Kompas, Rabu, 25 Januari 2006, 16:51 WIB Sepenggal Kisah tentang Masyarakat Samin Jakarta, KCM Pada suatu malam di bulan Januari, penyanyi Franky Sahilatua mengirim SMS ke HP saya. Isinya, ia diundang oleh tokoh muda masyarakat Samin untuk menyanyi bersama Emha Ainun Nadjib di alun-alun Pati dalam acara "Temu Tani" yang diselenggarakan oleh Serikat Petani Pati (SPP). Jika saya tertarik, bolehlah saya ikut bersamanya. Tentu saja saya tertarik dengan ajakan tersebut. Terlebih, karena dalam ajakannya itu Franky menyebut nama Samin, sebuah nama yang tak asing bagi saya sejak masih kuliah. Samin, meski sudah kerap mendengar "gosip" tentang masyarakat Samin, tapi hingga kini saya belum pernah bertemu dengan mereka. Terus terang, saya penasaran. Apakah benar, orang Samin itu adalah sekelompok masyarakat yang menganut faham "asal beda", suka menentang pemerintah sejak zaman kolonial Belanda hingga kini? Sehingga istilah Samin akhirnya menjadi olok-olok untuk mereka yang berlaku "norak", tak kooperatif, uneducated, bebal, dan lain-lain. Atau dalam istilah Jaspers, seorang asisten Residen Tuban kala itu, melukiskan ajaran Samin sebagai "kelainan jiwa" (mental afwijking) yang disebabkan oleh kelewat beratnya beban pajak yang harus mereka tanggung. "Tapi ongkosnya kita tanggung bersama ya," ujar Franky kemudian setelah saya hubungi lewat HP-nya. "Maklum, yang mengundang petani... he he he..." lanjut Franky. Maka jadilah, pada Selasa malam, 17 Januari lalu, saya, Franky, dan dua pekerja sosial bernama Beni dan Agus serta seorang sopir bernama Acan, meluncur menuju Pati dengan berkendara mobil. Di sepanjang jalan pantai utara Jawa yang jalannya tak pernah beres itu, kami berdiskusi perihal kelompok masyarakat yang hendak kami datangi. Itulah soalnya kami langsung menyusun rencana, sebelum menuju alun-alun Pati pada Kamis, 19 Januari, saya dan Franky sepakat untuk mengenal Sedulur Sikep lebih dalam. Untunglah, Beni dan Agus, sudah cukup lama mengenal masyarakat Samin. Terlebih Beni, ia mengaku sudah 10 tahun berkawan akrab dengan warga Samin. Karena itu, sepanjang perjalanan kami mendapatkan gambaran yang cukup jelas tentang siapakah warga Samin itu. "Tapi mereka lebih suka disebut Sedulur Sikep," kata Beni. Beni melanjutkan, Sedulur Sikep itu merupakan faham atau pemahaman mereka mengenai hidup yang harus selalu berpegang pada kejujuran dan kebenaran. Sedangkan Samin, adalah seorang tokoh yang amat dihormati oleh warga Sedulur Sikep dan sekaligus perintis ajaran Sikep. Maka mulailah, sambil menikmati suara gamelan dari tape mobil di sepanjang jalan tol Jakarta-Cikampek, Beni menerangkan perihal Samin dan Sedulur Sikep. Tentang Samin Surosentiko Katanya, Samin itu adalah nama yang dipakai oleh Raden Kohar agar lebih merakyat. Samin. Kompletnya Samin Surosentiko. Lahir di desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Kabupaten Blora, pada 1859. Samin mulai menyebarkan ajarannya pada 1890 di Klopoduwur, Blora. Dalam waktu singkat, penduduk sekitar banyak yang tertarik mengikuti jejaknya.
