1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Minyak merupakan salah satu sumber energi yang banyak digunakan di
dunia. The Court of Justice of the Europian Union dalam putusannya pada kasus Campus Oil Limited menyatakan bahwa produk minyak bumi sangat penting sebagai sumber energi dalam kehidupan modern, mengingat bukan hanya sektor ekonomi yang memerlukan minyak melainkan semua institusi negara dan bahkan keberlangsungan kehidupan penduduk suatu negara bergantung pada produk minyak bumi.1 Seiring dengan keberadaan sistem perdagangan bebas (free trade),2 minyak menjadi komoditas yang banyak diperdagangkan. Melaku Geboye Desta berpendapat bahwa: petroleum is the largest primary commodity of international trade in terms of both volume and value.3 Hal tersebut diperkuat dengan data yang dilansir International Trade Center, dimana minyak (mineral fuels, mineral oils, and product of their distillation) merupakan salah satu dari 99 jenis objek yang paling banyak diperdagangkan secara internasional.4 Kebutuhan tinggi terhadap minyak tersebut berbanding terbalik dengan ketersediaan minyak yang terus berkurang. Selain itu terdapat pula permasalahan
1
The Court of Justice of the European Union, Case Campus Oil Limited and others v. Minister for Industry and Energy and others, 1984, ECR-2727. 2 Ida Bagus Wyasa Putra, 2008, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis Internasional, Cet II, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 4. 3 Melaku Geboye Desta, 2003, Journal of World Trade 37(3): 523–551, 2003, The Organization of Petroleum Exporting Countries, the World Trade Organization, and Regional Trade Agreements, Kluwer Law International, The Netherlands, h. 523. 4 International Trade Center, 2014, Exports 2001-2014 International Trade in Goods Statistic by Product Group, URL: https;//www.intracen.org/itc/market-info-tools/statistic-exportproduct-country/, diakses pada 15 September 2015.
2
mengenai dampak buruk industri minyak terhadap lingkungan seperti perubahan iklim.5 Kondisi tersebut dapat memicu kelangkaan minyak yang dalam jangka panjang dapat mengancam hak generasi penerus terhadap sumber daya minyak dan kelestarian lingkungan. Perlindungan terhadap hak generasi penerus (right of future generation) telah dijabarkan dalam beberapa instrumen hukum internasional seperti: the Stockholm Declaration;6 the Rio Declaration;7 United Nation General Assembly Resolution 37/7 dan the 1992 United Nation Framework Convention on Climate Change.8 Bahkan International Court of Justice dalam putusannya pada kasus Gabcikovo-Nagymaros Project9 dan Pulp Mills10 menggambarkan penghormatan terhadap hak generasi penerus (right of future generation), terutama yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan. Meskipun perdagangan minyak internasional semakin intens dilakukan, akan tetapi jika dilihat dalam kerangka hukum internasional belum terdapat suatu instrumen internasional di bidang perdagangan minyak yang mengikat secara umum bagi negara-negara di dunia. Oleh karena itu diperlukan hukum perdagangan internasional di bidang minyak untuk mengatur transaksi perdagangan minyak internasional dan sekaligus menjamin ketersediaan minyak dalam jangka panjang. 5
International Energy Agency, 2015, World Energy Outlook 2015, International Energy Agency, h. 33. 6 Stockholm Declaration on the Human Environment of the United Nations Conference on the Human Environment, June 16, 1972, 11 I.L.M. 1416, princ. 1. 7 Rio Declaration on Environment and Development, U.N. ESCOR, princ. 3, U.N. Doc. A/CONF.151/26 (Vol. I) (1992). 8 World Charter for Nature, General Assembly Resolution 37/7, 28 October 1982, U.N. Doc A/RES/37/7. See also UN Framework Convention on Climate Change art. 3(1), opened for signature May 9, 1992, U.N. Doc. A/AC.237/18 (Part II) (Add. 1), 31 I.L.M. 848. 9 Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia), Judgments, ICJ Report, 1997, h. 75, para. 40. 10 Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay), Judgment, I.C.J. Reports 2010, h. 38 dan 64, paras. 75 dan 117.
