BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Akhir abad ke-20 muncul dua isu penting di dunia tentang perkembangan sumber daya air. Pertama pada tahun 1972, The Club Of Rome dalam The Limits Of Growth Report memunculkan isu bahwa eksploitasi yang terkait dengan lingkungan dapat menghentikan pertumbuhan ekonomi. Sehingga antara perkembangan dan lingkungan kehidupan tidak bisa saling terpisahkan (mutually dependent). Kedua, dalam pertemuan di Roma tahun 1974 , The United Nation World Food Conference (WFC) menyatakan adanya krisis pangan dunia yang mengkhawatirkan sehingga mendorong untuk menempatkan investasi di bidang irigasi dan drainasi sebagai landasan pengembangan pertanian dengan tujuan jangka
panjang
berupa
pengembangan
sosial
dan
ekonomi.
(Suprojo
Susposutadjo, 2006: xxi). Mengingat upaya menjamin kecukupan pangan yang serasi dengan pembaharuan kembali sumber daya alam termasuklah sumber daya air, sehingga diajukanlah konsep pertanian berkelanjutan yang dilengkapi dengan sarana irigasi untuk mencapainya. Walaupun konsep pembangunan atau pengembangan pertanian beririgasi yang berkelanjutan, pengertiannya belum diterima sebagai kesepakatan global. Akan tetapi, disisi lain kebutuhan tentang konsep keberlanjutan pertanian beririgasi semakin dianggap penting setelah berbagai pengalaman dalam revolusi hijau banyak menimbulkan pengaruh timbal balik
1
yang negatif terhadap lingkungan. Kesepakatan itu kemudian dianggap penting ketika adanya perkiraan dari ahli sumber daya air tentang adanya krisis ketersediaan air pada awal abad ke-21. Keadaan ini dicerminkan dengan terjadinya kelangkaan air nisbi dan absolut di berbagai negara untuk berbagai kebutuhan sehingga memicu sengketa air wilayah di suatu negara maupun antar negara. Berbagai konvensi dunia untuk mengatasi permasalahan krisis air telah dibangun, melalui penyusunan pedoman pemanfaatan air secara arif untuk berbagai kepentingan yang sifatnya kompetitif seperti Konvensi Dublin 1992, Rio de Janeiro 1992, World Water Forum di Den Haag tahun 2000, dan Fresh Water Conference di Bonn tahun 2001 serta World Water Forum di Kyoto tahun 2003 (Suprojo Susposutadjo, 2006: xxi). Air merupakan sumber penting bagi seluruh kehidupan di dunia dengan kata lain air adalah “organ di dunia” lebih tegas dijelaskan oleh Gaston Bachelard dalam bukunya “air dan mimpi « L’eau et les rêves »” (1942) dalam Anonim (2009) tanpa air tanpa kehidupan sehingga air adalah sumber kehidupan. Melihat ungkapan Gaston Bachelard yang menekankan betapa pentingnya air bagi kehidupan. Sehingga ketika salah satu kebutuhan kehidupan terganggu maka tidak jarang tiap manusia rela melakukan apapun dalam hal ini adalah konflik air. Masalah air kemudian juga menjadi serius dengan munculnya pariwisata yang pada saat ini telah menjadi salah satu sektor penting bagi pelaksanaan pembangunan di tingkat lokal, regional dan Internasional. Pembangunan pariwisata menjadi penting untuk dilaksanakan dan dikembangkan didasarkan
2
oleh kenyataan bahwa pariwisata telah dapat menjadi salah satu sumber pendapatan bagi negara pada sektor non migas. (Pendit, 2006). Mengingat
begitu
besar
peran
pembangunan
pariwisata
bagi
perekonomian nasional dan lokal bagi suatu negara serta didasarinya Indonesia sebagai negara agraris kepulauan dengan potensi alam yang besar dan budaya yang beraneka ragam, maka Pemerintah Indonesia menjadikan kegiatan pariwisata sebagai salah satu program kebijakan pembangunan nasional. Pada umumnya program kebijakan pembangunan nasional di bidang pariwisata yang ditetapkan oleh pemerintah dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja, dan memperkenalkan alam dan kebudayaan Indonesia kepada masayarakat dunia. (Widiartha, 2010). Bali sebagai daerah yang memiliki potensi besar dalam bidang pariwisata telah mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam pengembangan pembangunan bidang pariwisata. Perhatian tersebut dapat dilihat dari dikeluarkannya beberapa kebijakan tentang pariwisata bagi Bali untuk mewujudkan daerah ini menjadi daerah wisata berskala Internasional. Salah satu kebijakan penting yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat sebagai langkah awal bagi perkembangan pariwisata berskala internasional di Bali adalah dengan disusunnya Rencana Induk Pengembangan Pariwisata di Bali oleh SCETO tahun 1970. Tujuannya adalah menjadikan Bali sebagai daerah wisata bertaraf internasional yang dapat meningkatkan perekonomian bagi negara, pemerintah, serta masyarakatnya.
3
Dalam mewujudkan tujuan tersebut tentunya dibutuhkan infrastruktur yang mendukung pariwisata, sehingga perkembangan infrastruktur tersebut semakin meningkat pula misalnya penyediaan sarana akomodasi pariwisata (hotel dan villa) serta sarana transportasi (jalan) menjadi prioritas pembangunan pariwisata daerah Bali, hal ini disadari oleh pemikiran bahwa keberadaan sarana akomodasi dan transportasi merupakan faktor utama pembangunan suatu daerah wisata. Khusus mengenai sarana akomodasi pariwisata, Pendit (2006) memasukan sarana akomodasi pariwisata ke dalam perusahaan pariwisata langsung yaitu perusahaan yang tujuan pelayanannya khusus diperuntukan bagi perkembangan pariwisata dan kehidupan usahanya benar-benar tergantung padanya. Dengan pesatnya perkembangan pariwisata di Bali dan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang ke Bali yang ditunjukan oleh data BPS untuk di Kabupaten Badung pada tahun 2000 sekitar 803.826 wisatawan
meningkat
hingga tahun 2010 sebesar 2.481.592. Melihat data ini tentu adanya relasi dengan jumlah pemakaian air yang dibutuhkan. Selanjutnya, dengan bertambahnya infrastruktur yang diperlukan juga membutuhkan lahan dalam pemenuhannya, sehingga alih fungsi lahan pertanian seakan-akan tak terkendalikan lagi. Ashrama (2005: 3) menyebutkan selama satu dasawarsa terakhir rata-rata 1.000 hektar pertahun lahan sawah di Bali terkonvensi menjadi beraneka macam sarana pariwisata: hotel, villa, mall dan sejenisnya. Lebih dari pada itu, semakin banyaknya anak petani Bali yang tidak merasa keberatan kehilangan lahan pertaniannya. Mereka lebih suka memilih bekerja di hotel, arthshop atau menjadi pengemudi bus pariwisata dibanding menanam padi di sawah. Sehingga mengkaji
4
dampak pariwisata pada kehidupan sosial masyarakat Bali menjadi sangat penting untuk mengetahui salah satu fenomena sosial. Masalah air pada pertanian beririgasi Terasering (subak) sangat menarik untuk dikaji pada dunia keilmuan (sience), beberapa disiplin ilmu yang sejak berberapa abad telah dibahas, terutama untuk wilayah Asia di Bali. Subak di Bali direpresentasikan sebagai sebuah sistem irigasi dari persawahan di Bali. Setiap subak memiliki satu pura yang dibangun oleh petani itu sendiri sebagai bentuk apresiasi terhadap sistem keagamaan. Selain itu, subak juga dipimpin oleh ketua adat, subak memiliki sistem pengairan (irigasi), dan dengan
menggunakan
teknologi tersendiri yang kemudian menjadi sebuah kebudayaan Bali. Masalah air di Bali telah di atur dalam UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Sedangkan tentang pengembangan irigasi ini termuat dalam PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi. Pada awalnya penelitian ini, penulis berpikir tentang sebuah tema yang akan di kaji yaitu : Dampak dari Peningkatan Villa Yang Menggunakan Air Irigasi Subak Di Krobokan Bali. Akan tetapi setelah penulis melakukan observasi, dan beberapa wawancara di lakukan ternyata penulis menemukan faktor lain yang berpengaruh terhadap kondisi air termasuk hotel, SPA dan restoran. Mengingat di wilayah Badung lahan pertanian subak tidak sebanyak di Tabanan, sehingga penulis mengkaji kondisi air tentang irigasi subak di Tabanan. kemuadian penulis mencoba melakukan perbandingan dengan melihat konflik air yang terjadi di Badung, serta dari data-data lapangan yang diperoleh menjadi sebuah tema; Dampak perkembangan infrastruktur pariwisata terhadap konflik
air di
5
Kabupaten Badung (dengan melihat konflik air pada subak di Kabupaten Tabanan). Tulisan ini berupaya untuk mengetahui tentang sejarah air di Bali, dinamika konflik air baik pada subak maupun air bersih, selanjutnya melihat perkembangan infrastruktur pariwisata terhadap konflik air dan berkurangnya lahan subak yang ditandai dengan alih fungsi lahan pertanian dan solusi dari masalah tersebut, maka dipandang perlu suatu penelitian terhadap fenomena tersebut dengan rumusan masalah sebagai berikut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas terdapat tiga permasalahan yang dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini, permasalahan tersebut adalah: 1. Bagaimana dampak perkembangan infrastuktur pariwisata terhadap konflik air di Kabupaten Badung? 2. Bagaimana dinamika konflik air yang terjadi di Kabupaten Badung dengan melihat kondisi konflik air pada subak di Kabupaten Tabanan? 3. Apakah solusi yang dapat digunakan dalam mengantisipasi konflik air baik di Kabupaten Badung maupun di Tabanan?
6
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran Dampak Perkembangan Infrastruktur Pariwisata Terhadap Konflik Air dan Berkurangnya Lahan Subak di Kabupaten Badung kemudian melihat kondisi konflik air pada subak di Tabanan Bali. 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Menunjukkan dampak perkembangan infrastruktur pariwisata yang ditandai dengan permasalahan air di Kabupaten Badung 2. Mampu menunjukkan dinamika konflik yang terjadi di Badung dengan melihat kondisi konflik air pada Subak di Tabanan selanjutnya mengidentifikasi
bentuk
relasi
antara
petani
(masyarakat
lokal),
pemerintah dan investor, dan menunjukan faktor pemicu konflik air dan mencari persamaan dan perbedaan konflik air yang terjadi antara Kabupaten Tabanan dan Badung 3. Memberikan solusi yang dapat digunakan dalam mengantisipasi konflik air baik di kabupaten Badung maupun Tabanan.
7
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademik Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis sekaligus memberikan kontribusi ilmiah terhadap khasanah ilmu kepariwisataan. Diharapkan pula penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk penelitian lanjutan. 1.4.2 Manfaat Praktis Dari sisi praktis manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk
memberikan
sumbangan
pemikiran
terhadap
pihak-pihak
terkait
diantaranya; a. Untuk pemerintah diharapkan memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terhadap pembangunan infrastruktur pariwisata di Kabupaten Badung atau di Tabanan dengan memperhatikan dan mengevaluasi tentang kebutuhan air bersih maupun air untuk irigasi. b. Untuk investor, diharapkan untuk mampu memperhatikan kehidupan masyarakat sekitar, dengan tidak hanya mengambil manfaat akan tetapi mampu
saling
membangun
dan
beriringan
dalam
membangun
perekonomian kerakyatan. c. Untuk masyarakat, diharapkan mampu berpartisipasi dalam melakukan manajemen air serta memiliki kesadaran sehingga tidak melakukan boros air.
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Pengaruh
perkembangan infrastruktur pariwisata terhadap konflik air
merupakan hal yang menarik untuk dikaji mengingat bahwa air adalah segalagalanya bagi kehidupan, sebagaimana yang di ungkapkan (Oka Supartha, dalam Yayasan Wisnu, 2001) Lontar Prakempa secara gamblang menyuratkan bahwa air sebagai sumber hidup dan kehidupan bagi mahluk hidup. Tanpa air, mahluk hidup yang terdiri dari taru, lata, gulma, janggama dan sthawara tidak akan bisa bertahan hidup. Sthawara yakni mahluk hidup yang tidak bergerak seperti taru, lata, gulma dan tanaman pada umumnya tidak bisa hidup dan berbiak tanpa air. Terlebih lagi Janggama, mahluk hidup yang bisa bergerak yakni manusia dan hewan, tidak mungkin hidup dan berkembang biak tanpa ada air. Mengingat pentingnya air maka ketika terjadi kelangkaan sering menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia, sehingga konflik akan kebutuhan air inipun tidak dapat dihindari. Sampai saat ini secara umum telah banyak penelitian yang mengangkat tentang konflik air akan tetapi belum ada penelitian secara khusus meneliti mengenai dampak perkembangan infrastruktur pariwisata terhadap konflik air di Kabupaten Badung (dengan melihat konflik air pada subak di Kabupaten Tabanan). Hal ini ditandai dengan keberadaan pariwisata yang banyak membutuhkan air khususnya di Badung sehingga menjadi perhatian yang sangat menarik baik itu bagi pemerintah, masyarakat, maupun investor pariwisata.
9
Untuk memperoleh jawaban sementara dari penelitian ini maka perlu dilakukan suatu kajian terhadap beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini menggunakan kajian pustaka hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini.
Penelitian tentang Dampak
kebijakan perkembangan villa di Kabupaten Badung dilakukan oleh Widiartha (2010) “Dampak kebijakan penataan sarana akomodasi pariwisata terhadap perkembangan villa di Kabupaten Badung” thesis ini dianggap relevan sebagai acuan dalam penelitian ini karena membahas mengenai perkembangan villa sebelum adanya kebijakan penataan sarana akomodasi kemudian melihat dampak dari pelaksanaan kebijakan penataan sarana akomodasi terhadap perkembangan jumlah villa yang terjadi sebelum adanya kebijakan dan setelah adanya kebijakan dari pemerintah daerah. Selanjutnya melihat penelitian Frank Peopeau yang berjudul “Eau des ville: Repense des services en mutation, défi et conflits de la remunicipalisation de l’eau (l’exemple de la concession de la paz-Alto, Bolivie”. Tulisan ini membahas kasus konflik air yang terjadi di La Paz-Alto Bolivie ketika air menjadi milik pribadi bukan lagi berfungsi sebagai milik publik. Pelayanan yang dilakukan oleh perusahaan swasta menjadi objek yang terpenting pada penelitian ini. Konflik yang terjadi adalah proses pengembalian kembali air milik pribadi menjadi sektor publik yang dikelola oleh pemerintah. Kemudian mendukung transformasi ini pada daerah urban di La Paz-Alto- Bolivie, yang akan meninjau kesepakatan yang berlangsung selama 10 tahun terhadap investor yang telah melakukan perluasan jaringan. Selain itu pula Poupeau juga melihat sejauh mana
10
pengembalian sistem tersebut sehingga dapat ditafsirkan sebagai regulasi baru yang terdapat pada daerah urban. Air dipandang tidak hanya milik publik yang dapat dikonsumsi oleh semua orang akan tetapi air memiliki nilai ekonomi dan ada pula unsur politik didalamnya. Membaca penelitian dari Poupeau kemudian mencoba untuk mengkaji masalah air yang terdapat di Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Badung. sehingga mampu melihat serta membandingkan permasalahan air yang terdapat diberbagai wilayah yang berbeda. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Sutawan (2008) dalam bukunya yang berjudul “Organisasi dan Manajemen Subak di Bali” terutama pada bagian “Manajemen Konflik dan Organisasi Subak. Penelitian ini membahas tentang kronologi konflik yang terjadi di Tabanan serta faktor-faktor yang memicu konflik tersebut seperti kelangkaan air, transformasi lahan pertanian, polusi air, proyek pembangunan irigasi serta lemahnya koordinasi antar instansi. Kesimpulan dari tulisan ini konflik air telah terjadi sejak lama pada subak terutama pada musim kering, konflik ini merupakan konflik perebutan kepentingan tentang air yang tidak menimbulkan konflik fisik dan dapat terselesaikan pada tataran adat setempat atau dalam sebuah organisasi subak. Penelitian ini kemudian juga mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh yayasan Wisnu yang berjudul “Salah Urus Pengelolaan Air di Gumi Bali” yang disampaikan dalam seminar tanggal 1 Oktober 2001 untuk masyarakat yang mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat dan lingkungan. Penelitian dari yayasan Wisnu ini kiranya relevan dengan pembahasan ini karena mampu mengeksplor tentang sejarah air di Bali sejak masa Kolonialisasi sampai pada
11
perpindahan manajemen air pada Pemerintah Republik Indonesia menjelang kemerdekaan hingga kondisi air pada saat ini. 2.2 Konsep Membantu identifikasi dalam mendeskripsikan dan memahami penelitian ini, akan diuraikan beberapa konsep atau pengertian dasar yang berkaitan langsung dengan topik penelitian. Konsep tersebut adalah 1). infrastruktur 2). Pariwisata 3). Konflik air 4). Subak 5). 2.2.1
Infrastruktur
Yang dimaksud dengan Infrastruktur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:331) yang dimaksud Infrastruktur adalah prasarana atau segala yang merupakan penunjang terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya). Selain itu, sebagaimana menurut Grigg (1988) dalam Ufie Jusuf (2009) yaitu infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik yang lain yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi. Akan tetapi dalam penelitian ini infrastruktur yang dimaksud adalah infrastruktur pariwisata yang merupakan sarana dan prasarana pariwisata seperti akomodasi pariwisata
(hotel, villa, rumah sewa), restoran
(warung makan), SPA, tempat kebugaran, tempat renang, bioskop, tempat olahraga dan panti pijat.
12
2.2.2
Pariwisata
Berbicara masalah pariwisata telah banyak para ahli yang memberikan batasan atau defenisi yang terkadang memiliki kesamaan. Istilah pariwisata dalam bahasa Inggris memiliki kesamaan arti yaitu tourism. Kemudian Pariwisata atau turisme adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk rekreasi atau liburan, dan juga persiapan yang dilakukan untuk aktivitas ini. Seorang wisatawan atau turis adalah seseorang yang melakukan perjalanan paling tidak sejauh 80 km (50 mil) dari rumahnya dengan tujuan rekreasi, merupakan definisi dari Organisasi Pariwisata Dunia. Lebih jelas ditegaskan oleh Yoeti (2003) yang memandang pariwisata lebih sebagai suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari satu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan untuk berusaha atau mencari nafkah ditempat yang dikunjungi tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan hidup guna bertamasya dan rekreasi atau memenuhi keinginan yang beraneka ragam. Selanjutnya di Negara Indonesia juga telah membuat kebijakan tentang pariwisata yang dimuat dalam Undang-Undang Pariwisata Nomor 10 tahun 2009 yang akan kita temui juga defenisi dari pariwisata tersebut yaitu; Kegiatan perjalanan dilakukan secara sukarela bersifat sementara perjalanan itu seluruhnya atau sebagian bertujuan untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Lebih jelas tertuang pada pasal 1 ayat (3) pariwisata diartikan sebagai berbagai macam kegiatan wisata dan didukung dengan berbagai fasilitas serta layanan yang
13
disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Fasilitas yang disediakan dalam pariwisata ini termasuk dalam infrastruktur pariwisata yang menyediakan barang dan jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Penjelasan dari pasal 1 ayat (3) ini lebih menekankan pada bentuk pelayanan yang diberikan. Artinya dalam pariwisata aspek pelayanan ini sangatlah penting. 2.2.3
Konflik Air
Kata „Konflik‟ itu berasal dari bahasa Latin „Confligo’, yang terdiri dari dua kata, yakni „con’, yang berarti bersama-sama dan „fligo’, yang berarti pemogokan, penghancuran atau peremukan. Secara umum karena ada perbedaan pendapat antara anggota, yang menimbulkan konflik. pengertian Dubrin (1984 : 346 dalam Anime, Inside, 2011), mengacu pada pertentangan antar individu, kelompok atau organisasi yang dapat meningkatkan ketegangan sebagai akibat yang saling menghalangi dalam pencapaian tujuan. Ketika berbicara mengenai air Hugon (2007) dalam artikelnya menjelaskan kompleksitas dari managemen air yang setidaknya memiliki tiga dimensi yakni (dimensi ekonomi yang distibusinya menyangkut masalah harga, kemudian dimensi lingkungan melalui polusi dibutuhkan sebuah manajemen lingkungan, terakhir air menjadi dimensi sosial yang merubakan sesuatu yang penting bagi seluruh kehidupan . kemudian ketidak seimbangan dalam memanajemen ketiga dimensi tersebut maka terjadilah sebuah konflik perebutan air. Konflik menurut Coser (1993:210) adalah perselisihan terhadap nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi dalam hal ini adalah
14
konflik mengenai sumber alam yang tidak mencukupi yakni air terutama pada musim kemarau. Lebih jauh dijelaskan bahwa perselisihan atau konflik dapat berlangsung antara individu-individu, kumpulan-kumpulan (colectivities) atau antara individu dengan kelompok. pada penelitian ini konflik dapat terjadi antara petani sesama petani, petani dengan pemerintah (PDAM), atau petani dengan investor (pemilik hotel/restoran). 2.2.4
Subak
Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Pengertian subak semacam itu pada dasarnya dinyatakan dalam Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/1972. Kemudian Arif (1999 dalam Wayan Windia) memperluas pengertian karakteristik sosio-agraris-religius dalam sisitem irigasi subak, dengan menyatakan lebih tepat subak itu disebut berkarakteristik sosio-teknis-relegius, karena pengertian teknik cakupannya menjadi lebih luas, termasuk diantaranya teknik pertanian dan teknik irigasi. Selanjutnya, berbicara tentang air di Bali, tentu tidak akan lepas dari subak. Menurut Prasasti Bebetin, subak sebagai suatu organisasi/ badan kerjasama di bidang pengelolaan pengairan sudah ada sejak abad 9 Masehi. Tujuan subak adalah untuk memberikan jaminan pada petani, sehingga mereka tidak kekurangan air dan mendapat air secara adil. Prasasti Manukaya tahun 960 M, menginformasikan bahwa Raja Chandrabhayasingha Warmadewa memerintahkan
15
untuk memperbaiki tanggul pada sumber mata air Tirta Empul yang setiap tahun dihanyutkan oleh banjir. Hal ini menunjukkan bahwa subak adalah badan pengelola air, tidak sebagai penguasa tunggal air pada, saat itu, tetapi juga bukan berarti bahwa raja sebagai penguasa air. (Yayasan Wisnu, 2001: 02). 2.3 Landasan Teori Teori merupakan alat terpenting dalam suatu penelitian ilmiah sebagai alat dalam mengkaji pengaruh peningkatan infrastruktur pariwisata terhadap konflik air dan berkurangnya lahan subak (Studi kasus komparatif antara kabupaten Badung dan Tabanan bali). Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Teori Fungsional Struktural di gunakan untuk melihat dinamika konflik yang terjadi baik itu di Kabupaten Tabanan maupun di Kabupaten Badung. Kemudian teori konflik dianggap sangat membantu dalam menganalisa komparasi konflik air yang terjadi di Kabupaten Badung dan Tabanan Bali kemudian memberikan pemahaman makna dalam memberikan solusi dalam penyelesaian konflik. Selain itu, teori perubahan sosial untuk mengambarkan terjadinya peningkatan infrastruktur pariwisata di Kabupaten Badung . 2.3.1
Teori Fungsionalisme Struktural
Teori ini dipandang relevan dalam penelitian pengaruh peningkatan infrastruktur pariwisata terhadap konflik
air dan berkurangnya lahan subak.
Menurut Sanderson (1993) strategi fungsionalisme struktural adalah gagasan tentang kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Penganut teori ini menganut sistem kerja biologis sebagai sistem sosial kehidupan individu dalam suatu masyarakat.
