1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. 1 Good Governance (tata pemerintahan yang baik) telah lama menjadi mimpi banyak orang Indonesia. Kendati pemahaman mengenai good governance berbeda-beda, sebahagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak diantara mereka membayangkan bahwa dengan memiliki praktik governance yang lebih baik maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semakin rendah dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga. 2 Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai cita-cita/tujuan nasional buat seluruh rakyat dan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam alinea ke empat pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: 3
1
L.P. Sinambela, Ilmu dan Budaya, Perkembangan Ilmu Administrasi Negara, ( Edisi Desember, 1992), h.198 2 Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, (yogyakarta; Ghajah Mada University Pres, 2006), h.1 3 Faisal Akbar, Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, (Medan; Pustaka Bangsa Press, 2003), h.43
1
2
“… Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social …”. Dalam rangka mewujudkan tujuan nasional tersebut maka harus dilaksanakan serangkaian program pembangunan dalam berbagai sektor diseluruh penjuru tanah air, tujuan akhir dari rangkaian pembangunan itu adalah guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dalam artian sejahtera secara lahiriah dan batiniah. Dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) disebutkan pula bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Ini berarti bahwa Negara yang berbentuk negara kesatuan, maka segenap kekuasaan atau kewenangan serta tanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia berada di bawah kendali satu pemegang kekuasaan terpusat yang terdapat pada Pemerintah Pusat. Dengan demikian corak sistem pemerintahan tersebut adalah bersifat sentralisasi. Namun karena wilayah Negara Republik Indonesia sedemikian luasnya dan didiami berbagai suku bangsa yang beraneka ragam, maka corak pemerintahan sentralis bukanlah tipe ideal sistem pemerintahan yang cocok untuk mengatur wilayah dan penduduk yang demikian banyak dan beragam itu, untuk itu diaturlah corak pemerintahan di Indonesia berdasarkan sistem pembagian kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berdasarkan corak desentralisasi sebagaimana tercermin dalam Pasal 18 UUD 1945. 4 Berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUD 1945, yang membagi wilayah Indonesia dalam daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Dengan adanya pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan 4
Ibid., h.44-45
3
daerah kota diharapkan dapat mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance), yang berarti juga adanya peningkatan pelayanan publik. Pemerintah menyadari bahwa kondisi pelayanan publik selama ini belum cukup baik, walaupun era reformasi telah berlangsung mulai tahun 1997, kualitas pelayanan publik tetap tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya. Masih banyak masyarakat yang mengalami kekecewaan terhadap pelayanan publik. 5 Mewujudkan good governance dalam praktik pemerintahan sehari-hari tentu bukan hal yang mudah. Disamping komitmen yang kuat pemerintah perlu mengambil dan menggunakan strategi yang tepat. Luasnya cakupan, kompleksitas masalah serta keterbatasan sumber daya dan kapasitas pemerintah mengharuskan pemerintah mengambil pilihan yang strategis untuk pengembangan praktik good governance. Pemerintahan yang baik hanya akan tercapai di daerah, kalau pemerintahan pusat membuat rambu-rambu di tingkat pusat yang bisa menekan pemerintahan daerah untuk melakukan perubahan. Contohnya masyarakat bisa berpartisipasi kalau ada aturan atau perda yang mengatur partisipasi. Tapi, perda itu bisa terbentuk kalau pemerintah pusat membuat aturan yang mewajibkan pemerintah daerah membuat perda yang memberikan akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Jadi harus ada intervensi pemerintah pusat itu melalui perundangan yang mewajibkan pemerintah
5
Amansyah Nasution, Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dalam Rangka Mewujudkan Good Governance, Makalah, Disampaikan pada Orasi Ilmiah Widyaiswara Utama, (Medan; Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Badan Pendidikan dan Pelatihan, 2006), h. 2
4
daerah melakukan sejumlah hal dalam rangka menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik. Itu akan sangat membantu terciptanya good governance.6 Prinsip-prinsip good governance antara lain: adanya partisipasi, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, kesetaraan gender, efektifitas, efisiensi, keadilan dan lain-lain. Tidak dapat dipungkiri pentingnya penegakan prinsip transparansi untuk mengefektifkan pengawasan oleh masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan itu pulalah jajaran birokrasi dalam menjalankan prinsip transparansi itu harus membangunnya dengan cara memformulasikannya atas dasar informasi yang bebas. Di mana seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan harus dapat diakses masyarakat. Selain itu informasi yang tersedia harus mudah dipahami dan akurat.7 Proses-proses membangun pemerintahan yang baik itu memerlukan strategi, komitmen dan keinginan para pelaku pembangunan di daerah. Para pelaku dan penentu kebijakan di daerah haruslah menyadari bahwa keberadaan mereka merupakan pemegang amanah dalam suatu priode waktu tertentu, sehingga harus memiliki agenda terarah yang pasti dan realistik untuk dilakukan. 8 Berbicara tentang good governance (tata pemerintahan yang baik) tidak terlepas dari peningkatan kualitas pelayanan publik. Dengan perkataan lain salah satu wujud good governance adalah pelayanan publik yang prima atau pelayanan publik yang baik, artinya pelayanan administrasi, pelayanan jasa, sarana dan prasarana telah 6
