BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hal inilah yang melandasi buruh migran Indonesia mengadu nasib di negara asing. Sempitnya lapangan kerja di tanah air, tingginya angka kemiskinan dan keterbatasan skill dan modal menjadi pemicu utama meningkatnya angka buruh migran Indinesia yang ke luar negeri setiap tahunnya. Sayangnya niat ini dimaknai lain oleh pemerintah. Buruh migran menjadi komoditas dan aset pendapatan devisa negara. Bahkan pemerintah selalu menetapkan target penerimaan devisa setiap tahunnya dari buruh migran. Tanpa memberikan imbal balik yang sepadan atas jasa para TKI.1 Buruh Migran berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Lemahnya perlindungan hukum menyebabkan para TKI mengalami berbagai eksploitasi fisik, kekerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan dan lain-lain. Kebijakan
pemerintah
masih
bersifat
permukaan
dan
tidak
mengena.
Pembangunan terminal khususTKI di Ciracas seharga milyaran, misalnya; menjadi contoh bahwa peraturan berkaitan TKI hanya mengatur mekanisme operasional penempatan TKI, pendirian PJTKI, pembiayaan dan hal-hal teknis
1
PB PMII, Muspimnas ’06; Aksi Kebangsaan (Jakarta: PMII Pers, 2006).
1
2
lainnya. Perekrutan calon TKI sangat rawan penipuan. Bahkan karena lemahnya pengawasan pemerintah, banyak PJTKI menjadi mata rantai pertama Trafficking dan penyelundupan TKI Illegal. Pemerintah harus mengusut dan membekukan PJTKI yang memiliki indikasi tersebut.2 Perjanjian kerja (PK) yang diketahui pemerintah, merupakan satu simpul yang diharapkan bisa menekan kasus pelanggaran kontrak kerja tenaga kerja Indonesia (TKI) diluar negeri. Karena itu, dipertanyakan sikap Depnakertrans yang kurang transparan, yakni tidak memberikan dokumen resmi penempatan TKI kepada kedutaan Besar RI (KBRI) di negara tujuan. Menghadapi kenyataan itu, sejumlah duta besar RI di negara penempatan TKI mendesak Depnakertrans memberikan dokumen resmi penempatan TKI, dan memberi hak kedutaan untuk melegalisasi PK. Dalam acara dialog perlindungan TKI migran di Timur Tengah yang diadakan Open Society Institute, Faisal Bafadal; Duta Besar RI untuk Uni Emirat Arab (UEA) di Jakarta kembali meminta agar Depnakertrans melibatkan KBRI dalam penempatan TKI. Permintaan itu, bukan kali pertama, tetapi sudah berulang kali dikemukakan, namun tidak pernah mendapat jawaban dari Depnakertrans.3 Prinsip keadilan sosial pada tataran praksis harus memfokuskan pada pembelaan mereka yang tertindas, atau Mustad’afîn biasanya adalah mereka yang 2
Protokol PBB, Mecegah, Menanggulangi Dan Menghukum Trafficking Terhadap Manusia, Khususnya Perempuan Dan Anak (Jakarta: Suplemen Konfensi PBB Mengenai Lintas Batas Negara, 2002). 3 Beberapa Kebijakan Penempatan TKI Keluar Negeri, Sabtu, 12 Juni 2004, Copy Right Tempo 2003, Diakses dari Internet tanggal 02 Maret 2007.
3
miskin, minoritas dan perempuan. Karena mereka yang selama ini yang tidak memperoleh dukungan sosial, sistem dan kebijakan. Karena itu, dalam bahasa khâlifah Abû Bakar As-siddiq adalah “Menyerahkan hak pada mereka yang lemah dari mereka yang kuat”.4 Agama Islam juga mengajarkan pada umatnya untuk saling tolongmenolong sesama umat manusia, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an Surat Al-Mâidah ayat 2:
Fُ \ْ Fِ ] َ ^ َ نا W ^ ِا َ ْاQVُ TW وَا.ْوَانFHُ Iْ وَاKِ Lْ M ِ اNَOP َ اQُR َوSَHTَ M َ ى َوQْVXWI وَاZY [ِ Iْ SَىOP َ ْاQRُ َوSَHTَ وَا (٢ : ةFaSbIب )ا ِ SَVHِ Iْ ا Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS: Al-Maidah: 2). Selain itu Allah juga berfirman dalam surat lain yaitu Q.S. Az-Zukhruf ayat 32 :
$uΖ÷èsùu‘uρ 4 $u‹÷Ρ‘‰9$# Íο4θuŠysø9$# ’Îû öΝåκtJt±ŠÏè¨Β ΝæηuΖ÷t/ $oΨôϑ|¡s% ßøtwΥ 4 y7În/u‘ |MuΗ÷qu‘ tβθßϑÅ¡ø)tƒ óΟèδr& $£ϑÏiΒ ×öyz y7În/u‘ àMuΗ÷qu‘uρ 3 $wƒÌ÷‚ß™ $VÒ÷èt/ ΝåκÝÕ÷èt/ x‹Ï‚−Gu‹Ïj9 ;M≈y_u‘yŠ <Ù÷èt/ s−öθsù öΝåκ|Õ÷èt/ tβθãèyϑøgs† "Apakah mereka hendak membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kamilah yang membagi-bagikan antara mereka penghidupan didunia. Dan kami 4
Yunahar Ilyas, “Nabi Perempuan dalam Al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu AlQur’an dan Hadist, Vol. 7 No. 1 Tahun 2006.
4
angkat derajat sebagian mereka di atas yang lain, supaya sebagian mereka dapat menggunakan yang lain bekerja untuknya . . .”. Oleh sebab itu sungguh sulit merasa sebagai negara merdeka, ketika banyak diantara warganya yang menjadi korban perdagangan manusia. Kejahatan ini terjadi karena tidak ada penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Manusia dipandang sebagai barang yang bisa ditentukan harganya tanpa persetujuannya, dibawa, dikumpulkan, dikurung dan ditempatkan tanpa mempertimbangkan kebutuhannya sebagai manusia. Kejahatan ini dalam istilah sekarang disebut Trafficking.5 Berdasar data KOPBUMI (Konsorsium Perlindungan Buruh Migran Indonesia), sejak tahun 2001 sudah terjadi kasus pelanggaran hak asasi terhadap 2.239.566 buruh migran Indonesia. Mulai dari penipuan, penghilangan dokumen, pengurangan atau tanpa gaji, razia, pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan bahkan sampai pembunuhan. Dalam data IOM (International Organization for Migration), dari Maret 2005 sampai April 2006 terdata kasus yang lebih nyata, yaitu perdagangan orang sebanyak 1022 orang. Dari jumlah ini, 88,6% adalah perempuan dan 23% adalah Anak-anak. Dan kasusnya, ada 52% di eksploitasi sebagai pekerja rumah tangga dan 17% dipaksa melacur. Fenomena ini bertentangan secara diametral dengan tujuan islam dan misi kerasulan.6 Dalam
5
R. Tirto Sudarmo, “Migrasi Lintas Batas Negara: Posisi Indonesia, Konteks Politik dan Perebutan Ruang Public”, Yogyakarta 2002. 6 http/www.google.com/ Faqihuddin Abdul Qodir, Merdeka Dari Perbudakan Modern (Jakarta: Pusat Pelatihan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan: 2003).
5
salah satu teks hadist, Nabi Muhammad SAW menceritakan bahwa: Allah SWT berfirman: “Ada tiga kelompok orang yang menjadi musuhku kelak dihari kiamat, orang yang mengatasnamakan-Ku tetapi berkhianat, orang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasilnya (dari penjualan itu), dan orang yang tidak membayar upah buruh (yang semestinya) padahal ia telah menyelesaikan pekerjaanya”.7 Berangkat dari uraian diatas, untuk mengungkap masalah perjanjian kerja TKI dengan PJTKI, maka dilakukan penelitian dengan mengambil sampel lokasi di PJTKI Amri Margatama yang terletak di Desa Keniten Kabupaten Ponorogo yang merupakan salah satu produsen TKI terbesar di Jawa Timur, dan akan penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN KERJA ANTARA TKI DENGAN PJTKI (Studi Kasus Di PT. AMRI MARGATAMA Cabang Ponorogo)
7
Shahih Bukhari, Kitab al-Ijarah, no. Hadits: 2109.
6
B. Penegasan Istilah Dalam judul ini istilah yang perlu penulis tegaskan adalah: 1. Hukum Islam : hukum yang ada dalam fiqh Islam bersumber pada Nash AlQuran dan Hadits serta bersumber pada pendapat para ulama’ yang termuat pada kitab-kitab fiqh, baik klasik maupun kontemporer. 2. Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) : perusahaan yang menjaring dan menyalurkan calon tenaga kerja untuk bekerja di luar negeri. 3. Perjanjian kerja : Perjanjian antara calon tenaga kerja dengan pengguna jasa tenaga kerja (majikan) untuk membuat kesepakatan kerja. 4. Buruh Migran : Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja ke luar negeri. C. Rumusan Masalah. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka inti permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tinjauan hukum Islam terhadap akad perjanjian kerja antara TKI dengan PJTKI di PT. Amri Margatama Cabang Ponorogo? 2. Bagaimanakah Tinjauan Hukum Islam terhadap cara pengambilan fee yang terjadi di PT. Amri Margatama Cabang Ponorogo? 3. Bagaimana akibat hukum apabila terjadi pemutusan perjanjian sepihak pada perjanjian yang telah disepakati antara calon TKI dengan PJTKI?
7
D. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah mendiskripsikan dan mengkaji secara kritis masalah perjanjian kerja antara TKI dengan PJTKI di PT. Amri Margatama Cabang Ponorogo. Secara spesifik deskripsi ini mencakup: 1. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap akad Perjanjian kerja antara TKI dengan PJTKI di PT. Amri Margatama Cabang Ponorogo. 2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap cara pengambilan fee yang terjadi di PT. Amri Margatama Cabang Ponorogo. 3. Untuk mengetahui Bagaimana akibat hukum apabila terjadi pemutusan perjanjian sepihak pada perjanjian yang telah disepakati antara calon TKI dengan PJTKI di PT Amri Margatama Cabang Ponorogo. E. Manfaat Penelitian. Adapun manfaat pembahasan permasalahan dan penulisan ini, diharapkan berguna dan memiliki nilai guna scbagai berikut: 1. Bagi kepentingan ilmiah, diharapkan studi ini menjadi kontribusi penulis dalam akad perjanjian khususnya dalam hal Perjanjian Kerja antara PJTKI dan TKI. 2. Bagi kepentingan terapan, studi ini harapkan menjadi sumbangan pemikiran bagi CTKI dan PJTKI dalam hal akad perjanjian kerja.
8
3. Dapat digunakan bahan kajian lebih lanjut bagi yang berminat berkaitan dengan skripsi ini dalam bentuk dan aspek lain. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam hal ini jenis penelitian yang penulis pakai adalah penelitian lapangan, yaitu penelitian yang datanya diambil atau dikumpulkan dari lapangan dimana kasus itu berada termasuk dokumen-dokumen yang memuat Akad Perjanjian kerja. 2. Pendekatan Penelitian Dalam hal ini pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang bertujuan untuk memahami makna fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat maupun institusi ke Islaman, baik memahami secara apa adanya (sebagai sebuah proses sosial) maupun memahami dengan cara mcmbandingkan dengan norma-norma agama yang diyakininya termasuk memahami Akad Perjanjian kerja antara TKI dengan PJTKI di PT Amri Margatama Cabang Ponorogo. 3. Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian dalam skripsi ini adalah PJTKI PT Amri Margatama Kabupaten Ponorogo yang beralamat di Jl. Letjen S. Parman 138 RT. 01 RW. 01 Kel. Keniten Kecamatan Ponorogo.
9
4. Data Sumber data utama penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lainnya.8 5. Sumber Data Adapun dalam penulisan skripsi ini data-data bersumber dan data empiris dan buku-buku yang relevan serta mempunyai kaitan dengan permasalahan ini dan dapat dipertanggungjawabkan. a. Data empiris Penulis mendapatkan data lapangan melalui: 1. Informan, penulis mengadakan wawancara secara langsung dengan pihak yang menangani kasus tersebut atau pihak-pihak yang ada di PT Amri Margatama Cabang Ponorogo meliputi Kepala dan Karyawan PJTKI. 2. Dokumen, penulis juga mencari data mengenai dokumen beraitan dengan perjanjian kerja, pengambilan fee PJTKI dan pemutusan perjanjian sepihak. b. Data literer Kitab-kitab dan buku-buku yang dijadikan acuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
8
Lonfald, Analyzing social setring, A Guide to Qualitative Observation and Analysis, (Belmont, Cal: Wadsworth Publishing Company, 1984), hal 47.
10
1. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung, CV. Diponegoro: 2000). 2. M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003) 3. Tengku Hasbi Ashiddiqy, Pengantar Fiq’h Muamalah (Semarang, PT Pustaka Rizki Putra: 1997). 4. Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Yogyakarta: Citra Media: 2006), 19-20. 5. Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005) 6. Choiruman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika: 2004). 7. Ghufron A. Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2002). 8.
Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa kontemporer, terj. Subhan M.Solihat (Jakarta, Gema Insani Press : 1995).
6. Metode Pengumpulan Data a. Editing
adalah pemeriksaan kembali data yang terkumpul terutama dari segi kelengkapan, keterbukaan, kejelasan makna dan keselarasan satu sama lain.
11
Re1evansi dan keseragaman satuan dan disusun dalam sebuah data. b. Organizing
adalah menyusun dan mensistematiskan data yang diperoleh ke dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan sebelum sesuai dengan sistematika pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah.
c. Penemuan hasil data yaitu melakukan analisa lanjutan terhadap hasil dan organizing dengan menggunakan teori-teori, dalildalil,
sehingga
diperoleh
kesimpulan
yang
merupakan jawaban dan sebagian pengetahuan yang terdapat dalam rumusan masalah. 7. Teknik Analisa Data a. Metode
induktif
yaitu
proses
berpikir
yang
diawali
dengan
mengemukakan kenyataan-kenyataan yang bersifat khusus (dan riset-riset) untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat umurn berupa generalisasi, misalnya pada bab IV yang membutuhkan analisa. b. Metode deduktif yaitu mengemukakan teori-teori, dalil-dalil atau generalisasi yang bersifat umum untuk selanjutnya dikemukakan kenyataan yang bersifat khusus dari hasil riset.