16
Pemikiran fungsionalisme struktural sebagai suatu sisitem seperti yang disampaikan Parson, menetapkan empat persyaratan fungsional yaitu: (1) setiap sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya, (2) setiap sistem harus memiliki suatu alat untuk mobilisasi sumber daya untuk mencapai tujuan, (3) setiap sistem harus mempertahankan koordinasi internal kesatuannya dan (4) setiap sistem harus mempertahankan dirinya sedapat mungkin dalam keadaan yang seimbang (equilibrium). Dengan demikian setiap struktur sosial dalam suatu masyarakat dapat berfungsi apabila: (1) setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang mantap dan stabil, (2) setiap masyarakat merupakan elemen-elemen yang terintegrasi dengan baik, (3) elemen-elemen dalam suatu masyarakat mempunyai fungsi yakni memberikan sumbangan pada bertambahnya masyarakat itu sebagai suatu sistem. (4) setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu konsesus nilai diantara para anggotanya. Berdasarkan pandangan di atas artinya teori fungsionalisme struktural melakukan analisis dengan melihat masyarakat sebagai sebuah sistem dari interaksi antar manusia dan berbagai institusinya dengan segala sesuatu disepakati bersama termasuk nilai dan norma. Teori ini menjunjung tinggi pada harmoni, konsistensi dan keseimbangan dalam masyarakat. Dengan demikian teori ini dipandang sangat relevan untuk melihat dinamika konflik yang terjadi baik itu di Kabupaten Tabanan maupun di Badung.
17
2.3.2
Teori Konflik
Ritzer (2005:15) menyatakan teori konflik sebenarnya berada dalam satu naungan paradigma dengan teori fungsional struktural, akan tetapi keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda. Teori fungsional struktural menilai konflik adalah fungsional. Sementara teori konflik menyoroti fakta sosial berupa wewenang dan posisi yang justru merupakan sumber pertentangan sosial. Perbedaan posisi itu pada gilirannya dapat memicu timbulnya konflik dalam masyarakat. Ide pokok teori konflik dapat dibagi menjadi tiga sebagai berikut. Pertama, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan adanya pertentangan terus-menerus di antara unsur-unsurnya; Kedua, setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial dan ketiga, keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Sebagai lawannya teori struktural mengandung pula tiga pemikiran pokok. Pertama, masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya, bergerak dalam kondisi keseimbangan; kedua, setiap elemen atau institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas dan ketiga, anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma, nilai dan moralitas umum. Selanjutnya Johnson dan Duinker dalam Mitchell
(2003) menuliskan
“Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada”. Definisi konflik menurut Kovach dijelaskan dalam Hadi (2004) adalah suatu perjuangan
18
mental dan spiritual manusia yang menyangkut perbedaan berbagai prinsip, pernyataan dan argumen yang berlawanan. Hadi (2004) menjelaskan bahwa dalam istilah asing, konflik (conflict) dibedakan dengan sengketa (dispute). Namun dalam
penggunaan
secara
umum
di
Indonesia,
istilah
konflik
selalu
ditukargunakan (interchangeably) dengan sengketa. Beberapa penyebab atau akar timbulnya konflik, dinyatakan oleh Mitchell (2003), adalah sebagai berikut : (1) Perbedaan pengetahuan atau pemahaman (informasi/fakta); (2) Perbedaan nilai (prinsip); (3) Perbedaan kepentingan (alokasi untung rugi); dan (4) Perbedaan latar belakang personal/sejarah. Adapun Santosa dalam Hadi (2004), membedakan konflik dalam beberapa kategori. Pertama konflik sebagai persepsi dinyatakan karena adanya perbedaan kebutuhan, kepentingan, keinginan atau nilai dari seseorang/pihak dengan orang/pihak lain. Kedua, konflik sebagai perasaan ditandai dengan munculnya reaksi emosional terhadap situasi atau interaksi yang memperlihatkan adanya ketidaksesuaian. Ketiga, konflik sebagai tindakan merupakan bentuk ekspresi perasaan dan pengartikulasian dari persepsi kedalam tindakan untuk memperoleh sesuatu kebutuhan yang memasuki wilayah kebutuhan orang lain. Secara garis besar, Hadi (2004) menggolongkan bentuk-bentuk konflik lingkungan sebagai konflik peninggalan masa lalu dan sebagai konflik di era reformasi. Bentuk konflik peninggalan masa lalu umumnya diwarnai oleh adanya pertentangan pemanfaatan sumber daya alam. Konflik ini bisa antara pemerintah dan pengusaha di satu pihak dengan masyarakat di pihak lain. Konflik juga ditimbulkan karena dominasi atau sentralisasi kekuasaan pemerintah yang sangat
19
kuat. Adapun bentuk konflik di era reformasi dinyatakan oleh Hadi (2004) makin beragam. Konflik terjadi bisa antar pemerintah, antar sektor, antar daerah dan antar masyarakat sendiri. Teori konflik ini sangat membantu dalam menganalisa komparasi konflik air yang terjadi di Kabupaten Badung dan Tabanan Bali.
2.3.3
Teori Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan dalam polapola hubungan sosial antara lain mencakup sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik, kekuasaan dan perubahan penduduk (Suparlan dalam Bhasma, 2003:38). Terjadinya perubahan sosial pada umumnya dapat di sebabkan oleh pengaruh intern dan ekstern. Pengaruh intern antara lain bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, terjadinya suatu pertentangan, revolusi masyarakat. Sedangkan pengaruh ekstern biasanya bersumber pada lingkungan alam seperti bencana alam, pengaruh kebudayaan masyarakat lain atau peperangan. Bentuk perubahan sosial menurut Soejono Soekamto dibedakan dalam beberapa bentuk: a. Perubahan yang terjadi secara lambat dan perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat. b. Perubahan
yang kecil
pengaruhnya
dan
perubahan
yang besar
pengaruhnya
20
c. Perubahan yang dikehendaki
(intended-change) atau perubahan yang
direncanakan (Planned-change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unintended-change) atau perubahan yang tidak direncakan ( unplannedchange) (dalam Sajogo, 122:1985) Berdasarkan teori tunggal mengenai perubahan sosial
menyatakan
penyebab perubahan dalam masyarakat menunjukan kepada satu faktor (Sajogyo dalam Widiartha, 2010: 27). Teori tunggal ini menyatakan bahwa mungkin ada satu variabel tunggal yang menggerakkan terjadinya perubahan dan yang menjadi ciri atau pola tunggal pula. Perubahan sosial dapat terjadi karena lahirnya suatu pendapat baru (inovasi) dalam sistem atau masyarakat seperti teknik baru bentuk organisasi baru dan falsafah baru. Ruang
lingkup
perubahan-perubahan
sosial
meliputi
unsur-unsur
kebudayaan baik yang material maupun yang inmaterial (Ougburn dalam Soekanto, 2002: 303). Perubahan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masusia, yaitu kebutuhan primer yang mencakup aspek spiritual maupun aspek materialnya. Kebutuhan primer senantiasa berkembang, sehingga harus selalu disesuaikan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi dari lingkungan sosial maupun lingkungan alam (Soekanto, 1983). Selain itu dapat dikatakan bahwa perubahan terjadi adalah untuk mencapai suatu kesempurnaan, dimana kesempurnaan ini dapat memberi kemudahan bagi manusia.
21
2.4 Model Penelitian Model penelitian merupakan alur dari pelaksanaan penelitian yang merupakan hubungan dari beberapa variabel-variabel yang digunakan untuk menjawab dan memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini. Model penelitian ini diawali dengan melihat peningkatan infrastruktur di Kabupaten Badung yang mengedepankan sektor pariwisata sebagai prioritas pembangunan terutama yang mendukung di bidang pariwisata seperti hotel dan restoran (rumah makan). Hal ini dapat ditandai dengan berkurangnya lahan subak selama 10 tahun terakhir, serta bertambahnya jumlah villa. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kondisi penggunaan air bersih. Dampak ini kemudian menyebabkan konflik air yang ditunjukkan dengan aksi protes masyarakat seperti, kekurangan air bersih atau polusi air, dan mentransformasi lahan pertanian yang dianggap tidak banyak menguntungkan dan beralih pada sektor pariwisata. Masalah air ini terjadi antara berbagai aktor, baik itu secara vertikal masyarakat dengan pemerintah atau investor, dan konflik horizontal antara sesama petani itu sendiri. Konflik air ini juga telah lama terjadi di Kabupaten Tabanan, terutama pada musim kemarau yang ditandai dengan pencurian air irigasi subak. Selanjutnya penelitian ini mencoba melihat persamaan atau perbedaaan konflik yang terjadi di Kabupaten Tabanan dan yang terdapat di Kabupaten Badung. Setelah mengetahui perbandingan konflik yang terjadi antar dua wilayah ini kemudian, berupaya mencari solusi yang dianggap relevan dalam penyelesaian konflik baik itu di Kabupaten Tabanan maupun di Kabupaten
22
Badung. Lebih daripada itu, solusi ini dapat dijadikan rujukan bagi penyelesaian konflik di dua wilayah ini. Berangkat dari konsep pemikiran tersebut, maka secara skematis dapat digambarkan alur pikir dari penelitian ini dengan model penelitian sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.1 Model Penelitian PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR DAMPAK
KONFLIK AIR BADUNG
TABANAN
PEMERINTAH
INVESTOR
PETANI/PENDUDUK LOKAL
PERBANDINGAN KONFLIK
SOLUSI KONFLIK 23
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif. Pendekatan ini merupakan strategi untuk mendapatkan data atau keterangan. Metode kualitatif diartikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2010). Data dan informasi yang dikumpul bersumber dari informan terutama melalui wawancara mendalam yang didukung dengan penggunaan teknik-teknik studi dokumentasi dan penelitian lapangan. Sehingga menurut Neuman (1997: 344) tugas seorang peneliti adalah memahami apa yang terjadi dilapangan. Dengan demikian dalam pengumpulan data pada penelitian ini penulis melakukan survey yang merupakan suatu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dan mencari keterangan-keterangan secara faktual tentang kondisi daerah dan masyarakat setempat. Dengan melakukan survey dapat
melihat situasi secara konseptual
(menyeluruh) dan holistic (Mendalam) yang terjadi pada masyarakat setempat. Selain itu peneliti berinteraksi langsung dengan masyarakat Badung dan Tabanan khusunya, pada para petani, pengusaha villa, hotel dan restoran, pemerintah PDAM yang menangani langsung masalah air serta beberapa turis yang berkunjung ke daerah ini.
24
`Selanjutnya tahab-tahab kegiatan yang dilaksanakan dalam penelitian ini berpedoman pada: kajian pustaka, mengurus ijin penelitian, terjun ke lokasi penelitian untuk mengumpulkan data dengan cara (pengamatan, wawancara dan membuat catatan lapangan), mulai mengolah dan menganalisa data terakhir menulis laporan.
3.2 Lokasi Penelitian Berangkat dari ketertarikan peneliti pada masalah air yang merupakan masalah serius yang sering didiskusikan di setiap belahan dunia, kemudian peneliti pun mencoba melihat pengaruh peningkatan infrastruktur pariwisata terhadap konflik air dan berkurangnya lahan subak di wilayah Badung yang terfokus pada kelurahan Kerobokan Kecamatan Kuta Utara. akan tetapi ketika melakukan observasi dan wawancara secara singkat bersama mahasiswa IREST Paris1 dan Mahasiswa DDIP Udayana 2011, kemudian di temukan problem air, bahkan konflik air kerap terjadi di Tabanan. kemudian seiring dengan pembimbingan tulisan ini maka sebuah ide pun muncul untuk melihat komparasi masalah air pada dua kabupaten ini, yakni Kabupaten Badung dan Kabupaten Tabanan. Secara umum melihat dua kabupaten ini terasa sangat luas cakupannya, akan tetapi ketika hanya berbicara tentang infrastruktur dan konflik air dapat membatasi kedua lokasi ini. Dipilihnya wilayah Kabupaten Badung sebagai lokasi penelitian utama dengan pertimbangan: bahwa infrastruktur Badung terutama
25
dibidang pariwisata cukup pesat dan berkurangnya lahan pertanian dalam 10 tahun terakhir cukup signifikan. Sedangkan untuk wilayah Tabanan dipilih dalam penelitian ini adalah atas dasar pertimbangan bahwa Kabupaten Tabanan merupakan kabupaten yang memiliki jumlah lahan subak terluas, selain itu masalah pembagian air dalam organisasi irigasi subak juga sering menimbulkan masalah. Penelitian ini mulai dilakukan pada bulan Januari 2011 bersamaan dengan kuliah lapangan yang di lakukan oleh 12 mahasiswa IREST Paris1 Pantheon Sorbonne. Kemudian dibantu oleh 15 mahasiswa DDIP Udayana angkatan ke-2 yang di bagi ke dalam 4 kelompok dengan tema masing-masing. Dalam penelitian penggunaan air “l’usage de l’eau” terdiri dari 3 orang mahasiswa IREST Paris1 dan 3 orang mahasiswa DDIP Udayana. 3.3 Teknik Penentuan Informan Untuk mendapatkan data yang valid dan akurat sesuai dengan permasalahan dalam penelitan ini maka penentuan informan digunakan teknik bola salju (snow ball), yaitu mulai dari satu yang semakin lama semakin banyak (Moleong, 2010: 224). Lebih lanjut dijelaskan oleh Lee dan Berg 2001 (dalam Widiartha, 2010: 34) menyatakan strategi dasar bola salju ini dimulai dengan menetapakan satu atau beberapa informan kunci (key informants) dan melakukan interview terhadap mereka, kemudian kepada mereka diminta arahan, saran dan petunjuk siapa sebaiknya yang menjadi informan berikutnya yang memiliki informasi yang dicari. Informan kunci pada penelitian ini adalah ketua Assosiasi
26
Villa Bali, aparat pemerintah pada Dinas Pariwisata Kabupaten Badung dan Tabanan, para Pemerintah PDAM serta Petani. 3.4 Jenis dan Sumber Data 3.4.1 Jenis Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data yang bersifat kalitatif dan kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang berupa kalimat, kata-kata, ungkapan dalam bentuk deskriptif berupa berbagai keterangan dan informasi dari hasil wawancara yang menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain; kondisi perkembangan infrastruktur pariwisata, polusi air terhadap lahan pertanian, bentuk-bentuk relasi antara berbagai aktor dan apa solusi yang dilakukan ketika terjadi masalah. Sedangkan data kuantitatif adalah data dalam bentuk angka-angka yang dapat dihitung seperti jumah penduduk, jumlah usaha akomodasi (villa, hotel dan restoran), serta jumlah lahan subak. 3.4.2. Sumber Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data skunder. Sumber data primer berupa informasi yang didapatkan melalui wawancara mendalam dengan informan-informan antara lain dari pihak pemerintah baik dari Kabupaten Badung maupun Kabupaen Tabanan, masyarakat, para investor atau pemilik villa, hotel dan restoran serta pihak-pihak yang memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai situasi dan mengetahui informasi terkait dengan objek penelitian. Dari wawancara ini sebagian besar data yang didapat adalah data kualitatif. 27
Sedangkan sumber data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui pengumpulan dan pengolahan data yang berasal dari beberapa sumber seperti mengkaji permasalahan-permasalahan air yang pernah terjadi baik itu di Kabupaten Badung maupun Tabanan-Bali selain itupula mengkaji kebijakan, baik di Pemkab Badung dan Tabanan, Pemerintah Propinsi Bali serta Pemerintah Pusat khususnya yang mengatur masalah air, dan infrastruktur pariwisata. Selain itu sumber data skunder juga diperoleh dari mengkaji literatur teknis seperti artikelartikel dan jurnal yang terkait dengan topik penelitian, kemudian dokumendokumen resmi yang diterbitkan oleh Pemerintah
Kabupaten Badung dan
Tabanan seperti buku Kabupaten Badung dalam angka selama 10 tahun terakhir, laporan kegiatan PDAM dan laporan kegiatan Dinas Pariwisata Kabupaten Badung dan Tabanan maupun literatur non teknis laporan, surat kabar, majalah serta brosur-brosur. Dalam menunjang kelengkapan data penelitian, penulis juga melakukan pencarian data dan informasi terkait dengan penelitian situs-situs yang terdapat di internet, khususnya situs resmi pemerintah Kabupaten Badung dan Tabanan di: http//www.badungkab.go.id atau http//www.tabanankab.go.id. 3.5 Instrumen Penelitian Sebagaimana dikemukakan oleh Nahwi (1992: 69), dalam pengumpulan data dipergunakan alat (instrument) yang tepat agar data yang berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian dapat dikumpulkn secara lengkap. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat (instrument) dianggap relevan yaitu
28
pedoman wawancara yang telah disiapkan sebelumnya, berupa pertanyaan pokok dengan menggunakan daftar pertanyaan-pertanyaan yang isinya menyangkut halhal yang berkaitan dengan materi penelitian ini, alat perekam, kamera, dan sebuah buku catatan. 3.6 Teknik pengumpulan data Teknik dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah obsevasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Ketiga teknik tersebut merupakan teknik umum yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk mendapatkan kedalaman data. Observasi yaitu teknik penelitian dengan melakukan pengamatan langsung ke lokasi penelitian, serta mencatat dengan sistematis fenomena yang diamati. Penggunaaan teknik obsevasi ini dimaksud untuk mendapatkan data primer dampak perkembangan infrastruktur terhadap konflik air di Kabupaten Badung (dengan melihat kondisi konflik air pada subak di Kabupaten Tabanan). Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui tanya jawab (wawancara) secara langsung dimana pihak yang diwawancara (interviewer) berhadapan langsung secara fisik dengan pihak yang diwawancarai (interviewee). Dalam pelaksanaan wawancara akan dipergunakan wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara (interview-guide) untuk mewawancarai dengan pihak yang berkaitan langsung dengan pihak-pihak yang terlibat pada konflik air. Menurut Koentjaraningrat (1994: 129) mengemukakan bahwa wawancara mendalam
dalam suatu penelitian bertujuan mengumpulkan
29
keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian mereka itu. Selain melakukan pengamatan langsung seperti teknik di atas, penelitian ini juga menggunakan teknik Analisis Dokumen, yaitu kegiatan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang berhubungan dengan peningkatan infrastruktur pariwisata di Badung, konflik air dan berkurangnya lahan subak baik di kabupaten Badung maupun Tabanan. 3.7 Penelitian lapangan Dalam penelitian lapangan pertama yang dilakukan adalah melakukan observasi kebeberapa tempat penelitian seperti melihat pesatnya infrastruktur pariwisata, keberadaan lahan pertanian serta polusi air yang terdapat di lahan pertanian. Kemudian wawancara dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh data dan informasi secara langsung dari sumber-sumber yang dianggap relevan dengan penelitian ini antara lain pejabat pemerintah pada instansi yang membidangi masalah air atau pariwisata, tourism office, tourist, masyarakat pelaku usaha pariwisata, masayarakat umum dan petani. Wawancara dilakukan secara formal dan informal (terjadwal dan tidak terjadwal). Pola wawancara yag dilakukan meliputi pengajuan pertanyaan, menyimak, mengekspresikan
ketertarikan,
mencatat
dan
merekam
informasi
yang
disampaikan informan. Dengan demikian wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang mengarah pada kedalaman informasi, yang pengembangan
30
pertanyaan selanjutnya dilakukan oleh peneliti di lapangan ketika berhadapan dengan para informan, disesuaikan dengan kondisi wawancara yang berlangsung.
3.8 Penelitian kepustakaan Untuk mendapatkan data yang dianggap relevan dengan penelitian ini dilakukan juga pengumpulan data dengan menggunakan penelitian kepustakaan. Teknik ini merupakan penelaahan terhadap referensi-referensi yang berhubungan dengan fokus permasalahan penelitian. Kepustakaan yang dipergunakan sebagai bahan dari penelitian ini berupa literatur-literatur, buku-buku, jurnal, laporan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini yang menghabiskan banyak waktu di perpustakaan, baik itu di perpustakaan IREST Paris1 Pantheon Sorbonne, maupun perpustakaan Geografi Sorbonne serta beberapa kali mengunjungi perpustakaan kajian Pariwisata S2 Udayana Bali. Selain itu berupa arsip-arsip Pemerintah Kabupaten Badung dan Tabanan yang menyangkut kebijakan kepariwisataan dan perkembangan kepariwisataan, artikel koran, buletin Pemerintah Kabupaten Badung dan Tabanan, artikel, koran, hasil seminar dan diskusi, serta informasi berupa kondisi perkembangan kepariwisataan dan subak di Kabupaten Badung dan Tabanan dari media elektronik termasuk melalui internet, serta foto-foto kondisi daerah pariwisata di Kabupaten Badung dan Tabanan.
31
3.9 Analisis data Analisis data menurut Spradly (2007) ini tidak terlepas dari keseluruhan proses penelitian. Adapun untuk menganalisis data pada penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: Analisis dengan Metode Perbandingan Tetap, Dinamakan metode perbandingan tetap atau Constant Comparative Method karena dalam analisis data, secara tetap membandingkan satu datum dengan datum yang lain, dan kemudian secara tetap membandingkan kategori dengan kategori lainnya. Metode analisis data ini dinamakan juga „Grounded Research‟, karena awal mulanya ditemukan oleh Glaser & Strauss dan dikemukakan dalam buku mereka „The Discovery of Grounded Research‟. Perlu dipahami bahwa Grounded Research diartikan sebagai filosofi namun juga sebagai metode analisis data (Maloeng, 2010: 288-289). Secara umum proses analisis data diantaranya melakukan reduksi data, dengan mengidentifikasi satuan (unit). Pada mulanya diidentifikasikan adanya satuan yaitu bagian terkecil yang ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian. Kemudian melakukan Kategorisasi yakni upaya memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan. Selanjutnya mensintesisasikan berarti mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori lainnya. Terakhir adalah dengan Menaik kesimpulan, verifikasi data dalam penelitian ini dilakukan secara terus-menerus sepanjang proses penelitian berlangsung. Setelah proses pengumpulan data peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan, yaitu mencari pola, tema, hubungan persamanaan, hal-hal yang
32
sering timbul dan hipotesis yang dituangkan dalam kesimpulan. Akan Tetapi, sebelum disimpulkan hasil analisis ditafsirkan terlebih dahulu untuk memperoleh kesesuaian dengan hasil yang ingin dicapai. Untuk mempermudah menarik kesimpulan, khusnya dalam melihat komparasi konflik di dua kabupaten maka penulis menyusun tabel sejarah konflik dan tipe konflik serta faktor yang menyebabkan konflik antara Kabupaten Badung dan Tabanan atas asumsi penulis sendiri. 3.10 Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data merupakan kegiatan akhir dari seluruh proses penelitian yang nantinya dapat berupa laporan penelitian ilmiah dalam bentuk tesis. Penyajian dari hasil analisis data ini disajikan secara naratif dan ditunjang dengan tabel, bagan dan gambar. Hal ini bertujuan untuk menggambarkan secara jelas hasil penelitian yang kemudian disertai dengan interpretasi hasil analisis sesuai dengan teori dan kerangka pemikiran yang berlaku umum.
33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Kabupaten Badung dan Tabanan 4.1.1 Kondisi Geografis di Kabupaten Badung
Gambar 4.1 Peta Kabupaten Badung
Badung
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Badung Kabupaten Badung adalah salah salah satu kabupaten yang berada di daerah propinsi Bali dengan memiliki luas wilayah 418,52 Km2 sekitar 7,44% keseluruhan luas pulau Bali. Kabupaten Badung merupakan daerah beriklim tropis yang memiliki dua musim yaitu kemarau (April-Oktober) dan musim hujan (November-Maret). Dengan curah hujan rata-rata pertahun antara 893,4 - 2.702,6 mm. Suhu rata-rata 25 – 30°C, dengan kondisi suhu tersebut menjadikan kelembaban udara di Kabupaten Badung berkisar berkisar 80% - 86%, dengan kelembaban udara rata-rata mencapai 79%. Keadaan curah hujan di bawah rata-
34
rata terjadi pada bulan Februari mencapai -138,7 mm sedangkan hujan di atas rata-rata mencapai 377,9 mm yang terjadi pada bulan Desember. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan Februari yang mencapai 31,2°C, sedangkan suhu terendah mencapai 22°C yang terjadi pada bulan September. Secara astronomi wilayah Kabupaten Badung terletak pada 8°14‟20” - 8°50‟48” Lintang Selatan dan 115°26‟16” Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: -
Utara : Kabupaten Buleleng
-
Timur : Kabupaten Bangli, Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar
-
Selatan : Samudera Indonesia
-
Barat : Kabupaten Tabanan Wilayah Kabupaten Badung secara administrasi dibagi menjadi 6 wilayah
kecamatan yaitu Kecamatan Petang, Kecamatan Abiansemal, Kecamatan Mengwi, Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan Kuta, Kecamatan Kuta Selatan. Untuk pemerintahan desa di Kabupaten Badung terdapat 16 Kelurahan, 46 Desa, 369 Banjar Dinas, 164 Lingkungan dan 4 Lingkungan Persiapan. Penduduk Badung merupakan modal dasar pembangunan yang menjadi subjek pembangunan disegala bidang yang merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah haruslah mendapatkan perhatian di dalam pengelolahaanya. Berdasarkan data BPS Kabupaten Badung jumlah penduduk pada tahun 2010 adalah sebanyak 388.514 jiwa, yang sebagian besar penduduknya bekerja pada sektor pariwisata yang mencapai 34,22% dan pada bidang pertanian hanya sebanyak 21%.