3
Menurut Rafiqul Islam, hukum perdagangan internasional merupakan suatu kumpulan aturan, prinsip, norma dan praktek yang menciptakan suatu pengaturan (regulatory regime) untuk transaksi-transaksi perdagangan transnasional dan sistem pembayarannya yang memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan. Kegiatan-kegiatan komersial tersebut dapat dibagi ke dalam kegiatan “komersial” yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata internasional atau Conflict of Laws; perdagangan antar pemerintah atau antarnegara, yang diatur oleh hukum internasional publik.11 Pengaturan perdagangan internasional (dalam ranah hukum publik) tidak terlepas dari adanya organisasi-organisasi internasional di bidang perdagangan. Organisasi perdagangan internasional yang memiliki peran sentral dalam pengaturan perdagangan internasional adalah General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang sudah berubah menjadi the World Trade Organization. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Peter van den Bossche sebagai berikut: “International trade law consist of, on the one hand, numerous bilateral or regional trade agreements and, on the other hand, multilateral trade agreements….. The most important and broadest of all multilateral trade agreements is the Marrakesh Agreement Establising the World Trade Organization concluded on 15 April 1994.” 12 WTO merupakan organisasi perdagangan terbesar di dunia. Jumlah anggota WTO hingga tahun 2015 adalah sejumlah 116 members.13 Semua anggota WTO tersebut telah meratifikasi the Marrakesh Agreement Establishing the World Trade 11
Rafiqul Islam, 1999, International Trade Law, LBC, New South Wales, h.1. Peter van den Bossche, 2010, the Law and Policy of the World Trade Organization; Text, Cases and Materials, Second Edition, Cambridge University Press, New York, h. 36. 13 WTO, 2015, Understanding the WTO; the Organization; Members and Observers, URL: https;//www.wto.org/English/thewto_e/whatis_e/tif_e/org6_e.html, diakses pada 15 September 2015. 12
4
Organization (WTO Agreement).
Menurut Gerhard Loibl, WTO Agreement
tersebut terdiri dari empat pilar utama yaitu: “GATT 1994, the General Agreement on Trade in Services (GATS), the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), dan the Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (Dispute Settlement Undestanding/DSU)”.14 Meskipun WTO merupakan organisasi perdagangan terbesar dan pengaturannya memiliki ruang lingkup yang luas, akan tetapi pengaturan perdagangan internasional tidak hanya terbatas pada perjanjian-perjanjian internasional yang diprakarsai oleh WTO. Gerhard Loibl berpendapat sebagai berikut: “Although the WTO established a comprehensive international legal and institutional framework for international trade, number issues remain to be addressed. Some further areas might become subject to new agreements.”15 Mengacu pada pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa beberapa isu dalam perdagangan internasional memerlukan pengaturan yang lebih khusus. Hal tersebut dikarenakan kompleksitas dalam perdagangan internasional yang memerlukan pengaturan yang lebih rinci. Apalagi dalam konteks perdagangan internasional yang memiliki objek khusus seperti minyak. Minyak pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam kategori “barang”. Hal tersebut sesuai yang dinyatakan oleh Thomas Cotier et.al bahwa: Oil and solid fuels such as coal clearly fall within the category of goods; they are easily stored and traded across borders.16 Meskipun minyak dikategorikan sebagai “barang”, 14
Malcolm D. Evans, 2006, International Law; Second Edition, Oxford University Press, United States, New York. h. 699. 15 Ibid., h. 706. 16 Thomas Cottier et. Al., 2010, Energy in WTO law and policy, the World Trade Organization, h. 3.
