BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Yogyakarta, di mana lingkupnya dalam penelitian ini adalah kota, bukan provinsi, adalah kota yang populer dengan julukan kota pendidikan, budaya dan sejarah. Julukan ini kemudian menyebabkan pengunjung datang ke kota Yogyakarta dalam jumlah banyak. Menurut data yang penulis himpun dari buku Statistik Kepariwisataan DIY (2013), jumlah pengunjung datang ke kota Yogyakarta mencapai lebih dari 3 juta orang per tahun, setidaknya selama kurun waktu 3 tahun sejak 2009 hingga 2012. Dampaknya, geliat perdagangan lokal menjadi demikian bergairah. Ini dibuktikan dengan besarnya volume transaksi antara pedagang dan pembeli di beberapa tempat dagang yang menunjang pariwisata seperti area kuliner. Salahsatunya adalah area angkringan kopi joss jalan Wongsodirjan, di pusat kota, yakni di sekitar lokasi stasiun kereta api Tugu. Angkringan kopi Joss Jalan Wongsodirjan lebih populer dengan sebutan angkringan kopi Joss utara stasiun Tugu, walau angkringan ini berada di Jalan Wongsodirjan. Banyak pihak menyebut hal ini terjadi karena sebenarnya jalan Wongsodirjan tidak termasuk sebagai jalan protokol di Yogyakarta. Selain itu, faktor popularitas stasiun Tugu sebagai stasiun terbesar di kota Yogyakarta menjadi faktor lain yang menyebabkan nama jalan Wongsodirjan tidak banyak diketahui orang.
1
“Angkringan” merupakan warung makan yang banyak ditemui di Yogyakarta dan dianggap ciri khasnya kota ini. Angkringan biasanya terdiri dari gerobak dan tiga hingga empat buah dingklik (bangku, dalam bahasa Jawa) yang kemudian ditutup oleh terpal berwarna biru atau oranye. Saya memilih untuk menggunakan kata „banyak ditemui‟ daripada khas karena sebagian orang mengatakan bahwa angkringan berasal dari Klaten, Jawa Tengah, bukan dari Yogyakarta. Hanya saja memang jumlah pedagang angkringan di Yogyakarta begitu banyaknya sehingga seolah – olah angkringan adalah warung makan khas kota Yogyakarta. Di Yogyakarta, kita bisa temui warung angkringan di pinggir jalan, depan instansi pemerintahan, area perkantoran, halaman rumah orang hingga sudut – sudut jalan kampung dan biasanya beroperasi malam hari. Angkringan Wongsodirjan berbeda dengan angkringan di tempat lain. Jika di tempat lain angkringan biasanya hanya terdiri dari satu gerobak / penjual, maka di area ini ada tak kurang dari tiga belas gerobak / penjual. Mereka berjualan di trotoar sebelah selatan jalan Wongsodirjan, berjajar dari barat ke timur setiap sore (sekitar pukul 16.00) hingga dini hari (sekitar pukul 2.00). Nama tempat ini adalah “area angkringan kopi joss utara stasiun Tugu”. Istilah “utara stasiun tugu” lebih banyak digunakan oleh masyarakat ketimbang di jalan Wongsodirjan. Ini karena letak lokasi yang bersebelahan dengan stasiun Tugu, stasiun terbesar di kota Yogyakarta. Sehingga wajar jika kumpulan angkringan jalan Wongsodirjan ini lebih dikenal dengan sebutan angkringan kopi joss utara stasiun Tugu daripada angkringan jalan Wongsodirjan. Sementara istilah “kopi joss” berasal dari menu khas angkringan ini; kopi joss. Kopi joss
2
adalah kopi hitam, panas dan pekat yang disajikan dengan arang yang dimasukkan ke dalam kopi yang panas. Uraian lebih lanjut soal kopi joss bisa dilihat dalam bab III penelitian ini. Jumlah pengunjung yang mencapai 200 motor per hari di hari biasa kemudian berdampak pada kebutuhan ruang parkir yang luas (TJ, 2014, komunikasi personal, 11 Agustus). Di awal waktu, rentang tahun 1971 sejak kopi joss pertama kali berdiri hingga akhir 1996, kebutuhan parkir ini memang tidak terlalu mendesak untuk dipikirkan karena jumlah pengunjung masih di bawah 200 motor per hari. Namun demikian di atas tahun 1996, jumlah pengunjung mulai banyak. Ini karena dalam perkembangannya pengunjung angkringan kopi joss diasumsikan tidak hanya berasal dari wilayah yang dekat dengan lokasi melainkan juga berasal dari jauh sehingga membawa kendaraan. Informasi dari media bahwa angkringan kopi joss jalan Wongsodirjan adalah area kuliner menarik dan populer juga turut memberi dorongan kepada orang – orang luar daerah untuk datang mencoba kekhasan nuansa lokal yang ada. Masalahnya, parkir yang jadi solusi adalah parkir yang mengambil tempat di pinggir jalan yang tidak ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan parkir. Secara prosedural, langkah ini tidak dibenarkan karena sama dengan menyalahgunakan fungsi asli jalan sebagai akses bagi pengguna kendaraan bermotor yang sedang berkeperluan melewati jalan Wongsodirjan. Dengan demikian maka parkir tersebut adalah parkir yang melawan aturan dan segala sesuatu yang melawan aturan adalah ilegal.
