1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingginya angka kematian bayi dan anak merupakan ciri yang umum dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Salah satu penyebab yang menonjol diantaranya karena keadaan gizi yang kurang baik yang merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling berkaitan terutama faktor ekonomi, sosial, budaya, dan politik (Adriani, 2012). Status gizi yang buruk pada bayi dan anak dapat menghambat pertumbuhan fisik, mental, maupun kemampuan berpikir yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas kerja di masa yang akan datang. Keadaan ini memberikan petunjuk bahwa pada hakikatnya gizi yang buruk atau kurang akan berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia (Adriani, 2012). Hotz dan Gibson (2001) juga mengatakan bahwa di negara berkembang sulit untuk memenuhi kecukupan asupan zat gizi dalam makanan pendamping ASI yang diberikan pada anak. Enam bulan pertama merupakan masa sangat kritis dalam kehidupan balita. Bukan hanya pertumbuhan fisik yang berlangsung dengan cepat, tetapi juga pembentukan psikomotor dan akulturasi terjadi dengan cepat (Muchtadi, 2002). Maka dari itu, perlu pengetahuan mengenai tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak terutama kaitannya dengan kebutuhan pangan atau zat gizi (Adriani, 2012). Pada bayi umur 4-6 bulan, ASI masih dapat memenuhi kebutuhan gizi sebesar 70-80% kebutuhan, sedangkan pada umur 6-12 bulan ASI hanya dapat memenuhi 50% dari kebutuhan. Sehingga dibutuhkan makanan atau minuman
2
yang mengandung zat
gizi yang diberikan pada anak diatas umur 6 bulan
sebagai makanan pelengkap ASI. Pemberian MP-ASI diperlukan karena semakin bertambah umur kebutuhan anak akan zat gizi semakin meningkat untuk proses tumbuh kembang. Salah satu permasalahan dalam pemberian makanan pada bayi adalah terhentinya pemberian ASI dan pemberian MP-ASI tidak cukup baik jumlah maupun mutu. Secara nasional, penduduk Indonesia yang mengkonsumsi energi di bawah
kebutuhan
minimal (kurang
dari
dari
70
persen
dari
angka
kecukupan energi bagi orang Indonesia) adalah sebanyak 40,7 persen (Riskesdas, 2010). Prevalensi berat kurang balita pada tahun 2010 secara nasional adalah 17,9 persen yang terdiri dari 4,9 persen gizi buruk dan 13,0 gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 persen) sudah terlihat ada penurunan. Penurunan terutama terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007 menjadi 4,9 persen pada tahun 2010 atau turun sebesar 0,5 persen, sedangkan prevalensi gizi kurang masih tetap sebesar 13,0 persen. Bila dibandingkan dengan pencapaian sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka prevalensi berat kurang balita secara nasional harus diturunkan minimal sebesar 2,4 persen dalam periode 2011 sampai 2015. Status gizi balita (BB/U) menurut karakteristik responden khusus pada usia 6-11 bulan terdapat 4,7 persen kejadian gizi buruk, 8,5 persen gizi kurang, 81,7 persen gizi baik, dan 5 persen gizi lebih. Dari 33 provinsi di Indonesia, Jawa Tengah tidak termasuk dalam 18 provinsi yang masih memiliki prevalensi berat kurang di atas angka prevalensi nasional, namun termasuk dalam provinsi yang memiliki prevalensi berat kurang di atas sasaran MDGs 2015 yang artinya belum mencapai sasaran MDGs (Riskesdas,
3
2010). Di Jawa Tengah, terdapat 3,3 persen kejadian gizi buruk, 12,4 persen gizi kurang, 78,1 persen gizi baik, dan 6,2 persen gizi lebih pada balita. Sedangkan untuk presentase status gizi balita di wilayah Blora dengan gizi buruk mencapai 0,2 persen, gizi kurang 4,88 persen, gizi baik 91,5 persen, dan 3,4 persen dengan gizi lebih. Khusus untuk Kecamatan Kedungtuban status balita di Kecamatan Kedungtuban dengan gizi lebih mencapai angka 401 (0,75%, peringkat 2), gizi baik 2.976 (5,59%), gizi kurang 232(0,44%, peringkat 3) dan gizi buruk sebesar 5 balita(0,009%) dari jumlah balita sebanyak 53.217 (Dinas Kesehatan Kab. Blora, 2013). Sedangkan angka kematian di Blora mencapai angka yang paling tinggi sampai 28 dari 192 bayi. Dari