5
terdapat pendapat yang menyatakan bahwa minyak dikecualikan dalam pengaturan perdagangan dalam rezim WTO. Melaku Geboye Desta berpendapat: “The role of the multilateral trading system on international trade in petroleum products has not always been clear. A study by UNCTAD has observed that “… the strategic importance of petroleum trade to the world economy has been such that in the past it has been treated as a special case, in a largely political context and not within the GATT multilateral framework of trade rules”. However, as the same study emphasizes, strategic sensitivities notwithstanding, there is not any GATT provision which exempts petroleum trade from its coverage. In principle, trade in petroleum products among GATT/WTO Members is governed by the rules of the trading system just like other products. However, although there was no explicit exclusion of petroleum products from the scope of the multilateral trade agreements, a combination of factors have, de facto, brought the virtual exclusion of international trade in petroleum products from the trading system. The most important ones in this respect are absence of petroleum export interests from GATT’s origins and non-membership in the WTO of the major oil exporters even today, the consequent lack of specific trade/import liberalization commitments by GATT/WTO Members, the system’s inherent market access bias, its ineffectiveness in the area of quantitative export restrictions, and the recent trend towards regionalism as a solution.”17 Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat ketidakjelasan mengenai pengaturan minyak dalam rezim WTO. Kendati terdapat ketidakpastian tersebut, saat ini terdapat beberapa instrumen hukum internasional yang mengatur di sektor energi secara umum, dan minyak khususnya. Energy Charter Treaty (ECT) merupakan salah satu contoh yang paling terkenal sebagai suatu instrumen hukum internasional yang mengatur tentang perdagangan energi.18 Meskipun tidak secara khusus mengatur mengenai perdagangan minyak, akan tetapi minyak menjadi salah satu jenis energi yang diatur dalam ECT. Selain itu, terdapat pengaturan lain diantaranya pengaturan
17
Melaku Geboye Desta, Op.cit., h. 259. Research Handbook on International Law, Edited by Kim Talus, 2014, Research Handbook on International Energy Law, Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham, United Kingdom, h. 5. 18
6
perdagangan minyak internasional yang diprakarsai oleh International Energy Agency (IEA) dalam kerangka the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan the Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC). Bahkan ASEAN sebagai organisasi regional juga memprakarsai ASEAN Petroleum Security Agreement yang mengatur mengenai ketahanan minyak. Pengaturan
mengenai
perdagangan
minyak
internasional
tersebut
diprakarsai oleh organisasi yang berbeda-beda, dengan keanggotaan yang berbeda dan oleh karenanya memiliki karakter yang berbeda-beda pula. Pengaturan dalam ECT lebih menekankan pada liberalisasi perdagangan energi dan prinsip-prinsip GATT/WTO, seperti national treatment dan most-favoured nation (MFN). Sedangkan pengaturan dalam kerangka IEA lebih menekankan pada aspek ketahanan energi, khususnya ketahanan minyak, mengingat anggota IEA yang merupakan konsumen atau oil net importer. Disisi lain pengaturan dalam kerangka OPEC lebih menekankan pada stabilitas harga minyak dunia, mengingat negara anggota OPEC merupakan produsen atau oil net exporter. Sedangkan pengaturan dalam kerangka ASEAN memadukan antara prinsip-prinsip hukum dalam ECT dan pengaturan dalam kerangka IEA, mengingat ASEAN menjadi observer dari keduanya. Indonesia memiliki potensi sumberdaya energi yang beragam mulai dari potensi sumberdaya energi fosil (yang terdiri atas batubara, minyak dan gas bumi), potensi sumberdaya energi baru dan terbarukan. Bahkan, Indonesia menjadi anggota OPEC sejak tahun 1962, meskipun pada tahun 2009 Indonesia mensuspended keanggotaanya dari OPEC dan bergabung kembali sejak bulan Januari
7
