1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pengetahuan manusia tentang apapun tak bisa dipisahkan dari bahasa. Bahasa tak hanya menjadi media dalam memperoleh pengetahuan tetapi juga menjadi penentu bagaimana pengetahuan itu sendiri. Peran utama bahasa yang oleh Lakoff (1987: 593) disebut sebagai entitas pembawa makna, telah menjadikan bahasa dan pengetahuan sebagai wujud yang utuh. Dalam kesatuan wujud itu, bahasa dan pengetahuan berkembang beriringan sejalan dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Ketika pengetahuan manusia berkembang maka bahasa pun berkembang dan pula sebaliknya. Namun demikian, dalam sejumlah hal, keduanya mengalami jarak di mana terkadang bahasa tidak mampu secara akurat merepresentasikan pengetahuan. Saat itulah bahasa secara alami merangkum pengetahuan dalam wujud kebahasaan yang sudah ada. Tahapan dimana wujud kebahasaan tertentu merangkum sejumlah makna atas sekian pengetahuan diterjemahkan sebagai polisemi. Secara lebih eksplisit, polisemi merupakan fenomena dimana sejumlah makna terliterasikan dalam satu wujud kebahasaan. Oleh Wijana dan Rohmadi (2008: 51), polisemi diterjemahkan sebagai sebuah bentuk kebahasaan yang memiliki berbagai macam makna. Makna-makna dalam sebuah polisemi saling terkait oleh kesamaan karakteristik tertentu. Hal ini diamini oleh Parera (2004: 81) dengan menyebut polisemi sebagai satu ujaran dalam
2
bentuk kata yang mempunyai makna berbeda-beda, tetapi masih terdapat hubungan dan kaitan antara makna-makna yang berlainan tersebut. Ia kemudian memberikan contoh kata kepala di mana kata tersebut bisa bermakna ‘kepala manusia’, ‘kepala jawatan’, dan ‘kepala sarung’. Makna-makna dari kata kepala tersebut masih saling terkait yakni sesuatu yang terdapat di bagian teratas. Pembahasan terkait polisemi seringkali dikaitkan dengan homonim. Ini karena keduanya memiliki kesamaan namun sejatinya sangat berbeda secara prinsip. Penjelasan yang umum ditawarkan adalah dengan mengatakan homonim memiliki entri dua atau lebih sedang polisemi hanya memiliki satu entri di dalam kamus. Dengan kata lain, pembedaan polisemi dan homonim dilakukan secara historis atau disebut juga etimologis. Namun demikian, cara tersebut belum bisa menjelaskan polisemi dan homonim secara memuaskan. Contoh dalam bahasa Inggris adalah kata pupil yang memiliki dua makna: ‘salah satu bagian mata’ atau ‘anak sekolah’. Secara historis makna tersebut terkait, namun saat ini keduanya terpisah secara semantis — memiliki dua entri di dalam kamus. Untuk itu Kreidler (1998: 52) mengatakan, “The distinction between homonymy and polysemy is not an easy one to make. Two lexemes are either identical in form or not, but relatedness of meaning is not a matter of yes or no; it is a matter of more or less.” Aletrnatif analsis polisemi secara historis nampaknya bulum cukup bisa menjelaskan fakta terkait polisemi. Kesulitan untuk menentukan batasan polisemi barangkali disebabkan juga oleh minimnya penjelasan terkait penyebab munculnya fenomena kepolisemian. Wijana (2010: 163) membenarkan pendapat itu dengan mengatakan bahwa faktor-
3
faktor penyebab kemunculan polisemi belum mendapatkan perhatian yang sungguhsungguh. Di sisi lain, penjelasan terkait penyebab polisemi akan memberikan pemahaman terhadap kecenderungan-kecenderungan sebuah bahasa memperluas komponen semantis leksikonnya. Kurangnya perhatian seputar polisemi mungkin bisa tersirat dari sedikitnya publikasi seputar polisemi, terutama di Indonesia. Bukubuku semantik yang terbit hanya membahas secara singkat polisemi dalam subbabnya. Fakta tersebut kiranya membuat polisemi layak untuk dikaji secara lebih mendalam. Terlepas dari persoalan dalam pengkajiannya, polisemi merupakan fenomena kebahasaan yang penting. Stephen Ulman mengatakan bahwa polisemi adalah “poros dari analisis semantik” (1977: 117). Lewandowska-tomaszezyk (2007: 139) menegaskan pentingnya polisemi dengan mengatakan, “One of the most fundamental phenomena observed in language is the existence of a diversity of related meanings expressed by the same word form. Pendapat-pendapat tersebut sangat beralasan. Ini karena polisemi merupakan ciri fundamental bahasa dalam rangka mengembangkan kemampuan kosakatanya untuk mengungkapkan konsep-konsep baru yang belum ada sebelumnya (Wijana, 2010: 164). Pengkajian mendalam terhadap polisemi bisa menjelaskan proses perkembangan bahasa. Posisi strategis polisemi guna mengungkap tahapan perkembangan bahasa mesti mendapat perhatian lebih. Analisis terhadapnya tidak bisa direduksi hanya sebagai fenomena kebahasaan yang muncul begitu saja karena kebutuhan efisiensi bahasa. Polisemi mesti diperlakukan sebagai sesuatu yang tak terlepas dari
4
pengalaman, pikiran, dan bahasa itu sendiri. Linguistik kognitif — sebagai tradisi linguistik yang mencoba menata ulang konsepsi kebahasaan — menawarkan alternatif analisis kebahasaan yang bisa menjelaskan lebih banyak hal terkait polisemi sekaligus menjawab sekian pertanyaan terhadap polisemi yang sukar dijelaskan hingga kini. Untuk itu, Taylor (1989 dalam Lewandowska-tomaszczyk, 2007: 140) mengatakan, “Even though classical polysemy refers first of all to lexis, Cognitive linguistic tools make it possible to observe polysemic effects in phonology, morphology, and syntax.” Linguistik kognitif memungkinakan studi terkait polisemi menjadi lebih mendalam dan komperhensif. Pendekatan linguistik kognitif dirasa mampu membahas polisemi lebih mendalam karena karakteristiknya yang melihat bahasa secara lebih luas dan menyeluruh. Linguistik kognitif berupaya merangkai kembali temuan-temuan teori kebahasaan yang ada ke dalam komitmen generalisasi (Generalisation Commitment) dan komitmen kognitif (Cognitive Commitment) serta sejumlah prinsip-prinsipnya. Usaha tersebut bisa terwujud karena linguistik kognitif memulai pembahasan mengenai bahasa dari pusat pengetahuan manusia: kognisi. Dalam naungan komitmen dan prinsip linguistik kognitif, kajian terkait polisemi pada praksisnya dilakukan dalam bingkai kognitif semantik, khusususnya kognitif semantik leksikal (Cognitive Lexical Semantics). Pembahasan mengenai polisemi telah mendapat perhatian sedari awal perkembangan linguistik kognitif. Salah satu tokoh penting linguistik kognitif, George Lakoff telah memulainya pada awal 1980-an dengan melakukan analisis
5
polisemi melalui pendekatan yang ia sebut sebagai Idealised Cognitive Models (ICMs). Setelah itu, kajian terhadap polisemi terus berkembang oleh para tokoh linguistik kognitif seperti Dirk Geeraerts, Charles Fillmore, Andrea Tyler dan Vyvyan Evans melalui sejumlah model pendekatan. Pendekatan yang relatif baru adalah pendekatan polisemi terperinsip (Principled Polysemy) oleh Tyler dan Evans (2001). Keduanya mengkaji polisemi preposisi dalam bahasa Inggris. Temuan mengenai preposisi OVER 1 cukup membuka cakrawala baru ihwal pengkajian polisemi. Dengan penjelasan skena spasial (spatial scences), preposisi OVER mampu dijabarkan dalam 14 makna dan keterkaitan antara makna-makna tersebut bisa diungkap secara jelas dalam sebuah jejaring semantis. Model pendekatan lainnya dilakukan dengan menganalisis struktur gramatikal sebuah polisemi leksem. Model tersebut pernah dilakukan oleh Gisborne (2010) untuk mengkaji polisemi SEE. Hasilnya, selain 15 makna perluasan, pendekatan tersebut juga menemukan jika konstruksi dwitransitif (ditransitive) membuat makna SEE menjadi berbeda. Prespektif baru terkait polisemi tersebut terkait dengan ciri linguistik kognitif yang ditopang oleh sejumlah prinsip pemandu (guiding principles). Salah satu prinsip tersebut adalah prinsip pengejawantahan (embodiment). Evans & Green (2006:44— 48) menjelaskan bahwa prinsip tersebut menekankan bahwa realitas tidaklah objektif akan tetapi terejawantahkan dalam pengalaman badaniah (embodied eksperience). Pengalaman badaniah itu kemudian ditangkap oleh kognisi dalam bentuk konsep1
Terkait dengan aspek ortografis, penulisan kapital dalam teks mengacu pada leksem dan konsep semantis, misalnya LOOK. Di luar itu, misalnya jika mengacu pada kata, look akan ditulis dengan huruf kecil miring.