3
Menurut pengertian secara kebahasaan yang penulis sadur dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilegalitas adalah ketidak sahan, mengikuti kata dasarnya ilegal yang berarti tidak sah, tidak legal dan tidak menurut hukum (http://kbbi.web.id/ilegal). Pengertian dengan redaksi yang berbeda tapi dalam substansi sama ditegaskan oleh Oxford Dictionaries yang mendefinisikan ilegalitas sebagai contrary to or forbidden by law, especially criminal law.( http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/illegal). Melalui penjelasan ini, penulis berpendapat bahwa segala sesuatu yang dilakukan melawan aturan hukumnya ilegal. Yang membuat persoalan menjadi kian menarik adalah praktek melawan aturan tersebut terjadi sekian lama, terhitung sejak parkir kopi joss ada tahun 1995 an. Tidak hanya itu, ia justru beranak pinak, berkembang memakan tempat ilegal yang semakin luas dan seolah meniadakan intervensi pemerintah untuk menegakkan aturan di dalamnya. Ironi inilah yang memancing sensitivitas penulis untuk berhipotesis bahwa sebenarnya parkir di kopi joss yang melawan aturan ini bukan sekedar bertahan melainkan dipertahankan. Penulis berasumsi, ada pihak – pihak yang mendapatkan keuntungan dari ilegalitas ini tentu berusaha mempertahankan kuasanya atas ruang. Sekuat – kuatnya mereka berupaya memandulkan keinginan negara menancapkan superioritasnya di tempat ini. Di sisi lain, negara sebagai entitas politik tentu lebih superior. Ia mampu terus menerus mereproduksi legitimasinya untuk secara sah dan prosedural memaksa rakyat melakukan apa yang negara inginkan. Setidaknya dalam pengertian seperti itulah negara selama ini dibayangkan sebagaimana dikatakan
4
oleh Weber (Gerth & Mills 1962, h. 78). Sehingga secara kontekstual, idealnya, negara akan dengan mudah menghilangkan ilegalitas parkir kopi joss jalan Wongsodirjan. Sungguhpun demikian, fakta di lapangan menawarkan dinamika politik yang berbeda untuk dikaji. Ilegalitas yang mampu dipertahankan sekian lama menunjukkan bahwa ternyata negara memiliki wajah inferior bahkan ketika berhadapan dengan warganya sendiri. Ada „negara bayangan‟ yang mampu memukul mundur negara formal ketika berebut kuasa ruang jalan Wongsodirjan. Kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan kekalahan telak negara dari „bayangannya‟. Akhirnya, membersamai penelitian – penelitian yang mungkin sudah dilakukan sebelumnya, sekaligus menjadi referensi bagi penelitian – penelitian selanjutnya yang mengambil lokus di area angkringan kopi joss jalan Wongsodirjan, penulis berupaya untuk memberikan penjelasan akademik kepada khalayak soal „negara bayangan‟ yang terjadi di area parkir angkringan kopi joss jalan Wongsodirjan.
B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana proses pengelolaan lahan parkir di kota Yogya khususnya di jalan Wongsodirjan? 2. Sejauh mana peran pemerintah dalam mengelola ruang parkir tersebut ?
5
C. TUJUAN 1. Menjelaskan dinamika politik di belakang pengelolaan parkir di jalan – jalan protokol di kota Yogyakarta 2. Menjelaskan peran berikut variasi peran negara dalam mengelola parkir di jalan – jalan protokol di kota Yogyakarta 3. Menjelaskan kapasitas negara sebagai entitas politik yang tidak netral dalam pengelolaan parkir di jalan protokol di kota Yogyakarta
D. KERANGKA TEORI
D.1. SHADOW STATE Secara politik, pedoman teori „negara bayangan‟ banyak merujuk pada studi William Reno di Sierra Leone, Afrika, dan Barbara Harris White di India. Sementara dalam konteks Asia Tenggara, penulis mengikut sertakan studi Joel S Migdal dan John T Sidel soal local strongmen dan local bossism yang menjadi penyusun terjadinya „negara bayangan‟. Pada bagian akhir, penulis juga berupaya menambahkan basis teoretik „negara bayangan‟ melalui kontekstualisasi studi Syarif Hidayat dan Erwiza Erman, masing – masing soal praktik „negara bayangan‟ dalam „bungkus‟ Jawara di Banten, dan Raja Timah di Bangka.
