lintas kementerian negara, instansi, lembaga, serta organisasi penyandang cacat, akademisi dan Komisi Nasional HAM di Bandung, April 2010 yang difasilitasi Kementerian Sosial. Pertemuan di Bandung menyepakati istilah “penyandang disabilitas” sebagai terjemahan dalam bahasa Indonesia dari person with disability. Setelah terjemahan resmi naskah Konvensi disepakati dan Naskah Akademis serta RUU Pengesahan dibuat, pada tanggal 31 Desember 2010 dilakukan proses harmonisasi perundang-undangan dengan menghadirkan wakil dari berbagai kementerian di bawah koordinasi Kementerian Hukum dan HAM. Pada waktu itu juga tersirat keinginan untuk meratifikasi semua pasal CRPD kecuali Optional Protokol. Optional Protokol tidak dipilih karena Indonesia tidak menganut sistem pengaduan individual pada Komisi HAM Internasional. Pada tanggal 18 Oktober 2011, Sidang Paripurna DPR RI
menyetujui
RUU
Pengesahan
Konvensi
Hak-hak
Penyandang
Disabilitas. Ini berarti Indonesia menjadi negara ke 107 yang meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas.90 Indonesia melakukan tindakan yang tepat dengan melakukan penandatanganan dan ratifikasi terhadap konvensi hak penyandang cacat jika dilihat dari beberapa peraturan sebelum adanya konvensi ini yang kurang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan pengesahan konvensi ini merupakan titik awal dari perjuangan panjang seluruh elemen bangsa,
90
Ibid., Hlm 7.
114
untuk memajukan hak-hak penyandang cacat. Pelaksanaan Konvensi ini akan mendorong seluruh pihak untuk melakukan langkah penyesuaian yang mendasar dalam penanganan kelompok masyarakat penyandang cacat. Sebuah perubahan yang memungkinkan untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif bagi penyandang cacat. Sebuah perubahan yang menjadikan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat yang senantiasa memiliki kepedulian terhadap hak-hak penyandang cacat. Dengan dilakukannya pengesahan konvensi ini maka terdapat dasar hukum di Indonesia yang saat ini masih bersifat rancangan undang-undang, yaitu RUU tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Cacat. Dilihat dari definisi yang dicantumkan oleh RUU mengenai penyandang cacat lebih lengkap dan jelas apabila dibandingkan dengan CRPD atau UU tentang Hak Asasi manusia yang tidak memberikan definisi mengenai penyandang cacat secara khusus serta UU tentang penyandang cacat yang memberikan definisi yang dirasa kurang tepat. Definisi yang dicantumkan dalam UU tentang Penyandang Cacat bermasalah karena beberapa alasan. Pertama, orang yang mengaku dirinya adalah penyandang disabilitas harus membuktikan bahwa mereka tidak dapat ‘melakukan secara selayaknya’. Seseorang tidak perlu diharuskan membuktikan hal ini, dan hubungan antara kedua konsep tersebut membatasi penerapan peraturan nondiskriminasi. Dengan mengaitkan kedua
115
konsep tersebut, seseorang yang telah menerima pengobatan/perawatan atas kelainan yang dimilikinya dan kemudian dapat ‘melakukan secara selayaknya’, namun masih menghadapi diskriminasi, tidak tercakup dalam definisi ini. Demikian pula halnya dengan orang yang memiliki kelainan namun tidak ‘mengganggu’ atau ‘merupakan rintangan dan hambatan’ karena kondisi tertentu (misalnya karena memiliki kekayaan). Bila ‘penyandang cacat/disabilitas’ didefinisikan dalam suatu peraturan, maka definisi ini harus mengadopsi pendekatan berbasis HAM dan bahwa kelainan (fisik ataupun mental) orang tersebut harus memicu mekanisme perlindungan seperti misalnya peraturan antidiskriminasi. Definisi apapun yang didasarkan pada gagasan tentang kehidupan seharihari, yang mengaitkan ketidakmampuan untuk melakukan kegiatan dengan kelainan yang dimiliki, harus dicabut. Kedua, pada praktiknya, definisi ‘penyandang cacat/disabilitas’ tidak memasukkan orang dengan disabilitas psikiatris atau psikologis, dan oleh karenanya orang tersebut tidak dianggap memiliki disabilitas.91 Selain itu, masih banyak ditemui ketidakefektifitas berlakunya Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, terutama untuk memenuhi hak penyandang cacat itu sendiri dalam mendapatkan kesejahteraan sosial. Dengan ketidakefektivitas berlakunya UU tersebut secara langsung dapat memberikan pandangan negatif kepada pemerintah, bahwasanya
91
pemerintah
Nicola Colbran, Op., Cit. Hlm 48 -49.
telah
gagal
dalam
penanganan
masalah
116
kesejahteraan sosial yang ada. Terutama masalah pemenuhan hak bagi penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, yang merupakan tanggung jawab dari Kementerian sosial untuk mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan
tanggung
jawab
sosialnya.