6
konsep. Artinya, pengetahuan diperoleh dari pengalaman atas organ-oragan tubuh. Sebagai contoh adalah organ perasa kita: kulit dan lidah. Karena organ tersebut sensitif terhadap rangsangan maka banyak pengalaman yang didapat dari organ tersebut. Pengalaman yang didapat indra perasa kemudian tersimpan dalam sejumlah konsep didalam memori. Konsep-konsep tersebut terkategorisasi dan tersimbolosasi pada leksikon bahasa Inggris seperti itchy, crude, sweet, bitter, sour, dan sebagainya. Karena indra perasa merupakan bagian panca indra yang penting, sejumlah konsep yang dianggap sekategori sering menggunakan leksikon-leksikon tersebut dalam ungkapan metaforis semisal sweet girl ‘gadis manis’. Kulit dan lidah juga kemudian menjadi polisemis pada kata-kata semisal earth's crust ‘kulit bumi’ dan tongue of fire ‘lidah api’. Selain kulit dan lidah, mata juga merupakan organ tubuh yang (paling) sering digunakan. Sebagaimana prinsip pengejawantahan, leksikon terkait mata dan pengalaman lewat penglihatan akan sangat melimpah. Bisa diprediksi pula bahwa polisemi terkait mata akan begitu kaya. Untuk itulah, penelitian ini mencoba menganalisis polisemi verba LOOK dalam sudut pandang linguistik kognitif. Verba LOOK sendiri merupakan bagian dari jenis verba perseptif. Verba perseptif memiliki nilai tersendiri, terutama dalam linguistik kognitif. Gisborne (2010: 181—182) mengatakan, “I claim that verbs of perception are special precisely because they are directly embodied and experiental… After all, we only become aware of motion and causation via perception, so in this sense, perception is even more basic”. Verba perseptif memiliki arti penting karena verba tersebut berhubungan langsung dengan
7
pengalaman nyata. Jenis verba lainnya, seperti verba aksi-proses atau verba pergerakan muncul sebagai akibat perkembangan dari verba perseptif. Verba perseptif merupakan verba yang paling mendasar. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan pada verba perseptif menggambarkan bagaimana kognisi bekerja dalam perkembangan bahasa. Dari hasil pengamatan terhadap data pada Kamus Oxford (Oxford Advanced Learner’s Dictionary) — yang kemudian disingkat Ox — verba LOOK muncul dalam konstruksi sebagai berikut: (1) She looked at me and smile. Ox ‘Dai menatapku dan tersenyum.’ (2) That book looks interesting. Ox ‘Buku itu tampak menarik.’ (3) They looked down on our little house. Ox ‘Mereka meremehkan rumah kita yang kecil ini.’ (4) He looked back on his time in England with a sense of nostalgia. Ox ‘Dia mengingat saat-saat di Inggris dalam nuansa penuh nostalgia.’ (5) Where have you been? We’ve been looking for you. Ox ‘Dari mana saja kamu? Kami sudah mencari-carimu.’ Kelima data tersebut merupakan sebagian dari konstruksi verba look yang ada. Secara garis besar, data tersebut terbagi dalam konstruksi verba tunggal yakni data (1) dan (2) serta verba LOOK dalam konstruksi verba frasal yakni data (3), (4), dan (5).
8
Data (1) menunjukan verba LOOK dalam konstruksi transitif sedangkan data (2) berada dalam konstruksi intransitif. Dari segi pemaknaan, keduanya memiliki perbedaan: verba look pada data (1) memiliki makna ‘menatap’ sementara data (2) bermakna ‘tampak’. Menariknya, verba look pada data (1) selalu hadir besama preposisi at dan hanya mampu berada dalam konstruksi transitif. Verba look pada data (2) tidak pernah muncul didampingi oleh objek atau bersifat intransitif. Selain itu, secara peran, objek pada data (1) equivalen atau setara dengan subjek pada data (2). Sebagai verba frasal, data (3), (4), dan (5) memiliki sejumlah perbedaan. Selain tersusun dari verba LOOK dengan partikel yang berbeda-beda, secara maknawi, ketiganya menunjukan karakteristik yang khas. Verba frasal look down pada data (3) memiliki makna ‘meremehkan’. Makna ini berhubungan dengan emosi. Verba frasal look back memiliki makna ‘mengingat’ yang erat kaitannya dengan aktifitas berpikir. Sementara itu, verba frasal look for pada data (5) memiliki makna ‘mencari’. Makna tersebut lebih merupakan aktifitas fisik untuk menemukan seseorang atau sesuatu. Secara konstruksi, verba frasal look down dapat berada dalam konstruksi transitif maupun intransitif. Sementara itu, verba frasal look for hanya bisa berada dalam konstruksi transtif. Selain ketiga verba frasal tersebut, setidaknya masih terdapat 14 verba frasal lainnya yang merupakan kombinasi antara verba look dengan sejumlah partikel. Melihat keunikan ketiga verba frasal tersebut, akan cukup menarik jika kesemua verba frasal yang terdiri dari verba akar look dan kombinasi partikel
9
tersebut diteliti. Penelitian tersebut akan menggambarkan bagaimana mekanisme kognitif berperan dalam perkembangan makna atau polisemi. Selain sebagai verba tunggal dan verba frasal, verba LOOK juga banyak muncul dalam konstruksi idiomatis. Berikut adalah beberapa data dari kamus idiom NTC’S English Idioms Dictionary — yang selanjutnya disingkat menjadi NTC — yang menunjukan verba look dalam konstruksi idiomatis. (6)
Sally looks as if butter wouldn’t melt in her mouth. She can be so cruel. ‘Sally nampak sangat angkuh. Dia bisa saja sangat kasar.’
(7) Don’t even look cross-eyed at the boss this morning unless you want trouble. NTC ‘Jangan pernah melakukan hal yang bisa memprofokasi bos pagi ini kecuali kamu ingin dapat masalah.’ Kedua data tersebut menunjukan bagaimana konstruksi idiomatis dari verba LOOK. Dapat diamati jika makna idiom pada kedua data tersebut sangat tidak literal. Makna yang bersifat metaforis tersebut menunjukan hubungan perbandingan yang menarik untuk dikaji. Makna idiom tersebut masih termasuk ke dalam polisemi dari verba look. Tahapan yang penting untuk dilakukan dalam membedah polisemi verba LOOK adalah dengan menganalisis ciri semantis dari verba tersebut. Ciri semantis terkait dengan definisi dan kedinamisan dari verba LOOK. Tahapan ini menjadi dasar bagi pembahasan berikutnya karena ciri semantis verba LOOK akan berpengaruh pada konstruksi gramatikalnya. Konstruksi gramatikal verba LOOK menjadi tahapan analisis selanjutnya. Tahapan ini akan menunjukan bagaimana sifat semantis verba
10
LOOK akan berpengaruh pada valensi verba dan sifat-sifat dari argumennya dalam sebuah konstruksi gramatikal. Keterkaitan antara konstruksi dengan makna leksikal dibenarkan oleh Goldberg (1995: 32) dengan mengatakan, “In fact, many of the verb classes associated with the construction can be seen to give rise to slightly different interpretations.” Pada polisemi konstruksi, perbedaan makna sebuah kelas kata akan tampak dari perbedaan pola konstruksinya. Setelah ciri semantis dan konstruksi gramatikal verba LOOK telah mampu dikaidahkan, tahapan penelusuran makna verba LOOK dapat dilakukan. Pada tahapan ini makna verba LOOK terbagi dalam makna spasial dan makna perluasan. Pembahasan makna spasial ini merujuk pada teori polisemi terperinsip (principled polysemi) milik Tayler dan Evans (2001). Dalam teori ini, perbedaan makna dapat ditunjukan dengan perbedaan posisi antara argumen subjek dengan argumen objek pada ranah ruang atau spasial. Sementara itu, makna perluasan akan dapat ditelusuri dengan menggunakan uji polisemi. Pengujian ini mengikuti pendapat Cruse (1986) yang melihat perbedaan makna dapat dibuktikan dengan cara mengganti sebuah leksem atau kelas kata dengan leksem atau kelas kata yang memiliki makna yang sama. Pada pembahasan makna perluasan ini juga akan dijabarkan fitur-fitur semantis dari masing-masing makna perluasan. Makna perluasan juga meliputi makna verba LOOK dalam konstruksi idiomatis. Secara garis besar, makna dari verba LOOK dalam kosntruksi idiomatis akan dibahas dengan mengikuti teori metafora. Penjelasan tersebut akan menunjukan apakah sebuah idiom bersifat penuh (gelap) atau sebagian (transparan).
