BAB
sumber daya air
2
BAB 2
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
SUMBER DAYA AIR 2.1. Sekilas Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Penyelenggaraan pembangunan di sektor pengairan/sumber daya air dihadapkan pada berbagai tantangan yang makin kompleks, sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk serta peningkatan aktivitas masyarakat. Sedemikian pentingnya arti air bagi kehidupan, sehingga UUD 1945 dalam Pasal 33 Ayat (3) mengamanatkan bahwa air dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Agar amanah tersebut dapat dicapai dengan sebaik-baiknya, perlu dilakukan upaya pengelolaan yang tepat dan terpadu sehingga dapat diwujudkan kemanfaatan sumber daya air secara optimal dan berkelanjutan. Pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA) melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, lintas berwenang negara, dan wilayah sungai strategis nasional. Ditjen SDA juga memiliki kewenangan dalam menetapkan pola pengelolaan dan rencana pengelolaan atas ketiga wilayah sungai tersebut.
24
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Ditjen SDA mendasari pengelolaan pada sifat alami sumber daya air yang tidak mengenal batas wilayah adminitrasi serta adanya hubungan sebab dan akibat antara bagian satu dengan yang lain pada suatu siklus hidrologi. Oleh karena itu, pengelolaan SDA haruslah dilakukan secara menyeluruh pada suatu kesatuan sistem hidrologinya dengan memadukan seluruh pihak terkait, baik yang menjaga kelestariannya (konservasi), yang memanfaatkannya (pendayagunaan), maupun yang mungkin dapat terkena bencananya (pengendalian daya rusak).
2.1.1. Visi dan Misi Tidak hanya melakukan pembangunan prasarana fisik, pengelolahan sumber daya air yang dilakukan oleh Ditjen SDA juga memperhatikan penanganan non fisik, seperti gerakan kemitraan dan pemberdayaan para petani pengguna air, dan juga didukung oleh basis data informasi. Dalam mengelola sumber daya air, Ditjen SDA memiliki visi : “Mewujudkan kemanfaatan sumber daya air secara berkelanjutan bagi kesejahteraan seluruh rakyat di Indonesia. Untuk mewujudkan visi tersebut telah ditetapkan lima misi yang sejalan dengan UU No. 7/2004, yakni : 1. Konservasi sumber daya air yang berkelanjutan. 2. Pendayagunaan sumber daya air secara adil untuk berbagai kebutuhan masyarakat yang memenuhi kualitas dan kuantitas. 3. Pengendalian daya rusak air. 4. Pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam pengelolahan sumber daya air. 5. Peningkatan keterbukaan dan ketersediaan data serta informasi dalam pengelolaan sumber daya air. Dalam pengelolaannya Direktorat Jenderal SDA memegang prinsip “satu sungai, satu rencana terpadu dan satu sistem pengelolaan yang terkoordinasikan” (one river one management).
2.1.2. Kebijakan Pengelolaan SDA Untuk melaksanakan misi-misi tercantum di atas, Ditjen SDA mengambil beberapa kebijakan pengelolaan sumber daya air yang ditempuh dengan mengaitkan pembangunan sumber daya air untuk menjawab perkembangan sosial, ekonomi dan politik nasional, termasuk dalam menjaga persatuan dan kesatuan nasional. Beberapa arah kebijakan tersebut antara lain :
B U K U P I N TA R
25
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
26
1.
Dalam upaya konservasi SDA diarahkan untuk meningkatkan dan memulihkan ketersediaan air serta meningkatkan dan memulihkan kualitas air untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang maupun yang akan datang.
2.
Dalam upaya pendayagunaan SDA diarahkan untuk memberikan prioritas pada kebutuhan pokok penduduk akan air secara adil untuk kehidupan yang sehat, bersih dan produktif. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyediaan serta penggunaan air irigasi untuk mendukung produksi pangan. Juga melaksanakan pendayagunaan SDA untuk mendukung perkembangan ekonomi dengan mempertimbangkan kepentingan antar sektor, wilayah dan dampak jangka panjangnya.
3.
Dalam upaya pengendalian daya rusak air, diarahkan untuk mengamankan daerah produksi pangan dan permukiman dari bencana banjir. Memulihkan ekosistem dari kerusakan akibat daya rusak air serta meningkatkan kearsipan dan keswadayaan masyarakat menghadapi bencana banjir dan daya rusak air lainnya.
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
2.1.3. Struktur Organisasi Gambar 2.1 Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Sumber Daya Air
Dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, Direktorat Sumber Daya Air (SDA) didukung oleh Sekretaris Ditjen dan 5 (lima) Direktorat sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.1 diatas) yaitu : 1. Direktorat Bina Program Direktorat Bina Program membawahi 5 Sub Direktorat yaitu Sub Direktorat Kebijakan dan Strategi, Sub Direktorat Program dan Anggaran, Sub Direktorat Kerja Sama Luar Negeri, Sub Direktorat Data dan Informasi dan Sub Direktorat Evaluasi Kinerja. 2. Direktorat Sungai, Danau dan Waduk Direktorat Sungai, Danau dan Waduk membawahi 5 Sub Direktorat yaitu Sub Direktorat Perencanaan Teknik, Sub Direktorat Pembangunan
B U K U P I N TA R
27
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Pelaksanaan Wilayah Barat, Sub Direktorat Pembangunan Wilayah Timur, Sub Direktorat Bendungan, dan Sub Direktorat OP & PBA. 3. Direktorat Bina Pengelolaan Sumber Daya Air Direktorat Bina PSDA membawahi 5 Sub Direktorat yaitu Sub Direktorat Hidrologi & Kualitas Air, Sub Direktorat Perencanaan Wilayah Sungai, Sub Direktorat Pengendalian Pengelolaan SDA, Sub Direktorat Kelembagaan, dan Sub Direktorat Kemitraan dan Peran Masyarakat. 4. Direktorat Irigasi Direktorat Irigasi membawahi 5 Sub Direktorat yaitu Sub Direktorat Perencanaan Teknik, Sub Direktorat Pembangunan Pelaksana Wilayah Barat, Sub Direktorat Pembangunan Pelaksana Wilayah Timur, Sub Direktorat PAB & PAT, dan Sub Direktorat OP & PBA. 5. Direktorat Rawa dan Pantai Direktorat Rawa dan Pantai membawahi 5 Sub Direktorat yaitu Sub Direktorat Perencanaan Teknik, Sub Direktorat Pembangunan Pelaksana Wilayah Barat, Sub Direktorat Pembangunan Pelaksana Wilayah Timur, Sub Direktorat Pengamanan Pantai dan Sub Direktorat OP & PBA.
