BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Dewasa ini lembaga perbankan memiliki pengaruh yang besar terhadap
perekonomian Indonesia, dibuktikan dengan adanya krisis Ekonomi Global yang baru-baru ini terjadi. Menurut Bappenas(2009), krisis keuangan global bermula dari krisis kredit perumahan di Amerika Serikat. Amerika Serikat pada tahun 1925 telah menetapkan undang-undang mengenai Mortgage (Perumahan). Peraturan tersebut berkaitan dengan sektor properti, termasuk kredit kepemilikan rumah yang memberikan kemudahan bagi para kreditur. Kemudahan pemberian kredit tersebut juga terjadi pada saat harga properti di AS sedang mengalami kenaikan. Hal ini juga diikuti dengan spekulasi di sektor ini yang meningkat. Permasalahan muncul ketika banyak lembaga keuangan pemberi kredit properti di Amerika Serikat menyalurkan kredit kepada masyarakat yang sebenarnya secara finansial tidak layak memperoleh kredit yaitu kepada masyarakat yang tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk memenuhi kredit yang mereka lakukan. Situasi tersebut memicu terjadinya kredit macet di sektor properti (subprime mortgage). Disinilah krisis keuangan global bermula kegagalan kredit disebabkan oleh kesalahan perbankan dalam memberikan kredit yang banyak kepada masyarakat baik itu masyarakat yang berpendapatan tinggi maupun rendah. Masyarakat tidak mampu membayar kredit sehingga menghambat perbankan dalam memenuhi
1
kewajiban lainnya dan berefek pada perputaran uang yang ada di pasar (www.bappenas.go.id). Krisis finansial global dan lumpuhnya sistem perbankan global yang berlarut dikhawatirkan akan berdampak sangat negatif terhadap Indonesia, karena keadaan pasar yang tidak stabil di Eropa dikhawatirkan akan mempengaruhi perekonomian di Indonesia seperti investasi di Indonesia (baik oleh pengusaha dalam
maupun luar negeri) akan terus menciut, penyerapan tenaga kerja
melambat dan akibatnya daya beli masyarakat turun yang akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Menurut data dari Badan Pusat Statistik pertumbuhan ekonomi Indonesia 2 tahun terakhir yaitu tahun 2010 triwulan I, II, III dan IV berturut-turut adalah 5,6 persen; 6,1 persen; 5,8 persen; 6,9 persen sedangkan tahun 2011 selama triwulan I, II,III dan IV konstan sebesar 6,5 persen. Bercermin pada krisis tersebut sektor perbankan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kelancaran perekonomian yang ada. Bank merupakan lembaga keuangan yang memberikan jasa keuangan yang paling lengkap. Usaha keuangan yang dilakukan disamping menyalurkan dana atau memberikan pinjaman (kredit) juga melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan. Usaha bank lainnya memberikan jasajasa keuangan yang mendukung dan memperlancar kegiatan, memberikan pinjaman dengan kegiatan menghimpun dana (Kasmir,2008:4). Menurut Undang-Undang RI nomor 10 tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan yang dimaksud dengan “BANK” adalah “Badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat
2
dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk- bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Fungsi bank sebagai perantara keuangan atau financial intermediary dari dua pihak, yakni pihak yang memiliki kelebihan dana dan pihak yang mengalami kekurangan dana. Melalui Bank, kelebihan dana ini dapat disalurkan kepada pihak yang memerlukan dana sehingga memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Fungsi utamanya sebagai financial intermediary
membuat kelangsungan hidup
