BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan kepariwisataan Indonesia menunjukkan kemajuan yang signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia selama beberapa periode terakhir terus mengalami peningkatan. Secara kumulatif, jumlah kunjungan wisman selama tahun 2014 mencapai 9,44 juta kunjungan atau naik 7,19 persen dibanding jumlah kunjungan wisman pada tahun 2013 yang berjumlah 8,80 juta kunjungan. (Badan Pusat Statistik, 2015) Berdasarkan survei
yang dilakukan terhadap wisman yang akan
meninggalkan Indonesia (Passenger Exit Survey) oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, menunjukan bahwa rata-rata lama tinggal wisatawan mancanegara di Indonesia pada tahun 2012 mengalami penurunan sebesar 0,14% dibanding tahun sebelumnya. Penurunan lama tinggal ini tidak berdampak pada rata-rata pengeluaran kunjungan wisatawan mancanegara yang mengalami kenaikan sebesar 1,39% yaitu dari US$1.118,26 menjadi US$1.133,81.1 Berdasarkan uraian tersebut, kedepannya kepariwisataan di Indonesia akan terus mengalami perkembangan positif ditinjau dari meningkatnya jumlah kunjungan dan perolehan devisa.
1
http://www.bps.go.id/Brs/view/id/1185 diakses pada tanggal 7 Oktober 2015 pada pukul 10.05
Sebagai salah satu sektor yang diandalkan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, pariwisata juga memiliki beberapa faktor untuk berkembang. Salah satu faktor yang dapat mendukung pertumbuhan kepariwisataan nasional adalah keanekaragaman dan keunikan daya tarik wisata yang terus dikembangkan untuk memberikan berbagai pilihan destinasi bagi wisatawan. Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2009 terdapat 3 jenis daya tarik wisata yaitu alam, budaya dan buatan (minat khusus). Definisi wisata minat khusus sendiri menurut Read (1980) dalam laporan akhir Studi Wisata Dirgantara (2014) adalah suatu bentuk perjalanan wisata yang dilakukan atas dasar minat dan motivasi khusus wisatawan untuk melakukan kunjungan dan terlibat dalam suatu kegiatan wisata yang spesifik, dengan menekankan unsur kegiatan yang unik dan pengalaman yang berkualitas. Dalam konteks kepariwisataan, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi kepariwisataan yang cukup besar dan beragam. Disamping dikenal dengan banyaknya warisan budaya yang dimiliki, Yogyakarta juga memiliki potensi lain yaitu kekayaan pesona alam dan wisata minat khusus yang merupakan tujuan wisata yang menarik banyak wisatawan domestik maupun mancanegara. Salah satu destinasi wisata yang hingga saat ini menjadi favorit wisatawan adalah kawasan Parangtritis. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi nomor 1 tahun 2012 tentang rencana induk pembangunan kepariwisataan daerah (PIPPDA) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pembangunan Kawasan Parangtritis-Depok-Kuwaru dan sekitarnya diarahkan sebagai Wisata alam, kuliner dan Wisata Dirgantara.