35
Wilayah Kabupaten Badung yang berada di ujung selatan pulau Bali memiliki potensi yang sangat strategis di dalam pembangunan pariwisata, yang dijadikan sektor unggulan utama prioritas pembangunan. Berdasarkan Peraturan Bupati Badung Nomor 7 Tahun 2005 tentang Objek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Badung ditetapkan 33 objek wisata yang tersebar di seluruh kecamatan, yang berupa wisata alam, wisata budaya dan wisata remaja. Wisata alam yang dikembangkan di Badung banyak berada dipesisir pantai karena dari 25 jenis wisata alam 19 diantaranya merupakan wisata pantai. Sedangkan wisata budaya yang dikembangkan di Kabupaten Badung dengan keberadaan tempat suci khususnya pura. Selanjutnya wisata remaja hanya terdapat 3 objek yakni Monumen Garuda Wisnu Kencana (GWK), kolam renang Water Bom Park dan SPA serta bumi perkemahan Blahkiuh. Meskipun demikian penelitian di Kabupaten Badung ini lebih banyak mengeksplor wilayah Kuta Utara tepatnya di Kelurahan Kerobokan.
36
Gambar 4.2 Peta Kerobokan
Sumber; http://www.google map 15 Januari 2011 Penelitian ini lebih banyak dilakukan di Kerobokan, studi ini mengkaji tentang masalah yang menyangkut pada konsumsi air, manajemen air, dan konflik air oleh PDAM dan subak. Terutama tentang dampak perkembangan infrastruktur pariwisata terhadap masalah air. Kerobokan adalah adalah sebuah kelurahan yang terletak di kecamatan kuta utara, Kabupaten Badung Bali. Letaknya berdekatan dengan destinasi pariwisata: kuta, legian, dan seminyak yang lahan pertaniannya relatif terbatas karena adanya pengembangan jalan, hotel, villa, kantor dan stasiun. (Martini Dewi, 2008). Kemudian kita dapat melihat Kerobokan berada pada 18 km dari barat Denpasar di Kuta Utara. Pada tahun 2010 populasi penduduk Kuta Utara sebanyak 60.360 jiwa. Sedangkan jumlah populasi di Kerobokan yakni 28.973 jiwa. Pada Kecamatan Kuta Utara ini memiliki 3 Kelurahan dan 4 Desa.
37
4.1.2
Kondisi Geografis di Kabupaten Tabanan Gambar 4.3 Peta Kabupaten Tabanan
Tabanan
coordinate: 8°14'30"-8°30'70" LS; 114°54'52"-115°12'57" BT Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Tabanan
Kabupaten Tabanan sebagai salah satu Kabupaten di Provinsi Bali, terletak pada posisi 080 14‟30” sampai 080 38‟ 07” Lintang Selatan dan 1140 54‟ 52” sampai 1150 12‟ 57” Bujur Timur. Dilihat dari persepektif topografinya daerah Kabupaten Tabanan merupakan daerah dengan ketinggian 0-1000 M dari permukaan laut. Di wilayah bagian Utara merupakan pegunungan berbukit-bukit yang melandai ke arah Selatan. Wilayah Kabupaten Tabanan seluas 839,33 km 2 yang merupakan 14,90% dari luas pulau Bali (5.632,86 km 2). Wilayah Kabupaten Tabanan terdiri dari kawasan sawah seluas 23.464 Hektar, tanah kering seluas 60.469 Hektar, kawasan hutan lindung seluas 10.418 Hektar, kawasan penyangga
38
seluas 32.768, kawasan budidaya seluas 28.613 Hektar dan kawasan non budidaya seluas 12.224 Hektar. Dengan jumlah populasi penduduk Tabanan sebanyak 404.000 jiwa. Serta jumlah kunjungan wisatawan asing maupun domestik sebanyak 3.200.000 per tahun. Peningkatan jumlah wisatawan juga terus bertambah sebesar 13 % hingga awal 2011. Kabupaten Tabanan ini memiliki 13 destinasi pariwisata serta 13 objek wisata yang masih dalam tahap pengembangan. Sebagai sarana penunjang pariwisata Kabupaten Tabanan memiliki 3 hotel berbintang 150 hotel melati dan 25 Restoran. Kabupaten Tabanan terdiri dari 10 kecamatan yaitu Kediri, Marga, Baturiti, Tabanan, Kerambitan, Selemadeg, Selemadeg Timur, Selemadeg Barat, Pupuan dan Penebel. Kesepuluh kecamatan tersebut terdiri dari 123 desa, 753 banjar dinas dan 333 desa adat. Batas wilayah administratif Kabupaten Tabanan adalah Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Buleleng, Timur berbatasan dengan Kabupaten Badung, Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Jembrana.
4.2 Sejarah Pengelolaan Air Di Bali Air bagi masyarakat Bali adalah hal yang vital yang harus tetap dijaga kelestariannya, pada awalnya air di Bali adalah milik publik bukan milik pribadi yang pengelolaannya diatur berdasarkan etika, upacara dan organisasi seperti subak. Sehingga siklus air yang utama pada saat itu adalah untuk mengairi sawah selebihnya untuk konsumsi seperti masak, mandi dan mencuci. Untuk melihat
39
fungsi dan manajemen air antara dahulu dan sekarang maka Lebih lanjut akan kita kaji sejarah air di Bali. Menulis sejarah air di Bali ini akan lebih banyak mengutip sejarah air di Bali sebagaimana tulisan yang telah di publikasikan oleh (Yayasan Wisnu: 2001) yang dapat kita lihat melalui beberapa periode sebagai berikut:
4.2.1 Sejarah Pengelolaan Air Jaman Kolonial Belanda Pemerintahan kolonial Belanda mulai masuk di Bali sejak tahun 1882 dan efektif melaksanakan kolonialisasi sejak 1908 ketika Kerajaan Klungkung takluk kepada Belanda, dan Singaraja dipilih sebagai pusat pemerintahan Karesidenan Bali dan Lombok. Mulailah Belanda mengeksploitasi sumber daya alam. Meskipun Bali tidak memiliki hasil yang menonjol, Belanda memaksakan niatnya dalam beberapa sektor seperti pelipatgandaan beras, sapi, kopi dan babi. Untuk mendapatkan hasil yang lebih, Pemerintah Belanda mengeluarkan aturan yang baru tentang pajak, khususnya tanah. Pajak tanah merupakan pemungutan pajak berupa
2/3 hasil panen sawah negara yang pemungutannya dilakukan lewat
kepala
pemerintahan Swapraja. Oleh kepala swapraja 2/3 hasil panen yang
dipungut tersebut dijual kepada pedagang Cina atau perusahaan Belanda. Uang hasil penjualan kemudian diserahkan pada Residen yang berkedudukan di Singaraja. Kepala Swapraja dan Kaum Puri yang ditunjuk untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan Swapraja mendapatkan gaji dari pemerintah Hindia Belanda di Bali.
40
Di samping itu Pemerintah Belanda juga menata pengairan dengan menempatkan Ir Sipil yang bernama WG Happe sebagai pejabat Waterstaats Dients untuk daerah Bali Selatan. Irigasi subak mulai diperbaiki dengan membangun dam misalnya dam Pejeng (1914), dam Mambal (1924), dam Oongan (1925), dam Kedewatan (1926), Dam Peraupan (1926), Dam sidembuntut (1926) dan dam Apuan Bekutel (1928). Pembangunan ini tentunya sesuai dengan kepentingannya untuk
mendapatkan hasil pajak yang lebih meningkat
(Suadnyana, 1993 dalam Yayasan Wisnu: 2001). Tidak cukup hanya dengan menerapkan pajak yang tanah dan hasil-hasil pertanian, kemudian Belanda ingin merintis satu sektor dalam perekonomian Bali yang berhubungan erat dengan keadaan sosial budaya masyarakat Bali yaitu bidang pariwisata. Menurut golongan liberalisme Belanda agar penjajahan oleh Belanda tidak sia-sia dan lebih efektif. Maka dikembangkanlah pariwisata di Bali. Sejak saat itu, Pemerintah Kolonial Belanda mulai membangun sarana wisata seperti tempat akomodasi, restoran, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi dan lainnya. Meskipun pada awalnya ada golongan lain dari kaum penjajah itu sendiri yang menolak pencanangan pariwisata ini, akan tetapi masalah ini hingga berujung di parlemen yang menatakan pariwisata dapat di kembangkan di Bali. Pada tahun 1924, Pemerintah Belanda telah mengoperasikan Bali Hotel yang terletak di lingkungan Puri Denpasar. Kemudian di Kuta dibangun Hotel “Suara Segara”
oleh Avonturir Amerika yang bernama Ketut Tantri. Di Puri Ubud
Gianyar digunakan juga sebagai penampungan wisatawan dalam bentuk
41
homestay. Prasarana yang dibangun meliputi jalan menuju obyek wisata, dan jaringan telepon. Untuk pintu masuk ke Bali, pemerintah membangun pelabuhan Benoa di Badung dan pelabuhan Pabean di Singaraja serta lapangan udara di Tuban. Agar pembangunan yang direncanakan berjalan lancar, dibuatlah aturan pengelolaan baru. Tidak mungkin penjajah akan membantu masyarakat yang dijajah. Politik Etis tetap menjadi gagasan minor di masyarakat penjajah. Kolonialisme hanya memberi perhatian besar pada usaha untuk menyedot kekayaan alam sebesar-besarnya. Pemerintah Belanda mulai melirik air sebagai komoditas unggulan dalam pengembangan pariwisata. Prasarana penyediaan air sudah disiapkan sejak tahun 1927 untuk kawasan Bali Selatan. Pada Tahun 1932 Denpasar telah mempunyai sistem pelayanan air dengan sumber mata air dari Dusun Riang Gede Kabupaten Tabanan, yang berkapasitas produksi sebesar 14 liter/detik (Yayasan Wisnu: 2001).
4.2.2
Pengelolaan Air Jaman Awal Kemerdekaan
Saat itu energi pemikiran lebih banyak digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan. Namun demikian, Pemerintah RI sempat mengambil alih perusahaan air minum yang dahulu dikuasai Belanda, menjadi Perusahaan Air Minum Negara, dibawah naungan Departemen PUTL (Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik). Jumlah pelanggan pada saat itu sebesar 426 sambungan (Yayasan Wisnu: 2001). Jadi pada masa ini, terjadinya perpindahan dalam manajemen dan
42
kepemilikan air dari pemerintah Belanda ke Pemerintah Republik Indonesia, saat menjelang kemerdekaan. Air yang digunakan untuk pertanian masih dikelola oleh subak. Sehingga intervensi Pemerintah Indonesia saat itu belum begitu besar. Pemerintah Indonesia malah melanjutkan program yang belum diselesaikan, seperti Bendung Cangi, Bendung Munggu, Bendung Gadon. Pembuatan dan perawatan Irigasi yang lain tetap dilakukan oleh petani (subak).
4.2.3
Pengelolaan Air Jaman Tahun 1960 sampai 80-an
Kebijakan pertanian pada awal Repelita I adalah meningkatkan produksi pertanian. Untuk mendukung itu, pemerintah berusaha untuk merehabilitasi bangunan irigasi yang telah ada sejak pemerintah Hindia Belanda. Pada saat yang sama, pemerintah mengundang CIBA, sebuah perusahaan dari Swiss untuk membantu Indonesia, dan timbullah program Bimas pada tahun 1971. Dalam program ini, petani diminta menanam
padi jenis tertentu dengan perlakuan
pengairan tertentu. Hasilnya pada tahun 1974 sukses besar, karena 48% petani ikut program. Tiga tahun kemudian, meningkat lagi dengan 70% petani mengikutinya (lansing, 1987 dalam Yayasan Wisnu: 2001). Kemudian pada awal tahun 70-an telah ada penyediaan air dalam kemasan botol, pada masyarakat kelas menengah atas dapat membeli air botol ini. Pemasaran air kemasan ini sangat meningat. Sehingga pada tahun 1973 group AQUA mengetahui sebuah hubungan mudah dalam pemasaran ini hingga pada awal tahun 1980-an. sebuah pilihan yang sangat strategis terkait dengan kondisi,
43
paking yang mudah dan strategi harga, AQUA menjadi leader dalam pemasaran air. ( Anonim, 2003). Kemudian pada jaman ini konflik antar sektor seperti air minum, irigasi, pembangunan jalan, perumahan semakin sering terjadi. Namun seperti jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda, sektor yang mendukung pariwisata yang selalu dimenangkan. Sektor yang sering sekali dikalahkan, terutama pada era 80an adalah sektor pertanian. Akibatnya sektor pertanian menjadi profesi yang terpinggirkan. Oleh sebab itu, alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian setahunnya hampir mencapai 1.000 ha per tahun. Ini merupakan hasil studi Kanwil Dikbud Bali dan Universitas Udayana Tahun 1993 di Denpasar, tentang perkembangan alih fungsi lahan dapat pula di lihat pada perkembangan infrastruktur di Kabupaten Badung.
4.2.4
Pengelolaan Air Tahun 1990-an
Urusan air tidak juga selesai. Fungsi pengelolaan air semakin bergeser untuk memanjakan pariwisata. Akibatnya konflik pemanfaatan air semakin tidak bisa dihindari, tidak hanya antar petani, tetapi sudah terjadi antar institusi yang berbeda. Sebagai contoh adalah konflik antara PDAM dengan subak di aliran Yeh Ho, dimana para petani menuntut pengelolaan air dikembalikan kepada petani. Di dalam pengelolaan air bersih, terjadi pula perubahan mendasar, dimana pengelolaan air sudah dapat dilakukan oleh perusahaan swasta pada tahun 1990. Melalui kerjasama dengan PDAM Badung, PT Tirtaartha Buanamulia mengelola
44
air bersih guna melayani daerah Nusa Dua. Di samping itu, Pemerintah juga mengeluarkan ijin perusahaan air minum kemasan untuk mengambil air dari mata air sebanyak 21 perusahaan. Pada kondisi pengelolaan yang paling krusial, air telah menjadi komoditas ekonomi yang besar. Pada titik ini kita sudah bisa melihat adanya pergeseran air dari publik menjadi privat. Ketika air sudah mulai dimiliki privat maka fungsi air akan mulai bergeser mengarah pada sektor ekonomi dan keuntungan.
4.2.5
Kondisi Air di Bali Tahun 1998
Pulau Bali yang luasnya 5.632,86 km2 mempunyai sumber air dari air hujan, aliran permukaan, mata air, air danau/ waduk dan air tanah. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 1.000 mm di daerah pantai dan 3.000 mm di pegunungan. Jika dilihat dari curah hujan rata-rata tahunan (2.106 mm), maka Bali memiliki curah hujan yang cukup tinggi dibanding daerah Nusa Tenggara. Curah hujan tersebut satu tahun menghasilkan potensi ketersediaan air untuk Bali sebesar 5.964,35 juta m3 yang berasal dari Danau mempunyai volume air 1.015,05 juta m3; Air Sungai 4.125,58 juta m3; 500 buah mata air sebesar 422,59 juta m3 dan air tanah yang dapat dieksploitasi sebesar 401,14 juta m 3 (Bappeda, 1998) atau mempunyai debit rata rata 189,12 m 3/detik. Penggunaan air dari potesi tersebut meliputi:2.294,83 juta m3 untuk pertanian, 8,8 juta m3 pariwisata, 82,1 juta m3 untuk keperluan rumah tangga, 94,36 juta m3 peternakan dan perikanan dan lain-lain (Bappeda, 1998).
45
4.2.6
Sejarah PDAM Badung
Ketika membahas sejarah air maka lebih lengkap ketika kita memasukan sejarah air yang di kelola oleh PDAM di Badung. keberadaan sistem penyediaan air minum di Kabupaten Badung telah ada sejak jaman Belanda, sekitar tahun 1932. Sistem penyediaan air minum pada jaman itu dikenal dengan nama Perusahaan Air Minum Negara dengan menggunakan sumber air Baku dari mata air Riang Gede di Kabupaten Tabanan. Selanjutnya, pada tahun 1945 ata Era kemerdekaan Perusahaan Air Minum Negara Berubah menjadi perusahaan air minum yang dikelola langsung oleh Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik daerah Tk. I Bali. Dalam Rangka Colombo Plan pada tahun 1971 pemerintah Australia memberikan bantuan dana yang kemudian digunakan untuk membuat Pipa Transmisi, Resevoir, Pipa Distribusi dan sambungan rumah serta sumur bor. Kemudian pada tahun 1975, Perusahaan Air Minum
berubah nama menjadi
Perusahaan Air Minum Daerah Tingkat II Badung sesuai dengan surat keputusan Direktorat Teknik Penyehatan Nomor 93/KPTS/1975 tertaggal 21 Oktober 1975. Penggunaan nama Perusahaan Air Minum Daerah Tingkat II Badung kemudian diubah lagi menjadi PDAM Kabupaten Daerah Tingkat II Badung berdasarkan Peraturan Daerah No 5/ perda/ 1976. Seiring dengan penerapan otonomi daerah PDAM Daerah Tingkat II Badung diubah menjadi Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Badung (Profil PDAM tahun 2010).
46
Diagram 4.1 Prediksi Air di Bali
Sumber: Viva news, 2 Januari 2011
Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali, mengutarakan krisis air sebenarnya sudah terlihat sejak tahun 1995 ketika terjadi defisit air sebanyak 1,5 miliar meter kubik per tahun. Defisit air terus meningkat menjadi 7,5 miliar meter kubik per tahun dan pada 2015 diperkirakan meningkat menjadi 27,6 miliar meter kubik per tahun (Walhi, 2011). Dampak krisis air akan lebih besar terasa di Kabupaten Badung yang merupakan sentra pariwsata. Pembangunan fasilitas pendukung pariwisata seperti hotel dan restoran tumbuh pesat terutama di kawasan Kuta, Jimbaran, dan Nusa Dua yang mengalami peningkatan pesat setiap tahunnya.
47
Tabel 4.1 Neraca Ketersediaan Air Tanah dan Mata Air dengan Kebutuhan Air Non Irigas Kabupaten Badung dan Tabanan Tahun 1997 dan 2000
Tahun 1997
Tahun 2000
Potensi No
Kabupaten
Kebutuhan
Balence
Kebutuhan
Balance
(Juta/ m3)
(Juta/ m3)
Juta / m3
(Juta / m3)
119.83
1015.76
-895.93
1290.46
-1170.63
175.34
127.78
47.56
159.58
15.76
(Juta/ m3)
1.
Badung dan Denpasar
2.
Tabanan
Sumber: Bappeda 1998 Sekarang kita bisa melihat data singkat tentang perbandingan air menurut hasil riset Yayasan Wisnu (2011) tersebut di atas. Akumulasi jumlah potensi air tersebut sebenarnya mampu mencukupi kebutuhan air. Tetapi perlu diingat, bahwa tidak semua potensi air dapat dimanfaatkan, karena jika air danau, waduk, mata air akan menjadi kering, kapasitas air hujan untuk mengisi mengisinya kembali tidak mencukupi. Di samping itu, lokasi sumber air sangat menyebar dan prasarananya belum semua dibangun. Oleh karena itu, jika dilihat dari neraca penggunaan air di tiap kabupaten, Kabupaten Badung dan Kota Denpasar telah defisit 895 juta m3 per tahun, yang berarti bahwa mereka membutuhkan suplai air dari luar kabupaten. Kebutuhan akan adanya air bersih memang tidak dapat dihindari, karena perkembangan penduduk yang meningkat. Selain itu sumber-sumber air bersih
48
semakin berkurang. Rasio penggunaan air bersih di Bali berdasar data dari BPS 1999 ternyata 90,51% adalah kelompok dari pelanggan rumah tangga, sedang sisanya sebanyak 9,49% merupakan kelompok pelanggan lainnya seperti badan sosial, kantor, industri, hotel dan lainnya. Rasio kebutuhan air bersih antara penduduk dan pariwisata, berdasar studi Yayasan Wisnu, dapat dilihat dalam perhitungan sebagai berikut. Kebutuhan air bersih per orang per hari 120 liter, sementara kebutuhan per kamar hotel per hari adalah 1500 liter. Jumlah penduduk Badung tahun 2000 adalah 344.617 orang. Maka kebutuhan airnya adalah 41.354 m3 per hari. Sementara jumlah kamar hotel adalah 27.000, sehingga kebutuhan airnya adalah 43.124 m 3 per hari. Akumulasi kebutuhan hotel dan rumah tangga sebesar 84.478 m 3 perhari. . 4.3 Dinamika Konflik di Kabupaten Tabanan Mengkaji masalah konflik air di Tabanan sangat erat kaitannya dengan irigasi pertanian (subak) yang ada di wilayah ini. Dalam interaksi antar sesama manusia perbadaan pendapat dan perbedaan kepentingan tidak bisa dihindari. Perbedaan tersebut berpotensi untuk memicu terjadinya perselisihan atau konflik antara berbagai kelompok masyarakat. Untuk mengetahui kronologis konflik serta faktor yang melatar belakangi konflik di Kabupaten Tabanan tulisan ini akan banyak menelaah hasil riset yang dilakukan oleh Sutawan (2008 : 379- 420). Selanjutnya akan dibicarakan contoh-contoh kronologis dari konflik berdasrkan faktor-faktor pemicu konflik sebagai berikut:
49
4.3.1 Kelangkaan air Air bukan saja dibutuhkan untuk kegiatan pertanian tetapi juga untuk berbagai keperluan sesuai dengan tuntutan dan pola kehidupan masyarakat modern. Misalnya, untuk keperluan domestik (rumah tangga seperti untuk mandi, dan air minum), industri, pembangkit tenaga listrik, hotel beserta restoran. Kelangkaan air merupakan faktor yang paling berpotensi menjadi sumber pemicu konflik semakin langka air yang tersedia dalam suatu subak semakin sering terjadi perselisihan yang berhubungan dengan pemanfaatan air. Kelangkaan ini terjadi terutama pada musim kemarau. Sehingga pada saat bukan kemarau konflik sulit ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Faktor kelangkaan air ini memicu masyarakat melakukan hal-hal yang melanggar normatif atau aturan bersama yang telah tertulis dalam hukum adat Bali yakni awig-awig. Akan tetapi keadaan yang memaksa seperti sawah yang kekeringan air mendorong petani melakukan pencurian air, proses pencurian air inipun dilakukan dengan berbagai cara misalnya membuar lubang di dinding saluran sehingga air langsung dapat masuk ke sawah miliknya sendiri, merusak bangunan bagi (tembuku) terutama jika masih belum permanen sehingga mudah dilubangi dan karenanya air akan banyak masuk ke saluran yang akan membawakan air ke petak sawah miliknya sendiri, menutup tembuku milik anggota lain atupun milik tempek lain yang mengakibatkan kerugian kepada pihak lain yang airnya ditutup itu. Selain itu Perusahaan Air Minum dengan menggunakan jaringan pipa air maupun botol kemasan juga memerlukan air baku. Mengingat sumber air terbatas,
50
sedangkan kebutuhan semakin bertambah maka konflik kepentingan antara berbagai pengguna sulit dihindari. Lebih lanjut dijelaskan Ketua Perhimpunan Pakaseh-Pakaseh (Forum Pakaseh se-Kabupaten Tabanan) atau Sabantara Pakaseh bahwa konflik antara PDAM dengan subak sering juga terjadi di Tabanan. untuk menghindari konflik disarankan olehnya supaya PDAM mengambil air dari sumber-sumber air yang masih tersedia di bagian hilir sungai sehingga tidak sampai mengurangi air yang masuk ke wilayah persubakan. Sementara itu, ketua dari sebuah LSM yang ada di Karangasem pernah mengatakan bahwa PDAM dan juga pihak-pihak yang banyak memanfaatkan air seperti industri pariwisata seharusnya mau bekerjasama dengan pihak subak dan bersedia memberikan bantuan dana untuk melakukan penghijauan di sepanjang DAS agar mata air bisa terpelihara. Pada masa-masa yang akan datang, jika sumber air dapat dijaga kelestariannya tentu subak dan PDAM dapat berbagi air dengan pihak PDAM. Dalam upaya menjaga lingkungan dan sumber air secara spiritual , subak-subak di Bali melaksanakan ritual. Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit, seperti untuk upacara pekelem di Pura Ulun Danu dalam rangka pelestarian danau sebab danau-danau di Bali merupakan sumber air bagi sungaisungai di Bali. Para petani di Bali sudah cukup berjerih payah menjaga kelestarian sumberdaya air secara spiritual. Masyarakat nonpetani yang ikut memanfaatkan air, seperti industri pariwisata atau PDAM, seharusnya ikut peduli dan berpartisipasi menjaga kelestarian sumber-sumber air melalui cara-cara lain seperti melalui proyek-proyek penghijauan dan penghutanan kembali. Dengan
51
cara bekerjasama memelihara dan melindungi sumber-sumber air maka, kelestarian sumberdaya air dapat diwujudkan. (Sutawan, 2008: 390).