2.1.4. Balai Besar Wilayah Sungai/Balai Wilayah Sungai Secara konsep, sumber daya air haruslah dikelola secara komprehensif berdasarkan wilayah sungai, tidak berdasarkan wilayah administrasi. Untuk mewujudkan konsep tersebut serta untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air yang menyeluruh dan berkelanjutan, dibentuk Balai Besar dan Balai Wilayah Sungai (BBWS & BWS) yang bertugas melaksanakan pengelolaan sumber daya air yang meliputi perencanaan, pelaksanaan konstruksi, serta operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Pembentukan BBWS &BWS merupakan konsekuensi logis dari adanya kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan sumber daya air sebagaimana diatur dalam Undang - Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air pasal 14, 15, dan 16. Pemerintah Pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum mempunyai kewenangan melaksanakan pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai yang bersifat lintas negara, lintas provinsi dan strategi nasional. Penentuan wilayah sungai di Indonesia mengacu pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 11A/PRT/M/2006, sementara belum ditetapkan oleh Presiden sebagaimana tercantum dalam UU No. 7/2004, yang membagi wilayah sungai di Indonesia menjadi 133 wilayah sungai, terdiri dari 4 buah wilayah sungai Lintas Negara, 26 buah wilayah sungai Lintas Provinsi,
28
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
38 buah wilayah sungai Strategis Nasional, dan 49 buah wilayah sungai Lintas Kabupaten/kota dalam Provinsi, dan 16 buah wilayah sungai dalam Kabupaten/ Kota. Dari 133 wilayah sungai, 69 buah wilayah sungai merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Pusat. Sampai saat ini telah dibentuk 12 BBWS dan 19 BWS yang tersebar di berbagai provinsi. Dengan berbagai pertimbangan, dari 69 wilayah sungai kewenangan pusat hanya ada 31 BBWS & BWS, sehingga satu BBWS & BWS umumnya mempunyai wilayah kerja lebih dari satu wilayah sungai. Bahkan terdapat satu wilayah sungai (Ciujung, Cidanau, Cidurian, Ciliwung, Cisadane, dan Citarum) yang dikelola oleh tiga BBWS.
Tabel 2.1 Sebaran Lokasi BBWS Beserta Wilayah Kerja Masing-masing (1) No.
Balai Besar Wilayah Sungai
Lokasi
Wilayah Kerja (Wilayah Sungai)
01
BBWS Brantas
Surabaya
WS Brantas
02
BBWS Bengawan Solo
Surakarta
WS Bengawan Solo
03
BBWS Pemali Juana
Semarang
WS Pemali-Comal dan WS Jratunseluna
04
BBWS Serayu-Opak
Yogyakarta
WS Serayu- Bogowonto dan WS Progo-Opak-Serang
05
BBWS Cimanuk- Cisanggarung
Cirebon
WS Cimanuk-Cisanggarung
06
BBWS Pompengan- Jeneberang
Makassar
WS Pompengan-Larona, WS Sadang, WS WalanaeCenranae, WS Jeneberang, dan WS Lasolo-Sampara
07
BBWS Citarum
Bandung
WS Citarum
08
BBWS Mesuji-Sekampung
Bandar Lampung
WS Mesuji-Tulang Bawang dan WS Way Seputih-Way Sekampung
09
BBWS Citanduy
Banjar
WS Citanduy
10
BBWS Ciliwung-Cisadane
Jakarta
WS Ciliwung-Cisadane dan WS Kepulauan Seribu
11
BBWS Cidanau-Ciujung-Cidurian
Serang
WS Cidanau- Ciujung- Cidurian
12
BBWS Sumatera VIII
Palembang
WS Sugihan, WS Musi, WS Banyuasin
B U K U P I N TA R
29
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Tabel 2.2 Sebaran Lokasi BBWS Beserta Wilayah Kerja Masing-masing (2)
30
Wilayah Kerja (Wilayah Sungai)
No.
Balai Wilayah Sungai
01
BWS Sumatera I
Banda Aceh
WS Meureudu-Baro, WS Jambo-Aye, WS WolyaSeunagan, WS Tripa-Bateu, dan WS Alas-Singil
02
BWS Sumatera II
Medan
WS Belawan-Ular Padang, WS Toba-Asahan, WS Batang Angkola-Batang Gadis, dan WS Batang Natal-Batang Batahan
03
BWS Sumatera III
Pekanbaru
WS Rokan, WS Siak, WS Kampar, WS Indragiri, dan WS Reteh
04
BWS Sumatera IV
Batam
WS Pulau Batam dan Pulau Bintan
05
BWS Sumatera V
Padang
WS Anai-Kuranji-Arau-Mangau-Antokan
06
BWS Sumatera VI
Jambi
WS Batanghari
07
BWS Sumatera VII
Bengkulu
WS Air Majunto-Sebelat
08
BWS Bali-Penida
Denpasar
WS Bali-Penida
09
BWS Nusa Tenggara I
Mataram
WS Pulau Lombok
10
BWS Nusa Tenggara II
Kupang
WS Aesesa, WS Benanain, dan WS Neo Mina
11
BWS Kalimantan I
Pontianak
WS Kapuas, WS Pawan, dan WS JelaiKendawangan
12
BWS Kalimantan II
Kuala Kapuas
WS Seruyan, WS Kahayan, dan WS Barito Kapuas
13
BWS Kalimantan III
Samarinda
WS Sesayap dan WS Mahakam
14
BWS Sulawesi I
Manado
WS Sangihe-Talaud, WS Tondano-Likupang, dan WS Dumoga-Sangkub
15
BWS Sulawesi II
Gorontalo
WS Limboto-Bulango-Bone, WS Paguyaman, dan WS Randangan
16
BWS Sulawesi III
Palu
WS Palu-Lariang, WS Parigi-Paso, WS LaaTambalako, dan WS Kaluku-Karama
17
BWS Sulawesi IV
Kendari
WS Lasolo-Sampara, WS Towari-Lasusua, WS Paleang-Roraya, WS Muna, dan WS Pulau Buton
18
BWS Maluku
Ambon
WS P. Buru, WS P. Ambon-Seram, WS Kep. KeiAru, dan WS Kep. Yamdena-Wetar
19
BWS Papua
Jayapura
WS Memberamo dan WS Einlanden-Digul-Bikum
B U K U P I N TA R
Lokasi
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
2.2. Ketahanan Pangan
2.2.1. Potensi Air di Indonesia Air merupakan salah satu elemen terpenting di muka bumi. Kehidupan manusia seperti pedagangan, kebudayaan, maupun peradaban tumbuh dan berkembang di sekitar sumber daya air. Indonesia sendiri memiliki cadangan air sebesar 3.221 milyar m3/tahun, yang mana menjadikan Indonesia sebagai negara dengan cadangan air terbesar ke-5 di dunia. Dari potensi cadangan air tersebut, sekitar 692 milyar m3/tahun dapat dimanfaatkan, yaitu antara lain sebanyak 156 milyar m3/tahun untuk memenuhi keperluan domestik, perkotaan, industri, dan juga irigasi, sebesar 81,4% atau 127 milyar m3/tahun digunakan untuk kebutuhan air irigasi, 17 milyar m3/tahun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, 6,4 milyar m3 tahun untuk air perkotaan, dan 5,6 milyar m3/tahun dimanfaatkan untuk kebutuhan industri. Kebutuhan air untuk irigasi yang sedemikian besar menandakan bahwa ketersediaan air turut menentukan ketersediaan pangan atau yang biasa disebut dengan istilah Ketahanan Pangan.
