BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Seti^ orang berhak dan wajib mendapatkan kesehatan dalam derajat yang optimal. Mereka pada dasamya ingin tetap sehat jasmani dan rohani, bahkan sebagian orang menginginkan derajat kesehatan yang lebih tinggi, itu sebabnya peningkatan derajat kesehatan hams tems-menems diupayakan untuk memenuhi hidup sehat (Yusuf Shofie, 2003 :120). Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pada Pasal 73 berbunyi: "Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan." Pembinaan yang dimaksud pada Pasal di atas diarahkan untuk: Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. 1. Terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang cukup, aman, bermutu dan teijangkau oleh semua lapisan masyarakat. 2. Melindungi masyarakat terhad^ segala kemungkinan kejadian yang d^qut menimbulkan gangguan dan/atau bahaya teiiiadap kesehatan. 3. Memberikan kemudahan dalam ran^a menunjang peningkatan upaya kesehatan.
1
4. Meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan. Diakui atau tidak, saat ini sedang atau telah tetjadi perubahan pola prilaku interaksi antaia penyedia jasa dan penerima jasa pelayanan kesehatan. Pasien tidak lagi semata-mata orang sakit yang memerlukan pertolongan dokter. Terjadi pergeseran orientasi (penyesuaian), dari pelaysman kesehatan beralih ke industri kesehatan.
Kemajuan teknologi semakin memperkuat industri
kesehatan, sayangnya kemajuan teknologi kodokteran belum diikuti oleh prilaku profesi yang akomodatifAyecsiM sesuai teiiiadap hak-hak pasien sebagai konsumen. Interaksi antara pemberi layanan kesehatan dan pasien masih patemalistik (Pasien umumnya hanya menerima saja apa kata dokter ^ u tenaga kesehatan lain). Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 53 angka 2 mengatakan bahwa tenaga kesehatan berkewajiban memenuhi standait profesi dan menghormati hak pasien. Hak itu antara lain: hak informasi, hak atas rahasia kedokteran, dan hak atas pendapat kedua (second opinion). Namun dalam kenyataan yang teijadi saat ini konsumen sering tidak mengerti tentang hal itu bahkan hak-haknya sebagai konsumen sering terabaikan. Secara realitasnya seringnya terjadi pelayanan yang diberikan oleh pihak pemberi pelayanan kesehatan (tenaga medis) tidak d£^at dilakukan dengan segera dan memuaskan bahkan sering teijadinya Malpraktek Mei/r'A/kelalaian dokter teiiiadap pasien sehingga tidak adanya jaminan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan bagi pasien sebagai
2
konsumen kesehatan yang sehanisnya mend^atkan jasa yang memuaskan dari pelayanan jasa kesehatan sebagai pelaku usaha. Dalam hal ini, pasien sebenamya merupakan faktor liveware/pcnimg. Pasien hams dipandang sebagai subjek yang memiliki "pengaruh besar" atas hasil akhir layanan bukaii sekedar objek. Hak-hak pasien hams dipenuhi mengingat kepuasan pasien menjadi salah satu "barometer mutu layanan" sedangkan ketidakpuasan pasien d ^ t menjadi pangkal tuntutan hukum. Dalam pemberian pelayanan jasa kesehatan tericait beberapa komponen, seperti tenaga medis, sarana kesehatan, dan pasien. Tenaga medis mempakan pihak yang memberi pelayanan kesehatan untuk menyembuhkan penyakit tertentu, sedangkan pasien mempakan pihak yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Pelaksanaan hubungan ketiganya selalu diatur dalam dalam peraturan-peraturan
tertentu agai* terjadi keharmonisan dalam menjalin
hubungan. Seperti diketahui hubungan tanpa peraturan akan menyebaUom kesimpangsiuran(WilaChandrawilaSupriadi, 2001:1) Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Periindungan Konsumen masyarakat khususnya pasien sebagai konsun^ kesehatan memiliki perlindungan diri dari kemungkinan upaya kesehatan yang tidak bertanggung jawab. Sebagai konsumen kesehatan, masyarakat memiliki sejumiah hak yang hams dihormati oleh pemberi jasa layanan kesehatan, hal ini terdapat pada Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
3
Konsumen Pasal 4. Hak-hak tersebut antara lain: hak atas kenyamanan dan keamanan dalam mengkomsumsi barang/jasa, hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa, hak untuk didengar pend^qiat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan, hak untuk mendapat advokasi (bantuan hukum), perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, hak untuk mend{q>at ganti rugi, dan beberapa hak-hak lainnya. Dengan hak-hak tersebut maka konsumen akan terlindungi dari praktik profesi yang mengancam keselamatan atau kesehatan. Pasien sebagai konsumen kesehatan pada dasamya dapat menuntut ganti kemgian kepada pihak dokter atau mmah sakit apabila pasien merasa dimgikan. Peraturan yang menjadi dasar perlindungan hukum bagi konsumen terdapat pada Pasal 1365 BW berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut: "Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kemgian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kemgian itu mengganti kemgimi tersebut." Di samping itu Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 55 angka 1 yang menentukan bahwa setiap orang beriiak atas ganti mgi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Pasien sebagai konsumen kesehatan juga dapat menuntut ganti mgi kepada pihak dokter sebagai pelaku usaha sesuai dengan Undang-Undang No 8
