Sepenggal Kisah Ksatria Airlangga Asal Gaza UNAIR NEWS – “Hanya ada dua pilihan, aku tetap tinggal di Gaza dengan situasi yang seperti ini atau aku keluar dari Gaza dan membuat hidupku lebih Baik”. Penggalan kata itulah yang dikatakan Ahmed Muhammad Omar Al- Madani saat menceritakan kisah perjuangan melewati konflik di negaranya, hingga ia berhasil melewati Rafah Borders untuk sampai di Indonesia. Konflik Gaza bukan hal mudah bagi dirinya. Namun, karena perjuangan dan doa di tengah suara meriam, ia kini akan mendapatkan gelar doktor di bidang ilmu sosial. Ahmed Muhammad Omar Al- Madani, atau yang kerap disapa Ahmed ini terhitung sejak November 2013 resmi menjadi mahasiswa S3 Ilmu Sosial FISIP UNAIR. Ia mendapatkan beasiswa unggulan dari Pemerintah Indonesia untuk berkuliah di UNAIR. “Aku tidak pernah terfikir tentang beasiswa yang ada di Indonesia, yang aku tahu beasiswa hanya di Turki, Jerman, dan Amerika. Kalaupun aku mencari di Asia, aku mencari di Malaysia atau China,” jelasnya. Ahmed bisa dibilang mahasiswa asing yang beda dengan yang lain, sebab latar belakangnya dari negara yang tidak berhenti dari konflik, membuat Ahmed memiliki kesan dan nilai tersendiri. Ahmed tumbuh besar dengan suara bom dan peluru yang biasa ia lihat berkelibatan diatas rumahnya. Asap dan tangisan anak kecil sudah menjadi hal biasa yang ia hadapi sehari-hari. Pertemuannya di dunia maya dengan Hamidah merupakan awal perubahan hidupnya. Hamidah merupakan satu-satunya yang ia kenal dari sosial media. Tepatnya di tahun 2013, Hamidah menyarankan untuk mengikuti beasiswa unggulan untuk mahasiswa asing yang diadakan Kemendikbud Indonesia. Kemudian, Ahmed
mencoba mendaftarkan diri pada beasiswa tersebut dan melengkapi administrasi. Selang satu minggu ia mendapat kabar bahwa ia diterima di Universitas Airlangga. Ahmed seharusnya tiba di Indonesia dan melangsungkan kegiatan perkuliahan pada September 2013. Namun, keadaan yang ada di negaranya membuat ia harus tertahan hingga November 2013. Untuk keluar dari Gaza, Ahmed harus melewati Rafah Border. Rafah Border merupakan pembatas antara Gaza dan Mesir. Rafah Border selalu tertutup dan hanya orang orang tertentu yang bisa mengaksesnya. Setiap hari Ahmed datang ke Rafah Border untuk melakukan negoisasi pada penjaga disana agar ia bisa keluar dan terbang ke Indonesia. Tepat Bulan November 2013 setelah Negoisasi yang sulit akhirnya Ahmed berhasil melewati Rafah Border dan terbang ke Indonesia. Tahun Ini adalah Tahun terakhir Ahmed menjalani studi di Universitas Airlangga. banyak kesan yang ia dapatkan selama empat tahun tinggal di Indonesia. Ia mengaku sangat senang bisa tinggal di Indonesia karena jauh dari cerminan Gaza yang setiap hari terdengar suara tembakan, rudal, maupun serangan udara, dan jiwa yang emosi. “Disini orangnya ramah dan suka senyum, saya merasa senang, beda dengan disana (Gaza) jadi kalau kamu senyum pada orang yang tak dikenal, mereka bukan malah membalas dengan senyumanmu mereka malah memaki maki kamu dan bilang ngapain kamu senyum ke aku,” tandasnya sambal tertawa. Ditanya mengenai langkahnya kedepan, Ahmed mengatakan bahwa ia tak mungkin kembali ke Gaza. karena keadaan konflik yang belum reda. Ia memilih untuk berkarir di Indonesia atau negara yang lain. Ahmed memiliki cita-cita sebagai pengajar, selama ia tinggal di Surabaya ia juga sering mengajar Bahasa Inggris di beberapa tempat “Jika ada kesempatan, saya ingin sekali mengajar di UNAIR untuk mahasiswa ilmu politik S-1 semester awal , saya ingin