perusahaan perbankan bergantung pada penyaluran kredit. Meskipun ada bank yang memiliki penghasilan lain di luar kredit atau fee based income yang tinggi, penyaluran kredit tetaplah menjadi yang paling utama. Dalam UU Pokok Perbankan nomor 7 tahun 1992 dan ditegaskan lagi dengan keluarnya Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998, menurut jenisnya bank terdiri dari bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha bank secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum begitu juga dengan wilayahnya, wilayah operasi dapat dilakukan diseluruh wilayah, sedangkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Artinya kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan Bank Umum (UU No. 10 tahun 1998). Bank Umum dapat menghimpun dana dalam bentuk simpanan dari masyarakat berupa giro, tabungan dan deposito, sedangkan BPR tidak boleh menghimpun
3
dana dalam bentuk giro dan juga tidak boleh ikut serta dalam lalu lintas pembayaran. Bank umum dapat melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing sedangkan BPR tidak diperbolehkan. Bank umum dapat melakukan penyertaan modal pada lembaga keuangan dan untuk mengatasi kredit macet sedangkan BPR sama sekali tidak boleh melakukan penyertaan modal (Arthesa,2009:15). Walaupun kegiatan BPR tidak seluas dengan bank umum namun usaha BPR menempati peran yang cukup strategis dalam perekonomian Bali, terutama dalam mendorong perkembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Pesatnya perkembangan BPR tidak terlepas dari kunci sukses dalam memberikan pelayanan kepada usaha mikro dan kecil seperti lokasi yang dekat dengan masyarakat, prosedur pelayanan kepada nasabah yang lebih sederhana, serta lebih mengutamakan pendekatan personal dan fleksibilitas pola dan model pinjaman (Sukmawati,2010). Sebagai perantara keuangan dengan kata lain kredit atau pembiayaan diartikan sebagai kepercayaan. Maksud dari percaya bagi si pemberi kredit adalah pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit merupakan penerimaan kepercayaan sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai jangka waktu (Kasmir,2008:97). Bank dalam menjalankan aktivitasnya sebagai perantara keuangan, bank dihadapkan pada risiko. Pada dasarnya risiko melekat pada seluruh aktivitas bank, karena menyangkut uang, sifat dasar uang adalah anonim, siapapun bisa memilikinya, siapapun ingin memilikinya dan sangat mudah berpindah tangan
4
bahkan hilang. Oleh karena itu, seluruh aktivitas bank mulai dari penyerapan dana hingga penyaluran dana sangat rentan terhadap hilangnya uang (Ferryn,2009:21). Risiko yang mungkin terjadi dapat menimbulkan kerugian bagi bank jika tidak dideteksi serta tidak dikelola sebagaimanamestinya seperti contoh kasus krisis moneter 2008 kemarin. Bank harus mengerti dan mengenal risiko-risiko yang mungkin timbul dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Eksekutif dalam manajemen bank serta seluruh pihak terkait harus mengetahui risiko-risiko yang mungkin timbul dalam kegiatan usaha bank, serta mengetahui bagaimana dan kapan risiko tersebut muncul untuk dapat mengambil tindakan yang tepat. Setiap usaha pasti mengandung suatu risiko, sehingga risiko itu sendiri sebenarnya tidak dapat dihindari pada semua keadaan, namun semestinya dikelola secara baik tanpa harus mengurangi hasil yang ingin dicapai. Risiko yang dikelola secara tepat dan baik dapat memberikan manfaat kepada bank dalam menghasilkan laba yang maksimum. Manfaat tersebut dapat terwujud apabila para pengambil keputusan harus mengerti tentang risiko dan cara mengelolanya. Untuk dapat mengelola risiko dengan baik diperlukan suatu manajemen risiko. Manajemen risiko menurut Ferryn(2009:5) adalah suatu metode logis dan sistematik dalam
identifikasi, kuantifikasi, menentukan sikap,
menetapkan