Dimana
prioritas
dari
Penyelenggaraan kesejahteraan ditujukan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial, salah satunya adalah penyandang cacat. Pada RUU Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas mengenai hak-hak penyandang disabilitas dijabarkan secara lebih mendetail bila dibandingkan dengan UU Hak Penyandang Cacat. Meskipun UU No.4 Tahun 1997 memberikan beberapa perlindungan bagi penyandang disabilitas, sulit untuk mendapatkan pemulihan hak, dan sanksisanksi yang diberikan masih amat lemah. Hak-hak yang terdapat dalam UU ini juga tidak mencakup semua hak yang harus dimiliki oleh penyandang disabilitas, karena diatur dengan sangat sedikit dan tidak terperinci, sehingga pelaksanaannya pun kurang memadai. Masih banyak ditemui ketidakefektifitas berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, terutama untuk memenuhi hak penyandang disabilitas itu sendiri dalam mendapatkan kesejahteraan sosial. Dengan ketidakefektivitas berlakunya UU tersebut secara langsung dapat memberikan pandangan negatif kepada pemerintah, bahwasanya pemerintah telah gagal dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial yang ada. Terutama masalah
117
pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, yang merupakan tanggung jawab dari Kementrian Sosial untuk mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Dimana prioritas dari Penyelenggaraan kesejahteraan ditujukan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial, salah satunya adalah penyandang disabilitas. Apabila dikaitkan dengan konsep HAM maka RUU Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas telah memenuhi konsep HAM tersebut dan telah bisa menutup kekurangan yang ada pada UU sebelumnya, yaitu UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Konsep hak asasi manusia yang merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun, RUU ini telah sesuai dengan konsep tersebut karena hak-hak yang diatur didalamnya telah sesuai dengan apa yang harus dimiliki oleh penyandang disabilitas. Bahwa tujuan terbentuknya RUU tersebut adalah perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas untuk menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar secara penuh dan setara oleh semua penyandang
disabilitas,
dan
untuk
menegakkan
dan
memajukan
penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka.92
92
Diatur dalam pasal 4 RUU Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
118
Sebenarnya dengan adanya RUU Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas adalah tindakan untuk menyatukan beberapa aturan mengenai hak-hak penyandang cacat yang tercecer di beberapa peraturan yang ada, sehingga terlihat bahwa UU penyandang cacat jauh dari sempurna untuk bisa diimplementasikan di Indonesia. RUU ini adalah kesatuan dari hak-hak penyandang cacat yang tercecer tersebut. Implementasi Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat ini membawa dampak yang cukup signifikant di Indonesia, berbagai produk hukum maupun kebijakan di negeri ini memberikan pemahaman kecacatan sebagai persoalan individu. Pada RUU telah sesuai dengan yang diharapkan, diberikan suatu pernyataan mengenai kesetaraan dan non diskriminasi, yaitu semua orang adalah setara sebagai manusia. Dengan demikian, tidak seorangpun, harus menderita karena diskriminasi. Konsep dari RUU ini juga mengacu pada perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia khususnya bagi penyandang disabilitas di Indonesia.
119
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari bahasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan pemenuhan hak-hak penyandang cacat diatur didalam suatu perjanjian internasional yaitu The Convention on the Rights of Persons with Disabilities atau disingkat dengan CRPD tahun 2006. CRPD mempunyai tujuan untuk memajukan, melindungi dan menjamin penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar secara penuh dan setara oleh semua orang penyandang cacat dan untuk memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka. CRPD terdiri dari 26 pasal yang mengatur mengenai hak-hak penyandang cacat yang wajib dilaksanakan oleh semua negara pihak. 2. Pada implementasinya, konstitusi Indonesia telah memberikan jaminan, perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi bagi setiap manusia, terdapat dalam pasal 28 UUD 1945. Indonesia melalui UU Nomor 19 Tahun 2011 telah mengesahkan CRPD dan meratifikasinya dengan
120
membuat
RUU
Perlindungan
dan
Pemenuhan
Hak
Penyandang
Disabilitas, sebagai bentuk komitmen dan kepedulian seluruh elemen bangsa bagi kemajuan hak asasi manusia khususnya terhadap kemajuan penyandang cacat yang wajib mendapatkan perhatian dari seluruh masyarakat Indonesia serta merupakan tanggung jawab Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia dalam melindungi dan memajukan hak asasi manusia khususnya penyandang cacat.