Eko Prasojo, Good Governance Butuh Komitmen Politik Kepala Daerah, (Jakarta; Jurnal Nasional, Opini dan Debat, 6 Maret 2007), h.2 7 Bismar Nasution, Prinsip Transparansi Mutlak dalam Good Governance, (Jakarta; Jurnal Nasional Opini dan Debat, 6 Maret 2007), h.2 8 Laode Ida, Tata Kelola Pemda Yang Baik, (Jakarta; Jurnal Nasional Opini dan Debat, 6 Maret 2007), h. 3
5
benar-benar memenuhi aspirasi masyarakat dengan mengikut sertakan partisipasi aktif masyarakat. Secara Umum, ada dua hal yang ditegaskan dalam pelaksanaan peningkatan kualitas pelayanan publik. Pertama standarisasi yaitu adanya standar yang jelas mengenai persyaratan pelayanan, prosedur, waktu dan biaya. Kedua, transparansi yaitu seluruh persyaratan dan standar tersebut harus dapat diketahui secara jelas oleh masyarakat. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik, Pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan. Pada tahun 2004, melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2004 Presiden telah mengintruksikan kepada seluruh jajarannya untuk melaksanakan percepatan pemberantasan korupsi, antara lain dengan mewujudkan good governance dan meningkatkan pelayanan publik serta meniadakan pungutan liar. Pemerintah juga telah mencanangkan tahun 2004 sebagai tahun peningkatan pelayanan publik. 9 Akhir tahun 2004, tepatnya 15 Oktober 2004 pemerintah memberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pejelasan Umum poin 1, Dasar Pemikiran huruf b UU No. 32 Tahun 2004 memuat prinsip otonomi daerah. Menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. 9
Lihat Sambutan Menteri PAN Faisal Tamin, dalam buku Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Melalui Partisipasi Masyarakat Dalam Rangka Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik (Buku I Manual Praktis), Kementerian PAN dan GTZ, (Jakarta; Kementerian PAN; 2004), h.3
6
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan, prakarsa dan memberdayakan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. 10 Dari penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2004 di atas terlihat dengan jelas bahwa salah satu tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur secara konkrit apa saja yang menjadi urusan pemerintahan, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; 10
Lihat Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertahanan; l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Dari uraian di atas urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota, secara keseluruhan bertujuan peningkatan pelayanan publik yang akomodatif, aspiratif sesuai dengan ke khasan dan kondisi masyarakat setempat. Dengan demikian dapat dikatakan pemerintah telah berupaya dalam penyelenggaraan pemerintahan kearah terwujudnya tata pemerintahan yang baik (good governance), walaupun dalam kenyataannya atau pelaksanaannya belum optimal sesuai dengan pengharapan masyarakat dan tujuan nasional bangsa Indonesia. Pemerintah Daerah Kota Medan sebagai salah satu pemerintahan daerah kota yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Pemerintah Kota Medan telah berupaya dalam meningkatkan pelayanan publik, dengan adanya program pengurusan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi masyarakat Kota Medan tidak dikenakan biaya administrasi. Ini menunjukkan upaya yang serius dalam peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, meskipun dalam peraktiknya di lapangan masih banyak warga masyarakat tetap membayar biaya administrasi
8
tersebut. Keadaan seperti ini terjadi karena adanya oknum aparat pemerintahan yang tidak memiliki moral yang baik. Di samping itu dikarenakan kurangnya pemahaman aparat pemerintah daerah akan tujuan otonomi daerah serta ketidak tahuan masyarakat. Keberadaan Kota Medan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara, kondisi ini membuat pembangunan fisik Kota Medan mengalami perkembangan yang pesat, seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi (dunia usaha). Pembangunan pertokoan maupun perumahan penduduk berkembang dengan pesat. Setiap pendirian bangunan baik bangunan untuk dunia usaha maupun pendirian rumah penduduk harus memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Medan. Pengaturan mengenai Izin Mendirikan Bagunan (IMB) di Kota Medan diatur dalam Peraturan Daerah Kota Medan No. 9 Tahun 2002 tentang Izin Mendirikan Bangunan, Keputusan Walikota Medan No. 62 Tahun 2002 tentang Petunjuk Teknis Izin Mendirikan
Bangunan dan Keputusan Walikota Medan No. 3 Tahun 2005
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan. Pemberian Izin Medirikan Bangunan (IMB) merupakan salah satu bentuk pelayanan publik. Di samping itu IMB merupakan salah satu retribusi Kota Medan yang berarti sumber pendapatan daerah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang berjudul; “ Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Mengenai Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance (Studi di Kota Medan)”. Dengan penelitian ini maka dapat diketahui bagaimana prosedur
9
penerbitan Surat Izin Mendirikan Bangunan, bagaimanakah kualitas pelayanan publik dalam pengurusan IMB, upaya-upaya apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan dalam peningkatan pelayanan publik tersebut dan hubungannya dengan good governance, sehingga penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan atau pertimbangan bagi Pemerintah Kota Medan dalam meningkatkan pelayanan publik untuk masa-masa yang akan datang dalam rangka perwujudan tata pemerintahan yang baik.
