BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG MASALAH “..Pada suatu malam, beberapa tahun yang lalu, saya mengalami sesuatu yang membuat hidup saya berantakan, semua harapan saya musnah, dan semua cita-cita saya juga tidak lagi bisa saya dapatkan. Saya diperkosa oleh seorang pemuda asing yang menawarkan minuman kepadaku, saya pikir dia baik namun semuanya terbalik! Saat saya sadar akan keberadaan saya, saya sudah ada di sebuah kamar disebuah hotel. Dan pakaian saya yang semula licin, sudah jadi berantakan. Terus saya lihat isi tas saya sudah keluar, dan saya lihat dompet saya sudah ada di meja. Ada beberapa lembar uang ribuan yang ditinggal sama pemuda ini. Dengan tubuh yang merasa sakit sekali, aku berjalan tertatih-tatih meninggalkan hotel tersebut. Saat saya mengetahui keadaan saya positif hamil, itu saya baner-benar nggak terima dengan keadaan saya. Kenapa semua harus terjadi? Kenapa semua harus saya alami? Saya diam selama satu bulan dan tidak mau melakukan segala sesuatu. Saya hanya bisa merenung dan menangis. Kadang kalau saya sudah terlalu sedih, ibu saya kadang sering mendapatkan saya seperti orang gila, tersenyum dan tertawa sendirian. Kalau mengingat masa itu, bingung sendiri. Mungkinkah itu saya? Masa' saya seperti itu? Rasanya nggak mau terima apa yang ada di dalam tubuhku. Gak mau nerima!Jijik,benci! Saya merasa ini bukan apa yang kukehendaki! Kenapa ini harus terjadi dalam kehidupan saya?..” (dikutip dari Saya Lahirkan Anak Hasil Perkosaan, 17 Januari 2005) Sepenggal kisah hidup Kartini, seorang korban perkosaan orang yang tidak dikenal dan membuahkan kehamilan adalah satu dari sekian banyak kasus perkosaan yang terjadi di tanah air. Istilah perkosaan sendiri berasal dari bahasa Latin yakni raptus yang mendefenisikan tindakan seorang laki-laki dalam merusak kepemilikan seorang perempuan (Smith, 2004). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, istilah perkosaan diartikan sebagai tindakan pemaksaan hubungan kelamin atau persetubuhan seorang pria terhadap seorang wanita (Poerwadarminta, 1984).
Universitas Sumatera Utara
Kasus perkosaan sendiri mendapat banyak sorotan dari media massa (baik cetak maupun elektronik) dan beritanya selalu menjadi topik utama yang menarik untuk dibaca masyarakat. Berdasarkan data Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Sumatera Utara, dari 256 kasus yang terjadi sepanjang tahun 2009 kasus perkosaan mendominasi kasus kekerasan yang terjadi di Sumatera Utara. Dari rekapitulasi data PKPA tersebut dinyatakan bahwa tindakan perkosaan di Sumatera Utara mencapai 43 kasus (17%) (dikutip dari Waspada Online, 5 Februari 2010). Hernawati selaku Ketua Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Anak LSM Kabupaten Bangka mengatakan tidak seorang pun pernah membayangkan akan menjadi korban perkosaan, namun kenyataannya perkosaan dapat menimpa siapa saja dimana sebagian besar korban adalah kaum perempuan, tidak mengenal status sosial, usia, dan ras (dikutip dari Bangkapos, 4 Feburari 2010). Perkosaan dilakukan oleh orang yang sangat dikenal korban, misalnya kekasih, saudara, guru bahkan pemuka agama sedangkan pada kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang yang baru dikenal atau sama sekali tidak dikenal korban. Perkosaan juga sering dilakukan oleh ayah (kandung/tiri) terhadap anak perempuannya yang dikenal dengan istilah incest (Smith, 2004). Seperti yang dialami Marina (20), wanita asal Bogor yang diperkosa oleh ayah kandungnya selama 5 tahun, ia mengatakan : “..Aku ga nyangka bapak kandungku sendiri yang tega merenggut kegadisanku..bapak selalu memperkosaku di rumah setiap kali ibu pergi entah kemana bahkan ketika ibu tidur” (dikutip dari forum vivanews, 29 September 2009)
Universitas Sumatera Utara