D.1.1. William Reno Dalam studinya yang kemudian dibukukan dengan judul “Corruption and State Politics in Sierra-Leone”, yang kemudian juga menjadi salahsatu sumber
6
rujukan Gerry van Klinken dalam karyanya “Politik Lokal di Indonesia” untuk melihat eksistensi „negara bayangan‟, studi William Reno sampai pada temuan bahwa penyebab tidak sejahteranya Sierra-Leone (padahal Sierra-Leone adalah negara kaya permata) adalah karena pengelolaan permata sebagai sumber daya mahal Sierra-Leone dilakukan di dalam informal market yang tidak linear dengan tujuan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Pengelolaan dilakukan bukan oleh negara dalam konteks formal, melainkan oleh „negara bayangan‟ yang tentu saja menyimpang. Dalam konteks yang lebih komprehensif, William Reno mendefinisikan „negara bayangan‟ sebagai :
“...elsewhere i call this shadow state,a very real, but not formally recognized, patronage system that was rigidly organized and centered on rules control over resources.” (Reno 1998, h.2).
Atau dalam bahasa Indonesia, pengertiannya menjadi :
“... „Negara bayangan‟, sangat nyata, tapi tidak secara resmi diakui, sistem patronase yang kaku terorganisir dan berpusat pada aturan kontrol atas sumber daya.”
Maka akses terhadap sumber daya yang sedianya menjadi domain negara formal justru diambil alih oleh sistem patronase yang terorganisir ini. Negara dan pasar kemudian menjadi duo aktor antagonis terhadap kesejahteraan rakyat karena yang penting bagi keduanya adalah mengamankan sekaligus memaksimalkan keuntungan di posisinya masing – masing melalui perannya masing - masing.
7
Akhirnya, negara dalam kapasitasnya secara konvensional menjadi tidak berfungsi dan meminjam istilah Pratikno, negara sebagai institusi mengalami proses pembusukan (state decay) (Pratikno 2005, h. 243). „Negara bayangan‟ kemudian mengambil alih peran negara, tetapi tentu dalam konteks yang menyimpang. Dengan demikian, dalam pemahaman yang lebih utuh dan kontekstual, „negara bayangan‟ sebagai simpul studi William Reno adalah satu fenomena politik di mana negara konvensional sedang mengalami pelapukan fungsi dan kemudian beraliansi dengan elemen – elemen di dalam masyarakat, dalam hal ini elit ekonomi, guna mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik jangka pendek melalui pasar informal. (Nordholt & Klinken 2007, h, 244). Dalam konteks yang lain, Barbara Harris White (2003), seorang ahli India, juga memberikan pengertian soal negara bayangan dalam istilah lain, yaitu informal economy untuk mensubstitusi informal market. Menurutnya, negara bayangan dalam konteks penelitiannya adalah upaya kolaboratif negara dan swasta untuk memberikan kelonggaran pajak, swastanisasi aset, penyalahgunaan kebijakan publik, kolusi dan korupsi yang kesemuanya lebih kepada perwujudan perilaku.
D.1.2. Joel S Migdal dan John T Siddel Joel S Migdal adalah ilmuwan politik yang mendengungkan terminologi local strongmen dan mengambil lokus penelitian di beberapa negara poskolonial. Zikry Aulia Ghifary dalam tulisannya berjudul “Local Bossism : Indonesia dan
8
Thailand dalam Perspektif Komparatif” menjelaskan bahwa Migdal menempatkan konsepsi local strongmen sebagai penyusun berdirinya „negara bayangan‟. Mengutip pernyataan Migdal dalam artikel tersebut :
“... Dalam weak state, terkandung strong society yang terdiri dari elit tradisional dan local strongmen.” (Ghifary 2012). Dengan demikian maka local strongmen bisa dimengerti sebagai „orang kuat lokal‟ yang memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik, yang bersama – sama dengan elit tradisional menjalankan tata kelola pemerintahan secara informal. Selanjutnya karena sumber daya ekonomi dan politik sudah dikuasai bukan oleh negara secara ideal, maka terjadi deviasi tujuan diambilnya kebijakan, yaitu bukan lagi pada niat untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, tetapi beralih kepada tujuan pengayaan pribadi. Masih dari artikel yang sama, Ghifary juga menjelaskan prasyarat kondisi munculnya local strongmen, yaitu (Ghifary 2012) :
1. Hanya dapat muncul jika tidak terjadi kontrol sosial yang kuat 2. Local strongmen memiliki kedekatan emosional dengan penduduk setempat sehingga terjadi dependensi patron-klien secara otomatis dan legitimatif 3. Terhambatnya pembangunan nasional di level daerah dan membuka ruang bagi local strongmen
9
Di waktu selanjutnya, pengertian local strongmen ini kemudian direspon oleh banyak ilmuwan politik pembaharu. Salahsatunya adalah John T. Sidel yang kemudian memberikan kritik kepada Migdal atas pemikiran yang telah Migdal sampaikan pada waktu sebelumnya. Melalui penelitian yang dilakukan di Cavite dan Cebu (dua provinsi di Filipina), John T Sidel kemudian mengkomplementasi pengetahuan tentang „orang kuat lokal‟ dengan istilah baru, yaitu local bossism. Adapun menurut Sidel dalam Ghifary (2012), local bossism didefinisikan sebagai :
“... local power broker yang memperoleh posisi monopoli terhadap kekerasan dan sumber daya ekonomi dalam wilayahnya masingmasing.”
