Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kabupaten Blora Ahmad Muhid Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas AKI Abstract People who live in bilingual community will apply the use of code or variety of language based on topic, setting, and participant. Javanese, consisting many dialects and varieties of languages have speech levels of language namely ngoko, madya, and krama. Each level has different functions and applications. When a speaker interacts with others he/she uses the level based on many factors. The diferent level of speech is influenced by factors, like degree of formality and social status. Community in Klopoduwur as one of Javanese regional dialect tends to apply the rule of speech level when they speak. In this research, the writer tries to find the factors that make them speak using different level based on participant.
Key words : Javanese speech level, participant, degree of formality, social status.
Pada
1. Pendahuluan Bahasa
peneliti
bahasa dapat mengkaji bahasa dari segi
digunakan manusia untuk menyampaikan
bentuknya saja, seperti penelitian di ranah
maksud, keinginan, maupun perasaannya.
fonologi,
Pada
sintaksis-nya saja. Hasil penelitian tersebut
kajian
sarana
seorang
yang
awalnya,
adalah
dasarnya
bahasa
hanya
morfologi,
sewajarnya
semantik
merupakan bagian dari kajian ilmu budaya
sudah
maupun filsafat. Namun pada awal abad ke
bahasa yang merupakan rumus gramatika
– 20, bahasa menjadi ilmu yang mampu
bahasa. Kajian tersebut disebut sebagai
berdikari dan dikenal sebagai ilmu linguistik
kajian linguistik formal. Penelitian di ranah
dan menelurkan ratusan ahli yang brilian
linguistik formal hanya akan meneliti suatu
dalam ilmu baru ini. Konsekuensinya, kajian
satuan
bahasa menjadi bahan kajian yang luar biasa
pemakaian bahasa sehari – hari. Padahal
kaya dan menarik untuk dibahas habis –
bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi
habisan.
manusia. Jadi, suatu bahasa baru akan
bahasa
menghasilkan
maupun
tanpa
sistem
memperhatikan
bermakna secara utuh bila melibatkan -82-
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kab. Blora (A. Muhid)
hubungan
antara penutur dan mitra tutur
dalam komunikasi sehari – hari.
perbedaan formalitas dan status sosial yang berbeda. Sementara itu, madya merupakan
Dalam komunitas Jawa, terdapat
tingkat tutur setengah ngoko dan madya.
tingkat tutur yaitu ngoko, madya, dan krama
Ketika berkomunikasi, pemilihan tingkat
dalam berkomunikasi yang tercermin dalam
tutur
bentuk kata benda, kerja, dan sifat yang
penutur. Bahasa yang digunakan penutur
berbeda. Selain itu kata partikel dan
dapat beragam tergantung dari mitra tutur
pemakaian
beserta
kalimat
tak
langsung
juga
bahasa
sangat
faktor
diperhatikan
yang
melatarbelakangi
menentukan dalam pemilihan tingkat tutur.
penciptaaan
Pemilihan bahasa dalam bertutur, terutama
Keberagaman bahasa oleh penutur yang
dalam budaya Jawa, dipengaruhi oleh
sama merupakan fenomena yang patut untuk
formalitas
dipecahkan.
hubungan
seseorang
yang
mencakup tingkat keakraban hubungan, tingkat
keangkeran,
melakukan
tersebut.
penelitian,
pastilah terdapat tujuan yang diinginkan
formalitas, hal lain yang perlu diperhatikan
oleh peneliti. Tujuan dari penelitian ini
adalah
darah
berangkat dari permasalahan keberagaman
faktor
bahasa oleh penutur yang sama dalam
pendidikan.
berinteraksi. Fenomena tersebut memicu
Pemahaman ini kian menyadarkan para
peneliti dalam melakukan penelitian untuk
linguis
memperhatikan
mengetahui pola-pola kebahasaan penutur
hubungan antar penutur dalam menentukan
yang tertuang dalam tuturan serta faktor-
pilihan tuturan suatu bahasa sebagai objek
faktor
penelitian linguistik.
cenderung memilih satu bahasa dibanding
sosial
kebangsawanan, ekonomi,
seperti
kedudukan,
serta
untuk
usia.
