BAB I PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Salah satu stakeholder CSR adalah konsumen, konsumen adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk di konsumsi pribadi (Kotler, 2000). Sedangkan konsumsi adalah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan nilai guna suatu barang dan jasa dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konsumen dimata perusahaan merupakan faktor penting dalam operasional perusahaan karena konsumen mempunyai peranan dalam kelangsungan hidup sebuah perusahaan, tanpa konsumen maka perusahaan akan mengalami kemunduran karena tidak adanya orang yang mengkonsumsi hasil produksi sebuah perusahaan. Akan tetapi. saat ini tingkat konsumsi masyarakat telah mengalami peningkatan dahsyat. Pada tahun 2008 konsumsi masyarakat Indonesia telah mencapai Rp. 3.019.459,4 Milyar dan pada kurun waktu 1999-2008 telah terjadi kenaikan nilai konsumsi masyarakat mendekati 400% (Persaulian, Baginda. Hasdi Aimon, Ali Anis. 2013). Data ini selaras dengan meningkatnya pendapatan GDP Per kapita masyarakat Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan 2012. BPS melansir bahwa terjadi peningkatan GDP perkapita masyarakat Indoensia, pada tahun 2000 GDP perkapita Indonesia hanya berkisar 6.7 juta sedangkan pada tahun 2012 GDP perkapita Indonesia telah mencapai 33 juta (www.bps.go.id). Ini membuktikan
1
bahwa tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi didukung oleh naiknya pendapatan masyarakat Indonesia. Tingginya tingkat konsumsi masyarakat memang menjadi salah satu indikator meningkatnya kesejahteraan, namun itu bukanlah tidak menimbulkan efek negatif, seringkali dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan dapat menimbulkan tingkat konsumsi yang berlebihan (over consumption) yang menimbulkan terjadinya pemborosan atau terjadinya konsumsi barang/jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan, bahkan dalam ruang yang lebih luas perilaku konsumtif
yang berlebihan oleh konsumen dan
masyarakat memicu perusahaan untuk memacu tingkat produksi semakin intensif dan eksploitatif agar mampu memenuhi tingkat permintaan konsumen. Disisi lain, ketika perilaku perusahaan seperti ini tidak diimbangi dengan kesadaran perusahaan untuk memperhatikan seluruh stakeholder dengan baik, maka akan menyebabkan ketidak-seimbangan stakeholder yang ada di perusahaan, sebagai contoh, ketika sebuah perusahaan mendapatkan keuntungan dari tingginya permintaan konsumen akan suatu produk perusahaan, maka shareholder akan mendapatkan keuntungan (profit), dan perusahaan akan melakukan eksploitasi aspek produksi untuk memenuhi permintaan konsumen, sedangkan di sisi lain stakeholder perusahaan seperti pekerja (buruh) tidak mendapatkan haknya untuk diperlakukan layak, seperti gaji yang pantas, insentif (bonus), kemudian kelompok
masyarakat sekitar perusahaan belum tentu
merasakan efek keuntungan dari meningkatnya produksi dan eksploitasi sumberdaya untuk memnuhi permintaan konsumen dan
lingkungan yang
dijadikan sumber daya untuk produksi perusahaan terkadang tidak diperhatikan
2
akan dampak dari proses produksi bahkan konsumen selaku penikmat produk dari sebuah perusahaan tidak diberikan informasi akan proses produksi. Disinilah letak pentingnya memberdayakan konsumen agar lebih kritis dalam mengkonsumsi suatu produk perusahaan. Dengan adanya konsumen yang berdaya, diharapkan konsumen lebih mengerti akan hak dan kewajiban yang diperoleh konsumen dari suatu produk perusahaan dan melindungi konsumen dari dampak opportunistik perusahaan. Salah satu cara memberdayakan konsumen adalah dengan menerapkan konsep CSR
yang terintegarasi dengan strategi
marketing sebuah perusahaan. Dengan adanya pemberdayaan konsumen dengan paham konsep konsumerisme, maka akan terjadi proses pemberdayaan yang terletak pada terciptanya perilaku konsumtif konsumen yang sadar akan lingkungan sosial atau lebih dikenal dengan istilah socially conscious consumer. Karakteristik dari konsumen yang sadar akan keadaan lingkungan sosial (socially conscious consumer)
adalah
seorang konsumen yang mengunakan hasrat
konsumtif mereka tidak hanya untuk kepuasan individual namun mampu berdampak pada perubahan sosial yang positif 2. Relevansi dengan jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan merupakan ilmu interdispliner yang mengkaji mengenai pengembangan masyarakat, baik dalam tingkat elite maupun grass root. Kajian pengembangan masyarakat tersebut kemudian terfokus dalam tiga bagian, yaitu kebijakan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. (TJSL).
3
Sejalan dengan fokus
PSDK. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji
hubungan keberdayaan konsumen sebagai bagian dari program
masyarakat dengan
tanggung jawab sosisal perusahaan, yaitu CRM. Secara spesifik,
penelitian ini melihat bagaimana respon konsumen terhadap program CRM serta dampak program CRM terhadap perilaku konsumen.
B. Latar Belakang Peran konsumen mempunyai posisi vital dalam mempengaruhi tingkah laku sebuah perusahaan. Konsumen dalam pandangan perusahaan merupakan faktor penting dalam proses operasional. Konsumen dan perusahaan bagai dua belah mata pisau yang tidak bisa dipisahkan, ketiadaan konsumen tentunya mampu mematikan keberadaan perusahaan itu sendiri. Pandangan perusahaan mengenai CSR tidak bisa lepas dari peran konsumen. Persepsi konsumen mengenai CSR sangat berpengaruh terhadap program CSR yang diselenggarakan oleh perusahaan Dilain sisi, isu CSR sudah lama berkembang di Indonesia. Bahkan saat ini pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan regulasi yang dituangkan dalam UU no. 40 tahun 2007 mengenai Perseroan Terbatas (UUPT) dan PP No. 47 tahun 2012 yang mewajibkan perusahaan untuk melaksanakan program atau kegiatan CSR. Hadirnya kedua kebijakan ini mampu melegitimasi kewajiban perusahaan untuk melaksanakan CSR. Akan tetapi, dalam implementasinya masih banyak perusahaan yang memandang CSR hanya sebatas kewajiban yang perlu dilaksanakan. Ini terjadi karena pelaku usaha memandang CSR sebagai beban
4
usaha yang hasilnya tidak setimpal dengan biaya yang dikeluarkan. Sebagian besar program CSR bersifat charity maupun philantrophy yang berujung pada ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan. Padahal salah satu esensi dari CSR adalah membuat
perusahaan semakin mampu berkembang dan
berkelanjutan sekaligus mampu menjadikan masyarakat lebih berdaya dan mandiri. Pandangan pragmatis oleh perusahaan ini menimbulkan kehawatiran sekaligus menarik untuk diteliti. Apakah program CSR di Indonesia tidak mampu menjadi „jembatan‟ antara tujuan perusahaan dengan perningkatan kesejahteraan sosial?. Untuk menjawab permasalahan diatas, diperlukan strategi yang mampu menyelaraskan antara tujuan perusahaan yaitu memaksimalkan laba dengan peningkatan kesejahteraan sosial sebagai konsekuensi dari perilaku perusahaan itu sendiri. Salah satu metode yang dapat diaplikasikan adalah penerapan inisiatif CSR yang berbasis pada strategi pemasaran perusahaan, yaitu konsep Cause Related Marketing (CRM). Pringle dan Thompson (1999) menjelaskan bahwa CRM merupakan sebuah konsep pemasaran yang berfungsi sebagai strategic positioning1 dan alat pemasaran yang menghubungkan perusahaan atau sebuah brand dengan tujuan sosial (social cause) yang mempunyai sifat simbiosis mutualisme. Jenis program ini merupakan pemberian donasi kepada penerima (objek donasi) yang bersumber pada jumlah pendapatan dari hasil penjualan produk (Polonski dan Speed, 2001). Manfaat dari cause-related marketing adalah
1
Pengertian strategic positioning adalah suatu strategi yang digunakan untuk menanamkan suatu citra produk di benak konsumen sehingga produk tersebut terlihat menonjol dibandingkan dengan produk pesaing.