solusi, serta melakukan monitor dan pelaporan risiko yang berlangsung pada setiap aktivitas dan proses. Proses Manajemen risiko ada tiga tahap, yaitu identifikasi risiko, mengukur risiko dan manajemen risiko. Tahap-tahap dari manajemen risiko menurut Ferryn(2009:5)
adalah
menetapkan kerangka kerja untuk implementasi secara keseluruhan. Menentukan
5
definisi
kerugian,
menyusun
dan
melakukan
implementasi
mekanisme
pengumpulan data dan membuat pemetaan kerugian ke dalam kategori risiko yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Tahap identifikasi risiko terdiri dari aplikasi
teknik permodelan dalam mengukur risiko,
perluasan dengan
memanfaatkan tolok ukur, modeling dan peramalan yang berasal dari luar organisasi atau eksternal. Manajemen risiko terdiri dari identifikasi selera risiko organisasi dan identifikasi visi stratejik dari organisasi. Menurut ketentuan Bank Indonesia PBI No. 5/8/PBI/2003
dan
perubahannya No. 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, terdapat 8 (delapan) risiko yang harus dikelola bank yaitu risiko pasar, risiko kredit, risiko operasional, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko reputasi, risiko stratejik dan risiko kepatuhan. Risiko dapat dibedakan menjadi dua, yaitu risiko kualitatif dan risiko kuantitatif. Risiko yang bersifat kualitatif terdiri dari risiko hukum, risiko reputasi, risiko stratejik dan risiko kepatuhan. Risiko yang bersifat kuantitatif yaitu risiko pasar, risiko kredit, risiko operasional dan risiko likuiditas. Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank. Dalam hal ini misalnya munculnya kredit bermasalah, baik berupa pembayaran pokok pinjaman atau bunga pinjaman. Risiko kredit terjadi apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya tepat waktu (Arifah,2010). Risiko Kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas bisnis Bank. Sebagian besar Bank, pemberian kredit merupakan sumber risiko kredit yang terbesar. Selain kredit, Bank menghadapi risiko kredit dari berbagai instrumen
6
keuangan seperti surat berharga, transaksi antar Bank, transaksi pembiayaan perdagangan, transaksi nilai tukar dan derivatif serta kewajiban komitmen dan kontinjensi. Risiko Kredit dapat meningkat karena terkonsentrasinya penyediaan dana, antara lain pada debitur, wilayah geografis, produk, jenis pembiayaan, atau lapangan usaha tertentu. Risiko ini lazim disebut Risiko Konsentrasi Kredit (Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/23/DPNP). Menurut Tony (2011) Risiko Likuiditas adalah risiko yang disebabkan oleh ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Aktiva lancar perusahaan tidak tersedia dalam jumlah yang cukup untuk membayar hutang jangka pendek tersebut. Rasio Likuiditas mengggambarkan kemampuan perusahaan untuk menyelesaikan kewajiban jangka pendeknya. Rasio-rasio ini dapat dihitung melalui sumber informasi tentang modal kerja yaitu pos-pos aktiva lancar dan utang lancar. Salah satu indikator besarnya pemberian kredit oleh bank yaitu dapat dilihat dari persentase Loan to Deposit Ratio (LDR). Loan to Deposit Ratio (LDR) menunjukan seberapa besar pinjaman yang diberikan didanai oleh dana pihak ketiga. Rasio LDR ini digunakan untuk mengetahui sampai sejauh mana dana masyarakat yang dihimpun oleh bank disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit. Bank Indonesia menetapkan maksimal 85 persen (Harahap, 2009;303). Cash Ratio juga digunakan untuk mengukur risiko likuiditas. Cash Ratio merupakan rasio untuk mengukur kemampuan bank melunasi kewajiban yang harus segera dibayar dengan harta likuid yang dimiliki bank tersebut (Kasmir, 2008:224). Rasio ini menunjukkan posisi kas yang dapat menutupi hutang lancar.