2.2.2. Ketahanan Pangan Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau, (PP No 68 Tahun 2002). Unsur pokok terkait ketahanan pangan adalah : •
Ketersediaan pangan Diupayakan dengan optimalisasi produksi pangan dalam negeri.
•
Aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan Diupayakan melalui pembangunan infrastruktur yang mendukung pusat produksi pangan dan kelancaran distribusinya.
B U K U P I N TA R
31
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
2.2.3. Kondisi Saat Ini Ketahanan pangan merupakan cermin kedaulatan Negara, sehingga pemenuhan bahan pangan dari produksi dalam negeri menjadi upaya pokok pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan. Gambar 2.2 Ketersediaan, Konsumsi dan Impor Beras 2006-2008 (dalam juta ton)
Berbagai upaya dilakukan untuk mendorong produksi bahan pangan dalam negeri, termasuk diantaranya adalah produksi beras. Beras hingga saat ini masih menjadi bahan pangan andalan. Beberapa tahun ini produksinya terus menunjukkan peningkatan, bahkan di tahun 2008 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras (lihat Gambar 2.2). Secara keseluruhan, selama ini pemenuhan kebutuhan pangan masih menjadi permasalahan mendasar disamping persoalan kemiskinan di Indonesia. Data tahun 2005, beberapa wilayah termasuk daerah rawan pangan, yaitu Pulau Irian Jaya, sebagian daerah di Pulau Sumatera, sebagian daerah di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan hampir di seluruh Kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku sebagaimana tergambar dibawah ini dimana wilayah yang rawan pangan digambarkan dengan warna merah dan wilayah surplus pangan digambarkan dengan warna hijau.
32
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Gambar 2.3 Peta Kerawanan Pangan Indonesia
Pemenuhan kebutuhan pangan hingga saat ini masih mengandalkan 16 Provinsi Andalan Pangan, sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.4 berikut ini, meliputi Provinsi NAD, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, Provinsi NTB, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sulawesi Selatan, dan Provinsi Gorontalo. Gambar 2.4 16 Provinsi Andalan Pangan
: Provinsi andalan pangan B U K U P I N TA R
33
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
2.2.4. Dewan Ketahanan Pangan Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Undangundang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pemerintah membentuk Dewan Ketahanan Pangan yang bertugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan serta melaksanakan evaluasi dan pengendalian dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Dewan Ketahanan Pangan dibentuk melalui Keputusan Presiden No.132 Tahun 2001. Guna menyesuaikan dengan perkembangan keadaan serta untuk lebih mengoptimalkan peran Dewan Ketahanan Pangan, maka dalam perkembangannya, dikeluarkan Perpres No. 83 tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan. Dalam perpres tersebut tugas Dewan Ketahanan Pangan meliputi kegiatan di bidang penyediaan pangan, distribusi pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi. Dewan Ketahanan Pangan dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Sekretariat Dewan yang secara ex-officio dilaksanakan oleh Badan Ketahanan Pangan, sebuah unit kerja struktural di lingkungan Departemen Pertanian. Dalam Dewan Ketahanan Pangan, Presiden RI bertindak selaku Ketua, sedangkan Ketua Harian dijabat oleh Menteri Petanian. Anggota Dewan Ketahanan Pangan terdiri dari 18 Menteri/Kepala Badan, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Negara BUMN, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kepala BPS, dan Kepala Badan POM.
34
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
2.2.5. Dukungan Departemen PU untuk Ketahanan Pangan Upaya peningkatan ketahanan pangan terus menerus dilakukan secara intensif mengingat kondisi sarana irigasi serta lingkungan yang fluktuatif. Tantangan yang harus dihadapi antara lain adalah ketidakstabilan debit air sungai yang berdampak pada kurang optimalnya kinerja jaringan irigasi, minimnya ketersediaan dan kecukupan debit air sungai (hampir 90% lahan irigasi bersumber dari debit air sungai (runoff river system), serta ancaman kelestarian catchment area. Kondisi ini diakibatkan oleh banyaknya alih fungsi lahan irigasi dan prasarana irigasi yang menimbulkan kejadian bencana alam banjir dan tanah longsor (khususnya selama kurun waktu 2007-2008) yang tercatat mengakibatkan kerusakan lahan seluas hingga 500.000 Ha. Mencermati tantangan dan permasalahan tersebut diatas, Departemen Pekerjaan Umum memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang diarahkan untuk mendukung pusat produksi pangan serta dukungan kelancaran distribusi hasil produksi pangan yang berbasiskan penataan ruang wilayah. Dukungan terhadap ketahanan pangan diutamakan melalui rehabilitasi, peningkatan kapasitas pelayanan dan operasi serta pemeliharaan jaringan irigasi. Arah kebijakan pengembangan irigasi diupayakan untuk mempertahankan dan meningkatkan keandalan pasokan air melalui pengelolaan sumber daya air yang komprehensif dan terpadu berbasis wilayah sungai melalui : • • •
Dukungan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi secara optimum (mempertahankan kinerja) Pelaksanaan rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak dan mengalami penurunan fungsi (meningkatkan fungsi), Penyelesaian pembangunan jaringan irigasi secara utuh (Full Development) serta pengendalian perkembangan konversi lahan beririgasi.