11
Tahapan paripurna dari pembahasan polisemi verba LOOK adalah merumuskan makna prototipe dan keterkaitan antra makna-makna verba LOOK dalam sebuah jejaring semantis (semantic network). Tahapan ini mengikuti pandangan polisemi terperinsip milik Tayler dan Evans (2001). Polisemi terperinsip menentukan beberapa kriteria untuk menentukan sebuah makna bisa dikatakan sebagai makna prototipe. Teori tersebut juga menjelaskan bagiamana merumuskan sebuah jejaring semantis yang menggambarkan pola perkembangan makna. Pada jejaring tersebut terdapat sejumlah kelompok makna yang memiliki fitur semantis yang sama. Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut pada makna-makna verba LOOK, pembahasan ini akan menunjukan bagaimana mekanisme kognitif bekerja dalam perkembangan makna dari verba LOOK. Terkait dengan penyediaan data, tesis ini menggunakan dua sumber data yakni kamus dan korpus. Kamus yang digunakan adalah Oxford Advanced Learner’s Dictionary sebagai sumber data utama. Data berupa idiom bersumber dari kamus idiom NTC’S English Idioms Dictionary. Data dari korpus diakses secara online melalui laman British National Corpus (BNC). Data dari korpus diperoleh dengan merujuk terlebih dahulu pada kamus.
12
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang diajukan sebelumnya, rumusan masalah pada penelelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ciri semantis Verba LOOK? 2. Bagaimana konstruksi gramatikal verba LOOK? 3. Bagaimana makna spasial dan makna perluasan verba LOOK? 4. Bagaimana makna prototipe dan jejaring semantis verba LOOK?
1.3 Tujuan Penelitian Dalam menanggapi rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini dinyatakan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan ciri semantis verba LOOK. 2. Mendeskripsikan konstruksi garamtikal verba LOOK. 3. Mendeskripsikan makna spasial dan makna perluasan verba LOOK. 4. Mendeskripsikan makna prototipe dan jejaring semantis verba LOOK.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan produk penelitian yang bisa bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan bisa mewarnai studi keilmuan linguistik, terutama di Indonesia. Linguistik kognitif yang mendasari penelitian ini adalah kajian yang relatif baru.
13
Belum banyak penelitian apalagi literatur terkait linguistik kognitif di Indonesia. Padahal, objek dan data kebahasaan sangat melimpah. Diharapkan teori yang dihadirkan dalam penelitian ini bisa digunakan sebagai ancangan bagi para peneliti untuk memulai studi kebahasaan di Indonesia dalam presepektif linguistik kognitif. Terkait polisemi — sebuah kajian yang pula belum terlalu mendapat tempat dalam prioritas penelitian linguistik — hasil penelitian ini semoga bisa mendorong studi terkait polisemi untuk lebih berkembang. Dalam tataran praktis, studi linguistik kognitif telah melegitimasi sejumlah kajian mengenai pemerolehan dan pengajaran bahasa. Ini karena linguistik memandang bahasa sebagai sesuatu yang
tidak otonom dan menempatkan
kemampuan berbahasa adalah sama dengan pengetahuan tentang bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, temuan-temuan dalam penelitian ini bisa memberikan kerangka berpikir dalam pengajaran bahasa, dalam hal ini bahasa Inggris. Mengenai polisemi, pembahasan objek tersebut dalam penelitian ini menghasilkan sebuah jejaring makna yang taksonomis. Hal ini akan sangat membantu pembelajar bahasa untuk bisa memahami tidak hanya kosakata tetapi juga tatabahasa secara komperhensif.
1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian ini didahuli oleh tinjauan pustaka terhadap penelitian ilmiah terdahulu yang terkait. Dari tinjauan tersebut, tercatat sejumlah penelitian yang mengilhami studi mengenai analisis linguistik kognitif polisemi verba LOOK. Pada 1981, Coleman dan Kay mengawali analisis linguistik kognitif pada leksem
14
berkategori verba dengan mengaplikasikan teori prototipe. Dalam penelitian tersebut, mereka mencoba menawarkan analisis relasi semantik yang berbeda dengan tradisi linguistik formal: cheklist theory. Dengan metode eksperimental, analisis ihwal LIE menempatkan elemen “kepalsuan” sebagai prototipe dari LIE. Penelitian ini penting untuk analsis LOOK terutama untuk memahami kerangka berpikir terkait makna uatama atau dasar dalam sudut pandang linguistik kognitif. Namun demikian, penelitian Coleman dan Kay belum mampu menunjukan polisemi LIE dalam jejaring semantik karena mangabaikan prediksi perluasan makna LIE. Analisis polisemi dengan menggunakan pendekatan semantik prototipe selanjutnya dilakukan juga oleh Raukko (1994) dalam menganalisis polisemi verba GET. Metode yang digunakan adalah tes eksperimen dan dilanjutkan dengan analisis struktur dalam konstruksi GET. Raukko mendapati GET terbagi dalam enam kelompok makna yang terbagi lagi menjadi sejumlah makna. Perluasan tersebut selain disebabkan oleh proses metaforis dan idiomisasi juga karena adanya pengaruh struktur GET yang sangat kaya — get merupakan verba yang sangat penting dalam bahasa Inggris. Penelitian ini cukup mengilhami analisis polisemi LOOK karena membahas polisemi verba serta mengkaitkannya dengan struktur argumen dari verba. Hal yang masih luput dari penelitian ini adalah relasi makna dari masing-masing makna GET serta analisis leksikal yang belum banyak tersentuh. Pembahasan ihwal polisemi yang menitik beratkan pada struktur dilakukan juga oleh Goldberg (1995) dengan objek berupa konstruksi dwitransitif (ditransitive) pada bahasa Inggris. Dengan metode introspektif, penemu tatabahasa konstruksi
15
tersebut menemukan jika konstruksi dwitransitif memiliki enam makna. Relasi makna di mana agen berhasil menyebabkan recipient menjadi penderita adalah makna utama. Ia juga menyebutkan sejumlah verba yang memiliki kemampuan membentuk keenam relasi makna tersebut. Akantetapi, ia tidak secara spesifik menjelaskan bagaimana verba tertentu mampu membentuk relasi makna tertentu. Penelitian Goldberg ini sangat berperan dalam membedah polisemi LOOK terutama untuk menunjukan makna konstruksi. Polisemi dwitransitif kemudian mengilhami Gisborne (2010) untuk meneliti polisemi yang terkait dengan konstruksi. Melalui analisis tatabahasa dipendensi atau word grammar (WG), ia menemukan bahwa verba SEE memiliki 15 makna perluasan. Beberapa makna perluasan disebabkan oleh konstruksi dwitransitif. Perluasan makna lainnya bisa ditunjukan melalui teori inheritance yang terdapat dalam model WG. Akantetapi, penelitian tersebut belum menyentuh pembahasan mengenai perluasan makna yang bersifat idiomatis dan metaforis. Dalam penjelasnnya, Gisborne juga mengemukakan relasi makna sinonimi SEE dengan LOOK. Untuk itu, penelitian polisemi SEE ini menjadi model dalam mengenalisis polisemi verba LOOK dengan WG-nya tentu dengan melakukan sejumlah pengembangan. Penelitian polisemi kemudian juga mulai mengembangkan model pendekatan polisemi terperinsip yang dipelopori oleh Tayler dan Evans (2001) dalam menganalisis polisemi preposisi OVER. Studi yang menekankan relasi landmark dan tranjector dalam konsep ruang tersebut merumuskan preposisi OVER terdiri dari 14 makna dengan makna utama “atas”. Penelitian berjudul “Reconsidering Prepositional
16