Menurut laporan dari (Viva News, 2 Januari 2011) Konflik atas air ini pernah terjadi di Subak Yeh Gembrong dengan PDAM di Yeh Gembrong, Kabupaten Tabanan. Subak Jatiluwih dengan pihak swasta di Jatiluwih, Penebel, Kabupaten Tabanan. Konflik perebutan air Telaga Tunjung PDAM Tabanan. subak-subak mulai mengeluh ketika sumber mata air untuk irigasi disedot oleh PDAM. Mengenai konflik kelangkaan air antara petani subak dan PDAM dapat di lihat dari kasus subak Yeh Gembrong dengan PDAM kemudian, Subak Mangesta terhadap pengeboan ABT oleh hotel Vita Life di Wongaya Betan hingga petani jatiluih yang mengeluh keberadaan sumur bor mereka (Walhi: 2008).
Kelangkaan air irigasi dalam pertanian ini juga di jelaskan oleh petani Subak Nyoman (40) yang menyatakan bahwa “kelangkaan air subak sering terjadi pada musim kemarau sehingga saya harus menyari aliran air dan membuat irigasi kecil hingga air dapat masuk ke sawah saya. Lebih dari itu kalau mau dibandingkan dengan dulu jumlah mata air yang masuk kesawah lebih mengecil”. Artinya adanya pengurangan kuantitas air yang masuk ke lahan pertanian. Kelangkaan air ini kemudian memunculkan Kasus konflik , seperti terjadi di subak Rum dalam lingkungan Pasedahan Yes Empas Utara, Tabanan. Perselisihan antara tempek yang di hulu dengan tempek yang di hilir, terutama pada musim kemarau dalam bentuk pencurian air oleh tempek yang di hilir,
52
misalnya dilaporkan oleh (Parwata 1991: 85-86 dalam Sutawan 2008). Pada musim kemarau tahun 1977, tempek Sanganan Kawan mencoba meminjam air dari Tempek Bubugan, namun tidak disetujui dengan alasan Tempek Bubugan sendiri juga kekurangan air. Karena permohonannya ditolak maka terpaksa Subak Sanganan Kawan mencuri air dari tempek yang di hulu itu. Kelihan Tempek Bubugan protes dan melaporkan pencurian ini kepada pekaseh. Kemudian, pekaseh menindaklanjuti dengan mempertemukan kedua kelihan tempek bersangkutan. Pihak tempek yang di hilir tetap bersikeras bahwa selama tidak diberikan meminjam air pada saat-saat membutuhkan maka pencurian akan tetap dilakukan. Sedangkan, pihak Tempek Bubugan tetap tidak setuju untuk memberikan air kepada Tempek senganan Kawan. Karena perselisihan ini tidak dapat diselesaikan pada tingkat subak, maka pekaseh meminta bantuan Sedahan Yes Empas Utara untuk menyelesaikannya. Setelah bernegosiasi kembali dengan pihak-pihak terkait dengan dipimpin oleh sedahan, akhirnya Tempek Bubugan mengalah dan bersedia memberikan air kepada Tempek senganan kawan dan untuk selanjutnya diadakan distribusi air secara bergilir. Jadi, rupanya dalam banyak kasus, sedahan dan sedahan-agung dalam penyelesaian masalah konflik baik antartempek, maupun antarsubak masih diharapkan oleh banyak subak karena cukup disegani oleh para petani. Lebih lanjut (Parwata, 1991 dalam Sutawan, 2008: 394). Menjelaskan Kasus lainnya tentang konflik karena kekurangan air sering terjadi antara tempek I dengan tempek II dalam lingkungan Subak Gunggungan di wilayah pasedahan Yes Empas Selatan, Tabanan. setiap musim tanam padi yang dimulai sekitar bulan
53
Juli/Agustus, bertepatan dengan musim kemarau, tempek I yang letaknya lebih di hulu dari Tempek II selalu menutup bagian air untuk tempek II. Berhubung waktu tanam bersamaan maka tentu saja tempek II tidak bisa bertanam akibat tidak ada air, sehingga melaporkannya kepada pekaseh. Setelah bernegosiasi dengan pihakpihak terkait, akhirnya diputuskan dan disepakati oleh kedua pihak, yaitu bahwa jadwal tanam perlu dirubah dan dilakukan secara bergilir. Tempek II mengundurkan jadwal tanamnya, yakni satu minggu setelah tempek I. Selain itu, konflik masalah air juga terjadi sekitar tahun 1983 antara dua subak yang masih dalam lingkungan Pasedahan Yeh Empas Selatan. Ini terjadi setelah ada bantuan peningkatan jaringan irigasi Subak Lanyah. Karena air yang masuk ke Subak lanyah dipandang mencukupi, maka pihak pemerintah menyarankan agar sebagian dari air untuk Subak Lanyah tersebut juga diberikan kepada Subak Pasut. Menurut pengamatan Dinas PU, air yang masuk ke Subak Lanyah cukup memadai untuk dibagikan sebagian kecil kepada Subak Pasut. Subak Lanyah pada mulanya setuju saja mungkin karena ada bantuan peningkatan sistem irigasinya itu, sedangkan Subak Pasut sendiri tidak mendapat bantuan serupa itu. Lagi pula, Subak Pasut tentu saja merasa senang karena akan mendapat tambahan air, walaupun sudah punya empelan sendiri. Namun, setelah proyek selesai malahan Subak Lanyah masih juga merasa bahwa air tidak mencukupi jika diberikan sebagian kepada Subak Pasut terutama pada musim kemarau. Dengan alasan itu, pihaknya menutup ambang bangunan bagi yang menuju Subak Pasut dengan papan. Subak Pasut protes dan melaporkannya kepada Sedahan Yeh Empas Selatan dan pengamat pengairan dari Dinas PU. Hasil pertemuan kedua
54
pejabat beserta pengurus dari kedua subak, diperoleh kesepakatan supaya Subak Lanyah membuka kembali ambang bangunan bagi yang tadinya ditutup dengan papan tersebut. Akan tetapi Subak Lanyah kembali menutup bangunan bagi tersebut bahkan dengan semen. Kejadian ini dilaporkan kembali oleh Subak Pasut kepada kedua pejabat tersebut. Kata sepakat juga belum berhasil ditemukan, karena Subak Lanyah tetap tidak bersedia berbagi air dengan Subak Pasut, dan Subak Pasut sendiri tetap menuntut hak yang pernah dijanjikan oleh pemerintah. Karena menemui jalan buntu, maka kasus ini diteruskan kepada Sedahan-agung dan Dinas PU Kabupaten Tabanan. Perundingan kemudian diadakan di Kantor Kecamatan Tabanan dipimpin oleh Sedahan-agung bersama-sama Dinas PU Tabanan dan diikuti selain oleh pengurus kedua subak, juga Sedahan Yeh empas Selatan, Koramil, dan Kapolsek Tabanan. Dalam perundingan itu, Subak Pasut bersedia untuk tidak diberikan pembagian air asalkan jaringan irigasinya juga ditingkatkan dengan banguan pemerintah. Hal ini terjadi hanya karena adanya kecemburuan antar petani subak yang antara yang mendapatkan bantuan dan tidak. Berbeda halnya dengan keterangan Made (30) petani yang tidak menggunakan subak, akan tetapi mereka menggunakan aliran air pura, karena sawah mereka dekat dengan Pura meskipun mereka tidak akan terlibat konflik dengan petani subak lainnya namun mereka menjelaskan bahwa: “.... jumlah mata air pura di wilayah Gunung Kawi inipun mengecil dari dahulu, bahkan kalau musim kemarau tidak jarang sawah saya ini
55
kekurangan air karena air yang tersedia hanya untuk keperluan pura saja. Saya tidak protes ke pada siapapun karena hanya sawah saya yang dibantu air pura, kalau sawah mengering saya membuat kerajianan lampu tidur dari tempurung kelapa...”.
Berdasarkan keterangan tersebut, kelangkaan air tidak hanya terjadi untuk subak akan tetapi pada selain subakpun air di wilayah ini mengalami kelangkaan terutama pada musim kemarau. Selanjutnya menurut Setiawan 1986, dalam Sutawan: 2008) Kasus konflik juga terjadi antar petani sering terjadi di subak Kesiut dalam lingkungan DI Cagub, Tabanan, pada waktu belum ada proyek peningkatan jaringan irigasi. Misalnya, pada musim kemarau tahun 1973, banyak terjadi pencurian air oleh para petani yang sawahnya sangat membutuhkan air. Setiap malam petani terpaksa berjaga-jaga di sawahnya bahkan dengan mempersenjatai diri dengan senjata tajam namun, tidak pernah sampai terjadi perkelahian. Untuk menghindari permasalahan ini, maka pekaseh mengadakan rapat anggota dan berhasil membuat kesepakatan sebagai berikut: a. Di wilayah subak Kesiut diberlakukan jam malam, mulai dari pukul 18.00 sampai pukul 06.00 pagi. b. Setiap malam diadakan patroli oleh petugas khusus yang terdiri dari 10 orang. Penugasan dilakukan secara bergilir di antara anggota-anggota subak. c. Bagi anggota subak yang tertangkap basah melakukan pencurian dikenai denda sebesar Rp 2.000,-
56
Sejak konstruksi proyek peningkatan jaringan irigasi selesai dan mulai difungsikan sekitar tahun 1980, konflik antara anggota-anggota subak karena pencurian air menjadi jauh berkurang, karena bangunan bagi dan saluran irigasi sudah banyak yang menjadi lebih permanen. Meskipun demikian, untuk mencegah pencurian air pada musim kemarau maka melalui rapat subak dicapai kesepakayan mirip seperti kesepakatan yang diberlakukan di tahun 1973 tersebut di atas sehingga masalah pencurian air di Subak Kesiut dapat dicegah. Isi kesepakatan yang dihasilkan dalam rapat subak tahun 1982 adalah: a.
Dilarang petani pergi ke sawah pada malam hari, kecuali pengurus subak yang sedang mengawasi distribusi air.
b.
Distribusi air diprioritaskan untuk sawah-sawah yang benar-benar sangat memerlukan air di bawah koordinasi pekaseh.
c.
Pencuri air akan dikenai sanksi berupa denda sebesar satu kuintal gabah jika dilakukan pada siang hari dan dua kuintal jika pada malam hari.
4.3.2 Alih Fungsi Lahan Sawah Banyak kejadian di mana subak-subak yang sebagian dari areal persawahannya sudah beralih fungsi menjadi perumahan maupun fasilitas umum seperti jalan raya, dan lain-lain memicu perselisihan antara subak dengan kelompok masyarakat lain di luar masyarakat subak karena tidak bisa bertanam padi karena sumber airnya tertutup akibat terputusnya saluran irigasi atau sawah
57
yang mengalih fungsikan pertaniannya dari padi ke non padi juga menimbulkan masalah. Sawah yang dialihfungsikan untuk bertanam tanaman tahunan misalnya cengkeh, anggur, jeruk dan lain-lain dapat juga menjadi penyebab konflik antara petani padi sawah dengan petani yang mengalihfungsikan sawahnya. Sawah-sawah yang digunakan untuk tanaman tahunan tidak banyak membutuhkan air. Akan tetapi, saluran irigasi kadang-kadang masih berfungsi terutama untuk petani padi. Apabila lahan sawah yang dialihfungsikan tersebut ada di bagian hulu dari sistem irigasi, dan saluran irigasi yang masih difungsikan itu melewati lahan yang beralih fungsi tersebut, maka kondisi seperti ini dapat berdampak kurang baik bagi tanaman tahunan yang tidak banyak membutuhkan air akibat rembesan air lewat saluran. Untuk kasus alihfungsi sawah ke arah penggunaan nonpertanian khususnya untuk pemukiman atau fasilitas umum lainnya, rupanya banyak petani yang merasa sangat dirugikan. Ini disebabkan karena saluran-saluran irigasi tidak bisa difungsikan lagi karena sudah ditutup. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan kekecewaan bagi mereka yang masih bertani dan akhirnya dapat memicu kerawanan sosial (Sutawan, 2008: 385).
4.3.3 Proyek-proyek pengembangan irigasi Proyek penggabungan beberapa sistem irigasi kecil menjadi satu kesatuan sistem irigasi yang lebih besar juga kemudian menimbulkan permasalahan. Proyek irigasi Bali, mulai sejak tahun 1980-an melaksanakan proyek-proyek yang menggabungkan beberapa subak menjadi satu kesatuan sistem irigasi. Masing-
58
masing dari subak yang digabung tersebut, pada awal mulanya telah memiliki empelan sendiri-sendiri. Tetapi, setelah penggabungan, semuanya harus mengambil air dari satu bangunan pengambilan (bendung) bersama, sedangkan empelan semula tidak lagi difungsikan. Proyek penggabungan sistem irigasi ini ternyata kurang melibatkan subak-subak terkait dalam proses pengambilan keputusan sehingga aspirasi mereka tidak tertampung. Dengan perkataan lain, pendekatan yang dipakai oleh pelaksana proyek bersifat top down bukannya partisipatif. Penggabungan sistem fisik dari beberapa sistem irigasi kecil tanpa penggabungan sistem sosialnya tentu dapat menimbulkan berbagai permasalahan. (Sutawan: 2008). Secara tradisional bentuk bangunan bagi (tembuku) yang dipakai oleh subak adalah menurut model yang dikenal dengan istilah numbak. Pada sistem numbak, bentuk ambang pembagiannya adalah rata dan semuanya diletakkan pada satu garis lurus atau searah dengan aliran pokok. Kemudian, dengan adanya bantuan pemerintah dalam peningkatan jaringan irigasi sejak tahun 1980-an khususnya bantuan untuk irigasi tersier melalui PIB (Proyek Irigasi Bali), sistem numbak mulai diganti dengan bentuk bangunan yang menyerupai kotak bersegi empat. Bentuk bangunan bagi ini dikenal dengan istilah “Box Tersier”. Tetapi di kalangan subak, bangunan model baru ini disebut sebagai bentuk ngerirun, perubahan bentuk bangunan bagi dari desain tradisional (numbak) ke model ngerirun kurang dapat diterima oleh petani. Lebih dari itu, dalam pembangunan proyek bantuan tersier ini juga tidak melibatkan petani dalam pengambilan keputusan mulai dari tahap perencanaan
59
sampai tahap konstruksinya. Setelah konstruksi selesai para petani baru sadar bahwa bangunan tersebut tidak mereka kehendaki karena tidak merupakan teknologi yang tepat atau tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Sistem
ngerirun
dirasakan
sangat
kurang
adil
sebab
ternyata
lebih
menguntungkan kelompok petani tertentu (Sutawan, 1991: 63-64). Keadaan ini sangat berpeluang menjadi sumber konflik bukan saja konflik antara kelompokkelompok petani, tetapi juga antara kelompok petani dengan pihak pemerintah. Kasus konflik mengenai proyek pembangunan irigasi seperti yng terjadi DI Sungsang seluas (290,6
Ha) dan Subak Blumbang seluas (190,8 Ha),
keduanya berada di bagian hilir daerah aliran sungai Ho, Tabanan. Kedua Subak digabung menjadi satu sistem irigasi yang dinamakan DI Sungsang. Bendung baru untuk mengairi kedua subak dibangun sekitar 2.500 meter di hulu empelan Subak Sungsang yang lama. Tahap konstruksi dari proyek penggabungan ini selesai pada tahun 1985. Meskipun demikian, hampir selama tiga tahun sejak selesainya proyek, ternyata sistem irigasi hasil penggabungan ini tidak dapat berfungsi sebagaimana direncanakan. Air hanya dimanfaatkan oleh Subak Blumbang, sedangkan Subak Sungsang terpaksa tetap memanfaatkan air dari empelan miliknya semula. Ini berarti bahwa proyek hanya dimanfaatkan oleh satu subak saja. Perlu ditekankan bahwa proyek ini tidak melibatkan kedua subak mulai dari tahap persiapan sampai tahap konstruksi. Setelah proyek ini berfungsi, kedua subak hampir tidak pernah berkoordinasi secara formal tentang pembagian air yang bersumber dari bendung yang baru itu (Sutawan: 2008). Hal ini dapat dikatakan bahwa kurangnya sosialisasi atau koordinasi atas proyek baru yang
60
dibangun, artinya pembangunan fisik yang dibangun tidak melibatkan pembangunan sosial budaya masyarakat setempat sehingga berdampak pada konflik. Menurut (Sutawan: 2008) kasus konflik mengenai pengembangan irigasi ini juga terjadi di DI Penebel yang juga terletak pada DAS Ho Kabupaten Tabanan, merupakan penggabungan tiga sistem irigasi yang secara keseluruhan mencakup 6 subak dengan luas areal seluruhnya mencapai 760,5 ha. Tiga buah subak diantaranya, yakni berturut-turut Subak Penebel (100,25 ha), Subak Benana (87,95 ha), dan Subak Rianggede (306,17 ha) pada mulanya memiliki empelan sendiri-sendiri. Sementara itu, 3 subak lainnya, yaitu Subak Priyuk (108 ha), Petung Gambang (41 ha) dan Manik Menuh (117 ha), semuanya merupakan subak nataktiyis yang memperoleh rembesan air dari subak-subak yang ada di hulunya. Tahap konstruksi proyek penggabungan ini rampung tahun anggaran 1984/1985. Bendung yang baru ini ditempatkan sekitar 50 meter di hilir empelan Penebel yang lama. Sama halnya kasus DI Sungsang seperti telah diuraikan di atas, proyek ini juga hanya menguntungkan salah satu subak yaitu yang di hulu (Subak Penebel), sedangkan subak-subak lainnya masih mengandalkan air dari sumber yang lama. Subak Penebel dengan luas hanya 100 ha menerima air sebanyak 504 liter, dan Subak Benana yang arealnya Cuma 80 ha mendapat 349 liter per detik dari intake-nya sendiri. Subak Rianggede, yang merupakan subak paling luas (306 ha) hanya menerima 196 liter per detik juga dari intake-nya semula. Subak Rianggede mengeluh debit air yang masuk ke intake-nya mengecil sejak dibangunnya
61
bendung permanen yang baru tetapi hanya dimanfaatkan oleh satu subak saja. Subak-subak terkait juga tidak tahu tentang proyek penggabungan ini karena pendekatannya adalah top down. Subak Penebel tidak pernah meminta untuk digabung dan berbagi air dengan subak-subak lain. Yang diinginkannya tidak lain adalah bantuan perbaikan empelan miliknya semula tanpa harus dimanfaatkan bersama dengan subak lain. Subak ini hanya bersedia memberikan air kepada subak lain apabila dapat dijamin bahwa subaknya sendiri sudah cukup air. Kelima subak lainnya yang direncanakan akan ikut memanfaatkan proyek ini menuntut bagian air dari bendung yang baru. Meskipun mereka diberikan air dari bendung yang baru, namun mereka menginginkan agar empelan mereka yang lama masih diizinkan untuk dimanfaatkan. Alasannya karena air dari bendung yang baru tidak akan mencukupi tanpa ada tambahan air dari empelan yang lama. Melihat keadaan ini kemudian beberapa peneliti dari Universitas Udayana untuk melakukan pilot proyek dengan pendekatan partisipatif agar proyek irigasi itu dapat dimanfaatkan demi kepentingan semua subak terkait. Melalui kerjasama dengan pihak Sub Dinas Pengairan Dinas PU Propinsi Bali dibuatlah usulan “Pilot Proyek
Pengembangan
Sistem
Irigasi
yang
menggabungkan
beberapa
Empelan/Subak di Kabupaen Tabanan dan Buleleng”. Tim peneliti telah berhasil memfasilitasi pembentukan wadah koordinasi antarsubak (subak-gede) dan mereka bersepakat untuk berbagi air yang bersumber dari bendung yang baru dibangun oleh pemerintah. Untuk kasus DI Sungsang, kedua subak sepakat untuk membentuk subak-gede yang dinamakan “Subak-gede Tirta Nadi”.
62
Dalam lingkungan DI Penebel, juga berhasil dibentuk wadah koordinasi dengan nama “Subak-gede Batu Agung”. Beberapa kesepakatan yang dicapai oleh subak-subak terkait terutama yang menyangkut pembagian air antara subak-subak terkait yang airnya diperoleh dari bendung yang baru dibangun adalah sebagai berikut. Subak Penebel yang terletak paling di hulu harus rela memberikan dua per lima (40%) dari air yang tersedia kepada Subak Benana dan Subak Rianggede. Selanjutnya, air sebanyak 40 % bagian ini harus dibagi antara Subak Benana dan Subak Rianggede dengan proporsi 4 berbanding 5. Atau dengan kata-kata lain, Subak Benana yang letaknya agak lebih di hulu dari Subak Rianggede, harus memberikan 4 per 9 bagian (= 44,4%) dari air yang dialokasikan bagi kedua subak yang bersangkutan. Pola tanam yang berlaku sebelum penggabungan adalah padi-padi-padi. Akan tetapi, setelah terbentuk subak-gede, pola tanam berubah menjadi padipalawija-padi. Khusus untuk Subak Penebel yang semula menerapkan pola tanam padi terus-menerus bersedia untuk menggantinya menjadi padi-bera-padi. Pada musim hujan, semua subak menanam padi secara hampir bersamaan, tetapi di musim kemarau, yang diberikan kesempatan lebih dahulu untuk menanam ialah Subak Penebel dan dua minggu sesudahnya diikuti oleh Subak Benana dan demikian seterusnya secara bergilir sampai ke hilir. Mereka juga sepakat berbagi tugas dalam pemeliharaan saluran irigasi, yaitu saluran primer menjadi tugas semua subak. Untuk pemeliharaan saluran di bawah saluran primer, hanya menjadi tugas dari subak atau subak-subak yang menerima air dari saluran tersebut.
63
4.3.4 Konflik Akibat Adanya Polusi Air Kasus-kasus konflik akibat pencemaran air irigasi, umumnya sering terjadi di subak-subak yang letaknya berdekatan dengan wilayah pemukiman. Misalnya, beberapa subak di daerah Tabanan mengalami pencemaran air irigasi akibat kotoran ternak babi dan ayam. Kotoran ternak dapat membentuk sedimen pada saluran irigasi. Selain pencemaran yang bersumber dari usaha peternakan, sampah yang hanyut di saluran terutama sampah plastik juga sangat menganggu para petani anggota subak. Pembuangan sampah secara sembarangan oleh penduduk bertebaran ke saluran irigasi yang sekaligus difungsikan sebagai drainase dapat merugikan petani. Dampak dari pencemaran akibat sampah adalah: (i) dapat menyumbat saluran irigasi sehingga meluap ke jalan-jalan umum; (ii) mencemari sawah yang menerima air dari saluran bersangkutan dan mungkin dapat menyebabkan berkembang biaknya berbagai penyakit, dan (iii) menghambat aliran air sehingga menganggu pengalokasian dan pendistribusian air irigasi. Pemerintah daerah sesungguhnya telah mencoba meletakkan tempat-tempat sampah di pinggir jalan dekat saluran drainase supaya penduduk membuang sampahnya di tempat-tempat yang sudah disediakan. Demikian juga kepala-kepala desa sudah diberitahu untuk mendorong warganya supaya tidak lagi membuang sampah secara sembarangan, namun sampai kini masalah sampah ini belum dapat diatasi dengan tuntas. Seperti hasil wawancara yang di lakukan di daerah Ubud, Ketut (55) menyatakan bahwa:
64
“sawah saya ini seperti yang anda lihat sampah-sampah masuk di aliran irigasi saya, dan saya yang membersihkannya sendiri mengenai sumbernya ya bermacam-macam namanya juga dipinggir jalan, dekat dengan restoran, hotel, warung, perumahan dsb. Selain polusi sampah saya memagari sawah saya ini dengan jaring karena banyaknya bebek yang masuk di sini. Saya pikir tanah ini tahun depan akan saya kontrakkan saja atau saya jual karena saya sudah tua hasil pertaniannya juga tidak sebanding dengan usaha saya”.