Dengan dukungan irigasi, produksi pertanian dapat ditingkatkan termasuk produk pangan yang vital bagi pencapaian ketahanan pangan nasional.
B U K U P I N TA R
35
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Dari total produksi padi di Indonesia, sekitasr 85% diantaranya dihasilkan oleh sawah beririgasi, 49% berasal dari daerah irigasi di Jawa dan sisanya dari luar jawa. Selain itu peningkatan produksi pertanian merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi dan sekaligus sumber pendapatan bagi para petani yang masih merupakan mayoritas penduduk di Indonesia. Mengingat pentingnya peran irigasi tersebut, upaya mencapai dan mempertahankan ketahanan pangan nasional perlu perhatian tersendiri terhadap keberadaan dan kesiapan prasarana irigasi.
2.3. Infrastruktur Irigasi
2.3.1. Irigasi Irigasi merupakan salah satu komponen penting dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Mengacu pada PP No. 20 Tahun 2006 definisi irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang kegiatan pertanian, yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak. Sedangkan jaringan irigasi adalah kesatuan saluran, bangunan, dan bangunan pelengkap irigasi disebut jaringan irigasi, yang terdiri dari jaringan irigasi teknis, semi teknis dan non teknis, dimana perbedaannya terletak pada ada dan tidaknya suatu sistem terpadu dalam penanganan irigasi. Suatu jaringan irigasi yang mengairi suatu kesatuan lahan disebut daerah irigasi. Gambar 2.5 Sumber Air Irigasi
36
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Irigasi di Indonesia, berdasarkan sumber airnya, terbagi atas irigasi waduk dan non waduk. Dari total luasan daerah irigasi sebesar 6,7 Ha, sekitar 12% sumber airnya berasal dari waduk (tersebar di 9 provinsi), selebihnya (88 %) berasal dari non waduk (terdistribusi merata di 29 provinsi).
2.3.2. Sebaran dan Kondisi Jaringan Irigasi Sebaran jaringan irigasi berkaitan erat dengan potensi lahan pertanian di tiap-tiap pulau. Pada tahun 2005, luas daerah irigasi nasional mencapai 6,72 juta Ha dan ditargetkan meningkat menjadi 7,46 juta Ha di tahun 2009. Sebagian besar jaringan irigasi tersebut tersebar di Pulau Jawa sebagai lumbung padi terbesar di Indonesia.
Gambar 2.6 Sebaran Irigasi Nasional (Juta Ha)
SEBARAN IRIGASI NASIONAL (juta Ha) SUMATERA 1,79 1,98
KALIMANTAN 0,46
0,48
SULAWESI 0,79 1,02
MALUKU & PAPUA 0,06
0,19
NTT & NTB 0,24
INDONESIA 6,72
7,46
TAHUN 2005 TAHUN 2009
JAWA 3,27 3,15
0,48
BALI 0,11 0,14
Secara umum, pada awal tahun 2005 telah terbangun 6,7 juta Ha (93%) jaringan irigasi, dimana sekitar 72% jaringan irigasi kondisinya baik dan sisanya 21% dalam kondisi rusak. Kini di tahun 2009, total luas areal irigasi mencapai 7,46 juta Ha, dan semua dalam kondisi baik, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.7 berikut ini.
B U K U P I N TA R
37
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Gambar 2.7 Kondisi Jaringan Irigasi 2004 dan 2009
7,2 juta ha
5,2 juta ha Fungsional Tidak Fungsional
1,5 juta ha
0 juta ha
2004
2009
2.3.3. Kebijakan Pengembangan dan Pengelolaan Daerah Irigasi Pengelolaan Sumber Daya Air sesuai UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air dimana upaya pengembangan SDA adalah salah satu kegiatan dalam pendayagunaan sumber daya air sesuai amanat dalam undang-undang tersebut. Pelaksanaan pengembangan sumber daya air ditujukan untuk peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian, industri, pariwisata, pertahanan, pertambangan, ketenagaan, perhubungan, dan untuk berbagai keperluan lainnya yang dilaksanakan tanpa merusak keseimbangan lingkungan hidup, (UU No 7 Tahun 2004 pasal 34 ayat 1 dan 2). Potensi pengembangan daerah irigasi di Indonesia terbagi ke dalam 6 zona (Gambar 2.8) dimana berdasarkan hasil evaluasi, tergambar potensi pengembangan lahan pertanian pulau-pulau di Indonesia yaitu :
38
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
• • • • •
Zona 1 dan Zona 2 meliputi wilayah Pulau Sumatera yang berpotensi untuk pengembangan lahan pertanian penuh. Zona 3 meliputi wilayah Pulau Jawa berpotensi sebagai lahan pertanian intensifikasi dan konservasi. Zona 4 meliputi wilayah Pulau Kalimantan yang berpotensi sebagai wilayah dengan lahan pertanian pengembangan terbatas. Zona 5 meliputi Pulau Sulawesi berpotensi sebagai wilayah pengembangan lahan pertanian terbatas dan intensifikasi. Zona 6 meliputi Pulau Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua berpotensi sebagai wilayah dengan lahan pertanian pengembangan terbatas. Gambar 2.8 Potensi Pengembangan Daerah Irigasi
Prioritas kebijakan pengembangan dan pengelolaan irigasi disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Untuk pulau Jawa, diprioritaskan pada pengelolaan irigasi, yang meliputi OP dan rehabilitasi prasarana rusak, termasuk modernisasi jaringan irigasi yang umurnya lebih dari 20 tahun. Untuk luar jawa, pengelolaan dan pengembangan menjadi prioritas kebijakan irigasi, yang meliputi OP, rehabilitasi prasarana rusak, penyelesaian pembangunan yang sedang berjalan, dan pembangunan irigasi baru secara selektif. Hasil pencapaian pembangunan, rehabilitasi, serta operasi dan pemeliharaan (OP) irigasi tahun 2005 - 2008 dan rencana strategis bidang irigasi 2005 – 2009 dapat dilihat pada Gambar 2.9 berikut.