5
mampu menciptakan situasi yang saling menguntungkan bagi bisnis, penerima (cause) dan konsumen (Endacott, 2004). Contoh sukses atas program CRM yang dilakukan oleh perusahaan salah satunya adalah program perusahaan American Express. Perusahaan ini mengkampanyekan bahwa setap transaksi dagang dengan mengunakan kartu Amex, maka sebagian keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan American Express akan disumbangkan untuk renovasi patung Liberty. Dalam perkembangannya, program ini mampu membantu renovasi patung Liberty dan meningkatkan kinerja penjualannya. Pada tahun 2012, beberapa perusahaan multi-nasional terkemuka di dunia, seperti Nike, Motorola, Starbucks, Apple dan Coca-Cola membuat sebuah program CRM yang dinamakan Product Red. Program ini mengkampanyekan bahwa setiap keuntungan dari penjualan produk perusahaan yang tergabung dalam program Product Red
akan disisihkan hingga 50% untuk menanggulangi
penyebaran AIDS, TBC serta Malaria. Dalam perkembangannya, program ini telah mendonasikan lebih dari 200 juta dolar untuk mencapai tujuan program Product Red. Pencapaian nominal hingga angka tersebut menunjukkan adanya antusiasme tinggi dari konsumen dalam keinginan untuk berkontribusi dalam program yang dikampanyekan oleh Product Red.
Antusiasme yang tinggi
menunjukkan adanya konsumen yang sadar akan peran dirinya terhadap perubahan sosial yang lebih baik, atau disebut socially conscious consumer 2.
2
Pengertian dari socially conscious consumer adalah seorang konsumen yang menggunakan hasrat konsumtif mereka tidak hanya untuk kepuasan individual namun mampu berdampak pada perubahan sosial yang positif .
6
Adanya socially conscious consumer menujukkan bahwa konsumen berdaya. Lalu bagaimana dengan kondisi di Indonesia?. Di negara
Indonesia, penerapan konsep CSR berbasis cause related
marketing sudah marak dilakukan oleh perusahaan baik swasta maupun negeri. Berikut tabel beberapa perusahaan yang telah menerapkan program cause related marketing.
Tabel 1.1 Program CRM Perusahaan No 1
Perusahaan/Produk Es Krim Viennetta
Program “Berbagi kebaikan“.
2.
Zalora Indonesia
Zalora Fashion Fight the Flood dengan konsep “you buy 1 we give 1”.
3.
Two Picture
1000
Synergy Program perbaikan sarana masjid, surau serta sarana pendidikan dari hasil penjualan tiket film “Bait Surau”
7
Deskripsi Setiap penjualan produk Es Krim, akan disisihkan Rp.1000,- untuk anakanak korban gempa di Sumatera serta bantuan pendidikan bagi anakanak berprestasi dari kalangan tidak mampu. Program bantuan terhadap bencana banjir dari tanggal 17-19 januari 2013. Setiap pembelian produk Zalora maka pembeli sudah menyumbangkan 1 produk bantuan kepada korban banjir Jakarta Setiap penjualan tiket film “Bait Surau” maka sebagian dana akan dipergunakan untuk pembangunan perbaikan sarana Masjid, surau dan sarana pendidikan.
4.
Lifebouy
5.
Aqua
“Program Lifebouy Setiap penjualan produk Berbagi Sehat “ lifebouy disisihkan Rp.10,tiap produk untuk program bantuan terhadap sarana kesehatan dan kampanye cuci tangan “5 tahun bisa untuk Setiap dukungan yang NTT” diberikan baik lewat pembelian produk maupun melaui media internet maka akan disisihkan Rp.100,- untuk bantuan di daerah desa Bitubang NTT. “1 untuk 10” Tiap pembelian 1 liter produk Aqua maka konsumen telah membantu penyediaan air sebesar 10 liter air bagi penduduk Timur Tengah Selatan, NTT.
Sumber: diolah dari berbagai sumber.
Tabel diatas menunjukkan isu strategi CRM sudah mulai dipraktekkan oleh berbagai macam jenis perusahaan. Berbagai perusahaan telah mencoba menerapkan strategi CRM ke dalam strategi pemsaran mereka. Oleh karena itu, analisis strategi CRM dalam penelitian ini mencoba fokus terhadap salah satu perusahaan yang telah menerapkan strategi CRM, yaitu PT. Aqua. Hal ini mengingat produk tersebut merupakan salah satu penyedia kebutuhan primer masyarakat sekaligus salah satu pionir untuk jenis produk yang mereka produksi. Alasan yang lain adalah produk tersebut melakukan promosi kegiatan program mereka secara lebih masif daripada beberapa produk yang lainnya. produk ini
8
memiliki kesamaan strategi dalam menerapkan program mereka. Salah satunya adalah penggunaan
media massa (televisi dan internet) sebagai basis utama
pengenalan maupun pemasaran progam. Dalam masyarakat modern peran media massa mempunyai peran vital. Media Massa mempunyai kekuatan untuk untuk menyampaikan informasi serta pembentukan wacana. Wacana tidak akan terbentuk ketika masyarakat tidak mampu atau tidak mendapatkan informasi, yang akhirnya berdampak pada pengetahuan (discourse) yang dimiliki oleh konsumen. Seperti sudah diketahui bahwa televisi dan internet merupakan salah satu media massa yang paling sering diakses oleh masyarakat. Televisi menjadi sebuah alat yang mampu memberikan kontribusi besar dalam proses menyampaikan informasi (transfer of knowledge) serta pengembangan wacana kepada masyarakat. Sedangkan internet saat ini sudah seperti kebutuhan primer bagi masyarakat luas, karena mampu memberikan informasi dalam cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan televisi. Pada tahun 2012 pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta atau berkisar 24,23% dari jumlah penduduk di Indonesia (Antara News, 2012). Dengan adanya penyebaran informasi program secara masif lewat media televisi dan internet, diharapkan semakin banyak masyarakat yang mengetahui program CRM Aqua. Program “1 untuk 10” dari produk Aqua merupakan sebuah program yang mengajak masyarakat untuk ikut membantu masalah ketersediaan air bersih di daerah Nusa Tenggara Timur tepatnya di daerah Timur Tengah Selatan, NTT. Program ini dilakukan karena adanya kepedulian Aqua akan kebutuhan air bersih untuk menunjang kehidupan yang sehat dan bersih serta adanya semangat untuk
9
mengurangi masalah kelangkaan air bersih yang melanda di daerah NTT. Program “Satu untuk Sepuluh” menjanjikan dengan membeli 1 liter produk Aqua maka masyarakat telah menyumbangkan 10 liter air bersih bagi masyarakat di Nusa Tenggara Timur yang membutuhkan air. Program “Satu untuk Sepuluh” ini dimulai dengan promosi melalui media massa dengan jangka waktu bulan juli 2007 hingga bulan september 2007. Perkembangan program ini menunjukkan progress yang baik. Hanya dalam waktu 3 bulan, produk Aqua mampu menyediakan lebih dari 1 milyar liter air bersih (http://www.CSRindonesia.com). Ini menunjukkan adanya kegiatan konsumsi produk aqua yang tinggi oleh masyarakat. Karena jika dibagi dengan perbandingan 1:10 sesuai ketentuan program tersebut maka untuk mencapai 1 milyar liter air maka konsumsi produk Aqua harus mencapai kurang lebih 100 juta liter air. Selain itu, terdapat trend peningkatan omset penjualan produk Aqua dari tahun 2007 hingga tahun 2009. Pada tahun 2007 omset penjualan mencapai 1,95 triliun meningkat menjadi 2,44 triliun pada tahun 2009 (Harto, 2010). Dari pemaparan diatas dapat diasumsikan bahwa dengan CSR berbasis strategi CRM produk Aqua mendapatan sambutan hangat dari masyarakat secara umum dan konsumen secara khusus. Terbukti dari respon yang ditunjukkan lewat dukungan terhadap program tersebut. Namun yang menarik adalah apakah dengan strategi CRM yang dilakukan Aqua mampu memicu konsumen menjadi lebih berdaya
yang tercermin dalam perilaku konsumsi?. Apakah CRM mampu
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsumen dalam aspek pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skills) dan daya (power) sebagai salah
10
satu basis untuk menjadikan masyarakat berdaya. Masyarakat (konsumen) yang berdaya adalah suatu kondisi masyarakat/konsumen mampu mandiri dalam menentukan pilihan serta mampu memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki untuk membangun kesejahteraan baik dalam lingkup individu maupun sosial. Semakin tinggi tingkat keberdayaan maka akan dapat mempengaruhi tingkat kemampuan (skills), pengetahuan dan daya tawar (power) masyarakat maupun konsumen. seperti yang diungkapkan oleh Torre (1985: 34)
dalam menjelaskan
pemberdayaan : “A process through which people become strong enought to participate within, share control of, and influence events and institutions affecting their lives, (and that in party) empowerment necessitates that people gain particular skills, knowledge, and sufficient power to influence their lives and live those they care about.