tahun 2016.19 Kendati demikian, Indonesia masih mengalami permasalahan dalam penyediaan minyak untuk kebutuhan dalam negeri. Berdasarkan data dari Outlook Energi Indonesia, persediaan minyak Indonesia masih dapat dimanfaatkan hanya sekitar 12 tahun lagi apabila tidak ditemukan cadangan baru.20 Permasalahan tersebut mengakibatkan Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri sehingga dilakukan impor minyak dalam jumlah besar. Dengan demikian tidak terelakan lagi bahwa Indonesia merupakan subjek dalam perdagangan minyak internasional. Sebagai salah satu subjek dalam perdagangan internasional, Indonesia harus menaati aturan hukum mengenai perdagangan internasional, khususnya di bidang perdagangan minyak. Di sisi lain, Indonesia memiliki pengaturan nasional tersendiri mengenai minyak. Pengaturan tersebut didasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menekankan bahwa pengelolaan sumberdaya minyak dikuasai oleh pemerintah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 33 ayat (4) juga menyatakan Tarik menarik antar pengaturan perdagangan minyak internasional dengan pengaturan minyak nasional Indonesia tersebut menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengangkat judul “PENJABARAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM
PERDAGANGAN
MINYAK
INTERNASIONAL
DALAM
PENGATURAN MINYAK INDONESIA”
19
The Organization of Petroleum Exporting Countries, 2015, Member Countries, URL: https;//www.opec.org/opec _web/en/about_us/25.html, diakses pada 17 September 2015. 20 Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2014, Outlook Energi Indonesia 2014, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta, h. 16.
8
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis merumuskan dua
masalah yang akan dibahas. Adapun permasalahan tersebut antara lain: 1. Apa sajakah prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam pengaturan perdagangan minyak internasional? 2. Bagaimana penjabaran prinsip-prinsip hukum perdagangan minyak internasional dalam kebijakan pengaturan minyak Indonesia? 1.3
Ruang Lingkup Masalah Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah, perlu ditegaskan
mengenai materi yang dibahas di dalamnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menyimpangnya pembahasan materi dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut: 1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan mengenai kerangka pengaturan (regulatory framework) dalam instrumen hukum internasional yang mengatur perihal perdagangan minyak internasional. Penulis akan menginventarisir bentuk-bentuk peraturan yang relevan dan mendalami sifat mengikatnya (bindingness) sehingga dapat menggambarkan efektifitas pelaksanaannya (enforceability). 2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan mengenai penjabaran prinsip-prinsip hukum perdagangan minyak internasional dalam kebijakan pengaturan minyak Indonesia. Penulis akan mengkaji kesesuaian antara kebijakan pengaturan minyak Indonesia
9
yang tersebar dalam beberapa undang-undang dengan prinsip-prinsip hukum perdagangan minyak internasional. 1.4
Tujuan Penelitian Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut: 1.4.1 Tujuan Umum Tujuan umum dalam penulisan ini yaitu: 1. Untuk lebih memahami dan memperdalam pemahaman mengenai prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam hukum internasional terkait perdagangan minyak internasional. 2. Untuk mengetahui penjabaran dan kesesuaian antara pengaturan minyak Indonesia terhadap prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam pengaturan perdagangan minyak internasional. 1.4.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penulisan skripsi ini, yaitu : 1. Untuk mengetahui kesiapan kerangka hukum (legal framework), khususnya
Indonesia
dalam
melakukan
perdagangan
minyak
internasional berdasarkan pengaturan perdagangan minyak internasional. 2. Untuk mengetahui manfaat dari adanya pengaturan perdagangan minyak internasional,
khususnya
dalam
praktik
perdagangan
minyak
internasional oleh Indonesia, sehingga dapat ditentukan opsi-opsi mengenai kebijakan pengaturan di bidang perdagangan minyak.