Polysemy Networks: The case of over” tersebut pula menggambarkan relasi dan perluasan makna OVER dalam sebuah jejaring semantik. Apa yang telah dipaparkan oleh Tayler dan Evans dalam membahas polisemi OVER sangat menjadi perhatian dalam mengenalisis polisemi LOOK. Ini karena LOOK juga terkait dengan makna ruang atau skena spasial (spatial scene). Selain itu, penggambaran relasi makna dalam jejaring semantik juga menarik untuk dilakukan pada polisemi verba LOOK. Hal yang belum dijelaskan oleh Tayler dan Evans adalah struktur gramatikal dari masing-masing konstruksi bentukan OVER serta motivasi yang menyebabkan polisemi tersebut. Namun demikian, studi polisemi dalam pendekatan polisemi terperinsip bisa dianggap paling sering dilakukan. Kamakura (2001) mengerjakan disertasi dengan membahas polisemi preposisi over, into, dan through. Yang menarik dari penelitian ini adalah penjelaskan ihwal relasi gramantikal dan konteks dalam kalimat yang dapat membentuk makna dari preposisi. Selanjutnya, Kang (2012) juga menulis disertasi mengenai skena konseptual dan polisemi terperinsip dengan judul “Cognitive Linguistics Approach to Semantics of Spatial Relations in Korean”. Kang cukup melakukan terobosan dengan menganalisis bentuk sufik penanda konseptual dalam bahasa Korea. Ini menarik karena analsis dalam penelitian ini mencoba menguak bagaimana pembentukan kata jadian berkategori nomina dan verba spasial dari proses afiksasi. Di tahun yang sama, Skallaman menulis tesis dengan pendekatan polisemi terperinsip guna membahas pengaruh antara sinonimi dan polisemi dalam verba arrojar, echar, lanzar, dan tirar. Studi ini mampu menggambarkan konsep sinonimi dan polisemi yang memang saling terkait sehingga menjadi jelas
17
batasannya. Untuk itu, apa yang telah dibahas Kamakura, Kang, dan Skallaman menjadi alternatif yang memperkaya sudut pandang dalam menganalisis polisemi verba LOOK. Di Indonesia, tercatat baru dua penelitian linguistik kognitif khususnya terkait pembahasan polisemi yakni tesis S2 milik Wijaya pada 2011 dan Pasaribu di tahun yang sama.Wijaya membahas polisemi leksem HEAD dengan pendekatan polisemi terperinsip dan metode korpus. Penelitian berjudul “Polisemi Pada Leksem Head: Tinjauan Linguistik Kognitif “ ini menarik karena membahas motifasi munculnya polisemi leksem HEAD. Selain itu, Wijaya juga berjasa dalam memperkenalkan sejumlah istilah linguistik kognitif dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, ia belum menyentuh aspek struktur gramatikal yang timbul dalam konstruksi leksem HEAD. Kekurangan tersebut disempurnakan oleh Pasaribu dalam menganalisis polisemi leksem CUT. Dalam tesisnya, mahasiswa S2 linguistik UGM ini selain mengaplikasikan pendekatan polisemi terperinsip juga membahas struktur gramatikal leksem CUT. Ia juga merumuskan perluasan makna leksem CUT dalam sebuah jejaring semantik. Tesis yang berjudul “Analisis Linguistik Kognitif pada Polisemi Leksem CUT” tersebut cukup memberikan inspirasi bagi penelitian polisemi verba LOOK dalam penentuan metode analsis dan perumusan jejaring semantik. Sejauh ini, pelacakan yang dilakukan pada penelitian terdahulu menunjukan jika polisemi verba LOOK belum pernah diteliti. Untuk itu, penelitian dalam tesis ini merupakan sesuatu yang baru baik dalam hal objek penelitian maupun teori yang
18
digunakan. Penelitian terdahulu seputar polisemi dalam prespektif linguistik kognitif bisa lebih jelas diamati dari tabel berikut ini. Peneliti
Tahun
Obyek
Coleman & Kay
1981
Lie (Inggris)
Verba
Semantik prototipe
Raukko
1994
Get (Inggris) Pitiiii (Finns)
Verba
Semantik prototipe
Goldberg
1995
dwitrans itif (Inggris) Over (Inggris)
Konstruksi
konstruksi (construction grammar) Polisemi terperinsip
Tyler Evans
& 2001
Bentuk
Preposisi
Pendekatan
Kamakura
2001
over, into, through (Inggris)
Preposisi
Polisemi terperinsip
Gisborne
2010
See (Inggris)
Verba
Wijaya
2011
Head (Inggris)
Nomina
konstruksi (word grammar) Polisemi terperinsip
Pasaribu
2011
Cut (Inggris)
Verba
Polisemi terperinsip
Kang
2012
–ey, –eyse, –ulo (Korea)
Sufik
Polisemi terperinsip
Skallaman
2012
arrojar, echar, lanzar, tirar
Verba
Polisemi Terperinsip
(Norwegia n)
Temuan Makna prototipe LIE adalah yang memenuhi: falsity, intent to speak falsely, dan intent to deceive. Elemen falsity merupakan elemen terpenting LIE. Secara garis besar GET terdiri atas “obtaining”, “receiving”, “carrying”, “ability”, “reaching a stage”, dan “obligation” yang terbagi atas makna idiomatik, konkrit, abstrak, dst. Konstruksi dwitransitif minimal memiliki enam makna perluasan yang dibaedakan atas relasi argumen dengan verbanya. Preposisi OVER memiliki makna dasar ‘atas’ dan diikuti 14 makna lainnya yang saling terkait. Preposisi over, into dan through memiliki kesamaan ketika trajector dan landmark dikombinasikan di mana trajector manusia, objek konkrit dan abstrak menentukan pemaknaan preposisi tersebut. Makna dasar SEE adalah physical perception sense dengan dua subleksem dan SEE terdiri dari 15 makna. Leksem HEAD memiliki 13 makna perluasan yang muncul dari interaksi metafora, metonimi, dan makna konstruksional. Leksem CUT terdiri atas 12 makna perluasan di mana makna idiomatis berupa konstruksi transparan dan gelap. Penanda spasial –ey -eyse, -ulo memiliki satu makna sentral. Konstruksi penanda dan nomina spasial mengkombinasikan elemen geometri dan/atau tipologi sementara penanda dan verba spasial mengkombinasikan cara, direktif, atau path relations. Verba arrojar, echar, lanzar, tirar merupakan sinonimi memiliki konsep utama: polisemi “melempar” dengan sejumlah makna perluasan lainnya.
Tabel 1. Penelitian Terdahulu terkait Polisemi dalam Linguistik Kognitif
19
1.6 Landasan Teori 1.6.1
Linguistik Kognitif Linguistik kognitif merupakan kajian yang relatif baru. Kajian yang muncul
pada akhir 1970-an dan mulai berkembang pada tahun 1980-an ini mencoba keluar dari dominasi pendekatan formal dalam studi kebahasaan saat itu. Beberapa tokoh yang dianggap membidani lahirnya linguistik kognitif adalah Gilles Fauconner, Charles Fillmore, George Lakoff, Eleanor Rosch, Leonard Talmy, dan Ronald Langacker. Lahirnya lingustik kognitif dipengaruhi oleh berkembangnya kajian kognisi – mengenai memori, persepsi, atensi, dan kategorisasi - saat itu khususnya psikologi kognitif. Linguistik kognitif berfokus pada studi mengenai hubungan antara bahasa (language), minda (mind), dan pengalaman sosio-fisik (socio-physical experience). Hubungan antara ketiganya menurut Geeraerts dan Cuyckens (2007: 3) adalah bahwa struktur formal bahasa dipelajari tidak secara otonom (autonomous), melainkan sebuah refleksi atas pengorganisasian konseptual umum (general conceptual organization) melalui proses kategorisasi (categorization principles) dan mekanisme pemrosesan (processing mechanisms) serta pengaruh pengalaman dan lingkungan (experiential and environmental influences). Dalam proses tersebutlah kemudian batasan makna dan bahasa menjadi berbeda dalam sudut pandang linguistik kognitif sebagaimana ditunjukan dalam kutipan berikut: Meaning is not a thing; it involves what is meaningful to us. Nothing is meaningful in itself. Meaningfulness derives from the experience of functioning as a being of a certain sort in an environment of a certain. sort. Basic-level concepts are meaningful to us because they are characterized by the way we perceive the overall shape of things in
20