Perkembangan wisata dirgantara di Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa tahun terakhir dirasakan cukup signifikan. Hal tersebut dapat dilihat dari diadakannya “Jogja Air Show” secara terus menerus selama 9 (sembilan) tahun terakhir serta meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan pasif maupun aktif yang datang. Jumlah peserta yang mengikuti rangkaian acara “Jogja Air Show” dalam kurun waktu 3 tahun terakhir terus meningkat yaitu pada tahun 2012 dengan jumlah 278 peserta, tahun 2013 dengan jumlah 300 peserta, dan pada tahun 2014 yang mencapai 350 peserta. Bahkan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir kegiatan ini mulai dilirik oleh atlet aerosport dari luar negeri seperti Australia, Jerman, Singapura, Malaysia, Thailand, Taiwan, Vietnam dan Filipina. 2 Bukit Parangendog merupakan salah satu titik di kawasan Parangtritis yang ditetapkan sebagai Indonesia Aero Sport Centre bersama dengan Pantai Parangtritis dan Pantai Depok. Kawasan bukit Parangendog dijadikan kawasan wisata dirgantara karena memiliki potensi fisik yang memenuhi kriteria ideal untuk melakukan kegiatan tersebut. Kegiatan wisata minat khusus yang saat ini berjalan adalah paralayang dan gantole. Selain potensi wisata dirgantara, bukit Parangendog juga memiliki potensi sumber daya alam dengan lansekap dan keindahan matahari tenggelam yang dimiliki kawasan bukit dengan ketinggian sekitar 126 meter.3 Potensi wisata yang dimiliki kawasan Bukit Parangendog tentunya dapat menjadi alternatif tujuan wisata di kawasan Parangtritis. Namun perlu menjadi
2
Wawancara dengan Bapak Arif Efendi Dewan Penasehat Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) Senin 8 Agustus 2015 3 Wawancara dengan Bapak Arif Efendi Dewan Penasehat Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) Senin 8 Agustus 2015
perhatian apakah area paralayang di Bukit Parangendog ini layak untuk dijadikan kawasan wisata dirgantara berdasarkan kondisi fisik dan non-fisik yang ada saat ini. Permasalahan terdapat pada beberapa fasilitas penunjang wisata dirgantara di kawasan ini yang tidak terawat. Tidak adanya sumber air dan listrik juga menjadi kendala yang sangat penting. Selain itu, terdapat permasalahan mengenai status kepemilikan yang merupakan tanah masyarakat sehingga dikhawatirkan lokasi ini akan tergusur jika akan dilakukan pembangunan. Meskipun sudah ditetapkan menjadi salah satu titik lokasi Indonesia Aero Sport Center pada tahun 2014 oleh Menteri Pemuda dan Olahraga dan juga ditetapkan sebagai area wisata dirgantara pada RIPPDA Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2012, penelitian tentang studi kelayakan wisata dirgantara di kawasan ini belum pernah dilakukan. Padahal, penelitian semacam ini penting untuk dilakukan sebagai evaluasi dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitasnya. Melalui penelitian ini dapat dideskipsikan apa saja potensi daya tarik wisata yang terdapat di kawasan Bukit Parangendog dan bagaimakah kelayakan Bukit Parangendog sebagai destinasi wisata dirgantara. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang terdapat di atas, maka rumusan permasalahan dari penelitian ini antara lain: 1. Apa saja potensi daya tarik wisata yang terdapat di kawasan Bukit Parangendog?
2. Bagaimakah kelayakan Bukit Parangendog sebagai destinasi wisata dirgantara? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dari penelitian ini antara lain: 1.
Mengetahui potensi daya tarik wisata yang terdapat di kawasan Bukit Parangendog
2.
Mengetahui kelayakan kawasan bukit Parangendog sebagai destinasi wisata dirgantara
1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian dari skripsi ini terbagi menjadi dua, yaitu: 1.4.1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang studi kelayakan pariwisata. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menjadi awal penelitianpenelitian baru dalam bidang wisata minat khusus demi kemajuan ilmu pengetahuan. 1.4.2. Manfaat Praktis Seiring berkembangnya objek wisata Bukit Parangendog maka wilayah ini berpotensi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar. Bagi wisatawan ataupun peserta yang akan melakukan olahraga dirgantara di Bukit