12
G. Sistematika Pembahasan Agar lebih mudah dalam pembahasan skripsi ini, maka penulis membagi skripsi ini dalam lima bab dan beberapa sub bab yang secara garis besarnya dapat penulis gambakan sebagai berikut : Bab Pertama, merupakan pola dasar yang memberikan gambaran tentang judul skripsi ini yaitu “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN KERJA ANTARA TKI DENGAN PJTKI (Studi Kasus Di PT. AMRI MARGATAMA Cabang Ponorogo)" secara umum dari seluruh skripsi ini yang meliputi : latar belakang, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab Kedua, berjudul “Perjanjian Kerja Menurut Hukum Islam”, yang berfungsi sebagai landasan teori dalam pembahasan skripsi ini, meliputi; pengertian, dasar hukum, pelaksanaan akad perjanjian kerja, syarat-syarat perjanjian kerja, pengambilan fee dalam hukum Islam dan akibat hukum terjadinya pemutusan perjanjian sepihak dalam hukum Islam. Bab Ketiga, berjudul tentang "Pelaksanaan kerja antara calon TKI dengan PJTKI di PT Amri Margatama" berfungsi untuk menyajikan hasil penelitian tentang pelaksanaan perjanjian kerja antara TKI dengan PJTKI di PT. Amri Margatama Cabang Ponorogo meliputi; pengertian perjanjian kerja, pelaksanaan akad perjanjian, syarat-syarat perjanjian kerja, pengambilan fee dan akibat hukum terjadinya pemutusan perjanjian sepihak yang terjadi di PT Amri Margatama.
13
Bab Keempat, berisi tentang analisa hukum Islam terhadap akad perjanjian kerja, pengambilan fee dan akibat hukum pemutusan perjanjian sepihak yang terjadi di PT. Amri Margatama Cabang Ponorogo. Bab Kelima, merupakan kesimpulan akhir dalam pembahasan skripsi ini yang berisi kesimpulan dan jawaban, saran-saran dan penutup.
14
BAB II PERJANJIAN MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Akad dan Perjanjian 1. Akad atau Perjanjian dalam Hukum Islam Akad berasal dari bahasa arab (ُ FْVHَ I )اyang artinya perikatan, perjanjian dan pemufakatan. Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan. Semua perikatan (transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan kehendak syariat. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh seseorang.9 Kemudian menurut istilah fuqaha, ialah :
.NَِاZXWI اr ُ [Ysَ \ُ ع ٍ ْوZُ v ْ wَ xٍ y ْ َوNَOP َ ل ٍ ْQ[ُ Vَ {ِ ب ِ Sَ|\ِ M ِ طا ُ Sَ[Tِ ِْار “Perikatan ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan persetujuan kedua belah pihak “. Gambaran yang menerangkan maksud diantara kedua belah pihak itu dinamakan ijab dan qabul.
9
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003), 101
15
Nِ xِ Tِ ْ ِم ِارَا َدyَ ْPَ ًاZ[ِّHَ wَ ِ \ْ Fَ ِ SَHَXbُ Iْ اFِ َ ْ َاwِ ُرFُ ْ \َ ٍنSَ{َ و ُلW َاQَ ب ُه ُ Sَ|\ْ M ِا Zِ َ Mف ا ِ Zَ W I َ اwِ ُرFُ ْ \َ Sَw Qَ ْ ُل ُهQ[ُ Vَ Iْ وَا.Sَbُ ْ wِ ئ ُ ِدSَ[IَاQ َن ُهSَآSW\َاFِ Vْ Hَ Iْ ِء اSَvRْ ِا .xِ ْ OَPَ xِ Xِ Vَ َ َاQwُ ْPَ ًاZ[ِّ Hَ wُ ب ِ Sَ|\ْ M ِ َ اFHْ {َ “Ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad, buat memperlihatkan kehendaknya dalam mengadakan akad, siapa saja yang memulainya. Qabul, ialah jawaban pihak yang lain sesudah adanya ijab, buat menyatakan persetujuannya”. Akad ini telah lama terkenal dalam masyarakat manusia. Menurut penelitian akad timbul sesudah adanya Ihrâz al-Mubâhât. Sebelum timbul Ihrâz al-Mubâhât, belumlah timbul akad ini dalam pada itu kita tak dapat mengetahui bagaimana pertumbuhan akad ini dalam kehidupan manusia di dunia ini, sejak zaman purbakala sampai zaman kita ini.10 Menurut Kamus Hukum arti kata akad adalah perjanjian. Ditinjau dari Hukum Islam, perjanjian yang sering disebut dengan akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan persetujuan masing-masing. Dengan kata lain akad adalah perikatan antara ijab dan kabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan persetujuan kedua belah pihak. Secara etimologis perjanjian dalam bahasa arab diistilahkan dengan mu'ahadah al-ittifa'. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kontrak,
10
Tengku Hasbi Ashiddiqy, Pengantar Fiq’h Muamalah (Semarang, PT Pustaka Rizki Putra: 1997), 26-27.
16
perjanjian atau persetujuan yang artinya adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih. Dalam Al-qur'an sendiri setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu kata akad (Al'aqadu) dan kata 'ahd (Al'ahdu), Alqur'an memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kata yang kedua dalam al-qur'an berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian. Dengan demikian istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis, sedangkan kata al'ahdu dapat dikatakan dengan istilah perjanjian atau overeenkmst, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan pihak lain. Janji hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam al-qur'an surat al-‘imran ayat 76.11
4’n?t/ ôtΒ 4’nû÷ρr& ÍνωôγyèÎ/ 4’s+¨?$#uρ ¨βÎ*sù ©!$# =ÅsムtÉ)−Gßϑø9$# "(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertakwa."12
11
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Yogyakarta: Citra Media: 2006), 19-20. 12 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung, CV. Diponegoro: 2000), 46.
17
Dari uraian diatas perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan beberapa orang tertentu. Di dalam hukum kalau perbuatan itu mempunyai akibat hukum maka perbuatan tersebut diisitilahkan dengan perbuatan hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara sengaja untuk menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam hal perbuatan hukum ini dapat dikemukakan sebagai berikut: a) Perbuatan hukum sepihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak dan menimbulkan kewajiban pada pihak yang lain misalnya pembuatan surat wasiat, pemberian hadiah suatu benda. b) Perbuatan dua belah pihak, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua belah pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi pihak (imbal balik) misalnya membuat persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain. Dari uraian diatas jelas terlihat bahwa perbuatan hukum itu juga meliputi perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh para pihak. Menyangkut apa yang telah diperjanjikan, masing-masing pihak haruslah saling menghormati terhadap apa yang telah mereka perjanjikan. Adapun yang dimaksud dengan akad atau perjanjian adalah janji setia kepada Allah SWT, dan juga meliputi perjanjian yang dibuat oleh manusia dengan sesama manusia dalam pergaulan hidupnya sehari-hari.
18
Dari ketentuan diatas dapat dilihat, bahwa apapun alasannya merupakan suatu perbuatan melanggar hukum, dan apabila seseorang itu telah melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar hukum, maka kepada pelakunya dapat dijatuhkan suatu sanksi. Penjatuhan sanksi tersebut dengan alasan melanggar perjanjian atau yang dalam istilah lain dinamakan dengan “pemutusan perjanjian sepihak”.13 Sementara itu, pengertian akad menurut Ahmad Azhar Basyir adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan akibat-akibat hukum . Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, dan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Masing-masing pihak haruslah saling menghormati terhadap apa yang telah mereka perjanjikan dalam suatu akad.14 Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum yang hidup dalam Quran surat Al-Maidah: 5: 1:
ْ ِد.0ُ 1ُ 2ْ 3ِ4ْاا.6ُ ْْا َاو.9ُ :َ ; ا َ <ْ =ِ 2>ا3َ?<@ُ ا3< “Hai orang-orang yang beriman, tepatilah janji-janjimu”.15
13
Khaoiruman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta, Sinar Grafika: 2004), 1-2. http://eprints.ums.ac.id/335/01/4._WARDAH_YUSPIN.pdf, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 10 No 1, Maret 2007, 55-67 15 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung, CV. Diponegoro: 2000), 84. 14
19
2. Rukun Akad Dalam Islam dikenal dua istilah dalam akad, yaitu rukun akad dan syarat akad. Rukun dapat dipahami sebagai unsur esensial yang membentuk akad, yang harus selalu dipenuhi dalam suatu transaksi.16 Setelah diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridloan masingmasing, maka timbul bagi kedua belah pihak haq dan iltizam yang diwujudkan oleh akad, rukun-rukun akad ialah sebagai berikut : a) 'Âqid ialah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang beraqad terkadang orang yang memiliki haq (âqid asli) dan terkadang merupakan wakil dari yang memiliki haq. Sedangkan menurut Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori,S.H.,M.H. dalam bukunya Pokok-pokok Perjanjian Islam di Indonesia mengemukakan sighat al-aqd adalah cara bagaimana mengatakan cara pengikatan diri itu dilakukan maksudnya dalam hal pembuatan akad, maka para pihak harus menyampaikan secara lisan/ tertulis term and condition dari akad tersebut. Sehingga dapat menimbulkan akibat hukum, sebab maksud yang disampaikan kepada pihak lain tidak mempunyai akibat hukum sama sekali.17
16 17
http://eprints.ums.ac.id/335/01/4._WARDAH_YUSPIN.pdf Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, 21
20
b) Ma'qûd 'alaih ialah benda-benda yang di'aqadkan.18 Objek akat sangat tergantung dengan akad yang dibuat.terkait dengan objek perjanjian ini harus memenuhi persyaratan-persyaratan berupa telah ada pada waktu akad diadakan, dibenarkan oleh shara’ atau nash, dapat ditentukan dan diketahui dan dapat diserahkan pada waktu akad terjadi.19 c) Maudu' al-'aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.20 Menurut ulama’ fiqih, tujuan dari suatu akad harus sejalan dengan kehendak shara’, sehingga apabila tujuannya adalah bertentangan dengan syara’ maka berakibat pada ketidak absahan dari perjanjian yang dibuat. Tujuan harus ada pada saat akad diadakan, dapat berlangsung hingga berakhirnya akad, dan harus dibenarkan oleh syara’.21 d) Sighat a-'aqd ialah ijab dan kabul. Ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran hendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan kabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab.22 B. Syarat-syarat Perjanjian kerja Para 'ulama fikih menetapkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam suatu akad. Syarat-syarat suatu akad ialah :
18
Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2002), 47 Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, 22 20 Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, 47 21 Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, 22 22 Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, 47 19
21
a) Pihak-pihak yang melakukan akad telah dipandang mampu bertindak menurut hukum (mukallaf). Apabila belum mampu harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu, suatu akad yang dilakukan oleh orang yang kurang waras (gila) atau anak kecil yang belum mukallaf secara langsung, hukumny tidak sah. b) Obyek akad itu diakui oleh shara'. Menurut Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H dalam bukunya "Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia" menguraikan objek akad harus dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tapi hal ini tidak berarti harus dapat diserahkan seketika, objek akad harus memang benar-benar dibawah kekuasaan yang sah pihak yang bersangkutan. Intinya objek akad itu telah terwujud, jelas dan dapat diserahkan.23 c) Akad itu tidak dilarang oleh nas shara'. Menurut Prof. Dr. 'Abd al-Ghofur Anshori, S.H., M.H. bahwa pada prinsipnya setiap orang bebas membuat perjanjian, akan tetapi kebebasan itu ada batasnya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam baik yang ada di dalam al-qur’an maupun di dalam al-hâdits. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat batal demi hukum. 24 d) Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad yang bersangkutan.
23 24
Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, 23-24. Ibid.
22
e) Akad itu bermanfaat. Umpamanya seorang suami mengadakan akad dengan istrinya, bahwa suami akan memberi upah kepada istrinya dalam urusan rumah tangga. Akad semacam ini batal karena seorang istri memang berkewajiban mengurus rumah. f) Ijab tetap utuh sampai terjadi kabul. Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi. Menurut Mustafa Azzarqa', majlis itu dapat berbentuk tempat dilangsungkan akad dan dapat juga berbentuk keadaan selama proses berlangsung akad sekalipun tidak pada suatu tempat. g) Tujuan akad itu harus jelas dan diakui oleh shara'.25 C. Perjanjian Kerja Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Perjanjian Kerja menurut Hukum Islam Perjanjian Kerja ini sering juga diistilahkan dengan perjanjian untuk melakukan pekerjaan, dan lazim juga digunakan istilah perjanjian perburuhan. Secara umum yang dimaksud dengan Perjanjian Kerja adalah perjanjian yang diadakan oleh 2 orang (pihak) atau lebih, yang mana satu pihak berjanji untuk memberikan pekerjaan dan pihak yang lain berjanji untuk melakukan pekerjaan tersebut. Dalam praktik, dan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, bahwa perjanjian untuk melakukan pekerjaan tersebut dapat diklasifikasikan kepada: 25
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, 105-108.
23
a.
Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu;
b.
Perjanjian kerja/ perburuhan, dan
c.
Perjanjian pemborongan pekerjaan. Dalam perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu salah satu pihak
menghendaki agar dari pihak yang lainnya melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dan pihak yang menghendaki tersebut bersedia untuk memberikan upah, biasanya pihak yang melakukan sesuatu pekerjaan tersebut adalah orang yang ahli seperti Notaris, Pengacara, dokter dan lain-lain sebagainya, dan lazimnya pihak yang melakukan pekerjaan ini sudah menentukan tarif untuk sesuatu pekerjaan yang akan dilakukannya tersebut. Sedangkan dalam hal perjanjian kerja/ perburuhan adalah merupakan perjanjian yang diadakan antara pihak pekerja (buruh) dengan pihak yang memberikan pekerjaan (majikan), dan lazimnya pihak pekerja memberikan perintah dan yang melakukam pekerjaan, harus mentaati perintah tersebut. Sedangkan menyangkut perjanjian pemborongan pekerjaan, adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh pihak pemborong dengan pihak yang memberikan pekerjaan borongan. Bagaimana caranya pihak pemborong pekerjaan untuk melakukan pekerjaan tersebut tidaklah penting bagi pihak yang memborongkan, yang penting hasil pekerjaan yang diserahkan kepadanya dalam keadaan baik. Lazimnya perjanjian pemborongan ini selalu dikaitkan dengan jangka waktu.
24
Perjanjian kerja ini dalam syari'at Islam digolongkan kepada perjanjian sewa-menyewa (al-ijârah), yaitu "ijârah a'yan", yaitu sewamenyewa tenaga manusia untuk melakukan pekerjaan. Sebelum dijelaskan pengertian sewa-menyewa dan upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Shâr'i, telah berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu'jir dan musta'jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa. Dan dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti "Seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah, sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti, "Para karyawan bekerja di pabrik dibayar gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu. Dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut ijarah. Al-ljarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-'iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah.26
26
Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005), 113-114.