indikator BB/U pada bayi 6-24 bulan di area kerja Puskesmas Ketuwan terdapat 18 balita dengan status gizi sangat kurang (5%), sedangkan pada PB/U 11 balita sangat pendek (3,1%), dan pada BB/TB 6 balita sangat kurus (1,7%). Terdapat penelitian lain mengenai hubungan antara asupan MP-ASI dengan status gizi. Seperti halnya penelitian Kuriyan dan Kurpad (2012) yang menyatakan bahwa periode lahir sampai umur dua tahun merupakan “critical window” untuk mempromosikan pertumbuhan, kesehatan, dan perkembangan kognitif yang optimal. Kuantitas dan kualitas makanan pendamping yang tidak mencukupi, praktek pemberian yang miskin akan memperburuk kondisi kesehatan dan pertumbuhan pada tahun yang penting tersebut. Oleh karena itu, pengenalan makanan pendamping yang tepat serta pada waktu yang tepat selama masa balita sangat dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan nutrisi dan perkembangan. Menurut Lubis et al (1997), status gizi balita dipengaruhi oleh faktor sosial, penyakit infeksi, dan pola makan. Pola makan meliputi pemberian Air Susu Ibu
4
(ASI) dan makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Kuriyan dan Kurpad (2012) menambahkan bahwa angka penurunan obesitas pada masa balita dilaporkan terjadi pada balita yang terlambat diberi makanan pendamping ASI. Individu yang terlambat dalam pemberian MP-ASI mempunyai sedikit cadangan adipose dan terjadi gizi lebih saat dewasa. Pada penelitian Chang, et all (2008) makanan pendamping ASI memiliki hubungan dengan pertumbuhan bayi dan balita wilayah rural dan urban China. Terjadi sedikit perbedaan dengan penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Wahyuti, S. (2010) yang menyatakan bahwa MP-ASI berhubungan dengan pertumbuhan jika melalui demam, diare, dan sakit saluran pernapasan. Diare, demam, dan sakit saluran pernapasan dengan asupan gizi makro dan gizi mikro dengan pertumbuhan bayi mempunyai hubungan bermakna. Hubungan yang negatif antara jenis MP-ASI, intake energi dan protein dengan status gizi ditunjukkan oleh penelitian Nurhayadi (2008) di Kendari. Hasil penelitian mengenai hubungan pemberian MP-ASI dengan status gizi menunjukkan hubungan yang beragam. Berdasarkan prevalensi malnutrisi di Kecamatan Kedungtuban yang diatas rata-rata kecamatan lain, yaitu dengan gizi lebih mencapai angka 401 (0,75%, peringkat 2) gizi kurang 232 (0,44%, peringkat, 3) dan gizi buruk sebesar 5 balita (0,009%), serta angka kematian bayi tertinggi di Blora juga dari keberagaman hasil penelitian yang sudah dilakukan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi pada usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
5
B. Perumusan Masalah Apakah terdapat hubungan asupan energi Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dengan status gizi bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora? C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
2.
Tujuan Khusus a. Mengetahui jenis MP-ASI yang diberikan bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. b. Mengetahui asupan dan tingkat asupan energi dan protein dari MP-ASII bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. c. Mengetahui hubungan antara usia pemberian pertama MP-ASI dengan status gizi bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. d. Mengetahui hubungan antara frekuensi pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. e. Mengetahui hubungan antara asupan energi dari MP-ASI dengan status gizi bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
6
D. Manfaat Penelitian 1.
Bagi penulis Mendapatkan wawasan dan mengembangkan ilmu yang diperoleh dari S1 Gizi Kesehatan.
2.
Bagi posyandu Memperoleh gambaran dan pengetahuan tentang pola makan, hubungan pemberian makanan pendamping ASI dengan status gizi bayi usia 6-12 bulan di posyandu yang diteliti dapat dijadikan bahan penyuluhan bagi mengoptimalkan pemberian MP-ASI yang baik.
3. Peneliti lain Sebagai bahan acuan bagi penelitian lain yang berkaitan dengan pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan. E. Keaslian Penelitian 1.