Parangendog juga akan merasakan dampak langsung seiring meningkatnya perbaikan fasilitas dan aksesibiltas di wilayah penelitian. Manfaat bagi pemerintah daerah adalah memberikan objek wisata alternatif dalam rangka meningkatkan tingkat kunjungan wisatawan dengan melakukan pengembangan daya tarik wisata. Penelitian ini juga dapat menjadi bahan kajian bagi pemerintah dalam mengevaluasi kelayakan pembangunan dan pengembangan objek wisata dalam rangka meningkatkan pemasukan APBD
1.5 Tinjauan Pustaka Dalam bagian ini diuraikan beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan studi kelayakan di suatu kawasan wisata dan beberapa penelitian yang dilakukan di kawasan wisata parangtritis. Berikut ini pemaparan penelitian tersebut sebagai pembanding dengan penelitian ini. Salah satu penelitian yang menjadikan studi kelayakan pariwisata sebagai topik yang diangkat adalah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Pariwisata UGM yang berjudul ”Studi Kelayakan Dempo Park” pada tahun 2009. Penelitian yang dilakukan di wilayah Pagar Alam Sumatera Selatan ini memiliki daya tarik wisata berupa kawasan berbukit yang sejuk dan hamparan hijau perkebunan teh yang alami. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan kondisi saat ini kawasan dalam pengembangan dan memberikan rekomendasi pengembangan dan perwujudannya sebagai sebuah
objek wisata Dempo Park, melakukan analisis kelayakan pengembangan, dan memberikan rekomendasi pengembangan berdasarkan analisis kelayakan. Aspek-aspek studi kelayakan yang dianalisis meliputi aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis, aspek organisasi dan manajemen, aspek ekonomi dan keuangan serta aspek eksternal. Karimah (2014) dalam penelitian yang berjudul ”Analisis kelayakan pengembangan dan pengaplikasiannya di Dusun Tutup Ngisor dalam perspektif pariwisata berkelanjutan”. Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan di Dusun Tutup Ngisor terhadap lima aspek kelayakan yang meliputi aspek teknis, aspek pasar dan pemasaran, aspek organisasi dan manjemen, aspek ekonomi dan aspek eksternal, penelitian ini menunjukkan bahwa Dusun Tutup Ngisor sangat layak dikembangkan menjadi desa wisata budaya. Sementara itu, dari segi pariwisata berkelanjutan yang mencakup aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial budaya, ketiganya memperlihatkan hal yang positif. Selanjutnya Annihayah (2008) membahas kawasan pariwisata pantai Parangtritis yang merupakan salah satu icon pariwisata di Kota Yogyakarta yang mengalami penurunan tren kunjungan wisatawan pada tahun 2004 yang diakibatkan oleh kondisi kumuh dan sebagian kecil kawasan yang dijadikan lokasi kegiatan prostitusi. Guna mengatasi hal tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Bantul melaksanakan penataan kawasan ini yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Bupati No.127/2004 tentang Rencana Teknis Objek Wisata Parangtritis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana efektifitas
program penataan kawasan ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan menggunakan indikator efektifitas Gibson (1993) yang meliputi produktivitas, efisiensi, dan kualitas pelayanan program penataan kawasan pariwisata pantai Parangtritis sampai saat ini belum efektif karena tingkat pencapaian tujuan program sebesar 47,14%. Selanjutnya penelitian ini merekomendasikan perlunya upaya pemberdayaan masyarakat dan pengembangan iklim investasi serta upaya peningkatan kualitas lingkungan kawasan melalui penertiban bangunan liar secara terus menerus. Penelitian yang juga berlokasi di Pantai Parangtritis adalah Analisis Strategi Pemasaran Pariwisata Pantai Parangtritis Pasca Gempa Bumi dan Tsunami di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Riyadi (2008). Dari hasil pengolahan data diperoleh kesimpulan bahwa kondisi kepariwisataan objek wisata pantai parangtritis pasca gempa bumi dan tsunami sedang mengalami kemunduran, akan tetapi uniknya persaingan antara industri pariwisata yang dihadapi oleh dinas Pariwisata Bantul tidak terlalu mempengaruhi kinerja dinas. Kemudian dari analisis SWOT didapatkan bahwa alternatif strategi pemasaran yang paling tepat adalah melakukan kerjasama dengan