Dengan demikian maka local bossism menggunakan dan bergantung pada agen dan sumberdaya milik negara dan memiliki pengertian yang berbeda dengan „local strongmen‟ (Ghifary 2012).
D.1.3. Syarif Hidayat dan Erwiza Erman Di Indonesia, fenomena ini juga terjadi terutama dalam praktik politik lokal sebagai respon atas digulirkannya desentralisasi. Reformasi sistem pemerintahan di Indonesia yang diinisiasi sejak 1998 itu berdampak dahsyat pada wujud birokrasinya di kemudian hari. Dari sekian banyak aspek politik dan pemerintahan yang diberi atensi agar segera “menyesuaikan diri” dengan sistem tata kelola pemerintahan yang baru dan sekaligus semakin jauh dari konsep
10
penyelenggaraan pemerintahan yang terpusat, desentralisasi kemudian diminati sebagai alternatif cara berpemerintah yang populer utamanya dalam urusan hubungan pusat dan daerah. Ia tiba – tiba menjadi komoditi politik nomor wahid yang diperjuangkan daerah, dengan dalih kegagalan sentralisme di masa lampau dan aksesabilitas terhadap sumber daya lokal yang ingin segera dikuasai daerah. Desentralisasi kemudian benar – benar diselenggarakan. Melalui produk hukum berwujud UU No. 32 Tahun 2004, kini, kekuasaan di daerah menjadi sedemikian besar untuk menelurkan serangkaian tindakan politik di aras lokal dengan hanya meniadakan soal politik luar negeri, agama, yustisi, pertahanan, keamanan, fiskal dan moneter nasional yang disepakati masih menjadi wewenang Jakarta. Dengan demikian berarti muncul kewenangan – kewenangan strategis yang kemudian menjadi domain pemerintah daerah. Tetapi desentralisasi sebagai ide baru menjalankan pemerintahan, berjalan bukan tanpa cela. Setelah sekian lama birokrasi bergerak dalam nuansa satu komando sentralisme, desentralisasi tentu memunculkan kekagetan birokrasi lokal, apalagi karena konsep dispersi kekuasaan ini membuat daerah menjadi begitu berkuasa. Pun karena kekuasaan adalah magnet. Meminjam istilah Anies Baswedan, aktor, institusi dan budaya lokal bermunculan kembali lalu mulai memainkan peran di dalamnya. (Nordholt & Klinken 2007, h. 244). Para komponen interest group baik personal maupun institusional, tentu berupaya untuk „mengambil peluang‟ keuntungan dari kekuasaan yang sudah didispersikan ke daerah. Tak terkecuali para pengusaha, yang kemudian mendapatkan angin segar soal potensi
11
keuntungan finansial dari lingkar kekuasaan yang aksesnya semakin mungkin untuk didekati karena sudah ada di daerah. Ringkasnya, penulis beranggapan bahwa bagi daerah, ada 2 hal yang menjadi dampak langsung diselenggarakannya desentralisasi : 1. Kekuasaan strategis kini ada di daerah, tetapi, 2. Daerah tidak benar – benar siap menjalankan kuasa yang sudah didispersi itu, Dua dampak langsung itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh para praktisi ekonomi lokal dan „negara bayangan‟ adalah caranya. Ide soal dispersi kewenangan negara konvensional untuk secara lebih besar dikelola oleh daerah, pun dengan masih gagapnya pemerintah daerah merespon kompleksitas persoalan birokrasi di level lokal, menjadi momentum penting untuk elit ekonomi lokal melakukan serangkaian langkah bisnis. Di Banten, menurut Syarif Hidayat, praktek „negara bayangan‟ terjadi dalam bentuk premanisme proyek yang berhulu di politik dinasti dan secara sistematis dieksekusi dalam nuansa Jawara. Mengikuti definisi Syarif Hidayat, jawara didefinisikan sebagai seorang atau kelompok orang yang memiliki sumber kekuatan fisik (dan ilmu supra natural yang menyertainya), berani menentang kebathilan, dan melindungi individu atau kelompok masyarakat yang lemah. (Nordholt & Klinken 2007, h. 268). „Lelang‟ proyek – proyek pembangunan infrastruktur Banten sebagai daerah otonomi baru, dengan mudah dimenangkan oleh Chassan Sochib (74) yang tak lain adalah ayah dari Ratu Atut Chosiyah (39) yang merupakan wakil Gubernur terpilih saat itu. Meskipun „kecurangan‟ ini