7
Rasio ini adalah rasio yang paling likuid. Semakin tinggi rasio ini semakin tinggi pula kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan, namun dalam praktek akan mempengaruhi profitabilitasnya. Menurut ketentuan Bank Indonesia, alat likuid terdiri atas uang kas ditambah dengan rekening giro bank bersangkutan yang disimpan pada Bank Indonesia. Komponen-komponen alat likuid untuk semua jenis bank adalah sama, yaitu Saldo Kas dan Saldo Rekening pada Bank Indonesia, sedangkan komponen-komponen kewajiban segera dapat ditagih atau segera harus dibayar adalah Giro, Deposito, Tabungan, dan Kewajiban jangka pendek lainnya. Risiko operasional merupakan risiko ketidakpastian mengenai usaha bank yang bersangkutan. Risiko operasional merupakan kegagalan bank dalam mengefisiensikan biaya yang sudah dikeluarkan untuk menghasilkan laba yang berpengaruh terhadap pencapaian laba bersih. Salah satu rasio keuangan yang dapat digunakan sebagai proxy risiko operasional menurut Nur Arifah(2010) adalah Biaya Operasional terhadap pendapatan Operasional (BOPO). Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) merupakan perbandingan antara jumlah penjualan dengan jumlah kas rata-rata. Besar kecilnya kas dan tinggi rendahnya tingkat BOPO akan mencerminkan tingkat efisiensi penggunaan kas dalam perusahaan. Semakin besar jumlah uang kas berarti semakin banyak dana yang tertanam pada kas dalam keadaan menganggur. Makin tinggi tingkat BOPO berarti makin tinggi efisiensi penggunaan kasnya sehingga meningkatkan profitabilitas BPR. Akan tetapi tingkat BOPO yang berlebihan dapat juga berarti
8
bahwa jumlah persediaan kas yang tersedia adalah terlalu kecil dan nantinya dapat menganggu kelancaran operasional BPR (Sukmawati,2010). Rentabilitas atau disebut juga dengan Profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal dan sebagainya. Salah satu bentuk rasio ini adalah Ratio on Asset (ROA). Rasio ini menggambarkan perputaran aktiva diukur dari volume penjualan. Semakin besar rasio ini semakin baik. Hal ini berarti bahwa aktiva dapat lebih cepat berputar dan meraih laba. (Harahap,2009;303). Profitabilitas (Susanthi,2010) adalah kemampuan untuk menghasilkan laba dari modal yang dimiliki atau dapat dikatakan bahwa profitabilitas adalah kemampuan ukuran bank dalam meningkatkan laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Profitabilitas dalam dunia perbankan sangat penting keberadaannya baik, untuk pemilik, penyimpan, pemerintah dan masyarakat. Investor mengharapkan dana yang diinvestasikan ke dalam perusahaan akan memperoleh tingkat pengembalian yang tinggi sehingga laba yang diperoleh jadi tinggi pula. Tingkat Profitabilitas suatu perusahaan akan berpengaruh pada keputusan investasi para investor dan calon investor yang akan menanamkan modalnya ke dalam perusahaan. Mengingat tingginya tingkat persaingan antarlembaga keuangan di Bali menuntut Bank Perkreditan Rakyat meningkatkan daya saingnya agar dapat tumbuh dan bersinergi dengan lembaga keuangan
9
lainnya seperti Bank Umum, LPD, maupun usaha simpan pinjam koperasi (Lieliana,2009). Kinerja keuangan pada perusahaan PT. BPR di Kabupaten Badung mengalami keadaan yang tidak sesuai dengan teori yang ada. Nilai LDR, BOPO, CR, NPL dan ROA mengalami fluktuasi (lampiran 6). PT. BPR Cahaya Artha Bali mengalami penurunan NPL, BOPO dan LDR dari tahun 2010-2011 sebesar 0,54; 0,00 dan -0,27 persen, tetapi perubahan Profitabilitas
mengalami
peningkatan dari tahun 2010-2011 sebesar 0,20 persen. Berbeda halnya PT. BPR Wahyu Nirmala, BOPO mengalami penurunan sebesar -0,04 persen namun perubahan ROA mengalami peningkatan sebesar 0,34 persen. Pada PT. BPR Giri Sariwangi, CR mengalami peningkatan dari tahun 2010-2011 sebesar 0,51 persen sedangkan ROA yang diperoleh mengalami penurunan sebesar -0,62 persen. Pada PT. BPR Mini Darma Adipala, CR mengalami peningkatan dari tahun 2010-2011 sebesar 0,05 persen dan ROA mengalami peningkatan juga sebesar 0,60 persen. Berdasarkan data tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan pengujian mengenai kemampuan prediksi rasio-rasio keuangan berkaitan dengan risiko usaha terutama kemampuannya dalam mempengaruhi profitabilitas. Penelitian ini dilakukan pada PT. BPR di Kabupaten Badung. Dipilihnya BPR di Kabupaten Badung sebagai subjek dalam penelitian ini karena BPR masih kurang diminati oleh masyarakat dari pada bank umum sehingga keberadaan BPR sulit untuk berkembang dan fluktuasi laba yang tidak menentu dilihat dari ROA, LDR, BOPO, CR dan NPL.