agen-agen
perjalanan
dalam
memasarkan
produk
dan
juga
mempromosikan kondisi saat ini melalui media cetak, elektronik, maupun internet. Penelitian ini juga menghasilkan saran dalam pembuatan materi promosi agar memberikan pesan yang meyakinkan wisatawan tentang keamanan yang ada, seperti memasukkan data jumlah personel keamanan (life guard),
jumlah peralatan keselamatan, dan juga sistem informasi peringatan dini untuk bencana gempa bumi dan tsunami. Rian Heryana (2013) telah melakukan penelitian tentang Gunung Panten yang terdapat di Jawa Barat untuk dikembangkan menjadi area olahraga paralayang. Dalam penelitian ini metode pendekatan yang digunakan adalah metode deskriftif kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi dan hambatan apa saja yang terdapat di Gunung Panten apabila dijadikan sebagai kawasan wisata minat khusus paralayang. Selanjutnya untuk pengembangannya akan menggunakan konsep zonasi dengan membagi Gunung Panten menjadi tiga kawasan yaitu zona inti, zona penyangga, dan zona pelayanan. Sehingga menghasilkan suatu konsep yang dapat mendukung pengembangan wisata minat khusus di Gunung Panten. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa Gunung Panten cocok untuk dijadikan wisata paralayang karena berdasarkan potensi fisik yaitu ketinggian, tempat landing, kecepatan angin, cuaca. Namun, Pada tempat take off belum memenuhi kriteria ideal, untuk itu perlu dilakukannya perbaikan agar bisa digunakan untuk kegiatan wisata. Selain itu, terdapat potensi dari sumber daya alam dan dari masyarakat sekitar Gunung Panten. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya terletak pada fokus pembahasan dan lokasi penelitian. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian tentang Analisis Kelayakan Pengembangan Wisata Dirgantara Di Bukit Parangendog Parangtritis belum pernah dilakukan.
1.6 Landasan Teori Berdasarkan UU No. 10 tahun 2009 pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masayarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu atau tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tark wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut destinasi pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang didalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Daya tarik wisata sendiri diklasifikan menjadi tiga jenis yaitu daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan daya tarik wisata buatan. Read (1980) dalam Dua Tiga Empat Konsultan (2014) menyatakan bahwa wisata minat khusus sendiri adalah suatu bentuk perjalanan wisata yang dilakukan atas dasar minat dan motivasi khusus wisatawan untuk melakukan kunjungan dan terlibat dalam suatu kegiatan wisata yang spesifik, dengan menekankan unsur kegiatan yang unik dan pengalaman yang berkualitas. Pernyataan tersebut menekankan bahwa motivasi khusus wisatawan merupakan faktor utama yang mendorong wisatawan melakukan perjalanan ke suatu wilayah. Wisatawan tidak hanya
menjadi penikmat saja namun turut andil dan berperan aktif dalam kegiatan wisata tersebut. Hall & Weiler (1992) dalam Studi Wisata Dirgantara (2014: II-2) menjabarkan motivasi wisatawan minat khusus pada 2 (dua) hal pokok, yaitu: a) Mencari bentuk atraksi wisata yang baru/ unik (novelty seeking), yang menekankan pada kesenangan/ hobby/ minat pada hal-hal atau aktifitas tertentu lebih dari sekedar bentuk kegiatan wisata yang ada (konvensional) yang cenderung pasif. b) Mencari pengalaman wisata yang berkualitas (quality seeking), yaitu motivasi pencarian terhadap bentuk-bentuk kegiatan wisata yang mampu memberikan unsur-unsur berikut; 1) penghargaan dan nilai manfaat (rewarding), 2) pengkayaan/ pengembangan diri (enriching), 3) tantangan atau petualangan (adventuring), 4) pembelajaran dan wawasan baru (learning). Wisata olahraga adalah bagian dari konsep wisata minat khusus. Pariwisata untuk olahraga (sport tourism) menurut Spillane (1987: 30) dapat dibagi dalam dua kategori yaitu: 1. Big sport events yaitu peristiwa-peristiwa olahraga besar seperti Olympic Games, kejuaraan ski dunia, kejuaran tinju dunia dan olahraga lainnya yang menarik perhatian tidak hanya pada olahragawannya sendiri tetapi juga ribuan penonton atau penggemarnya.