terms of part-whole structure and by the way we interact with things with our bodies . Image schemas are meaningful to us because they too structure our perceptions and bodily movements, though in a much less detailed way. Natural metaphorical concepts are meaningful because they are based on (a) directly meaningful concepts and (b) correlations in our experience. And superordinate and subordinate concepts are meaningful because they are grounded in basic-level concepts and extended on the basis of such things as function and purpose. (Lakoff, 1987: 292) Hubungan antara bahasa, minda, dan pengalaman dalam pembentukan makna kemudian memunculkan sejumlah hipotesis dalam linguistik kognitif. Tiga hipotesis utama yang menjadi panduan dalam linguistik kognitif adalah: (i) bahasa bukan merupakan kognisi yang otonom, (ii) tatabahasa adalah konseptualisasi, dan (iii) pengetahuan mengenai bahasa timbul dari penggunaan bahasa (Croft dan Cruse, 2004: 1—4). Ketiga hipotesis tersebut ditentukan oleh aspek penting dari linguistik kognitif yaitu prinsip pengejawantahan (embodiment) atau juga dikenal sebagai asas kognisi terejawantahkan (embodied cognition) (Evans & Green, 2006:44—48). Asas tersebut menekankan bahwa realitas tidaklah objektif akan tetapi terejawantahkan dalam pengalaman badaniah (embodied experience). Pengalaman badaniah itu kemudian ditangkap oleh kognisi dalam bentuk konsep-konsep. Bahasa berbasis pada konsep tersebut (Lakoff, 1990: 206). Artinya, bahasa merefleksikan struktur konseptual atas pengalaman badaniah. Hipotesis dan asas dalam linguistik kognitif tersebut menimbulkan sejumlah konsekuensi terhadap teori kebahasaan. Linguistik kognitif sendiri pada dasarnya tidak berangkat dari teori tunggal yang spesifik. Kajian ini lebih sebagai pendekatan yang dikembangkan dari sejumlah komitmen dan prinsip panduan. Hudson (2010:
21
108) mengatakan, “cognitive linguistics is a ‘movement’ rather than a ‘theory’ because it’s united only by a few very general assumptions, including the assumption that language is part of general cognition, and not a distinct module.” Lakoff (1990 dalam Evans, Bergan, & Zinken, 2007: 4) menjelaskan bahwa linguistik kognitif memiliki sejumlah komitmen kunci. Evans & Green (2006:27—48) membagi komitmen tersebut menjadi komitmen generalisasi (Generalisation Commitment) dan komitmen kognitif (Cognitive Commitment). Keduanya menjadi penentu teori dan model analisis dalam presepektif linguistik kognitif. Komitmen generalisasi didasarkan pada asumsi bahwa bahasa merefleksikan mekanisme dan proses kognitif secara umum. Komitmen tersebut merumuskan karakter atas prinsip yang berlaku pada seluruh aspek bahasa. Untuk itu, menurut Evans (2007: 88), komitmen generalisasi mendorong linguistik kognitif untuk mengkaji prinsip-prinsip pengorganisasian umum (general organising principles) yang terjadi pada sistem bahasa yang berbeda (fonologi, sintaksis, semantik, dan sebagainya). Evans & Green (2006:28—39) menyebut prinsip pengorganisasian umum tersebut meliputi mekanisme konseptual seperti (i) kategorisasi: misalnya konstruksi diminuitif (morfologi), kelas gramatikal (sintaksis), fitur pembeda (fonologi), (ii) polisemi yang muncul pada struktur leksikon, morfologis, dan sintaksis, dan (iii) metafora yang muncul pada tataran leksikon dan sintaksis termasuk mekanisme konseptual seperti metafora,
pemaduan konseptual, dan fenomena
polisemi. Komitmen ini sekaligus mencoba keluar dari pandangan linguistik formal yang cenderung memisahkan kajian linguistik berdasarkan aspek cakupannya, seperti
22
fonologi (bunyi) terpisah dengan morfologi (struktur kata) dalam model analisisnya dan seterusnya. Komitmen kognitif — sebagai definisi dari linguistik kognitif itu sendiri – juga menolak pendekatan modular (modular approach) pada bahasa dan minda dalam linguistik formal. Komitmen kognitif merepresentasikan pandangan bahwa prinsipprinsip struktur linguistik harus merefleksikan kognisi manusia dari disiplin ilmu lainnya, khususnya ilmu sains kognitif (filsafat, psikologi, artificial intelligence, dan neuroscience) (Evans, 2007: 19). Dengan kata lain, komitemn kognitif melihat bahasa dan pengorganisasian linguistik harus mencerminkan prinsip kognitif umum dari prinsip kognitif spesifik menjadi milik bahasa. Lakoff (1990 dalam Evans, Bergan, & Zinken, 2007: 4) menjelaskan bahwa komitmen kognitif menjadikan linguistik kognitif menjadi kognitif dan pendekatan dalam kajian ini menjadi interdisipliner. Penelitian ini dilakukan dalam naungan sejumlah komitmen dan prinsip dalam Linguistik Kognitif yang ada.
1.6.2
Semantik Kognitif Dari dua komitmen di atas, konsekuensi yang muncul adalah bahwa terdapat
dua wilayah kajian dalam linguistik kognitif yakni semantik kognitif (cognitive semantic) dan tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif (cognitive approaches to grammar) (Evans & Green, 2006: 48). Pada hakikatnya, semua unsur kajian dan teori dari linguistik kognitif, baik semantik maupun tatabahasa kognitif, saling melengkapi dan terkait sehingga semantik dan tatabahasa kognitif dipandang sebagai dua sisi atas
23
mata uang yang sama. Ini karena dalam kajian linguistik kognitif, semantik kognitif dan tatabahasanya tidak dipisahkan sebagaimana dipostulatkan dalam komitmen generalisasi, pemisahan keduanya dilakukan lebih karena pertimbangan praksis dalam penelitian. Cabang pertama linguistik kognitif yakni semantik kognitif lahir sebagai reaksi atas pandangan objektivis dalam tradisi pemikiran Amerika yang mengembangkan teori semantik berbasis realitas (truth-conditional semantics). Seorang linguis kognitif, Eve Sweetser menjelaskan jika pendekatan semantik kaum objektivis memandang makna sebagai hubungan antara kata dengan kata dan mengeliminasi pengorganisasian kognitif dalam sistem linguistik (Sweester, 1990: 4, dalam Evans & Green, 2006: 4). Semantik kognitif mengkritisinya dengan mengajukan alternatif dengan mendefinisikan makna sebagai manifestasi struktur konseptual. Talmy (2000: 4) menggambarkan bahwa penelitian dalam semantik kognitif mencoba menyibak kadar konseptual dan pengorganisasiannya dalam bahasa. Sebagaimana karakteristik linguistik kognitif, semantik kognitif juga dilandasi oleh sejumlah prinsip yakni: (i) struktur konseptual bersifat terejawantahkan (conceptual structure is embodied), (ii) struktur semantik adalah struktur konseptual (semantic structure is conceptual structure), (iii) representasi makna bersifat ensiklopedis (meaning representation is encyclopaedic), (iv) konstruksi makna adalah konseptualisasi (meaning construction is conceptualisation) (Evans & Green, 2006: 157—163). Dari empat prinsip tersebut, semantik kogitif berkembang ke
24
sejumlah teori analisis. Beberapa teori dalam semantik kognitif adalah (i) Teori Pembauran (Blending Theory), (ii) Teori Metafora Konseptual (Conceptual Metaphor Theory), (iii) Teori Semantik Rangka (Frame Semantics), (iv) Teori Ruang Mental dan Pemaduan Konseptual (Mental Spaces and Conceptual Blending Theory), (v) Teori Lexical Semantics and Cognitive Model (LCCM), (vi) Teori Skema-Gambaran (Image-Schema Theory), dan (vii) Teori Metafora dan Metonimi Konseptual.
1.6.3
Kajian Tatabahasa Kognitif Cabang berikutnya yakni kajian tatabahasa melalui pendekatan kognitif
pertama kali dikembangkan oleh Leonard W. Langacker pada tahun 1976 dengan nama tatabahasa spasial (Space Grammar) yang kemudian dikenal sebagai tatabahasa kognitif (Cognitive Grammar). Sebagai salah satu cabang dari linguistik kognitif, kajian tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif sejalan dengan komitmen-komitmen dalam linguistik kognitif. Langacker (2008: 4—5) mengatakan, “(tatabahasa) tidak hanya memiliki makna, tetapi juga merefleksikan pengalaman mendasar kita dalam bergerak, merasakan, dan bertindak di dunia. Makna dalam tatabahasa yang utama adalah tindakan mental yang inheren dalam komponen pengalaman (moment-tomoment living). Penjelasan tersebut menempatkan tujuan dari kajian tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif sejalan dengan komitmen kognitif.
Kepatuhan
terhadap komitmen generalisasi nampak dari pendapat Bergen (2007: 441) yang mengatakan bahwa kajian tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif menunjadikan seluruh kombinasi dalam pengetahuan linguistik sebagai substansi dari tatabahasa.
