BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat potensial, selain karena jumlahnya yang relatif stabil juga merupakan cerminan partisipasi aktif masyarakat dalam membiayai pembangunan. Tabel 1.1 Realisasi Penerimaan Negara (Milyar Rupiah), 2007-2013 Sumber Penerimaan
2007
1)
2008
1)
2009
1)
2010
1)
2011
1)
2012
1)
2013
2)
I. Penerimaan Dalam Negeri
706 108
979 305
847 096
992 249 1 205 346 1 332 323 1 497 521
Penerimaan Perpajakan
490 988
658 701
619 922
723 307
873 874
980 518 1 148 365
470 052 238 431 154 527 23 724 5 953 44 679 2 738 20 936 16 699 4 237
622 359 327 498 209 647 25 354 5 573 51 252 3 035 36 342 22 764 13 578
601 252 317 615 193 067 24 270 6 465 56 719 3 116 18 670 18 105 565
694 392 357 045 230 605 28 581 8 026 66 166 3 969 28 915 20 017 8 898
819 752 431 122 277 800 29 893 - 1 77 010 3 928 54 122 25 266 28 856
930 862 1 099 944 465 070 538 760 337 584 423 708 28 969 27 344 0 0 95 028 104 730 4 211 5 402 49 656 48 421 28 418 30 812 21 238 17 609
Pajak Dalam Negeri PPh PPN PBB BPHTB Cukai Pajak Lainnya Pajak Perdagangan Internasional Bea Masuk Pajak Ekspor Penerimaan Bukan Pajak
II. Hibah Jumlah
Catatan
Sumber
215 120
320 604
227 174
268 942
331 472
351 805
349 156
Penerimaan Sumber Daya Alam 132 893 Bagian laba BUMN 23 223 Penerimaan Bukan Pajak Lainnya 56 873 Pendapatan Badan Layanan Umum 2 131
224 463 29 088 63 319 3 734
138 959 26 050 53 796 8 369
168 825 30 097 59 429 10 591
213 823 28 184 69 361 20 104
225 844 30 798 73 459 21 704
203 730 36 456 85 471 23 499
1 698
2 304
1 667
3 023
5 254
5 787
4 484
707 806
981 609
848 763
995 272 1 210 600 1 338 110 1 502 005
: Perbedaan satu digit dibelakang terhadap angka penjumlahan karena pembulatan 1) LKPP 2) APBN-P 3) RAPBN : Departemen Keuangan
Target penerimaan pajak setiap tahunnya mengalami peningkatan, ini tentu harus diimbangi dengan strategi dari pemerintah. Salah satu strategi
1
2
yang dilakukan pemerintah yaitu melalui perluasan basis pajak, dimana seluruh lapisan masyarakat di Indonesia diharapkan dapat berkontribusi terhadap penerimaan negara melalui pajak. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang pajak UMKM yang substansinya adalah pungutan pajak sebesar 1% dari omset yang kurang dari 4,8 milyar per tahun terhadap wajib pajak badan maupun orang pribadi yang berlaku mulai 1 Juli 2013. Saat ini pemerintah mulai melirik sektor swasta yang dipastikan memiliki potensi yang besar untuk pemasukan pajak, yaitu dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Pengertian UMKM sendiri adalah yaitu: usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50 juta tidak termasuk tanah dan bangunan dan memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300 juta; usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50 juta sampai dengan paling banyak Rp 500 juta tidak termasuk tanah dan bangunan atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300 juta sampai dengan paling banyak Rp 2,5 milyar; dan usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan
3
merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500 juta sampai dengan paling banyak Rp 10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2,5 milyar sampai dengan paling banyak Rp 50 miliar (www.depkop.go.id - Narasi Statistik UMKM 2010-2011). UMKM omset dan labanya memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan besar, namun sesungguhnya perekonomian Indonesia secara riil digerakan oleh para pelaku UMKM yang terbukti mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan ekspor, dimana UMKM menyumbang 60% dari PDB dan menampung 97% tenaga kerja (Susilo dan Sirajuddin, 2014). Dari besarnya penerimaan negara yang berasal dari sektor UMKM, maka akan berpotensi besar pula jumlah penerimaan pajak dari sektor tersebut. Jumlah UMKM yang dari tahun ke tahun semakin menjamur, memberikan peluang kepada pemerintah untuk membidik sektor ini dalam upaya ekstensifikasi pajak. Namun, fakta di lapangan menunjukkan tumbuhnya UMKM tidak seiring dengan jumlah kenaikan penerimaan pajak (DJP, 2009). Sedikitnya wajib pajak UMKM yang patuh pajak dilatarbelakangi oleh banyak hal, diantaranya alasan dimana sistem perpajakan di Indonesia yang tergolong rumit, sulit dimengerti, serta banyak
4
UMKM yang masih menggunakan perhitungan akuntansi sederhana yang belum mampu meyusun pembukuan secara rinci (Resyniar, 2014). Niat
baik
penyederhanaan