berbagi dengan mereka ilmu politik yang sudah saya pelajari. Saya juga ingin mengajar mereka menggunakan Bahasa Inggris,” pungkasnya. (*) Penulis : Faridah Hari Editor: Nuri Hermawan
Rangkaian Pengmas Magister Keperawatan UNAIR Sesuai Aturan Dikti UNAIR NEWS – Ketua Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan (FKp) Universitas Airlangga, Dr. Tintin Sukartini, SKp., M.Kes., menjelaskan bahwa serangkaian kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan mahasiswa prodi Magister (S-2) FKp dalam satu semester terakhir 2016 ini, sesuai SK Dikti bahwa kegiatan mahasiswa baik S1 dan S2 harus dilibatkan dalam penelitian dan pengabdian masyarakat. ”Selama ini mahasiswa S-2 kan hanya terlibat dalam pengajaran yang rutin, setelah selesai tesis, selesai sudah, lulus. Sedangkan sekarang tidak, dengan peraturan Dikti itu mereka harus dilibatkan dalam penelitian dosen dan pengabdian kepada masyarakat,” kata Dr. Tintin Sukartini, ketika ditemui di arena pengmas di RSJ Menur. Rangkaian pengmas yang dijalani sejak September itu, diawali dilaksanakan di Kelurahan Dupak Bandarejo, Surabaya. Kemudian berlanjut di Balai RW IV Dupak Bangunsari (8/11), di RS PHC (24/11). Awal Desember 2016 giliran S2 Keperawatan Komunitas di RW V Dupak Bangunsari dengan tema “Perilaku Kecendekiawanan Sosialisasi dan Optimalisasi Program Bank Sampah”. Selanjutnya
pengmas di Kelurahan Dalpenang, Kab. Sampang, Sabtu (10/12), dan terakhir di RSJ Menur (20/12). Karena sejak awal masuk sudah disosialisasikan bahwa mahasiswa S-2 harus bikin program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (pengmas), sehingga dalam semester akhir 2016 itu pengmas sudah berjalan lancar oleh empat minat prodi Magister Keperawatan. Keempat minat prodi Magister Keperawatan itu adalah Keperawatan Medical Bedah, Keperawatan Jiwa, Keperawatan Komunitas, dan Manajemen Keperawatan. Itu sebabnya masing-masing minat mempunyai program pengmas. Kepada mahasiswa S2 minat Keperawatan Jiwa, Tintin mengapresiasi positif. Pasalnya, minat jiwa angkatan pertama yang hanya diikuti 19 mahasiswa itu, dalam satu bulan bisa membuat dua kegiatan pengmas yang relatif besar. Pengmas pertama dilaksanakan di Rumah Sakit Primasatya Husada Citra (PHC), 24 November dengan tema “Meningkatkan Caring Perawat Melalui Pelaksanaan Asuhan Keperawatan (Askep) Psikososial pada Penyakit Kronis di Rumah Sakit”. Kemudian yang kedua seminar di RSJ Menur 20 Desember 2016 dengan topik ”Peran Perawat Jiwa pada Lansia untuk Hari Tua yang Sejahtera.” ”Minat Jiwa ini luar biasa, walau baru pertama dan belum ada yang diconto dari kakak kelasnya, tetapi mampu membuat dua program pengmas yang dikemas secara lebih besar. Pengmas itu tidak saja berguna bagi teman-teman sejawat, tetapi juga untuk orang lebih banyak lagi,” kata Tintin. Dalam sosialisasi di awal masuk sudah dijelaskan bahwa sampai dua tahun lulus harus mempunyai target-target tertentu terkait kompetensi mereka, sehingga mahasiswa harus berinisiatif menyusun program-programnya. Selanjutnya manajemen prodi tinggal memantau, memberi arahan, sesuai target mereka supaya selanjutnya bisa lulus tepat waktu (dua tahun). Ikhwal biaya kegiatan, dikatakan memang ada sedikit bantuan anggaran dari fakultas, selanjutnya mahasiswa menggali dana