B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kualitas pelayanan publik
mengenai pengurusan Izin
Mendirikan Bangunan di Kota Medan. 2. Bagaimanakah penerapan prinsip-prinsip good governance dapat mendorong peningkatan pelayanan publik dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan di Kota Medan.
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui kualitas pelayanan publik mengenai pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota Medan.
10
2. Untuk mengetahui penerapan prinsip-prinsip good governance dapat mendorong peningkatan pelayanan publik dalam pengurusan IMB di Kota Medan.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Sebagai
bahan
informasi
tentang
data
empiris
yang
dapat
dipergunakan sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya. b. Dapat dipergunakan untuk menambah khasanah perpustakaan 2. Manfaat Praktis a. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang bertempat tinggal di Kota Medan untuk lebih mengetahui kualitas pelayanan
publik
mengenai
pengurusan
IMB
dalam
rangka
terwujudnya good governance, yang dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk meningkatkan SDM aparat pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik di Kota Medan, sehingga terwujud good governance yang dicita-citakan. b. Sebagai bahan
masukan dan
pertimbangan
bagi pemerintah,
khususnya Pemerintah Daerah Kota Medan dalam hal mengambil kebijakan yang berhubungan dengan upaya peningkatan pelayanan
11
publik dan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mewujudkan good governance.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran di perpustakaan terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan atau penelitian yang sedang dilakukan, berkaitan dengan kualitas pelayanan publik, penelitian tentang: “Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Mengenai Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam Rangka Mewujudkan Good Governance (Studi di Kota Medan)”, belum pernah diteliti sebelumnya. Oleh karena itu penelitian ini asli baik dari segi materi maupun lokasi penelitian. Dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Menentukan suatu teori dalam penelitian adalah penting, sedemikian pentingnya sehingga David Madsen sebagaimana dikutip Lintong O. Siahaan mengatakan: “The basic purpose of scientific research is theory. He adds that a good theory, properly seen, present a systematic view of phenomena by specifying realitions among cariables, with the purpose of exploring and predcting the phenomena”.11
11
Lintong O. Siahaan, Prospek PTUN Sebagai Penyelesaian Sengketa Admnistrasi di Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta; Perum Percetakan Negara RI, 2005), h.5
12
Kerangka teori untuk menganalisis peningkatan kualitas pelayanan publik mengenai pengurusan IMB dalam rangka mewujudkan good governance (Studi di Kota Medan) adalah menggunakan teori kualitas pelayanan publik dan teori negara kesejahteraan (Welfare State). Pelayanan yang baik dalam penyelenggaraan Pemerintahan adalah sarana menuju masyarakat negara yang sejahtera (Welfalre state). Pelayanan dimaksud pada dasarnya merupakan cermin dari perbuatan Pemerintah (Overheidshandeling) yang tidak saja harus berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku (Wetmatighed dan Rechtmatigheid), akan tetapi lebih dari itu bahwa administrasi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan harus juga berdasarkan kepatutan (billijkheid) serta kesusilaan. 12 Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari: 13 1. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti; 2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 12
Muhammad Abduh, Propil Hukum Administrasi Negara Indonesia (HANI) Dikaitkan Dengan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), (Medan: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Mata Pelajaran Hukum Administrasi Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1988), h. 9 13 Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik; Teori Kebijakan dan Implementasi, (Jakarta; Bumi Aksara, 2006), h.6
13
3. Kondisionil, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas; 4. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat; 5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain; 6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberian dan penerima pelayanan publik. Dari uraian di atas suatu pelayanan publik dianggap berkualitas bila telah memenuhi ke enam unsur tersebut di atas. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pelayanan, namun yang paling signifikan untuk diterapkan dalam lembaga pemerintah adalah: 14 1. function: kinerja primer yang dituntut; 2. confirmance: kepuasan yang didasarkan pada pemenuhan persyaratan yang telah ditetapkan; 3. reliability: kepercayaan terhadap jasa dalam kaitannya dengan waktu; 4. serviceability: kemampuan untuk melakukan perbaikan apabila terjadi kekeliruan; 14
Fandy T, Total Quality Service, (Yogyakarta; Penerbit Andi, 1997), h.14
