BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah kemiskinan sangat erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan gizi
pada setiap individu. Menurut berita resmi statistik, pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia (atau penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) berjumlah sebanyak 28,07 juta jiwa atau sebesar 11,37%. Meskipun demikian, jumlah penduduk miskin di Indonesia telah berkurang sebesar 0,52 juta jiwa dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada bulan September 2012 yaitu sebesar 28,59 juta jiwa atau sebesar 11,66% (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2013). Salah satu program yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan adalah MDG’s, dengan tujuan utamanya adalah penanggulangan kemiskinan dan kelaparan. Ukuran penting MDG’s tentang kemiskinan dan kelaparan adalah terkait dengan gizi, yaitu apakah masyarakat sudah mengkonsumsi makanan yang berkecukupan. Kemiskinan sangat erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan, dimana kemiskinan merupakan penyebab mikro dari timbulnya masalah ketahanan pangan. Ketahanan pangan dapat diasumsikan sebagai suatu keadaan pangan yang stabil akan ketersediaan, aksesibilitas (keterjangkauan) dan stabilitas pengadaannya. UU No. 7 tahun 1996 menerangkan konsep ketahanan pangan sebagai suatu kondisi ketika setiap individu dalam suatu keluarga memiliki kecukupan makan setiap saat,
Universitas Sumatera Utara
kecukupan kuantitas dan kualitas makanan yang aman dan terjangkau. Maka dari itu, fokus ketahanan pangan tidak hanya cukup pada tingkat global, nasional maupun regional saja, tetapi juga pada tingkat keluarga. Pangan dan gizi merupakan dua unsur penting dalam peningkatan produktivitas nasional dan perbaikan kualitas hidup setiap manusia. Penyediaan pangan haruslah memenuhi kebutuhan gizi, keamanan, serta terjangkau oleh masyarakat setiap saat. Ketahanan pangan dan status gizi merupakan suatu kesatuan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Status gizi seseorang ditentukan oleh kuantitas dan kualitas (ragam) pangan yang dikonsumsi oleh seseorang karena setiap pangan memiliki nilai gizi yang berbeda-beda. Semakin beragam pangan yang dikonsumsi, maka semakin baik zat gizi yang diterima oleh tubuh. Status gizi yang baik dapat mencerminkan baik atau buruknya ketahanan pangan suatu keluarga(Amaliyah, 2011). Baik atau buruknya ketahanan pangan suatu keluarga dapat diketahui dengan mengukur ketahanan pangan keluarga tersebut. Ketahanan pangan keluarga adalah tingkatan dari suatu keluarga yang mampu menyediakan bahan makanan yang cukup, aman, dan bergizi dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari untuk dapat hidup aktif dan sehat. Menurut Rumalean (2013) yang mengutip pendapat Handewi (2004), terdapat empat ketahanan pangan tingkat keluarga, yaitu : (i) keluarga tahan pangan, (ii) keluarga rentan pangan, (iii) keluarga kurang pangan, dan (iv) keluarga rawan pangan (Rumalean, 2013). Secara nasional, proporsi keluarga yang tergolong rentan
Universitas Sumatera Utara
pangan mencapai lebih dari 47%. Data distribusi keluargadi Indonesia menurut ketahanan pangan keluarga dan provinsi di Indonesia tahun 1999, provinsi yang rentan ketahanan pangan keluarganya paling tinggi adalah Provinsi NAD yaitu sebesar 68,92% (Badan Pusat Statistik, 1999). Penentuan derajat ketahanan pangan di tingkat keluarga memerlukan beberapa faktor. Faktor penentu utama ketahanan pangan di tingkat keluarga adalah akses (fisik dan ekonomi) terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut (Purwantini dkk, 2000). Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengukur derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Metode pengukuran ketahanan pangan keluarga yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Jonnson dan Toole (1991) yang menggabungkan dua indikator ketahanan pangan yaitu tingkat pengeluaran pangan dan kecukupan konsumsi energi (Ariani M & Handewi PSR, 2003). Menurut Amaliyah (2011), tingkat konsumsi dan kualitas pangan yang dikonsumsi oleh suatu keluargaditentukan oleh berbagai faktor. Faktor pendapatan merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi pola konsumsi rumah tangga. Pendapatan yang semakin tinggi menunjukkan daya beli yang semakin meningkat, sehingga meningkat pula aksesibilitas terhadap pangan dengan kualitas yang baik (Amaliyah, 2011). Tingkat pengeluaran pangan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menganalisis ketahanan pangan rumah tangga. Tingkat pengeluaran pangan adalah biaya yang dikeluarkan untuk makanan oleh suatu keluarga dalam waktu
Universitas Sumatera Utara
setiap bulannya dan membandingkannya dengan total pengeluaran per bulan. Semakin besar tingkat pengeluaran pangan berarti ketahanan pangan suatu keluarga semakin berkurang. Semakin tingginya kesejahteraan masyarakat suatu negara, maka besar tingkat pengeluaran pangan keluarganya semakin kecil, demikian sebaliknya (Amaliyah, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ariani dkk (2003) diperoleh bahwa terdapat keluarga di Indonesia yang tidak memiliki akses yang cukup terhadap pangan. Diketahui pada tahun 2003, sebanyak 47,3% keluarga di Indonesia tergolong keluarga yang rentan pangan dengan faktor akses yang menjadi penyebab utama masalah ini. Keluarga rentan pangan dapat dilihat dari tingkat pengeluaran pangan sebesar lebih dari 60% dan konsumsi energi lebih dari 80% kecukupan konsumsi energi yang seharusnya (Ariani M & Handewi PSR, 2003). Menurut hasil penelitian Handewi (2004) yang dikutip oleh Rumalean (2013) dengan menggunakan data SUSENAS yang dilakukan oleh BPS tahun 1999, diperoleh bahwa sebesar 30% keluarga di Indonesia tergolong rawan pangan. Ketahanan pangan memiliki kaitan yang erat dengan status gizi. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Natalia dkk (2013) di Desa Gondangwinangun, terdapat sebanyak 89,2% keluarga yang tergolong tahan pangan dengan status gizi batita yang baik (Natalia dkk, 2013). Berdasarkan laporan Badan Pusat Satistik Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012, secara garis besar pengeluaran masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang tertinggi berasal dari pengeluaran untuk konsumsi keluarga. Pada tahun 2012, pengeluaran
Universitas Sumatera Utara
konsumsi keluarga di Kabupaten Aceh Tamiang mencapai Rp 989.422,87 sedangkan pengeluaran bukan untuk konsumsi keluarga mencapai Rp 799.295,12. Dapat dilihat pengeluaran untuk konsumsi keluarga sangat besar, yaitu melebihi separuh dari pengeluaran keluargabukan untuk konsumsi. Hal ini dapat menjadi landasan untuk mengukur ketahanan pangan keluargadi sekitar wilayah Aceh Tamiang (Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tamiang, 2013). Konsep ketahanan pangan keluarga ditekankan pada akses pangan dari keluargatersebut. Data anak seperti angka kematian bayi, berat bayi lahir rendah (BBLR), serta data gangguan pertumbuhan pada anak (bayi maupun balita) dapat menunjukkan adanya indikasi belum terpenuhinya kebutuhan gizi di setiap anggota keluargadalam suatu keluarga. Keadaan ini dapat menjadi suatu cerminan bahwa ketahanan pangan keluargatersebut masih lemah. Penyebab utama lemahnya ketahanan pangan tersebut adalah kemiskinan yang menyebabkan keluarga tidak mampu membeli pangan untuk mencukupi kebutuhan mereka. Menurut profil Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012, kasus kematian bayi di Kabupaten Aceh Tamiang ada sebanyak 90 kasus dari 5.699 kelahiran hidup atau sebesar 16 per 1000 kelahiran hidup. Selain itu, adanya peningkatan kasus gizi buruk balita pada tahun 2012 berdasarkan indikator BB/TB dan atau disertai dengan gejala klinis yang terjadi di daerah