Melihat perilaku konsumsi konsumen maupun masyarakat dapat diketahui seberapa jauh tingkat keberdayaan masyarakat serta efektifitas model CRM dalam menarik minat serta memberdayakan sebuah entitas (konsumen/masyarakat) itu sendiri. Selain itu, peningkatan keberdayaan mempengaruhi tingkat persepsi serta awareness konsumen. Karena pada dasarnya persepsi masyarakat merupakan sebuah “driver” dari program CSR. Seperti yang diungkapkan oleh Dincer & Dincer (2013 :214) “Individual Perception‟s (as employees, consumers, investors and citizens) are a significant driver of CSR”. Makna dari kata driver dalam penjelasan diatas adalah masyarakat menjadi sebuah pengontrol sekaligus tolak ukur akan keberhasilan sebuah strategi CSR perusahaan., dalam hal ini penerapan konsep CRM. Semakin tinggi nilai persepsi dan sikap konsumen menunjukkan program selaras dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Penelitian yang
11
dilakukan oleh Becker-Olsen dan Hill (2005) dalam Tan (2009) yang menunjukkan bahwa program CSR yang dilakukan dengan baik dan memiliki kesesuaian (fit) dengan apa yang dibutuhkan masyarakat, berpengaruh terhadap persepsi masyarakat, kredibilitas perusahaan, serta keinginan untuk membeli produk perusahaan tersebut.
C. Rumusan masalah CSR adalah sebuah konsep perusahaan mampu mensinergikan antara keuntungan secara operasional produksi dengan tanggung jawab akan dampak dari kegiatan tersebut. Konsumen sebagai salah satu stakeholder dalam perusahaan mempunyai hak untuk mendapatkan informasi mengenai produk yang didalamnya terdapat nilai-nilai tanggung jawab sosial. Salah satu inisiatif CSR untuk menginformasikan produknya yang mengandung nilai etika bisnis adalah dengan menerapkan konsep cause related marketing (CRM). CRM dianggap merupakan metode yang paling bisa mengkomunikasikan (transfer of knowledge) nilai etika bisnis dan mempunyai sifat mutual benefit bagi seluruh stakeholder sharehoder.
dan
Dengan penerapan CRM, asumsi yang dikembangkan adalah
terjadinya proses pemberdayaan konsumen, dengan terjadinya perubahan perilaku konsumsi yang semula hanya mementingkan kebutuhan individu menjadi perilaku konsumsi yang sadar akan keadaan sosial (socially conscious consumer). Maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:
12
1. Sejauh mana program SuS
Aqua mampu mempengaruhi persepsi
konsumen terhadap program SuS dan produk Aqua ? 2. Bagaimana konsumen menggunakan seluruh sumber daya (pengetahuan dan persepsi) terhadap program SuS Aqua ketika melakukan aktifitas konsumsi produk tersebut? 3. Bagaimana peran program CSR dengan Strategi Cause Related Marketing dalam rangka Pemberdayaan Konsumen pengetahuan konsumen terhadap program SuS Aqua ?
D. Tujuan : a. Untuk mengetahui peran program CSR dengan strategi
CRM
dalam mempengaruhi perilaku konsumen/masyarakat perihal mengkonsumsi sebuah produk. b. Mengetahui pertimbangan konsumen dalam mengkonsumsi sebuah produk yang mencerminkan
tingkat keberdayaan konsumen
tersebut. E. Manfaat hasil penelitian : a. Mampu menjadi bahan referensi untuk penelitian dengan tema yang sama b. Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangsih
pengetahuan tentang hubungan CSR dengan strategi Cause Related Marketing dengan pemberdayaan masyarakat secara umum dan pemberdayaan konsumen secara khusus. 13
F. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Cause Related Marketing Salah satu bentuk marketing yang termasuk dalam inisiatif CSR adalah konsep Cause Related Marketing (CRM). Pringle dan Thompson (1999) menjelaskan bahwa CRM merupakan sebuah konsep pemasaran yang berfungsi sebagai strategic positioning3 dan alat pemasaran yang menghubungkan perusahaan atau sebuah merek dengan tujuan sosial (social cause) yang mempunyai sifat simbiosis mutualisme. Varadarajan dan Menon dalam Brink et all (2006:15) mendefinisikan CRM
sebagai proses merumuskan serta menerapkan
kegiatan pemasaran
perusahaan melalui penawaran untuk memberikan sejumlah dana pada suatu cause.
Kotler dan Lee (2005) menjelaskan
bahwa perusahaan dapat
dikategorikan menerapkan strategi CRM ketika perusahaan mengajak masyarakat untuk menggunakan produknya yang sebagian keuntungan akan didonasikan pada suatu isu sosial tertentu. Menerapkan strategi CRM diharapkan
mendidik konsumen mengenai
pentingnya nilai-nilai tanggung jawab sosial perusahaan yang wajib terkandung di dalam sebuah merk. Manfaat lain dari konsep CRM adalah dapat membantu memberikan informasi pelaksanaa CSR kepada masyarakat. Seperti yang dikatakan Adkins (2004 : 53)
3
Pengertian strategic positioning adalah suatu strategi yang digunakan untuk menanamkan suatu citra produk di benak konsumen sehingga produk tersebut terlihat menonjol dibandingkan dengan produk pesaing.
14
“Cause Related Marketing helps to make a company‟s Corporate Social Responsibility visible, it demonstrates its values and adds value to these values”.
Semakin diketahuinya pelaksanaan CRM dari suatu perusahaan oleh masyarakat maka mampu membuat perusahaan semakin mempunyai posisi tawar yang lebih baik daripada para kompetitornya. CRM dapat memberikan pengetahuan masyarakat sekaligus pengembangan wacana akan pentingnya peran konsumen dalam seluruh dimensi sosial dan lingkungan. Efek dari strategi CRM mampu mempengaruhi daya beli konsumen dalam
membeli
produk perusahaan. Hal ini dipertegas dengan pendapat Duncan dan Morarty (1997) : “Cause-related marketing has a great potential in helping marketers to stay in tune with the mood of the public, as it is more sensitive, trustworthy and relevant to society”.
Selain itu, pelaksanaan CRM mampu membuat perusahaan semakin sadar bahwa pelaksanaan CSR bukan merupakan sebuah beban bagi perusahaan, melainkan mampu menjadi salah satu bentuk cara marketing baru yang menggeser cara marketing yang lama. Dengan kata lain, perusahaan mampu menjadikan program CSR tidak hanya bemanfaat bagi para stakeholder, namun juga memberikan keuntungan kepada pemegang saham. Pada
akhirnya mampu
memberikan kontribusi pada pengembangan perusahaan dalam jangka panjang dan pembangunan yang berkelanjutan (Suparjan, 2012:53).