Dalam
bahasa
Selain
status
dan
pemilihan
oleh
faktor
lebih
bahasa
yang
yang
mengakibatkan
lain.
Penelitian
penutur
tersebut
diharapkan dapat memberikan gambaran
Permasalahan Penelitian Tingkat tutur dalam bahasa Jawa terdiri dari ngoko, madya, dan krama.
yang jelas mengenai
faktor pemilihan
tingkat tutur bahasa antar penutur.
Bahasa ngoko biasanya digunakan antar penutur yang memiliki formalitas dan status sosial
yang
setara,
sedangkan
2. Sejarah Desa Klopoduwur
krama
Nama desa Klopoduwur diperoleh
digunakan antar penutur yang terdapat
dari legenda yang dipercaya masyarakat -83-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No.1 Januari 2011
setempat. Di daerah tersebut, dulunya
Padangan, Pati, mungkin juga sampai
terdapat pohon kelapa yang sangat tinggi
Brebes.
sehingga jika daun kelapanya jatuh akan menimbulkan
bunyi
yang
keras
Ajaran mbah Engkrek melanjutkan
dan
ajaran Samin Surosentiko. Salah satunya
suaranya terdengar sampai kecamatan di
berupa kerata basa atau jarwa dhosok samin
Banjarejo yang jaraknya sekitar 3-4 km.
dari kata sami sami ning gesang. Makna
Namun pohon kelapa itu hanya dapat dilihat
kerata basa itu adalah hidup itu dibuat sama
oleh orang-orang
tidak ada yang kaya, tidak ada yang miskin
yang melakukan ritual
tertentu atau ‘nglampahi’.
tidak ada yang tertindas. Ajaran-ajaran yang
Desa Klopoduwur juga terkenal dengan
tokohnya
Samin
sikap saling menghormati, sikap saling
kraton
membantu, yang sampai sekarang masih
bernama asli Raden Kohar. Karena adanya
dirasakan. Selain itu ada beberapa ciri
penjajahan kolonial, maka dirinya merasa
masyarakat Samin termasuk tidak ada iri,
terpanggil untuk keluar dari kraton untuk
dengki, dan kemeren. Kesenian Samin yang
membentuk komunitas yaitu ajaran-ajaran
masih dipertahankan adalah tayub yang
Samin Surosentiko yang ajaran luhurnya
sekarang masih ada untuk sedekah bumi.
kalau dicermati sangat luarbiasa. Namun
Mereka
karena keberdadaannya pada jaman colonial,
diselenggarakan, akan ada bencana seperti
maka disebut gerakan anti penjajah. Mbah
warganya
Samin ketika itu pertama kali datang di
panennya tidak berhasil atau semacam
Ploso Kediren kemudian memiliki banyak
pageblug atau bencana.
Surosentiko
yang
bernama
lain yaitu gotong royong yang sangat kuat,
berasal
dari
mempercayai
mengalami
jika
ganguan,
tidak
hasil
pengikutnya termasuk salah satunya mbah Engkrek. Mbah engkrek mendapat mandat
2.1 Profil Daerah
untuk menyebarkan ajaran Samin dan
Letak desa Klopoduwur yaitu di
pengikut yang paling banyak terdapat di
kecamatan Banjarejo kabupaten Blora. Luas
Klopoduwur.
desa Klopoduwur yaitu sekitar 687.705
Akhirnya
mengembangkan
Engkrek di
hektar dengan ketinggian 75 meter di atas
Klopoduwur dan mempuyai murid yang
laut. Di sebelah utaranya terletak desa
juga menyebarkan ajaran Samin ke berbagai
Sumengko. Sementara di sebelah baratnya
wilayah termasuk Grobogan, Bojonegoro,
adalah desa Sumberagung. Kabupaten Blora
-84-
ajaran
mbah
Samin
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kab. Blora (A. Muhid)
terdapat di sebelah timur desa Klopoduwur.
bangunan, serta dalam bidang angkutan,
Sedangkan pada bagian selatan terdapat
pergudangan, dan komunikasi. Pekerjaan
hutan negara. Dengan luas sawah tadah
tersebut sebagian besar dilakukan oleh
hujan sekitar 101 hektar dan ladang sekitar
penduduk yang berusia diatas 15 tahun
271
desa
dengan jumlah 3.988 jiwa. Sementara itu
Klopoduwur sangat sesuai untuk pertanian
tingkat pengangguran juga masih tinggi
dan berladang dengan jagung dan gandum
dengan pencapaian angka sekitar 122 jiwa
sebagai komoditas utama. Selain bertani dan
dan 741 jiwa penduduk masih dalam rangka
berladang penduduk juga beternak seperti
pencari kerja.
hektar,
kondisi
wilayah
sapi dan kambing serta mengembangkan
Dalam hal pendidikan, terdapat 2
industri seperti pembuatan tahu dan tempe.