4
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 19 angka 1 yang mengatur tanggung jawab dokter yang berbunyi: "Pelaku usaha bertanggung jawab mengganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kemgian konsumen akibat mengkomsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan." Bentuk
pertanggungjawaban
tenaga
medis
(dokter) tethadap
pelayanannya adalah dengan tidak melakukan penelantaran terhadap pasien, karena penelantaran terhadap pasien kemungkinan akan menimbulkan hal-hal yang berakibat buruk teriiadq) keselamatan dan kesehatan pasien, terlebih pada pasien yang dengan keadaan yang kurang baik, yang membutuhkan pemantauan dan perawatan yang intensif. Pasien adalah konsumen kesehatan yang memiliki hak untuk memperoleh keselamatan dan keamanan pelayanan kesehatan. Hak pasien tersebut menuntut tenaga medis sebagai pemberi jasa layanan kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang profesional dan bertanggung jawab. Hal inilah yang terioidang kurang diindahkan oleh tenaga medik di rumah sakit. Kesanggupan yang telah diamanahkan tampak diabaikan dengan adanya penelantaran pasien yang berakibat fatal (kematian), padahal kewajiban mmah sakit teihad^ pasien seperti yang tercantum di dalam Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (Koderasi) Bab III Pasal 9 adalah: "Rumah sakit hams mengindahkan hak-hak asasi pasien."
5
Pasal 10 menyebutkan: "Rumah sakit haras memberikan penjelasan apa yang diderita pasien, dan tindakan apa yang hendak dilakukan." Biasanya, pasien sangat membutuhkan informasi mengenai diagnosis, prosedur medis, paragnosa (perjalanan) penyakit, dan kondisi pasien lainnya. Jika terdapat pertanyaan dari pasien atau keluarganya, tenaga medis di Rumah Sakit cenderung untuk menjawab dengan cara menghmdar atau dengan cara menggunakan istilah-istilah medis yang sulit dimengerti oleh orang awam. Mereka menganggap lebih baik pasien atau keluarganya mencari tahu sendiri jawabannya secara alamiah. Alasan dokter untuk tidak memberitahukan penyakitnya kepada keluarga pasien karena mereka merasa takut tidak dapat menangani re£iksi emosional keluarga pasien. Informasi dari dokter mung|dn akan menimbulkan bertambahnya rasa sedih, cemas, krcewa, dan ketakutan dalam keluarga pasien. Bisa saja suatu penyakit akhimya terkomplikasi dengan trauma emosional yang diakibatkan oleh penjelasan dokter kepada pasioi. Karenanya dalam kondisi tertentu akan lebih baik jika pasien tidak diberi tahu mengenai seluruh masalah penyakitnya, atau informasi tersebut disampaikan pada saat yang tepat. Pada dasamya, semua pasien bertiak atas informasi tentang dirinya dan penyakitnya serta langkah-langkah pengobatan apa yang akan dijalaninya. Adanya pengin^caran informasi justm mengakibatkan suatu perasaan tidak menentu di antara pasien. Pasien akan merasa dirinya tidak
6
diperhatikan oleh petugas Rumah Sakit (Sintia Roshana C.S., http://pikiranrakyat.Com/cetak). Salah satu hak pasien yang utama adalah hak untuk menentukan nasibnya sendiri (the right to self determination), yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hak menentukan nasibnya sendiri berarti hak memilih dokter, perawat dan sarana kesehatannya dan h ^ untuk menerima, menolak atau menghentikan pengobatan atau perawatan atas dirinya, tentu saja setelah menerima informasi yang lengkap mengenai keadaan kesehatan
atau
penyakitnya. Sementara itu pasien juga memiliki kewajiban. Kewajiban pasien selaku konsumen pelayanan kesehatan yaitu: memberikan informasi yang boiar kepada dokter dengan itikad baik, mematuhi anjuran dokter atau perawat, baik dalam rangka diagnosis, pengobatan maupun perawatannya, kewajiban memberi imbalan jasa yang sesuai dan harkat pribadi dokter dan kebebasan profesinya. Dalam hal ini pasien tidak dipericenankan memaksakan keinginannya, meskipun hal itu merupakan haknya, agar dilaksanakan oleh dokter apabila temyata berlawanan dengan kebebasan dan keluhuran profesi dokter. Hak pasien mengakibatkan kewajiban bagi tenaga medis (dokter) dan juga rumah sakit dan sebaliknya kewajiban pasien bericaitan dengan hak tenaga medis dan rumah sakit. Masing-masing pihak juga memiliki hak untuk
7