Penjelasan bapak ini menunjukkan bahwa jika tidak sesegera di atasi masalah sampah ini maka minat petani untuk bertani tentunya berkurang karena hasil produksi banyak lagi karena gangguan polusi di sekitar mereka. Lebih daripada itu, di pinggir sungai banyak dibangun villa dan hotel serta restoran. Dapat diduga limbah yang berasal dari industri pariwisata ini dapat menjadi sumber polutan bagi air sungai. Beberapa petanidari sebuah subak di sekitar Kedewatan Ubud, Gianyar misalnya memberikan informasi bahwa beberapa hotel membuang limbah dari hotel dan restoran ke sungai Ayung yang telah mencemari air sungai dan mata air yang dianggap sakral oleh penduduk setempat. Ternyata yang mengeluh bukan hanya petani dan warga setempat saja tetapi juga perusahaan rafting yang beroperasi di Sungai Ayung karena limbah dari hotel dan restoran sering menebar bau busuk Sutawan (2008).
4.3.5 Konflik akibat lemahnya koordinasi antar aktor (Pemerintah, Petani dan Investor) Mengenai lemahnya koordinasi antar pemerintah dan petani ini juga dijelaskan dalam wawancara bersama salah satu pekerja di museum subak Tabanan, Ni made (35) Januari 2011 menjelaskan “mengenai adanya konflik air
65
antara pemerintah dengan petani misalnya kasus PDAM dengan petani karena tidak taunya petani tentang kuota pembagian air, berapa untuk subak dan berapa untuk PDAM” lebih lanjut dijelakan pula PDAM mendapatkan air tentunya lebih banyak karena menyangkut konsumsi air bersih meliputi seluruh penduduk maka dibutuhkan sebuah sosialisasi yang jelas kepada petani tentang pembagian air ini.
4.4 Perkembangan Infrastruktur dan Dinamika Konflik di Kabupaten Badung 4.4.1 Jumlah Penduduk dan Infrastruktur di Kabupaten Badung
Grafik 4.1 Populasi penduduk Kabupaten Badung tahun 1995-2010
374.337 282.548
388.514
318.064
Sumber: Berdasarkan data BPS Badung antara tahun 1990-2010
Berdasarkan grafik tersebut di atas, pda tahun 1995 jumlah penduduk Badung yakni 282.548 jiwa dan pada tahun 2010 jumlah penduduk mencapai 388.514 jiwa. Dari grafik itu pula kita dapat melihat bahwa adanya peningkatan
66
jumlah penduduk Badung antara tahun 1995 dan 2000, yang mengalami peningkatan sebanyak 35.000 jiwa Kemudian antara tahun 2000 dan 2005 terjadi pula peningkatan jumlah penduduk sebanyak 56.273 jiwa Sedangkan pada tahun 2005 dan 2010 hanya mengalami peningkatan sebanyak 14.177 jiwa. Dapat dikatakan bahawa peningkatan yang lebih tinggi terjadi pada tahun 1995 dan 2005. Akan tetapi antara tahun 2005 dan 2010 peningkatan itu ada namun tidak terlalu banyak diperkirakan bahawa pada kurun waktu tersebut adanya penekanan jumlah kelahiran misalnya berhasilnya program keluarga berencana yang pernah dicanangkan oleh pemerintah. Selain itu pula kemungkianan adanya penduduk lokal yang melakukan perpindahan ke daerah lain disebabkan karena lahan mereka telah banyak dimiliki oleh non penduduk Badung, akan tetapi diperkirakan jumlah orang asing atau tourist meningkat pada kurun waktu 20052010. Melihat adanya peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Badung, dari tahun ke tahun baik peningkatan itu tinggi atau rendah, tentunya ada hubungannya dengan penggunaan air di Kabupaten yang tentunya berpengaruh pada kondisi air yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini.
67
4.4.2
Jumlah Kunjungan Wisatawan di Kabupaten Badung Tabel 4.2
Perkembangan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara di Kabupaten Badung (periode tahun 1995 – 2010) Jumlah wisatawan (orang) No
Tahun
Keterangan Domestik
Mancanegara
1.
1995
-
680.859
2.
2000
122.689
681.137
3.
2005
-
1.386.448
4.
2010
212.375
2.269.217
Sumber: Badung Dalam Angka- BPS Kab. Badung
Melihat tabel perkembangan wisatawan domestik dan mancanegara di Kabupaten badung, sepertinya ada hubungan dengan penurunan kenaikan jumlah penduduk di Kabupaten Badung pada periode 2005-2010 yang sebanding dengan peningkatan yang tinggi jumlah tourist pada periode ini pula. Jumlah wisatwan asing di Kabupaten Badung pada tahun 1995 adalah sebesar 680.859 orang dan pada tahun 2010 sebesar 2.269.217 orang. Sedangkan pada wisatawan domestik peningkatannya tidak sebanyak wisatawan asing yakni pada tahun 2000 sebanyak 122.689 dan pada tahun 2010 sebanyak 212.375. setelah dijumlahkan peningkatan jumlah wisatawan ini sangat besar. Dengan banyaknya peningkatan jumlah wisatwan yang terjadi maka dapat pula dikatakan bahwa adanya peningkatan jumlah penggunaan air besih.
68
4.4.3
Infrastruktur Pariwisata
Kabupaten Badung merupakan wilayah strategis secara ekonomi dan pariwisata, salah satu sarat pengembangan pariwisata adalah adanya accessibility yang baik seperti, perhubungan udara, darat dan laut. Kabupaten Badung memiliki satu bandara Internasional yaitu I Gusti Ngurah Rai yang menjadi pintu masuk wisatawan. Untuk perhubungan darat ditunjukkan dengan pembangunan jalan yang dilakukan di Kabupaten Badung dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
pembangunan
juga
bertujuan
sebagai
prasarana
penunjang
kepariwisataan. Menurut data BPS tahun 2007 sepanjang 564,377 km yang dapat menghubungkan
pelayanan
internal
dan
eksternal
wilayah.
Kemudian
perhubungan laut, Kabupaten Badung tidak memiliki pelabuhan laut, akan tetapi keberadaan pelabuhan Benoa yang berada di wilayah Kota Denpasar yang hampir bersebelahan dengan perbatasan Kabupaten Badung cukup mendukung dari kegiatan pariwisata diwilayah ini.
69
Tabel 4.3 Jumlah Akomodasi pariwisata di Kabupaten Badung pada Tahun 1996-2010 Rumah NO.
Tahun
Hotel Berbintang
hotel melati Penginapan
1.
2000
73
232
101
2.
2001
75
251
102
3.
2002
76
271
99
4.
2003
81
290
103
5.
2004
90
302
110
6.
2005
90
309
124
7.
2006
90
337
143
8.
2007
93
364
189
9.
2008
94
377
230
10.
2009
94
422
332
11.
2010
94
455
401
Sumber; Badan pusat statistik (BPS) Badung 2000-2010 Analisis berikutnya kita lihat tabel jumlah akomodasi pariwisata di Kabupaten Badung, yang meupakan bagian penting dalam industri pariwisata. Berdasarkan tabel di atas menarik data dari Badan Pusat Statistik (BPS) di Kabupaten Badung ada tiga bentuk akmodasi di Badung yakni mulai dari hotel berbintang, hotel melati dan penginapan seperti villa dan rumah yang di sewakan. Kemudian kita telah melihat pada tabel bahwa jumlah hotel berbintang relatif stabil dalam peningkatannya misalnya pada periode 2000 sebanyak 73 hotel dan
70
2005 menjadi 90 hotel. Kemudian periode 2005 sebnayak 90 hotel hingga tahun 2010 hanya meningkat 4 buah hotel.. Hal ini diiringi dengan peningkatan dalam bentuk akomodasi lainnya. seperti hotel melati pada kurun waktu 2000 hingga 2010 terajadi peningkatan dari 232 hotel melati menjadi 455 hotel melati. Meskipun demikian peningkatan yang terjadi pada hotel berbintang maupun hotel melati relatif dinamik berdasarkan periode tertentu. Lebih daripada itu, peningkatan terjadi pula pada penginapan seperti villa, atau rumah sewa yang perkembangannya relatif cepat yang dilaksanakan oleh para investor bisa dilihat pada tabel pada tahun 2000 hanya 101 jumlah rumah penginapan sedangkan pada tahun 2010 peningkatannya mencapai 401 jumlah penginapan. Artinya sejak tahun 2005 penginapan seperti villa dan rumah sewa menjadi alternatif tempat peristirahatan tourist yang lebih diminati dibandingkan hotel. Demikian pula ketika melaksanakan observasi di wilayah ini terlihat perkembangan pembangunan villa mengarah pada daerah Korobokan yang terletak di Kuta Utara kabupaten Badung. sebagaimana diuangkapkan oleh ketua assosiasi Bali Villa, perkembangan villa saat ini sudah mengarah ke daerah Krobokan mengingat bahwa untuk wilayah Seminyak dan Kuta sudah penuh dan wilayah Krobokan memiliki potensi pariwisata. Untuk lebih jelasnya kita bisa melihat kondisi villa yang terjadi di wilayah kuta Utara seperti di Krobokan yang menjadi daerah pembangunan villa sebagaimana gambar di bawah ini:
71
Gambar 4.4 Persebaran villa di Kelurahan Krobokan Kuta Utara Kabupaten Badung
Sumber; www.indonesia-bali.com/canggu_kerobokan_map.php Desember 2010
Berdasarkan informasi dari hasil wawancara menjelaskan bahwa perkembangan villa dan infrastruktur di wilayah Krobokan ini di mulai pada tahun 1995. sejumlah villa banyak dibangun pada daerah yang berdekatan dengan distinasi pariwisata dan memiliki tempat yang nyaman dan strategis tentunya, seperti wilayah Kuta Utara, Kuta Selatan, Kuta maupun mengwi. Para investor lebih tertarik mencari lokasi yang indah misalnya berdekatan dengan sawah, Pura dan pantai. Lebih lanjut ditambahkan oleh keterangan ketua assosiasi Bali villa yang menjelaskan “ ada sekitar 800 villa di daerah Badung hingga tahun 2011 ini. Akan tetapi, hanya 520 villa yang memiliki izin resmi, dan yang 280 belum terdata secara resmi”. Kemudian harapan dari pemerintah dinas pariwisata bahwa
72
semua villa dapat terdaftar secara resmi di kantor DISPARDA untuk memudahkan dalam pengontrolan serta pemungutan pajak sebagaimana halnya hotel. Lebih dari itu, untuk saat ini wisatawan lebih suka menginap di villa di banding di hotel-hotel.
Fenomena ini ketika tidak di atasi dengan cepat dapat menimbulkan dampak tidak hanya pada sektor pariwisata namun juga pada sektor lainnya seperti lingkungan dan populasi yang sulit dikontrol. Sebagaimana yang disebutkan pada hasil wawancara bahwa “sejumlah villa di Bali pada awal berdirinya atas nama penduduk setempat akan tetapi tidak jarang yang kemudian villa-villa tersebut berpindah tangan pada orang asing seperti mereka yang menikah dengan penduduk setempat”. Hal ini tentunya menimbulkan kesulitan pula bagi pemerintah dalam mendata antra penduduk lokal Bali dan penduduk pendatang maupun orang asing yang tinggal di sana. Tabel 4.4 Jumlah Restoran di Kabupaten Badung (Tahun 1996-2010)
No.
Tahun
Restoran
Rumah Makan
Bar
Total
1.
1996
14
162
113
289
2.
1997
21
159
117
297
3.
1998
22
249
158
429
4.
1999
38
335
179
552
5.
2000
43
377
206
626
73
6.
2001
43
388
220
651
7.
2002
61
362
246
669
8.
2003
67
374
258
699
9.
2004
76
383
264
723
10.
2005
97
413
287
797
11.
2006
131
429
302
862
12.
2007
185
452
324
961
13.
2008
192
446
322
960
14.
2009
236
451
336
1.023
15.
2010
277
457
345
1.079
Sumber; Badan pusat statistik (BPS) Badung 2000-2010 Berdasarkan tabel jumlah restoran, rumah makan maupun bar mengalami peningkatan dari tahun 1996 hingga tahun 2010 dari jumlah total tahun 1996 sebanyak 289 ke 1.079 pada tahun 2010. Melihat data dari BPS ini secara total jumlah kenaikan restoran, rumah makan, maupun bar mengalami peningkatan sekitar 790 buah. Sedangkan jumlah peningkatan pada rumah makan juga mengalami peningkatan namun tidak terlalu besar yakni sebanyak 295 buah dari tahun 1996-2010. Kemudian diikuti dengan kenaikan jumlah bar sebanyak 232 periode 1996-2010. Situasi ini menunjukkan sebuah realisasi dari pengusaha dalam mendukung sektor pariwisata. Selanjutnya dilihat dari tabel tersebut untuk restoran itu sendiri mengalami peningkatan sebanyak 263 buah dimulai dari tahun 1996 hingga 2010.
74
Selain itu kita bisa melihat pula adanya stagnasi kenaikan jumlah restoran dan rumah makan pada tahun 2000 hingga 2003 terutama pada rumah makan. Hal ini dikarenakan adanya faktor lain yang mempengaruhi seperti adanya isu tentang terorisme pada periode tersebut. Sehingga investor menunda sejenak investasi mereka. Akan tetapi setelah periode tersebut jumlah peningkatan restoran rumah makan dan bar cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Selain keberadaan sarana akomodasi di Kabupaten Badung memiliki beberapa sarana dan rekreasi wisata lain berupa: 21 uah pusat kebugaran, 22 tempat pertujukkan, 3 tempat renang, 29 Usaha billyard, 1 bioskop, 2 bowling, 17 ketangkasan, 10 karaoke, 9 panti pijat dan 201 salon / SPA.
Grafik 4.2 Jumlah Subak di Kabupaten Badung
Sumber : Badan Pusat Statistik Badung (BPS) pada tahun 1995, 2000, 2005 dan 2010
75
Melihat grafik dari subak yang terdapat di Kabupaten Badung banyak mengalami penurunan. Data di atas menunjukkan penurunan jumlah subak setiap lima tahun di mulai sejak tahun 1995. Dengan membandingkan data jumlah subak pada tahun 1995 sebanyak 12.506,244 kemudian tahun 2010 jumlah subak tinggal 10.533,03 subak. Sehingga dapat di lihat sejak tahun 1995 ke tahun 2000 mengalami penurunan sebanyak 915,182 subak. Selanjutnya pada tahun 2000 ke 2005 mengalami penurunan kembali sekitar 1.155,122 subak . sedangkan pada tahun 2005 hingga 2010 mengalami sedikit sekali peningkatan yakni sebesar 97,09 subak. Adapun penurunan sangat besar terjadi antara tahun 2000 ke 2005 karena pada periode ini terjadi peningkatan jumlah infrastruktur pada sektor pariwisata. Kemudian pada tahun 2005 hingga 2010 jumlah subak relatif stabil. Hal ini dikarenakan adanya dampak kebijakan pemerintah tentang jumlah infrastruktur sebagaimana hasil riset (Widiartha: 2010) tentang “Dampak Pelaksanaan Kebijkan Penataan Sarana Akomodasi Pariwisata Terhadap Perkembangan Villa Di Kabupaten Badung. 4.4.4 Dinamika Konflik di Kabupaten Badung 1. Kelangkaan air Kelangkaan air yang terjadi di Kabupaten Badung ini juga terjadi namun lebih pada air bersih untuk konsumsi masyarakat. Hal ini seperti yang dilaporkan Bali Post, April 2011) seperti yang terjadi di daerah Petang wilayah Badung Utara, masyarakat kesulitan mencari sumber air bersih. Kemudian pemerintah
76
berserta tokoh masyarakat setempat melakukan pengecekan pada salah satu sumber mata air di sungai, dan berencana mengangkat air tersebut untuk di salurkan pada penduduk. Kondisi air yang terjadi di daerah Petang ini memang mengalami pasang surut, terlebih lagi pada musim kemarau. Persoalan air ini sudah lama menjadi masalah bagi penduduk yang belum terselesaikan. Dengan kepedulian Pemerintah Badung ini, diharapkan menjadi solusi bagi kebutuhan air masyarakat setempat. Selain itu, berdasarakan data dari PDAM Badung (2010) yang menyatakan bahwa ada 4.964 pelanggan PDAM yang protes pada tahun 2008. Protes yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal seperti saluran air yang macet, kerusakan pipa air, akan tetapi yang paling sering terjadi yakni polusi air. Sehingga masyarakat menerima air yang dianggap kotor, yang dapat disebabkan oleh pipa yang kotor atau memang kodisi air yang kotor. Menanggapi data ini Tedy (29) karyawan PDAM menyatakan “hal ini biasa terjadi karena kami memberikan pelayanan kepada seluruh masyarakat, kadang kami juga tidak tau kerusakan yang terjadi dsb. Akan tetapi sebagian besar kasus protes masyarakat ini telah kami selesaikan”. Kemudian kasus kelangkaan air juga dirasakan oleh masyarakat Mambal. Berdasarkan keterangan penduduk setempat yang menyatakan bahwa kekurangan air ini dirasakan sejak munculnya perusahaan air minum kemasan, sehingga air bawah tanah mengering. Lebih jelasnya dilaporkan oleh Bali Post (November 2005) Air sumur dan sumber air subak di Badung dikhawatirkan akan menyusut menyusul makin tingginya eksploitasi air bawah tanah untuk kepentingan bisnis.
77
Di sejumlah tempat di Badung Selatan bahkan air sumur masyarakat menurun beberapa tahun belakangan. Lebih lanjut ditegaskan oleh Anggota Dewan Komisi C yang mengungkapkan “perusahaan tersebut sedikitnya menyedot air bawah tanah 250 juta liter per tahunnya. Ini terlihat dari penyisihan kontribusi sebesar Rp 250 juta setahun untuk desa adat setempat. Tiap liter air disisihkan Rp. 1,untuk adat”. Perusahan lebih senang menggunakan air bawah tanah dibandingkan dengan air PDAM karena dianggap lebih murah. Keterangan juga disampaikan IGA Bhuminata dalam Bali Post (2005) “mengatakan penggunaan air bawah tanah di sektor pariwisata bahkan sangat tinggi. Diprediksi banyak yang tak berizin. Keduanya mengaku khawatir dengan tingginya penyedotan air bawah tanah di Badung. Selain sumur rakyat bisa surut, juga bahaya interusi air laut akan sulit dihindari”. Mengenai kekeringan air bawah tanah juga diungkapkan oleh petani subak di wilayah Kerobokan Ni Wayan (50) yang menyatakan “sekarang juga menggunakan air PDAM untuk konsumsi di rumah karena air sumur saya sudah tidak ada lagi airnya”. 2. Alih Fungsi Lahan Pertanian Konflik tentang alih fungsi lahan pertanian menjadi masalah yang dominan di Badung. Transformasi lahan pertanian yang begitu banyak pada wilayah ini disertai dengan peningkatan jumlah infrastruktur yang pesat khususunya pada sektor pariwisata. Kasus konflik atau sengketa tanah di Bali baik vertikal maupun horizontal sering terjadi.