25
Kajian tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif pula dilandasi oleh prinsip pemandu seperti asas simbolik (symbolic thesis) dan asas berbasis penggunaan (usage-based thesis). Hal itu bisa disimpulkan dari pendapat Langacker (2008: 5), “The basic tenet of CG (Cognitif Grammar) is that nothing beyond symbolic structures need be invoked for the proper characterization of complex expressions and the patterns they instantiate.” Selanjutnya, Langacker (2008: 220) juga mengatakan bahwa peristiwa pemakaian (usage events) bahasa adalah sumber dari semua unit linguistik. Secara umum, tujuan dari kajian tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif adalah untuk merumuskan serangkaian acuan yang pasti ihwal struktur kebahasaan berdasarkan komitmen dan asas linguistik kognitif. Pencabangan kajian tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif sangatlah beragam. Pertama, Penataan Sistem Konseptual (Conceptual Structuring Systems) milik Talmy. Kedua, Pendekatan berbasis Khasanah (Inventory-based approach) yang terbagi menjadi: (i) Tatabahasa Kognitif (Cognitive Grammar) milik Langacker, (ii) Tatabahasa Konstruksi (Construction Grammar) versi Fillmore dan Kay, juga Goldberg, (iii) Tatabahasa Konstruksi Radikal (Radical Construction Grammar) oleh Croft, (vi) Tatabahasa Konstruksi Terejawantahkan (Embodied Construction Grammar) oleh Bergen dkk., dan (v) Tatabahasa Dependensi (Word Grammar) pleh Hudson serta Gisborne (Evans & Green, 2006:483). Setelah Langacker mengembangkan tatabahasa kognitif, muncul sejumlah teori tatabahasa lainnya dalam tradisi linguistik kognitif. Salah satu model kajian tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif tersebut adalah tatabahasa konstruksi
26
(Construction Grammar) milik Charler Fillmore dan Paul Kay, Adle Goldberg, serta William Croft. Croft dan Cruse (2004: 263) menjelaskan jika sebuah konstruksi semestinya menempatkan representasi dari aspek-aspek kebahasaan dalam sebuah jejaring yang independen jika menginginkan sebuah penjelasan utuh atas konstruksi bahasa. Tugas dari tatabahasa konstruksi adalah untuk mengkaji hakikat hubungan yang menyeluruh antara semantik dan sintaksis dan menunjukan seberapa dekat kedua sistem tersebut (Gisborne, 2010: 63—65). Kedua sistem tersebut berada pada pembahasan relasi argumen (argument linking). Relasi argumen mengklaim bahwa satu jenis verba berkombinasi dengan dipendensi tertentu yang relevan — semisal verba transitif dengan subjek dengan objek langsung. Relasi argumen dimaknai sebagai relasi antara dipendensi sintaksis sebuah kata dengan bagaimana relasi tersebut direpresentasikan secara semantik (Hudson, 1990: 132). Secara lebih spesifik, relasi argumen menurut Holmes (2005, dalam Gisborne, 2010: 56) memiliki dua jenis pendekatan: relasi argumen dapat berbasis peran semantik (semantic role-based) atau berbasis kelas verba (verb classbased). Pada relasi argumen dalam pendekatan berbasis peran semantik, ketentuan lingking ditunjukkan dalam hubungan berdasarkan peran semantiknya (seperti dalam istilah agentif, kausatif, pasien, dst.) terhadap argumen sintaksisnya (subjek, objek, dst.). Penelitian ini menggunakan prinsip kajian tatabahasa (melalui pendekatan) kognitif terutama tatabahasa konstruksi yang menekankan penjelasan pada relasi argumen, klasifikasi verba, dan peran semantis.
27
1.6.4
Klasifikasi Verba dan Peran Semantis Relasi argumen — yang menjadi inti dari tatabahasa konstruksi — terkait
dengan klasifikasi verba dan peran semantis. Verba sendiri adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat (Kridalaksana, 2008: 254). Secara garis besar, Chafe (1970: 95—104) membedakan verba menjadi tiga macam yakni verba keadaan (state verb), verba proses (process verb), dan verba aksi (action verb). Verba keadaan adalah verba yang menyatakan keadaan nominanya. Verba proses adalah verba yang menerangkan suatu proses perubahan yang dialami oleh nominanya. Verba aksi adalah verba menerangkan hal yang dilakukan oleh nominanya. Jenis verba tersebut kemudian diturunkan ke sejumlah jenis verba lainnya. Beberapa jenis verba turunan tersebut adalah verba aksi-proses (action-process verb) dan verba pengalam (experiential verb). Verba aksi-proses adalah verba yang menerangkan hal yang dilakukan nomina (subjek) sekaligus menghendaki kehadiran nomina lain sebagai objek. Sementara itu, verba pengalam adalah verba yang menerangkan hal yang dialami oleh nominanya. Peran semantis dari nomina yang menjadi argumen dari verba-verba tersebut adalah sebagai agen dan pasien terkecuali verba pengalam yang menjadikan argumennya sebagai pengalam dan stimulus. Secara lebih spesifik, Jackendoff 1976 (dalam Van Vallin 2005: 53) membedakan peran semantis dari argumen sesuai dengan sifat dari verbanya. Ia menggambarkan hubungan antara jenis verba dan peran semantik sebagai hubungan generalisasi sebagaimana ditunjukan gambar berikut.
28
Gambar 1. Hubungan Peran Semantis dan Jenis Verba Gambar tersebut menunjukan bahwa verba tertentu dan dari jenis verba tertentu menentukan peran semantis dari argumennya. Secara garis besar, peran semantis dari nomina dibedakan menjadi aktor (actor) dan undergoer. Peran aktor terbagi dalam peran semantis agen, pengalam, dan penerima. Peran pengalam terbagi ke dalam peran semantis cognizer, perceiver, dan emoter. Sementara itu, peran undergoer terbagi ke dalam peran semantis pengalam, penerima, stimulus, theme, dan pasien. Penjelasan terkait klasifikasi verba dari Chafe (1970) dan peran semantis dari Jackendoff (1976) akan dikombinasikan dan menjadi patokan dari analisis polisemi verba LOOK.
29
1.6.5
Polisemi Polisemi merupakan salah satu kajian dalam cabang linguistik kognitif:
semantik kognitif. Kata polisemi berasal dari bahasa Yunani ‘pulosemous’ yang merupakan gabungan dari leksem poly yang berarti ‘banyak’ dan sema yang berarti “tanda”. Artinya, polisemi adalah satu leksem yang memiliki variasi makna yang saling terkait. Terkait dengan disiplin ilmu linguistik, istilah polisemi pertama diperkenalkan oleh Breal pada tahun 1897 sebagai kajian mengenai perubahan makna. Polisemi kala itu dianggap sebagai pendorong utama dalam kajian semantik (Lewandowska-tomaszczyk, 2007: 139).
Stephen Ulman mengatakan bahwa
polisemi adalah “poros dari analisis semantik” (1977: 117). Pada abad ke-20, kajian polisemi tak pernah sepi dari kajian teori-teori linguistik yang berkembang. Dari teori struktural, transformasi-generatif, hingga kognitif, semuanya berusaha menjelaskan polisemi ke dalam formulasi yang memuaskan. Namun demikian, polisemi masih belum menemukan penjelasan
yang tetap. Wierzbicka (1985: 11, dalam
Lewandowska-tomaszczyk, 2007: 140) mengatakan, ‘‘It goes without saying that polysemy must never be postulated lightly, and that it has always to be justified on language-internal grounds; but to reject polysemy in a dogmatic and a priori fashion is just as foolish as to postulate it without justification.’’ Polisemi masih sulit untuk dipostulatkan dalam dalil yang tak terbantahkan. Dalam linguistik kognitif, studi polisemi ditempatkan dengan sejumlah obyek kajian lainnya dalam kajian semantik leksikal kognitif (Cognitive Lexical Semantics). Lingustik kognitif memandang polisemi tidak bisa direduksi sebagai makna kata atau
30
relasi makna semata tetapi sebagai fitur fundamental atas bahasa. Polisemi adalah kunci genaeralisasi terhadap fenomena kebahasaan yang berbeda-beda — menunjukan ciri umum yang fundamental antara fenomena leksikal, morfologikal, dan pengorganisasian sintaksis (Evans, 2007: 163). Definisi polisemi dalam linguistik kognitif menurut Evans (2009: 150) adalah fenomena dimana vehicle — wujud konseptual yang memiliki akses terhadap target (leksem) — diasosiasikan dengan dua atau lebih konsep leksikal yang saling terkait secara semantis. Secara lebih spesifik, Lakoff (2007: 250) mendefinisikan polisemi sebagai obyek leksikal yang muncul dari kerangka kognitif yang berbeda. Kemudian Croft dan Cruse (2004: 111) menyebut makna-makna polisemis terperinci (listed) dalam haluan utama yang tunggal (single main heading) dan itu disebut sebagai ‘makna-makna yang berbeda dari kata yang sama’. Seluruh ahli tersebut sama-sama mengaitkan polisemi dengan homonimi yang memiliki kemiripan dalam sejumlah aspek namun memiliki perbedaan yang prinsipil. Perbedaan antara polisemi dan homonimi secara tradisional dengan membedakannya dalam pembahasan diakronis versus sinkronis. Dengan cara tersebut, kehomoniman dibuktikan dengan sumber leksikal yang berbeda (dalam kamus) dan terjadi karena proses perubahan bahasa atau peminjaman (brrowing). Sebaliknya, kepolisemian muncul dari leksem yang sama kemudain berkembang pemaknaannya. Menurut Wijana (2010: 164—165), polisemi muncul sebagai akibat dari: (i) pergeseran pemakaian (shift in application), (ii) spesialisasi di dalam lingkungan sosial (specialization in social milliew), (iii) bahasa figuratif (figuratif language), (vi) penafsiran kembali pasangan berhomonim (homonymreinterpreted),
31
dan (v) pengaruh bahasa asing (foreign influence). Dalam sudut pandang linguistik kognitif,
faktor-faktor
tersebut
terkait
dengan
(adalah)
pengalaman
yang
dikategorisasi oleh kognisi kemudian mawujud dalam bentuk kebahasaan yang sama. Linguistik kognitif, melalui cabangnya semantik kognitif, selanjutnya mengembangkan sejumlah model pendekatan untuk mengkaji kepolisemian. Pendekatan pertama dikembangkan dari teori dalam tatabahasa kognitif mengenai relasi antara trajector (TR) dan landmark (LM). Beberapa pendekatan tersebut adalah Full-Specifi Cation Approach yang dikembangkan oleh Lakoff mulai tahun 1987. Berikutnya adalah pendekatan Partial Approach dirumuskan oleh Kreitzer pada tahun 1997. Terakhir, dengan mengembangkan pendekatan sebelumnya, Vyvyan Evans merumuskan Principled Polysemy sebagai model analisis polisemi. Dalam pendekatan ini, polisemi akan terbagi maknanya ke dalam makna utama — disebut juga makna prototipe — dan makna perluasan yang terhubung dalam sebuah jejaring makna. (periksa Evans, Bergen, & Zinken, 2007: 189-199). Contoh model analisis polisemi dari pendekatan di atas ditunjukan dengan polisemi “over” dalam kalimat “The cat jumped over the wall”. Terdapat sejumlah kemungkinan mengenai TR The cat dan LM the wall sebagaimana digambarkan dalam skema di bawah ini.