Page 1 of 6
Tahun 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut Samin tersebar di 34 desa di Blora bagian Selatan dan Bojonegoro. Pada 1907, populasi orang Samin sudah mencapai angka 5.000 orang. Nah, saat itulah, pemerintah Belanda mulai was-was, sehingga pengikut Samin pun mulai ditangkapi satu demi satu. Pada 8 November 1907, orang Sikep mengangkat Samin Surosentiko sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Namun sayang, baru 40 hari sejak pengangkatan itu, Samin ditangkap oleh Raden Pranolo, asisten Wedana Randublatung. Selanjutnya Samin dan delapan pengikutnya dibuang ke wilayah Sumatra, tepatnya di Sawahlunto. Samin Surosentiko meninggal di pengasingan pada tahun 1914. Samin Surosentiko memang telah ditangkap, tapi ajaran Samin tetap hidup. Benarlah apa kata pepatah: Mati satu tumbuh seribu. Sepeninggal Samin, muncullah Wongsorejo, salah satu pengikut Samin yang gigih menyebarkan ajaran gurunya hingga Madiun. Nasib Wongsorejo tak ubahnya sang guru, ia pun ditangkap dan dibuang ke luar Jawa. Wongsorejo silam, muncul menantu Samin Surosentiko yang bernama Surohidin pada 1911. Surohidin bersama pengikutnya, Engkrak, bahu membahu menyebarkan ajaran Samin ke daerah Grobogan, sementara pengikut Samin lainnya yang bernama Karsiyah menyebarkan ajaran Samin hingga daerah Kajen, Pati. Berbarengan dengan tahun mangkatnya Samin Surosentiko (1914), pecah pemberontakan warga Samin atau yang terkenal dengan sebutan Geger Samin. Peristiwa ini sesungguhnya merupakan titik kulminasi dari kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda yang menaikkan pajak bagi pribumi. Perlawanan dari masyarakat Samin berupa penolakan membayar pajak pun timbul di mana-mana. Mulai dari Purwodadi, Madiun, Pati, Bojonegoro. Perdebatan antara orang Sikep dan polisi kolonial berikut ini mungkin bisa menjadi gambaran logika penolakan membayar pajak masyarakat Samin terhadap pemerintah kolonial kala itu, seperti dimuat Majalah Desantara (edisi 06/2002) yang mengutip tulisan Takashi Shiraishi berjudul Dangir’s Testimony. "Kamu masih hutang 90 persen kepada negara" "Saya tidak hutang kepada negara" "Tapi kamu mesti membayar pajak" "Wong Sikep (orang Samin) tak mengenal pajak" "Apa kamu gila atau pura-pura Gila?" "Saya tidak gila, dan tidak pura-pura gila" "Kamu biasanya bayar pajak, mengapa sekarang tidak?" "Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Mengapa negara tidak habis-habisnya minta uang?" "Negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak punya cukup uang, tak mungkin merawat jalan dengan baik." "Kalau menurut kami, jika keadaan jalan itu tidak baik, kami bisa membetulkannya sendiri." "Jadi kamu tidak membayar pajak?" "Wong sikep tak mengenal pajak." Tentang Sedulur Sikep Sedulur Sikep adalah turunan dan pengikut ajaran Samin Surosentiko yang memiliki keyakinan betapa pentingnya menjaga tingkah laku yang baik, berbuat jujur dan tidak menyakiti orang lain. Dalam perilakunya, Sedulur Sikep harus menghindari sikap drengki, srei, dahwen, kemeren, panasten (yang benar disalahkan atau sebaliknya, membesar-besarkan persoalan, iri hati, dan tidak menginginkan orang lain berbuat baik).