Penelitian Primasiwi (2009) yang berjudul “Hubungan antara pemberian
pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) sebelum 6 bulan dengan Status Gizi Balita 624 Bulan di Gedongtengen, Yogyakarta”. Rancangan penelitian ini crosssectional dan sampel penelitian adalah bayi berusia 6-24 bulan. Hasil penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara pemberian makanan pendamping ASI sebelum 6 bulan dengan status gizi balita usia 2-24 bulan. Tetapi ada hubungan signifikan antara asupan zat gizi dengan status gizi balita usia 6-24 bulan Pada penelitian ini terdapat perbedaan tempat yaitu pada provinsi yang berbeda. Letak penelitian ini terdapat di kota, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan terdapat di area pedesaan. Sedangkan persamaan dari penelitian ini adalah usia subjek penelitian, rancangan studi cross-sectional observasional.
7
2.
Sakti, R.E., Hadju, V., Rochimiwati, S.N. (2013) Hubungan Pola Pemberian
MP-ASI dengan Status Gizi Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar Tahun 2013. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan umur pemberian makanan pendamping ASI pertama kali dengan status gizi anak berdasarkn BB/U. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 6-23 yang terdapat di wilayah pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar dengan Jumlah populasi sebanyak 150 anak usia 6-23 bulan. Perbedaan penelitian ini terdapat pada tempat, yaitu di pesisir dengan komoditi utama hasil laut, tentu hasil bumi berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan ini. Persamaan penelitian ini terdapat pada variabel terikat dan tergantung, selain itu juga range umur sampel yang diambil. 3.
Penelitian Chang, et all. (2008) yang berjudul “Complementary Feeding and
Growth of Infant and Young Child in China” menyatakan hasilnya bahwa makanan pendamping ASI memiliki hubungan dengan pertumbuhan bayi dan balita. Penelitian ini diadakan di China dengan mengambil sampel penelitian di wilayah rural dan urban. Metode yang digunakan adalah regresi logistik. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan yaitu pada subyek yaitu mulai umur 6-24 bulan. Namun penelitian ini hanya sampai bayi dengan umur 12 bulan. Selain itu, variabel yang diteliti sama yaitu jumlah Makanan pendamping ASI sebagai variabel tergantung sedangkan status gizi sebagai variabel terikat. Perbedaan penelitian ini adalah dari metode penelitian, serta lokasi dilakukannya penelitian (yaitu berbeda negara). 4.
Penelitian Nurhayadi (2008), dengan judul Hubungan Pola Makanan
Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan Status Gizi Bayi 6-12 Bulan di Kota
8
Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara jenis MP-ASI, intake energi dan protein dengan status gizi tetapi ada hubungan antara frekuensi pemberian ASI dengan status gizi. Desain penelitian ini adalah cross-sectional. Pemilihan sampel dengan simple random sampling. Variabel bebas adalah jenis MP-ASI, intake energi dan protein serta frekuensi pemberian ASI dan variabel terikat adalah status gizi. Persamaan penelitian diatas dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu pada usia sampel, desain penelitian, variabel penelitian. Perbedaan penelitian ini adalah pada tempat, penelitian diatas mengambil area perkotaan, sedangkan area yang akan diteliti kali ini adalah pedesaan. 5.
Penelitian
Kuriyan
dan
Kurpad
(2012)
dengan
judul
penelitian
“Complementary Feeding Pattern in India”. Penelitian ini menunjukkan bahwa 20% bayi usia 6-23 bulan diberi makanan sesuai “the three recomended Infant and Child Feeding Practices”. Makanan yang paling umum dikonsumsi bagi bayi dibawah 3 tahun yang masih diberi ASI maupun tidak adalah tipe makanan solid atau semi-solid yaitu biji-bijian dan roots. Makanan pendamping ini secara signifikan berhubungan dengan status sosial ekonomi, kepercayaan sosial budaya, pendidikan ibu, dan ketidaktahuan. Persamaan dari penelitian ini adalah meneliti tentang jenis makanan yang digunakan sebagai MP-ASI, sedangkan perbedaan penelitian ini adalah pada lokasi penelitian (berbeda negara) sehingga terdapat perbedaan pada macam bahan makanannya terutama makanan khas, seperti chapathi sebagai makanan yang sering dikonsumsi penduduk India. Selain itu juga pada umur subjek penelitian serta variabel lain yang diteliti pada penelitian ini yaitu waktu pengenalan MP-ASI dan penggunaan MP-ASI komersial.