12
dibantah oleh Chassan, namun demikian, Syarif Hidayat mampu menyusun pembuktiannya secara konkret dan nyata. Dalam pola yang berbeda satu sama lain, praktek – praktek tersebut sesungguhnya menjelaskan kondisi sabotase fungsi negara oleh „negara bayangan‟. Negara yang seharusnya bertanggung jawab pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, menjadi bergerak menyimpang karena kendali dipegang bukan oleh negara yang konvensional dan konstitusional. Intimasi negara dan pasar yang diharapkan membawa implikasi positif pada partisipasi sipil, justru berperilaku jauh sebaliknya. „Negara bayangan‟ itu sendiri adalah satu konsepsi yang dikomposisi oleh kondisi – kondisi yang terikat dan berkombinasi satu sama lain. Menurut William Reno, setidaknya ada tiga kondisi yang mengomposisi berdirinya sebuah negara bayangan. Ketiga kondisi tersebut adalah (Funke & Solomon, hh.1-2): a. Keterlibatan aktor eksternal dalam shadow state dan sejauh mana pihak luar mendukung pemeliharaan shadow state itu b. Gejala runtuhnya birokrasi karena difungsikan untuk memperkaya diri sendiri c. Pentingnya keterlibatan masyarakat sipil Lemahnya pergerakan negara secara institusional sebagai dampak dari didispersikannya kekuasaan, membuat „negara bayangan‟ bergerak leluasa. Jika sesederhananya konsepsi „negara bayangan‟ adalah antitesis dari negara konvensional
dan dicirikan dalam seperangkat
kekuatan
yang mampu
memandulkan superioritas negara, maka ide inilah yang kemudian terfragmentasi
13
ke dalam upaya – upaya para oknum oportunis di lapangan mendapatkan keuntungan. Menarik untuk melihat hadirnya „negara bayangan‟ secara lebih kontekstual dalam bab khusus yang sudah penulis siapkan.
D.2. SELF-GOVERNING COMMUNITY Ada banyak perspektif yang bisa digunakan untuk mendefinisikan negara. Salahsatunya adalah dengan tidak selalu mendefinisikannya sebagai aparatus dalam konteks yang institusional, tetapi juga secara dinamis dan utuh dengan sangat memperhatikan „perilaku negara dalam berkuasa‟. Dengan menggunakan kacamata yang lebih komprehensif seperti ini, kita akan bisa melihat bahwa „cara berkuasa‟ a la negara ternyata juga bisa diduplikasi oleh pihak – pihak di luar negara untuk berperilaku sebagaimana negara berperilaku, untuk mencapai tujuan dan kepentingan yang berbeda dengan tujuan dan kepentingan negara ideal. Penulis kemudian mengajukan self-governing community sebagai metode lain untuk membaca kekuasaan. Namun demikian, penulis berpandangan bahwa sebelum masuk ke dalam pembedahan teorisasi self-governing community, penulis merasa perlu memulainya dengan berusaha menjelaskan kerangka pikir relasi negara dan masyarakat terlebih dulu. Hal ini penulis pandang perlu karena selfgoverning community muncul dari ruang kosong sebagai dampak dari ketidak mampuan negara untuk selalu berperan dalam setiap dinamika kehidupan manusia. Pada kenyataannya, kekuasaan negara tidak selalu bisa dirasakan dalam setiap jengkal kehidupan manusia. Sebaliknya, kekuasaan itu sendiri adalah hal
14
yang mutlak harus ada dalam kehidupan manusia. Dengan demikian maka sampainya kekuasaan pada kehidupan manusia tidaklah sama dengan sampainya kekuasaan negara pada kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata kekuasaan bisa juga dikerjakan oleh pihak – pihak di luar negara, yang dalam hal ini banyak diambil alih oleh masyarakat. Ternyata negara bukanlah satu – satunya entitas yang bisa berkuasa. Dalam bukunya yang berjudul “Posisi Politik Masyarakat dalam Era Otonomi Daerah”, pada salahsatu bagian dalam tulisannya, Ishak mengutip pemikiran Anthony Giddens soal batas jarak ideal antara negara dan masyarakat agar negara tidak harus sampai menunjukkan tajinya di level yang sangat grassroot untuk menunjukkan arti kekuasaan. Menurutnya, negara dan masyarakat