15
2. Pemberdayaan a. Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, sustainable, and empowering" (Chambers, 1995). Menurut Oxford English Dictionary, “empower” memiliki dua kandungan pengertian. Pengertian yang pertama adalah “to give power of authority” yang berarti memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuasaan, atau mendelegasikan kekuasaan ke pihak lain dan pengertian yang kedua berarti “to give ability or enable” yang mempunyai pengertian upaya untuk memberikan kemampuan (ability) atau keberdayaan. Secara konseptual pemberdayaan berasal dari kata „daya‟. Weber dalam Hikmat (2006) mendefinisikan
daya
sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk
mewujudkan keinginannya. Pemberdayaan merupakan sebuah membebaskan manusia
dari
konsep untuk
tekanan alienasi, marginalisasi serta
ketidak-
mampuan manusia untuk mempunyai pengaruh dari apa yang mempengaruhinya (Sadan, 1997 hal.17). Pemberdayaan merupakan sebuah proses interaktif antara
individu
maupun kelompok dengan lingkungannya. Kieffer (1984) dalam Sadan (1997 :75) mengemukakan bahwa hasil
dari proses interaksi antara individu/ masyarakat
adalah kecakapan ataupun kepandaian yang berdasarkan dari wawasan ataupun pengetahuan,
munculnya kesadaran kritis terhadap lingkungan, kemampuan
individu maupun kelompok untuk berpartisipasi dengan kelompok baru, 16
kemampuan untuk mengatasi rasa frustasi serta mampu membawa perubahan terhadap lingkungan sekitar. Proses dari pemberdayaan itu sendiri mempunyai sifat transformatif yang membantu individu maupun kelompok dari yang bersifat pasif menjadi lebih aktif. Sifat aktif dalam kerangka pemberdayaan adalah sebuah proses mengenai bagaimana individu serta kelompok mampu sadar akan peran serta kemampuan dirinya untuk perubahan yang lebih baik. Bentuk dari aktifnya sebuah individu maupun masyarakat adalah kemampuan dalam bertindak dan berpartisipasi dalam sebuah kebijakan. Keberdayaan mampu menjadikan individu maupun masyarakat sadar akan peran mereka terhadap lingkungan dan mampu mempunyai resistensi yang baik ketika masyarakat dihadapkan dengan pengaruh luar yang bersifat destruktif maupun oppresif. Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa salah satu kunci dari pemberdayan adalah perkembangan kemampuan individu akan segala potensi yang dimiliki dengan landasan kesadaran yang utuh. Adanya kesadaran diri dalam sebuah individu maupun masyarakat dapat menuntun adanya rasa tanggung jawab dalam setiap tindakannya. Seperti yang dijelaskan oleh Sumardjo (1999) bahwa masyarakat yang berdaya mempunyai beberapa kriteria. Kriteria pertama adalah ketika masyarakat berdaya, maka mereka mampu memahami diri dan potensi serta mampu merencanakan./mengantisipasi untuk perubahan masa depan. Kriteria kedua menjelaskan bahwa ciri dari suatu keberdayaan adalah ketika masyarakat maupun individu mampu mengarahkan dirinya sendiri dalam menentukan sebuah tujuan. Kriteria ketiga adalah masyarakat ataupun individu yang memiliki
17
kekuatan untuk berunding (power of negotiation). Kriteria keempat menekankan bahwa ciri keberdayaan adalah ketika masyaraat memiliki daya tawar (bargaining power) yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan. Kriteria kelima adalah masyarakat serta individu sadar dan mampu bertanggung jawab atas segala keputusan dan tindakan yang telah diambil. b. Kesadaran kritis sebagai bentuk suatu keberdayaan. Berbicara mengenai kesadaran, Freire menganalogikan kesadaran menjadi 3 bentuk. Bentuk yang pertama adalah kesadaran magis (magical consciousnes). Kesadaran ini menjelaskan bahwa masyarakat yang memiliki kesadaran magis tidak mampu menangkap hubungan sebab-akibat antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dari ketidak-berdayaannya (Yunus, 2004:50). Masyarakat mengalami disfungsi analisis akan keterkaitan sistem dan struktur terhadap permasalahan yang dialami masyarakat. Peran pengetahuan dalam bentuk kesadaran magis hanya diposisikan sebagai sesuatu yang bersifat dogmatis, tanpa adanya suatu bentuk mekanisme untuk memahami makna yang terkandung dalam pengetahuan itu sendiri. Kesadaran yang kedua adalah kesadaran naif, yang
melihat manusia
sebagai penyebab dari suatu masalah. Kesadaran naif dalam teori konflik mirip dengan pendekatan personal blaming approach, bahwa sistem yang ada sudah berjalan dengan baik, dan tidak perlu untuk diadakan perbaikan. Terjadinya permasalahan disebabkan oleh faktor manusia. Dalam perspektif kesadaran naif,
18
suatu perubahan dapat terjadi ketika sumber daya manusia terbangun dengan baik (Yunus, 2004). Sebagai contoh, ketika individu maupun masyarakat dihadapkan oleh fenomena kemiskinan dan globalisasi, masyarakat menilai bahwa penyebab kemiskinan bukanlah dari adanya fenomena globalisasi (neoliberalisme), melainkan ketidak-siapan sumber daya manusia itu sendiri. Masyarakat tidak mampu menganalisis bahwa adanya fenomena globalisasi dan neoliberalisme, menciptakan ataupun mempengarahi sistem dan struktur yang menghambat mereka untuk dapat keluar dari garis kemiskinan. Dengan kesadaran naif, masyarakat dengan mudah direduksi menjadi irasionalitas (Yunus, 2004:51) Kesadaran yang ketiga adalah kesadaran kritis. Yunus (2004) menjelaskan bahwa kesadaran kritis merupakan bentuk kesadaran yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Kesadaran ini mendorong masyarakat untuk mampu menganalisis secara kritis struktur dan sistem dalam lingkup sosial, ekonomi, politik, dan budaya dan implikasinya terhadap masyarakat (Yunus, 2004:51). Dengan kesadaran kritis, individu maupun masyarakat dapat menguraikan hubungan kausal dari suatu permasalahan. Jika dikaitkan dengan contoh permasalahan kemiskinan dan globalisasi pada penjelasan kesadaran naif, maka dengan kesadaran kritis, masyarakat melihat bahwa penyebab terjadinya kemiskinan dikarenakan adanya ketidak-adilan sistem, struktur ekonomi serta kultur yang tidak adil. Kesadaran kritis melihat fenomena globalisasi merupakan bentuk transformasi dari kapitalisme, yang menciptakan sistem serta struktur yang semakin menyuburkan kemiskinan serta mengurangi daya masyarakat untuk lepas dari krisis tersebut.