78
Kronologis dan latarbelakang konflik yang pernah terjadi di Kabupaten Badung menurut data Devisi Tanah dan Lingkungan dalam Sukri (2004: 196) dilihat dari kasus tanah di Desa Pecatu Kabupaten Badung yang berawal dari industri pariwisata yang menitikberatkan pada modal (investasi) dalam bentuk pengadaan perumahan kawasan mewah mengakibatkan marginalisasi atau penggusuran petani. PT Bali Pecatu Graha (kemudian dinamai PT BPG) akan membangun Pecatu Indah Resort di atas lahan seluas 850 hektar yang merupakan resort terbesar di Indonesia, meliputi pembangunan hotel, perumahan, lapangan golf, pertokoan elit, rumah sakit dan sarana hiburan. Pembangunan ini meresahkan petani yang terkena dampak langsung pada proyek ini. Dalam pembangunan proyek ini terdapat hal-hal mendasar yakni adanya pengabaian hak tanah rakyat atas bangunan dimana rakyat tidak dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi atau hasilnya, selain itu pula status tanah di kawasan ini di klaim tanah “laba Bukti” milik Pemda Bali namun kenyataannya meliputi Tanah Negara yang secara turun-temurun digarap oleh petani, tanah milik (sertifikat) dan tanah “laba pura” Ulu Watu. Selain itu kasus konflik juga terjadi pada pembangunan Garuda Wisnu Kencana yang diawali dengan pembangunan sebuah patung raksasa Garuda Wisnu Kencana (GWK) setinggi 65 meter yang terletak di atas bangunan penyangga setinggi 70 meter. Di kawasan itu pula di bangun ampihiteater yang akan mampu menampung sekitar 400 penonton. Landmark GWK semula direncanakan pada areal 100 hektar dengan dana 80 milyar, rencana tersebut kemudian diperluas menjadi 200 hektar dan rencana lokasi GWK bergeser dari
79
lokasi semula dari bukit Balangan ke Uangasan Kangin. Alasan pengalihan lokasi ini karena jaraknya kurang dari 15 kilometer dari lokasi semula akan mengganggu keamanan penerbangan. Sejak adanya rencana pembangunan GWK di masyarakat terdapat isu bahwa ganti rugi tanah yang akan diganti pemerintah dengan harga yang sangat murah, hal ini dikarenakan tidak adanya kepastian harga yang ditawarkan kepada pemilik tanah oleh investor dan penentuan harga tanah tidak didasari dengan musyawarah yang bebas. Sehingga pembangunan GWK ini sempat menjadi polemik bagi masayarakat karena pembangunan ini dianggap tidak banyak manfaatnya bagi masyarakat dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Selanjutnya, kasus konflik tanah Setra juga terjadi di Badara Ngurah Rai. Konflik ini melibatkan warga adat Tuban dengan pihak Bandara Ngurah Rai. Adapun konflik ini dilatarbelakangi oleh masalah yang berasal dari pihk PT Pelabuhan Angkasa Pura (PAP) yang diduga tidak menepati janjinya. Pada tahun 1998 telah ada perjanjian antara PT. PAP dengan warga Tuban yang berkaitan dengan tanah bandara yang kini telah dijadikan pura Dalem dan Sentra di area Bandara. Pihak bandara sepakat untuk mensertifikatkan 94,90 are tanah untuk Pura Dalem dan Setra yang ada sebelum bandara tersebut beroperasi untuk membantu pembangunan pura akan tetapi dalam waktu yang sangat lama janji tersebut belum ditepati (Bali Post, 6 Maret 2004). Sehingga sudah selayaknya warga menuntut hal tersebut dengan mengancam akan menduduki bandara jika pensertifikatan tanah tidak diselesaikan. Menurut Ketua Lembaga Pemberdayaan
80
Masyarakat (LPM) dalam Sukri (2006: 202) Tuban menyatakan bahwa pihak Bandara telah menyerobot tanah adat tanpa sepengetahuan warga adat yag didasari oleh bukti bahwa tanah tersebut telah disertifikatkan 1991 tanpa sepengetahuan adat. Tanah tersebut sangat penting bagi warga adat karena di atas tanah itu berdiri kuburan dan Pura Dalem. Kemudian pada tanggal 26 April 2004 menyatakan sertifikat tanah adat akan segera terbit menurut Heru Susetyo dalam Sukri (2006) menyatakan surat Kakanwil BPN Provinsi Bali No. 36.520.1.161.2004 tertanggal 20 April 2004 tentang Pemberian Hak Milik atas nama Pura Kahyangan Desa Adat Tuban luas lahan 44,90 are untuk Pura Dalem Kahyangan dan 50 are untuk Setra Desa Adat Tuban. Masalah kembali muncul ketika akan menentukan pihak yang membayar sertifikat tanah. Warga Tuban tetap meminta PT. PAP Ngurah Rai yang melunasinya. Sehingga status tanah Setra dan Pura Dalem dengan luas 94,90 Are secara de facto dimiliki Desa Adat Tuban, namun secara de jure tanah itu dikuasai oleh PAP 1. Hal ini dikarenakan tanah tersebut masih dalam sertifikat HGB PAP 1. Sementara Desa adat Tuban dan Pura Dalem telah ada sebelum Bandara Ngurah Rai berdiri. Tahun 1998 terjadilah tukar menukar tanah Setra dipindahkan di sebelah utara dan terjadi perubahan luas tanah setra menjadi 94,90 are. Hingga Menteri Negara BUMN menberikan persetujuan pelepasan hak hingga akhirnya sertifikat tersebut diterbitkan (Bali Post, 30 April 2004). Kasus selanjutnya yakni konflik Tanah Sawangan yang awal sejarahnya dimulai ketika investor PT. BPS masuk ke Sawangan tahun 1993 dengan status tanah HGB. Tahun 1996 Bupati Badung memberikan rekomendasi kepada petani
81
rumput laut dapat memanfaatkan lahan tersebut sebelum dimanfaatkan PT. BPS. Akan tetapi ada kesepakatan petani rumput laut akan keluar dari lahan tersebut tanpa menuntut ganti rugi bila lokasi akan dibangun. Kemudian keluar kembali SK Bupati yang baru dan mencabut SK yang lama yang menyatakan bahwa petani harus segera keluar dari lokasi itu. Akan tetapi, petani menolak dengan alasan belum menemukan lahan baru untuk memproses rumput laut. Akhirnya DPRD Kabupaten Badung (Bali Post, 27 mei 2004) mengeluarkan rekomendasi diantaranya adalah: Pemerintah Daerah Kabupaten Badung harus menyiapkan lahan bagi usaha budi daya rumput laut kepada petani, menyiapkan infrastruktur untuk mendukung usaha petani, memberikan peluang agar nantinya bisa beradaptasi di kawasan yang akan dibangun hotel (dalam SK 643 yang menyatakan petani dipindahkan ketempat lain) terakhir, harus dipertimbangkan pula
bahwa
kehadiran
investor
sudah
memenuhi
aturan
harus
bisa
diakomodasikan sesuai aturan yang ada (Sukri: 2006: 207). Jika dilihat dari konflik yang terjadi baik itu di Pecatu, GWK, Bandara Ngurah Rai, dan di Sawangan lebih pada konflik antar penduduk lokal dengan investor yang mengedepankan sektor pariwisata. Dengan
infrastruktur yang
direncanakan akan di bangun pada tiap daerah ini, tentu akan menyebabkan adanya kenaikan jumlah penggunaan air bersih lebih banyak. 3. Proyek-proyek pengembangan irigasi Dengan dibangunnya proyek pengembangan irigasi ini memberikan harapan pada petani agar dapat meningkatkan hasil produksi mereka dengan
82
kelancaran pengairan yang tersedia. Menurut Khairul Muslim (2006: 07), Sumber air berasal dari bendungan air sungai, debit air maksimum pada saluran primer adalah sekitar 1500 liter/detik yang terjadi pada musim hujan dan 600 liter/detik pada musim kemarau. Luas sawah yang terdapat di Kabupaten Badung ini sekitar 107 hektar (subak Mengwi) dan 309 hektar ( subak Lanyahan ). Adanya pengembangan irigasi ini kemudian dihimbaukan kepada petani subak untuk membayar iuran pemeliharaan irigasi ini, dengan tujuan untuk mengkondisikan agar prasarana irigasi selalu berfungsi dengan baik dalam rangka pelaksanaan operasi (jaringan). Pembiayaan irigasi ini muncul sejak tahun 1987 dengan adanya partisipasi petani mengenai pemeliharaan irigasi ini membuat pemerintah optimis. Sehingga diciptakan pula Iuran Pelayanan Air Irigasi (IPAR) yang dilakukan setahap demi setahap agar tidak menimbulkan masalah baru dimulai dengan membuat pilot projek di beberapa lokasi yang dianggap prospektif. Pembiayaan irigasi yang disediakan oleh pemerintah rata-rata perhektar pertahun berkisar 26-33 ribu rupiah/ hektar, akan tetapi khusus tahun 2001 meningkat duakali lipat menjadi 67 ribu rupiah/ hektar. Kenaikan ini merupakan akibat kumulatif dari kebutuhan biaya untuk perbaikan jaringan irigasi dibeberapa lokasi ketika peran subak mulai melemah (Khairul Muslim, 2006). Sehingga dapat dikatakan bahwa pembiayaan pemeliharan irigasi ini beragam, dan jumlah biaya yang ditanggung pemerintah berbeda sesuai dengan kondisi jaringan irigasi dan cenderung mengikuti perubahan
kebijakan
pemerintah
terkait
dengan
reformasi
administrasi
penyelenggara pembangunan.
83
Adapun persepsi petani terhadap kondisi ini menunjukkan bahwa tentang ekonomi nilai air irigasi ini tergantung ruang dan waktu, karena selalu adanya perubahan misalnya persepsi petani yang terletak di wilayah yang banyak mendapatkan curah hujan dengan petani yang lahannya selalu dilanda kemarau. Air bagi petani subak merupakan hal yang sangat penting karena berperan besar dalam produktivitas pertanian. Pendapatan pertanian ini merupakan selisih dari penerimaan dan pengeluaran. Ketika harga ekonomi air irigasi lebih besar dari pendapatan petani yang hingga tahun 2002 dan 2003 (Khairul Muslim, 2006) tidak mengalami kenaikan. Sementara harga pemeriharaan dan pembiayaan irigasi meningkat. Masalah ini hanya merupakan konflik perbedaan-perbedaan persepsi antara pemerintah dan petani (masyarakat). Masalah ini akan mengancam keberadaan subak ketika petani tidak lagi diperhatikan kesejahteraannya, sehingga mengarah pada transformasi lahan subak yang semakin meningkat.
4. Konflik Akibat Adanya Polusi Air Tentang polusi air ini tidak hanya terjadi pada lahan pertanian (subak) yang ada di Badung, akan tetapi PDAM Badung juga menjelaskan adanya penurunan kualitas air terutama pada bendungan terbesar Astuary yang airnya juga di salurkan pada masyarakat. Menurut Agung (47), “...penurunan kualitas ini bukan berarti air yang tidak layak untuk dikonsumsi, namun kami memiliki empat level untuk kualitas air, meskipun sudah pada level empat air yang disalurkan pada warga tetap layak konsumsi, karena air diambil dari sungai itu langsung di olah di laboratorium tersendiri..”.
84
Mengenai polusi air ini lebih lanjut di paparkan oleh bapak Wayan (45) bapak ini bekerja sebagai karyawan yang membersihkan Bendungan Astuary, yang menjelaskan bahwa “....sampah yang ada di bendungan ini sebagai dampak dari limbah masyarakat di sepanjang sungai ini, apa lagi sampah pasar, hotel, villa atau pabrik yang berdiri di sepanjang sungai ini. Perhari sampah yang selalu di kumpulkan kira-kira dua truk, hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat dari semua pihak....”. Sampah juga merupakan salah satu permasalahan yang penting, tidak hanya di Badung namun hampir pada seluruh wilayah di Bali bahkan di Indonesia. Untuk Bali, sampah sampah yang dihasilkan di seluruh kabupaten dan kota pada tahun 2004 mencapai 4.539 m3/hari sedangkan
Badung dapat
memproduksi sampah 639 m3/hari. Untuk mengatasi permasalahan sampah di Bali perlu dilakukan usaha minimalisasi produksi sampah (reduse) dan memanfaatkan kembali sampah yang masih mungkin untuk digunakan kembali (reuse), dan yang dapat didaur ulang menjadi produk lain, disamping itu pengkomposan sampah organik juga perlu digalakkan untuk mengurangi volume sampah yang dibuang di tempat pembuangan akhir. Salah satu komponen pariwisata yang memproduksi sampah dalam jumlah yang cukup banyak adalah sektor perhotelan/akomodasi wisata. Sampah yang dihasilkan berupa sisa makanan, sampah dapur, hasil pemotongan rumput, ranting dan daun, kaleng, kardus,keranjang, plastik, kertas, metal, pecah belah, dan botol kaca (Suryawan: 2008). Di sisi lain, menurut laporan Bali Post 5 Januari 2011 pada subak Krama terjadinya kemarahan petani karena polusi yang disebabkan oleh aktivitas pabrik
85
penyembelih ayam. Ketika petani mendapati irigasi pertaniannya dipenuhi oleh sampah seperti bulu ayam. Petani marah karena sampai saat ini belum ada upaya pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut. Selanjutnya hal yang sama juga terjadi di Petit Tanget Krobokan, hal ini terjadi antara petani dengan pihak restoran yang merupakan salah satu sumber pencemaran limbah cair, yang sengaja memasang pipa pembuangan limbah mereka pada saluran pertanian yang dijelaskan oleh bapak Wayan (45) bahwa “...hanya satu kali saya datang ke restoran untuk membicarakan masalah tersebut karena saat pipa limbah itu dimasukan di pertanian saya terganggu, kemudian saya minta untuk di pindahkan....”. Kemudian pemilik restoran pun menanggapi protes petani ini dengan memindahkan saluran limbah tersebut. Menurut keterangan tersebut pula tidak ada relasi yang begitu dekat dengan pemilik villa, maupun restoran.
5. Konflik Akibat Lemahnya Koordinasi Investor dan Masyarakat
Antar
Pemerintah,
Air memiliki nilai yang penting bagi penduduk Bali, ketika air disinggung dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya, agama, dan sosial masyarakat setempat maka tidak jarang akan menimbulkan konflik, sehingga diperlukan suatu koordinasi antar masyarakat, pembuat kebijakan(pemerintah), dan investor dalam melakukan sesuatu hingga mencapai keputusan, keuntungan dan keharmonisan bersama. Konflik akibat lemahnya koordinasi antar pemerintah,
86
investor dan masyarakat ini dapat dilihat dari pernyataan Ketua Laboratorium PDAM yang menyatakan bahwa “.....sering terjadinya protes masyarakat baik itu petani maupun masyarakat lokal itu hanya disebabkan karena ketidak mengertian petani maupun masyarakat terhadap pembagian air. Misalnya saja petani subak mengeluhkan bahwa PDAM menggunakan air lebih banyak padahal hal tersebut sudah jelas diatur, hal ini juga karena PDAM memberikan air lebih banyak karena memang kebutuhan untuk konsumsi air besih yang disalurkan pada warga lebih banyak....” Melihat ungkapan dari Ketua Laboratorium PDAM Badung ini memang tidak adanya sebuah relasi atau pemahaman antara pemerintah dengan masyarakat, ketika adanyak sebuah pembagian air harus sampai pada masyarakat sehingga akan terhindar dari kesalahpahaman.
4.5 Analisis Konflik Berdasarkan kronologi konflik di atas, untuk memudahkan memahami konflik yang terjadi, baik itu di kabupaten Tabanan ataupun Kabupaten Badung maka dapat di lihat tabel komparasi konflik berikut:
87
Tabel 4.5 Komparasi Konflik Tabanan dan Badung Tipe Konflik Kelangkaan Air
Tabanan Badung - Tahun 1973 telah ada konflik di subak - Tahun 2011 kelangkaan air Kesiut dalam lingkungan DI Cagub, bersih terjadi di daerah Tabanan, pada waktu belum ada proyek Petang. Persoalan air ini peningkatan jaringan irigasi. Misalnya, sudah lama menjadi masalah pada musim kemarau banyak terjadi bagi penduduk. pencurian air oleh para petani yang - Tahun 2008 terdapat 4.964 sawahnya sangat membutuhkan air. pelanggan PDAM yang - Pada tahun 1977 di subak Rum dalam protes. Protes yang terjadi lingkungan Pasedahan Yes Empas Utara disebabkan oleh beberapa hal perselisihan antara tempek yang di hulu seperti saluran air yang dan di hilir pada musim kemarau. macet, kerusakan pipa air, Tempek Sanganan Kawan mencoba akan tetapi yang paling meminjam air dari Tempek Bubugan, sering terjadi yakni polusi namun tidak disetujui dengan alasan air. Sehingga masyarakat Tempek Bubugan sendiri juga menerima air yang dianggap kekurangan air kemudian adanya kotor, yang dapat disebabkan pencurian air. oleh pipa yang kotor atau - Musim kemarau juga konflik antara memang kondisi air yang tempek I dengan tempek II dalam kotor. lingkungan Subak Gunggungan di - Tahun 2005 terjadi konflik di wilayah pasedahan Yes Empas Selatan, Mambal sejak masuknya Tabanan disebabkan karena waktu tanam perusahaan air kemasan yang bersamaan. sehingga air bawah tanah - Tahun 1980 telah ada pembangunan mengering. Perusahan lebih irigasi yang di fungsikan pencurian air senang menggunakan air berkurang yang didukung pula dengan bawah tanah dibandingkan kesepakatan pada tahun 1982 tentang dengan air PDAM karena peraturan dalam pertanian. dianggap lebih murah. - Tahun 1983 antara dua subak yang masih dalam lingkungan Pasedahan Yeh Empas Selatan. Penyebab ini terjadi setelah ada bantuan peningkatan jaringan irigasi Subak Lanyah. Adanya kecemburuan karena subak Pasut tidak mendapatkan bantuan irigasi, harus meminta air dengan subak Lanyah. - Konflik antara PDAM dengan subak sering juga terjadi di Tabanan. hal ini dapat di lihat dari kasus subak Yeh Gembrong dengan PDAM kemudian,
88
Subak Mangesta terhadap pengeboran ABT oleh hotel Vita Life di Wongaya Betan hingga petani jatiluwih yang mengeluh keberadaan sumur bor mereka (Agung Wardana: 2008). - Subak Yeh Gembrong dengan PDAM di Yeh Gembrong, Kabupaten Tabanan. Subak Jatiluwih dengan pihak swasta di Jatiluwih, Penebel, Kabupaten Tabanan. Konflik perebutan air Telaga Tunjung PDAM Tabanan. subak-subak mulai mengeluh ketika sumber mata air untuk irigasi disedot oleh PDAM. - Sawah yang dialihfungsikan untuk - Di Pecatu antara petani Alih Fungsi bertanam tanaman tahunan dapat juga dengan investor (PT. BPG). Lahan Pertanian menjadi penyebab konflik antara petani Masalahnya adalah berawal padi sawah dengan petani yang dari industri pariwisata yang mengalihfungsikan sawahnya ke non menitikberatkan pada modal padi. (investasi) dalam bentuk - Selain itu akibat alih fungsi sawah untuk pengadaan perumahan nonpertanian seperti perumahan, jalan, kawasan mewah dan fasilitas publik lainnya sering mengakibatkan marginalisasi memicu perselisihan antara subak dengan atau penggusuran petani. PT kelompok masyarakat lain di luar Bali Pecatu Graha (kemudian masyarakat subak dinamai PT. BPG) akan membangun Pecatu Indah Resort di atas lahan seluas 850 hektar. Untuk (hotel, golf, perumahan mewah, rumah sakit dan destinasi pariwisata) - Konflik di Jimbaran antara petani dengan investor juga tentang pembangunan patung raksasa Garuda Wisnu Kencana (GWK). Direncanakan akan dibangun pada areal 100 hektar dengan dana 80 milyar, rencana tersebut kemudian diperluas menjadi 200 hektar dan rencana lokasi GWK bergeser dari lokasi semula dari bukit Balangan ke Uangasan Kangin.
89
-
-
-
-
Masalahanya adalah dimasyarakat terdapat isu bahwa ganti rugi tanah yang akan diganti pemerintah dengan harga yang sangat murah , hal ini dikarenakan tidak adanya kepastian harga yang ditawarkan kepada pemilik tanah oleh investor dan penentuan harga tanah tidak didasari dengan musyawarah yang bebas. Tahun 1985-2004 konflik Setra di Bandara Ngurah Rai. Konflik antara masyarakat Tuban dengan (PT. PAP) Tahun 1998 terjadi perjanjian antara PT. PAP dengan masyarakat setempat yang berkaiatan dengan tanah bandara yang kini telah dijadikan pura Dalem dan Sentra di area Bandara.pihak bandara sepakat untuk mensertifikatkan 94,90 Are tanah untuk pura dalem dan setra yang ada sebelum Bandara tersebut beroperasi untuk membantu pembangunan pura akan tetapi dalam waktu yang sangat lama janji tersebut belum ditepati (Bali Post, 6 Maret 2004). Tanah tersebut telah disertifikati tanpa sepengetahuan adat. Setelah pedebatan panjang akhirnya tahun 2004 Menteri Negara BUMN menberikan persetujuan pelepasan hak hingga akhirnya sertifikat tersebut diterbitkan (Bali Post, 30 April 2004). Tahun 2004 di Sawangan antara nelayan rumput laut dengan PT. Bali Prada
90
Proyek-proyek pengembangan irigasi
Segara (PT. BPS). Masalahnya ketika investor PT. BPS masuk ke Sawangan tahun 1993 dengan status tanah HGB. Tahun 1996 Bupati Badung memberikan rekomendasi kepada petani rumput laut dapat memanfaatkan lahan tersebut sebelum dimanfaatkan PT. BPS. Akan tetapi ada kesepakatan petani rumput laut akan keluar dari lahan tersebut tanpa menuntut ganti rugi bila lokasi akan dibangun. - Kemudian keluar kembali SK Bupati yang baru dan mencabut SK yang lama yang menyatakn bahwa petani harus segera keluar dari lokasi itu. Akan tetapi, petani menolak dengan alasan belum menemukan lahan baru untuk memproses rumput laut. - Sistem pertahanan masyarakat terhadap tanah yang akan dibangun dengan berbagai infrastruktur tentunya juga akan menyebabkan kenaikan jumlah penggunaan air bersih. - Tahun 1980 di bangun proyek irigasi - Sumber air berasal dari Bali yang menggabungkan beberapa bendungan air sungai, debit sistem irigasi kecil menjadi satu kesatuan air maksimum pada saluran sistem irigasi yang lebih besar. primer adalah sekitar 1500 - Pada tahun 1985 konflik terjadi antara DI liter/detik yang terjadi pada Sungsang seluas (290,6 Ha) dan Subak musim hujan dan 600 Blumbang seluas (190,8 Ha), keduanya liter/detik pada musim berada di bagian hilir daerah aliran kemarau. Luas sawah yang sungai Ho, Tabanan. masalahnya terdapat di Kabupaten meskipun tiga tahun setelah proyek ini di Badung ini sekitar 107 hektar bangun akan tetapi pengairan hanya (subak Mengwi) dan 309 dimanfaatkan oleh subak Blumbung saja hektar ( subak lanyahan ).
91
artinya penggabungan irigasi tidak berfungsi dengan baik. Proyek ini juga tidak melibatkan kedua subak mulai dari tahap persiapan sampai tahap konstruksi. Setelah proyek ini berfungsi, kedua subak hampir tidak pernah berkoordinasi secara formal tentang pembagian air yang bersumber dari bendung yang baru itu (Sutawan: 2008) - Sejak pembangunan irigasi selesai tahun 1984-1985 konflik juga terjadi pada di DI Penebel yang juga terletak pada DAS Ho Kabupaten Tabanan, merupakan penggabungan tiga sistem irigasi yang secara keseluruhan mencakup 6 subak dengan luas areal seluruhnya mencapai 760,5 ha. Tiga buah subak diantaranya, yakni berturut-turut Subak Penebel (100,25 ha), Subak Benana (87,95 ha), dan Subak Rianggede (306,17 ha) pada mulanya memiliki empelan sendirisendiri. Sementara itu, 3 subak lainnya, yaitu Subak Priyuk (108 ha), Petung Gambang (41 ha) dan Manik Menuh (117 ha), semuanya merupakan subak nataktiyis yang memperoleh rembesan air dari subak-subak yang ada di hulunya. Masalahnya Proyek ini juga hanya menguntungkan salah satu subak yaitu yang di hulu (Subak Penebel), sedangkan subak-subak lainnya masih mengandalkan air dari sumber yang lama. - Subak Penebel dengan luas hanya 100 ha menerima air sebanyak 504 liter, dan Subak Benana yang arealnya Cuma 80 ha mendapat 349 liter per detik dari intakenya sendiri. Subak Rianggede, yang merupakan subak paling luas (306 ha) hanya menerima 196 liter per detik. - Solusinya kemudian Subak Penebel yang terletak paling di hulu harus rela memberikan dua per lima (40%) dari air yang tersedia kepada Subak Benana dan Subak Rianggede. Selanjutnya, air sebanyak 40 % bagian ini harus dibagi
Permasalahannya pada pembiayaan irigasi yang disediakan oleh pemerintah rata-rata perhektar pertahun berkisar 26-33 ribu rupiah/ hektar, akan tetapi khusus tahun 2001 meningkat duakali lipat menjadi 67 ribu rupiah/ hektar. Sehingga dianggap bahwa harga ekonomis air lebih besar dan meningkat sementara harga produksi pertanian tidak meningkat pada tahun 20022003. Sehingga banyak petani menjual lahannya.
92
Konflik Akibat Adanya Polusi Air
-
-
-
Konflik akibat lemahnya koordinasi antar Pemerintah, investor dan
antara Subak Benana dan Subak Rianggede dengan proporsi 4 berbanding 5. Atau dengan kata-kata lain, Subak Benanayang letaknya agak lebih di hulu dari Subak Rianggede, harus memberikan 4 per 9 bagian (= 44,4%) dari air yang dialokasikan bagi kedua subak yang bersangkutan. Selain itu pergantian pola tanam. pada tahun 2011 di wilayah Ubud - Tahun 2011 pada subak berdasarkan hasil observasi dan Krama terjadinya kemarahan wawancara, terlihat pada sawah penuh petani karena polusi yang dengan sampah. Petani ini kemudian disebabkan oleh aktivitas mengungkapkan bahwa akan mencari pabrik penyembelih ayam. penyewa tanahnya untuk dikontrakkan Ketika petani mendapati atau akan di jual, alasannya selain sudah irigasi pertaniannya dipenuhi tua kemudian adanya penurunan oleh sampah seperti bulu produksi pertanian. Hal ini disebabkan ayam. banyaknya polusi dan sulit bertani di - 2008 di Petit Tanget daerah penduduk padat seperti itu, selain Krobokan, hal ini terjadi polusi plastik yang terlihat dia juga antara petani dengan pihak mengatakan polusi dari rumah tangga restoran, yang sengaja dan ternak. memasang pipa pembuangan Lebih daripada itu, di pinggir sungai limbah mereka pada saluran banyak dibangun vila dan hotel serta pertanian. restoran. Dapat diduga limbah yang berasal dari industri pariwisata ini dapat menjadi sumber polutan bagi air sungai. Beberapa petani dari sebuah subak di sekitar Kedewatan Ubud, Gianyar misalnya memberikan informasi bahwa beberapa hotel membuang limbah dari hotel dan restoran ke sungai Ayung yang telah mencemari air sungai dan mata air yang dianggap sakral oleh penduduk setempat. mengeluh bukan hanya petani dan warga setempat saja tetapi juga perusahaan rafting yang beroperasi di Sungai Ayung karena limbah dari hotel dan restoran sering menebar bau busuk. Mengenai lemahnya koordinasi ini telah - Sesuai dengan penjelasan dijelaskan dalam wawancara bersama ketua laboratorium PDAM salah satu pekerja di museum subak Badung memang tidak Tabanan, Ni made (35) Januari 2011 adanya sebuah relasi atau menjelaskan “mengenai adanya konflik pemahaman antara
93
Masyarakat
air antara pemerintah dengan petani misalnya kasus PDAM dengan petani karena tidak taunya petani tentang kuota pembagian air, berapa untuk subak dan berapa untuk PDAM” lebih lanjut dijelaskan pula PDAM mendapatkan air tentunya lebih banyak karena menyangkut konsumsi air bersih meliputi seluruh penduduk maka dibutuhkan sebuah sosialisasi yang jelas kepada petani tentang pembagian air ini
pemerintah dengan masyarakat tentang pembagian air. Misalnya berapa jumlah air yang dapat digunakan untuk irigasi pertanian (subak) dan berapa jumlah air yang dapat digunakan oleh PDAM untuk konsumsi.