10
1.5
Manfaat Penellitian Penulisan skripsi ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut:
1.5.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai pengaturan perdagangan minyak internasional. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk pengembangan Ilmu Hukum secara umum, khususnya di bidang hukum internasional mengenai perdagangan internasional di bidang komoditi khusus seperti minyak. 1.5.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi Pemerintah sebagai upaya pengembangan kerangka hukum maupun kebijakan-kebijakan khususnya dibidang perdagangan minyak internasional. Dengan demikian Pemerintah diharapkan dapat memaksimalkan potensi minyak dalam negeri untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia dan meningkatkan efisiensi penggunaan minyak dengan memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 1.6
Landasan Teoritis
1.6.1 Teori Liberalisasi Perdagangan Liberalisasi perdagangan atau dikenal juga dengan istilah perdagangan bebas menjadi fenomena global yang sangat penting dewasa ini. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Nadeem Bhatti yakni: “Economic liberalization is getting importance in recent literature throughout world. Liberalization may be effects asymmetrically; some firms may advantage whilst others looses, leading to
11
developing within industry deviation in industrial execution.21 Dalam pendapat tersebut perdagangan bebas mempunyai dua sisi, di satu sisi menguntungkan dan di sisi lain dapat merugikan. Dari sudut pandang pertama, liberalisasi perdagangan dapat memberikan keuntungan. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Adam Smith dalam bukunya yang berujudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Adam Smith mengemukakan sebagai berikut: “Between whatever places foreign trade is carried on, they all of them derive two distinct benefits from it. It carries the surplus part of the produce of their land and labour for which there is no demand among them, and brings back in return something else for which there is a demand. It gives value to their superfluities, by exchanging them for something else, which may satisfy part of their wants and increase their enjoyments. By means of it, the narrowness of the home market does not hinder the division of labour in any particular branch of art or manufacture from being carried to the highest perfection. By opening a more extensive market for whatever part of the produce of their labour may exceed the home consumption, it encourages them to improve its productive powers and to augment its annual produce to the utmost, and thereby to increase the real revenue of wealth and society” 22 Selain itu Smith juga berpendapat sebagai berikut: “The gains from international trade are reinforced by the increased competition that domestic producers are confronted with. This is another advantage, because international trade decreases the likelihood of domestic monopolies. Smith argues that free competition, though often not in the interest of the producers, is always beneficial to the public. An additional beneficial aspect of international trade, namely that it transfers knowledge and technology between different nations. The adoption and use of new production techniques lead to productivity growth and thus to economic
21
Nadeem Bhatti et.al., 2011, “New Growth Theories and Trade Liberalization: Measurement of Effects of Technology Transfer on Pakistan’s Economy Modern Applied Science Vol. 5, No. 3; June 2011, Canadian Center of Science and Education, h. 85. 22 Anthony P. Thirlwall, 2000, Trade, Trade Liberalisation and Economic Growth: Theory and Evidence, African Development Bank, Economic Research Paper, h. 6.
12
development and an increase in wealth. Overall, international trade is beneficial to both the individual nations and the world as a whole.” 23 Berdasarkan pendapat tersebut, Smith memiliki pandangan yang optimistik terhadap perdagangan bebas dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara. Akan tetapi pendapat tersebut menjadi tidak realistis jika dikaitkan dengan perdagangan bebas tanpa hambatan. Hal tersebut sesuai dengan teori Comparative Advantage dari David Ricardo sebagai berikut: “On the assumptions of perfect competition and the full employment of resources, countries can reap welfare gains by specialising in the production of those goods with the lowest opportunity cost and trading the surplus of production over domestic demand, provided that the international rate of exchange between commodities lies between the domestic opportunity cost ratios. These are essentially static gains that arise from the reallocation of resources from one sector to another as increased specialisation, based on comparative advantage, takes place. These are the trade-creation gains that arise within Customs Unions or Free Trade Areas as the barriers to trade are removed between members, but the gains are once-for-all. Once the tariff barriers have been removed, and no further reallocation takes place, the static gains are exhausted.” 24 Dari sudut pandang kedua, perdagangan bebas dapat menyebabkan kerugian bagi produsen atau industri rumah tangga yang tidak memiliki kemampuan bersaing yang berujung pada lemahnya sektor produksi dalam negeri. Selain itu, dengan adanya perdagangan bebas juga menyebabkan negara yang tidak mampu bersaing menjadi ketergantungan terhadap impor. Meskipun memiliki dua sisi yang kontroversial, akan tetapi perkembangan liberalisasi tidak terelakan. Liberalisasi perdagangan menjadi fenomena global
23
Reinhard Schumacher, 2012, “Adam Smith’s Theory of Absolute Advantage and the Use of Doxography in The History of Economics University of Potsdam” Erasmus Journal for Philosophy and Economics, Volume 5, Issue 2, Germany, h. 59-60. 24 Anthony P. Thirlwall, Loc.cit.