Gambar 2. Perluasan Makna dalam Polisemi Terperinsip
32
Bagan tersebut menunjukan bahwa preposisi “over” memiliki sejumlah makna. Kemungkinan The cat jumped over the wall dari (a) sampai (d) terkait dengan apa yang menjadi TR dan LM dalam sebuah konstruksi. Dari keempat kemungkinan makna tersebut akan bisa ditelisik mana makna prototipe dan makna perluasannya dalam sebuah jejaring semantik. Berikut adalah gambar yang menunjukan keterkaitan makna dari OVER.
Gambar 3. Jejaring Semantis Preposisi OVER Pendekatan dalam analisis polisemi berikutnya dikembangkan dalam naungan Tatabahasa Konstruksi. Dalam pendekatan yang ditawarkan Croft dan Cruse (2004: 109) ini, analisis polisemi dimaknai sebagai sebuah persoalan pengisolasian bagian yang berbeda atas makna penuh (total meaning) yang potensial terhadap kata dalam
33
kondisi (circumstances) yang berbeda. Proses pengisolasian bagian (portion) atas makna yang potensial tersebut ditunjukan melalui perumusan sebuah batasan makna (sense boundary) yang memagari sejumlah makna. Dalam polisemi konstruksi, tahapan-tahapan dalam merumuskan batasan makna mesti dilengkapi dengan penjelasan makna terkait dengan struktur semantik dan sintaksis. Secara umum, penjelasan perihal polisemi terdapat dalam teori pewarisan (Inheritance). Gisborne (2010: 14) mengatakan bahwa pembahasan mengenai polisemi melalui model inheritance mencakup dua hal yakni (i) bagaimana mengeksploitasi bukti kebahasaan untuk memutuskan makna sebuah leksem dan bagaimana makna-makna tersebut berinteraksi dengan argumen-argumen dari leksem tersebut, (ii) bagaimana memperagakan polisemi dengan menggunakan teori mengenai struktur leksikon. Ia lantas menunjukan sejumlah kalimat yang di dalamnya mengandung polisemi SEE sebagai berikut: (8) Jane saw Peter. ‘Jane melihat Peter.’ (9) Jane saw Peter cross the road. ‘Jane melihat Peter menyeberang jalan.’ (10) Jane saw that Peter was crossing the road. ‘Jane mengetahui jika Peter sedang menyeberang jalan.’ (11) Jane saw that Peter had crossed the road. ‘Jane tahu jika Peter telah menyebarangi jalan.’ (12) Jane saw what Peter meant. ‘Jane paham apa yang Peter maksud.’
34
Verba SEE pada (11) dan (12) tergolong dalam makna persepsi fisik dasar sedangkan (13), mungkin (14), (15) termasuk dalam makna kognitif (memahami). Contoh (14) belum bisa sepenuhnya dikatakan memiliki makna kognitif (memahami) karena memiliki konstruksi dwitransitif. Konstruksi ditransitif (THAT clause) dalam pandangan Gisborne (2010: 122) memiliki makna yang berbeda dimana argumen pertama bermakna ‘memahami’ tetapi argumen kedua tidak demikian. Temuan inilah yang memperkuat pandangan bahwa konstruksi berpengaruh atau dipengaruhi makna yang berbeda. Gisborne (2010: 125) menegaskan bahwa pola komplemen dari verba — berupa aturan semantis dan pola sintaksisnya — adalah pembuktian terhadap polisemi. Selain contoh di atas, SEE juga bisa bermakna idiomatis seperti pada “I’ll be seeing you” yang secara konvensional merupakan idiom dalam bahasa Inggris (Alm-Arvius, 2003: 143). Pendekatan ini juga tidak kemudian menafikan sejumlah model pengetesan polisemi yang telah dikembangkan sebelumnya. Model pengetesan tersebut adalah tes sinonimi (Synonym Test) oleh Cruse (1986),
tes kelogisan
(Logical Test) oleh Quine (1960), tes ambiguitas (Linguistic Ambiguity Test) oleh Zwicky dan Sadock (1975), dan tes pendifinisian (Definitional Test) oleh Katz and Fodor (1963) (Lewandowska-tomaszczyk, 2007: 141-144). Dalam menganalisis polisemi verba LOOK, penelitian ini menggunakan teori polisemi terperinsip, polisemi dalam pandangan konstruksi, dan melibatkan tes sinonimi.
35
1.7 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif-kualitatif. Tahapan dalam penelitian ini meliputi tahap pengumpulan data, penganalisisan data, dan penyajian data. Data yang digunakan bersumber dari kamus dan korpus. Kamus digunakan sebagai sumber data utama karena memberikan data yang sisitematis. Data dari kamus yang telah dikelompokan kemudian ditambah dengan data dari korpus elektronik berdasarkan karakteristik pada data dari kamus. Sumber data korpus elektronik digunakan karena mampu menyediakan data yang melimpah.
1.7.1
Sumber Data Sumber data utama dari penelitian ini adalah Oxford Advanced Learner’s
Dictionary edisi keempat. Sumber data ini menyediakan data sekaligus definisi dari verba LOOK dan konstruksi verba frasal dari verba LOOK. Sumber data kedua penelitian ini adalah korpus elektronik bahasa Inggris yang terdapat pada laman British National Corpus (BNC) dengan alamat http://www.natcorp.ox.ac.uk. Laman yang dekolola oleh Oxford University Press dengan bekerjasama dengan sejumlah lembaga penelitian ini pertama dibuka kepada publik pada tahaun 1994. BNC berisikan sekitar 100 juta kata yang terdiri dari 90% teks tertulis dan 10% lainnya berupa transkrip ortografis dari teks verbal. Sumber data ketiga penelitian ini adalah kamus idiom NTC’S English Idioms Dictionary. Kamus ini menyediakan data berupa verba LOOK dalam konstruksi idiomatis.
36
1.7.2
Metode Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik pustaka dengan sumber
data adalah teks yang didalamnya mengandung verba LOOK. Data dari Oxford Advanced Learner’s Dictionary menjadi variabel yang digunakan untuk melakukan pengumpulan data dari sumber BNC. Tahapan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menyalin data dari sumber Oxford Advanced Learner’s Dictionary dan NTC’S English Idioms Dictionary. 2. Mengelompokan data yang diperoleh dari kedua kamus tersebut berdasarkan konstruksi dan definisinya (semisal sebagai verba tunggal atau verba frasal). 3. Masuk ke laman situs BNC. 4. Memasukan kata kunci berdasarkan pengelompokan data dari Oxford Advanced Learner’s Dictionary (semisal kata kunci berupa konstruksi verba frasal look for). 5. Data yang terkumpul dari situs BNC dipindah ke Microsoft Word dan dikelompokan berdasarkan konstruksi dari verba look. 6. Data yang bersumber dari Oxford Advanced Learner’s Dictionary ditandai dengan label Ox, data dari BNC dilabeli BNC, dan data dari NTC’S English Idioms Dictionary dilabeli NTC.