Kabupaten Aceh tamiang yakni sebanyak 116 orang balita dari 22.680 balita yang ditimbang. Data tersebut dapat mengindikasikan ketahanan pangan keluarga di daerah Kabupaten Aceh Tamiang tergolong masih lemah (Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tamiang, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten Aceh Tamiang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam yang menduduki urutan ke-6 kabupaten dengan jumlah penduduk miskin terbesar di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 45.300 jiwa atau sebesar 17,49% (Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, 2011). Kabupaten Aceh Tamiang terdiri dari 12 kecamatan dan penduduk utamanya adalah Suku Tamiang yang paling banyak terdapat di Kecamatan Kota Kualasimpang. Daerah yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Kota Kualasimpang, yakni sebanyak 4185 orang/km2 dengan penduduk terbanyak terdapat di daerah Kampung Kotalintang (Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tamiang, 2013). Berdasarkan hasil kegiatan survei pendahuluan yang dilakukan, Kampung Kotalintang terbagi atas dua bagian, yaitu Kota Lintang Atas dan Kota Lintang Bawah. Kampung Kotalintang Atas adalah daerah yang tidak dialiri oleh Sungai Tamiang dan
mayoritas penduduknya adalah bukan suku asli atau bukan Suku
Tamiang, melainkan Suku Aceh yang berasal dari Banda Aceh, Bireun, dan Lhokseumawe, dan kebanyakan penduduknya bekerja sebagai pedagang. Sedangkan Kotalintang Bawah merupakan daerah langsung yang dialiri oleh Sungai Tamiang dan mayoritas penduduknya adalah bersuku asli atau suku Tamiang. Banyaknya penduduk miskin ataupun keluargamiskin dapat dilihat dari banyaknya penduduk yang memilih untuk bekerja di sektor informal, dikarenakan penduduk Kampung Kotalintang Bawah lebih memilih untuk bekerja daripada bersekolah, sehingga daerah ini tergolong daerah dengan pendidikan rendah. Hal ini dapat dilihat dari
Universitas Sumatera Utara
jumlah penduduk yang tidak tamat SD sebanyak 1904 jiwa. Mereka lebih memilih untuk bekerja daripada bersekolah (Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tamiang, 2013). Data penduduk untuk wilayah Kampung Kotalintang Bawah pada bulan Desember tahun 2013 terdiri dari 671 keluarga dan kebanyakan penduduk Kampung Kotalintang Bawah bekerja di sektor informal yaitu sebagai buruh kayu dan buruh tambang pasir, dimana sebagian besar penduduk Kota Lintang Bawah memilih bekerja sebagai buruh kayu dibandingkan dengan buruh tambang pasir. Mereka berpendapat bahwa pendapatan dari bekerja sebagai buruh kayu lebih tinggi dibandingkan sebagai buruh tambang pasir. Sebagai buruh kayu, mereka menggantungkan hidupnya kepada keadaan Sungai Tamiang. Sungai Tamiang merupakan media transportasi untuk membawa kayu dengan menggunakan rakit. Keadaan Sungai Tamiang sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca yang saat ini tidak bisa diprediksikan. Jika terjadi gangguan pada Sungai Tamiang, misalnya terjadi banjir ataupun air surut, maka aktivitas kerja terganggu sehingga masyarakat yang bekerja sebagai buruh kayu tidak dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hal ini menyebabkan kurangnya pendapatan dari keluarga buruh kayu tersebut (Kantor Datok Penghulu Kampung Kota Lintang, 2013). Pendapatan buruh kayu diukur dari berapa ton kayu yang ia kerjakan selama satu hari kerjanya. Jenis upah berbeda-beda sesuai dengan tingkat jenis pekerjaannya dan besarnya risiko kerja yang ditanggung. Jika dihitung secara kasar, pendapatan buruh kayu yang dapat diperolehnya selama sebulan bisa mencapai Rp. 450.000
Universitas Sumatera Utara