14
5. adanya assurance yang mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan. Teori Negara kesejahateraan (welfare State), teori tersebut merupakan perwujudan dari Grand theory Montesquieu yaitu ajaran pemisahan kekuasaan (speration of power) yang terdiri dari kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang) dan kekuasaan yudikatif (mengadili pelanggaran undang-undang). Trias Politika tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen. Dalam perkembangannya ajaran Trias Politika ini mendapat berbagai modifikasi terutama melalui pembagian kekuasaan (distribution of power). 15 Secara teoritis diungkapkan bahwa kekuasaan itu dapat dibagi dengan dua cara yaitu: a. secara vertikal, pembagian kekuasaan menurut tingkatnya maksudnya ialah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan. Carl J.Frederich memakai istilah pembagian kekuasaan. Ini dapat dengan jelas kita bandingkan antara negara kesatuan federasi dan konfederasi. b. Secara horizontal, pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Pembagian ini menunjukkan perbedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif yang lebih dikenal dengan trias politica atau pembagian kekuasaan (division of power). 16 Menurut C.F.Strong, negara kesatuan adalah bentuk negara di mana wewenang
legislatif
lebih
tinggi
dipusatkan
dalam
satu
badan
legislatif
nasional/pusat. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan 15
H.R.Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Pertama, (Yogyakarta; UII Press,
2002), h.12 16
Mhd.Sihiddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, Cetakan Pertama, (Jakarta; Pradinya Paramita, 2003), h.167
15
sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap pada pemerintah pusat. Jadi kedaulatannya, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan keluar, sepenuhnya terletak pada pemerintah pusat. Dengan demikian yang menjadi hakekat negara kesatuan ialah bahwa kedaulatannya tidak terbagi, atau dengan perkataan lain, kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi, oleh karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain, selain badan legislatif pusat. Jadi adanya kewenangan untuk membuat peraturan bagi daerahnya sendiri itu tidak berarti bahwa pemerintah daerah itu berdaulat, sebagai pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap pada pemerintah pusat. 17 Sejalan dengan pendapat C.F.Strong tersebut menurut I.Nyoman Sumaryadi mengemukakan: Otonomi daerah sebagai perwujudan pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan pada hakekatnya merupakan penerapan konsep areal devision of power yang membagi kekuasaan secara vertikal yaitu pembagian kekuasaan negara antara pemerintah pusat disatu pihak dan pemerintah daerah dipihak lain. 18 Seiring dengan perkembangan kenegaraan dan pemerintahan, ajaran negara hukum yang kini dianut oleh negara-negara di dunia khususnya setelah perang dunia kedua adalah negara kesejahteraan (welfare state). Konsep negara ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state atau negara penjaga malam. Dalam konsep 17
Ibid., h.167-168 I.Nyoman Sumaryadi, Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, (Jakarta; Citra Utama, 2005), h.9 18
16
legal state terdapat prinsip staats onthouding atau pembatasan peran negara dan pemerintah dalam bidang politik yang melahirkan dalil “the least government is the best government” dan terdapat prinsip laissez faire, laissez aller dalam bidang ekonomi yang melarang negara dan pemerintah mencampuri kehidupan ekonomi masyarakat (staatbenoeienis). Akibat pembatasan ini pemerintah atau administrasi negara menjadi pasif dan oleh karenanya sering disebut negara penjaga malam (nachwakerstaad). Adanya pembatasan negara, gagasan yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya yaitu welfare. 19 Negara kesejahteraan (welfare state) menurut istilah Lemaire, disebut bestuuszorg (negara berfungsi menyelenggarakan kesejahateraan umum) atau welvaarsstaat atau verzorgingsstaat merupakan konsepsi negara hukum modern, menempatkan peranan negara pada posisi yang kuat dan besar. Tugas dan wewenang serta tanggungjawab pemerintah semakin berkembang dan bertambah luas baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Tugas-tugas baru terus bertambah sementara tugas-tugas lama semakin berkembang. Akhirnya sekarang ini konsepsi negara hukum modern ini menimbulkan dilema yang penuh kontradiksi, sebab suatu negara hukum modern mengharuskan setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas hukum
19
Ridwan, Op.Cit., h.4
17
dan bersamaan dengan itu kepada pemerintah diserahi pula peran, tugas dan tanggungjawab yang luas dan berat. 20 Dalam
rangka
melaksanakan
tugas
menyelenggarakan
kesejahteraan