B. Saran Bagi pemerintah
Indonesia,
peraturan
yang
berkaitan
dengan
kepentingan penyandang cacat seharusnya segera dilaksanakan serta membentuk komite pengawas, berdasarkan CRPD dalam rangka pelaksanaan konvensi yang telah diratifikasi.
121
DAFTAR PUSTAKA
Brownlie, Ian. 1994. Dokumen-dokumen Pokok mengenai Hak Asasi Manusia. Jakarta: UI Press. Colbran, Nicola. 2010. Akses terhadap Keadilan Penyandang Disabilitas di Indonesia. Jakarta: AusAID. Effendi, Masyhur. 2005, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM), Bogor: Ghalia Indonesia. ----------------------------. 1980. Tempat Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional / Nasional. Bandung: PT. Alumni. Irwanto, dkk. 2010. Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia: Sebuah Desk Review. Jakarta: UI Press. I Wayan Parthiana. 2002. Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Bandung : Mandar Maju. -----------------------------. 2005. Hukum Perjanjian Internasional Bagian II. Bandung : Mandar Maju. Harahap, A. Bazar dan Nawangsih Sutardi. 2006. Hak Asasi Manusia dan Hukumnya, Perhimpunan Cendekiawan Independen Republik Indonesia (Pecirindo). Jakarta. Kusumaatmadja, Mochtar. 1982. Pengantar Hukum Internasional Bagian I. Jakarta: PT. Bina Cipta. Mauna, Boer. 2010. Hukum Internasional Pengertian Pernanan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global Edisi ke-2 2005. Bandung: PT. Alumni. Majda El Muhtaj. 2008. Dimensi-dimensi HAM: Mengurai hak ekonomi, sosial, dan budaya. Jakarta: PT.RajaGrafindo. Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama. Naning, Ramdlon. 1983. Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta : Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia.
122
Piley, Navanethem. 2010. Monitoring the Convention on the Rights of Persons with Disabilities. New York and Geneva: United Nations. Rudy, T. May. 2002. Hukum Internasional 2. Bandung: PT. Refika Aditama. Schulze, Marianne. 2010. Understanding the UN Convention on the rights of Persons with Disabilities. 303 W56th Street, New York. Sunggono, Bambang. 2010. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Suryokusumo, Sumaryo. 1990. Hukum Organisasi Internasional. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). Handoyo, Hestu Cipto. 2003. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia). Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Peraturan Perundang-Undangan: Undang-undang Dasar 1945 setelah Amandemen Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Cacat 2006 : The Convention on the Rights of Persons with Disabilities 2006. Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional 1969 : Vienna Convention On The Law Of Treaties 1969. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
123
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin Rancangan Undang-undang Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Sumber lain: ----. DPR RI Setujui RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. diakses pada tanggal 24 Oktober 2011 melalui: www.kemlu.go.id. Antara. Negara Asean belum Ratifikasi Konvensi Penyandang Disabilitas. Diakses pada tanggal 5 Desember 2011 melalui: www.berita.yahoo.com. Eva Kasim. Kronologis Upaya Ratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas), Diakses pada tanggal 3 Januari 2012 melalui: http://www.multiply.com/journal. Kuncahya B, Agung. Penyandang Cacat Harap Haknya Dipenuhi. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2011 melalui: www.jurnas.com. ILO.
Mempromosikan Pekerjaan Layak Bagi Semua Orang:Membuka Kesempatan pelatihan dan Kerja bagi Penyandang Disabilit., Diakses pada tanggal 5 Januari 2011 melalui: www.ilo.org.
Pillay, Navathem. Monitoring the Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Guidance for human rights monitors. diakses tanggal 24 Oktober 2011 melalui: www.ohchr.org. PPCI. Sejarah Penyandang Cacat Menuju Hak-haknya di PBB. Diakses pada 5 November 2011 melalui: www.inklusi.com. Serafina Shinta Dewi. Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Penyandang Cacat (The Convention on The Rights of Persons with Disabilities). Diakses pada tanggal 5 Januari 2012 melalui: http://www.kumhamjogja.info.