hingga 1.500.000. Namun, pendapatan tersebut tidak pasti dapat diperoleh setiap bulannya. Hal ini diakibatkan oleh pengaruh cuaca yang memengaruhi keadaan Sungai Tamiang, sehingga pendapatan sebulan hanya seadanya saja. Buruh kayu merupakan pekerjaan dengan risiko besar dengan jam kerja yang tinggi. Maka dari itu, diperlukan asupan nutrisi yang baik untuk menjalankan hidupnya. Ketika terjadi ketidakstabilan pendapatan, keluarga buruh kayu hanya dapat belanja seadanya saja. Faktor kurangnya pendapatan dari suatu rumah tangga, pada akhirnya dapat berhubungan dengan tingkat status gizi dari setiap anggota keluarga buruh kayu. Tingkat status gizi setiap anggota keluarga dari buruh kayu akan memengaruhi tingkat produktivitas dari setiap anggota keluarga, dan akhirnya dapat memengaruhi dari kualitas sumber daya manusia Kabupaten Aceh Tamiang (Serambi Indonesia, 2012). Berdasarkan hasil pengamatan pada survei pendahuluan, kebanyakan status gizi buruh kayu cenderung lebih mengarah kepada status gizi lebih atau obese. Kurangnya pendapatan karena tidak tentunya jumlah besar pendapatan yang diperoleh setiap bulan oleh mayoritas buruh kayu di kampung kota lintang bawah, tidak menjadikan mereka untuk membatasi pengeluaran konsumsi pangan. Banyaknya makanan berkalori tinggi yang dijual dengan harga murah di daerah Kampung Kotalintang, misalnya seperti nasi gurih, lontong, bakso, siomay, sate matang dan jajanan pasar lainnya yang dapat memengaruhi perilaku konsumsi pangan masyarakat di daerah tersebut terutama keluarga buruh kayu. Masyarakat Kampung Kotalintang pada umumnya lebih mementingkan kuantitas makanan yang dikonsumsi
Universitas Sumatera Utara
untuk memenuhi kebutuhan biologisnya (rasa lapar) dari pada kualitas makanan yang dikonsumsi oleh setiap anggota keluarganya. Hal ini pun dapat memengaruhi status gizi dari keluarga buruh kayu. Kemiskinan ataupun kurangnya pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan keluargauntuk menyediakan pangan yang cukup dan bergizi bagi seluruh anggota keluarganya sehingga, dapat menyebabkan lemahnya ketahanan pangan dalam suatu rumah tangga, yang nantinya membawa pengaruh terhadap kurangnya asupan zat gizi. Kondisi ini dapat menurunkan status gizi yang dapat berakibat buruk pada produktivitas buruh kayu maupun anggota keluarganya. Maka dari itu, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Ketahanan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Keluarga Buruh Kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh Tahun 2014”.
1.2
Permasalahan Berdasarkan hal tersebut, dirasa perlu untuk mengetahui bagaimana hubungan
ketahanan pangan keluarga dengan status gizi keluarga buruh kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh tahun 2014.
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan
ketahanan pangan keluargadengan status gizi keluarga buruh kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang.
Universitas Sumatera Utara
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketahanan pangan keluarga, menganalisis status gizi keluarga, menganalisis tingkat pengeluaran pangan keluarga sebulan terhadap total pengeluaran sebulan, menganalisis tingkat kecukupan konsumsi energi rata-rata keluarga, menganalisis penyakit infeksi, serta menganalisis tingkat pengetahuan gizi ibu.
1.4
Hipotesis Ada hubungan antara ketahanan pangan keluarga dengan status gizi keluarga
buruh kayu di Kampung Kotalintang Kecamatan Kota Kualasimpang Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh.
1.5
Manfaat Penelitian Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai suatu indikator untuk
menggambarkan ketahanan pangan keluarga yang bekerja di sektor informal, sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan di bidang pangan dan gizi dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat dilihat dari ketahanan pangan keluarga. Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan untuk menentukan kebijakan dalam peningkatan status gizi masyarakat, terutama pekerja di sektor informal dengan jumlah pendapatan per bulan di bawah upah minimum provinsi.
Universitas Sumatera Utara