pemerintah aturan
untuk
perpajakan
memberikan serta
kemudahan
memberikan
dan
kesempatan
masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan negara sepertinya tidak disambut dengan baik oleh masyarakat khususnya UMKM. Pemerintah berpendapat bahwa, adanya perubahan tarif dan dasar perhitungan seharusnya sangat menguntungkan bagi wajib pajak UMKM karena dapat memberi kemudahan dan penyederhanaan cara pembayaran pajak. Pada kenyataan di lapangan, sebagian wajib pajak UMKM justru memberikan respon negatif, karena pajak yang dibayarkan lebih besar dibandingkan pajak yang dibayar dengan menganut peraturan lama, yaitu UU PPh Nomor 36 Tahun 2008. Apalagi dengan tidak adanya kompensasi kerugian, untung rugi tetap dikenakan pajak 1% dari omset. Sehingga sebagian pelaku UMKM menolak atau bahkan pura–pura tidak tahu akan adanya peraturan baru tersebut (Resyniar, 2014). Wajah perpajakan Indonesia juga telah diperbaharui sedemikian rupa sehingga dapat menarik hati setiap warga negara Indonesia untuk menjalankan kewajibannya dalam membayar pajak. Iklan perpajakan disosialisasikan dengan dokumentasi yang menarik, rakyat bahkan dikatakan hebat jika berani membayar pajak. Account representatif di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) juga membantu wajib pajak untuk menghitung dan melaporkan jumlah pajak yang terutang. Meski Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memberlakukan regulasi Pajak
5
Penghasilan (PPh) final sebesar 1% dari omzet maksimal Rp 4,8 miliar per tahun bagi wajib pajak per 1 Juli, namun realisasinya masih jauh dari harapan. Kurangnya sosialisasi dan masih banyak masyarakat yang belum paham
menjadi
sejumlah
kendalanya
(sumber:
http://
edisicetak.joglosemar.co/berita/realisasi-pajak-omzet-1-jauh-dari-harapan151447.html). Dikatakan juga bahwa, hingga kini tingkat ketaatan membayar pajak dari UKM masih rendah, karena masih minimnya pemahaman
masyarakat
dan
sosialisasi
(sumber:
http://www.kemenkeu.go.id/Berita/tingkatkan-kesadaran-pajak-pemerintahsegera-luncurkan-pp-462013). Peraturan perpajakan yang rumit telah tergantikan oleh peraturan yang sederhana. Kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan khususnya pajak penghasilan untuk wajib pajak yang memperoleh penghasilan dari usaha dengan omset tertentu, merupakan jawaban atas keluhan wajib pajak selama ini yang sangat sulit menghitung pajak penghasilannya. Dengan berlakunya PP Nomor 46 Tahun 2013, membuat wajib pajak dapat dengan mudah melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Jika
dibandingkan
dengan
peraturan
sebelumnya
penghasilan yang kurang dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak akan dikenakan pajak, namun dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 tidak berlaku demikian. Para pelaku UMKM, bahkan mereka beranggapan bahwa jika dasarnya dari omset pengusaha kecil justru tidak akan terbuka mengenai omset, mereka akan berusaha menurunkan omset tersebut. Omset yang semakin kecil tentunya akan menghasilkan pembayaran pajak yang
6
semakin kecil pula. Sehingga pelaku UMKM akan merekayasa penghasilan bruto tersebut untuk menurunkan pajak seminimal mungkin. Omset yang sedemikian besar belum tentu menghasikan laba yang sedemikian besar pula. Banyak dari mereka yang terkadang harus menanggung pengeluaranpengeluaran yang besar. Sehingga omset tidak dapat dijadikan ukuran kemampuan usaha para pelaku UMKM dalam menjalankan usahanya (Resyniar: 2014). Peraturan tersebut memang sekilas nampak memudahkan, namun terdapat potensi ketidakadilan karena marjin UKM yang berbedabeda. Sebuah ilustrasi, realitanya sejumlah pengusaha jasa dari berbagai sektor mungkin akan senang menyambut lahirnya kebijakan ini. Betapa tidak, dengan marjin keuntungan yang bisa dicapai 50%, mereka cukup mengeluarkan pajak sebesar 1% saja. Disisi lain, ketika omset sudah mendekati 4,8 milyar setahun, seperti yang disyaratkan kebijakan ini, terbuka kemungkinan pelaku UMKM men-split entitas usahanya agar tetap dikenai pajak 1%. Sementara di sektor lain, sejumlah pengusaha kecil bermarjin laba lebih rendah justru kelimpungan. Dampak kenaikan harga kebutuhan sehari-hari dan sembako menjadi beban bagi kelangsungan usahanya (Syahdan dan Rani, 2014). Liana dan Karmen dalam Bashori dan Mustikasari (2014) menyatakan bahwa tarif tunggal memiliki beberapa keuntungan yaitu mengurangi biaya kepatuhan, mengurangi tax avoidance dan tax evasion, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi disinsentif untuk investasi dan konsumsi, meningkatkan keadilan pajak dan menjadikan negara lebih kompetitif