Page 2 of 6
Selain ajaran tersebut, Sedulur Sikep juga harus menghindari perilaku bathil lainnya seperti bedok, colong, petil, jumput dan nemu (merampok, mencuri, nguti, mengambil milik orang lain, bahkan sampai menemukan barang orang lain pun tak boleh dilakukan). "Dan mereka mempraktikkan ajaran itu tiap waktu, tiap saat," ujar Beni saat kami usai mengisi perut di daerah Indramayu. Makanya, ujar Beni, minimal sekali dalam setahun, ia selalu berkunjung ke Sedulur Sikep yang berada di wilayah Pati dan Kudus. Katanya, kunjungannya ke Sedulur Sikep untuk charge pikiran dan hati. "Aku yakin ini bukan melulu karya manusia. Ini pasti ada campur tangan Sang Pemilik Hidup," Franky menanggapi pertanyaan saya, kenapakah hingga kini ajaran Samin masih terus hidup. Ya, padahal, dari waktu ke waktu mereka senantiasa menghadapi persoalan administratif negara. Sebutlah, soal Kartu Tanda Penduduk (KTP). Banyak di antara warga Sikep hingga kini tak memiliki KTP lantaran agama mereka yang menurut istilah mereka disebut agama Adam tak pernah diakui oleh pemerintah RI. Belum lagi masalah pernikahan. Sedulur Sikep yang memiliki tata cara pernikahan sendiri, tentu saja kerap menimbulkan masalah lantaran tak pernah melibatkan pejabat negara. Apapun masalahnya, toh Sedulur Sikep senantiasa mampu mengatasi persoalannya sendiri. Buktinya, hingga detik ini mereka masih eksis dan telah mendapatkan pengakuan dari negara. Siang telah membentang ketika kami sampai di Semarang. Seorang kawan lain yang juga hendak menuju Pati kami jemput di restoran Soto Bangkong di Banyumanik. Mas Hermanu, begitulah kami memanggilnya. Dialah doktor lulusan Amerika yang hingga kini juga masih setia menemani Sedulur Sikep. Usai sarapan, mobil kami hela menuju Pati. "Lewat Purwodadi saja, lebih enak pemandangannya," kata Hermanu. Mranggen, Tegowanu, Gubuk, Purwodadi, kami lewati. Sebentar lagi, Sukolilo ada di hadapan kami. Di sanalah nanti kami akan bertemu dengan guru-guru kami, para Sedulur Sikep. Jabat Erat Sedulur Sikep Matahari berada di atas kepala saat kami memasuki Kecamatan Sukolilo. Setelah beberapa kali tikungan dan jalan menurun, sampailah kami di mulut gang menuju Dukuh Bombong. Atas saran Hermanu, tujuan pertama kami adalah rumah Mbah Sampir. Lelaki tua berusia di atas 70 tahun yang ditokohkan oleh Sedulur Sikep di Dukuh Bombong. Sayang disayang, Mbah Sampir ternyata tak sedang di rumah. Sebagai gantinya, istri, anak, cucu, menantu dan saudara Mbah Sampir lainnya yang membentuk puak di sekitar rumah Mbah Sampir menyambut kami dengan hangat. "Nepangaken, pangaran njenengan sinten?" "Saking pundi?" "Ra’ sami seger kawarasan toh?" Begitulah selalu kalimat yang keluar dari mulut keturunan Mbah Sampir, tak kecil tak besar, tak tua tak muda. Sambil memegang erat tangan tamunya, mereka berucap dengan tegas dan lugas perihal nama dan asal tamunya, serta tak lupa harapan agar sang tamu dalam keadaan sehat wal afiat.