Taman Kanak-Kanak swasta dengan jumlah
Penduduk desa mendiami lahan sekitar 104
total sekitar 74 siswa dan 5 guru, 3 Sekolah
hektar.
desa
Dasar negeri yang berjumlah 667 siswa dan
Klopoduwur,
33 guru, namun belum terdapat SMP apalagi
dusun Wotrangkul, dusun Sumengko, dusun
SMA di desa ini. Selain itu terdapat 1
Sale, dusun Badong Kidul, dan dusun
Madrasah Ibtidaiyah swasta dengan jumlah
Badong Geneng dengan jumlah total 29
siswa sebanyak 266 orang. Penduduk desa
RW.
Klopoduwur yang merupakan lulusan SD
Terdapat
Klopoduwur
6
yaitu
dusun
dusun
di
berjumlah 74 jiwa, lulusan SLTP adalah 72 jiwa, lulusan SLTA seitar 53 jiwa, tamatan
2.2 Profil Penduduk Jumlah 4.976
jiwa
sebanyak
penduduknya dengan
2.483
mencapai
perincian
jiwa
dan
laki-laki
perempuan
sebanyak 2.493 jiwa. Dari segi usia,
D3 sebanyak 4 jiwa, dan hanya 2 jiwa yang memiliki gelar kesarjanaan. 3. Bahasa dan Masyarakat Tuturan
sebagai
salah
satu
sebanyak 1.818 jiwa adalah anak-anak,
represententasi bahasa merupakan salah satu
2.475 jiwa adalah masyarakat dengan usia
kajian budayanya dengan penutur sebagai
15-64 tahun dan sejumlah 683 jiwa adalah
anggota dari suatu komunitas. Dimensi
penduduk dengan usia diatas 65 tahun.
tuturan hanya dapat ditangkap dengan
Lapangan usaha yang dilakukan masyarakat
mempelajari apa yang dilakukan penutur
desa
terhadap
Klopoduwur
adalah
pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, buruh
bahasanya,
dengan
cara
menghubungkan kata dan gesture sesuai -85-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No.1 Januari 2011
konteks dimana tanda tersebut dihasilkan;
dirinya sendiri.
yang menunjukan bahwa tuturan dapat
merupakan
menghasilkan tindak sosial.
menghormati mitra tuturnya. Namun hal ini
Jika seseorang memiliki bahasa yang
Bagi mereka hal itu
hal
bertentangan
yang
dengan
santun
ideologi
dan
dari
sama namun berbeda komunitas, maka
masyarakat Jawa kraton dan ini dianggap
dikatakan bahwa keduanya berada pada
sesuatu yang tidak santun. Penggunanan
komunitas bahasa yang berbeda. Sebagai
kata ‘siram’ yang berbeda (walaupun sama-
contoh adalah komunitas bahasa Jawa
sama dialek bahasa Jawa) menunjukkan
kraton
bahwa
(Solo
dan
Yogyakarta)
komunitas bahasa Jawa pesisir
dan yang
masyarakat
masyarakat
Jawa
Jawa
kraton
pesisir
dan
merupakan
memiliki komunitas bahasa yang berbeda.
komunitas bahasa yang berbeda atau dengan
Keduanya menggunakan dialek bahasa Jawa
kata lain dikatakan bahwa keduanya tidak
yang sama namun berbeda penerapannya
berada dalam satu komunitas bahasa.
