BAB I PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Tenaga Kerja Wanita (TKW) merupakan bagian dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Menurut Pasal 1 bagian (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Oleh karena itu, Tenaga Kerja Wanita (TKW) merupakan wanita Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk bekerja di luar negeri. Kehadiran tenaga kerja wanita benar-benar mendapatkan sambutan welcome dari masyarakat. Ternyata keadaan ini telah menimbulkan kecenderungan baru, yaitu makin banyaknya tenaga kerja wanita Indonesia yang mengadu peruntungan di manca negara (Supriyoko, 1990). Dari tahun ke tahun, jumlah tenaga kerja wanita meningkat secara signifikan.
Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Handayani (2012) jika pada periode 1996 terdapat 44 persen migran laki-laki dan 56 persen migran perempuan dari setiap 100 persen tenaga kerja migran yang meninggalkan Indonesia, pada 2007 jumlah pekerja migran perempuan meningkat menjadi 78 persen sementara pekerja laki-laki justru menurun menjadi 22 persen (IOM 2010). Tenaga Kerja Wanita (TKW) biasanya berasal dari sektor informal dimana sebagian besar dari mereka tidak memiliki pendidikan yang tinggi.
1
Menjadi seorang tenaga kerja tidaklah mudah, para calon TKW harus memenuhi persyaratan yang diajukan oleh BP2TKI. Dalam artikel yang ditulis oleh Prima (2012) terdapat beberapa persyaratan untuk menjadi seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) diantaranya berusia sekurang-kurangnya 18 tahun, kecuali bagi calon TKI yang dipekerjakan pada pengguna perorangan atau rumah tangga sekurang-kurangnya 21 tahun, sehat jasmani dan rohani, memiliki keterampilan, tidak dalam keadaan hamil, berpendidikan minimal SMP, calon TKI terdaftar di Dinas Tenaga Kerja di daerah tempat tinggalnya, mendapat izin dari suami atau istri atau orang tua atau wali dengan diketahui oleh Desa atau Kelurahan, dan memiliki dokumen lengkap. Pekerjaan menjadi seorang tenaga kerja wanita di luar negeri selain persyaratan yang tidak mudah, ancaman risiko yang harus dihadapi pun beraneka ragam. Menurut Handayani (2012) pekerjaan menjadi seorang tenaga kerja wanita bukanlah pekerjaan tanpa risiko. Peningkatan jumlah pekerja perempuan yang saat ini mengalami peningkatan signifikan tidak diimbangin dengan perlindungan yang optimal, padahal pekerja migran perempuan termasuk kelompok pekerja migran yang paling berisiko. Risiko yang dihadapi oleh pekerja migran perempuan tidak lain adalah berbagai tindak kejahatan transnasional khususnya ancaman human trafficking dan berbagai ketidakadilan lainnya seperti penindasan, penganiayaan, dan lain sebagainya. Data BNP2TKI mencatat sepanjang awal Januari-September 2011 sudah ada 32.515 kasus TKI mengalami berbagai permasalahan. Di kawasan Asia Pasifik jumlahnya 7.052 kasus (anonimus, 2012).
2
Dalam melaksanakan pekerjaannya para tenaga kerja wanita senantiasa dihadapkan pada risiko, secara sederhana risiko adalah kemungkinan menderita kerugian yang diakibatkan oleh suatu perbuatan atau suatu peristiwa tertentu (Utami, 2012). Berbagai berita mengenai tenaga kerja wanita di luar negeri telah banyak diberitakan oleh media cetak maupun elektronik, mulai dari penganiayaan, pemulangan, pelecehan seksual, bahkan hingga hukuman penjara atas tenaga kerja wanita Indonesia yang terjadi di Arab Saudi, Malaysia, Taiwan, Hongkong, dan negara lainnya. Salah satu contoh kasus yang menimpa tenaga kerja wanita Indonesia asal Jawa Timur, Winfaida (26 tahun) yang mengalami kekerasan dalam bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia. Winfaida disiksa oleh majikannya yaitu suami-istri Malaysia hingga berkali-kali. Mulai dari penyiksaan berat hingga pelecehan seksual, bahkan Winfaida dibuang dan ditelantarkan oleh majikannya. Beruntung Winfaida berhasil ditemukan dan kemudian dibawa ke rumah sakit oleh warga yang menemukannya (Utami, 2012). Wanita Indonesia yang bekerja diluar negeri terkait dengan sikap mereka terhadap risiko atau biasa disebut dengan Risk Attitude. Risiko adalah situasi dimana terdapat hal negatif atau hasil yang tidak menguntungkan, seperti kehilangan, kecelakaan, luka pada tubuh, atau kematian yang tidak dapat diketahui. Seseorang tidak mengetahui kapan hal itu dapat terjadi, tetapi seseorang juga tidak bisa memastikan bahwa hal tersebut akan terjadi (Crozier & Svenson, 2002). Sikap terhadap risiko mempunyai pertimbangan yang melibatkan antara kerugian dan keuntungan (Jhonson, 2009). Sikap terhadap risiko memiliki dua kemungkinan yaitu sangat baik atau menguntungkan (gain frame) dan tidak baik atau merugikan (loss frame). Mengambil risiko yang menguntungkan (gain frame) dan mengambil risiko
3