masyarakat tersebut harus diatur oleh hukum. Namun karena luas dan kompleksnya permasalahan masyarakat yang dihadapi, maka ternyata tidak semua tindakan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah tersebut tersedia aturannya dalam undang-undang, karena itu timbul konsekuensi khusus di mana pemerintah memerlukan kemerdekaan bertindak atas inisiatif sendiri, utamanya dalam menyelesaikan masalah-masalah urgensi yang timbul dengan sekonyong-konyong. Sedangkan peraturan untuk menyelesaikannya belum ada atau samara-samar atau dirumuskan dengan sangat sumir dan samara-samar atau dengan kata-kata yang sangat umum. Hal demikian disebut discretionary power atau pouvair discretionaire atau freies ermessen.21 Konsep Negara Kesejahteraan (welfare state) berkembang di negara-negara Eropa bahkan meluas hampir ke seluruh negara-negara di dunia. Konsep negara kesejahteraan tercantum dalam pembukaan alinea ke empat UUD 1945 yang menyatakan: “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial …”.
20
S.F.Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Cetakan Pertama, (Yogyakarta; Liberty, 1997), h.166-167 21 Ibid., h.167-168
18
Kemudian konsep negara kesejahteraan ini tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menyatakan: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Konsep welfare state tersebut di dalam perundang-undangan kita untuk pertama kali dikenal dengan istilah “negara pengurus”. 22. Negara Indonesia menganut paham sebagai negara kesejahteraan berarti terdapat tanggungjawab negara untuk mengembangkan kebijakan negara di berbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public service ) yang baik melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat. Dalam melaksanakan negara kesejahteraan (welfare state) ini pemerintah pusat, tidak mungkin bisa optimal untuk mengurus warganya secara sentralistik karena faktor luas wilayah, banyaknya penduduk, penduduk yang ber-bhineka maka untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat di daerah dibentuklah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota untuk mempercepat mewujudkan tujuan negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Landasan konstitusinnya dalam Pasal 18 UUD 1945 setelah perubahan. Sebagai pelaksanaannya maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
22
Jimly Asshiddiqie, Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Sebagaimana dikutip Siahaan, Op.Cit., h.18, Hal ini tercantum dalam perumusan UUD 1945 yaitu Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, selain itu UUD 1945 di samping sebagai konstitusi Politik, juga dapat dikatakan konstitusi ekonomi karena UUD 1945 mengandung ide Negara kesejahteraan (walfare state)
19
Konsep negara kesejahteraan di bidang pelayanan publik mengenai pengurusan IMB landasan konstitusinya pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Penelitian ini juga menggunakan “Stufentheorie” Hans Kelsen sebagai tower theory yang menyebutkan bahwa norma yang ada dalam masyarakat suatu negara telah merupakan susunan yang bertingkat, seperti suatu piramide. Setiap tata kaedah hukum merupakan suatu susunan daripada kaedah-kaedah (stufenbau des rechts). 23 Oleh Bagir Manan disebut dengan “Asas pertingkatan peraturan perundangundangan (lex superior derogate lex inperior). Penerapan hukum positif harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh sistem pertingkatan atau tata urutan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah. Asas pertingkatan hanya berlaku untuk hukum perundangundangan dan aturan kebijakan. 24 Dalam Pasal 2 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara hirarki di Indonesia adalah: 1. UUD 1945
23
Rosjidi Ranggawidjaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Cetakan Pertama,(Bandung; Mandar Maju, 1998), h.26 24 Bagir Manan, Hukum Positif di Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), Cetakan Pertama, (Yogyakarta; UII Press, 2004), h.56-57
20
2. TAP MPR 3. UU 4. PERPU 5. PP 6. KEPRES 7. PERDA Kemudian UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam Pasal 7 ayat (1) disebutkan jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah Pasal 7 ayat (4) disebutkan jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Ayat (5) disebutkan kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Selanjutnya dalam Lampiran Undang-Undang Negara Rebuplik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 mengenai sistmatika teknik penyusunan peraturan peundangundangan angka 173 menyatakan: Pendelegasian kewenangan mengatur dari undang-
21
undang kepada Menteri atau Pejabat yang setingkat dengan Menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif”. Dapat disimpulkan bahwa peraturan yang mengatur teknis administratif di bidang pertanahan merupakan jenis peraturan perundang-undangan pemerintah pusat. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah sebagaimana disebut dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 136 ayat (3) yang menyatakan: “Peraturan Daerah … Merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi…”Kemudian Pasal 136 ayat (4) menyatakan: “Peraturan Daerah…dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Oleh sebab itu Peraturan Daerah yang mengatur pelaksanaan kewenangan di bidang pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam penelitian ini peneliti mengacu kepada hirarki perundang-undangan berdasarkan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