25
Dalam istilah hukum Islam pihak yang melakukan pekerjaan disebut dengan "âjir", (âjir ini terdiri âjir khas yaitu seseorang atau beberapa orang yang bekerja pada seseorang tertentu dan âjir mushtarak yaitu orang-orang yang bekerja untuk kepentingan orang banyak). Sedangkan orang yang memperoleh manfaat dari pekerjaan 'âjir (pemberi kerja) disebut dengan "musta'jir".27 Ijarah (رةSyM )اartinya upah, sewa, jasa atau imbalan. Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam muamalah adalah sewa-menyewa, kontrak, menjual jasa dan lain-lain. Ada beberapa definisi ijarah yang dikemukakan para ulama : a. Ulama Mazhab Hanâfî mendefinisikan:
ض ٍ Qَ Hِ {ِ َ ِ Sَwَ NَOP َ ٌFVْ P َ "Transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan". b. Ulama Mazhab Shâfi'i mendefinisikannya: ْ ٍم.Cُ1ْ :َ ض ٍ َا.1ِ 4ِ Jِ K َ 3َ4Lِ =ْ ِل وَاNَ Cِ2 Jٍ Cَ4ِ 3َO Jٍ K َ 3َN:ُ Jٍ :َ ْ.Cُ1ْ :َ ْ َد ٍة.Q ُ 0ْ :َ Jٍ 1َ Rَ 9ْ :َ SCَ D َ ٌF0ْ D َ "Transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu bersifat bisa dimanfaatkan, dengan suatu imbalan tertentu"
27
Choiruman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika: 2004) 153-159
26
c. Ulama Mâlikiyah dan Hanbaliyah mendefinisikannya: ض ٍ .َ 1ِ 4ِ ْ ٍم.Cُ1ْ :َ َةF> :ُ Jٍ K َ 3َN:ُ T ٍ Uْ V َ Wَ 6ِ 3َ9:َ X ُ CِYْ Zَ "Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan". Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka aqd al-ijârah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad al-ijarah juga tidak berlaku bagi pepohonan untuk diambil buahnya, karena buah itu adalah materi (benda), sedangkan aqd alijârah itu hanya ditujukan kepada manfaat saja. Demikian juga kambing dan sapi, tidak boleh dijadikan sebagai obyek ijârah, untuk diambil susu atau bulunya (domba) karena susu dan bulu termasuk materi. Jumhur ulama fikih juga tidak membolehkan air mani hewan ternak pejantan seperti sapi, kuda, kerbau dan kambing, karena mani itu adalah materi, yaitu untuk mendapatkan keseluruhan hewan tersebut. Berbeda dengan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (ahli fikih Mazhab Hanbalî), dia menyatakan bahwa pendapat jumhur ahli fikih tersebut tidak didukung oleh Al-Quran, Sunnah, Ijma' dan kias (analogi). Menurutnya, yang menjadi prinsip dalam masyarakat Islam adalah, bahwa suatu materi yang berevolusi secara bertahap, hukumnya sama dengan manfaat, seperti buah pada pepohonan dan susu pada kambing. Ibn al-Qayyim menyamakan manfaat dengan materi dalam masalah "wakaf". Menurutnya, manfaat pun boleh diwakafkan seperti mewakafkan manfaat rumah, untuk ditempati dalam masa tertentu dan mewakafkan hewan ternak untuk dimanfaatkan
27
susunya. Menurutnya, tidak ada alasan yang melarang untuk menyewakan (ijârah) suatu materi yang hadir secara evolusi, sedangkan dasarnya (asalnya) tetap, seperti susu kambing, dan rumah itu tetap seperti sedia kala dan tidak berkurang.28 Ulama fikih berpendapat, apakah obyek ijaarah bersifat mengikat atau tidak? Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa akad ijârah itu bersifat mengikat kedua belah pihak, tetapi dapat dibatalkan secara sepihak, apabila terdapat `uzur seperti meninggal dunia atau tidak dapat bertindak secara hukum seperti gila. Jumhur ulama berpendapat, bahwa akad ijaarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak dapat dimanfaatkan. Sebagai akibat dari pendapat yang berbeda ini adalah kasus, salah seorang yang berakad meninggal dunia. Menurut Mazhab Hanâfî, apabila salah seorang meninggal dunia, maka akad ijaarah menjadi batal, karena manfaat tidak dapat diwariskan kepada ahli waris. Menurut Jumhur ulama, akad itu tidak menjadi batal karena manfaat menurut mereka dapat diwariskan kepada ahli waris. Manfaat juga termasuk harta.
28
229
Ali Hasan, Berbagai Macam dalam Islam (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada: 2003), 227-
28
a. Macam-Macam Ijârah Dilihat dari segi obyeknya ijârah dapat dibagi menjadi dua macam: yaitu ijaarah yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan. 1)
Ijârah yang bersifat manfaat. Umpamanya, sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian (pengantin) dan perhiasan.
2)
Ijârah yang bersifat pekerjaan, ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijârah semacam ini dibolehkan seperti buruh bangunan, tukang jahit, tukang sepatu, dan lain-lain, yaitu ijaarah yang bersifat kelompok (serikat). Ijârah yang bersifat pribadi juga dapat dibenarkan seperti menggaji pembantu rumah, tukang kebun dan satpam
b. Tanggung Jawab Orang Yang Digaji/Upah Pada dasarnya semua yang dipekerjakan untuk pribadi dan kelompok (serikat), harus mempertanggungjawabkan pekerjaan masingmasing. Sekiranya terjadi kerusakan atau kehilangan, maka dilihat dahulu permasalahannya apakah ada unsur kelalai atau kesengajaan atau tidak? Jika tidak, maka tidak perlu diminta menggantinya dan jika ada unsur kelalaian atau kesengajaan, maka harus mempertanggung jawabkannya, apakah dengan cara mengganti atau sanksi lainnya. Sekiranya menjual jasa itu untuk kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan tukang sepatu, maka ulama berbeda pendapat.
29
Imam Abu Hanîfah, Zufar bin Huzail dan Shafi'î berpendapat, bahwa apabila kerusakan itu bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian, maka para pekerja itu tidak dituntut ganti rugi. Abû Yusuf dan Muhammad bin Hasan al-Shaibanî (murid Abû Hanîfah), berpendapat, bahwa pekerja itu ikut bertanggung jawab atas kerusakan tersebut, baik yang sengaja atau tidak. Berbeda tentu, kalau terjadi kerusakan itu diluar batas kemampu nya seperti banjir besar atau kebakaran. Menurut Mazhab Malikî apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang itu seperti tukang binatu, juru masak dan buruh angkut (kuli), maka baik sengaja maupun tidak sengaja segala kerusakan menjadi tanggung jawab pekerja itu dan wajib ganti rugi. c. Akad Ijârah Berakhir
Suatu akad ijârah berakhir: 1) Obyek hilang atau musnah seperti rumah terbakar. 2) Habis tenggang waktu yang disepakati. Kedua poin tersebut di atas disepakati oleh ulama. 3) Menurut Mazhab Hanafî, akad berakhir apabila salah seorang meninggal dunia, karena manfaat tidak dapat diwariskan. Berbeda dengan Jumhur ulama , akad tidak berakhir (batal) karena manfaat dapat diwariskan.
30
4) Menurut Madhhab Hanâfî, apabila ada uzur seperti rumah disita, maka akad berakhir. Sedangkan Jumhur ulama melihat, bahwa uzur yang membatalkan ijârah itu apabila obyeknya mengandung cacat atau manfaatnya hilang seperti kebakaran dan dilanda banjir. 29 2. Dasar Hukumnya Adapun dasar hukum tentang perjanjian kerja ini dapat dilihat dalam teks Al-Qur'an maupun Sunnah. Dalam Al-Qur'an Surat Al-Qasas ayat 26 yang artinya berbunyi sebagai berikut :
ôMs9$s% $yϑßγ1y‰÷nÎ) ÏMt/r'‾≈tƒ çνöÉfø↔tGó™$# ( āχÎ) uöyz ÇtΒ |Nöyfø↔tGó™$# ‘“Èθs)ø9$# ßÏΒF{$# "Berkatalah salah seorang dari (kedua gadis itu), " hai ayahku!, terimalah ia sebagai pekerja upahan. Sebaiknya yang diterima bekerja adalah orang yang kuat, yang bisa dipercaya"..30 Ulama' fiqih berpendapat, bahwa yang menjadi dasar dibolehkan alijarah adalah firman Allah yaitu dalam surat Al-Zukhruf ayat 32 sebagai berikut :31
29
Ibid, 235-238 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung, CV. Diponegoro: 2000), 310. 31 Ali Hasan, Berbagai Macam dalam Islam, 229. 30
31
óΟèδr& tβθßϑÅ¡ø)tƒ |MuΗ÷qu‘ y7În/u‘ 4 ßøtwΥ $oΨôϑ|¡s% ΝæηuΖ÷t/ öΝåκtJt±ŠÏè¨Β ’Îû Íο4θuŠysø9$# $u‹÷Ρ‘‰9$# 4 $uΖ÷èsùu‘uρ öΝåκ|Õ÷èt/ s−öθsù <Ù÷èt/ ;M≈y_u‘yŠ x‹Ï‚−Gu‹Ïj9 ΝåκÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/ $wƒÌ÷‚ß™ 3 àMuΗ÷qu‘uρ y7În/u‘ ×öyz $£ϑÏiΒ tβθãèyϑøgs† "Apakah mereka hendak membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kamilah yang membagi-bagikan antara mereka penghidupan didunia. Dan kami angkat derajat sebagian mereka di atas yang lain, supaya sebagian mereka dapat menggunakan yang lain bekerja untuknya . . ." (Q.S.Azzuhruf : 32).32 Ulama' fikih juga beralasan kepada firman Allah :
÷βÎ*sù z÷è|Êö‘r& ö/ä3s9 £èδθè?$t↔sù £èδu‘θã_é& ( "Jika menyusukan (anak-anak)mu untukmu, Maka berikanlah upah kepada mereka". (QS Al-Talâq: 6).33 Allah berfirman :
ôMs9$s% $yϑßγ1y‰÷nÎ) ÏMt/r'‾≈tƒ çνöÉfø↔tGó™$# ( āχÎ) uöyz ÇtΒ |Nöyfø↔tGó™$# ‘“Èθs)ø9$# ßÏΒF{$# "Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang
32 33
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung, CV. Diponegoro: 2000), 392. Ibid., 446.
32
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya".34 Sedangkan dalam ketentuan Sunah Rasulullah dapat diketemukan dalam hadis-hadisnya antara lain (Sayyid Sabiq, 13, 1988 : 17). Hâdith yang diriwayatkan Al-Bukhari, bahwa Nabi SAW. pernah menyewa seseorang dari bani Ad-Diil bernama Abdullah bin Al Uraiqit. Orang itu penunjuk jalan yang profesional".35 Para 'ulama fikih juga mengemukakan alasan sabda rasulullah: I.
`ُ Oُ \َ D َ a > b ِ <َ ْ َانdَ Nْ Oَ [ُ \َ ] ْ َ\ َاUْ ^ ِ Lَ ْاا._ ُD ْ ُا “Berilah olehmu upah orang sewaan (pekerja, pen) sebelum keringatnya kering”(HR. Abu Ya'la, Ibu Majah, Thabrani dan Tirmidzi).36 3. Syarat Sahnya Adapun yang menjadi syarat sahnya perjanjian kerja ini adalah : 1.
Pekerjaan yang diperjanjikan termasuk jenis pekerjaan yang mubah atau halal menurut ketentuan syara', berguna bagi perorangan ataupun masyarakat. Pekerjaan-pekerjaan yang haram menurut ketentuan syara' tidak dapat menjadi obyek perjanjian kerja.
34
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, 229-230. Choiruman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian dalam Islam, 154-155. 36 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, 230. 35
33
2.
Manfaat kerja yang diperjanjikan dapat diketahui dengan jelas. Kejelasan manfaat pekerjaan ini dapat diketahui dengan cara mengadakan pembatasan waktu atau jenis pekerjaan yang harus dilakukan.
3.
Upah sebagai imbalan pekerjaan harus diketahui dengan jelas, termasuk jumlahnya, ujudnya, dan juga waktu pembayarannya
Sedangkan syarat-syarat mengenai subyek yang melakukan perjanjian kerja, sama dengan syarat subyek perjanjian pada umumnya. Adapun syarat akad ijârah ialah
(1) Syarat bagi kedua orang yang berakad, adalah telah baligh dan berakal (Mazhab Syafi'î dan Hanbalî). Dengan demikian, apabila orang itu belum atau tidak berakal, seperti anak kecil atau orang gila, menyewakan hartanya, atau diri mereka sebagai buruh (tenaga dan ilmu boleh disewa), maka ijârahnya tidak sah. Berbeda dengan Madhhab Hanafî dan Mâlikî mengatakan, bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijârah dengan ketentuan, disetujui oleh walinya. (2) Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan, kerelaannya untuk melakukan akad ijaarah itu. Apabila salah seorang di antara keduanya terpaksa melakukan akad, maka akad tidak sah. Sebagai landasannya adalah firman Allah:
34
$y㕃r'‾≈tƒ šÏ%©!$# (#θãΨtΒ#u Ÿω (#þθè=à2ù's? Νä3s9≡uθøΒr& Μà6oΨ÷t/ È≅ÏÜ≈t6ø9$$Î/ HωÎ) βr& šχθä3s? ¸οt≈pgÏB tã <Ú#ts? öΝä3ΖÏiΒ 4 Ÿωuρ (#þθè=çFø)s? öΝä3|¡à.Ρr& 4 ¨βÎ) ©!$# tβ%x. öΝä3Î/ $VϑŠÏmu‘
"Hai orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta kamu dengan cara yang batil, kecuali melalui suatu perniagaant yang berlaku suka sama suka ...” (An-Nisa: 29). (3) Manfaat yang menjadi obyek ijârah harus diketahui secara jelas sehingga tidak terjadi perselisihan dibelakang hari. Jika manfaatnya tidak jelas, maka akad itu tidak sah. Dalam menentukan masalah waktu sewa, ulama Mazdhhab Syafi'î memberikan syarat yang amat ketat. Menurut mereka, apabila seseorang menyewakan rumahnya selama satu tahun dengan sewa Rp 1.000.000, sebulan, maka akad itu batal karena dalam akad yang semacam ini diperlukan pengulangan akad baru setiap bulan dengan sewa baru pula. Menurut mereka sewa-menyewa dengan cara diatas menunjukkan tenggang waktu sewa tidak jelas, atau satu tahun atau satu bulan. Berbeda halnya, jika rumah itu disewa selama satu tahun dengan sewa Rp 10.000.000,-. Jadi, rumah itu dapat disewakan tahunan atau bulanan. Berbeda dengan Jumhur ulama mengatakan, bahwa akad sewa semacam ini dianggap sah dan bersifat mengikat. Adapun bila seseorang
35
menyewakan rumahnya selama satu tahun dengan sewa Rp 1.000.000,sebulan, maka menurut Jumhur ulama, akadnya sah untuk bulan pertama, sedangkan untuk bulan selanjutnya, apabila kedua belah pihak saling rela membayar sewa dan menerima sebesar Rp 1.000.000, maka kerelaan ini dianggap sebagai kesepakatan bersama sebagaimana dengan bay' almu'athah, yaitu jual-beli tanpa ijab dan kabul, tetapi cukup dengan membayar uang dan mengambil barang yang dibeli sebagaimana telah dijelaskan pada bab jual-beli. (4) Obyek ijârah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya. Oleh sebab itu, ulama fikih sepakat mengatakan, bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat diserahkan, dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Umpamanya, rumah atau toko harus siap pakai atau tentu saja sangat bergantung kepada penyewa apakah mau dia melanjutkan akad itu atau tidak. Sekiranya rumah itu atau toko itu disewa oleh orang lain, maka setelah habis sewanya, baru dapat disewakan kepada orang lain. (5) Obyek ijârah itu sesuatu yang dihalalkan oleh shara'. Oleh sebab itu ulama fikih sependapat, bahwa tidak boleh menggaji tukang sihir, tidak boleh menyewa orang untuk membunuh (pembunuh bayaran), tidak boleh menyewakan rumah untuk tempat berjudi atau tempat prostitusi (pelacuran). Demikian juga tidak boleh menyewakan rumah kepada nonmuslim untuk tempat mereka beribadat.