yang tidak menguntungkan (loss frame) memiliki karakteristik sebagai pencari risiko dan penolak risiko (Tversky & Kahneman, 1981 dalam Johnson, 2009). Meskipun demikian, ancaman risiko yang mungkin dialami tidak menurunkan minat wanita Indonesia untuk bekerja menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri. Fenomena migrasi dengan menjadi tenaga kerja wanita dapat dijelaskan dari berbagai aspek dan perspektif (Mashud, 2010). Teori migrasi klasik dari Everett S.Lee (Mantra, 2000 dalam Mashud, 2010) menjelaskan bahwa keputusan bermigrasi ke luar negeri merupakan konsekuensi atas perbedaan keuntungan antara tempat asal dan tempat tujuan baru. Daerah asal yang dinilai kurang menguntungkan menjadi faktor pendorong (push factor). Kondisi daerah asal yang dilihat kurang baik dinilai menyebabkan stress dan tekanan kuat untuk bermigrasi. Sementara itu, menjadi tenaga kerja wanita ke luar negeri menjadi faktor penarik (pull factor) karena dinilai menjanjikan. Penelitian yang dilakukan oleh Weber et al (dalam Harris & Jenkins, 2006) mengatakan bahwa wanita memiliki kecenderungan yang besar untuk terlibat dalam perilaku yang mengandung risiko dimana secara keseluruhan mereka merasakan manfaat yang besar dari perilaku yang mengandung risiko tersebut. Didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mashud (2010), Pekerjaan sebagai tenaga kerja wanita diambil dengan mempertimbangkan untung rugi serta apa yang terbaik bagi dirinya, menjadi tenaga kerja wanita diambil juga karena individu yang otonom dan hasil kalkulasi rasionalnya. Pekerjaan menjadi seorang tenaga kerja wanita di luar negeri sering dianggap pekerjaan kelas rendah, tidak berbeda dengan menjadi pekerja di dalam negeri. Namun, berdasarkan survey yang dilakukan oleh peneliti dengan teknik wawancara
4
kepada 30 orang TKW, diketahui bahwa 25 diantaranya menyatakan bahwa pekerjaan menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) adalah pekerjaan yang membanggakan dan bergengsi. Selain itu, 24 orang menyatakan bahwa keluarga memberikan selamat dan ikut merasa senang. Para TKW ini merasa bahwa untuk menjadi seorang TKW dibutuhkan usaha yang sulit serta persyaratan yang tidak mudah. Terlebih lagi mereka harus menunggu jadwal keberangkatan yang cukup lama. Selama menunggu keberangkatan, para TKW ini akan ditempatkan di penampungan-penampungan TKW untuk kemudian dibekali dengan keahliankeahlian serta keterampilan. Dorongan untuk bermigrasi menjadi tenaga kerja wanita selain tekanan kemiskinan dan kelangkaan kesempatan kerja, juga dirangsang oleh keberhasilan para tenaga kerja wanita yang pulang dari luar negeri (Mashud, 2010). Sementara itu, menurut Supriyoko (1990) adapun faktor-faktor yang menyebabkan para wanita Indonesia memilih manca negara sebagai lahan pekerjaannya dapat diklasifikasikan menjadi faktor intriksik dan faktor ekstrinsik. Keinginan untuk lebih memerankan dirinya dalam upaya mengangkat harkat martabat diri beserta keluarga merupakan faktor intriksik. Menjadi tenaga kerja wanita lebih dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan status sosial ekonominya, dimana para tenaga kerja wanita lebih berorientasi kepada upaya untuk meningkatkan gengsi status sosial. Dampak menjadi tenaga kerja wanita untuk sebagian besar para tenaga kerja wanita telah menjadi simbol fenomenal hadirnya kehidupan baru yang lebih baik dan kesuksesan. Hasil jerih payah menjadi tenaga kerja wanita, sebagian besar diperuntukan untuk kebutuhan produktif seperti modal untuk berdagang, membeli tanah, dan membeli motor untuk mengojek. Selain itu, banyak dari mereka membelanjakan penghasilannya untuk kebutuhan konsumtif seperti membeli 5
perhiasan, pakaian, dan alat-alat rumah tangga. Para tenaga kerja wanita ini memiliki kecenderungan untuk memamerkan kekayaan yang mereka peroleh dari hasil jerih payah mereka bekerja di luar negeri (Mashud, 2010). Orientasi dominansi sosial merupakan ciri kepribadian yang memprediksi sikap sosial dan politik serta banyak digunakan untuk skala psikologi sosial (Sidanius & Pratto, 2001). Orientasi dominansi sosial dikonseptualisasikan sebagai pengukuran dari perbedaan individu dalam tingkatan yang didasarkan pada perbedaan kelompok atau perbedaan yang dimiliki individu. Orientasi dominansi sosial mengukur preferensi individu untuk hirarki dalam setiap sistem sosial dan dominansi terhadap kelompok atau individu yang inferior (Sidanius & Pratto, 2001). Teori dominansi sosial mendalilkan bahwa faktor signifikan adalah perbedaan individu yang dikatakan sebagai Orientasi Dominansi Sosial (ODS) atau sejauh mana individu berkeinginan untuk mendominasi dan menjadi unggul (Pratto, Sidanius, Stallworth, & Bertram, 1994). Orang dengan