Tabel di atas membantu dengan mudah dalam menganalisis kondisi konflik secara singkat, baik yang terjadi di Tabanan maupun yang di Badung. Adapun bentuk konfliknya yakni: Konflik akibat kelangkaan air, Alih Fungsi Lahan Pertanian, Proyek-proyek pengembangan irigasi, Konflik Akibat Adanya Polusi Air, Konflik akibat lemahnya koordinasi antar Pemerintah, investor dan Masyarakat.
4.5.1 Konflik akibat Kelangkaan Air Kelangkaan air ini merupakan masalah penting, khususnya di Tabanan yang banyak digunakan untuk pengairan irigasi pertanian (subak). Konflik air sering terjadi baik antara petani, dengan PDAM (pemerintah daerah) maupun antara sesama petani itu sendiri. Konflik kelangkaan air antar petani ini terjadi pada musim kemarau berkisar antara bulan April hingga Oktober. Masalah kekurangan air pada irigasi pertanian mendesak petani untuk saling mencuri air antar subak. Sehingga patani
94
harus menjaga sawahnya dengan selalu mengecek meskipun di malam hari. Hal ini dapat pula dikatakan bahwa kasus pencurian air yang terjadi di Tabanan pada masalah pembagian air irigasi sawah. Berbeda dengan masalah air yang terjadi di Badung yakni kelangkaan air bersih seperti yang tejadi di daerah Petang pada musim kemarau. Warga Petang kesulitan memperoleh air bersih untuk dikonsumsi. Kebutuhan air diwilayah ini sudah menyentuh bagian yang sangat penting jika tidak diatasi sesegera maka masalah ini tidak hanya muncul sebagai aksi protes semata melainkan konflik yang lebih jauh. Selain itu konflik antar petani dengan PDAM juga terjadi di Tabanan, yang dipicu oleh perspektif petani yang menganggap PDAM telah mengambil air pada bendungan yang sama melebihi porsi yang ditentukan. Sedangkan di Badung antara masyarakat lokal yang protes pada PDAM terkait dengan pelayanan yang kurang memuaskan terhadap kebutuhan air masyarakat. Kesamaan konflik baik itu di Tabanan maupun di Badung terjadi pada kondisi penggunaaan air bawah tanah (ABT). Di Tabanan petani mengeluh akibat berkurangnya, air sumur bor mereka, akibat pengeboran oleh hotel Vita Life di Wongaya Betan . Demikian pula yang terjadi di Badung penduduk Mambal mengeluh bahwa air bawah tanah mereka mengering sejak berdirinya perusahaan air kemasan di daerah mereka. Masyarakat kecewa dengan hadirnya perusahaan ini dapat mengurangi ketersediaan air bersih di Mambal teutama menurut informasi tentang air pura yang mata airnya telah mengering. Masalah kekecewaan masyarakat terhadap hadirnya perusahaan air kemasan ini seperti pula yang terjadi pada kasus dalam tulisannya Frank Peopeau
95
tentang “Eau des ville: Repense des services en mutation, défi et conflits de la remunicipalisation de l’eau (l’exemple de la concession de la paz-Alto, Bolivie”. Tentang pengurangan kuantitas air yang terjadi di Bolivie karena hadirnya perusahaan air swasta. Dalam mendapatkan service air bersih agak sulit bagi penduduk setempat, kemudian Poupeau menunjukkan dalam tulisannya bahwa merebut kembali kekuasaan air dari swasta ke pemerintah itu penting sehingga nilai air mengarah pada sektor publik bukan barang ekonomis yang tinggi. Sebagai kasus pernah terjadi
longsor dan banjir di Bovilie pada tanggal 25
Januari 2008. Perusahaan swasta ini sangat lambat dalam memberikan penanganan atas kerusakan saluran irigasi air dan membantu masyarakat, sehingga masyarakat setempat yang bergerak lebih cepat karena akses menuju daerah ini menjadi sulit. Akhirnya mereka mengambil jalan mediasi antara pemerintah dan perusahaan air swasta ini yang melibatkan menteri yang menangani masalah air pula. Dengan belajar dari permasalahan di Bovilie dan El Paz alto kota dapat melihat kondisi yang terjadi di Tabanan maupun di Badung Bali. Dari penjelasan dua wilayah di atas, keduanya memiliki problem kelangkaan air yang berbeda. Di Tabanan kelangkaan air lebih pada air irigasi subak yang terjadi antar petani dengan petani. Sedangkan di Badung kelangkaan air terjadi pada air bersih atau air untuk konsumsi. Masalah kelangkaan air ini sering muncul pada musim kemarau baik itu di Tabanan maupaun di Badung.
96
4.5.2 Alih Fungsi Lahan Pertanian Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa, alih fungsi lahan yang terjadi di Tabanan seperti perpindahan tanaman padi ke non padi juga menimbulkan masalah, seperti yang pernah terjadi antara petani cengkeh dan petani padi. Petani cengkeh tidak banyak memerlukan air, ketika air rembesan dari petani padi masuk mengenai lahan pertanian petani cengkeh, maka petani cengkeh menutup saluran irigasi, yang menimbulkan kemarahan petani padi. Selain itu petani cengkeh dianggap acuh tak acuh dalam mengurus irigasi air karena mereka tidak memerlukan banyak air. Demikian juga tranformasi lahan pertanian untuk infrastruktur seperti bangunan, villa dan jalan, yang sering menghambat masuknya air irigasi untuk masuk ke area pertanian peristiwa ini juga dapat menimbulkan konflik antar petani dengan investor atau pemerintah. Selanjutnya kita dapat melihat konflik akibat alih fungsi lahan ini merupakan konflik dominan dan lebih kompleks di Kabupaten Badung karena Badung merupakan daerah pariwisata menurut data BPS tahun 2008 Badung memiliki 33 destinasi pariwisata. Selain itu penduduk Badung yang bekerja di bidang pertanian hanya 21% sedangkan yang bekerja di bidang pariwisata sebanyak 34,22%. Berdasarkan tabel di atas kita bisa melihat rentetan konflik yang terjadi di Badung seperti kasus konflik di Pecatu, 1985-2004 di Bandara Ngurah Rai, tahun 1990 di Nusa Dua, kemudian tahun 2004 konflik di Sawangan. Sebagain besar konflik yang terjadi adalah antara penduduk lokal dengan investor atau PT. Konflik ini terjadi antara penduduk setempat dengan investor yang akan membangun berbagai infrastruktur pariwisata, akan tetapi masyarakat merasa
97
tidak mendapatkan keuntungan dari proyek akan dibangun tersebut, lebih dari pada itu peningkatan infrastruktur seperti hotel, restoran, lapangan golf dsb dapat mengurangi kuantitas air konsumsi, selain itu pula petani tidak dapat lagi menjalankan aktivitas pertaniannya karena lahan mereka dialih fungsikan. Konflik yang terjadi baik itu di Tabanan maupun di Badung merupakan konflik yang terjadi antara petani sesama petani, petani dengan pemerintah atau investor. Perbedaan konflik Tabanan
adalah konflik karena adanya proyek
pengembangan baru dari pemerintah daerah tanpa sosialisasi yang terkadang proyek pengembangan bangunan atau jalan dapat menghambat air irigasi atau aktivitas pertanian. Sedangkan di Badung kita dapat melihat konflik transformasi lahan ini lebih pada pengembangan destinasi pariwisata baru atau pengembangan infrastruktur pariwisata, yang masyarakat setempat tidak merasakan manfaat dari pengembangan tersebut. Sehingga dalam setiap pengembangan yang dilakukan masyarakat
lokal
membutuhkan
kebijakan
dalam
menemukan
solusi.
Transformasi yang tidak menguntungkan menimbulkan protes dari masyarakat baik itu di Kabupaten Tabanan maupun di Kabupetan Badung.
4.5.3
Proyek-proyek pengembangan irigasi
Dibantu oleh tabel di atas kita dapat melihat bahwa proyek pengembangan irigasi yang di bangun dengan harapan dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan memudahkan petani dengan menggunakan irigasi yang lebih baik ternyata juga menimbulkan berbagai permasalahan ketika tidak ada manajemen pengaturan air yang baik di dalamnya. Sebelum adanya pengembangan irigasi ini
98
setiap subak memiliki sistem irigasi tradisonal sendiri yang terbuat dari bambu kemudian mereka bergotong-royong dalam membuat dan merawat serta mengatur sistem pembagian air, akan tetapi sejak tahun 1980 pemerintah menyatukan semua sistem irigasi ini untuk beberapa subak sehingga proses pembagian air ini sering menimbulkan konflik, belum lagi masalah kecemburuan antar subak seperti yang telah kita lihat bersama. Lebih daripada itu setelah beberapa tahun bendungan tersebut tidak terlalu berfungsi banyak petani yang kembali pada sistem irigasi lama yang mereka miliki. Peristiwa konflik seperti ini banyak terjadi di Tabanan. Kemudian kita lihat kasus konflik yang terjadi di Badung tentang proyek pengembangan irigasi terkait dengan pembiayaan irigasi yang meningkat sejak tahun 2001, protes ini di ungkapkan oleh petani karena kebutuhan yang penting untuk petani tentang air irigasi, dengan meningkatnya biaya pembiayaan pemeliharaan irigasi sedangkan tidak diikuti dengan kenaikan harga produksi pertanian. 4.5.4 Konflik Akibat Adanya Polusi Air Setelah melihat tabel di atas konflik yang disebabkan oleh polusi yang terjadi baik itu di Tabanan maupun di Badung ini hampir sama. Di Tabanan konflik air yang terjadi lebih pada air irigasi, yang dapat mengganggu lahan pertanian. Sumber polusi ini bermacam-macam seperti berasal dari kotoran hewan ternak, bengkel atau limbah rumah tangga ada juga yang disebabkan oleh sektor pariwisata seperti villa, hotel, restoran yang berada dekat dengan sungai.
99
Di Badung masalah polusi juga sama seperti yang terlihat kasus di tabel, pada daerah Petit Tanget terjadi protes antara petani dengan pemilik restoran, karena Badung merupakan wilayah pariwisata sehingga sumber polusi ini juga lebih disebabkan oleh infrastruktur pariwisata yang ada. Demikian juga melihat kemarahan petani akan sampah yang bersumber dari industri pemotongan ayam, dianggap mengganggu aktivitas pertanian. Selain laporan dari petani yang diperoleh dari wawancara, pihak PDAM juga mengatakan adanya penurunan kualitas air terutama di bendungan besar Astuary terkadang hingga pada level ke 4. Jadi air yang akan disalurkan oleh PDAM juga memiliki level yang berbedabeda dari yang paling baik 1 hingga level 4. Pada level 4 ini pun pada dasarnya menurut keterangan laboratorium sudah layak konsumsi, meskipun terkadang ada pelanggan PDAM yang protes sesekali menemukan air polusi. Hal ini sangat didukung pula ketika melakukan observasi di bendungan Astuary yang di bangun PU ini penuh dengan sampah. Sampah yang dihasilkan perhari bisa mencapai 2 truk, yang sumbernya berasal dari berbagai macam, limbah dan sampah rumah tangga, villa, hotel, rumah makan, pasar Badung yang membawa sampah hingga ke bendungan ini. Akar masalah dari konflik seperti ini seperti yang diungkapkan Mitchell (2003) yakni adanya perbedaan kepentingan (alokasi untung rugi) Masalah sampah baik itu di Tabanan maupun di Badung merupakan masalah umum di Bali akan tetapi sumbernya berbeda-beda. Demikian juga di objek wisata seperti pantai Kuta banyak sekali sampah yang solusinya belum terselesaikan.
100
4.5.5 Konflik akibat lemahnya koordinasi antar Pemerintah, Investor dan Masyarakat Setelah melihat tabel di atas, terlihat bahwa terdapat konflik karena lemahnya koordinasi antar berbagai aktor sering disebabkan karena perbedaan perspektif dalam memandang masalah yang masing-masing mempunyai alasan. Di Tabanan misalnya konstruksi bangunan atau bendungan yang di bangun oleh pemerintah untuk kepentingan dan kemudahan petani namun juga lebih besar di manfaatkan oleh sektor non pertanian. Selain itu setiap instansi misalnya PU dengan instansi Kehutanan memiliki otorisasi dalam memberikan kebijakan atau izin namun tidak menunjukkan sebuah koordinasi yang baik sehingga aksi protes masyarakat yang merasa mereka sama-sama benar dan mendapatkan izin yang sama pun terjadi. Selanjutnya, adanya pembangunan fisik misalnya bendungan, hal ini tidak melibatkan petani dalam perencanaan dan penerapannya sehingga setelah pembangunan fisik tersebut selesai yang terjadi adalah konflik antar petani dan kecemburuan antar subak. Kemudian dalam memberikan kebijakan mengenai sistem pembagian air antar petani dan PDAM tidak disertai dengan sosialisasi agar tidak terjadi prasangka seperti petani menggangap PDAM menggunakan air melebihi kapasitas yang ada. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Badung yang menganggap bahwa ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan air melebihi kapasitas atau pembagian air yang ada. Kalau dalam teori yang dijelaskan oleh Mitchell (2003) akar masalahnya terletak pada Perbedaan pengetahuan atau pemahaman (informasi/fakta). Kalau dilihat dari kategori konflik menurut Hadi (2004) dinyatakan karena adanya perbedaan kebutuhan, kepentingan, keinginan
101
atau nilai dari seseorang/pihak dengan orang/pihak lain. Baik itu pemerintah (PDAM), investor memiliki kepentingan yang berbeda terhadap air. 4.6 Solusi Konflik di Kabupaten Tabanan dan di Kabupaten Badung Konflik air yang terjadi baik di Tabanan maupun di Badung merupakan konflik yang terjadi pada level perbedaan perspektif dan aksi protes yang bukan merupakan konflik fisik. Meskipun demikian tulisan ini akan berupaya memberikan beberapa solusi atau beberapa hal yang dapat di lakukan secara optimal dalam setiap konflik yang terjadi seperti yang diungkapkan oleh Windia (2006 :34) pemecahan masalah berupa konflik penggunaan air yang bersifat multiguna, dengan mengembangkan konsep harmoni dan kebersamaaan sesuai dengan Tri Hita Karana. 4.6.1
Tri Hita Karana
Kata tri hita karana (THK) berasal dari bahasa sansakerta : tri (tiga), hita (selamat/sejahtera/bahagia), karana (sebab/lantaran). Kalau di rangkai, THK berarti tiga hal yang menyebabkan selamat dan sejahtera. Ketiga penyelamat kesejahteraan/kebahagiaan itu tercipta alam, dalam satu kesatuan yang utuh. Di Bali ketiga bentuk hubungan ini di sebut parhyangan, pawongan, palemahan. ( Ashrama, 2005: 2) Prinsip dari filosofi Tri Hita Karana ini menujukkan adanya keseimbangan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Kemudian relasi antara manusia dengan alam sama dengan (palemahan) dapat ditunjukkan dengan kepemilikan wilayah untuk setiap subak. Aspek pawong menunjukkan adanya relasi antara manusia sesama manusia
102
yang ditunjukkan dengan adanya organisasi petani yang termuat dalam subak. Kemudian aspek parhyangan yang menujukkan relasi antara manusia dengan Tuhan yang ditunjukkan dengan adanya pura di setiap tempat di Bali termasuk disetiap subak (Windia 2006: 2) Hubungan Timbal Balik dalam THK dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 4.5 Simbol Tri Hita Karana
Pawongan
Sociale
Parhyangan
Spiritual
Environnement
Palemahan
Selanjutnya dalam lingkup yang lebih mikro, misalnya, di lingkungan hotel, aspek parhyangan-nya adalah unsur atman/jiwa atau zat penghidup manusia (pelanggan,
pengelola
hotel,
pemasok,
pesaing)
yang
berasal
dari
Tuhan/Paramatman, dan bersemayam di tempat pemujaan lingkungan hotel. Jadi, parhyangan itu bukan bangunan fisik tempat suci, tetapi Atman yang berasal dari Paramatman dan bersemayam di tempat pemujaan-pura, merajan, dan sejenisnya
103
bagi komunitas Hindu. Pawongan-nya adalah unsur manusia pengelola hotel (pemilik, manajemen, karyawan), pelanggan, pemasok dan pesaing- bukan bangunan hotelnya. Aspek palemahan-nya adalah unsur sarira, yaitu seluruh kawasan hotel (tanah, bangunan, tumbuh-tumbuhan, binatang, sarana/peralatan fisik lainnya). Ajaran THK itu berasal dari Tuhan dan penjelasannya diserahkan kepada manusia untuk kepentingan manusia (Bhagawad Gita III,10. Sehingga manusia merupakan pokok sentral dalam THK (Wiana, 2005: 33). Mengingat manusia sebagai unsur sentral dalam THK maka berkaitan juga dengan pemahaman konsepsi dasar THK dalam perspektif kebudayaan. Dalam tiap hubungan antar-manusia dan komponen-komponen lainnya dalam THK, secara umum terdapat tiga orientasi pokok yang dijelaskan menurut (Dharma Putra, 2005: 39) a. Orientasi hubungan antar-manusia dan Tuhan Orientasi yang mengedepankan ketakutan yang berlebihan terhadap Tuhan dengan menganggap-Nya sebagai kekuatan mahadahsyat yang selalu mengutuk manusia sehingga harus ditakuti atau sebaliknya dipuja dengan berbagai macam upacara dan perlengkapannya
yang rumit.
Selain itu, Orientasi yang
mengedepankan kasih saying dengan menganggap Tuhan dan segala perwujudanNya
(dewa-dewi,
betara-betari,
termasuk
bhuta
kala)
memiliki
sifat
mahapenyayang dan tak pernah menghukum manusia. Apa yang dialami manusia adalah bagian dari hasil perbuatannya. Pemahaman terhadap ketuhanan lebih pada filsafat yang hakiki diikuti perbuatan yang sesuai dengan tuntunan hati nurani
104
yang baik. Selanjutnya Orientasi yang mengedepankan pemikiran bahwa manusia merupakan makhluk tertinggi dengan segala kemampuan yang dimilikinya sehingga tidak ada yang melebihi kekuatan manusia. b. Orientasi hubungan antar-manusia dan sesama Orientasi
horizontal
(collateral),
yaitu
hubungan
kesetaraan
dan
kesederajatan yang menekankan consensus dan demokratisasi tanpa ada yang merasa lebih tinggi dari yang lainnya. Hubungan sejajar sepenanggungan ini akan menimbulkan rasa saling menghargai antar-sesama manusia. Kerjasama dan penghargaan timbul karena masing-masing pihak saling merasakan adanya sesuatu yang dimiliki secara bersamaan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka. Lalu Orientasi vertical (hierarchical), yakni hubungan yang bertingkattingkat mulai dari yang merasa paling tinggi derajatnya sampai kepada yang tak memiliki asasi sama sekali, seperti pada masa kolonial belanda. c. Orientasi hubungan antar manusia dan alam Orientasi yang bergantung secara berlebihan terhadap kemurahan alam. Kelompok masyarakat yang memilih orientasi ini sangat menggantungkan hidupnya, kepada kemurahan alam, semua gejala alam seperti longsor, banjir, gempabumi dianggap sebagai hukuman Tuhan atas kemarahaany. Selain itu ada pula orientasi keselarasan dengan alam masyarakat yang memilih orientasi ini tidak bergantung secara berlebihan kepada alam tetapi selalu berusaha mencari hubungan yang serasi dengan alam. Ketika alam tak memberikan sumberdaya yang maksimal maka mereka berusaha mencari alternatif lain yang dapat
105
menggantikan sumber kehidupan yang bisa diganti. Selanjutnya, ada pula yang memilih orientasi ekploitasi artinya semua kebutuhan hidup masyarakat yang menggunakan orientasi ini diambil dari alam secara sewenang-wenag dan eksploitatif. Jadi, manusia dapat memilih salah satu orintasi yang terdapat pada THK sebagai pegangan hidupnya. Kemudian mengaitkan THK dalam sektor pariwisata sebagai upaya implementasi dengan melakukan kompetisi dan akrediatsi tahunan pariwisata ramah lingkungan dalam perspektif THK tourism award and accreditation yang telah dilaksanakan sejak tahun 2000. Pelaksanaan ini sangat didukung oleh pemerintah daerah,
pemerintah Bali dan serta Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Lebih dari itu THK juga telah mendapat perhatian internasional yang mengikuti agenda penting pada berbagai pertemuan pariwisata setingkat internasional seperti Pata Conference, Word Tourism Organisation Meeting dan
work shop Asean Standard Hotel
(Pujaastawa, 2005: 72). Aspek Parhyangan dalam pengelolaan industri pariwisata berimplikasi kepada nilai-nilai religi lokal yang tidak hanya penting bagi jiwa spiritual akan tetapi juga memberikan corak dan nuansa bagi pariwisata itu sendiri. Selain itu aspek pawong dalam pariwisata memposisikan pranata sosial masyarakat lokal sebagai acuan bagi pola-pola hubungan baik antar sesama makhluk sosial. Selanjutnya aspek palemahan dalam pariwisata menjunjung tinggi kearifankearifan ekologi
merupakan segala tindakan manusia yang selaras dengan
106
lingkungannya. Sehingga kearifan ekologi sangat efektif dalam memberikan kontrol bagi pengelolaan lingkungan yang dapat membawa pada pariwisata yang berkelanjutan (Pujaastawa, 2005: 72-73). 4.6.2
Awig-Awig
Subak memiliki awig-awig ( aturan tertulis ) yang di buat pada umumnya sangat di hormati pelaksananya oleh anggota subak. Di samping awig-awig ada pula aturan-aturan lain yang disebut kerta-sima (kebiasaan-kebiasaan yang sudah sejak lama di laksanakan dalam aktivitas subak yang mirip sebagai suatu konvensi) dan ada pula aturan yang tidak tertulis yang berdasarkan pada kesepakatan subak pada saat dilaksanakan rapat subak dan lain-lain, yang umumnya disebut dengan perarem. Aturan-aturan tertulis maupun tidak tertulis (awig-awig dan perarem ) yang diberlakukan pada subak yang berkait dengan kepentingan subak akan diterapkan, bila telah didapat kesepakatan dari semua anggota subak. Rapat subak untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan bersama pada umumnya dilakukan secara rutin menjelang musim tanam (Anonim: 2011). Menurut Sutawan (2008:419) Konflik-konflik yang tidak bisa diselesaikan oleh kelihan tempek/subak secara intern, kemungkinan besar dipengaruhi oleh tidak adanya awig-awig tertulis atau kurang dipahaminya aturan-aturan subak yang telah ada. Sesungguhnya, berbagai jenis pelanggaran sudah dimuat dalam awig-awig dari banyak subak beserta sanksi-sanksi yang dikenakan kepada pelakunya. Adanya kasus-kasus pelanggaran jadwal tanam dan pola tanam serta pencurian air dengan cara-cara yang dapat menimbulkan konflik namun tidak
107
langsung terselesaikan, mengindikasikan bahwa belum diaturnya masalah tersebut dalam awig-awig subak bersangkutan. Setelah terjadi konflik barulah ditentukan sanksi berupa denda sebagai cara untuk mengatasinya. Tidak sedikit subak yang telah memiliki awig-awig tertulis dan sudah dengan secara spesifik memuat ketentuan-ketentuan tentang pelanggaran terkait dengan pola tanam dan jadwal tanam. Meskipun demikian, ada beberapa kasus di mana konflik-konflik serupa itu tidak dapat diselesaikan di tingkat subak secara intern. Dalam keadaan seperti ini tidak diragukan lagi bahwa penyebabnya adalah lemahnya dan kurang tegasnya para pekaseh dalam menerapkan awig-awig secara konsekuen dan konsisten. Sehingga dalam mengantisipasi konflik air yang terjadi khususnya pada subak, pemahaman tentang aturan yang tetulis pada hukum tradisional Bali ini sangatlah efektif. Semangat
gotong-royong
yang tinggi dalam melakukan kegiatan-kegiatan
persubakan terutama dalam pemeliharaan jaringan fisik dan kegiatan ritual subak Ritual subak merupakan unsure pemersatu para anggotanya sehingga subak menjadi organisasi yang kuat dan tangguh, yang dapat mencegah konflik dalam subak. 4.6.3
Solusi lainnya
Ketika Awig- awig menjadi solusi konflik yang membahas lebih banyak untuk konflik air yang terjadi di Tabanan khususnya pada subak. Sedangkan solusi konflik yang dapat dimunculkan untuk daerah Badung seperti yang diungkapkan oleh Putu Handoko (2007: 50) tentang konflik lemahnya koordinasi antar aktor dari konflik air. Sehingga pendekatan kepada pihak masyarakat juga
108
sangat diperlukan, selain itu pula sebelum ditemukan kesepakatan diskusi bersama dengan pertemuan-pertemuan baik itu antar pemerintah, masyarakat dan pemilik hotel sangat efektif dilakukan sehingga semua stakeholder terlibat dalam berpartisipasi dan berperan dalam melakukan perencanaan. Selain itu WALHI juga mengutarakan sebuah solusi agar konflik mengenai air ini dapat di atasi dengan melakukan jeda atau menghentikan investasi-investasi seperti pembangunan hotel, villa maupun lapangan golf. Saat jeda berlangsung, Pemerintah harus menyusun kebijakan tata ruangnya dengan melakukan penataan atas kerusakan lingkungan dan tananan sosial akibat arus investasi, dan melakukan mitigasi atas konflik perebutan sumber daya air (Viva News, 2 Januari 2011). Lebih lanjut Petersberg (1998) dalam Ramdani (2002: 10) hal yang dapat menjadi solusi konflik adalah adanya Broad Base Partenerships (kemitraan yang luas) diantara pemerintah, legislatif, perguruan tinggi, LSM, serta masyarakat sebagai bentuk partisipasi dalam pengelolaan air. Disamping itu pengelolaan lingkungan harus diintegrasikan dalam pengelolaan air alat-alat dalam pengelolaan air seperti analisis dampak lingkungan, evaluasi kuantitas dan kualitas air sehingga dapat menjamin ekosistem dan konservasi disepanjang sungai.