36
Para ulama fikih berbeda pendapat dalam hal menyewa (menggaji) seorang mu'adhin, menggaji imam shalat dan menggaji seorang mengajar al-Qur'an. Ulama Madhhab Hanafî dan Hanbalî mengatakan tidak boleh (haram hukumnya) menggaji mereka, karena pekerjaan seperti ini termasuk pekerjaan taat (dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah), dan terhadap perbuatan taat seseorang tidak boleh menerima gaji. Mereka beralasan kepada sesuatu riwayat dari Amr bin Ash, yang mengatakan:
ًاZy ْ َاxِ Rِ أ َذNَOP َ ُ ُ Sَ\ M َ SًR َ ِّذwً َ َ TWن ا ِ ِا "Apabila salah seorang di antara kamu dijadikan mu'aazin (di masjid), maka janganlah kamu meminta upah atas azan tersebut." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan Nasai). Berbeda dengan pendapat ulama Madhhab Malikî dan Shafi'î, bahwa seseorang boleh menerima gaji dalam mengajarkan al-Qur'an, karena mengajarkan tersebut merupakan suatu pekerjaan yang jelas. Alasan mereka adalah Sabda Rasulullah:
ن ِ ْاZVُ Iْ ا َ wِ xُ Hَ wَ Sَb{ِ ً ¢ُyج َر َ وW َز: KHO ^ ِ لا َ ْQ¡ ُ ن َر W ِا "Rasulullah SAW. menikahkan seseorang laki-laki dengan mahar ayat al-Qur'an yang dihafalkannya." (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad)
37
Mahar biasanya bermakna harta. Disamping itu Rasulullah mengatakan:
^ ِ با َ SَXًا ِآZy ْ َاxِ ْ OَP َ ْKTُ ْ َ اSَw ¥ W َ ن َا W ِا "Upah yang lebih berhak (pantas) kamu ambil adalah dari mengajarkan kitab Allah." (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah) Berdasarkan Sabda Rasulullah di atas, ulama Mazhab Malikî berpendapat, bahwa boleh hukumnya menggaji seorang mu'adhin dan imam tetap pada suatu masjid. Imam Shalat di Masjid al-Haram dan Masjid Nabawî mendapat gaji tetap. Kemungkinan di Masjid-Masjid lain pun ada terjadi, sebab tugas itu menjadi tugas rutin. Ulama Mazhab Shafi'î tidak membenarkan menggaji imam shalat. Seluruh ulama fikih sepakat mengatakan, bahwa seseorang boleh menerima gaji untuk mengajar berbagai disiplin ilmu, karena mengajarkan seluruh ilmu itu bukanlah kewajiban pribadi, tetapi kewajiban kolektif (fardhu kifâyah). Selanjutnya terdapat pula perbedaan pendapat ulama, mengenai upah
dalam
penyelenggaraan
jenazah,
seperti
memandikannya
mengkafani dan menguburkannya. Ulama Madhhab Hanafî mengatakan tidak boleh mengambil upah, karena hal itu sudah merupakan kewajiban bagi muslim.
38
Jumhur
ulama
membolehkannya,
dengan
alasan,
bahwa
penyelenggaraan jenazah termasuk kewajiban kolektif (fardhu kifâyah) bukan kewajiban pribadi (fardhu 'ain). (6) Obyek ijaarah merupakan sesuatu yang bisa disewakan, seperti rumah, mobil, hewan tunggangan dan lain-lain. (7) Upah/sewa dalam akad ijaarah harus jelas, tertentu dan bernilai harta. Namun, tidak boleh barang yang diharamkan oleh sharâ'.37 4. Kewajiban dan Hak-Hak Pekerja Dengan telah terpenuhi syarat perjanjian kerja sebagaimana diutarakan di atas, maka terjadilah hubungan hukum di antara para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Dengan timbulnya hubungan hukum di antara mereka, maka dengan sendirinya akan melahirkan hak dan kewajiban di antara para pihak tarsebut. Adapun yang menjadi kewajiban pekerja dengan adanya hubungan hukum tersebut adalah :
a.
Mengerjakan sendiri pekerjaan yang diperjanjikan, kalau pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang khas.
b.
Benar-benar bekerja sesuai dengan waktu perjanjian.
c.
Mengerjakan pekerjaan dengan tekun, cermat dan teliti.
d.
Menjaga keselamatan barang yang dipercayakan kepadanya untuk dikerjakannya, sedangkan kalau bentuk pekerjaan itu berupa urusan, mengurus urusan tersebut sebagaimana mestinya mengganti kerugian kalau ada barang yang rusak, dalam hal ini apabila kerusakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan atau kelengahannya (alpa).
Sedangkan yang menjadi hak-hak pekerja yang wajib dipenuhi oleh pemberi pekerjaan adalah : a.
37
Hak untuk memperoleh pekerjaan.
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, 231-235.
39
b.
Hak atas upah sesuai dengan yang telah diperjanjikan.
c.
Hak untuk diperlakukan secara baik dalam lingkungan pekerjaan. Hak atas jaminan sosial, terutama sekali menyangkut bahaya-bahaya yang dialami oleh si pekerja dalam melakukan pekerjaan.
5. Penentuan Upah Kerja Masalah yang sering muncul kepermukaan dewasa ini dalam dunia ketenagakerjaan adalah masalah yang menyangkut dengan pemenuhan hak-hak pekerja, terutama sekali hak untuk diperlakukan secara baik dalam lingkungan pekerjaan, hak atas jaminan sosial dan hak atas upah yang layak (ingat kasus pembunuhan terhadap tenaga kerja wanita yang bernama Marsinah). Persoalan ini timbul tentunya tidak terlepas dari sikap para pengusaha (pemberi pekerjaan) yang terkadang berprilaku tidak manusiawi terhadap para pekerjanya. Menyangkut penentuan upah kerja, syari'at Islam tidak memberikan ketentuan yang rinci secara tekstual, baik dalam ketentuan A1-Qur'an maupun sunnah Rasul. Secara umum dalam ketentuan Al-Qur'an yang ada keterkaitan dengan penentuan upah kerja ini dapat dijumpai dalam surat An-Nahl ayat 90 yang berbunyi sebagai berikut :
Ï!$t±ósx.ø9$# Çtã 4‘sS÷Ζtƒuρ 4†n1öà)ø9$# “ÏŒ Ç›!$tGƒÎ)uρ Ç≈|¡ômM}$#uρ ÉΑô‰yèø9$$Î/ ããΒù'tƒ ©!$# ¨βÎ) šχρã©.x‹s? öΝà6‾=yès9 öΝä3ÝàÏètƒ 4 Äøöt7ø9$#uρ Ìx6Ψßϑø9$#uρ "Allah memerintahkan berbuat adil, melakukan kebaikan dan dermawan terhadap kerabat. Dan ia melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan penindasan. Ia mengingatkan kamu supaya mengambil pelajaran".”38. Apabila ayat dikaitkan dengan perjanjian kerja, maka dapat dikemukakan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada para pemberi pekerjaan (majikan) untuk berlaku adil, berbuat baik dan dermawan kepada para pekerjanya :. Kata "kerabat" dalam ayat ini, menurut penulis dapat diartikan dengan "tenaga kerja", sebab para pekerja tersebut sudah merupakan bagian dari perusahaan, dan kalaulah bukan karena jerih payah pekerja tidak mungkin usaha si majikan dapat berhasil. Disebabkan si pekerja mempunyai andil yang besar untuk kesuksesan usaha si majikan, maka berkewajibanlah si majikan untuk mensejahterakan para pekerjanya, termasuk dalam hal ini memberikan upah yang layak. Selain itu dari ayat tersebut dapat ditarik pengertian bahwa pemberi kerja dilarang Allah SWT untuk berbuat keji (seperti memaksa pekerja untuk berbuat cabul) dan melakukan penindasan (seperti menganiaya), dan si majikan harus ingat, bahwa do'a orang yang tertindas sangat diperhatikan oleh Allah SWT. Di samping itu Rasulullah SAW juga memberikan ancaman, yang mana beliau mengemukakan bahwa ada tiga orang yang akan digugatnya di hari akhirat kelak, salah satu di antaranya adalah majikan yang tidak memberikan hak pekerja sebagaimana layaknya, padahal si pekerja telah memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya. Untuk menentukan upah kerja, setidaknya dapat dipedomani Sunnah Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya berbunyi sebagai berikut : "Bahwa âjir khash pembantu rumah tangga, hendaklah dipandang sebagai keluarga sendiri yang kebetulan berada di bawah kekuasaan kepala rumah tangga. Pembantu rumah tangga yang berada di bawah kekuasaan kepala rumah tangga hendaklah diberi makan seperti yang dimakan oleh keluarga rumah tangganya, diberi pakaian seperti yang di pakai keluarga rumah tangganya, jangan diberi pekerjaan di luar kekuatan yang wajar dan jika dibebani pekerjaan hendaklah dibantu untuk meringankan" Dalam ketentuan hadis tersebut tidak dikemukakan mengenai tempat tinggalnya, hal ini tentunya dimaklumi, sebab pembantu rumah tangga selalu bertempat tinggal di rumah keluarga tempat bekerjanya. Kalau ketentuan hadith tersebut dikaitkan dengan perjanjian kerja pada umumnya, bahwa tingkat upah yang harus diberikan si majikan kepada si pekerja, haruslah dapat memenuhi :
38
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung, CV. Diponegoro: 2000), 221.
40
1. Kebutuhan pangan si pekerja, 2. Kebutuhan sandang, dan 3. Kebutuhan tempat tinggalnya. Apabila pekerja tersebut kepala keluarga tentunya termasuk kebutuhan anggota keluarganya. Dari uraian-uraian yang dikemukakan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa upah kerja yang diberikan oleh si pemberi kerja minimal harus dapat memenuhi kebutuhan pokok si pekerja dan keluarganya, sesuai dengan kondisi setempat.
41
6. Upah minimum tenaga kerja Apabila diperhatikan kecenderungan yang terjadi dewasa ini, bahwa para pemberi pekerjaan/ pengusaha/ majikan sudah jarang sekali memperhatikan kebutuhan para pekerjanya, dan lazimnya mereka selalu berhasrat untuk memperkaya diri sendiri di atas kesengsaraan orang lain (pekerjanya). Maka untuk menghindari kesewenangan-sewenangan dan penindasan, dan dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat, pihak negara (dalam hal ini dilaksanakan oleh Pemerintah) harus memberikan perhatian terhadap upah minimum yang harus dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pekerjanva. Sebab kesejahteraan masyarakat sangat menentukan terhadap stabilitas sosial suatu negara. Untuk hal ini kiranya perlu campur tangan pemerintah untuk mengatur ketentuan upah minimum tenaga kerja, dasar hukum campur tangan Pemerintah terhadap ketentuan upah minimum tenaga kerjanya ini menurut pandangan Syari'at Islam didasarkan kepada azas "maslahah mursalah". Penentuan upah minimum tenaga kerja ini hendaknya haruslah didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang rasional, tidak danya mendahulukan kepentingan pihak pengusaha, dengan perkataan lain, penentuan kebutuhan pokok tenaga kerja tersebut haruslah berdasarkan kepada realitas yang ada (bukan hanya berdasarkan perkiraan di atas meja).39 Menurut Drs. Ghufron A. Mas'adi, M.Ag dalam bukunya Fiqih Mu'amalah Kontekstual mengatakan ijârah yang mentransaksikan suatu pekerjaan atas seorang pekerja atau buruh, harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut ini : Pertama, perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan, misalnya bekerja menjaga rumah satu malam, atau satu bulan. Dan harus jelas jenis pekerjaannya, misalnya pekerjaan menjahit baju, memasak, mencuci dan lain sebagainya. Dalam hal yang disebutkan terakhir ini tidak disyaratkan adanya batas waktu pengerjaannya. Pendek kata, dalam hal ijârah pekerjaan, diperlukan adanya job description (uraian pekerjaan). Tidak dibenarkan mengupah seseorang dalam periode waktu tertentu dengan ketidakjelasan pekerjaan. Sebab ini cenderung menimbulkan tindakan kesewenang-wenangan yang memberatkan pihak pekerja. Seperti yang di alami oleh pembatu rumah tangga dan pekerja harian. Pekerjaan yang harus mereka laksanakan bersifat tidak jelas dan tidalk terbatas. Seringkali mereka harus mengerjakan apa saja yang diperintahkan bos atau juragan. Kedua, pekerjaan yang menjadi obyek ijârah tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban pihak Musta'jir (pekerja) sebelum berlangsung akad ijârah, seperti kewajiban membayar hutang, mengembalikan pinjaman, menyusui anak dan lain-lain. Demikian pula tidak sah mengupah perbuatan ibadah seperti shalat, puasa dan lain-lain. Sehubungan dengan prinsip ini terdapat perbedaan pendapat mengenai ijârah terhadap pekerjaan seorang mu'adhin (juru azan) imam, dan pengajar al-Qur'an, memandikan jenazah. Menurut Fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah tidak sah. Alasan mereka perbuatan tersebut tergolong pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah. Dalam ha ini mereka berpegang kepada kaidah:
¦PSI اNOP ZyX§bI اwZy M أ¥¨X§\ M "Tidak ada hak upah itas orang yang yang melakukan amal kepatuhan" Menurut Imam Malik dan Imam Syafi'iy ijârah atas pengajaran al-Qur'an, mengumandangkan adzan dan menjadi imam masjid adalah boleh. Karena ijârah tersebut berlaku pada suatu pekerjaan yang jelas dan bukan merupakan kewajiban pribadi. Namun Imam Syafi'iy tidak membenarkan ijârah atas imam shalat fardhu. Dalam hal ibadah haji Imam Syafi'iy membolehkan ijârah untuk melaksanakan manâsik haji. Selain persyaratan yang berkenaan dengan obyek ijarah, hukum Islam juga mengatur sejumlah persyaratan yang berkaitan dengan 'ujrah (upah atau ongkos sewa) sebagaimana berikut ini. Pertama, upah harus berupa mal mutaghawwim dan upah tersebut harus dinyatakan secara jelas. Persyaratan ini ditetapkan berdasarkan sabda Rasulullah yang artinya: "Barangsiapa mempekerjakan buruh hendaklah menjelaskan upahnya". Mempekerjakan orang dengan upah makan, merupakan contoh upah yang tidak jelas karena mengandung unsur jihalah. (ketidakpastian). Ijarah seperti ini menurut jumhur fuqaha, selain Malikiyah, tidak sah. Fuqaha Malikiyah menetapkan keabsahan ijarah tersebut sepanjang ukuran upah yang dimaksudkan dapat diketahui berdasarkan adatkebiasaan.