37
1.7.3
Metode Analisis Data Analisis data pada penelitian menggunakan sejumlah metode dan teknik untuk
menjawab rumusan masalah yang ada. Motode dan teknik yang digunakan adalah untuk memperoleh penjelasan terkait polisemi verba LOOK dari berbagai sisi. Dalam kajian linguistik kognitif, analisis kebahasaan mesti diawali dari analisis makna. Untuk itu, penelitian ini diawali dengan analisis mengenai definisi dari verba look yang ada pada kamus. Verba look di dalam kamus dibedakan menjadi tiga bagian yakni sebagai verba tunggal, sebagai verba frasal, dan sebagai idiom. Bab II penelitian ini memfokuskan analisisnya pada sifat semantis verba look baik dalam konstruksi sebagai verba tunggal maupun verba frasal. Untuk menjawah rumusan masalah pertama, Bab II penelitian ini menggunakan metode agih. Metode Agih oleh Sudaryanto (1993: 15) dimaknai sebagai metode analisis yang alat penentunya bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri. Terdapat beberapa teknik dalam metode agih yang digunakan pada Bab II. Untuk membuktikan sebuah konstruksi merupakan verba frasal penelitian ini menggunakan teknik balik, teknik sisip, dan lesap. Ini karena karakteristik verba frasal cukup beragam sehingga diperlukan teknik berbeda dalam mengujinya. Berikutnya, teknik perluas digunakan untuk menganalisis kedinamisan dari verba dan verba frasal look. Penggunaan teknik ini semisal adalah sebagai berikut. (13) John looks at the vehicle. BNC ‘John menatap kendaraan itu.’
38
(13a) John {is looking} at the vehicle. ‘John sedang menatap kendaraan itu. (13b) John {finishes} looking at the vehicle. ‘John selesai menatap kendaraan itu. (13c) John look at the vehicle {for an hour}. ‘John menatap kendaraan itu selama satu jam.’ Teknik perluas yang dilakukan pada data (13) bertujuan untuk menganalisis kedinamisan verba look. Perubahan kala progresif yang dilakukan pada data (13a) dilakukan untuk mengetahui sebuah verba bersifat dinamis atau statis. Teknik perluas dengan menempatkan verba finish seperti pada data (13b) dilakukan untuk membuktikan apakah sebuah verba bersifat telis atau atelis. Teknik perluas dengan menempatkan keterangan waktu for an hour seperti pada bab (13c) berguna untuk membuktikan apakah sebuah verba bersifat duratif atau pangtual. Karena data (13a) hingga (13c) berterima maka sifat semantis dari verba look tersebut adalaha dinamis, telis, dan duratif. Sementara itu, untuk menjawab rumusan masalah kedua, Bab III penelitian ini menganalisis konstruksi gramatikal verba look. Teori linguistik kognitif yang mendasari penelitian ini menghendaki analisis sintaksis dan semantis secara sekaligus dalam analisis konstruksi gramatikal. Tahapan ini juga menggunakan metode agih namun dengan teknik yang berbeda. Teknik lesap dan teknik perluas digunakan untuk membuktikan apakah verba look baik sebagai verba tunggal maupun verba frasal
39
bersifat transitif atau intransitif. Setelah jelas ketranstifannya, teknik bagi unsur langsung akan diterapkan pada konstruksi verba look tersebut seperti contoh berikut. (14) Poirot looked happy. Ox S:St P:Vk Pel ‘Poriot tampak bahagia.’ (15) She will look to you for help. Ox S:Pn Mod P:Vp O:St Ket.Tuj ‘Dia akan mengharapkan pertolongannmu.’ Teknik bagi unsur langsung yang diterapkan pada data (14) dan (15) bertujuan untuk mengetahui struktur argumen dari verba look. Secara sintaksis, verba look pada data (14) memiliki argumen dengan fungsi subjek dan memiliki pelengkap. Secara semantis, argumen dengan fungsi subjek Poriot tersebut memiliki peran sebagai stimulus. Pada data (15), kehadiran verba frasal look to didahului oleh argumen pengisi fungsi subjek she dengan peran semantis pengalam. Verba frasal tersebut juga didampingi oleh argumen objek you yang berperan semantis sebagai stimulus. Teknik bagi unsur langsung juga diperuntukan untuk mengetahui sifat dari argumen seperti subjek pada data (14) dan (15) berupa persona ketiga jamak. Teknik ini diterapkan dalam rangka pembuktian polisemi dalam teori polisemi dalam sudut pandang konstruksional milik Goldberg (1995). Selanjutnya, Bab IV penelitian ini membahas rumusan masalah ketiga dengan menganalisis makna-makna dari verba look. Analisis pada bab ini masih menggunakan metode agih dengan teknik ganti. Teknik ganti dipergunakan agar dapat mengaplikasikan tes sinonimi yang merupakan salah satu cara untuk
40
mengetahui makna-makna dari sebuah leksem atau kelas kata. Jika penggantian verba look dengan verba lain masih membuat sebuah data memiliki referen yang sama maka makna yang dimiliki oleh verba pengganti tersebut terbukti menjadi bagian dari polisemi verba look. Analisis tersebut sebagaimana ditunjukan contoh data berikut ini. (16) Are you still looking for job? Ox Are you still {seek} job? ‘Apakah kamu masih mencari pekerjaan?’ (17) I’d like the doctor to look at him. Ox I’d like the doctor to {check} him. ‘Aku ingin ke dokter untuk memeriksakannya.’ Penggantian verba frasal look for pada data (16) dengan verba seek dan look at pada data (17) dengan verba check tidak mengubah makna kalimat. Dengan demikian, makna to seek ‘mencari’ dan to check ‘memeriksa’ merupakan bagian dari makna verba look. Untuk menjawab rumusan masalah keempat, Bab V penelitian ini menganalisis makna prototipe dan jejaring semantis verba look. Pembahasan ini menggunakan metode padan. Metode padan adalah analisis data yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang diteliti (Sudaryanto, 1993: 13). Metode ini sejalan dengan langkah-langkah penentuan makna prototipe yang dirumuskan oleh Tyler dan Evans (2001) dalam teori polisemi terperinsip.
Polisemi
terperinsip
juga
menunjukan
langkah-langkah
dalam
merumuskan jejaring semantis. Perumusan jejaring semantis melibatkan hasil analisis
41
dari Bab II, Bab III, dan Bab IV. Keterangan yang diperoleh dari pembahasan sebelumnya menggambarkan makna-makna verba look dan karakteristik dari masingmasing makna. Karakteristik tersebut dibagi ke dalam sejumlah kelompok makna. Pada akhir pembahasan Bab V, kelompok makna yang ada akan disatukan pada sebuah jejaring semantis yang utuh.
1.7.4
Metode Penyajian Hasil Analisis Data Mahsun (2011: 123) menyebutkan dua cara dalam tahap akhir ini, yaitu
dengan cara: (i) perumusan hasil tersebut dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis data dan (ii) perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang. Senada dengan hal tersebut, Sudaryanto (1993) menyatakan metode penyajian data bisa dilakukan dengan (i) metode formal, yaitu kalimat dan tabel, serta (ii) metode informal,
yaitu
menggunakan kalimat. Metode informal bisa membantu menjelaskan analisis formal, sehingga penelitian ini menggunakan baik gambar, tabel serta kata-kata biasa dalam menjelasan data.
42
1.8 Sistematika Penyajian Laporan penelitian akan disajikan dengan sistematika sebagai berikut: BAB I
: Menyajikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan, metode penelitian dan sistematika laporan penelitian.
BAB II
: Menjawab rumusan masalah nomor (1) dengan menganalisis ciri semantis verba LOOK.
BAB III
: Menjawab rumusan masalah nomor (2) dengan menganalisis konstruksi gramatikal verba LOOK.
BAB IV
: Menjawab rumusan masalah nomor (3) dengan menganalisis makna spasial dan makna perluasan verba LOOK.
BAB V
: Menjawab rumusan masalah nomor (4) dengan menentukan makna prototipe verba LOOK dan merumuskan keterkaitan makna verba LOOK dalam sebuah jejaring semantis.
BAB VI
: Menyajikan kesimpulan dan saran.