10
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nur Arifah (2010) LDR dan NPL memiliki hubungan negatif dan tidak signifikan terhadap ROA. BOPO mempunyai pengaruh negatif signifikan terhadap ROA. Penelitian Wahyuni (2011) menyimpulkan LDR dan CR memiliki hubungan yang positif namun tidak signifikan terhadap ROA. Sedangkan NPL dan CAR memiliki hubungan negatif dan tidak signifikan terhadap ROA. BOPO memiliki hubungan negatif signifikan terhadap ROA. Penelitian yang dilakukan oleh Sebayang (2011) mengatakan bahwa Non Performing Loan (NPL) berpengaruh positif dan signifikansi terhadap ROA, Biaya Operasi Pendapatan Operasi (BOPO) berpengaruh negatif dan signifikansi terhadap ROA sedangkan Loan to Deposit Ratio (LDR) tidak berpengaruh signifikansi terhadap ROA. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Pompong (2010) menyatakan Loan to Deposit Ratio memberikan kontribusi positif terbesar terhadap profitabilitas (ROA). Perbedaan hasil penelitian di atas melatarbelakangi permasalahan yang ada sehingga dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. 1) Apakah Cash Ratio, Loan to Deposit Ratio, BOPO dan Non Performing Loan secara simultan berpengaruh terhadap profitabilitas BPR di Kabupaten Badung periode 2010-2011? 2) Apakah Cash Ratio, Loan to Deposit Ratio, BOPO, dan Non Performing Loan secara Parsial berpengaruh terhadap profitabilitas Kabupaten Badung periode 2010-2011?
11
BPR di
1.2
Tujuan dan Kegiatan Penelitian
1.2.1
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini berdasarkan pokok
permasalahan yang dikemukakan adalah sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh tingkat Cash Ratio, Loan to Deposit Ratio, BOPO, dan Non Performing Loan secara simultan terhadap profitabilitas BPR di Kabupaten Badung periode 2010-2011. 2) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh tingkat Cash Ratio, Loan to Deposit Ratio, BOPO, dan Non Performing Loan secara parsial terhadap profitabilitas BPR di Kabupaten Badung periode 2010-2011. 1.2.2
Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi sebagai berikut. 1) Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bukti empiris bidang manajemen keuangan khususnya mengenai pengaruh Cash Ratio, Loan to Deposit Ratio, BOPO, dan Non Performing Loan terhadap profitabilitas BPR di Kabupaten Badung. 2) Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi mengenai risiko usaha sebagai bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran bagi BPR di Kabupaten Badung dalam menentukan kebijaksanaan yang berhubungan dengan upaya peningkatan profitabilitas.
12
1.2.3
Sistematika Penulisan Untuk
mendapatkan
gambaran
mengenai
penelitian
ini,
maka
penyajiannya disusun dalam beberapa bab secara sistematis sehingga antara bab yang satu dengan lainnya mempunyai hubungan yang erat. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut. Bab I
: Pendahuluan Merupakan bab yang menguraikan tentang latar belakang masalah yang diikuti rumusan pokok permasalahan yang diteliti, tujuan, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II
: Kajian Pustaka dan Rumusan Hipotesis Merupakan bab yang berisikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan pembahasan pada penelitian ini, yaitu tentang Loan to Deposit Ratio, Cash Ratio, BOPO Non Performing Loan dan ROA. Bab ini juga menguraikan beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini dan hipotesis penelitian.
Bab III
: Metode Penelitian Merupakan bab yang berisikan metode penelitian yang meliputi objek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel,
jenis
data,
metode
penentuan
sampel,
metode
pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab IV
: Pembahasan Hasil Penelitian Merupakan bab yang berisikan gambaran umum masing-masing perusahaan dan pembahasan hasil penelitian.
13
Bab V
: Simpulan dan Saran Merupakan bab penutup yang memuat simpulan dari hasil pembahasan penelitian dan saran-saran.
14