109
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Setelah melakukan penelitian tentang dampak perkembangan infrastruktur terhadap konflik air yang terjadi di Badung (dengan melihat konflik air pada subak di Kabupaten Tabanan) maka dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya: 1. Perkembangan infrastruktur pariwisata dapat ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah hotel, restoran yang dapat dilihat berdasarkan kurun waktu tertentu terjadi peningkatan jumlah akomodasi pariwisata maupun restoran setiap tahunnya di Kabupaten Badung.
Salah satu dampak
perkembangan infrastruktur yang sangat pesat di Kabupaten Badung adalah ditandai dengan berkurangnya lahan subak yang dapat dilihat sejak tahun 1995 hingga tahun 2010 terjadinya pengurangan setiap tahunnya. Situasi ini ada relasinya dengan penurunan kualitas air baik itu pada subak maupun air bersih untuk konsumsi. Kondisi air dapat berkurang dengan berbagai alasan diantaranya adalah peningkatan jumlah penduduk seperti yang terjadi pula di Kabupaten Badung peningkatan jumlah penduduk terjadi peningkatan pula meskipun tidak terlalu kuat, akan tetapi diiringi dengan peningkatan jumlah wisatawan baik domestik maupun wisatawan asing yang terjadi sejak tahun 1995 hingga 2010. Selain jumlah penduduk perkembangan infrastruktur di bidang pariwisata seperti hotel dan restoran juga memerlukan jumlah air bersih yang cukup banyak.
110
2. Dengan adanya pengurangan jumlah air terutama pada musim kemarau maka sering pula terjadi sengketa yang dapat terjadi antara berbagai aktor, baik itu sesama petani, petani dengan pemerintah (PDAM) maupun petani dengan investor (pemilik hotel/ restoran). Sumber konflik ini dapat terjadi disebabkan oleh berbagai bentuk, seperti kelangkaan air, alih fungsi lahan pertanian, polusi air, proyek pengembangan irigasi, atau lemahnya koordinasi antara pemerintah, petani, maupun investor dalam persoalan manajemen air. Persoalan konflik pada awalnya telah terjadi sejak lama di Kabupaten Tabanan yang ditandai dengan pencurian air pada musim kemarau antara subak hulu dan hilir. Saat ini konflik tidak hanya antar sesama petani subak namun telah lebih jauh terjadi antar petani dengan PDAM seperti kasus yang terjadi di Tabanan. Hal ini terjadi karena ketidak tahuan berbagai pihak akan pembagian air. Baik untuk PDAM maupun untuk subak sehingga petani mengira PDAM telah menggunakan air lebih dari porsi kesepakatan. Selain itu konflik juga dapat terjadi antara petani dengan investor yang melakukan pembangunan dekat area pertanian, tidak jarang proyek ini dapat menutup saluran irigasi milik petani. Lebih dari pada itu air irigasi juga sering terjadi polusi yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti limbah rumah tangga, bengkel, kotoran ternak bahkan sampah yang bersumber dari hotel maupun restoran khususnya yang dekat dengan sungai. Setelah melihat konflik yang terjadi di Tabanan kita dapat melihat persamaan dan perbedaan dengan konflik yang terdapat di Kabupaten Badung dengan sumber masalah yang sama.
111
Di Kabupaten Badung konflik lebih banyak terjadi dengan investor (PT/ pemilik hotel dan restoran) seiring dengan perkembangan infrastruktur pariwisata yang terjadi. Konflik yang terjadi di Badung lebih banyak terjadi pada konflik air bersih untuk konsumsi yang disebabkan oleh aktivitas pariwisata seperti polusi dan pengunaan air ABT oleh perusahaan. Pada umumnya masyarakat Badung dapat menerima segala bentuk perubahan dan kondisi pariwisata yang terjadi di wilayah ini. 3. Solusi yang dapat digunakan dalam konflik ini diantaranya adalah kembali pada filosofi lokal Bali yakni dengan penerapan konsep Tri Hita Karana yang mampu mengatur keseimbangan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan),manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia dengan lingkungan (palemahan) dalam mencapai kebahagiaan dalam hidup. Konsep ini mampu memberikan hubungan-hubungan yang seimbang, serasi dan harmoni dalam masyarakat sehingga akan terhindar dari segala bentuk sengketa. Selanjutnya Awig- awing (aturan tertulis) masyarakat Bali khususnya yang mengatur masalah persubakan, yang pada umumnya hukum ini sangat dihormati oleh semua masyarakat yang telah disepakati berdasarkan
rapat
subak.
Dengan
awig-awig
ini
konflik
dapat
diminimalkan yang dibuktikan bahwa konflik yang terjadi selama ini khususnya
di
Tabanan
tidak
sampai
berurusan
dengan
hukum
pemerintahan dan dapat diselesaikan pada tataran persubakan. Solusi lainnya adalah tentu harus ditunjang oleh hukum pemerintah kemudian dilakukan pendekatan kepada pihak masyarakat juga sangat diperlukan,
112
selain itu pula melakukan diskusi bersama dengan pertemuan-pertemuan baik itu antar pemerintah, masyarakat dan pemilik hotel sangat efektif dilakukan. Selain itu dapat juga dilakukan kemitraan yang luas diantara pemerintah, legislatif, perguruan tinggi, LSM, serta masyarakat sebagai bentuk partisipasi dalam pengelolaan air.
5.2 Saran Dalam meminimalkan permasalahan air yang terjadi baik itu di Kabupaten Tabanan maupun di Badung ada beberapa saran yang peneliti ajukan yaitu: 1. Perkembangan infrastruktur hendaknya diiringi dengan analisis dampak lingkungaan serta evaluasi terhadap kebutuhan air dan persediaan air yang ada. 2. Untuk menghindari konflik diperlukan sebuah pendekatan kepada masyarakat oleh pemerintah maupun investor. Selain itu ketika adanya peraturan baru dari pemerintah daerah maupun pusat tentang kebijakan seperti pembagian air, dapat disosialisasikan kepada masyarakat melalui ketua subak atau lembaga adat sehingga adanya kerjasama antar berbagai elemen yang dilibatkan dalam usaha melakukan manajemen air yang lebih baik. 3. Melakukan promosi kepada masyarakat maupuan investor dalam meningkatkan kesadaran untuk tidak boros air . kemudian seluruh elemen baik pemerintah, masyarakat, maupun investor mampu mengaplikasikan THK dalam aspek kehidupan.
113
Daftar Pustaka
Anonim, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia No 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Anonim, Badung Dalam Angka Tahun 1990, 1995, 2000, 2005, 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Badung. Anonim, 2004, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Anonim, 2006, Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Badung nomor 20 tahun 2006 tentang Irigasi. Anonim, 1972, Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Badung Nomor 02 tentang Pengertian Subak. Anonim, 2007, Laporan akhir Revisi Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung, Bapeda Kabupaten Badung Anonim, 2009, “L’eau et sa gouvernance Version provisoire Larbi Bouguerra”, hlm. 4-5 Anonim, 2010, “Sistem informasi MAPATDA”, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung Anonim, 2010, Profil Sejarah PDAM, Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Badung. Anime,
Inside,
2011,
Dinamika
konflik
organisasi
dalam
http://windsaga.blogspot.com/ (diunduh tgl 8 Oktober 2011) Ashrama, Berata, 2005, “Pengertian dan Sumber Ajarannya” dalam Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation, Denpasar : Bali Travel News.
114
Bhasma, I.B.A, 2003, Pengendalian penduduk Pendatang di Desa Adat Ubung, Kota Denpasar, (Tesis). Denpasar. Universitas Udayana Coser, Lewis A, 1975, Struktur Konflik dalam Peter M. Blau (ed): Aprouch to study of social structure. New York: the free pers Hugon (P.), « Vers une nouvelle forme de gouvernance de l'eau en Afrique et en Amérique latine » in Revue internationale et stratégique, n°66, 2007/2, pp.65-7 Hadi, P. Sudharto, 2004, “Resolusi Konflik Lingkungan”, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. I Made Subarga Yasa, 2010, “BMS2-Form Data Entry”, D:/Data entry PDAM Badung Benchmarking/data_entry kab.Badung data_entry.V.13.9-kab. Badung.xls Avril pp.02 Ida Bagus Pujaastawa, 2005, “ Pariwisata Berwawasan THK” dalam Tri Hita Karana Tourism awards and accreditation, Denpasar : Bali Travel News hlm. 72-73 Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-2, 1991, Penerbit Balai Pustaka. Jakarta Khairul Muslim, 2006,
“Sistem kelembangaan irigasi untuk mendukung
kebijakan alokasi anggaran operasi dan pemeliharaan di Propinsi Bali”, Departemen Pertanian hlm. 9-10 Ketut Gede Dharma Putra, 2005, “Memilih Orientasi stategi penerapan THK”, dalam Tri Hita Karana Tourism awards and accreditation. Denpasar : Bali Travel News hlm. 39-42 Koentjaraningrat, 1990, Bunga Rampai Kebudayaan Metalis dan Pembangunan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
115
Maleong, Lexy, J, 2010, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Martini dewi, 2008, “Pengaruh fungsi alih lahan sawah terhadap produksi tanaman pangan, di Kabupaten Badung”, Universitas Udayana Denpasar Bali, hlm. 1 Mitchell, Bruce, B. Setiawan dan Dwita H.R, 2003, Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Nazir, Moh, 1998, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia. Neuman, Wiliam Lawrence, 1997, Social Research Method: Qualitative and Quantitative Approaches, Boston : Allin & Bacon. Putra, Dharma.K.G, 2005, “Memilih Orientasi Starategi Penerapan THK” dalam Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation, Denpasar : Bali Travel News. Pitana, I Gde dan Gayatri, Putu,G, 2005, Sosiologi Pariwisata, Yogyakarta: ANDI Parwata, 1991, “Peranan Sedahan Dalam management Subak di Kabupaten Tabanan, thesis, fakultas pertanian Universitas Udayana, hlm. 159-160. Paloma, Margaret M, 2004, Sosiologi kontemporer, Jakarta: CV Raja Wali Pendit, Nyoman S, 2006, Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana, Jakarta: PT. Pradnya Paramita Puspowardojo, S, 1993, Strategi Kebudayaan, Jakarta: Gramedia Pusposutardjo, Suprodjo, 2006, “Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Tri Hita Karana”, dalam pengantar, Pustaka Bali Post, pp. xxi-xxiii
116
Putu Handoko, 2007, “Mediasi konflik Penanganan perusakan Pantai (studi Kasus penanganan abrasi pantai Kuta Bali),” Tesis Jurusan Lingkungan, Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 45- 64 Pujaastawa.I.B.G, 2005, “ Pariwisata Berwawasan THK” dalam Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation, Denpasar : Bali Travel News. Poupeau (F), 2010, “Eau des ville: repenser des services en mutation, defi et conflits de la remunicipalisation de l’eau (l’exemple de la concession de la paz-Alto, Bolivia”, dans l‟article on line no. 203 juillet-septembre, Revue tiers monde. Pp. 47-56. Ramdani, Rahmad, 2001, Konflik dan resolusi konflik dalam pengelolaan air lintas regional, hlm. 10-11 Ritzer, George. 2005, Teori sosial Posmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana Sanderson, Stephen. K, 1993, Sosiologi Makro Sebuah pendekatan terhadap Realitas Sosial, Jakarta : Raja Wali Perss Soekanto, S, 2002, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali. Spradly, James.P, 2007, “Metode Etnografi”, Yogyakarta: Tiara Wacana. Sukri Abdurrachman, 2006, “konflik pertanahan vertikal pada kawasan pariwisata di Bali bab IV”, LIPI Jakarta, hlm. 28-48 Sutawan, 2008, “Organisasi dan management Subak di Bali”, Pustaka Balipost, hlm. 389-420 Sutawan, Nyoman. 2002. “Eksistensi Subak di Bali”: Mampukah Bertahan Menghadapi Berbagai Tantangan. Denpasar: Universitas Udayana. Sugiarta, 2003, “Upacara Menjemput Air”, Bali post ed, minggu 22 Juni.
117
Suryawan, Agung, 2008, “Analisis Kebutuhan Akomodasi dan Transportasi Pariwisata di Bali”, Pusat penelitian dan Kebudaayaan UNUD & Bali. UNWTO, 2004, Indicators of Sustainable Development for Tourism Destinations: A Guide Book. UNWTO, Madrid Yoeti, Oka.A, 2003, Anatomi Pariwisata, Bandung: Angkasa Bandung Windia, Wayan, 2006, “Transformasi Sistem Irigasi Subak Yang Berlandaskan Konsep THK”, Pustaka Bali. Widiartha, 2010, Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penataan Sarana Akomodasi Pariwisata Terhadap Perkembangan Villa di Kabupaten Badung”, (Tesis). Denpasar. Universitas Udayana. Wiana, Ketut.I, 2005, “ Manusia Unsur Sentral Dalam THK” dalam Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation, Denpasar : Bali Travel News. Yayasan Wisnu, 2001, “ Salah Urus Pengelolaan Air di Gumi Bali”, belajar Dari kasus Kabupaten Badung. Dalam seminar 1 Oktober 2001, Kertas posisi yayasan wisnu no, 03 /X/, hlm. 8-9. Situs Internet www.badungkab.go.id www.tabanankab.go.id Anonyme, 2003, “Le partenariat entre Aqua et Danone en Indonésie”,par Université d‟Automne Enseignants de Sciences Economiques et Sociales – Entreprises, pp. 03. http://www.institutentreprise.fr/fileadmin/Docs_PDF/travaux_reflexions/Mondialisation/20_ etudes_de_cas/DANONE.pdf ((diunduh 15 Juni 2011)
118
Anonyme, 2011, “Awig-awig Subak, Penanganan konflik subak, dan Mobilisasi sumber daya” le 03 fevrier. http://aay-arie.blogspot.com/2011/02/awigawig-subak-penanganan-konflik.html
Anonime, 2005, “Dibisniskan, Eksploitasi Air Bawah Tanah Mengkhawatirkan”, Bali post, 22 novembre. http://digilibampl.net/detail/detail.php?row=24&tp=kliping&ktg=airminu m&kode=2500 (l‟acces le 15 mai 2011). WALHI, 2008, « Tabanan Harus Lakukan Mitigasi Konflik Perebutan Air » in Sosial&Politik, http://www.birohumas.baliprov.go.id/berita/2010/11/alihlahan-mengikis-nilai-nilai-kearifan-budaya-lokal (diunduh
18 Januari
2011) http://www.google map 15 janvier 2011 http://www.indonesia-bali.com/canggu_kerobokan_map.php Desember 2010 Tri Hita Karana Bali http://baliholidayinfo.com/fr/content/gigolos-bali www.villaharmony.com
Wardana, “VIVAnews” dalam http://balicollection.info/2009/05/31/pariwisatapenyebab-utama-rusaknya-lingkungan-bali/ tgl 2 januari 2011 (diunduh tanggal 30 Desember 2010)
119
Lampiran Peta Badung tahun 2010
Petang
Abiansemal
Mengwi
Kuta Utara
Kuta
120 Kuta Selatan
Peta Badung tahun 2005
121
Peta Badung tahun 2000
122
Peta Badung tahun 1995
123
Peta Badung tahun 1990
124
GAMBAR STRUKTUR ORGANISASI SUBAK DI BALI PADA UMUMNYA
Sedahan Agung (di tingkat kabupaten)
Sedahan (di tingkat kecamatan)
Ketua/Kelian subak (Pekaseh)
Bendahara
Sekretaris
Kelian Tempek
Anggota subak
Sumber: Museum Subak Tabanan
125
Daftar Informan Dalam Wawancara No
Tanggal
Lokasi
Aktivitas/ pekerjaan Informan (Umur)
1
26 Januari 2011
Denpasar
Dosen (45)
2
26 Januari 2011
Tabanan
Bupati Tabanan (45-50)
3
27 Januari 2011
Tanah Lot
Direktur Perusahaan Swasta (60)
4
27 Januari 2011
Petit Tanget
Petani
5
27 Januari 2011
Tanah Lot
Wisatawan (30)
6
27 Januari 2011
Tanah Lot
Wisatawan (25)
7
27 Januari 2011
Tanah Lot
Wisatawan (40)
8
27 Januari 2011
Tanah Lot
Wisatawan (20)
9
27 Januari 2011
Tanah Lot
Wisatawan (30)
10
27 Januari 2011
Tanah Lot
Wisatawan (31)
11
27 Januari 2011
Tanah Lot
Wisatawan (81)
12
27 Januari 2011
Tanah Lot
Wisatawan (21)
13
27 Januari 2011
Tanah Lot
Wisatawan (15)
14
27 Januari 2011
Tanah Lot
Wisatawan (35-40)
15
27 Januari 2011
Tanah Lot
Wisatawan (35)
16
27 Januari 2011
Tanah Lot
Pemborong Villa (30)
17
27 januari 2011
Tanah Lot
Palajar (25-30)
18
27 Januari 2011
Tanah Lot
Wisatawan (40)
19
27 Januari 2011
Kuta
Wisatawan (20-25)
20
28 Januari 2011
Ubud
Touris information Center (30)
21
28 Januari 2011
Ubud
Receptionist (30)
126
22
28 Januari 2011
Ubud
Receptionis villa (25-30)
23
28 Januari 2011
Ubud
Petani (60)
24
28 Januari 2011
Gunung Kawi
Petani (30)
25
28 Januari 2011
Gunung Kawi
Petani (40)
26
29 Januari 2011
Kuta
Informasi Hotel Oborai (28)
27
31 Januari 2011
Seminyak
Ketua Asosiasi Bali Villa (30-35)
28
1 Februari 2011
Astuari
Pembersih Bendungan (47)
29
1 Februari 2011
Astuari
Pekerja Lab. PDAM (45)
30
1 februari 2011
PDAM Badung
Karuawan PDAM (28)
31
1 Februari 2011
PDAM Badung
Staf PDAM (50)
32
4 februari 2011
Krobokan
Karyawan restoran Canggau (19)
33
4 Februari 2011
Krobokan
Receptionis Villa Desa Seni
34
4 Februari 2011
Krobokan
Pemilik Villa Harmoni (40)
35
4 Februari 2011
Krobokan
Receptionis Villa Alang- Alang (27)
36
4 Februari 2011
Krobokan
Infomasi Mayana Villa (33)
37
4 Februari 2011
Krobokan
Petani (58)
38
5 Februari 2011
Krobokan
(pekerja Restoran Eko Canggau (20)
39
5 Februari 2011
Krobokan
Petani (47)
40
5 Februari 2011
Krobokan
Petani (48)
41
5 Februari 2011
Seminyak
Petani (60)
127
Daftar Pertanyaan Wawancara Untuk PDAM
-
Siapa pemilik Perusahaan? Bagaimana Struktur, Visi, Misi? Bagaimana Sejarah PDAM Badung? Bagaimana proses penyaluran air hingga pada masayarakat? Bagaimana cara menjadi client PDAM? Berapa tarif yang harus dikeluarkan? Bagaimana perkembangan Tarif PDAM sejak beberapa tahun? Bagaimana air di salurkan untuk masyarakat? Industri, dan sektor pariwisata? Bagaimana relasi pembagian air dengan irigasi pertanian atau subak? Pernahkah terjadi konflik? Ketika adanya polusi air dan kerusakan pipa siapa yang bertanggung jawab? Pada musim kemarau apakah sering macetnya air? Adakah pelanggan PDAM yang protes? Dalam Hal apa saja? Siapa yang mengontrol kualitas air ? Bagaimana sisitem expansi jaringan PDAM yang dilakukan?
Pemilik Villa -
Wisatawan mana yang banyak menginap? Dalam kepentingan apa (honey moon, Bisinis atau bersenang-senang saja? Berapa jumlah kamar yang tersedia? Mengapa wisatawan suka memilih villa ini? Mengapa tertarik membangun villa di daerah ini? Bagaimana kondisi air? Menggunakan PDAM atau ABT? Bagaimana kualitas air dan jaringan yang digunakan? Bagaimana relasi dengan penduduk sekitar termasuk petani? Mengapa ada assosiasi villa? Apa motivasi sehingga mendirikan assosiasi Bali Villa?
Tourism Office -
Apakah ada wisatawan yang memilik hotel atau villa yang respek terhadap lingkungan? Pernahkan berkomunikasi masalah air dengan wisatawan tentang (THK, Lancape Subak, dan berasal dari mana?) Adakah objek wisata yang menonjolkan pariwisata lingkungan? Seperti apakah aktivitas tersebut? ad akah aktivitas dari hotel atau villa yang menempatkan program khusus dalam menjaga lingkungan?
128
Hotel -
Adakah sertikat yang didapat hotel terutama masalah lingkungan, misalnya label THK dan sejenisny? Ikuti Sejak kapan mengikuti THK award? Apa keuntungannya bagi marketing hotel? Apa kreteria untuk dapat mengikuti THK award? Apakah ada promosi tentang hotel anda pada tourism office, tentang reservasi lingkungan? Wisatwan berasal dari manakah yang sering meminta hotel-hotel yang respek terhadap lingkungan? Apakah program spesial yang dilakukan hotel terhadap lingkungan sekitar?
Wisatawan -
Berasal dari manakah anda? Menginap di mana? Bagaimana tanggapan anda dengan pariwisata Bali terutama untuk aspek lingkungan, seperti kondisi air? Apakah selama anda meninap di penginapan / hotel, menemukan masalah mengenai kondisi air bersih? Bagaimana menurt anda tentang hemat air? Seberapa penting air bagi kehidupan? Bagaimana relasi anda dengan pemilik hotel/villa?
Petani -
Sudah berapa lama anda melakukan aktivitas pertanian? Dengan menyewa atau milik sendiri? Apakah anda menggunakan air subak? Bagaimana kondisi air subak dulu dan sekarang? Pernahkah terjadi masalah air pada sawah? Bagaimana mendapatkan air pada musim kemarau? Bagaimana sistem pembagian air yang diatur oleh subak? Untuk air bersih apakah anda menggunakan air bawah tanah, atau PDAM? Bagaimana pelayanan yang dibeikan PDAM selama ini yang anda alami? Apakah pernah terjadi masalah? bagaimana penyelesainnya? Bagaimana relasi antar petani dan pemilik villa hotel disekitar sini? Pernahkah terjadi masalah antara petani dan pemilik hotel/ villa/ restoran? Ketika pikah hotel/ villa/ restoran menggunakan sawah ini sebagai pemanangan yang indah apakah mereka memberikan kontribusi atas aktivitas pertanian yang anda lakukan? Bagaimana relasi antara anda dengan pihal investor tersebut?
129
Dokumentasi Penelitian
Pemandanga Subak
Irigasi Yang dapat menghubungkan pada subak-subak
130
Polusi air akibat sampah pada bendungan Astuari
Salah satu Bentuk alih fungsi lahan pertanian
131