13
tidak terlepas dari peran organisasi perdagangan internasional. Seperti yang dinyatakan oleh Thirlwall sebagai berikut: “In the world economy since 1950 there has been a massive liberalisation of world trade, first under the auspices of the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), established in 1947, and now under the auspices of the World Trade Organisation (WTO) which replaced the GATT in 1993. Non-tariff barriers to trade, such as quotas, licenses and technical specifications, are also being gradually dismantled, but rather more slowly than tariffs. Regional Trade Agreements (RTAs) have also become very fashionable in the form of Free Trade Areas and Customs Unions. The WTO lists 76 that have been established or modified since 1948. The major ones are the European Union (EU); the North American Free Trade Area (NAFTA); Mercosur covering Argentina, Brazil, Paraguay, Uruguay and Chile; APEC, covering countries in the Asia and Pacific region; ASEAN covering South-East Asian countries, and SACU, covering countries in southern Africa.” 25 1.6.2 Teori Mengikatnya Hukum Internasional Terdapat beberapa teori yang mencoba menjelaskan mengenai dasar kekuatan mengikat dari hukum internasional. Teori-teori tersebut antara lain: 1. Teori Hukum Alam (natural law) Ajaran ini mula-mula mempunyai ciri-ciri keagamaan yang kuat, untuk pertama kalinya dilepaskan dari hubungannnya dengan keagamaan itu oleh Hugo Grotius. Dalam bentuknya yang telah disekularisir, hukum alam merupakan hukum ideal yang didasarkan atas hakekat manusia sebagai makhluk berakal atau kesatuan kaidah-kaidah yang diilhamkan alam pada akal manusia. Teori hukum alam menyatakan bahwa hukum internasional mengikat karena Hukum Internasional tidak lain daripada hukum alam, yang diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-bangsa dikarenakan Hukum Alam merupakan hukum yang lebih tinggi. Teori hukum alam ini memiliki kelemahan yaitu pengertiannya yang abstrak dan tergantung pada penilaian subjektif. Akan tetapi karena idealismenya yang tinggi teori ini menimbulkan keseganan terhadap hukum internasional dan sekaligus dasar bagi mengikatnya hukum internasional.26 2. Teori Kehendak Negara Teori ini mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada karena kehendak dari negara untuk tunduk pada Hukum Internasional. Aliran ini didasarkan pada falsafah Hegel yang dahulu mempunyai pengaruh yang 25
Anthony P. Thirlwall, Op.cit., h. 5. Mochtar Kusumaatmadja, 1982, Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Binacipta, Bandung, h. 43-50. Lihat juga Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Cet IV, PT. Alumni, Bandung. h. 6. 26
14
luas di Jerman. Salah satu orang yang paling terkemuka dari aliran ini adalah George Jellineck dengan Shelbst-limitation-theorie-nya. Seorang pemuka lain dari aliran ini adalah Zorn yang berpendapat bahwa hukum internasional itu tidak lain merupakan hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara. Hukum internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi yang mempunyai kekuatan mengikat diluar kemauan negara. Kelemahan dari teori ini yaitu teori ini tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya hukum dapat mengikat negara-negara dan bagaimana negara baru sejak munculnya dalam masyarakat hukum internasional sudah terikat dengan