19
Masyarakat yang memiliki
kesadaran kritis mampu menafsirkan mengenai bagaimana sistem dan struktur itu bekerja serta mampu mengambil langkah dan tindakan untuk men-tranformasikan sistem yang bersifat merugikan menjadi sistem serta struktur yang adil. Seperti yang diungkapkan oleh Collins (2002: 109)
bahwa dengan kesadaran kritis,
tanggapan (respons) masyarakat bisa bersifat transitif, yaitu suatu kombinasi dari refleksi dan tindakan dalam praksis yang autentik. Sadan (1997 : 83) kembali
menjelaskan bahwa perspektif kesadaran
dalam kerangka pemberdayaan terbagi menjadi 2 macam. Pertama adalah kesadaran yang dijadikan sebagai output dari suatu proses pemberdayaan. Kedua adalah kesadaran yang dijadikan sebagai salah satu parameter utama dalam proses pemberdayaan suatu entitas. Kedua jenis kesadaran ini dapat dijadikan sebuah tujuan dalam setiap proses pemberdayaan. Sebagai contoh, ketika kita melakukan pemberdayaan pada masyarakat miskin, letak pemberdayaan yang dilakukan bukan pada berhasil atau tidaknya memajukan perekonomian masyarakat tersebut, melainkan bagaimana dalam proses pemberdayaan tersebut mampu menyadarkan masyarakat tentang faktor-faktor yang menghambat mereka untuk berkembang. Masyarakat mengerti dan melakukan tindakan untuk perbaikan kondisi atas dasar kemauan mereka sendiri. Dengan adanya proses pemberdayaan masyarakat mampu mandiri serta mempunyai daya untuk bertindak (act)
dan tidak
bergantung pada pelaku pemberdayaan. Keberhasilan maupun kegagalan dalam suatu aktifitas pemberdayaan merupakan salah satu aspek dari suatu proses pemberdayaan Namun yang terpenting bukanlah pada keberhasilan maupun kegagalam yang dialami manusia 20
dalam proses tersebut. Melainkan inti dari proses pemberdayaan, yaitu bagaimana manusia mengerti akan keadaan diri serta sadar akan situasi lingkungan disekitarnya sehingga diekspresikan melalui tindakan (Sadan 1997). Suatu kesadaran tidak dapat dikatakan sebagai aset keberdayaan jika kesadaran itu sendiri tidak mampu menjadi pemantik untuk bertindak (act). c. Pemberdayaan Konsumen Konsumen adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk di konsumsi pribadi (Kotler, 2000). Menurut Pasal 1 ayat (2) UUPK4, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Denegri-Knott, Zwick and Schroeder (2006) dalam Nardo et all (2011) memetakan keberdayaan konsumen dalam lingkup sosiologi menjadi 3 model, yaitu consumer sovereignty, cultural power, dan discursive power. Model kedaulatan konsumen (consumer sovereignty) menjelaskan bahwa konsumen dikatakan berdaya ketika mereka mampu bertindak bebas dan rasional serta mampu mengkombinasikan sumberdaya dan kemampuan konsumen untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Pilihan konsumen (consumer‟s choices) merupakan instrumen positif terhadap pasar, sekaligus menjadi bahan koreksi perusahaan dalam menganalisa pasar. Keberdayaan
konsumen dalam
mengkonsumsi sebuah produk mampu menghasilkan produksi yang semakin 4
UUPK adalah singkatan dari Undang-undang Perlindungan Konsumen.
21
efisien, produk yang lebih baik, mempunyai nilai sosial yang semakin berkembang,
dan
meningkatkan
kesejahteraan
secara
umum.
Turunan
(Offsprings) dari model kedaulatan konsumen menghubungkan pemberdayaan dengan tingkat kemampuan, ketrampilan, pengatahuan serta motivasi konsumen atau pemberdayaan terhadap perlindungan hak konsumen mengenai boikot, class action, gerakan melawan produsen tertentu (Nardo et all 2011: 16). Model kebudayaan (cultural model), menjelaskan bahwa
pasar
merupakan tempat terjadinya konflik antara konsumen dengan produsen. Produsen berusaha untuk mengontrol dan mempengaruhi pilihan
konsumen
dalam mengkonsumsi sebuah produk. Keberdayaan konsumen dalam model ini tidak hanya proses bagaimana konsumen „melawan‟ pengaruh perusahaan melainkan terletak pada strategi serta taktik
perilaku konsumen
dalam
kemampuan membedakan tiap-tiap produsen yang berada di pasar. Model
kekuatan wacana (discursive power)
menjelaskan bahwa
pemberdayaan konsumen adalah kemampuan konsumen untuk mengkonstruksi wacana sebagai sebuah sistem untuk membantu menentukan apa yang baik serta yang buruk, serta kemampuan konsumen dalam memobilisasi strategi wacana agar dapat menentukan tindakan yang akan diambil. (Denegri et all, (2006) dalam Nardo et all 2011: 17). Model ini mendefinisikan konsumen yang berdaya mampu membangun pengetahuan yang dimiliki menjadi sebuah kerangka berfikir untuk menentukan tindakan yang akan diambil. Dari beberapa definisi konsumen yang berdaya dapat ditarik garis besar bahwa konsep pemberdayaan konsumen menekankan untuk membantu konsumen
22
memaksimalkan kesejahteraannya sekaligus menjadi pengontrol dalam kompetisi serta inovasi perekonomian. Dengan semakin kompleksnya persaingan dalam dunia ekonomi serta liberalisasi perekonomian, peningkatan keberdayaan konsumen saat ini mutlak diperlukan. Pemberdayaan konsumen merupakan langkah pencegahan agar sistem perekonomian tidak membuat konsumen serta masyarakat dalam lingkup luas semakin tertekan dan tidak punya kendali atas dirinya. Dengan adanya konsumen berdaya, maka posisi konsumen bukanlah menjadi objek melainkan menjadi subjek, sehingga peran konsumen dalam sistem perekonomian mempunyai pengaruh yang kuat. Konsumen yang berdaya mampu mengoptimalkan keputusan konsumsi terhadap pilihan yang tersedia sesuai dengan preferensi mereka. Hadirnya konsumen yang berdaya mampu membuat eksistensi kompetisi dan inovasi dalam dunia bisnis semakin kompetitif serta inovatif. Ini disebabkan karena konsumen yang berdaya akan semakin kritis terhadap segala perilaku perusahaan.
Konsumen menjadi semacam evaluator
serta controler yang menilai kegiatan perusahaan dalam operasionalnya yang di manifestasikan dalam kegiatan konsumsi.
Konsumen
yang berdaya mampu
mendorong perusahaan untuk memenuhi ekspektasi konsumen yang kritis serta mampu menjadi aktor dalam perubahan lingkungan kearah yang lebih baik.
d.
Dimensi Pemberdayaan Konsumen
Survey yang dilakukan oleh European Commission
(2011) melansir
bahwa terdapat 3 (tiga), elemen pokok untuk mendeskripsikan konsumen berdaya. Yaitu:
23
a. Konsumen mampu mendapatkan informasi mengenai hak mereka. b. Konsumen mampu mendapatkan
akses untuk melakukan
mekanisme komplain serta advokasi ketika tidak mendapatkan perlakuan yang layak. c. Konsumen mempunyai pertimbangan kritis dalam setiap aktifitas konsumsi yang dilakukan. Dari ketiga elemen tersebut, Eurobarometer kemudian merumuskan pemberdayaan konsumen menjadi 3 dimensi. Dimensi yang pertama kemampuan konsumen (consumer skill),
dimensi ini melihat
adalah
kemampuan
melakukan operasi aritmatika dasar yang diperlukan bagi konsumen sebagi acuan informasi dalam aktifitas pembelian (purchase decision). Kemampuan
ini
meliputi kemampuan kosumen dalam mengidentifikasi produk yang lebih murah, kemampuan untuk menafsirkan informasi yang terdapat di kemasan sebuah produk (tanggal kadaluarsa, kandungan nutrisi dsb.). Dimensi yang kedua adalah kesadaran konsumen akan peraturan/undangundang
yang berlaku (awareness of consumer legislation). Dimensi ini
menjelaskan mengenai seberapa jauh pengetahuan konsumen mengenai undangundang mengenai perlindungan kosumen, praktek-praktek komersial yang curang (unfair commercial practice) dll. Dimensi
yang
ketiga
adalah
keterlibatan
konsumen
(consumer
engagement). Dimensi ini merupakan dimensi yang paling heterogen karena mengacu pada berbagai aspek perilaku konsumen, yaitu :
24
Aspek yang pertama adalah sikap dalam membandingkan produk, aspek ini melihat bagaimana konsumen berusaha untuk mendapatkan informasi mengenai sebuah produk barang atau jasa. Sebagai contoh, kemampuan konsumen dalam
mencari informasi produk
lewat
internet, mengunjungi
berbagai toko, serta perbandingan harga dengan produk kompetitor. Aspek yang
kedua
adalah perilaku konsumen dalam memperhatikan
syarat dan kondisi (term and condition) yang tercantum dalam sebuah produk. Isu yang diangkat dalam aspek ini adalah bagaimana kebiasaan (habit) konsumen membaca syarat dan kondisi sebelum mereka membeli suatu produk, apakah hal peraturan dan kondisi yang tercantum dalam suatu produk merupakan aspek yang penting atau tidak. Aspek yang ketiga
adalah
ketertarikan atau kemampuan konsumen
dalam mencari informasi mengenai hak-hak konsumen. Sejauh mana konsumen bersikap pro-aktif dalam mencari informasi mengenai hak konsumen, serta pengetahuan konsumen mengenai institusi perlindungan konsumen yang ada disekitar mereka. Aspek
yang
keempat
adalah
menyampaikan pendapat kepada orang lain
kecenderungan
konsumen
ketika mendapatkan pengalaman
dalam mengonsumsi sebuah produk. Aspek yang kelima adalah and detriment.
untuk
aspek redress
Aspek ini melihat bagaimana perilaku konsumen ketika
menghadapi permasalahan aktifitas konsumsi (pembelian produk) mekanisme komplain.