39
Choiruman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian dalam Islam, 153-159.
42
Kedua, upah harus berbeda dengan jenis obyeknya. Menyewa rumah dengan rumah lainnya, atau mengupah suatu pekerjaan dengan pekerjaan yang serupa, merupakan contoh ijârah yang tidak memenuhi persyaratan ini. Karena itu hukumnya tidak sah, karena dapat mengartarkan kepada praktek riba.40.
D. Pengambilan Fee Pengambilan Fee dalam PJTKI dalam syari’at Islam pada dasarnya hukumnya adalah mubah atau boleh. Merujuk kepada kaidah bahwa Al-Aslu fil Asy-yai Al-Ibahah. Hukum segala sesuatu itu pada asalnya adalah boleh. Dalam hal ini maksudnya adalah dalam masalah muamalat. Sampai nanti ada hal-hal yang ternyata dilarang atau diharamkan dalam syariah Islam. Misalnya bila di dalam sebuah pengambilan fee itu ternyata terdapat indikasi riba`, atau ada indikasi terjadinya gharar atau penipuan, atau mungkin juga terjadi dharar yaitu hal-hal yang membahayakan, merugikan atau menzhalimi pihak lain, entah dengan mencelakakan dan menyusahkan. Dan tidak tertutup kemungkinan ternyata ada unsur jahalah atau ketidak-transparanan dalam sistem dan aturan. Diriwayatkan dari hakim bin Hazzam bin Hazzam dari ayahnya, dia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “Biarkan Allah memberi rizki kepada sebagian manusia dari sebagian yang lain. Maka, jika seorang laki-laki meminta nasehat kepada saudaranya, hendaklah saudaranya itu memberi nasehat kepadanya”
40
Ghufron A. Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2002) 183-187.
43
Demikianlah terjadi perantaraan antara Majikan dengan Calon Tenaga Kerja dalam suatu pekerjaan tertentu dan mereka mendapatkan upah tertentu atas transaksi yang mereka lakukan. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini dalam hukum mu’amalah disebut dengan samsarah (perdagangan perantara/ makelar). Kata simsar artinya adalah orang mengurusi dan menjaga sesuatu. Fuqaha’ telah mendefinisikan simsar sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah tertentu. Pekerjaan makelar halal secara syar’i dan merupakan salah satu dari transaksi yang boleh dalam syara’. Hanya saja, pekerjaan makelar harus jelas keuntungan, komisi atau upah bagi perantara harus diketahui dengan jelas.41 Pada hakikatnya, orang yang mengikuti dan mengkaji Sunnah Rasul dan Sunnah Rasyidiyyah (Khulafa' al-Rashidin) dan sebelumnya telah meneliti AlQur'an niscaya ia tidak akan mendapatkan satu pun nash yang mewajibkan atau menyunahkan batas keuntungan tertentu.42 Maksud uraian tersebut ialah bahwa di dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah tidak terdapat nash yang memberikan batasan tertentu terhadap pengambilan fee. Yang jelas, hal ini diserahkan kepada hati nurani masing-masing orang muslim dari tradisi masyarakat sekitarnya, dengan tetap memelihara kaidah-kaidah
41
Taqyuddin An-Nabhani, As-syakhsiyyah. Alislamiyyah II. Kepribadian Islam Jilid II, Terj. Agung Wijayanto (Beirut, Darulummah, 1994), 479-785. 42 Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa kontemporer, terj. Subhan M.Solihat (Jakarta, Gema Insani Press : 1995) 593.
44
keadilan dan kebajikan serta larangan memberikan mudarat terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang lain, yang memang menjadi pedoman bagi semua tindakan dan perilaku seorang muslim dalam semua hubungan. Oleh sebab itu, Islam tidak memisahkan antara ekonomi dan akhlak. Berbeda dengan falsafah kapitalisme yang menjadikan "keuntungan materi" sebagai tujuan utama dan pemberi motivasi terbesar untuk melakukan kegiatan perekonomian yang tidak banyak terikat dengan ikatan-ikatan seperti Islam.43 Pengambilan
fee
yang
diperoleh
dengan
jalan
menipu
atau
menampakkannya (mengemasnya) dalam bentuk yang menipu, yang tidak sesuai dengan hakikatnya, dengan tujuan mengecoh. Termasuk dalam hal ini iklan promosi yang berlebih-lebihan, yang menyesatkan dari kenyataan yang sebenarnya.44 Nabi saw melepaskan diri dari orang yang menipu. Beliau bersabda :
(ئS§Iى واZ[I اM¦اPSb|I )روا« اSWwِ © َ ْ Oََ Sَv Wª َ ْwَ Barangsiapa menipu kami maka bukanlah dia dari golongan kami. (HR. AlJama'ah kecuali Bukhori dan Nasa'i) Imam al-Ghazali berkata: "Dari nasihat itu mereka memahami bahwa seharusnya seseorang tidak rela untuk saudaranya selain apa yang ia rela untuk dirinya sendiri. Dan mereka tidak mempercayai bahwa yang demikian itu sebagian dari amal perbuatan yang utama dan tambahan kedudukan yang tinggi. Tetapi mereka mempercayai bahwa yang demikian itu sebagian dari syarat-syarat 43 44
Ibid, 604. Ibid, 603.
45
Islam yang masuk di bawah bai'at (janji setia) mereka. Dan ini adalah hal yang sukar bagi kebanyakan orang. Oleh karena itu mereka memilih mengasingkan diri untuk beribadah dan menjauhi khalayak ramai, karena menegakkan hak-hak Allah serta bercampur baur dan bermuamalah adalah mujahadah (perjuangan) yang tidak dapat dilaksanakan melainkan oleh orang-orang yang siddiq".45 E. Akibat terjadinya pemutusan perjanjian sepihak perjanjian kerja Sebelum menyoal Pemutusan perjanjian sepihak dalam perjanjian kerja, ada baiknya mengetahui konteks masa berakhirnya perjanjian kerja yang telah menjadi ketentuan dalam hukum Islam. Dalam kontek hukum Islam, perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan berakhir jika dipenuhi tiga hal sebagai berikut :
45
Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa kontemporer, 594.
46
1. Berakhirnya masa berlaku akad Biasanya dalam sebuah perjanjian telah ditentukan saat kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga dengan lampaunya waktu, maka secara otomatis perjanjian akan berakhir, kecuali kemudian ditentukan lain oleh para pihak. 2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad Hal ini biasanya terjadi jika ada salah satu pihak yang melanggar ketentuan perjanjian, atau salah satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan perjanjian terdapat unsur kekhilafan atau penipuan. Kekhilafan bisa menyangkut objek perjanjian (error in objecto), maupun mengenai orangnya (error in persona). 3. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia Hal ini berlaku pada perikatan untak berbuat sesuatu, yang membutuhkan adanya kompetensi khas. Sedangkan jika perjanjian dibuat dalam hal memberikan sesuatu, katakanlah dalam bentuk uang/barang maka perjanjian tetap berlaku ahli warisnya. Demikian ketentuan berakhirnya akad perjanjian dalam hukum Islam selanjutnya tidak lepas dari konteks akad perjanjian harus mengetahui Implementasi Prinsip-prinsip Perjanjian Islam dalam Pembuatan Perjanjian (Contract Drafting) untuk membahas pemutusan perjanjian sepihak lebih lanjut.
47
Berdasarkan pada pengertian akad/ perjanjian, rukun dan syarat sahnya perjanjian, asas-asas hukum yang mendasarinya, klasifikasi perjanjian Islam, dan berakhirnya suatu perjanjian. Maka dalam perjanjian menurut hukum Islam harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Dari segi subjek atau pihak-pihak yang akan mengadakan akad/ perjanjian. Subjek hukum yang mengadakan perjanjian harus sudah cakap melakukan perbuatan hukum, terdapat identitas para pihak dan kedudukan masing-masing dalam perjanjian secara jelas, dan perlu adanya kejelasan terhadap tempat dan saat perjanjian itu dibuat. b. Dari segi tujuan dan objek akad/perjanjian. Dalam sebuah perjanjian perlu disebutkan secara jelas tujuan dari dibuatnya suatu perjanjian dan jangan sampai membuat sebuah perjanjian dengan objek yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam atau `urf (kebiasaan/ adat) yang sejalan dengan ajaran Islam, meskipun dalam perjanjian Islam dianut asas kebebasan berkontrak sebagai asas yang fundamental dalam hukum perjanjian. c. Perlu adanya kesepakatan dalam hal yang berkaitan dengar waktu perjanjian, jumlah biaya, mekanisme kerja, jaminan penyelesaian sengketa, dan objek yang diperjanjikan dan cara-cara pelaksanaannya. d. Perlu adanya persamaan, kesetaraan, kesedarajatan. dan keadilan diantara para pihak dalam menentukan hak dan kewajiban diantaranya serta dalam hal
48
penyelesaian permasalahan terkait dengan adanya pemutusan perjanjian sepihak dari salah satu pihak. e. Pemilihan hukum dan forum dalam penyelesaian sengketa (Choice of Law and Choice of Forum), harus dicantumkan dalam perjanjian misalnya dengan mencantumkan klausul "bahwa dalam hal terjadi sengketa dikemudian hari, para pihak sepakat untuk menyelesaikaanya dengan berdasarkan hukum Islam di Badan Arbitrase Syariah Nasional yang wilayah hukumnya meliputi tempat dibuatnya perjanjian ini " Hal-hal di atas perlu dimasukkan dalam sebuah naskah perjanjian dengan tidak menutup kemungkinan bagi para pihak memuat hal-hal yang dianggap penting, karena dalam pembuatan suatu perjanjian haruslah rigid dan harus dihindarkan adanya kata-kata yang berwayuh arti (multi intrepretable). Sehingga dapat meminimalisir peluang terjadinya sengketa di kemudian hari. Demikianlah kajian terhadap hukum perjanjian Islam secara umum. Pada pembahasan berikutnya akan ditinjau macam-macam perjanjian Islam secara spesifik. Termasuk pemutusan perjanjian sepihak dalam akad perjanjian kerja.46 Jika pemutusan perjanjian sepihak terjadi masih didalam batas kemampuan manusia, berupa tidak berprestasi sama sekali, berprestasi tetapi tidak sempurna, berprestasi tidak tepat waktu, atau melakukan segala sesuatu
46
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta, Citra Media: 2006), 30-31.
49
yang dilarang dalam perjanjian. Maka adanya risiko lebih disebabkan oleh adanya keadaan situasi dimana memang seseorang mustahil untuk memenuhi prestasi. Keadaan ini kita kenal dengan force majeur/ ouermacht, baik yang bersifat absolut maupun yang bersifat relative. Adapun yang dimaksud resiko adalah suatu kewajiban memikul kewajiban yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Dengan demikian resiko dalam suatu perjanjian adalah suatu peristiwa yang tidak dikehendaki oleh kedua belah pihak. Berarti terjadinya suatu keadaan yang memaksa disebabkan oleh hal-hal atau kejadian di luar jangkauan para pihak. Adanya
resiko,
menimbulkan
konsekuensi
siapa
yang
harus
bertanggungjawab. Solusi atas keadaan ini tidak dapat digeneralisir, melainkan harus dilihat case to case.47 Dalam Hukum Islam dijelaskan dalam akad perjanjian tidak boleh mengandung unsur paksaan, penipuan dan dilakukan dengan jalan suka sama suka sebagaimana dalam firman Allah QS An-Nisa' ayat 29 : $y㕃r'‾≈tƒ šÏ%©!$# (#θãΨtΒ#u Ÿω (#þθè=à2ù's? Νä3s9≡uθøΒr& Μà6oΨ÷t/ È≅ÏÜ≈t6ø9$$Î/ HωÎ) βr& šχθä3s? ¸οt≈pgÏB tã <Ú#ts? öΝä3ΖÏiΒ 4 Ÿωuρ (#þθè=çFø)s? öΝä3|¡à.Ρr& 4 ¨βÎ) ©!$# tβ%x. öΝä3Î/ $VϑŠÏmu‘ "Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan 47
Ibid, 38.
50
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu".48 Pemutusan perjanjian sepihak terjadi manakala adanya praktek paksaan, penipuan, penghianatan, berlandaskan ayat diatas maka kemaslahatan dalam Islam menjadi hal pokok dalam sebuah perikatan atau akad perjanjian kerja. Jadi Islam melarang adanya perjanjian dengan dalih penipuan.
Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemah, QS Annisa': 29, (Bandung, CV. Diponegoro: 2000), 19. 48
51
BAB III PRAKTEK PERJANJIAN KERJA (PJTKI PT. AMRI MARGATAMA)
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Sejarah PT. Amri Margatama berdiri tanggal 28 April 2005 sebagai Penyalur Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) ke luar negeri yang didirikan oleh Rusminah yang beralamatkan Jl Letjen S.Parman No 138 Ponorogo dan telah mendapatkan SIUP dengan No. SIUP PJTKI :KEPADA-034/MEN/LN/BP/2000 dan dengan nomor registrasi : 145/PPTKLN/KEPADA/XII/2003. PJTKI ini berdiri bermula dari minimnya lapangan kerja di Indonesia yang mengakibatkan banyaknya pengangguran yang terjadi di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Ponorogo. Menindak lanjuti dari banyaknya calon-calon tenaga kerja Indonesia yang ingin mencari kerja ke luar negeri Rusminah sebagai pendiri sekaligus Kepala Cabang PT. Amri Margatama hingga sekarang mempunyai inisiatif untuk memfasilitasi para calon Tenaga Kerja Indonesia tersebut untuk memberangkatkan dan menempatkan kerja ke luar negeri. Awal berdirinya PT. Amri Margatama tentu tidak mulus begitu saja, melainkan banyak kendala yang meski dihadapi diantaranya banyaknya PJTKI yang bermunculan hingga menuntut persaingan diantara PJTKI yang ada. Hal demikian terbukti dengan eksistensi PT. Amri Margatama hingga sekarang, yaitu dengan cara memberikan pelayanan yang terbaik dan kemulusan perjalanan pemberangkatan ke negara tujuan kepada TKI/TKW. Meski harus melalui beberapa kali proses yaitu: Pertama, sebagai Sponsor, Kedua, sebagai Pialang dan Ketiga; sebagai Perwada dan pada akhirnya didirikanlah Kantor Cabang PT. Amri Margatama Ponorogo Jawa Timur. 49
Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di PT. Amri Margatama. Letak PJTKI PT. Amri Margatama di Jl. Letjen S.Parman No 138 Desa Keniten Kecamatan Babadan Kabupaten Ponorogo. Yaitu sebuah desa di sebelah utara kota Kabupaten Ponorogo ± 4 km. Kompas jalan menuju PT. Amri Margatama dari kota bisa dimulai dari jalan Panglima Sudirman ke utara sampai pada alamat PT. Amri Margatama di desa tersebut di atas. Lingkungan kantor PT Amri Margatama ini cukup nyaman, sekalipun berada di pinggiran kota penuh dengan kebisingan karena berada di jalur bus 49
2007.
Wawancara dengan Kepala PT. PJTKI Amri Margatama Bu Rumsinah , tanggal 16 Mei
52
alternatif untuk semua jurusan yang menuju Terminal Selo Aji Ponorogo dintaranya Bus Pacitan-Ponorogo, Trenggalek-Ponorogo, Wonogiri-Ponorogo terkecuali Bus Jurusan Surabaya dan Madiun. Hal demikian menyebabkan PT Amri Margatama selalu tampak ramai disebabkan lokasi yang strategis berdekatan dengan jalur alternatif Bus antar jurusan. Di PT Amri Margatama inilah biasanya para calon TKI/TKW yang mendaftarkan diri untuk bekerja ke luar negeri. Sehingga tidak jarang tempat yang nyaman ini juga penuh dengan para calon TKI/TKW yang mendaftarkan diri untuk bekerja ke luar negeri. Data Pengurus PT. Amri Margatama STRUKTUR ORGANISASI PT AMRI MARGATAMA CABANG PONOROGO KA. CABANG RUSMINAH
BAGIAN KEUANGAN
BAGIAN ADMINISTRASI
BAG. PENYEDIAAN/ PENGIRIMAN CTKI
RUKAYAH
MIMIN
MISNI SUROSO
53
Bentuk Akad Perjanjian Kerja antara Calon TKI dengan PJTKI di PT. Amri Margatama Cabang Ponorogo Perjanjian kerja adalah perjanjian di mana pihak kesatu. buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah. Perumusan
mengenai
perjanjian
adalah
sebagai
berikut:
perjanjian-kerja adalah perjanjian dengan mana pihak yang kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk di bawah pimpinan pihak yang lain, majikan, untuk waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Perumusan ini adalah kurang lengkap karena di sini yang mengikatkan diri hanyalah pihak buruh saja, tidak juga pihak lainnya, yaitu majikan. Padahal pada tiap perjanjian yang berdua-pihak, yang mengikatkan diri adalah kedua-belah pihak yang bersangkutan. Perumusan semacam itu terpengaruh oleh pandangan zaman ke zaman di masyarakat manapun juga, yang memandang orang-orang yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan orang lain disebut sebagai orang yang derajatnya rendah, secara ekonomis derajat mereka memang rendah, orang-orang yang tidak punya. Sebaliknya mereka yang memberi pekerjaan, mereka yang kepentingannya dikerjakan oleh orang-orang tadi, mempunyai kedudukan yang tinggi yaitu orang-orang yang mempunyai ekonomis kuat.
54
Satu hal yang bisa saja terjadi, orang-orang kaya terhadap orangorang miskin mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian. Di zaman perbudakan hal ini terjadi bahkan melibatkan jiwa dan raganya, si pemilik budak berkuasa dengan leluasa. Di zaman agak maju, di mana hubungan antara orang yang melakukan pekerjaan dan orang yang memberi pekerjaan, dipandang sebagai hubungan sewa menyewa, orang yang menyewa orang lain itu mempunyai kedudukan yang menentukan pula, sedang orang yang disewa itu masih terikat dalam segala hal, kecuali jiwa dan raganya. Mengenai orang-orang yang melakukan akad perjanjian kerja pada dasarnya dapat dikatakan bahwa hanyalah orang dewasa yang mempunyai tanggung jawab, yang mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan perjanjian kerja, yang berlaku bagi semua golongan warganegara, orang dewasa adalah orang laki-laki atau wanita yang berusia 18 tahun ke atas. Selanjutnya Isi perjanjian kerja, yaitu pokok persoalan, tegasnya pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang yang sifatnya memaksa atau dalam undang-undang tentang ketertiban umum atau dengan tata susila masyarakat. Secara positif isi perjanjian kerja adalah dengan sendirinya kewajiban-kewajiban dan hak-hak buruh serta kewajiban-kewajiban dan hak-hak majikan yang berpangkal pada melakukan pekerjaan dan pembayaran upah. Acapkali
55
kewajiban pihak yang satu tersimpul dalam hak pihak lainnya dan hak pihak yang satu tersimpul dalam kewajiban pihak lainnya. Sedangkan bentuk perjanjian-kerja harus berdasarkan atas pernyataan kemauan yang sepakat. Setelah terdapat persetujuan mengenai macam pekerjaan, besarnya upah dan sebagainya. Perjanjian-kerja itu dibuat secara tertulis serta dinyatakan dalam rumusan tertentu dan jelas. Makin tegas dan jelas isi dan perumusan pernyataan kehendak kedua belah pihak, makin kurang timbul keraguraguan. Surat juga berguna sebagai tanda bukti. Bentuk tertulis diminta untuk berbagai janji/syarat dan penyimpangan dari aturan perundang-undangan. Perjanjian tertulis ini tidak perlu dalam perjanjian-kerja itu sendiri. Dan perjanjian tertulis tidak harus pula dituangkan dalam bentuk tertentu. Cukup adalah misalnya surat dari pihak kesatu yang secara tertulis disetujui oleh pihak lainnya. Juga dipandang cukup bila janji/syarat itu ditetapkan secara tertulis oleh pihak yang menanggungnya dan tulisan ini berada di tangan pihak yang mendapat keuntungannya. Peraturan dasar perseroan terbatas (PT/ PJTKI) tidak dapat dipandang sebagai perjanjian tertulis. Syarat yang harus diperjanjikan
secara
tertulis,
harus
dimuat
dalam
surat
yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Penunjukan ke suatu perjanjian lain di mana syarat itu dimuat, adalah juga cukup.
56
Penetapan janji/syarat dan penyimpangan dari aturan perundangundangan secara tertulis itu, dapat dilakukan dengan penetapan dalam suatu perjanjian-perburuhan. Demikian itu adalah akibat dari kedudukan perjanjian-perburuhan sebagai peraturan yang kedudukannya lebih tinggi dari perjanjian kerja. Demikian bentuk perjanjian serta ketentuan perjanjian antara calon TKI dengan PJTKI yang terjadi di PT Amri Margatama dan selanjutnya akan dibahas mengenai syarat-syarat penempatan kerja calon TKI PT. Amri Margatama.50
Syarat-syarat perjanjian kerja di PT. Amri Margatama Cabang Ponorogo a. Kegiatan sebelum penempatan TKI di luar negeri meliputi : Sebelum calon tenaga kerja Indonesia berangkat ke negara tujuan untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri harus terlebih dahulu melalui berbagai macam prosedur. 1. Pengurusan SIP; 2. Perekrutan dan seleksi; 3. Pendidikan dan pelatihan kerja, 4. Pemeriksaan kesehatan dan, psikologi; 5. Pengurusan dokumen; 6. Uji kompetensi; 50
Ibid, 10 Juni 2007.
57
7. Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); dan 8. Pemberangkatan. Pelaksana penempatan TKI swasta yang akan melakukan perekrutan wajib memiliki SIP dari Menteri. Untuk mendapatkan SIP, pelaksana penempatan TKI swasta harus memiliki: 1. Perjanjian kerjasama penempatan; 2. Surat permintaan TKI dan Pengguna; 3. Rancangan perjanjian penempatan; dan 4. Rancangan perjanjian kerja. Surat permintaan TKI dari Pengguna, perjanjian kerja sama penempatan, dan rancangan perjanjian kerja harus memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan. Tata cara penerbitan SIP diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang mengalihkan atau memindahtangankan SIP kepada pihak lain untuk melakukan perekrutan caion TKI. b. Proses Perekrutan Calon Tenaga Kerja 1. Proses perekrutan didahului dengan memberikan informasi kepada calon TKI sekurang-kurangnya tentang: a) Tata cara perekrutan b) Dokumen yang diperlukan;
58
c) Hak dan kewajiban calon TKI; d) Situasi, kondisi, dan resiko di negara tujuan; dan a. tata cara perlindungan baru TKI. 2. Informasi disampaikan secara lengkap dan benar. 3. Informasi wajib mendapatkan persetujuan dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan disampaikan oleh pelaksana penempatan TKI swasta. 4. Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan: a) Berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna Perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun; b) Sehat jasmani dan rohani; c) Tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan d) Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat. 5. Pencari kerja yang berminat bekerja ke luar negeri harus terdaftar pada instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. c. Penempatan Calon Tenaga Kerja 1. Pelaksana penempatan TKI swasta membuat dan menandatangani
59
perjanjian penempatan dengan pencari kerja yang telah dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi dalam proses perekrutan. 2. Perjanjian penempatan diketahui oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota. 3. Segala biaya yang diperlukan dalam kegiatan perekrutan calon TKI, dibebankan dan menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI swasta. Dalam hal TKI belum memiliki kompetensi kerja, pelaksana penempatan TKI swasta wajib melakukan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Calon TKI berhak mendapat pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon TKI dimaksudkan untuk : a. Membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja calon TKI; b. Memberi pengetahuan dan pemahaman tentang situasi. kondisi, adat istiadat, budaya, agama, dan risiko bekerja di luar negeri; c. Membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahasa negara tujuan; dan d. Memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban calon TKI/ TKI. Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan oleh pelaksana
60
penempatan tenaga kerja swasta atau lembaga pelatihan kerja yang telah memenuhi persyaratan. Calon TKI memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja dalam bentuk sertifikat kompetensi dari lembaga pendidikan dan pelatihan yang telah terakreditasi oleh instansi yang berwenang apabila lulus dalam sertifikasi kompetensi kerja. Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak lulus dalam uji kompetensi kerja. Calon TKI yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan dilarang untuk dipekerjakan. Perjanjian penempatan TKI dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh calon TKI dan pelaksana penempatan TKI swasta setelah calon TKI yang bersangkutan terpilih dalam perekrutan. Perjanjian penempatan TKI sekurang-kurangnya memuat: a. Nama dan alamat pelaksana penempatan TKI swasta; b. Nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, dan alamat calon TKI; c. Nama dan alamat calon Pengguna; d. Hak dan kewajiban para pihak dalam rangka penempatan TKI di Iuar negeri yang harus sesuai dengan kesepakatan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh calon Pengguna tercantum dalam perjanjian kerjasama penempatan; e. Jabatan dan jenis pekerjaan calon TKI sesuai permintaan Pengguna,
61
f. Jaminan pelaksana penempatan TKI swasta kepada calon TKI dalam hal pengguna tidak memenuhi kewajibannya kepada TKI sesuai perjanjian kerja; g. Waktu keberangkatan calon TKI; h. Biaya penempatan yang harus ditanggung oleh calon TK1 dan cara pembayarannya; i. Tanggung jawab pengurusan penyelesaian masalah: j. Akibat atas terjadinya pelanggaran perjanjian penempatan TKI oleh salah satu pihak; dan k. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian penempatan TKI.51 Ketentuan
dalam
perjanjian
penempatan
TKI
tidak
boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Perjanjian penempatan TKI dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua) dengan bermaterai cukup dan masing-masing pihak mendapat 1 (satu) perjanjian penempatan TKI yang mempunyai kekuatan hukum yang sama. d. Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi Pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI dimaksudkan untuk mengetahui derajat kesehatan dan tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian kepribadian calon TKI dengan pekerjaan yang akan dilakukan di negara tujuan. Setiap calon TKI harus mengikuti pemeriksaan kesehatan dan 51
Ibid, Tanggal 20 Juni 2007.