B U K U P I N TA R
39
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Gambar 2.9 Pencapaian dan Renstra Bidang Irigasi
Pembagian kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan irigasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah diatur dalam UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pemerintah Pusat memiliki kewenangan dalam pengembangan irigasi yang bersifat lintas provinsi, stategis nasional dan lintas Negara, serta bertanggungjawab dalam pengelolaan Daerah Irigasi (DI) yang luasnya >3000 Ha. Keseluruhan luas DI kewenangan pusat sebesar 2,85 juta Ha. Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan pengembangan irigasi yang bersifat lintas kabupaten dan bertanggung jawab dalam pengelolaan DI seluas < 1000-3000 Ha. Total luas DI kewenangan Pemerintah Provinsi sebesar 1,4 juta Ha. Sedangkan Pemerintah Kabupaten memiliki berwenang terhadap pengembangan irigasi dalam wilayah utuh satu kabupaten dan pengelolaan DI yang luasnya <1000 Ha. Total luas DI kewenangan Pemerintah Kabupaten sebesar 3,19 juta Ha. Pembagian kewenanangan dan tanggung jawab pengelolaan irigasi dapat dilihat dalam Gambar 2.10.
40
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Gambar 2.10 Kewenangan dan Tanggung Jawab Pengelolaan Irigasi Berdasarkan UU SDA NO. 7 Tahun 2004 PENGEMBANGAN
PEMERINTAH KABUPATEN PEMERINTAH PROPINSI PEMERINTAH
UTUH SATU KABUPATEN
PENGELOLAAN
: DI < 1.000 Ha
LINTAS KABUPATEN LINTAS PROPINSI, STRATEGIS NASIONAL,
: DI < 1.000 – 3.000 Ha : DI > 3.000 Ha
LINTAS NEGARA
KEWENANGAN PUSAT
2.851.006 ha
KEWENANGAN PROVINSI
1.423.223 ha
KEWENANGAN KABUPATEN
3.195.568 ha
TOTAL
7.469.796 ha
(Sumber : Bahan Sidang Kabinet“Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air dalam Rangka Mendukung Pertumbuhan Ekonomi, Kesejahteraan Masyarakat & Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup”, Jakarta, 30 Juli 2009).
Selain pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas, partisipasi semua pihak terkait sangat diperlukan dalam pengembangan irigasi sebagai upaya untuk mendukung lahan pertanian dalam rangka meningkatkan produksi pangan untuk mencapai ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, sebagaimana diatur dalam PP No. 20 tahun 2006, strategi pengembangan dan pengelolaan irigasi telah dilakukan dengan pendekatan partisipatif melalui kelembagaan Perhimpunan Petani Pengguna Air (P3A), dan disesuaikan dengan kewenangan masing-masing strata pemerintahan.
B U K U P I N TA R
41
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
2.4. Rawa
2.4.1. Rawa Rawa atau yang biasa juga disebut daerah rawa, seringkali dipandang sebagai daerah kurang produktif. Namun pada kenyataannya, daerah rawa memiliki potensi sebagai lahan pertanian altenatif dan berbagai potensi lainnya yang cukup menarik untuk dikembangkan. Barikut ini akan dijelaskan sekilas mengenai daerah rawa dan pengembangan potensi lahan rawa. Daerah rawa memiliki ciri khas bergambut dan mengandung air dengan kedalaman bervariasi yang umumnya terletak diatas lapisan tanah liat asam sulfat yang tidak terkonsolidasi. Bila diklasifikasikan menurut letaknya, lahan rawa dapat dibedakan menjadi :
42
•
Rawa pasang surut, terletak di tanah rawa yang datar dan rendah melintang, yang sangat dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut sehingga umumnya tergenang saat pasang.
•
Rawa lebak, terletak jauh dari pantai sehingga praktis tidak dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut.
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
2.4.2. Sebaran Rawa Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.11, sekitar 33,4 juta Ha lahan rawa tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, yang sebagian besar (60%) berupa rawa pasang surut, dan sisanya adalah rawa lebak. Pulau Kalimantan memiliki potensi lahan rawa paling besar yaitu 11,7 juta Ha, namun baru dikembangkan 7,6 % atau 889 ribu Ha. Gambar 2.11 Sebaran Daerah Irigasi Rawa di Indonesia
(Sumber : Bahan Sidang Kabinet “Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air dalam Rangka Mendukung Pertumbuhan Ekonomi, Kesejahteraan Masyarakat & Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup”, Jakarta, 30 Juli 2009)
B U K U P I N TA R
43
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Dari 33,4 juta lahan rawa, baru sekitar 1,8 juta Ha (5%) lahan rawa yang telah dikembangkan, dengan rincian 4% rawa pasang surut dan 1% rawa lebak (Gambar 2.12).
Gambar 2.12 Pengembangan Daerah Reklamasi Rawa
(Sumber : Bahan Sidang Kabinet“Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air dalam Rangka Mendukung Pertumbuhan Ekonomi, Kesejahteraan Masyarakat & Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup”, Jakarta, 30 Juli 2009)
44
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
2.4.3. Kebijakan Pengelolaan dan Pengembangan Rawa Melihat kondisi rawa yang sangat potensial untuk dikembangkan, Pemerintah menerapkan beberapa kebijakan terkait bidang rawa yaitu melestarikan rawa sebagai jaringan sumber air yang mendukung produktivitas lahan dalam rangka meningkatkan produksi pangan serta mendukung pengembangan wilayah berbasis pertanian. Pelaksanaannya dilakukan melalui peningkatan fungsi jaringan reklamasi rawa, rehabilitasi jaringan reklamasi, revitalisasi perikanan budidaya untuk percepatan peningkatan produk perikanan budidaya melalui peningkatan dan rehabilitasi prasarana jaringan tambak, serta OP jaringan reklamasi rawa. Sampai dengan tahun 2008 rehabilitasi/peningkatan/pembangunan baru jaringan reklamasi rawa mencapai 820.598 Ha. Sedangkan untuk Operasi dan Pemeliharaan (OP) telah dilakukan pada 451.291 Ha (41,03%) jaringan rawa, dari total 1,1 juta jaringan rawa, (Gambar 2.13).
B U K U P I N TA R
45
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Gambar 2.13 Pencapaian dan Renstra Jaringan Rawa
2.4.4. Tantangan Pengelolaan Rawa Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa tantangan dan permasalahan dalam pengembangan dan pengelolaan rawa, yaitu sarana dan prasarana tata air yang belum lengkap, belum terkendalinya jaringan reklamasi rawa, terbatasnya petugas OP, jaringan tersier kurang terpelihara (umumnya lebar saluran > 1 m), aksesibilitas relatif masih rendah, masih mengandalkan transportasi air, dan terbatasnya air bersih terutama pada musim kemarau. Upaya Pemerintah dalam pengembangan lahan rawa sebagai penunjang lahan pertanian ini perlu didukung oleh semua pihak terkait dalam rangka meningkatkan produksi pangan dan mendukung pengembangan wilayah berbasis pertanian.