2. Kerangka Konsepsi Dalam kerangka konsepsi akan dijelaskan hal-hal yang berhubungan atau berkaitan dengan konsepsi yang digunakan penelitian dalam penelitian tesis ini. Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan
22
observasi, antara abstraksi (generalisasi) dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai, selain itu dipergunakan sebagai landasan pada proses penelitian tesis. Penelitian dengan judul: “Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Mengenai Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance (Studi di Kota Medan)”, memiliki empat (4) variable: a. Kualitas Kualitas adalah mutu atau standar kelayakan yang dipakai dan diakui banyak orang, suatu benda atau prodak dianggap berkualitas jika telah memenuhi standar yang berlaku dan pelanggan merasa puas atau senang dan diterima oleh umum. Demikian juga dengan kualitas dalam pelayanan publik. Definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karekteristik langsung dari suatu prodak seperti: 1. Kinerja (performance) 2. Keandalan (reliability) 3. Mudah dalam penggunaan (ease of use) 4. Estetika (esthetics)
23
Adapun dalam definisi strategis dinyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customer) 25 Menurut Gaspersz 26 mengemukakan bahwa pada dasarnya kualitas mengacu kepada pengertian pokok: 1. Kualitas terdiri atas sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung, maupun keistimewaan atraktif yang
memenuhi keinginan
pelanggan, dan memberikan kepuasan atas penggunaan produk. 2. Kualitas terdiri atas segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan. Bila kedua kualitas tersebut dipenuhi, maka pelayanan yang diberikan telah berkualitas. Ada beberapa faktor yang menghambat dalam pengembangan sistem manajemen kualitas, antara lain: 27 1. Ketiadaan komitmen dari manajemen; 2. Ketiadaan pengetahuan dan kekurangan pahaman tentang manajemen kualitas bagi aparatur yang bertugas melayani; 3. Ketidak mampuan aparatur mengubah kultur yang mempengaruhi kualitas manajemen pelayanan pelanggan;
25
Linjan Poltak Sinambela, Op.Cit., h.6 Gaspersz dalam Sampara Lukman, Manajemen Kualitas Pelayanan, STIA LAN Press, (Jakarta; 2000), h.9-10 27 Dadang Juliantara (Ed), Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Daerah Dalam Pelayanan Publik, Pembaharuan, (Yogyakarta; Pembaharuan, 2005), h.19-20 26
24
4. Ketidak tepatan perencanaan manajemen kualitas yang dijadikan pedoman dalam pelayanan pelanggan; 5. Pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan belum optimal; 6. Ketidak mampuan membangun learning organization, learning by the individuals dalam organisasi; 7. Ketidak sesuaian antara struktur organisasi dengan kebutuhan ; 8. Ketidak cukupan sember daya dan dana; 9. Ketidak tepatan sistem penghargaan dan balas jasa bagi karyawan; 10. Ketidak tepatan mengadopsi prinsip manajemen kualitas ke dalam organisasi; 11. Ketidak tepatan dalam memberikan perhatian pada pelanggan, baik internal maupun eksternal; 12. Ketidak tepatan dalam pemberdayaan dan kerja sama. b. Pelayanan Publik Pelayanan publik pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara sesuai dengan peraturan atau tata cara yang ditetapkan. Berdasarkan Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003, publik adalah segala kegiatan pelayanan umum (publik) sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Izin Mendirikan Bangunan Peningkatan aktivitas-aktivitas pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah
25
mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun di mana pemerintah menginginkan dapat melakukan pengawasan seadanya, misalnya Izin Bangunan. Melalui izin ini larangan membangun bagi pemohon ditiadakan, sejauh menyangkut bangunan yang diuraikan dengan jelas dalam permohonan. Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundang-undangan. 28 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengaturan izin yang dibuat oleh pemerintah agar pemerintah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan dapat melakukan pengawasan demi terwujudnya ketertiban masyarakat, dan tatanan penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) merupakan satu bentuk izin yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah di mana permohonan Izin Mendirikan Bangunan tersebut dimohonkan. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah suatu izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan kewenangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dimohonkan oleh masyarakat dengan kewajiban memenuhi syarat-syarat permohonan Izin Mendirikan Bangunan. Jika syarat-syarat tersebut tidak lengkap maka pemerintah daerah tidak dapat memberikan atau mengeluarkan izin tersebut. Dengan perkataan lain Izin Mendirikan Bangunan baru diperoleh oleh pemohon, jika pemohon telah memenuhi syarat-syarat yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 28