memutuskan hubungan hukum di antara keduanya apabila salah satu pihak mengingkari kewajibannya. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad merupakan rumah sakit peninggalan pemerintahan Belanda. Dalam sejarah perkembangannya Rumah Sakit Umum Daerah dimulai pada dasawarsa tahun 19S0-an, pada waktu itu dengan k£q>asitas 20 tempat tidur (TT) yang beralokasi di jalan kesehatan. Sejalan dengan perkembangannya selanjutnya pada tahun 1993 berdasarkan
surat
keputusan
No. KPTS-22/I/1993 RSUP
Pekanbaru
ditingkatkan kelasnya menjadi rumah sakit kelas B Non Pendidikan dan diganti namanya menjadi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang susunan organisasinya disesuaikan dengan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Riau (Perda No 2 tahun 1996), tentang susunan dan tata keija organisasi Riunah Sakit Umum Daerah Propinsi Riau yang disetujui oleh Mentri Dalam N^eri (Mendagri) dengan SKNo. 149/1996. Dalam< perjalanannya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad telah banyak memberi kontribusi pelayanan jasa kesehatan bagi masyarakat. Selama memberi pelayanan jasa kesehatan banyak pujian dan penghargaan yang diterima Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Kota Pekanbaru dari beri>agai pihak atas penilaian terhadap kinerjanya. Salah satu keberiiasilan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad adalah telah terakreditasnya rumah sakit tersebut menjadi kelas B Pendidikan
8
sesuai dengan surat Gubemur Kepala Daerah Propinsi tingkat I Riau No.440/ Binsos/3268 tanggal 16 Desember 1996. Tanggal 9 Agustus 2005 RSUD Provinsi Riau berganti nama menjadi RSUD Arifin Achmad. RSUD menyelesaikan pembangunan gedung utama perawatan kelas utama dan siap memfungsikan 29 tempat tidur. Menuju Rumah Sakit Tipe A dimana seluruh program yang dilakukan, diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatmi secara paripuma, dengan beberapa layanan unggulan yang terakreditasi dan memenuhi standar Intemasional yang pengelolaan institusinya sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Walaupun demikian tidaklah sedikit keluhan masyarakat mulai dari masyarakat awam hingga wakil rakyat, baik langsung maupun melalui media massa terhadap pelayanan jasa kesehatan yang diberikan Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Kota Pekanbaru. Beberapa keluhan yang dimuat di media massa antara lain: waktu tunggu yang lama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (http://mail.pdpersi.co.id/indomedia.com), diskriminasi pasien (http;//www. Harian sip.com/index.php?). Ada juga keluhan-keluhan lain dari pasien secara langsimg misalnya kurang ramahnya petugas atau tenaga medis (dokter), kurangnya informasi yang diberikan oleh dokter kepada pasien tentang paragnosa/petjalanm penyakit pasien, dan juga adanya penelantaran pasien. Sementara itu belum adanya upaya hukum yang dilakukan pasien melalui jalur pengadilan apabila pasien merasa dimgikan. Pasien melakukan
9
pengaduan hanya sebatas kepada pihak rumah sakit atau dokter saja. Hal ini disebabkan karena pasien merasa upaya hukum melalui jalur pengadilan terlalu berbelit-belit, memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Dari sini dapat di lihat hak-hak pasien belum mendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya, seperti yang diinginkan peraturan perundangundangan yang berlaku, padahal tenaga medis (dokter) yang bekerja di rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad tersebut merupakan Pegawai Negeri Sipil yang sehanisnya mengutamakan pengabdian kepada masyarakat, terutama melayani pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan.
Identifikasi dan Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas malca peneliti dapat merumuskan permasalahannya menjadi: 1. B^aimanakah pelaksanaan perlindungan hukum teriiad^q) pasien pengguna jasa medis pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Ahmad Kota Pekanbaru ? 2. Apa upaya yang bisa dilakukan oleh pasien pengguna jasa medis apabila pasien dimgikan ?
10
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pasien pengguna jasa medis pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Ahmad Kota Pekanbaru. 2. Untuk mengetahui upaya yang bisa dilakukan oleh pasien pengguna jasa medis apabila pasien dimgikan.
1.4 Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai ilmu pengetahuan di bidang perlindungan hukum terhadap pasien pengguna jasa medis pada Rumah Sakit, khususnya hukum kesehatan. 2. Sebagai kontribusi guna pemecahan masalah malpraktek yang teijadi dalam pelaksanaan pelayanan jasa medis pada Rumah Sakit. 3. Sebagai kontribusi teriiadap Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Ahmad Kota Pekanbam dalam hal memberikan pelayaiian jasa medis terhadap pasien pengguna jasa medis pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Ahmad di Kota Pekanbam.
11