25
melalui
European Commmision (2011 :2) melansir bahwa pemberdayaan konsumen fokus terhadap 2 aspek. Aspek yang pertama adalah pemberdayaan fokus terhadap kemampuan kapasitas dalam ruang lingkup kemampuan, pengetahuan serta ketegasan (assertivness) konsumen. Aspek yang kedua mengenai lembaga serta peraturan yang mampu mendorong konsumen untuk berperan aktif dalam bagian sistem ekonomi. Kedua aspek menjelaskan bahwa pemberdayaan konsumen tidak hanya bergantung pada kemampuan kognitif konsumen. Namun juga pengetahuan (knowledge) konsumen mengenai hak konsumen, ketersediaan informasi, efektifitas NGO dalam advokasi konsumen serta adanya media yang aktif yang mendorong pemberdayaan sekaligus adanya regulasi yang mendukung proses keberdayaan konsumen. e.
Cause Related Marketing sebagai salah satu bentuk proses pemberdayaan.
Dalam
sudut
pandang
pemberdayaan,
konsep
CRM
merupakan
manifestasi dari pendekatan pemberdayaan yang bersifat positiv-sum. Pendekatan positiv-sum
merupakan pendekatan pemberdayaan yang bersifat mutualisme,
yaitu terjadinya distribusi daya dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah dengan. Dikatakan bersifat mutualisme karena pihak kuat tidak mengalami degradasi daya dikarenakan dibagi kepada pihak yang lemah, melainkan semakin menambah daya yang dimiliki perusahaan. Konsumen dalam program CRM mempunyai peran sangat vital. Konsumen diberikan daya yang besar untuk melakukan perubahan dengan cara pembelian produk. Dilain pihak,
posisi
perusahaan hanyalah sebagai „jembatan‟ antara konsumen dengan masalah sosial 26
yang diangkat oleh perusahaan pengusung strategi CRM. Semakin tinggi penjualan produk, maka jumlah donasi yang terkumpul semakin besar, yang dapat berdampak pada kuantitas maupun kualitas implementasi pengentasan masalah sosial yang diangkat oleh perusahaan. Untuk melihat strategi CRM sebagai salah satu pendorong sebuah keberdayaan, maka peneliti
menempatkan CRM sebagai salah satu stimulus
proses pemberdayaan yang berusaha untuk memberdayakan masyarakat secara umum dan konsumen secara khusus. Secara teoritis, CRM merupakan sebuah alat pemasaran dengan menghubungkan suatu merek dengan isu sosial guna meningkatkan penjualan produk. Seperti yang diungkapkan oleh Varadrajan dan Venon (1998) : “Cause-related marketing is the process of formulating and implementing marketing activities that are characterized by an offer from the firm to contribute a specified amount to a designated cause when customers engage in revenue-providing exchanges that satisfy organizational and individual objectives” (hal.60) Pendapat diatas menjelaskan bahwa CRM merupakan sebuah bentuk marketing yang menghubungkan penjualan produk dengan isu sosial. Namun dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk melihat CRM sebagai salah satu kerangka konsep yang mendorong keberdayaan konsumen. Aktor pemberdayaan dalam hal ini adalah perusahaan dengan strategi CRM sebagai alat untuk membangun keberdayaan masyarakat. Sadan (1997 : 121) menjelaskan bahwa pemberdayaan yang dilakukan oleh aktor pemberdayaan adalah adanya keterlibatan klien (masyarakat ataupun individu) dalam serangkaian aktifitas yang bertujuan untuk mengurangi ketidakberdayaan mereka. Serangkaian aktifitas
27
tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi serta membangun strategi untuk mengurangi sekat-sekat yang menghambat masyarakat untuk memperoleh daya. CRM diasumsikan sebagai stimulan pemberdayaan karena dalam konsep CRM terjadi pola intervensi terhadap konsumen yang berguna untuk menstimulasi konsumen agar mampu tersadar akan potensi daya yang dimiliki serta mampu mampu dimanifestasikan dalam kegiatan konsumsi mereka. f.
Metode intervensi aktor pemberdayaan dalam CRM
Sadan (1997 : 124) membagi metode intervensi menjadi 2 kelompok , yaitu strategis dan taktik. Kedua kelompok ini berisi mengenai berbagai metode yang biasa dilakukan oleh aktor pemberdayaan dalam mendorong suatu keberdayaan entitas.
Kelompok
strategis adalah metode
intervensi yang
didalamnya berisi mengenai prinsip, pemikiran serta special role. Seperti partisipasi, Organisasi, Integration of level intervention, serta praxis-integration of learning and action. Kelompok intervensi taktis merupakan metode yang menerjemahkan metode yang ada dalam kelompok strategis menjadi langkah yang lebih spesifik, yang berfungsi untuk memenuhi target yang dilakukan oleh aktor pemberdayaan. Strategi penyediaan,
penghubung
intervensi memuat sejumlah model, yaitu
,katalisasi,
pengutamaan
(priming),
penyediaan
informasi dan pengetahuan, pembangunan ketrampilan (developing skill), ketepatan perencanaan program ,penggunaan rasa keraguan-raguan (the use of doubt), informalitas aktor pemberdayaan dalam sebuah intervensi (informality in the professional intervention), pengembangan tekhnologi sosial (developing social technologies), serta bantuan teknis. 28
Jika dikaitkan dengan strategi CRM, maka CRM telah menunjukkan implementasi model intervensi taktis. Berikut ini adalah penjelasan mengenai kelompok intervensi taktis yang disampaikan oleh Sadan (1997): Pertama adalah Penyediaan. Metode
ini mengatakan bahwa masyarakat
mempunyai sumber daya yang dapat digunakan. Namun masyarakat tidak mampu atau tidak tersadar akan kemungkinan untuk mengimplementasikan daya mereka untuk memenuhi apa yang masyarakat butuhkan. Dibutuhkan suatu alat yang mampu memberikan masyarakat
akses informasi ataupun koneksi sehingga
mampu meng-„aktifkan‟ daya mereka semakin efektif. . Kedua adalah Penghubung. Metode
penghubung
merupakan sebuah
langkah yang bertujuan untuk menciptakan hubungan antar manusia dengan menciptakan kelompok ataupun jaringan. Hubungan yang diciptakan ini dapat memperkuat masyarakat ataupun individu dengan dukungan secara kolektif (collective support). Ketiga adalah Katalisasi. Metode masyarakat
memiliki
sumberdaya
ini menjelaskan
mereka
sendiri,
bahwa meskipun
masyarakat
masih
membutuhkan sumber daya tambahan (additional resource) agar sumber daya yang di miliki masyarakat dapat digunakan secara optimal. Oleh sebab itu, proses pemberdayaan diperlukan sumberdaya tambahan untuk mempercepat dan memperkuat aktifitas pemberdayaan. Keempat adalah Pengutamaan.
Metode ini mengasumsikan bahwa
masalah dari ketidakberdayaan disebabkan/diperkuat karena adanya
29
ketidak-
puasan masyarakat dalam proses pemberdayaan yang dilakukan. Ketidak-puasan masyarakat ini bisa disebabkan oleh
anggapan bahwa
proses pemberdaaan
merupakan proses yang berlawanan dengan nilai atau norma yang berlaku disekitar mereka. Aktor pemberdayaan yang akan menggunakan metode priming harus mampu menyiapkan
sistem pemberdayaan yang mampu mempunyai
hubungan positif dengan masyarakat. Kelima adalah Penyediaan Informasi dan Pengetahuan.