Page 3 of 6
Selanjutnya, setelah saling berkenalan, sebagian anggota keluarga Mabah Sampir menyingkir, sebagian lainnya ada bersama kami. Salah satunya, adalah perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Gunarti, adiknya Mas Gunritno. Gunarti perlu menyebut nama Gunritno, sebab itulah nama yang menurutnya sudah dikenal, setidaknya oleh teman-teman seperjalanan saya: Beni, Agus, dan Hermanu. Padahal, ayah Gunarti yang bernama Wargono sebetulnya juga cukup terkenal sebagai salah satu tokoh Sedulur Sikep. Sebagai orang yang baru kenal, saya tentu saja tak berani lancang bertanya mengapakah ia justru memperkenalkan nama kakak dan bukan nama ayahnya. Umur cuma satu, buat selamanya Setelah bertukar kabar, mulailah kami bertanya-tanya. "Gimana kemarin, apakah Sedulur Sikep menerima dana kompensasi BBM?" tanya Mas Hermanu. "Untuk soal itu, kami kalis," jawab Gunarti. Mas Hermanu langsung menerjemahkan istilah kalis. Katanya, kalis itu adalah seperti daun keladi yang tak basah oleh air yang ada bersamanya. Menurut Gunarti, lebih baik dana kompensasi itu diberikan kepada warga lainnya yang lebih membutuhkan. Gunarti mengatakan, kendati warga Sedulur Sikep cukup berat menanggung beban hidup lantaran semua harga kebutuhan naik, tapi ia dan Sedulur Sikep lainnya masih bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal, ujar Gunarti, sawah yang ia harapkan bakal memberinya berkarung-karung gabah bulan depan, ternyata terendam banjir. Obrolan pun.. ah ya, saya hampir lupa, "obrolan" adalah kosa kata yang paling dihindari Sedulur Sikep untuk sebuah perbincangan. Sedulur Sikep lebih suka menyebut perbincangan dengan istilah rembugan. Sebab katanya, rembugan itu adalah perbincangan yang akan menghasilkan sesuatu. Sedangkan ngobrol, lebih banyak menghasilkan kesia-siaan. Dari pengertian ini, karenanya Sedukur Sikep senantiasa serius jika diajak berbincang-bincang. Seperti di siang itu. Gunarti pun dengan seksama menyimak pertanyaan-pertanyaan saya dan teman lainnya. "Maaf, umur Mbak berapa sekarang?" "Umur saya satu, buat selamanya," jawab Gunarti. Mendengar jawaban Gunarti, saya pun jadi salah tingkah. Saya mulai bertanya kepada Mas Hermanu, bagaimana caranya menanyakan soal umur kepada Sedulur Sikep. "Waktu anda lahir, kira-kira pas zaman apa ya Mbak?" tanya saya setelah mendapat bisikan dari Mas Hermanu. "Menurut kedua orang tua, saat menikah saya berusia 16 tahun. Sekarang usia anak saya yang pertama sudah 16 tahun, jadi kurang lebih 29 tahun," jawab Gunarti. Anda yang belum mengenal Sedulur Sikep, boleh jadi akan berprasangka yang macam-macam mendengar penuturan Gunarti. Padahal, ujar Gunarti, mengapa para Sedulur Sikep selalu menjawab begitu tiap kali ditanya berapa umurnya, adalah karena semata mereka takut berbohong. "Bagaimana saya bisa menjawab dengan tepat kalau saya tidak tahu apa-apa saat saya lahir?" tambah Gunarti. Hmm... sebuah logika yang tak terbantahkan bukan? "Sekarang kegiatan Mbak Gunarti apa?" saya melanjutkan pertanyaan. "Tiap hari saya pergi ke sawah. Hari Minggu saya ke pasinaon..."
Page 4 of 6
"O, jadi guru juga toh?" "Ah tidak. Saya nggak mau disebut guru. Guru itu kan digugu lan ditiru. Sementara saya, belum tentu perbuatan saya bisa digugu (dipercaya) dan ditiru," ucap Gunarti merendah. Pendeknya, lanjut Gunarti, yang penting dirinya bisa bermanfaat buat orang lain. Itulah sebab, tiap hari Minggu, sekitar 15 anak-anak Sedulur Sikep mendapat pengajaran dari Gunarti tentang baca dan tulis serta budi pekerti. Kegiatan belajar mengajar ini, menurut Gunarti, dimulai sejak anak-anak mulai berpikir dan bertindak. "Bukankah anak bisa jalan, bisa bicara, itu orang tua yang mengajari. Karenanya, apabila kita ingin anak-anak kita berperilaku baik, ya harus diajari sejak dini," tutur