sendiri, misalnya bekerjasama dengan PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia). Dengan di-back-up anggaran PPNI maka kegiatan pengmas bisa lancar dan bahkan gratis. Sehingga pesertanya banyak dan sukses dari segi pencapaian sasaran. Sebagai Kaprodi, Tintin berharap semua kegiatan Tridarma Perguruan Tinggi ini berjalan lancar, sehingga mahasiswa lulus tepat waktu dengan berkualitas. Selain itu juga terpenuhinya target publikasi baik untuk jurnal internasional terakreditasi dan atau jurnal internasional terindeks scopus. “Jadi target kami sekarang bagaimana mendampingi mahasiswa bisa menyelesaikan studinya dengan lancar, tepat waktu, dan menghasilkan publikasi yang sesuai peraturan universitas,” demikian Dr. Tintin Sukartini, SKp., M.Kes. (*) Penulis : Bambang Bes
Inovasi Berkesinambungan di Sekolah Pascasarjana UNAIR NEWS – Salah satu unit di UNAIR yang tak pernah miskin inovasi adalah Sekolah Pascasarjana (SP). Sejak dinakhodai Prof. Dr. Hj Sri Iswati, SE., MSi., Ak, selaku Direktur pada November 2015 lalu, ada begitu banyak terobosan dilaksanakan. Tidak hanya soal upaya peningkatan akreditasi, sentra pendidikan tinggi multidisiplin ini juga menciptakan atmosfer yang nyaman, baik untuk dosen, staf, maupun mahasiswa. Prof Is, begitu Direktur Sekolah Pascasarjana ini biasa disapa, seperti tahu betul bahwa keguyuban sivitas merupakan katalisator alamiah. Dengan suasana bersahabat dan semangat terjaga, maka motivasi untuk melakukan pengabdian,
pembelajaran, maupun riset akan terus lestari dan berkembang. Salah satu langkah nyata yang diambil Prof Is dan rekanrekannya di direktorat SP adalah melakukan promosi terintegrasi. Promosi parsial tiap program studi ditiadakan. Jadi, kalau mau “jualan”, tidak boleh hanya menyuguhkan satu “menu”. Misalnya, yang melakukan promosi adalah Program Studi (Prodi) Imunologi. Materi yang dipaparkan di hadapan “klien” tidak sekadar Prodi tersebut. Lebih dari itu, sebanyak dua belas Prodi yang ada di SP, mesti disampaikan dengan porsi sama. Dengan demikian, alat peraga (power point dan buku profil/brosur) dibikin seragam. Secara langsung maupun tidak, kekompakan terwujud dan makin erat. Bahwa SP adalah satu tubuh, dan tak bisa asal dipisahpisah. “Ada kebersamaan. Tiap rapat, semua elemen dilibatkan. Kami saling mengingatkan, kemajuan mesti diraih bareng,” ujar Prof Is. Yang jelas, imbuh Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu, SP mesti fokus untuk berpartisipasi mencapai target World Class University (WCU) yang dicanangkan UNAIR. Termasuk, membuat progres berkelanjutan di ranah akademik, kemahasiswaan, dan kerja sama yang berdampak positif. “Insya Allah, tahun ini kami akan menggelar seminar internasional yang terindeks,” papar dia. Seminar internasional bakal membuka wawasan para akademisi maupun mahasiswa. Selain itu, jejaring global bakal makin luas. Yang tak kalah penting, perkembangan ilmu pengetahuan akan makin signifikan. SP juga Sebagai Sekolah kampus, anggota
selalu memfasilitasi para mahasiswa untuk berkreasi. contoh, beberapa waktu lalu, Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (Himasepa) mengadakan bakti sosial di yang dibalut dengan semangat seni budaya. Bahkan, Himasepa UNAIR juga ada yang berkiprah aktif di
perkumpulan mahasiswa pascasarjana level nasional. Penulis: Rio F. Rachman Editor : Dilan Salsabila
(*)