46
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
2.5. GN-KPA (Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air)
2.5.1. Pembentukan GN-KPA GN-KPA adalah gerakan nasional penyelamatan sumber daya air (SDA) yang dilakukan oleh seluruh sektor dan pemangku kepentingan, bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) sehingga keandalan sumber-sumber air baik kuantitas maupun kualitas airnya dapat terkendali, melalui pemberdayaan pemerintah, dunia-usaha, dan masyarakat serta penegakan hukum.
B U K U P I N TA R
47
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Pembentukan GN-KPA dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kondisi SDA di Indonesia saat ini sudah mencapai kondisi kritis. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan memberikan dampak langsung pada kekurangan pangan, kemiskinan, menghambat pertumbuhan ekonomi, sosial budaya bangsa serta terganggunya ekosistem. Menyadari hal itu, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden Republik Indonesia mencanangkan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) sebagai upaya mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya air yang mensyaratkan peningkatan keterpaduan seluruh pemangku kepentingan pada tanggal 28 April 2005 (Gambar 2.14). Kronologis terbentuknya GN-KPA dimulai dari diselenggarakannya ”Dialog Nasional Penyelamatan Air” yang merupakan acara peringatan Hari Air Sedunia pada 28 Maret 2003. Selanjutnya dilaksanakan ”Penandatanganan Deklarasi Nasional Pengelolaan Air yang Efektif dalam Penanggulangan Bencana” pada 23 April 2004 oleh MenKo Kesra dan 11 Menteri, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Lembaga Jaringan Informasi dan Komunikasi Penyelamatan Air (L-JIKPA) sebagai organ penggerak gerakan penyelamatan air pada 27 April 2005.
48
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Gambar 2.14 Naskah Pencanangan GN-KPA
2.5.2. Institusi yang Terlibat Institusi/departemen yang terlibat dalam GN-KPA adalah Kementerian Bidang Perekonomian, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen ESDM, Bappenas, Departemen Keuangan, Departemen Perindustrian, Departemen Perhubungan, Departemen Kelautan, Departemen Kesehatan, Depdiknas, BPPT, Akademisi, Pemerintah Provinsi/ Kab/Kota, NGO (JIK-PA). Ketua Sekretariat Tim GN-KPA Antar Departemen saat ini (2009) dijabat oleh Ir. Eddy Adyawarman Djayadiredja, Dipl.HE.
B U K U P I N TA R
49
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
2.5.3. Sasaran dan Target Sasaran dan target yang ingin dicapai dari gerakan nasional ini adalah timbulnya kesadaran, kepedulian para pemilik kepentingan, lestarinya air, meningkatnya ketrampilan dan keahlian sumber daya manusia dibidang sumber daya air, tercapainya budaya sinkronisasi dan implementasi program pada pelaku pengelola SDA serta menempatkan air menjadi sebesar-besar kemakmuran rakyat. GN-KPA didasari oleh 6 komponen pokok kegiatan yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Penataan ruang, pembangunan fisik, pertanahan dan kependudukan. Rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi sumber daya air. Pengendalian daya rusak air. Pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air. Penghematan penggunaan dan pengelolaan permintaan air. Pendayagunaan sumber daya air secara adil, efisien dan berkelanjutan.
2.5.4. Langkah Tindak Nyata GN-KPA Langkah awal GN-KPA dimulai pada 2005 dengan dilakukannya ”Sosialisasi Naskah GN-KPA” kepada para pemangku kepentingan terkait (Pemda, Instansi Pusat maupun daerah) dan ditindaklanjuti dengan kunjungan lapangan (oleh Menteri PU, Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan) pada DAS Ciliwung, DAS Citarum, DAS Cimanuk, dan DAS Citanduy guna melihat permasalahan yang ada. Hasil dari kunjungan lapangan tersebut tertuang dalam Permen PU No. 377/ PRT/M/2005 tanggal 24 Agustus 2005 tentang Pedoman penyusunan Rencana Kerja Pelaksanaan GN-KPA dan ditindaklanjuti dengan penandatanganan ”Naskah Kebulatan Tekad” yang diikuti oleh para pemangku kepentingan yang terdiri dari 14 Departemen dan Kementerian Negara, BPPT, Kalangan Akademisi, Pemerintah Provinsi/Kab/Kota hingga NGO (JIK-PA). Kemudian pada 2006, mulai dilakukan Penanganan Teknis di 6 DAS (Ciliwung, Citarum, Cimanuk, Citanduy, Bengawan Solo dan Brantas) dengan upaya-upaya sebagaimana tercantum pada Gambar 2.15.
50
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Gambar 2.15 Program Awal Implementasi Kegiatan GN-KPA 2005-2006 INSTANSI
t0 Hulu
UPAYA YANG DILAKUKAN DI MASING-MASING DAS
Departemen Kehutanan
1. Konservasi kawasan lindung (hutan konservasi dan lindung di daerah kiri dan kanan sungai) 2. Rehabilitasi hutan dan tanah rusak 3. Penataan kembali penggunaan lahan disekitar waduk 4. Pembinaan (diklatluh) masyarakat petani tentang konservasi tanah
Departemen PU
1. 2. 3. 4.
Pemasangan alat pengukuran debit (Citamiang) Rehab Situ Telaga Saat (rencana Arboretum Citamiang) Penyusunan Rencana Induk Konservasi DAS Cimanuk Hulu Pembangunan Arboretum Mata Air Cimanuk di Legok Putus, Kab. Garut 5. Pembangunan Cek Dam pada Sungai Cimuntur dan beberapa anak sungai (Tambak Sari)
Departemen Pertanian
1. Percontohan Usaha Tani Konservasi Terpadu dengan pendekatan sosial dan ekonomi pada lahan berlereng di luar kawasan hutan 2. Pemberdayaan masyarakat petani dan intensifikasi penyuluhan yang menitikberatkan pada upaya konservasi tanah dan air
Departemen ESDM
1. Pemantauan perubahan kondisi dan lingkungan air tanah 2. Pembuatan sumur imuhan dalam
Kementrian Negara LH
1. Pengkajian kelas air 2. Penetapan kelas air dan baku mutu air (Perpres / Perda Provinsi)
Departemen Dalam Negeri
1. Penyadaran publik tentang Kemitraan Penyelamatan Air 2. Pengembangan kebijakan dalam bentuk penyusunan Pedoman Koordinasi dan Kerjasama Penyelamatan SDA
GN-KPA
1. Menyusun Renstra Program Nasional Penyelamatan Air 2005-2006 2. Kampanye Penyelamatan Air secara nasional
t1
Tengah
t2
Hilir
t3
(Sumber : Bahan Rapat Menteri PU pada Sidang Kabinet Paripurna, 2 April 2007)
B U K U P I N TA R
51
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Upaya-upaya jangka pendek, menengah dan panjang juga direncanakan dan diimplementasikan melalui “Rencana Implementasi Jangka Pendek, Menengah dan Panjang” dengan cakupan seluruh DAS di Indonesia. Selain itu, juga dilakukan penanganan non teknis melalui pembentukan kelembagaan antar departemen, pembentukan kelembagaan masing-masing departemen antar Eselon I, pembentukan kelembagaan di daerah; keterpaduan program pusat dan daerah menjadi satu kekuatan sinergi menangani 6 komponen kegiatan dan sosialisasi kepada masyarakat.