62
psikologi yang diselenggarakan oleh sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi, yang ditunjuk oleh Pemerintah. Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan psikologi. e. Pengurusan Dokumen Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI harus memiliki dokumen yang meliputi : 1. Kartu Tanda Penduduk, ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran, atau surat keterangan kenal lahir; 2. Surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah; 3. Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali; 4. Sertifikat kompetensi kerja; 5. Surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat; 6. Visa kerja; 7. Perjanjian penempatan TKI 8. Perjanjian kerja; dan 9. Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Demikian syarat-syarat perjanjian penempatan kerja yang terjadi di PT. Amri Margatama Cabang Ponorogo
63
Cara pengambilan fee PJTKI PT Amri Margatama Pemerintah Indonesia memberi kekuasaan penuh kepada PJTKI di Indonesia, sebagai mitra bisnis pemerintah, untuk mengelola bisnis pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Para calon TKI umumnya direkrut dari desa-desa oleh orang suruhan PJTKI yang disebut sponsor. Sponsor berperan untuk mencari dan merekrut calon TKI di tingkat pedesaan dan kemudian membawa mereka ke kantor pusat PJTKI yang ada di pusat-pusat kota. Begitu masuk ke kantor pusat PJTKI, calon TKI diwajibkan menetap dan menunggu di penampungan sampai mendapatkan majikan dan izin visa kerja mereka. Calon TKI diharuskan untuk mengikuti serangkaian pendidikan mulai dari pekerjaan rumah tangga, merawat anak, menjaga orang jompo, memasak dan bahasa. Begitu didaftar dan diterima, staf PJTKI akan menentukan kategori gaji yang “berhak” diterima calon TKI (tergantung pada pengalaman dan latar belakang) dan memberitahu hak-hak calon TKI seperti gaji, hari libur, dan lama potongan gajinya. PJTKI kemudian mulai mengurus dokumen perjalanan calon TKI. Setelah mendapatkan majikan, sehari sebelum keberangkatan CTKI, calon TKI diharuskan untuk menandatangani Perjanjian Penempatan (perjanjian antara calon TKI dan PJTKI) yang mencantumkan jumlah gaji dan lama potongan gaji calon TKI.
64
Perjanjian
Penempatan
ini
adalah
resmi
berdasarkan
kebijakan
pemerintah Indonesia yang mengatur agen perekrutan tenaga kerja ke luar negeri. Sebuah gambaran stimulasi proses perekrutan hingga pemberangkatan calon TKI dengan PJTKI. Sama halnya yang terjadi di PJTKI PT Amri Margatama calon TKI direkrut atau mendaftarkan diri ke PJTKI. Dalam hal keuntungan PJTKI diperoleh dari potongan ilegal atas gaji TKI untuk membayar biaya agen yang sangat tinggi yang ditetapkan oleh PJTKI dan agensi, berdasarkan struktur kebijakan biaya penempatan yang disahkan oleh pemerintah Indonesia. Dengan cara memotong gaji pembantunya selama 5 sampai 7 bulan untuk membayar biaya-biaya penempatan agen tersebut. Dalam potongan gaji ilegal ini, majikan berperan sebagai pihak pelaksana perjanjian ilegal dengan menggelapkan gaji Calon TKI untuk dibayarkan ke agensi, yang tidak lain adalah perpanjangan atau persekutuan dari agensi di Indonesia (PJTKI). Majikan menjadi alat PJTKI dalam menjalankan perjanjian yang dibuat antara Calon TKI dan PJTKI sehubungan dengan biaya penempatan. Sehingga langsung maupun tidak langsung, melalui agensi di Negara tujuan, majikan lah yang ”mengumpulkan” biaya-biaya penempatan tersebut mewakili PJTKI, dengan cara memotong gaji bulanan pembantu Indonesia (CTKI).
65
Menurut aturan PJTKI, Kategori Pertama; diberikan kepada Calon TKI yang tidak memiliki pengalaman kerja di luar negeri sebelumnya dan yang tidak bisa berbahasa Negara tujuan. Kebanyakan Calon TKI pendatang baru atau yang baru pertama kali kerja. Biasanya para pendatang baru ini diberitahu oleh PJTKI dan agensi bahwa mereka hanya akan menerima gaji tertentu (kurang dari nominal sesungguhnya). Kategori Kedua; adalah Calon TKI yang ”berhak” mendapat gaji penuh. Mayoritas adalah Calon TKI yang sudah punya pengalaman kerja di luar negeri sebelumnya dan memiliki kemampuan berbahasa Negara tujuan. Berdasarkan kategori gaji yang dibuat, PJTKI dan agensi mengenakan potongan gaji yang tidak sama. Biaya penempatan (atau juga biasa disebut biaya agen) yang dikumpulkan dari tiap Calon TKI. Namun, seperti yang telah dijelaskan diatas, cara pengumpulan dan lama potongan bergantung pada apakah Calon TKI menerima gaji penuh atau potongan gaji illegal tiap bulannya. Dalam kasus ini, majikan yang mewakili PJTKI untuk memungut pembayaran biaya penempatan terhadap Calon TKI, yaitu dengan cara memotong secara ilegal gaji bulanan Calon TKI atau melalui perjanjian hutang di perusahaan-perusahaan perkreditan. Jika Calon TKI menerima gaji kurang dari gaji standar minimum (potongan gaji ilegal), dia harus membayar kepada PJTKI dan agensi melalui
66
potongan terhadap gajinya selama lima bulan. Selain itu perlu diketahui, bahwa majikan juga harus membayar biaya perekrutan kepada agensi. Dalam hal ini Calon TKI menerima gaji dibawah nominal sesungguhnya, PJTKI dan agensi menarik biaya dari kedua belah pihak yaitu dari majikan dan Calon TKI. Kemudian majikan akan memotong sebagian dari gaji Calon TKI untuk membayar kembali uang muka yang telah majikan bayarkan ke agensi. Jadi bisa disimpulkan, Calon TKI lah yang sebenarnya menanggung biaya agen keseluruhan.52
Akibat Hukum terjadinya pemutusan perjanjian sepihak di PT Amri Margatama Cabang Ponorogo Upaya PJTKI Amri Margatama menyelesaikan pemutusan perjanjian sepihak melalui upaya penyelesaian sesuai dengan Akad perjanjian yang telah disepakati dengan Calon TKI yaitu : Dalam
perjanjian
itu
dijelaskan
bahwasannya
PJTKI
sanggup
menempatkan calon tenaga kerja Indonesia (CTKI) di Negara tujuan dalam waktu
selambat-lambatnya
3
bulan
setelah
dilakukan
kesepakatan/
penandatangan perjanjian penempatan kerja, sesuai dengan keputusan menteri tenaga kerja No. 282/MEN/2002.
52
Ibid, 4 Juli 2007
67
PJTKI bertanggung jawab atas keselamatan keamanan perlindungan dan sanggup menyediakan tempat penampungan beserta sarana yang layak kepada CTKI sesuai dengan ketentuan yang berlaku. PJTKI bertanggung jawab atas pengurusan dokumen keberangkatan CTKI (Passport, Visa, Tiket, Pesawat, Kepesertaan asuransi perlindungan dan rekomendasi bebas fiscal luar negeri kecuali dokumen awal yang diurus dari daerah asal masing-masing oleh CTKI. CTKI telah mendapat izin keluarganya (orang Tua, Suami/ Istri) untuk bekerja di luar negeri dan sanggup melaksanakan pekerjaan sebagai (pekerja yang ditetapkan dan disepakati) selama masa kontrak kerja berlangsung (24 bulan). CTKI bersedia membayar sebagian biaya proses penempatan sebesar (Rp. 15.000.000;00) secara tunai kepada PJTKI dan memberikan kwitansi kepada CTKI sebagai bukti pembayaran yang sah. Besar biaya yang dimaksud adalah Medical Chek Up, Paspor, Lantaskim, Akomodasi, Konsumsi dan lainlain.53 PJTKI bersedia mengembalikan biaya proses penempatan pada CTKI baik yang mengundurkan diri atau yang UNFIT (tidak memenuhi syarat kesehatan) setelah dipotong biaya pengurusan dokumen dan biaya medical chek up dan lain-lain, yang sesuai tahapan yang telah berjalan dibuktikan dengan rincian pembiayaan dan bukti pembayaran yang sah. 53
Wawancara dengan mantan TKI , Eriva, tanggal 17 Juli 2007.
68
CTKI diwajibkan mengganti yang telah dikeluarkan PJTKI bilamana CTKI mengundurkan diri (pemutusan perjanjian sepihak) tanpa alasan apapun juga. Apabila dalam batas waktu 3 bulan CTKI belum ditempatkan PJTKI maka
CTKI
berkewajiban
memberikan
penjelasan
mengenai
alasan
keterlambatan penempatan CTKI. Apabila PJTKI tidak dapat memberikan kepastian penempatan CTKI setelah terjadi keterlambatan penempatan CTKI, maka CTKI berhak untuk melaporkan/ menyampaikan pengaduan permasalahan tersebut kepada instansi yang berwenang/ Depnakertran RI untuk mendapatkan penyelesaian, dan apabila PJTKI terbukti tidak mampu dan atau kesalahan dan ketidak sanggupan PJTKI, maka CTKI sanggup untuk mengembalikan seluruh biaya CTKI tanpa potongan apapun. PJTKI menjamin CTKI untuk dipekerjakan sebagai sopir (tuang kemudi) dengan gaji 600 real atau, dengan gaji, serta syarat-syarat sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja (PK). Apabila pihak majikan (pengguna jasa) tidak mempekerjakan CTKI sebagaimana dimaksud (yang diperjanjikan), maka pihak PJTKI menjamin dan bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Selanjutnya perjanjian antara PJTKI dengan CTKI ini ditandatangani kedua belah pihak dan dibuat rangkap dua dalam bahasa Indonesia diatas kertas
69
bermaterai cukup dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya oleh masingmasing pihak.54 Perjanjian inilah yang menjadi landasan hukum untuk penyelesaian pemutusan perjanjian sepihak antara PJTKI dan CTKI.
54
Dokumentasi PT Amri Margatama.
70
BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM
A. Analisa hukum Islam terhadap Akad Perjanjian Kerja Antara Calon TKI dengan PJTKI di PT Amri Margatama Cabang Ponorogo Perumusan mengenai perjanjian kerja adalah perjanjian pihak kesatu, (Calon TKI) mengikatkan diri dengan pihak yang lain (PJTKI) dalam waktu tertentu untuk melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Mengenai orang-orang yang melakukan akad perjanjian kerja pada dasarnya dapat dikatakan bahwa hanyalah orang dewasa yang mempunyai tanggung jawab, yang mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan perjanjian kerja, yang berlaku bagi semua golongan warganegara, orang dewasa adalah orang laki-laki atau wanita yang berusia 18 tahun ke atas. Selanjutnya Isi perjanjian kerja, yaitu pokok persoalan, tegasnya pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang yang sifatnya memaksa atau dalam undang-undang tentang ketertiban umum atau dengan tata susila masyarakat. Secara positif isi perjanjian kerja adalah dengan sendirinya kewajiban-kewajiban dan hak-hak buruh serta kewajiban-kewajiban dan hak-hak majikan yang berpangkal pada melakukan pekerjaan dan pembayaran upah. Acapkali
71
kewajiban pihak yang satu tersimpul dalam hak pihak lainnya dan hak pihak yang satu tersimpul dalam kewajiban pihak lainnya. Sedangkan bentuk perjanjian kerja harus berdasarkan atas pernyataan kemauan yang sepakat. Setelah terdapat persetujuan mengenai macam pekerjaan, besarnya upah dan sebagainya. Perjanjian-kerja itu dibuat secara tertulis serta dinyatakan dalam rumusan tertentu dan jelas. Makin tegas dan jelas isi dan perumusan pernyataan kehendak kedua belah pihak, makin kurang timbul keraguraguan. Surat juga berguna sebagai tanda bukti. Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta (PT Amri Margatama) wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan sebagai berikut : i.
Berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna Perseorangan sekurangkurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun;
ii. Sehat jasmani dan rohani; iii.
Tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan
iv.
Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat. Perjanjian kerja/perburuhan adalah merupakan perjanjian yang diadakan antara pihak pekerja (buruh) dengan pihak yang memberikan
72
pekerjaan (majikan), dan lazimnya pihak pekerja memberikan perintah dan yang melakukam pekerjaan, harus mentaati perintah tersebut. Perjanjian kerja ini dalam syari'at Islam digolongkan kepada perjanjian sewa-menyewa (al-ijarah), yaitu "ijarah a'yan", yaitu sewamenyewa tenaga manusia untuk melakukan pekerjaan. Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa. Ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti "Seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah, sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti, "Para karyawan bekerja di pabrik dibayar gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu. Dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut ijarah. Al-ljarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-'iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah.55 Dalam istilah hukum Islam pihak yang melakukan pekerjaan disebut dengan "ajir", (ajir ini terdiri ajir khas yaitu seseorang atau beberapa orang yang bekerja pada seseorang tertentu dan ajir musytarak yaitu orang-orang yang bekerja untuk kepentingan orang banyak).
55
Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005), 113-114.
73
Sedangkan orang yang memperoleh manfaat dari pekerjaan 'ajir (pemberi kerja) disebut dengan "musta'jir".56 Adapun syarat perjanjian penempatan kerja yang sering dalam hukum Islam di istilahkan dengan Akad Ijarah ialah :
(8) Syarat bagi kedua orang yang berakad, adalah telah baligh dan berakal (Mazhab Syafi'i dan Hanbali). Dengan demikian, apabila orang itu belum atau tidak berakal, seperti anak kecil atau orang gila, menyewakan hartanya, atau diri mereka sebagai buruh (tenaga dan ilmu boleh disewa), maka ijarahnya tidak sah. Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijarah dengan ketentuan, disetujui oleh walinya. (9) Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan, kerelaannya untuk melakukan akad ijaarah itu. Apabila salah seorang di antara keduanya terpaksa melakukan akad, maka akad tidak sah. Sebagai landasannya adalah firman Allah: ¸οt≈pgÏB šχθä3s? βr& HωÎ) È≅ÏÜ≈t6ø9$$Î/ Μà6oΨ÷t/ Νä3s9≡uθøΒr& (#þθè=à2ù's? Ÿω (#θãΨtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'‾≈tƒ 4 öΝä3ΖÏiΒ <Ú#ts? tã
"Hai orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta kamu dengan cara yang batil, kecuali melalui suatu perniagaan yang berlaku suka sama suka ...” (An-Nisa: 29). 56
Choiruman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika: 2004) 153-159
74
(10) Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara jelas sehingga tidak terjadi perselisihan dibelakang hari. Jika manfaatnya tidak jelas, maka akad itu tidak sah. (11) Obyek ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya. (12) Obyek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara'. Dengan dipenuhinya rukun dan syarat-syaratnya, maka perjanjian/ akad ijarah tersebut sah dan mempunyai kekuatan hukum. Konsekuensi yuridis atas perjanjian yang sah ialah bahwa perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan I'tikat baik.57 Jadi dapat disimpulkan syarat-syarat perjanjian yang dilakukan antara PT Amri Margatama dengan Calon TKI sah dan sesuai dengan hukum Islam selagi tidak ada unsur-unsur paksaan, penipuan dan atau penghianatan. B. Analisa Hukum Islam terhadap Pengambilan fee PT. Amri Margatama Cabang Ponorogo Keuntungan PJTKI untuk memperoleh keuntungan dengan cara potongan ilegal atas gaji TKI untuk membayar biaya agen yang sangat tinggi yang ditetapkan oleh PJTKI dan agensi, berdasarkan struktur kebijakan biaya penempatan yang disahkan oleh pemerintah Indonesia.