Perkosaan memberikan dampak traumatis bagi korbannya. Dampak traumatis perkosaan yang dialami korban dirasakan sesaat terjadinya perkosaan bahkan sampai sepanjang sisa hidupnya (Ehrlich, 2001). Dampak traumatis yang dialami korban perkosaan mencakup fisik, psikologis, dan sosial. Dampak fisik mencakup kehilangan keperawanan, terkena penyakit menular seksual, terkena HIV-AIDS bahkan kehamilan yang tidak dikehendaki. Dampak psikologis mencakup trauma, depresi, sleep disorder, merasa terhina, marah, malu, menyalahkan diri, alcohol abuse bahkan sampai melakukan tindakan bunuh diri. Dampak sosial mencakup menarik diri dari lingkungan, dikucilkan oleh lingkungan, sulit membina hubungan dengan pria, dan menghindari setiap pria (dalam Supardi & Sadarjoen, 2006). Ketiga dampak perkosaan tersebut dirasakan oleh seorang wanita berinisial M (40), korban perkosaan di tempat parkir Marriot Hotel & Spa di Stamford tahun 2006, ia mengungkapkan : "..Setelah penyerangan itu, kelamin saya sakit kali. Saya menjadi mayat hidup. Saya tidak bisa makan, saya tidak bisa tidur, saya tidak bisa berpikir, saya tidak bisa mengendari mobil, saya tidak bisa berkata-kata. Saya mengurung diri di dalam rumah. Menghabiskan banyak waktu di kamar mandi, untuk membersihkan diri, lalu menangis sepuasnya..” (dikutip dari WaspadaOnline, Agustus 2009) Dampak traumatis perkosaan lainnya juga dirasakan oleh Reese (27), warga negara Jerman yang merasa hidupnya hancur setelah dijebak dan diperkosa oleh sahabatnya sendiri, ia mengatakan : “..Karena depresi yang berat, aku mencoba untuk bunuh diri. Aku mulai makan yang banyak, berat badanku naik sampai 50 pounds. Aku juga mulai merokok, padahal aku tidak pernah merokok sebelumnya. Aku merokok sampai 3 bungkus perhari. Aku sadar bahwa aku benar-benar
Universitas Sumatera Utara
mencoba untuk membunuh hal-hal yang paling menyakitkanku, dan itu adalah diriku sendiri..” (dikutip dari Maaf Bagi Masa Silam, Januari 2005) Penelitian yang dilakukan oleh Katie M.Edwards dkk (2009) juga berkaitan dengan dampak sexual assault termasuk tindak perkosaan. Penelitian dilakukan pada 1056 mahasiswi yang pernah mengalami sexual assault pada masa anak-anak atau dewasa, diperoleh hasil bahwa sebagian besar korban cenderung memiliki reaksi emosi negatif (marah, terkejut, menangis), self-blame yang tinggi, dan putus asa terhadap masa depan ketika dihadapkan pada hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa perkosaan yang dialaminya. Anderson (2007) juga melakukan penelitian mengenai pandangan korban perkosaan di mata masyarakat, 119 mahasiswa (62 wanita dan 57 pria) dari University of East London terlibat dalam eksperimen penelitian ini diminta untuk mendeskripsikan korban perkosaan, diperoleh hasil bahwa wanita sebagai korban perkosaan lebih distigma negatif dibanding bila pria yang menjadi korban perkosaan, hal ini dipengaruhi besar oleh mitos-mitos mengenai perkosaan. Hasil penelitian Edward dan Anderson didukung dengan pernyataan Susan (23), korban perkosaan dari orang yang tak dikenal di Batam, ia mengatakan : “..Aku benci jika mengingat semua itu, lebih baik mati aja! Bodohnya aku sampai mau saja mengikuti kata pria kurang ajar itu!Bodoh, bodoh! Udahlah ga ada lagi harapanku hidup di dunia, hancur semua hancur! Mana ada pria yang mau menerima aku yang jelas-jelas ga perawan lagi. Malu! Aku ga berani keluar kamar, malu dengan bapak mamak, apalagi tetanggaku! Mereka anggap bahwa aku wanita kotor, hina! Aku benci dengan mereka semua..” (dikutip dari harian BatamPos, September 2007). Berbagai pernyataan di atas berkaitan dengan psychological well-being. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari (Ryff, 1989). Penelitian Mc.Mullin (2006) membuktikan bahwa