memerlukan
hubungan
kemitraan
yang
saling
memberikan
kemudahan tetapi tetap saling mengontrol. Baik negara maupun masyarakat sipil bisa masuk ke wilayahnya satu sama lain, tapi harus tanpa maksud terselubung untuk mendominasi (Ishak 2010. Hh. 25-26). Adapun pengertian self governing community penulis rujuk dari pengertian otonomi komunitas yang banyak diulas oleh Novi dan Munggoro (2002). Melalui ulasan tersebut, untuk mendapatkan pemahaman yang baik tentang self governing community, Novi dan Munggoro terlebih dulu melakukan pemecahan istilah dan menelusuri pengertiannya masing – masing secara mendalam. Setelah dibedah, setidaknya ada dua kata kunci yang menjadi modal elaborasi lebih lanjut. Kata kunci pertama adalah „otonomi‟, yang secara etimologis berarti merdeka, mengatur diri sendiri (Novi & Munggoro 2002, h.29). Pengertian awal
15
ini penting untuk terlebih dulu kita pahami karena pada bagian selanjutnya kita akan menggabungkannya dengan kata kunci lain. Adapun istilah „mengatur diri sendiri‟ sesungguhnya menunjukkan perlawanan, karena idealnya, secara otomatis masyarakat tidak akan bisa „mengatur diri sendiri‟, melainkan secara patuh mengikuti apa yang negara dalam rupa formal ingin masyarakat lakukan. Sehingga untuk menjawabnya, Novi dan Munggoro memberikan pemahaman soal kata kunci kedua, yaitu komunitas. Mengambil dari “Pokok – Pokok Antropologi Budaya”, Novi dan Munggoro menjelaskan definisi komunitas sebagai :
“... sekelompok orang yang bermukim di suatu wilayah yang hidup bersama dan mendukung nilai – nilai, dan cara berlaku / kebudayaan yang dimiliki bersama dalam kelompok itu.” (Novi & Munggoro 2002, h. 29).
Yang dengan demikian, jika digabungkan, maka pengertian self-governing community adalah : “.. cara komunitas mengatur dirinya sendiri.”
Adapun „mengatur‟ dalam hal ini terletak pada wilayah pemenuhan sumber daya ekonomi dan politik para anggota komunitas. Sedangkan pergerakan mereka dalam mengatur dirinya sendiri, akan selalu berpedoman pada prinsip otonomi komunitas. Mengutip tulisan Fikret Berkes dalam „Society Systems, Ecological Syctems, and Property Right‟ yang dirujuk oleh Novi dan Munggoro, otonomi
16
yang dimiliki oleh komunitas untuk menentukan sendiri cara hidupnya, tetap harus berpedoman pada prinsip otonomi yang dikomposisi oleh tiga hal; modal kebudayaan, modal alam dan modal buatan manusia yang dimiliki komunitas, yang ketiganya terhubung dalam relasi segitiga (Novi & Munggoro 2002, h. 30). Dalam
penjelasan
yang
lebih
rinci,
Novi
&
Munggoro
mengkategorisasikan penjelasannya sebagai berikut (Novi & Munggoro 2002, h. 31) : a. Modal kebudayaan, mengacu pada segala faktor yang berhubungan dengan cara dan adaptasi kelompok orang pada lingkungan alam dan modifikasinya, seperti modal sosial dan institusionalisasi. b. Modal alam, sebagai dasar modal kebudayaan, dan c. Modal
buatan
manusia,
yang
memungkinkan
mengubah
model
kebudayaan.
E. DEFINISI KONSEPTUAL
E.1. ILEGAL Menurut kamus besar bahasa indonesia, ilegal berarti tidak legal, tidak menurut hukum, tidak sah (http://kbbi.web.id/ilegal).
17
E.2. TEMPAT PARKIR Sementara tempat parkir dalam hal ini, sesuai dengan referensi kebahasaan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tempat atau bangunan yang disediakan sebagai perparkiran.( http://kbbi.web.id/tempat).
E.3. PARKIR ILEGAL Dengan demikian maka tempat parkir ilegal adalah tempat atau bangunan yang disediakan sebagai perparkiran yang tidak legal, tidak menurut hukum dan tidak sah. Dalam pengertian yang lebih kontekstual, parkir ilegal dalam hal ini adalah tempat parkir yang dipaksa untuk diselenggarakan walau pemerintah tidak menetapkan tempat tersebut sebagai tempat perparkiran.