dominansi sosial yang tinggi adalah orang yang percaya bahwa kehidupan terbagi ke dalam struktur yaitu yang di atas dan yang di bawah. Mereka yang di atas adalah mereka yang menang, memiliki kekuasaan, atau memiliki seluruh nilai-nilai yang positif. Individu dengan level orientasi dominansi sosial tidak hanya mendukung mereka dalam sosial, politik dan ideologi, tapi juga bagaimana mereka menjalani kehidupan (Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). Sebagai contoh, jenis pekerjaan yang mereka cari dan dapatkan atau bidang yang mereka pilih untuk dipelajari (Haley & Sidanius, 2005 dalam Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). Seperti apa yang disampaikan oleh Supriyoko (1990), menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri dirasa merupakan salah
6
satu bidang pekerjaan yang mendukung mereka dalam menjalani kehidupan sehingga dapat meningkatkan kelas sosial dan harkat martabat diri beserta keluarga. Menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri selain dapat meningkatkan status sosial, persepsi akan kelangkaan lawan jenis dirasa menjadi salah satu pemicu para wanita Indonesia memutuskan menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri. Jumlah laki-laki yang semakin terbatas berbanding dengan jumlah wanita yang ada di Indonesia membuat para wanita harus pintar-pintar dalam menarik perhatian lakilaki. Para laki-laki yang dirasa mapan dan berkualitas tinggi biasanya lebih selektif dalam memilih pasangan hidup. Biasanya mereka menetapkan kriteria-kriteria tertentu. Dalam artikel yang ditulis oleh Julianto (2012) alasan wanita sulit mendapatkan pasangan hidup dikarenakan konsep dan harga diri yang miskin (inferior). Mereka yang kurang percaya diri biasanya suka menghakimi dan menyalahkan diri. Misalnya, "Aku ini bodoh, mana ada yang mau sama aku."Atau menyalahkan diri dan berkata, "Ah, mana mungkin dia mau sama aku yang miskin ini." Orang lain berkata dalam hatinya, "Ah, aku tidak pantas jadi pacarnya.” Oleh karena itu, banyak wanita yang tetap melajang meskipun telah mencapai kematangan seksual (Kruger, 2009 dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Dengan menjadi tenaga kerja wanita diharapkan mereka dapat mencari pasangan hidup yang tidak hanya berkualitas tinggi namun juga dapat memberikan keturunan yang baik bagi mereka sehingga mereka tidak harus melajang dalam waktu yang lama.
7
Banyak wanita tidak hanya mencari pasangan dalam berhubungan seks tapi juga pasangan yang dapat memberikan kontribusi untuk masa depan mereka serta dapat memberikan keturunan yang baik (Gangestad & Simpson, 2000 dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Ketika terjadi kelangkaan pada jenis kelamin laki-laki, para wanita akan mengalami kesulitan dalam menjaga pasangannya yang bersedia dan mampu untuk berinvestasi pada keturunannya di masa depan. Hal ini dijelaskan dalam teori kelangkaan lawan jenis yang berfokus pada ketidakseimbangan antara usia reproduksi pria dan wanita, yang dikatakan sebagai operational sex ratio (Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Kelangkaan jenis kelamin laki-laki menjadi salah satu inspirasi karir wanita, dengan langkanya usia menikah laki-laki mendorong wanita untuk lebih mencari pekerjaan yang menguntungkan (Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Supriyoko (1990), salah satu faktor ekstrinsik wanita Indonesia menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri adalah karena faktor Rasio Jenis Kelamin (RJK) yang ada di daerah mereka. Berdasarkan itu semua, peneliti ingin mengetahui apakah orientasi dominansi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis mampu memprediksikan sikap terhadap risiko pada Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri. 1.2 Pertanyaan Penelitian a) Apakah orientasi dominansi sosial mampu memprediksikan sikap terhadap risiko pada Tenaga Kerja Wanita (TKW) ? b) Apakah persepsi kelangkaan lawan jenis mampu memprediksikan sikap terhadap risiko pada Tenaga Kerja Wanita (TKW) ?
8
c) Apakah orientasi dominansi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis
mampu memprediksikan sikap terhadap risiko pada Tenaga Kerja Wanita (TKW) ? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari diadakannya penelitian ini yaitu : • Ingin mengetahui apakah orientasi dominansi sosial mampu memprediksikan sikap terhadap risiko pada Tenaga Kerja Wanita (TKW). • Ingin
mengetahui
apakah
persepsi
kelangkaan
lawan
jenis
dapat
memprediksikan sikap terhadap pada Tenaga Kerja Wanita (TKW). • Ingin mengetahui apakah orientasi dominansi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis dapat memprediksikan sikap terhadap risiko pada Tenaga Kerja Wanita (TKW).
9