57
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam Indonesia, (Jogjakarta, Citra Media: 2006), 47-48.
75
Menurut aturan PJTKI, kategori pertama diberikan kepada Calon TKI yang tidak memiliki pengalaman kerja di luar negeri sebelumnya dan yang tidak bisa berbahasa Negara tujuan. Kategori kedua adalah Calon TKI yang ”berhak” mendapat gaji penuh. Mayoritas adalah Calon TKI yang sudah punya pengalaman kerja di luar negeri sebelumnya dan memiliki kemampuan berbahasa Negara tujuan. Bagi Calon TKI bergaji penuh terdapat potongan gaji selama 4 bulan pertama. Jika Calon TKI menerima gaji kurang dari gaji standar minimum, dia harus membayar kepada PJTKI dan agensi melalui potongan terhadap gajinya. Selain itu perlu diketahui, bahwa majikan juga harus membayar biaya perekrutan kepada agensi. PJTKI dan agensi menarik biaya dari kedua belah pihak yaitu dari majikan dan Calon TKI. Kemudian majikan akan memotong sebagian dari gaji Calon TKI untuk membayar kembali uang muka yang telah majikan bayarkan ke agensi. Jadi bisa disimpulkan, Calon TKI lah yang sebenarnya menanggung biaya agen keseluruhan. Pada hakikatnya, orang yang mengikuti dan mengkaji Sunnah Rasul dan Sunnah Rasyidiyyah (Khulafa' al-Rashidin) dan sebelumnya telah meneliti AlQur'an niscaya ia tidak akan mendapatkan satu pun nash yang mewajibkan atau menyunahkan batas pengambilan fee tertentu.
76
Maksud uraian tersebut ialah bahwa di dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah tidak terdapat nash yang memberikan batasan tertentu terhadap pengambilan fee. Yang jelas, hal ini diserahkan kepada hati nurani masing-masing orang muslim dari tradisi masyarakat sekitarnya, dengan tetap memelihara kaidah-kaidah keadilan dan kebajikan serta larangan memberikan mudarat terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang lain, yang memang menjadi pedoman bagi semua tindakan dan perilaku seorang muslim dalam semua hubungan. Oleh sebab itu, Islam tidak memisahkan antara ekonomi dan akhlak. Berbeda dengan falsafah kapitalisme yang menjadikan "keuntungan materi" sebagai tujuan utama dan pemberi motivasi terbesar untuk melakukan kegiatan perekonomian yang tidak banyak terikat dengan ikatan-ikatan seperti Islam.58 Adapun Islam jelas memberikan ketentuan-ketentuan dan patokan-patokan diniyah, akhlaqiyah, dan tanzhimiyah, yang mewajibkan untuk memelihara dan mematuhinya. Maka jika hal ini dilanggar, keuntungan yang diperolehnya terhukum haram, atau bercampur dengan yang haram. Jika cara-cara yang tidak dibenarkan shara' ini yang ditempuh, maka pengambilan fee yang diperolehnya terhukum haram, karena semua keuntungan yang diperoleh dengan melakukan cara-cara yang dilarang syara' itu tidak baik bagi pelakunya dan tidak halal dalam kondisi apa pun. Sudah barang tentu,
58
Ibid.
77
seorang muslim tidak akan rela mendapatkan keuntungan dunia tetapi rugi di akhirat.59 Pengambilan
fee
yang
diperoleh
dengan
jalan
menipu
atau
menampakkannya (mengemasnya) dalam bentuk yang menipu, yang tidak sesuai dengan hakikatnya, dengan tujuan mengecoh. Termasuk dalam hal ini iklan promosi yang berlebih-lebihan, yang menyesatkan dari kenyataan yang sebenarnya. Nabi saw melepaskan diri dari orang yang menipu. Beliau bersabda :
(ئS§Iى واZ[I اM¦اPSb|I )روا« اSWwِ © َ ْ Oََ Sَv Wª َ ْwَ Barangsiapa menipu kami maka bukanlah dia dari golongan kami (HR. AlJamaa'ah kecuali Bukhori dan Nasa'i) Pekerjaan-pekerjaan seperti ini dalam hukum mu’amalah disebut dengan samsarah (perdagangan perantara/ makelar). Kata simsar artinya adalah orang mengurusi dan menjaga sesuatu. Fuqaha’ telah mendefinisikan simsar sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah tertentu. Pekerjaan makelar halal secara syar’i dan merupakan salah satu dari transaksi yang boleh dalam syara’. Hanya saja, pekerjaan makelar harus jelas keuntungan, komisi atau upah bagi perantara harus diketahui dengan jelas.60
59
Ibid, 603. Taqyuddin An-Nabhani, As-syakhsiyyah. Alislamiyyah II. Kepribadian Islam Jilid II, Terj. Agung Wijayanto (Beirut, Darulummah, 1994), 479-785. 60
78
Dengan demikian sistem pengambilan keuntungan dengan sistem potong gaji illegal maupun potongan gaji selama 5 bulan hingga 7 bulan bagi yang bergaji penuh tidak sesuai dengan hukum Islam karena pengambilan dalam PJTKI Amri Margatama tidak jelas komisi atau upahnya dan ada hal-hal yang ternyata terdapat indikasi riba`, atau ada indikasi terjadinya gharar atau penipuan, atau juga terjadi dharar yaitu hal-hal yang membahayakan, merugikan atau menzhalimi pihak lain, entah dengan mencelakakan dan menyusahkan. Dan tidak tertutup kemungkinan ternyata ada unsur jahalah atau ketidak-transparanan dalam sistem dan aturan.
79
C. Analisa Hukum Islam terhadap akibat hukum pemutusan perjanjian sepihak di PT Amri Margatama Cabang Ponorogo Pemerintah Indonesia memberi kekuasaan penuh kepada PJTKI di Indonesia, sebagai mitra bisnis pemerintah, untuk mengelola bisnis pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Dalam perjanjian antara Calon TKI dengan PJTKI terdapat ketentuan perjanjian mengikat yang menjadi sebuah konsekuensi syah dengan I'tikat baik diantaranya : PJTKI bertanggung jawab atas pengurusan dokumen keberangkatan CTKI (Passport, Visa, Tiket, Pesawat, Kepesertaan asuransi perlindungan dan rekomendasi bebas fiscal luar negeri) kecuali dokumen awal yang diurus dari daerah asal masing-masing oleh CTKI. Setelah mendapatkan majikan, sehari sebelum keberangkatan CTKI, calon TKI diharuskan untuk menandatangani Perjanjian Penempatan (perjanjian antara calon TKI dan PJTKI) yang mencantumkan jumlah gaji dan lama potongan gaji calon TKI. Apabila pihak majikan (pengguna jasa) tidak mempekerjakan CTKI sebagaimana dimaksud (yang diperjanjikan), maka pihak PJTKI menjamin dan bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Dalam kontek hukum Islam, perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan berakhir jika dipenuhi tiga hal sebagai berikut :
80
4. Berakhirnya masa berlaku akad Biasanya dalam sebuah perjanjian telah ditentukan saat kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga dengan lampaunya waktu, maka secara otomatis perjanjian akan berakhir, kecuali kemudian ditentukan lain oleh para pihak. 5. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad Hal ini biasanya terjadi jika ada salah satu pihak yang melanggar ketentuan perjanjian, atau salah satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan perjanjian terdapat unsur kekhilafan atau penipuan. Kekhilafan bisa menyangkut objek perjanjian (error in objecto), maupun mengenai orangnya (error in persona). 6. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia Hal ini berlaku pada perikatan untuk berbuat sesuatu, yang membutuhkan adanya kompetensi khas. Sedangkan jika perjanjian dibuat dalam hal memberikan sesuatu, katakanlah dalam bentuk uang/barang maka perjanjian tetap berlaku ahli warisnya Perjanjian yang dibuat secara sah menurut hukum Islam mempunyai dua macam konsekuensi yuridis; Pertama, bahwa perjanjian harus dilaksanakan oleh para pihak dengan sukarela dan dengan I'tikat baik. Dalam hal perjanjian tidak dilaksanakan salah satu pihak atau terjadi pemutusan perjanjian sepihak maka memberikan hak
81
kepada pihak lain untuk menuntut ganti kerugian dan atau memutuskan peradilan melalui pengadilan. Kedua, bahwa perjanjian yang diabaikan oleh salah satu pihak maka ia akan mendapatkan sanksi dari Allah swt di akhirat kelak. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian yang dibuat oleh seorang Muslim mempunyai implikasi baik di dunia maupun di akhirat nanti. Dalam Hukum Islam dijelaskan dalam akad perjanjian tidak boleh mengandung unsur paksaan, penipuan dan dilakukan dengan jalan suka sama suka sebagaimana dalam firman Allah QS An-Nisa' ayat 29 : <Ú#ts? tã ¸οt≈pgÏB šχθä3s? βr& HωÎ) È≅ÏÜ≈t6ø9$$Î/ Μà6oΨ÷t/ Νä3s9≡uθøΒr& (#þθè=à2ù's? Ÿω (#θãΨtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'‾≈tƒ öΝä3ΖÏiΒ "Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu" Adanya
resiko,
menimbulkan
konsekuensi
siapa
yang
harus
bertanggungjawab. Solusi atas keadaan ini tidak dapat digeneralisir, melainkan harus dilihat case to case. Dengan berlandaskan atas kemaslahatan perjanjian diberikan hak kepada pihak yang merasa dirugikan, dibohongi ataupun ditipu dengan meminta ganti rugi ataupun memutuskannya di pengadilan meskipun perjanjian yang telah dibuat mempunyai konsekuensi yang mengikat. Sebuah kesimpulan terhadap
82
perjanjian harus berasaskan pada : Alhurriyah (kebebasan), Al-musawah (persamaan dan kesetaraan), Al-adalah (keadilan), Ash-shidq (kebenaran dan kejujuran), Al-kitabah (tertulis). Keberangkatan CTKI menjadi tanggung jawab PJTKI, apabila dalam jangka waktu 3 bulan tidak diberangkatkan maka PJTKI diwajibkan untuk mengembalikan sejumlah biaya yang sudah dibayarkan CTKI. Dan apabila CTKI tidak ditempatkan sesuai dengan perjanjian semula CTKI bisa menuntut PJTKI melalui prosedur hukum yang berlaku (pemutusan perjanjian sepihak). Pelaksanaan pemutusan perjanjian sepihak sah dilakukan jika keadaan memungkinkan CTKI untuk menuntut PJTKI atas tidak sesuainya penempatan kerja dan gaji dengan prosedur hukum yang berlaku. Pelaksanaan pemutusan perjanjian sepihak sesuai dengan hukum Islam ketika salah satu pihak ada yang dirugikan.
83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari seluruh pembahasan skripsi ini, penulis pada akhirnya dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Akad perjanjian yang dilakukan antara PT Amri Margatama dengan Calon TKI sah dan sesuai dengan hukum Islam. 2. Sistem pengambilan fee PT Amri Margatama tidak sesuai dengan hukum Islam karena karena tidak jelas komisi atau upahnya dan ada indikasi riba`, gharar, dharar dan jahalah. 3. Akibat hukum pemutusan perjanjian sepihak di PT Amri Margatama Cabang Ponorogo sesuai dengan hukum Islam dengan jalan mengganti rugi kepada pihak yang dirugikan atau diputuskan di pengadilan dengan hukum yang berlaku dengan berazazkan keadilan. B. Saran-saran 1. Akad perjanjian antara PJTKI dengan CTKI hendaknya dilakukan dengan transparan kedua belah pihak atas dasar kejujuran dalam rangka tolong menolong dan membuka lapangan pekerjaan baru bagi pekerja CTKI. 2. Sistem pengambilan fee PJTKI PT Amri Margatama hendaknya lebih mementingkan kepentingan pencari kerja daripada kepentingan pribadi
84
(mencari keuntungan semata) dan tidak menyulitkan proses pemberangkatan pencari kerja karena keinginan mendapat keuntungan yang lebih besar. 3. Resiko pemutusan perjanjian sepihak yang terjadi hendaknya diselesaikan dengan hati nurani dan mempertimbangkan kemaslahatan bersama.
85
DAFTAR PUSTAKA
A. Mas'adi Ghufron. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Anshori, Abdul Ghofur, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia Yogyakarta: Citra Media: 2006. Ashiddiqy, Tengku Hasbi. Pengantar Fiq’h Muamalah. Semarang, PT Pustaka Rizki Putra: 1997. Beberapa Kebijakan Penempatan TKI Keluar Negeri, Sabtu, 12 Juni 2004, Copy Right Tempo 2003, Diakses dari Internet tanggal 02 Maret 2007. Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemah. Bandung, CV. Diponegoro: 2000. Dokumentasi PT Amri Margatama. Hasan,. M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta: 2003. http/www.google.com/ Faqihuddin Abdul Qodir, Merdeka Dari Perbudakan Modern. Jakarta: Pusat Pelatihan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan: 2003.. http://eprints.ums.ac.id/335/01/4. WARDAH_YUSPIN.pdf. Jurnal Ilmu Hukum, Vol 10 No 1, Maret 2007. Ilyas, Yunahar. Nabi Perempuan dalam Al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu AlQur’an dan Hadist, Vol. 7 No. 1 Tahun 2006. Khaoiruman Pasaribu. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta, Sinar Grafika: 2004
86
Lonfald, Analyzing social setring, A Guide to Qualitative Observation and Analysis, Belmont, Cal: Wadsworth Publishing Company, 1984. PB PMII, Muspimnas ’06; Aksi Kebangsaan Jakarta: PMII Pers, 2006. Protokol PBB. Mecegah, Menanggulangi Dan Menghukum Trafficking Terhadap Manusia, Khususnya Perempuan Dan Anak. Jakarta: Suplemen Konfensi PBB Mengenai Lintas Batas Negara, 2002. Qardawi, Yusuf, Fatwa-fatwa kontemporer, terj. Subhan M.Solihat. Jakarta, Gema Insani Press : 1995. Sudarmo, R. Tirto, “Migrasi Lintas Batas Negara: Posisi Indonesia, Konteks Politik dan Perebutan Ruang Public”, Yogyakarta 2002. Shahih Bukhari, Kitab al-Ijarah, no. Hadits: 2109. Suhendi, Hendi. Fikih Muamalah. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2002. Suhendi, Hendi, Fikih Muamalah. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005. Wawancara dengan Kepala PT. PJTKI Amri Margatama Bu Rumsinah , tanggal 16 Mei 2007.