F. DEFINISI OPERASIONAL Definisi operasional penelitian ini menyoroti ciri - ciri fenomena yang terjadi di lapangan, yaitu ilegalitas. Sebagai sebuah kontekstualisasi, ilegalitas terdiri dari ciri – ciri tertentu, yaitu : a. Dilakukan bukan secara institusional, melainkan personal (oknum) Negara adalah entitas yang walau bagaimanapun diasumsikan akan selalu bergerak menuju kesejahteraan rakyat. Tujuan ini penting untuk ditekankan karena begitulah amanah konstitusi setiap negara di dunia. Sehingga jika terjadi kejahatan birokrasi yang sistematis, maka mesti dipahami bahwa hal tersebut dilakukan bukan dalam konteks institusional, melainkan personal.
18
b. Ranah tempat terjadinya adalah ranah formal Berbeda dengan kejahatan lainnya, ilegalitas adalah salahsatu variasi kejahatan birokrasi yang dilakukan justru ketika pelaku berseragam formal. Tipikal kejahatan yang dilakukan juga tidak sama dengan kasus – kasus kriminal kebanyakan, melainkan sangat sistematis dan berorientasi pada penghancuran sistem. c. Pergerakan dilakukan secara informal Artinya, aktivitas yang menyusun ilegalitas adalah aktivitas yang tidak mengikuti kaidah hukum positif yang telah ditetapkan. Sebaliknya, karena tujuannya adalah mengeruk keuntungan pribadi sebanyak – banyaknya, maka pergerakan dilakukan secara sembunyi – sembunyi yang kemudian menjadi aktivitas ilegal.
G. METODOLOGI PENELITIAN
G.1. JENIS Secara metodologis, penelitian ini adalah penelitian yang mengambil mazhab non-positivist dan kemudian berlanjut pada keputusan penulis untuk mengambil metode penelitian kualitatif. Terkait dengan hal ini setidaknya ada dua hal yang penulis ingin sampaikan di bawah ini sebagai ciri dari mazhab kualitatif itu sendiri. Pertama adalah bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang berusaha memangkas jarak antara peneliti dan objek yang diteliti. Ini karena
19
penelitian kualitatif adalah penelitian yang memang tidak terlalu membutuhkan asumsi matematis untuk mengolah dan kemudian menganalisis data. Terkadang bahkan penelitian kualitatif mengharuskan peneliti untuk bisa membaur dengan objek yang diteliti semata – mata untuk mendapatkan hasil penelitian ilmiah. Oleh karenanya penelitian kualitatif diasumsikan bisa mengkonstruksi cara berfikir teoretik yang berbasis pada realitas tanpa metode statistik. Kedua adalah soal subjektivitas. Tentu saja subjektivitas menjadi aspek penting yang harus dipastikan eksistensinya karena subjektivitas akan berdampak pada keberpihakan. Dahulu kala ketika mazhab penelitian secara umum masih berpihak pada pra-poitivism dan positivism, peneliti selalu diasumsikan bergerak pasif, menunggu bagaimana fenomena yang terjadi menuju pada konstruksi ilmiah dengan sendirinya tanpa intervensi dan keberpihakan peneliti. Namun demikian seringkali dalam sebuah penelitian, peneliti dihadapkan pada satu situasi di mana pihak – pihak yang diteliti menunjukkan realitas yang bebas nilai. Tugas penelitilah kemudian untuk menetapkan bagian mana dari objek penelitian tersebut yang menguntungkan peneliti dan hal itu hanya bisa dicapai melalui keberpihakan. Penelitian harus berpihak dan dimulai dari subjektivitas. Selanjutnya, mazhab non-positivist itu sendiri adalah mazhab yang secara spesifik akan diteruskan oleh beberapa model penelitian kualitatif. Secara umum, metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang lebih banyak mengedepankan observasi di lapangan untuk kasus – kasus sosial. Seperti yang disampaikan Strauss dan Corbin dalam Creswell J. (1998 : 24) dan kemudian
20
digunakan kembali sebagai referensi dalam tulisan Pupu Saeful Rahmat berikut ini :
“... jenis penelitian yang menghasilkan penemuan – penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur – prosedur statistik atau cara lain dari kuantifikasi (pengukuran).” (Rahmat 2009, h.2)
Sementara studi kasus adalah salahsatu metode penelitian taktis yang merupakan tindak lanjut dari metode penelitian kualitatif itu sendiri. Penelitian ini adalah penelitian yang secara metodologis merupakan penelitian studi kasus. Studi kasus adalah jenis penelitian yang menitik beratkan substansinya pada hal – hal yang berkaitan dengan cara menjawab pertanyaan how dan why dalam peristiwa aktual dan kontemporer sebagaimana disampaikan oleh Yin berikut ini :
“...a case study design should be considered when: (a) the focus of the study is to answer “how”and “why” questions; (b) you cannot manipulate the behaviour of those involved in the study; (c) you want to cover contextual conditions because you believe they are relevant to the phenomenon under study; or (d) the boundaries are not clear between the phenomenon and context.” (Baxter & Jack 2008, h.545)