Gunarti. "Yang utama dari pembelajaran itu adalah mebcike kelakuan (meluruskan perbuatan). Sebab kita kerap keblasak-keblusuk (tersesat)," tandas Gunarti. O ya, perlu Anda ketahui, wahai pembaca yang budiman, anak-anak Sedulur Sikep itu memang tidak bersekolah secara formal. Nah, orang semacam Gunarti ini, karena dipandang pintar, maka dia berkewajiban membagi ilmunya kepada anak-anak dari keluarga Sedulur Sikep. Buat Sedulur Sikep, ada dua hal yang mereka hindari dalam hidup. Yakni, bersekolah (formal) dan berdagang (mencari margin). Sekolah, kata mereka, membuat orang jadi pintar. Setelah pintar, manusia bisanya cenderung membohongi sesamanya. Begitu juga dengan berdagang. Biasanya, dalam mencari untung para pedagang itu suka mengabaikan nilai-nilai kejujuran. Karena itu, profesi yang dipilih oleh Sedulur Sikep adalah bertani. Jika pun harus menjual hasil pertaniannya, Sedulur Sikep biasanya akan berpatokan pada harga yang berlaku di masyarakat. Makan siang dengan nasi jagung Meski sudah diganjal soto bangkong di Semarang pagi tadi, toh perut langsung keroncongan manakala mata melihat sajian yang digelar di atas meja di rumah Mbah Sampir. Di meja kini ada nasi jagung, botok, lodeh terong, tempe goreng, goreng ikan kutuk, dan telor goreng. Setelah tuan rumah mempersilakan kami menyantap hidangan, kami pun secara bergantian mengambil hidangan yang tersaji. Saya dan Franky mengambil nasi jagung plus botok yang di dalamnya terdapat anakan ikan kutuk. Rasanya...hmmm... yummy betul. Lain benar rasanya dengan masakan orang Jakarta yang sudah terkontaminasi dengan unsur kimia sejak masih ditanam hingga ketika dimasak. Inilah kiranya rasa makanan yang dihasilkan dengan cara yang berbeda dengan masakan kebanyakan. Bahkan sejak sebelum padi ditanam hingga setelah padi dipanen, mereka selalu mengupayakannya dengan doa atau biasa disebut dengan istilah brokohan. Tujuannya, ujar ayah Gunarti (Wargono) untuk kebaikan manusianya dan juga kebaikan yang ditanam. Perihal sajian di rumah Mbah Sampir itu, perlu Anda ketahui juga, adalah salah satu cara Sedulur Sikep menghormati tamu-tamunya. Oleh karena itu jangan heran, jika sekali waktu Anda berkunjung ke keluarga Sedulur Sikep, selain disuguhi minum dan nyamikan, Anda juga akan disuguhi makan. Makanya saat lepas dari Semarang Mas Beni wanti-wanti, siapkan perut Anda sebelum datang ke rumah para Sedulur Sikep. Sebab, bila dalam satu hari kita datang ke lima rumah, boleh jadi kita akan diberi sajian makan berat sebanyak lima kali pula.
Page 5 of 6
Tentu, mereka pun tak akan memaksa Anda untuk makan hingga kenyang. Tapi, alangkah baiknya jika Anda merasakan juga apa yang mereka hidangkan sebagai simbol penghormatan terhadap tuan rumah. "Memangnya Mbah Sampir punya kolam ikan ya Mbak," tanya saya kepada Mbak Gun. "Ah, nggak," jawab Gunarti. "Trus ikan ini dari mana?" sambung saya. "Dari sawah." "Maksudnya, piara ikan di sawah?" "Bukankah di mana pun ada air, di situ selalu ada ikannya," ujar Mbak Gun sambil tersenyum. Ah, kembali saya tertohok oleh logika yang tak terbantahkan dari Mbak Gun. Coba bayangkanlah..., ikan dan air..., bukankah mereka bagian dari semesta yang mestinya memang berpasang-pasangan? Sedang saya merasai bolak-balik ketohok oleh ucapan Gunarti, mendadak Mbah Pasmi (istri Mbah Sampir) berucap, "Tambah lo, Mas..." Sebelum saya mengiyakan atau menolak, tiba-tiba saya ingat pesan Mas Beni supaya jangan kelewat kenyang makan di satu tempat. Sebab setelah ini, bisa jadi tiga atau empat rumah bakal kami kunjungi lagi. He he he..., demi menghormati tuan-tuan rumah yang bakal saya kunjungi, saya pun mengekang tawaran Mbah Pasmi dengan ucapan "maturnuwun". Padahal..., botok dan nasi jagungnya itu...hhmmm, enaaak tenan. Sungguh. Penulis: Jodhi Yudono
Page 6 of 6