Universitas Sumatera Utara
wanita korban perkosaan memiliki psychological well-being yang rendah (2,95%) dibanding wanita normal (bukan korban perkosaan) (3,41%). Hasil yang diperoleh bahwa wanita korban perkosaan cenderung memiliki tingkat personal distress tinggi, cenderung melakukan alcohol abuse, menjadi orang yang sangat sensitif terhadap evalusi, serta tidak mampu membuat keputusan terhadap kehidupannya. Dari berbagai dampak buruk yang dialami korban perkosaan, terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki menjadi dampak yang paling rumit (Rifka, 1997). Ketika kehamilan terjadi, wanita korban perkosaan hanya memiliki dua pilihan yaitu menggugurkan atau mempertahankan. Sebagian korban perkosaan akan melakukan aborsi dengan alasan janin tersebut tidak dikehendaki dan berasal dari orang jahat, namun sebagian lainnya berpikir siapa pun ayah dari janin tersebut, bagaimana cara janin tersebut terbentuk, dia adalah ciptaan Tuhan yang suci dan layak untuk dijaga serta dilindungi (Hayati, 2000). Bila korban perkosaan memutuskan untuk tetap melahirkan, tidak mudah untuk menerima kenyataan bahwa bayi yang dilahirkan adalah hasil perkosaan (Alters, 2010). Pernyataan di atas didukung oleh Lori (25), korban perkosaan oleh kekasihnya sewaktu duduk di bangku perkuliahan, ia mengatakan : “..terkejut, marah, benci, dan stress menghantuiku, namun apa boleh buat satu kehidupan manusia di rahimku harus ku tanggungjawabi, kehamilanku pun didukung oleh keluargaku, sampai akhirnya aku melahirkan Jason ke dunia, anak laki-laki tampan yang sebenarnya kelahirannya tidak aku hendaki..”(dikutip dari harian Sydney Morning Herald, 26 November 2008) Beberapa alasan wanita korban perkosaan untuk tetap mempertahankan janin hasil perkosaan dapat dijelaskan dari sudut pandang agama, medis, dan hukum. Menurut seorang tokoh agama Katolik, Frans Magnis Suseno (dalam
Universitas Sumatera Utara
Kompas, 2004) mengatakan setiap agama melarang keras dilakukan aborsi karena aborsi mematikan sebuah kehidupan baru, anak harus dijaga dan dicintai dengan sepenuh hati sebab anak merupakan pemberian terindah dari Tuhan. Hal senada diungkapkan oleh Martha (35), warga Italia yang melahirkan Monika, anak hasil perkosaan pria berkulit hitam, ia mengatakan : “..Awalnya aku berpikir untuk aborsi! Apalagi aku sudah memiliki suami dan jelas aku tidak mau hamil bukan dari benih suamiku. Namun suamiku menguatkan aku untuk tetap mempertahankan janin itu sebab itu adalah anugerah Tuhan yang harus aku lindungi..” (dikutip dari Italian Post, Maret 2002) Sudut pandang medis dijelaskan oleh seorang seksolog dr.Boyke yang mengatakan bahwa aborsi jika dilakukan akan memiliki resiko yang tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan wanita seperti pendarahan, kanker, kerusakan cervix, infertility, bahkan kematian (dikutip dari PIK Remaja Al-Hikmah, Agustus 2010). Sudut pandang hukum di tanah air juga melarang keras adanya tindakan aborsi, bahkan pada pasal 346 KUHP mengatakan secara tegas “seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk melakukan itu diancam dengan pidana paling lama empat tahun”. Pernyataan di atas didukung oleh wanita bernama Dara (22), warga Batam yang merupakan korban perkosaan pria tak dikenal, ia mengatakan : “..Berat untuk mempertahankan kehamilanku ini, tapi daripada aku aborsi trus ketahuan oleh masyarakat dan polisi lalu aku dipenjara, bagaimana? Nasibku jauh lebih parah, udah aku diperkosa, dipenjara lagi! Sial teruslah hidupku ini..” (dikutip dari BatamPos, Januari 2006) Pada dasarnya seorang wanita memiliki rasa keibuan yang bersifat alami, jauh dari lubuk hatinya selalu ada kasih dan kekuatan. Keputusan untuk melahirkan anak hasil perkosaan adalah kemenangan atas kejahatan perkosaan.