2.5.5. Dewan Sumber Daya Air UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air juga mengamanatkan perlunya pembentukan wadah koordinasi Dewan Sumber Daya Air yang bertujuan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, serta para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air. Berdasarkan Perpres No 12/2008, Dewan Sumber Daya Air meliputi Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDA-N), dewan sumber daya air provinsi atau dengan nama lain, dan dewan sumber daya air kabupaten/kota atau dengan nama lain. Sidang perdana DSDA-N telah dilaksanakan di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta pada 16 Juli 2009. Keanggotaan DSDA-N meliputi unsur pemerintah dan non-pemerintah. Unsur pemerintah terdiri dari: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Lingkungan
52
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Hidup, Menteri Pertanian, Menteri Kesehatan, Menteri Kehutanan, Menteri Perhubungan, Menteri Perindustrian, Menteri Energi dan Sumber Daya Air, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Pendidikan Nasional, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan, dan Perwakilan Pemerintah Daerah, yakni : Gubernur Sumatera Selatan dan Jawa Timur mewakili bagian barat, Gubernur Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah mewakili Indonesia bagian Tengah, Gubernur Nusa Tenggara Timur dan Maluku mewakili Indonesia bagian timur. Sedangkan keanggotaan unsur non-pemerintah terdiri dari : perwakilan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan, Asosiasi Bunga Indonesia, Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia, Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia, Gabungan Perusahaan Karet Indonesia, Asosiasi Perusahaan Pengeboran Air Tanah Indonesia, Yayasan Kemitraan Air Indonesia, Jaringan Informasi Komunikasi Pengelolaan Sumber Daya Air, Masyarakat Peduli Air, Yayasan Air Adhi Eka, PSDA Watch, Jaringan Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia, Yayasan Garuda Nusantara, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Perkumpulan Telapak, Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan, Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan, Rinjani Trek Management Board, Indonesia Mining Association, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia dan Komite Nasional Indonesia Bendungan Besar.
B U K U P I N TA R
53
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
2.6. Waduk/Bendungan
2.6.1. Waduk/Bendungan Bendungan atau sering disebut dengan waduk adalah semua jenis konstruksi penahan buatan, baik berupa urugan atau jenis lainnya, yang menampung air, baik secara alamiah maupun buatan, termasuk pondasi, tebing tumpuan, serta bangunan pelengkap dan peralatannya. Sebagian besar bendungan di Indonesia dimanfaatkan untuk mendukung irigasi, penyediaan air baku, pengendalian banjir, serta pembangkit tenaga listrik.
2.6.2. Sebaran Waduk/Bendungan Saat ini terdapat 237 buah bendungan/waduk di seluruh Indonesia, terdiri dari 63 bendungan besar dan 174 bendungan kecil. Sebaran bendungan besar dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut. Tabel 2.3 Sebaran Bendungan Besar di Indonesia Pulau
Bendungan
Sumatera
Siguragura, Siruar, Tangga, Koto Panjang, Durlangkang, Way Rarem, Batutegi, Way Jepara
Makonaning,
Jawa
Cirata, Jatiluhur, Seguling, Banyu Kuwung, Ketro, Pondok, Kedungombo, Sermo, Parangloho, Sang Putri, Wonogiri, Nawangan, Sengguruh, Karangkates, Lahor, Lodan, Wlingi, Bening, Wonorejo, Gondang, Selorejo, Klampis
Bali dan Nusra
Grokgak, Palasari, mamak, Tiukulit, Selante, Sepayung, Dalam, Gapit, Lamenta, Pamasar, Sumi, Palaperado, Rol Rakam, Ncera, Batubulan, Pelara, Batujai, Batubakokan, Penggan, Pare, Benkoko, Oebulan, Tilong
Sulawesi
Bakaru, Larona, Kalala, Selameko, Bili-Bili
(Sumber : Ditjen SDA Departemen PU)
Selama kurun waktu 2005 – 2009, Departemen PU telah membangun bendungan di 9 provinsi dengan total volume tampungan 1.093 juta m3 sebagaimana terlihat pada Tabel 2.4. Sedangkan pada tahun 2010 – 2014 akan dibangun bendungan sebanyak 22 buah yang tersebar di 11 provinsi dengan volume total tampungan sekitar 786 juta m3.