Metode ini
menjelaskan bahwa aktor pemberdayaan berusaha menyediakan arus informasi serta pengetahuan yang dianggap penting bagi masyarakat. Keenam adalah Pengembangan kemampuan. Metode ini menjelaskan bahwa aktor pemberdayaan berusaha untuk meningkatkan ketrampilan masyarakat atau individu dalam sebuah grup. Ketujuh adalah Percontohan (modeling). Metode ini menjelaskan bahwa kemampuan inter-personal masyarakat di demonstrasikan melaui tindakan nyata yang dilakukan
oleh masyarakat itu sendiri. aktor pemberdayaan berusaha
menyediakan model yang mengkolaborasikan antara dialog dengan tindakan yang membuat masyarakat lebih aktif. Metode percontohan membuat aktor pemberdayaan dan masyarakat menjad aktif. Sebagai contoh, dalam suatu musyawarah, masyarakat ikut berperan serta dalam merancang keputusan, dan keputusan tersebut merupakan cerminan keputusan bersama, bukan keputusan aktor pemberdayaan..
30
Kedelapan adalah Ketepatan Perencanaan Program.
Metode ini
menjelaskan bahwa aktor pemberdayaan berusaha menanamkan nilai kemampuan komunikasi (verbal expression) mengenai keberdayaan mereka. Apek nilai yang diberikan kepada masyarakat mampu menjadi bagian penting bagi masyarakat itu sendiri. Kesembilan adalah Penggunaan Rasa Keraguan-Raguan (use of doubt). Dalam metode ini, aktor pemberdayaan mengarahkan masyarakat untuk selalu bertanya „kenapa‟ dan selalu berusaha peka dan meninvestigasi lingkungan disekitar mereka. tujuan dari metode ini adalah dari penggunaan metode use of doubt adalah untuk meningkatkan kesadarn kritis suatu masyarakat (SerranoGarcia, 1984 dalam Sadan 1997). Kesepuluh adalah informalitas aktor pemberdayaan dalam sebuah intervensi. Sadan menjelaskan bahwa sebuah kegiatan yang mempunyai struktur informal merupakan hal yang penting. Terkadang kegiatan yang mempunyai sifat formal seperti lokakarya ataupun pelatihan, menekankan jarak antara aktor pemberdayaan dengan aktor yang diberdayakan. Munculnya jarak dapat menghambat aktor yang diberdayakan untuk mendapatkan daya serta ketrampilan. Beberapa penulis menekankan metode intervensi yang fokus pada observasi, team-thinking, trial and eror, serta analisis kritis yang bersifat dialogis. (SerranoGarcia, 1984 dalam Sadan 1997). Kesebelas adalah Pengembangan Tekhnologi Sosial. Disini, metode yang dipakai adalah terciptanya desain mengenai prosedur yang bertujuan untuk
31
menguatkan kemampuan dan ketrampilan masyarakat dalam lingkup sosial. Kedua belas adalah Bantuan Teknis. Para aktor pemberdayaan dapat melakukan pemberdayaan dengan membantu dengan bantuan teknis. Penjelasan mengenai metode intervensi ini dapat bersifat parsial maupun integratif. Aktor pemberdayaan dapat memilih salah satu dari berbagai macam teknik intervensi diatas, ataupun membuat kebijakan intervensi yang memuat seluruh poin jenis metode tersebut. g.
Aplikasi metode
Intervensi Taktis dalam Cause Related
Marketing Secara implisit, strategi CRM sendiri telah menerapkan 5 aspek metode intervensi taktis. Kelima metode tersebut adalah model penyediaan, katalisasi, Penyediaan informasi dan pengetahuan serta percontohan (modelling) . Aplikasi metode penyediaan (enabling) dapat dilihat dari konsep CRM itu sendiri. Konsep CRM menyediakan pilihan bagi konsumen untuk ikut membantu permasalahan
sosial
yang
diangkat
oleh
perusahaan.
CRM
memberitahukan bahwa konsumen dapat menggunakan daya beli
berusaha (purchase
power) mereka untuk membantu mengatasi permasalahan sosial. Selain model penyediaan, strategi CRM juga melakukan meode
percontohan (modeling).
Metode percontohan (modeling) dalam konteks CRM dapat dilihat dari adanya sarana cause yang diangkat dan keterlibatan konsumen didalamnya. Masyarakat diajak untuk aktif lewat strategi CRM dalam membantu masalah sosial.
32
Metode katalisasi menekankan bahwa masyarakat memerlukan sumber daya tambahan agar mampu mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki oleh konsumen. Dalam konteks CRM, sumber daya tambahan ini berasal dari daya perusahaan untuk mendistribusikan hasil donasi dari konsumen terhadap program CRM. Sumber daya tambahan dari perusahaan ini berbentuk adanya infomasi dalam bentuk iklan yang mencoba mengkomunikasikan program CRM kepada konsumen, sehingga konsumen mampu menggunakan daya mereka secara optimal, dalam hal ini daya beli (purchase power) konsumen. Model kataliasi dalam CRM ini sekaligus merangkap model intervensi penyediaan informasi serta pengetahuan. Metode intervensi penyediaan informasi serta pengetahuan. CRM mambantu membentuk wacana akan peran penting konsumen untuk perubahan sosial yang lebih baik. Wacana tersebut termanifestasi dalam bentuk iklan (advertisement). Wacana yang dilakukan dalam strategi CRM mencoba menginternalisasi sebuah nilai (added value) akan pentingnya peran konsumen dalam membantu mengatasi masalah sosial lewat cause yang diangkat oleh perusahaan. Proses internalisasi dari wacana ini diharapkan mampu membentuk pengetahuan serta nilai (value) konsumen mengenai peran penting dirinya membantu mengatasi suatu masalah sosial serta secara tidak langsung mempengaruhi persepsi mengenai merk produk perusahaan yang mengangkat isu sosial. Pengetahuan sendiri merupakan salah satu faktor yang mampu mendorong keberdayaan seseorang. Namun, pengetahuan bukanlah bentuk suatu keberdayaan,
33
melainkan sebuah instrumen untuk memacu masyarakat agar mampu mempunyai daya bagi dirinya. Hal ini dipertegas oleh Sadan (1997 : 200) : ”The Knowledge itself empowers, but what is fundamentally empowering is the ability to absorb knowledge in an act active and critical manner” Pendapat Sadan ini menjelaskan mengenai pentingnya pengetahuan dalam proses pemberdayaan masyarakat maupun individu. Pengetahuan menjadi salah satu stimulus untuk menumbuhkan kesadaran kritis bagi masyarakat ataupun individu. Salah satu keberdayaan konsumen terjadi ketika konsumen tersebut mampu mengolah pengetahuan yang dimiliki dalam bentuk praksis. Bentuk praksis dalam keberdayaan konsumen adalah implementasi pengetahuan serta kesadaran kritis dalam pertimbangan dalam kegiatan konsumsi. 3
Hubungan sebuah Keberdayaan Konsumen dalam
Cause Related
Marketing Aplikasi strategi CRM mampu menyediakan
sebuah attractive
proposition yang mampu menyatukan antara kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan dengan fungsi marketing (Westberg, 2004 : 58).
Attractive
proposition terletak pada hubungan antara perusahaan dengan isu sosial yang diangkat perusahaan. Pendapat ini juga dipertegas oleh Adkins (1999) yang menyatakan bahwa: “The strength of CRM over more traditional forms of marketing is that it can provide the emotional as well as the rational engagement of the consumer. It engages the consumer's heart as well as their mind, and thereby has the potential to build a much stronger longer-lasting bond based on much more than price and quality” (hal.281).
34
Dari pendapat diatas diketahui bahwa CRM berusaha mensinergikan faktor emosi serta rasional konsumen Pada tahun 2008, survey yang dilakukan oleh CSR Communication Consultancy Inc. menemukan bahwa 59 persen responden di Amerika lebih memilih untuk membeli produk yang memiliki asosiasi isu sosial (Cone, 2008).