hukum internasional terlepas dari kemauan negara tersebut.27 3. Teori Kehendak Bersama Negara Triepel mengemukakan bahwa hukum internasional mempunyai kekuatan mengikat bukan karena kehendak satu persatu negara melainkan karena adanya kehendak bersama yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara. Kehendak bersama ini tidak perlu dinyatakan secara spesifik, melainkan diberikan secara diam-diam (implied). Teori ini mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat menjawab pertanyaan mengenai kekuatan mengikat dari hukum internasional dalam hal negara melepaskan diri dari kekuatan mengikat tersebut.28 4. Mazhab Wiena Menurut madzab ini bukan kehendak negara melainkan suatu norma hukumlah yang merupakan dasar terakhir dari kekuatan mengikat hukum internasional. Menurut madzab ini kekuatan mengikat suatu kaedah hukum internasional didasarkan suatu kaedah yang lebih tinggi yang pada gilirannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada kaidah dasar (grundnorm) yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi, melainkan harus diterima adanya sebagai suatu hipotesis asal. Hans Kelsen yang dianggap sebagai bapak dari Madzab Wiena mengemukakan azas “pacta sunt servanda” sebagai kaidah dasar (grundnorm) dari hukum internasional. Kelemahan dari teori ini yaitu ketidakmampuannya dalam menjawab dasar mengikatnya kaidah dasar (grundnorm).29 5. Mahzab Perancis Madzab ini mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada faktor-faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia yang dinamakan fakta-fakta kemasyarakatan (fait social). Jadi dasar kekuatan mengikat hukum internasional terdapat dalam kenyataan sosial bahwa hukum itu perlu mutlak bagi dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.30
27
Ibid. Ibid. 29 Ibid. 30 Ibid. 28
15
1.6.3 Teori tentang Organisasi Internasional Organisasi internasional adalah organisasi internasional yang dibentuk antar pemerintah (intergovernmental organization). Walaupun harus diakui bahwa di samping organisasi antar pemerintah masih dikenal organisasi non pemerintah atau dikenal sebagai non-govermental organization (NGO).31 Menurut Sri Setianingsih Suwardi, status organisasi internasional dalam hukum internasional adalah: 32 1. Sebagai subjek hukum internasional; 2. Membantu pembentukan hukum internasional; 3. Sebagai forum untuk membicarakan, mencari jalan yang dihadapi oleh anggotanya; 4. Sebagai alat untuk memaksakan agar kaidah hukum internasional ditaati. Organisasi internasional dapat berperan dalam membantu pembentukan hukum internasional. Hal tersebut sesuai pendapat JG Starke yang menyatakan keputusan dari organisasi internasional atau konferensi internasional dapat membantu pembentukan aturan hukum internasional dengan cara yang berbeda. Sedangkan Mochtar Kusumaatmaadja berpendapat bahwa keputusan-keputusan dari badan-badan legislatif, eksekutif maupun yudikatif dari lembaga-lembaga atau organisasi internasional itu tidak dapat diabaikan dalam suatu pembahasan tentang sumber-sumber hukum internasional, meskipun bukan dalam arti yang sesungguhnya.33 31
Sri Setianingsih Suwardi, 2004, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Cet. I, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, h. 5. 32 Ibid. h. 7. 33 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit., h. 144.