2. Sporting tourism of the practicioners yaitu pariwisata olahraga bagi mereka yang ingin berlatih dan mempraktekkan sendiri seperti pendakian gunung, olah raga naik kuda, berburu, memancing dan lain sebagainya. Konsep wisata olahraga bukanlah suatu hal yang baru dilakukan dalam industri pariwisata. Dalam upayanya meningkatkan kunjungan wisatawan, pemerintah suatu daerah kerap mengagendakan kegiatan-kegiatan keolahragaan yang berskala besar. Wisata Olahraga yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan dengan tujuan untuk berolahraga atau memang sengaja untuk mengambil bagian aktif dalam peserta olahraga di suatu tempat atau negara. (Pendit 1994: 14) Standeven dan de Knop (1999:58) memperlakukan olahraga dan pariwisata sebagai cultural experience, “sport as a cultural experience of physical activity; tourism as a cultural experience of place” dari hal ini mereka berpendapat bahwa sifat alami olahraga yang mana “pengalaman dari aktivitas fisik sangat berkaitan dengan tempat dimana pengalaman itu dilakukan”. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan kegiatan wisata olahraga berkaitan erat dengan fisik dari tujuan dimana tingkat wisatawan menemukan tempat yang menarik sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisik, termasuk lansekap dan iklim (Krippendorf 1986 dalam Hinch dan Higham 2004: 31-49.). Diperlukan
analisis
kelayakan
dalam
melakukan
perencanaan
pembangunan sebuah kawasan wisata. Studi kelayakan adalah analisis tentang masalah yang mungkin terjadi jika suatu proyek akan dijalankan dan
kemungkinan untuk mengatasinya secara efektif (Warnell, 1986). Definisi lain dikemukakan oleh Pusat Studi Pariwisata UGM (2012) yang menjelaskan bahwa studi kelayakan adalah suatu rangkaian penelitian yang dilakukan dengan kriteria dan metode tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran penelitian atas usulan kegiatan. Studi kelayakan merupakan merupakan gambaran kegiatan usaha yang direncanakan, sesuai dengan kondisi, potensi, serta peluang yang tersedia. Dalam studi kelayakan dilakukan kajian dan analisis terhadap manfaat dan resiko yang diusulkan akan diperhitungkan dengan rinci dari berbagai aspek pelaksanaan kegiatan. Studi kelayakan dan identifikasi daya tarik wisata merupakan proses dalam perencanaan pariwisata. Yoeti (2006) menjelaskan bahwa daya tarik wisata yang akan dijual setidaknya harus memenuhi tiga syarat agar dapat memenuhi kepuasan pada pengunjung atau wisatawan, antara lain; 1) apa yang dapat dilihat (something to see), 2) Apa yang dapat dilakukan (something to do), dan 3) Apa yang dapat dibeli (something to buy). Kajian dan analisis akan studi kelayakan sendiri dilakukan dengan cara mengidentifikasi secara kualitatif manfaat dan resiko yang akan dan mungkin terjadi akibat pelaksanaan. Dalam penyusunan sebuah studi kelayakan harus meliputi sekurang-kurangnya aspek-aspek sebagai berikut; 1) Aspek teknis, 2) Aspek pasar dan pemasaran, 3) Aspek organisasi dan manjemen, 4) Aspek ekonomi, dan 5) Aspek eksternal. Untuk menentukan kelayakan Bukit
Parangendog sebagai destinasi wisata dirgantara, aspek-aspek kelayakan ditambahkan dengan perspektif wisata dirgantara. Berdasarkan Anggaran Dasar Federasi Aero Sport Indonesia (2010) mengatakan bahwa pada lokasi kedirgantaraan (aerodrome) yang memenuhi syarat kelaikan dapat dibentuk organisasi pengembangan dan pembinaan olahraga dirgantara aneka cabang, yang disebut Pusat Olahraga Dirgantara Aneka Cabang atau Aero Sport Center, untuk selanjutnya disebut Aero Sport Center. Terdapat beberapa kriteria lokasi olahraga layang gantung yang harus dipenuhi untuk melakukan kegiatan wisata olahraga yang memperhatikan aspek keamanan dan kenyamanan, yaitu; 1) Fisik dan 2) Meteorologi. Untuk kriteria fisik lokasi harus memiliki kemiringan lereng/ slope, ketinggian lokasi, dan perkerasan landasan yang digunakan pada landasan take-off itu sendiri. Kriteria meteorologi yang harus dipenuhi adalah kecepatan angin, kondisi awan, dan analisa cuaca yang ideal bagi penerbang (Paragliding Student Workbook, t.t) 1.7 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007: 4) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari subjek yang diamati. Sumber data yang didapatkan adalah data primer yang diperoleh melalui metode observasi ke lapangan untuk mengadakan wawancara kepada narasumber dan data sekunder yang didapatkan melalui studi pustaka.