54
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Tabel 2.4 Bendungan yang Telah Dibangun Selama Tahun 2005 - 2009 NO
BENDUNGAN
VOLUME TAMPUNGAN
PEMANFAATAN IRIGASI (ha)
1
KEULILING - NAD
17.320.000
4791
2
JATIGEDE - JABAR
979.500.000
90.000
3
PANOHAN - JATENG
905.000
531
4
LODAN - JATENG
5.400.000
380
5
GONGGANG - JATIM
2.234.000
menambah intensitas tanam
6
KEDUNGBRUBUS - JATIM
2.025.000
1400
7
BAJULMATI - JATIM
8
BENEL - BALI
9
PERNEK - NTB
10.000.000
1800
1.661.000
1008
12.000.000
350
600.000
280
10
TIBU KUNING - NTB
11
TELAGA LEBUR - NTB
1.539.000
255
12
NIPAH - MADURA
6.160.000
1150
13
LOKOJANGE - NTT
644.462
420
14
DANAU TUA - NTT
2.045.000
750
15
HAEKRIT - NTT
2.200.000
200
16
PONRE-PONRE - SULSEL
48.700.000
4411
(Sumber : Ditjen SDA Departemen PU)
2.6.3. Program Keamanan Bendungan Keberadaan bendungan/waduk sangat dipengaruhi oleh kondisi DAS di sekitar waduk. Adanya peningkatan jumlah DAS kritis akibat perusakan DAS di hulu dan hilir mempercepat terjadinya endapan lumpur/sedimentasi yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan menampung air bendungan/ waduk, sehingga menyebabkan ancaman pada fungsi pengendalian banjir dan penyediaan air. B U K U P I N TA R
55
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Upaya Departemen PU untuk meningkatkan kinerja pengelolaan bendungan dilakukan melalui pelaksanaan Program Peningkatan Keamanan dan Operasional Bendungan / Dam Operational Improvement And Safety Project (DOISP) yang bertujuan meningkatkan keamanan dan fungsi bendungan besar milik Departemen PU, terutama dalam penyediaan air baku serta memperkuat kemampuan Pemerintah dalam pengembangan kebijakan, pengaturan dan administrasi pengelolaan operasi dan keamanan bendungan. Sasaran dari program ini adalah mengembalikan tingkat keamanan, kinerja operasi dan umur ekonomis pada 34 bendungan besar yang terseleksi, termasuk pengurangan resiko bencana banjir terhadap masyarakat di hilir akibat kapasitas spillway, pengurangan dampak sedimentasi, serta memperkuat Institusi Keamanan Bendungan. Sedangkan lingkup kegiatannya meliputi peningkatan operasional dan keamanan bendungan, peningkatan OP Bendungan dan staf pengelola dan peran serta masyarakat, pengurangan/ pencegahan sedimentasi pada waduk, peningkatan kelembagaan pengamanan bendungan, dan manajemen proyek.
56
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
2.7. Daerah Aliran Sungai (DAS)
2.7.1. Definisi Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) menurut UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan di wilayah tersebut ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan. DAS-DAS yang ada membentuk satu kesatuan wilayah sungai sebagai kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2, sehingga pengelolaan DAS dimaksudkan untuk menjaga kelestarian ekosistem serta menjaga keseimbangan lingkungan wilayah sungai. B U K U P I N TA R
57
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
2.7.2. Kondisi Daerah Aliran Sungai Pengelolaan DAS yang buruk memang akan membawa dampak yang cukup serius, seperti terjadinya bencana banjir maupun kekeringan yang dapat berpengaruh pada produksi pertanian sehingga pada kondisi kemarau panjang dapat mengakibatkan krisis pangan. Di beberapa tempat di Indonesia, daerah aliran sungai memikul beban amat berat (kritis) sehubungan dengan banyaknya penduduk pengguna air memanfaatkan air untuk keperluan pertanian, industri, dan kebutuhan air minum perkotaan serta pemanfaatan lain yang intensif. Indikator kritisnya suatu Daerah Aliran Sungai antara lain meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi, sedimentasi, bencana banjir, dan kekeringan.
58
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Jumlah Daerah Aliran Sungai kritis di Indonesia semakin meningkat. Pada tahun 1984 sebanyak 22 DAS dinyatakan dalam kondisi kritis, delapan tahun kemudian yaitu tahun 1992 bertambah menjadi 39 DAS kritis. Pada tahun 2005 jumlah DAS kritis di seluruh Indonesia menjadi 62 sungai. Jumlah ini bertambah sebanyak 23 sungai dari kondisi tahun 1992 dimana terdapat 39 sungai. Persebaran keenampuluhdua DAS kritis menurut pulau-pulau besar adalah sebagai berikut pulau: Sumatra: 13 DAS; Riau: 3 DAS; Jawa: 17 DAS ; Bali: 1 DAS; NTB: 1 DAS; NTT: 5 DAS; Kalimantan: 4 DAS; Sulawesi: 12 DAS; Maluku: 2 DAS; Papua: 4 DAS. Berikut ini ditampilkan ilustrasi persebaran jumlah daerah DAS Kritis (diarsir merah) di seluruh Indonesia, kondisi tahun 1984, tahun 1992, dan kondisi tahun 2005.
B U K U P I N TA R
59
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Gambar 2.16 Ilustrasi Peningkatan DAS Kritis
1984 sebanyak 22 DAS Kritis
1992 sebanyak 39 DAS Kritis
2005 sebanyak 62 DAS Kritis
60
B U K U P I N TA R
BAB 2 - SUMBER DAYA AIR
Persebaran DAS kritis yang ada di Indonesia pada tahun 2005 menurut lokasi pulau ditampilkan dalam Tabel 2.6 berikut. Tabel 2.5. DAS Kritis di Indonesia Tahun 2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Nama DAS Krueng Aceh Krueng Peusangan Asahan Lau Renun Ular Nias (kepulauan) Kampar Indragiri Rokan Kuantan Kampar Kanan Batanghari Manna-Padang Guci Musi Way Seputih Way Sekampung Citarum Citarum Ciliwung Citanduy Cipunegara Ciujung Kali Garang Kali Bodri Kali Serayu Bribin Pasiraman Rejoso Brantas Sampean Bengawan Solo
Propinsi
No
Nama DAS
NAD NAD Sumatera Utara Sumatera Utara Sumatera Utara Sumatera Utara Riau Riau Riau Sumatera Barat Sumatera Barat Sumbar – Jambi Bengkulu Bengkulu-Sumsel Lampung Lampung Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa Barat Jawa T engah Jawa T engah Jawa T engah DIY Jawa T imur Jawa T imur Jawa T imur Jawa T imur Jateng-Jatim
32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62
Grindulu Saroka T ukad Unda Dodokan Benain Noelmina Aisissa Kambaheru Lois Sambas T unan-Manggar Kota Waringin Barito Jeneberang-Klara Walanae Billa Saddang Bau bau-Wanca Lasolo Poso Lamboru Palu Limboto T ondano Dumoga Batu Merah Hatu T engah Baliem Merauke-Bulaka Memberamo Sentani
Propinsi Jawa T imur Jawa T imur Bali Nusa T enggara Barat Nusa T enggara T imur Nusa T enggara T imur Nusa T enggara T imur Nusa T enggara T imur Nusa T enggara T imur Kalimantan Barat Kalimantan T imur Kalimanatan T engah Kalteng-Kalsel Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Utara Sulawesi Utara Sulawesi T engah Sulawesi T engah Sulawesi T engah Sulawesi Utara Sulawesi Utara Sulawesi Utara Maluku Maluku Papua Papua Papua Papua
Sumber data : Departemen Kehutanan, 2005
B U K U P I N TA R
61