7
dengan mengikuti perkembangan global. Amalah (2013) dan Efebera et al. (2004) menggambarkan kepatuhan sukarela dengan dua hal yaitu membayar pajak sesuai dengan keadaan sesungguhnya dan tidak berniat mengurangi jumlah pajak terhutang atau ketepatan, serta membayar pajak ketika tidak ada pengendalian pajak atau kesukarelaan. Beberapa penelitian mengenai kepatuhan sukarela telah dilakukan, Joumard dalam Kamleitner et al. (2010) mengatakan bahwa kebanyakan menyarankan untuk melakukan penyederhanaan proses perpajakan. Disisi lain, Widodo (2010) menyatakan dengan cara penyederhanaan bentuk pelaporan dan keleluasaan jangka waktu pelaporan, serta penyederhanaan tarif dan pemberian insentif tertentu. Hal itu sesuai dengan penelitian Kusumaningsih (2012) bahwa penerapan tarif tunggal PPh berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak, serta penelitian Amalah (2013) dan Haris (2011) dengan hasil bahwa persepsi atas reformasi administrasi perpajakan memiliki pengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Lebih lanjut Susilo dan Sirajuddin (2014) mengemukakan bahwa pemahaman masyarakat mengenai PP Nomor 46 Tahun 2013 masih sangat minim dan upaya pengenalan PP Nomor 46 Tahun 2013 yang dilakukan pemerintah belum maksimal. Menurut Jackson dan Milliron dalam Andarini (2010) salah satu variabel nonekonomi kunci dari perilaku kepatuhan pajak adalah dimensi keadilan pajak. Menurut Vogel, Spicer, dan Becker dalam Andarini (2010) pembayar pajak cenderung untuk menghindari membayar pajak jika mereka menganggap sistem pajak tidak adil. Hal tersebut
8
menunjukkan pentingnya dimensi keadilan pajak sebagai variabel yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pembayar pajak. Siahaan (2012) menyatakan bahwa pengaruh langusung dan tidak langsung dari dimensi keadilan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan sukarela. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pemerintah telah menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 dimana peraturan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan dan meyederhanakan sistem perpajakan bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu agar patuh pajak dengan sukarela, namun masih saja ada hal-hal yang mempengaruhi kepatuhan sukarela wajib pajak, untuk itu penulis tertarik untuk mengambil judul: “PENGARUH PEMAHAMAN, DIMENSI KEADILAN DAN PERSEPSI ATAS PP NOMOR 46 TAHUN 2013 TERHADAP KEPATUHAN SUKARELA WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU.”
9
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a.
Apakah pemahaman atas PP Nomor 46 Tahun 2013 berpengaruh terhadap kepatuhan sukarela wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu?
b.
Apakah dimensi keadilan atas PP Nomor 46 Tahun 2013 berpengaruh terhadap kepatuhan sukarela wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu?
c.
Apakah persepsi atas PP Nomor 46 Tahun 2013 berpengaruh terhadap kepatuhan sukarela wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu?
C.
Tujuan serta Kontribusi 1.
Tujuan Berdasarkan rumusan masalah diatas maka, tujuan dari penelitian ini yaitu: a.
Mengetahui apakah pemahaman atas PP Nomor 46 tahun 2013 berpengaruh terhadap kepatuhan sukarela wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
b.
Mengetahui apakah dimensi keadilan dan atas PP Nomor 46 tahun 2013 berpengaruh terhadap kepatuhan sukarela wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
10
c.
Mengetahui apakah persepsi atas PP Nomor 46 tahun 2013 berpengaruh terhadap kepatuhan sukarela wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
2.
Kontribusi a.
Akademis Secara
akademis
penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat sebagai suatu karya ilmiah yang dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan. b.
Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak
dalam
rangka
meningkatkan
pendapatan
negara
khususnya pada pajak penghasilan yang juga disesuaikan dalam sistem dan peraturan yang ada. Serta sebagai informasi mengenai perlakuan apa saja yang dapat pemerintah lakukan agar kepatuhan sukarela dapat tercapai bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dalam memenuhi kewajiban pajaknya.