G.2. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber – sumber seperti demikian ini : 1. Dokumen
21
Penulis melakukan kajian mendalam terhadap dokumen – dokumen yang terkait dengan penelitian yang penulis lakukan. Dokumen – dokumen tersebut adalah dokumen yang menjadi rujukan hukum munculnya ilegalitas parkir, yaitu : a. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah b. Peraturan Walikota Yogyakarta (Perwalkot) Nomor 62 Tahun 2009 tentang Perubahan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 45 Tahun 2007
Tentang
Petunjuk
Pelaksanaan
Peraturan
Daerah
Kota
Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Penataan Pedagang kaki Lima c. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 16 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perparkiran terutama Bab II Pasal 2 tentang Penetapan Lokasi dan Kawasan Tempat Parkir 2. Wawancara Wawancara penulis lakukan kepada berbagai pihak dari 3 latar belakang yang berbeda, yaitu dari kalangan pemilik bisnis parkir, tukang parkir di lapangan dan warga kampung Sitisewu yang kesehariannya berada di lokasi ini. a. Bos / pemilik parkir Penulis melakukan wawancara terhadap Panji, orang yang pernah menjadi bos pemilik bisnis parkir di angkringan kopi joss jalan Wongsodirjan hingga akhir tahun 2012 sebelum akhirnya dipindah tangankan ke orang lain. b. Tukang parkir di lapangan
22
Penulis melakukan wawancara terhadap TJ dan Kempot selaku tukang parkir sekaligus anak buah pemilik, dan Toha, tukang parkir, anak buah pemilik sekaligus koordinator lapangan. c. Warga kampung Sitisewu Penulis melakukan wawancara terhadap Rus selaku informan dari latar belakang warga asli Sitisewu sekaligus pembuat sate usus. Beliau juga merupakan karyawan pembuatan sate usus milik ibu dari pemilik bisnis parkir kopi joss jalan Wongsodirjan. 3. Pengamatan langsung / observasi Penulis juga mengumpulkan data dengan datang langsung ke lokasi berkali – kali untuk mengamati proses berlangsungnya ilegalitas.
G.3. TEKNIK ANALISIS DATA Penulis akan melakukan teknik analisis data dengan menggunakan rujukan Yin (2002) seperti berikut ini (Yin 2005, h. 133) : 1. Pengujian 2. Pengkategorian 3. Pentabulasian
G.4. LOKASI Lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah pinggir jalan bagian selatan Jalan
Wongsodirjan
di
mana
di
tempat
tersebut
penulis
penyelenggaraan parkir yang melawan aturan sebagai fokus penelitian.
23
mengambil
G.5. UNIT ANALISIS Unit analisis yang penulis ambil adalah fokus pada fenomena dipertahankannya penyelenggaraan parkir yang melawan aturan di pelataran jalan Wongsodirjan oleh otoritas sipil. Ini menjadi unit analisis yang menarik karena celah untuk otoritas sipil menjadi kuat harus berbarengan dengan momentum dekonstruksi negara konvensional.
H. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I pada penelitian ini akan banyak menjelaskan tentang latar belakang dan bagaimana penelitian ini dikonstruksi secara teoretik bahwa dengan mengambil lokus penelitian di jalan Wongsodirjan, penulis ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa sedang terjadi perebutan kuasa atas ruang antara state dan civil society melalui political space dalam maknanya sebagai tempat fisik dan ruang abstrak. Bab II pada penelitian ini akan penulis gunakan untuk menjelaskan kronologi „kepemilikan lahan parkir dari masa ke masa‟ yang didahului oleh sejarah perkembangan angkringan kopi joss sejak pertama kali berdiri hingga di masa paling aktual. Pada bagian pengantar bab, penulis juga melakukan profiling terhadap angkringan kopi joss agar tidak kehilangan konteks. Bab III pada penelitian ini penulis posisikan sebagai ruang untuk menganalisis cara bekerjanya ilegalitas. Adapun penulis akan mengawalinya dari beberapa pelanggaran atas landasan hukum yang telah ditetapkan.
24
Bab IV pada penelitian ini penulis gunakan untuk menjelaskan kesimpulan bahwa teorisasi kekuasaan mutlak yang diasumsikan dimiliki secara otomatis oleh negara ternyata tidak berlaku pada lokus penelitian penulis. Sebaliknya, ilegalitas sebagai produk dari kekuasaan masyarakat sipil, dalam hal ini kelompok „pemilik‟ parkir, justru bisa dipertahankan dalam waktu yang relatif lama. Pada bagian ini pulalah penulis berupaya menjelaskan bahwa praktik „negara bayangan‟ berhasil memukul mundur negara formal untuk tidak menancapkan superioritasnya di tanah Wongsodirjan.
25