Universitas Sumatera Utara
Keputusan tersebut akan membawa korban perkosaan untuk selalu mengingat keberanian dan kemurahan hatinya dibandingkan ketakutan dan rasa malu yang ia hadapi sebagai bekas korban perkosaan (Ehrlich, 2001). Pernyataan di atas didukung oleh Yusti (27), korban perkosaan oleh sekelompok orang tidak dikenal ketika ia sedang melaksanakan tugas kantor ke Pulau Bintan, ia mengatakan : “..awalnya saya sempat ragu untuk mempertahankan kehamilan tersebut, tapi lama kelamaan saya merasa janin inilah teman saya dalam kesendirian setelah peristiwa itu, apapun ceritanya saya harus mempertahankannya, suka-tidak suka lingkungan terhadap kehadirannya. Hari-hari saya semakin bahagia ketika saya bisa bersamanya terlebih ketika ia saya lahirkan ke dunia ini. Saya kembali mampu menata kehidupan bersama anak saya. Bagi saya, ia adalah kado terindah dari Tuhan” (dikutip dari Kick And, 3 Juli 2009). Derita kehamilan akibat perkosaan tidak hanya sembilan bulan saja, tetapi dapat berlangsung sepanjang hidup korban perkosaan. Kondisi untuk tetap mempertahankan dan melahirkan anak hasil perkosaan merupakan proses yang panjang dan tidak mudah untuk dijalani sebab korban perkosaan akan mendapat berbagai tekanan dari dalam dan luar dirinya (Abrar, 1998). Secara pribadi, wanita korban perkosaan akan mengalami depresi, cemas, ketakutan yang luar biasa, mudah marah, merasa tidak berdaya, malu, menarik diri, ditambah lagi lingkungan sosial yang menolak kehadiran wanita dan anak hasil perkosaan karena dianggap sebagai aib akan semakin memperburuk kondisi psikologisnya (Alters, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Martha (35) yang juga merasakan tekanan dari pihak keluarga dan lingkungannya setelah memutuskan untuk mempertahankan janin hasil perkosaan, mengatakan : “..saat itu aku banyak mendapat tekanan dari keluarga, teman-teman kerjaku, tetangga-tetangga dan banyak orang. Terlebih lagi setelah melahirkan Monika, yang jelas-jelas beda warna kulit denganku semakin membuat aku terpojok. Mereka menertawakanku dengan bertanya kenapa Monica berkulit hitam? Anak siapa dia? Untungnya, suamiku terus berada di sampingku untuk menguatkan aku sampai sekarang aku sangat mencintai Monika. Bagiku dia sangat berharga dibanding apapun di dunia ini..” (dikutip dari Italian Post, Maret 2002) Dr. Susan Mahkorn pada tahun 1981 di USA melakukan penelitian pada wanita yang hamil akibat perkosaan. Dari 37 korban perkosaan, 75-85% membiarkan bayi yang dikandung mereka untuk hidup. Korban mengakui bahwa bayi yang mereka kandung tidak berdosa dan harus dilindungi dari ancaman kematian. Pada bulan-bulan pertama kehamilan memang tumbuh rasa benci dan penolakan kehadiran janin tersebut, namun sikap negatif itu perlahan-lahan akan berubah menjadi sikap positif yakni menerima kehamilan. Mahkorn juga menemukan wanita yang melahirkan anak hasil perkosaan memiliki dua pilihan yakni membesarkan anak hasil perkosaan tersebut atau memberikan kepada orang lain untuk diasuh. Korban yang memilih untuk memberikan anaknya untuk diasuh orang lain disebabkan tidak mau dihantui bayang-bayang peristiwa perkosaan tersebut melalui wujud anaknya ataupun tidak mau mengganggu kehidupan anak mereka. Mereka ingin menata kembali kehidupan tanpa kehadiran anaknya. Seperti kisah Y dalam bukunya The Missing Piece, yang juga korban perkosaan lelaki tak dikenal ketika ia berumur 17 taun, ia mengungkapkan :
Universitas Sumatera Utara