16
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut jelas bahwa keputusan-keputusan dari perlengkapan organisasi internasional dapat membantu pembentukan hukum internasional. Apalagi organisasi internasional memiliki kemampuan dalam membentuk hukum mengikat bagi para anggotanya. Kemampuan tersebut baik secara eksplisit maupun implisit telah ditentukan dalam anggaran dasarnya.34 1.7
Metode Penelitian Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,
metodelogis dan konsisten. Oleh karena itu metodelogi penelitian yang diterapkan harus sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.35 Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.7.1 Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang mengkaji permasalahan dari segi hukum yang sumbernya berasal dari peraturan perundang-undangan, teori hukum, doktrin, dan perundang-undangan hukum sebagai dasar dan acuannya. Soerjono Soekanto mengidentikkan penelitian hukum normatif tersebut sebagai penelitian hukum kepustakaan yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, serta sejarah hukum.36
34
Sri Setianingsih Suwardi, Op.cit., h. 15-16. H. Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, h. 17. 36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 12. 35.
17
Dalam penelitian ini prinsip-prinsip hukum perdagangan minyak internasional di sinkronisasi dan dibandingkan dengan pengaturan minyak di Indonesia. 1.7.2 Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa jenis pendekatan, antara lain:37 1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach); 2. Pendekatan kasus (case approach), 3. Pendekatan historis (historical approach), 4. Pendekatan komparatif (comparative approach), 5. Pendekatan konseptual (conceptual approach), Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Pendekatan Perundang-undangan (the statutory approach) Penulis menelaah peraturan yang terkait dengan isu yang sedang ditangani. Peraturan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah instrumeninstrumen hukum internasional, yaitu: Energy Charter Treaty, International Energy Programe Agreement, OPEC Statute dan ASEAN Petroleum Security Agreement. Penulis juga melakukan pendekatan dengan menelaah hukum nasional Indonesia, diantaranya: UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.
37
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cet. VIII, Kencana Predana Media Group, Jakarta, h. 133.
18
2. Pendekatan Konsep Hukum (the conceptual approach) Penulis menelaah konsep-konsep hukum yang terkandung dalam berbagai instrumen hukum primer maupun sumber lain yang terkait yang relevan dengan isu yang sedang ditangani. Melalui pendekatan peraturan ini akan dilihat fakta-fakta yang terjadi dilapangan selanjutnya dikaitkan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Dalam penelitian ini, penulis menelaah konsep-konsep hukum yang terdapat dalam ECT, pengaturan dalam prakarsa IEA, OPEC dan ASEAN. 1.7.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dalam suatu penelitian yang bersifat normatif, haruslah berdasar pada studi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.38 Adapun bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi, yaitu: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum terutama berpusat pada peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.39 Bahan hukum primer yang digunakan, yaitu: • Energy Charter Treaty; • International Energy Programme Agreement; • OPEC Statute 38.
Hadin Muhjad, 2012, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, Genta Publishing, Jogjakarta, h. 51. 39. Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., h. 144.
19
• ASEAN Petroleum Security Agreement • Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; • Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; • Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi; dan • Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pengesahan Asean Petroleum Security Agreement 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.40 Bahan hukum sekunder yang digunakan berasal dari buku literatur, majalah, makalah dan internet yang ada hubungannya dengan pengaturan perdagangan minyak internasional. 1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah teknik studi dokumen. Studi dokumen merupakan suatu langkah awal dari setiap penelitian hukum.41 Teknik studi dokumen dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum terhadap sumber kepustakaan yang sesuai dan berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. 1.7.5 Teknik Analisis Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu:42 1. Teknik Deskripsi, berupa uraian terhadap suatu kondisi hukum maupun non-hukum, yang dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan
40.
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., h. 144. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 68. 42. Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 75. 41.
20
prinsip-prinsip pengaturan minyak baik secara internasional maupun pengaturan nasional Indonesia; 2. Teknik Evaluasi, berupa penilaian tepat tidak atau tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan, dalam penelitian ini digunakan untuk menilai kesesuaian pengaturan minyak Indonesia dengan pengaturan perdagangan minyak internasional; 3. Teknik Sistematisasi, berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat, dalam penelitian ini pengaturan internasional dikaitkan dengan pengaturan nasional Indonesia.