Temuan tersebut juga diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan oleh Researh International (2004), yang menemukan bahwa tujuh dari sepuluh responden memberikan respon positif terhadap merk yang terasosiasi dengan program CRM. Dalam konsep pemberdayaan, penjelasan Adkins mempertegas bahwa konsumen diberikan pilihan diluar aspek ekonomi (harga dan kualias produk). Westberg (2004 : 59) menyatakan bahwa “...CRM designed to ultimately generate a response from the customer, it is critical to gain an understanding as to the circumstances that will facilitate that respons”. Pendapat Westberg tersebut menekankan bahwa CRM hadir untuk membangkitkan respon konsumen agar lebih aktif serta sadar akan peran mereka dalam membantu membantu permasalahan sosial yang ada. Keinginan atau respons inilah yang menjadi kunci atas keberhasilan strategi CRM. Keinginan atau respons menunjukkan sebuah kesadaran konsumen. Dalam lingkup keberdayaan, kesadaran merupakan sebuah indikasi dari sebuah keberdayaan.
35
4.
Hubungan Keberdayaan Konsumen dalam sebuah merek produk. Seperti yang sudah diketahui, bahwa salah satu tujuan strategi CRM
adalah
memperkuat brand image sebuah produk perusahaan.
Brand Image
adalah sebuah persepsi terhadap sebuah produk perusahaan yang tercermin dari ingatan konsumen terhadap asosiasi yang dimiliki oleh suatu brand (Keller 1993 dalam Westberg 2004 : 61). Persepsi konsumen terhadap perusahan mampu mempengaruhi sikap serta perilaku mereka terhadap sebuah produk, sehingga sangat penting bagi sebuah perusahaan untuk menjaga asosiasi atribut dalam sebuah merek tetap sealur dengan apa yang diinginkan konsumen. CRM sebagai sebuah aktifitas ekonomi mampu menjadi jembatan antara keterlibatan konsumen berperan penting dan keberhasilan program CRM. Dengan program CRM diharapkan mampu meningkatkan brand awareness konsumen terhadap produk perusahaan. Pengertian
dari brand
awareness
sendiri
adalah kemampuan
dari
seseorang yang merupakan calon pembeli (potential buyer) untuk mengenali (recognize) atau menyebutkan kembali (recall) suatu merek dari suatu kategori produk ( Aaker, 1991: 61). Sebagai contoh, ketika kita berbicara mengenai ponsel dengan merk Iphone, maka yang terbersit dalam benak konsumen maupun masyarakat adalah Steve Jobs atau gambar buah apel. Sebuah brand awareness akan berdampak pada brand image sebuah merk. Kelller (1993) dalam Westberg (2004) menjelaskan bahwa adanya hubungan yang
36
kuat antara evaluasi konsumen terhadap merek
dengan perilaku konsumen
sesudah melakukan aktifitas konsumsi. Keller berpendapat bahwa : “Fundamentally, high levels of brand awareness and a positive brand image should increase the probability of brand choice, as well as produce greater consumer (and retailer) loyalty and decrease vulnerability to competitive marketing actions (hal 61). Pendapat Keller membuktikan bahwa pentingnya sebuah brand awareness yang berasal dari konsumen. Tinggi rendahnya brand awareness
juga
menunjukkan tingkat keberdayaan konsumen. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa sebuah awareness dapat menjadi salah satu pemicu keberdayaan suatu individu ataupun masyarakat. Dengan kesadaran maka konsumen mampu mengkonsumsi produk lebih rasional, serta mampu berfikir kritis. Untuk meningkatkan brand
awareness, konsumen perlu merasakan
manfaat serta keuntungan yang diperoleh dari sebuah brand. Manfaat serta keuntungan dapat bersifat berhubungan langsung dengan sebuah produk maupun tidak (Westberg. 2004 :24). CRM sebagai sebuah strategi pemasaran sekaligus salah satu bentuk insiatif CSR menawarkan keuntungan tersebut. Keuntungan secara langsung terletak pada terpenuhinya hasrat kebutuhan konsumen. Keuntungan tidak langsung terletak pada adanya peran konsumen dalam membantu isu sosial yang diangkat oleh perusahaan pengususng strategi CRM. Survey menunjukkan adanya peningkatan awareness terhadap perusahaan yang menggunakan konsep CSR berbasis CRM. Seperti yang ditunjukkan oleh survey yang dilakukan di Britania Raya (UK) dan Amerika oleh Adkins (2004
37
:52 ) yang menghasilkan 5 poin temuannya, yaitu : (1) 98% konsumen di UK dan Amerika Serikat saat ini telah menaruh perhatian terhadap program CRM. (2) 83% konsumen di Inggris dan 73% konsumen di Amerika telah berpartisipasi paling paling tidak satu kali dalam kegiatan CRM yang diselenggarakan oleh suatu perusahaan. (3) 50% dari responden setuju bahwa pandangan terhadap perusahaan akan lebih positif terhadap brand, pelayanan dan produk sutau perusahaan jika perusahaan tersebut mempunyai program yang bersifat CRM. (4) 48% menunjukkan adanya perubahan perilaku konsumen. Perubahan itu mencakup beralihnya konsumen kepada produk sebuah produk perusahaan yang melakukan CRM serta peningkatan penggunan produk tersebut. (5) 68% tetap mengharapkan bertambahnya perusahaan yang menggunakan konsep CRM sebagai strategi bisnis. Penelitian yang dilakukan Barone et all (2000) menunjukkan bahwa konsumen bersedia untuk membayar lebih mahal untuk mendukung perusahaan yang melakukan usaha tanggung jawab sosial lewat CRM Temuan para peneliti tersebut bisa diasumsikan bahwa dengan CSR yang berbasis konsep CRM terjadi pola pemberdayaan konsumen dengan adanya perubahan perilaku konsumen sehingga
menimbulkan
kesadaran
akan
produk
yang
tidak
hanya
mengesampingkan aspek kualitas dan harga, melainkan juga terdapat nilai etika bisnis dalam operasional perusahaan. Namun berbagai hasil penelitian yang menunjukkan korelasi positif mengenai kegiatan CSR dengan pemberdayaan konsumen (perubahan perilaku) tersebut tidak sepenuhnnya di „amini‟ oleh peneliti yang lain. Penelitian yang
38
dilakukan oleh Page dan Fearn (2005) menunjukkan temuan yang menarik, dengan menggunakan konsumen sebagai sampel di negara UK, Jepang dan Amerika, hasil penelitian mereka mengemukakan bahwa memang sebagian besar dari kosumen menaruh perhatian terhadap perilaku perusahaan, namun perhatian terhadap perilaku perusahaan bukanlah menjadi „primary concern‟ saat mereka melakukan aktifitas konsumtif, perhatian utama mereka lebih cenderung mengenai pelayanan yang diberikan oleh produk tersebut daripada mengenai CSR sebuah perusahaan. Responden juga menyebutkan bahwa mereka tidak tertarik untuk mengorbankan kegunaan dasar (functional basic) dari sebuah barang atau jasa untuk produk yang mempunyai sebuah nilai sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Boulstridge dan Carrigan (2000) juga menunjukkan hal yang sama bahwa responden dalam penelitian mereka berpendapat
bahwa perilaku perusahaan
(corporate behaviour) bukanlah menjadi hal yang penting dalam proses kegiatankegiatan konsumsi. Webb dan Mohr (1998) menyatakan adanya konsumen yang membeli produk dengan penawaran program cause-related marketing oleh perusahaan tidak memberikan efek positif terhadap perilaku pembelian produk. Adanya hasil
penelitian yang kontradiktif seperti diatas menunjukkan
adanya perbedaan pola perilaku konsumen terhadap kegiatan CSR, ini menujukkan bahwa terdapat respon bias yang diterima oleh masyarakat atau yang lebih dikenal dengan istilah social desirability response bias. Dengan mencermati adanya fenomena social desirability response bias, penelitian yang dilakukan oleh Mohr et al.(2001) dalam Ramsany dan Yeoung (2008) mendapatkan kesimpulan yang menarik, bahwa evaluasi yang dilakukan konsumen terhadap
39
perilaku
perusahaan sekaligus perilaku konsumsi terhadap suatu produk tergantung dari motif dan besarnya ketersediaan informasi mengenai kegiatan CSR suatu perusahaan.
40