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Utrecht, 1991, h.3-4
26
d. Good Governance (tata pemerintahan yang baik) Good governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan institusiinstitusi lain, yaitu LSM, perusahaan swasta maupun warga negara. Bahkan istitusi non pemerintah ini dapat saja memegang peran dominan dalam governance tersebut, atau bahkan lebih dari itu pemerintah tidak mengambil peran apapun “governance withbout government”.29 Dari uraian di atas dapat dikatakan good governance adalah penyelenggaraan negara yang melibatkan unsur lembaga swadaya masyarakat (LSM), swasta dan masyarakat, di mana dalam mengambil suatu kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan demi kepentingan masyarakat tidak semata-mata berada ditangan pemerintah tetapi adanya partisipasi aktif dari LSM, swasta dan masyarakat tersebut. Menurut UNDP (United Nation Development Program), good governance memiliki delapan prinsip: 30 1. Partisipasi 2. Transparansi 3. Akuntabel 4. Efektif dan efisien 5. Kepastian hukum 29
Samodra Wibawa, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Kumpulan Tulisan, (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 2006), h.77 30 Ibid., h. 79
27
6. Responsif 7. Konsensus 8. Setara dan inklusif Menurut USAID (United States Agency International Development), good governance memiliki 5 (lima) prinsip: 31 1. Efektivitas 2. Keadilan 3. Partisipasi 4. Akuntabilitas 5. Transparansi Dengan adanya perkembangan good governance, prinsip-prinsip good governance juga mengalami perkembangan: 32 1. Partisipasi 2. Penegakan hukum 3. Transparansi 4. Kesetaraan 5. Daya tanggap 6. Wawasan kedepan 7. Akuntabilitas 8. Pengawasan publik 31
Local Governance Support Program (LGSP), Pedoman Teknis; Local Governance Assesment (Jakarta; LGSP, 2006), h. 5 32 Lihat http:/www.goodgovernance.or.id/3M, 17 April 2007
28
9. Efektivitas dan efisiensi 10. Profesionalisme
G. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Sesuai dengan judul penelitian yaitu: Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Mengenai
Pengurusan
Izin
Mendirikan
Bangunan
(IMB)
Dalam
Rangka
Mewujudkan Good Governance (Studi di Kota Medan), maka lokasi penelitian dilakukan di Kota Medan. Pemilihan lokasi ini didasarkan kepada keberadaan Kota Medan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara yang memiliki laju perkembangan pembangunan yang pesat terutama pembangunan bidang fisik (bangunan). 2. Spesifikasi Penelitian Yang dimaksud dengan spesifikasi dalam penelitian ini adalah jenis, sifat dan pendekatan penelitian yang digunakan. a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipakai adalah normatif artinya melihat dan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang berhubungan dengan penelitian, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Pemerintah yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, UndangUndang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
29
Pelayanan Minimal, Peraturan Daerah Pemerintah Kota Medan Nomor 9 Tahun 2002 tentang Izin Mendirikan Bangunan, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Dengan harapan prosedur pengurusan IMB sesuai dengan kualitas pelayanan publik dalam rangka terwujudnya good governance. b. Sifat Penelitian Penelitian tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Mengenai Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance (Studi di Kota Medan), maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis . Bersifat deskriptif analisis karena akan menggambarkan dan menerangkan permasalahan hukum yang berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, kemudian akan dianalisis secara cermat apa saja yang menjadi dampak atau akibat yang timbul dari kualitas pelayanan publik mengenai pengurusan IMB dalam mewujudkan good governance. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) menurut Soerjono Soekanto terdiri dari: 33 penelitian terhadap asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian taraf singkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum. Sedangkan Bambang Sunggono membagi penelitian yuridis
33
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta; Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), h.51
30
normatif yang terdiri dari: 34 inventarisasi hukum positif, menemukan asas hukum dan doktrin hukum, menemukan hukum untuk suatu perkara inconcrito, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf singkronisasi, penelitian perbandingan hukum dan penelitian sejarah hukum. c. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat yuridis sosiologis yaitu hukum normatif yang terdapat pada PP No. 65 Tahun 2005, Perda Pemerintah Kota Medan No. 9 Tahun 2002 dan Kemenpan No. 63 Tahun 2003, diterapkan dalam peningkatan kualitas pelayanan publik mengenai pengurusan IMB dalam rangka mewujudan good governance dan upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik tersebut.