1.7.1. Metode Pengumpulan Data a. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan untuk mengetahui hasil dari beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan studi kelayakan wisata dirgantara di Bukit Parangendog. Studi pustaka dilakukan dengan mencari sumber-sumber baik dari buku, internet, maupun jurnal ilmiah untuk mendapatkan data. Data yang telah didapatkan selanjutnya menjadi acuan dalam proses penelitian. b. Observasi dan Dokumentasi Pada tahap ini peneliti melakukan observasi ke lapangan untuk mengamati dan mencatat setiap data yang dibutuhkan untuk diolah menjadi data deskriptif. Peneliti juga melakukan dokumentasi terhadap kondisi saat ini di Bukit Parangendog untuk dijadikan data primer. Data yang dihasilkan selanjutnya disusun untuk menjadi pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan pada proses wawancara. c.
Wawancara Metode wawancara dalam penelitian ini menggunakan metode purposive
sampling yang menurut Sugiyono (2008:122) adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Metode ini dipilih karena kegiatan wisata dirgantara yang membutuhkan keahlian khusus dan kompeten dibidang kedirgantaraan. Metode ini akan menghasilkan data yang lebih representatif karena menggunakan narasumber khusus yang ahli pada bidang tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode wawancara langsung dengan pihak masyarakat di sekitar kawasan penelitian, aparat desa, pengelola Bukit Parangendog, dinas pariwisata Kabupaten Bantul, Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) Yogyakarta, Persatuan Olahraga Dirgantara Layang Gantung Indonesia (PLGI), dan pihak terkait untuk mendapatkan keterangan mengenai kondisi terkini kawasan Bukit Parangendog. 1.7.2. Metode Analisis Data Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Data mentah yang ada akan di rubah menjadi suatu informasi dalam bentuk data yang mudah dimengerti dan ditafsirkan. Data yang diperoleh melalui wawancara dalam penelitian ini dijabarkan menggunakan enam aspek kelayakan yang meliputi aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis, aspek organisasi dan manajemen, aspek ekonomi dan keuangan, aspek eksternal, dan aspek dirgantara. 1.8. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam empat bab yang berkesinambungan, yaitu: Bab satu berisi kondisi saat ini di dunia pariwisata Indonesia dan menjelaskan mengapa memilih lokasi Bukit Parangendog sebagai lokasi penelitian studi kelayakan wisata dirgantara.
Bab dua berisi gambaran umum Bukit Parangendog yang mendeskripsikan kondisi lokasi serta tinjauan yang akan dibahas berdasarkan teori elemen pariwisata dan tinjauan wisata dirgantara di Yogyakarta. Bab tiga berisi uraian daya tarik wisata yang terdapat di kawasan Bukit Parangendog berdasarkan 3 aspek dalam objek pariwisata yang harus ada yaitu apa yang dilihat (something to see), apa yang dilakukan (something to do), dan apa yang dibeli (something to buy) dan analisis kelayakan pengembangan wisata dirgantara di Bukit Parangendog. Bab empat akan disampaikan kesimpulan penelitian dan saran yang dari penelitian yang telah dilakukan. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.