“..bayi perempuanku langsung diamankan oleh pihak rumah sakit. Aku tak pernah diberikan kesempatan sebentar pun untuk melihat dia atau memeluknya. Tak pernah sehari pun aku tidak memikirkan keadaan bayi perempuanku yang telah kulahirkan ke dunia. Tetapi aku tidak juga pernah berpikir untuk mencarinya. Aku tidak mau merusak kehidupannya..” Bagi korban perkosaan yang memutuskan untuk membesarkan anak hasil perkosaannya sendiri akan tidak mudah untuk menjalani kehidupannya. Proses yang dilalui oleh mereka dalam menjalani kehidupannya akan melibatkan seluruh keadaan psikologisnya. Untuk melewati proses tersebut, psychological well-being sangat berperan penting karena maka seseorang akan merasa puas dalam hidupnya, bisa mengembangkan dan merealisasikan potensi dalam dirinya dengan adanya psychological well-being (Ryff, 1989). Jika tadi sebelumnya dikatakan wanita korban perkosaan memiliki psychological well-being yang buruk, maka setelah melahirkan dan membesarkan anak hasil perkosaan kondisi psychological well-being akan mengalami perubahan.
Psychological
well-being
sendiri
adalah
dorongan
untuk
menyempurnakan dan merealisasikan potensi diri individu yang sesungguhnya. Dorongan ini akan dapat menyebabkan seorang individu menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-being menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological wellbeing menjadi lebih tinggi (Ryff, 1989). Psychological well-being mencakup enam dimensi, yakni penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positif relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran psychological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan. I.B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang dia atas makan permasalahan dalam penelitian adalah “Bagaimana gambaran psychological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan?”. I.C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan, menggambarkan, dan mendeskripsikan lebih dalam mengenai psychological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan. I.D. MANFAAT PENELITIAN I.D.1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis : a.
Memberikan informasi dan menemukan paradigma baru di bidang psikologi khususnya Psikologi Klinis, terutama yang berkaitan dengan psychological well-being pada korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan.
b.
Menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih jauh
mengenai psychological
well-being
korban perkosaan
yang
membesarkan anak hasil perkosaan.
Universitas Sumatera Utara
I.D.2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis : a. Menggambarkan bagi pembaca mengenai psychological well-being korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan. b. Memberikan kontribusi bagi wanita korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan untuk terus mengembangkan potensi yang dimilikinya, tidak menjadikan stigma perkosaan dan memiliki anak hasil perkosaan sebagai suatu penghalang untuk merealisasikan potensi yang dimiliki di dalam kehidupannya. c. Menjadi masukan bagi keluarga korban perkosaan dan lingkungan masyarakat untuk mau menerima keberadaan wanita korban perkosaan yang membesarkan anak hasil perkosaan, memberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat mengembangkan potensi yang ia miliki dan tidak menstigma ataupun merendahkan korban perkosaan dan anak hasil perkosaan yang dibesarkannya. I.E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I :
Pendahuluan Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Universitas Sumatera Utara
Bab II :
Landasan Teori Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian. Adapun teori yang akan digunakan berkaitan dengan psychological well-being dan perkosaan, diakhiri dengan paradigma penelitian.
Bab III :
Metode Penelitian Bab ini berisi penjelasan mengenai alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat pengumpulan data, prosedur penelitian, kredibilitas (validitas penelitian), dan pengolahan data.
Bab IV :
Analisa Data dan Pembahasan Bab ini berisi deskripsi data, interpretasi data dari hasil wawancara yang dilakukan, dan membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Bab V :
Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan yang berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan saran yang berisi saran praktis dan saran untuk penelitian lanjutan dengan mempertimbangkan hasil penelitian yang diperoleh, keterbatasan, dan kelebihan penelitian.
Universitas Sumatera Utara