3. Sumber Data Sumber data pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari penelitian lapangan, yang diperoleh melalui obserpasi, hasil jawaban kuesioner dan wawancara di 6 (enam) kecamatan di Pemerintah Kota Medan. Kriteria memilih 6 kecamatan tersebut, karena tingkat pembangunan (bangunan fisik) di ke enam kecamatan tersebut cukup tinggi, di samping itu untuk membandingkan kecamatan di kawasan perkotaan dan kecamatan yang jauh dari kawasan perkotaan, ke enam kecamatan tersebut:
34
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan keenam, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2003), h.81-89
31
a. Kecamatan Medan Maimun b. Kecamatan Medan Petisah c. Kecamatan Medan Kota d. Kecamatan Medan Perjuangan e. Kecamatan Medan Area f. Kecamatan Medan Amplas Di mana masyarakat kecamatan tersebut sebagai responden berjumlah 10 orang setiap kecamatan dari ke enam kecamatan tersebut. Dengan purposif sampling, yaitu dipilih masyarakat kecamatan yang bersedia dijadikan responden di dalam penelitian ini, sehingga jumlah responden keseluruhan dalam penelitian ini 60 orang (60 n). Di samping itu juga diambil sebagai narasumber atau informan dalam penelitian ini adalah: a. Kepala Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan Kota Medan b. Kabag. Tata Bangunan Kota Medan c. Camat dari ke enam (6) kecamatan tersebut di atas d. Tokoh masyarakat Data sekunder meliputi bahan-bahan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, seperti ketentuan perundang-undangan antara lain: UUD 1945, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 28 Tahun 1998, UU No. 28 Tahun 2002, PP No. 65 Tahun 2005, Perda Pemko Medan No. 9 Tahun 2002, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negaran
No. 63/KEP/M.PAN/7/2003, SK Wali Kota Medan No. 62
Tahun 2002, SK Wali Kota Medan No. 3 Tahun 2005, SK Wali Kota Medan No. 24
32
Tahun 2004 dan peraturan perundangan yang berkaitan dengan penelitian tersebut. Di samping itu data sekunder berupa buku-buku refrensi, hasil-hasil penelitian, majalah, artikel, jurnal dan lain-lain.
4. Alat Pengumpulan Data Adapun alat yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian ini adalah dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) dan wawancara. Penggunaan teknik kuesioner untuk memperoleh data dari responden. Untuk memperoleh data yang diinginkan dibuat daftar pertanyaan dan kemudian diserahkan/dikirim kepada responden untuk mempelajari sekaligus dijawab oleh responden. Bentuk kuesioner yang dibuat adalah dalam bentuk terbuka dan tertutup dengan tujuan agar pencakupannya tidak kaku dan dapat menampung keinginan dari responden yang tidak tercantum dalam kuesioner. Kegiatan wawancara dilakukan terhadap narasumber atau informan untuk mengetahui lebih mendalam dan rinci tentang hal-hal yang tidak mungkin dapat dijelaskan responden dalam kuesioner, sehingga dengan adanya wawancara diharapkan dapat diperoleh data yang lebih luas dan akurat tentang masalah yang diteliti. 5. Analisis Data Setelah data primer diperoleh, maka dilakukan pengeditan data, sehingga keakuratan data dapat diperiksa dan bila ada kesalahan dapat diperbaiki dengan jalan menjajaki kembali kesumber datanya.
33
Setelah proses pengeditan data selesai dilaksanakan, maka proses selanjutnya pengolahan data yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Untuk data yang diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner, maka akan dikelompokkan atau diklasifikasikan sesuai dengan kelompok atau unit analisis yang telah ditentukan. b. Untuk data yang diperoleh dari hasil wawancara dilakukan penyederhanaan, yaitu dengan cara mengklasifikasikan hasil wawancara ke dalam kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan unit analisis variabel penelitian yang telah ditetapkan, cross chek kebenaran data yang diperoleh dari responden. c. Dalam melakukan penafsiran data dilakukan penyilangan-penyilangan antara unit analisis yang satu dengan unit analisis yang lain, apakah data tersebut saling mendukung atau saling bertentangan dan ditarik kesimpulan. Kemudian keseluruhan data, baik data primer maupun sekunder dianalisis dengan mempergunakan metode induktif dan deduktif melalui pendekatan kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban yang ada dalam penelitian ini.