pada situasi sosial. Masyarakat bahasa Jawa kraton menggunakan bahasa ngoko jika itu mengacu pada dirinya sendiri. Misalnya ketika ia berkomunikasi dengan orang lain, maka
performasinya
adalah
‘Tenggo
3.1 Etnografi Komunikasi Etnografi
komunikasi
adalah
bahasan mengenai deskripsi dan kajian pola pemakaian bahasa
sekedhap nggih kula badhe adus. Mangga
tertentu.
panjenengan pinarak rumiyin’. Dalam hal
linguistik antropologi pada tahun 60an tidak
ini penutur menggunakan bahasa ngoko
memperdulikan kajian ini, padahal terdapat
untuk
fenomena bahwa penggunaan bahasa dan
dirinya
sendiri
(adus),
dan
Ahli
dalam satu budaya antropolinguistik
menggunakan bahasa krama untuk mitra
tuturan pada komunitas
tuturnya
memiliki
masyarakat
(pinarak).
pesisir,
bagi
pola
yang
yang berbeda berbeda
pula.
mereka
Ketidaktersentuhan kajian ini menuntun
cenderung menggunakan bahasa Jawa krama
Hymes untuk mengemukakan aspek-aspek
untuk dirinya sendiri seperti contoh : ‘Kula
komunikasi
badhe siram rumiyin monggo mang entosi
antropologi dan linguistik (Saville-Troike,
sekedhap ngih’ (Suryadi, 2010 : 205). Pada
2003:1).
data di atas menunjukkan bahwa penutur
menghubungkan antara penggunaan bahasa
menggunakan bahasa Jawa krama untuk
dengan konteks situasi berinteraksi pada
-86-
bahasa
Sedangkan
dan
yang
Hymes
terlepas
juga
dari
berusaha
kajian
untuk
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kab. Blora (A. Muhid)
suatu komunitas tertentu, sehingga pada
1. Scene atau konteks peristiwa yang terdiri
akhirnya dapat dicari pola kebahasaan dari
dari genre atau jenis peristiwa ( seperti
komunitas
lelucon,
cerita,
perkuliahan,
salam,
konversasi ), topik yaitu hal yang dibicarakan,
3.2 Etnografi Komunikasi Etnografi
yaitu
tujuan
adalah
penutur, serta setting yaitu lokasi, waktu,
bahasan mengenai deskripsi dan kajian pola
aspek fisik suatu tempat, misalnya
pemakaian bahasa
luasnya ruangan, tata letak perabotan ).
tertentu.
Ahli
komunikasi
purpose
dalam satu budaya antropolinguistik
dan
linguistik antropologi pada tahun 60an tidak memperdulikan kajian ini, padahal terdapat
2. Participant, yaitu individu yang terlibat dalam komunikasi. 3. Key, yaitu merujuk pada nada, cara,
fenomena bahwa penggunaan bahasa dan
semangat
tuturan pada komunitas
termasuk juga melihat kesesuaian antara
memiliki
pola
yang
yang berbeda berbeda
pula.
Ketidaktersentuhan kajian ini menuntun Hymes untuk mengemukakan aspek-aspek komunikasi
yang
terlepas
dari
kajian
dalam
cara peenyampaian dan isi pesan. 4. Bentuk pesan, yaitu bagaimana pesan itu disampaikan 5. Isi pesan, yaitu topik dan perubahan
antropologi dan linguistik ( Saville-Troike,
topik
2003:1 ). Hymes juga berusaha untuk
disampaikan.
menghubungkan antara penggunaan bahasa dengan konteks situasi berinteraksi pada
berkomunikasi,
dari
pembicaraan
yang
6. Aksi urutan, yaitu urutan tindakan komunikasi dalam suatu peristiwa.
suatu komunitas tertentu, sehingga pada
7. Aturan interaksi, yaitu aturan untuk
akhirnya dapat dicari pola kebahasaan dari
menghasilkan tuturan dalam peristiwa
komunitas tertentu. Untuk menganalisis
komunikasi.
tuturan dalam suatu masyarakat, selain
Dari
komponen-komponen
tutur
konteks situasi, peristiwa tutur, dan tindak
tersebut, pembahasan penelitian hanya akan
tutur, terdapat komponen lain yang berperan
dibatasi
yaitu komponen tutur ( Saville-Troike,
menyangkut hubungan antara penutur dan
2003:110
mitra tutur yang mencakup tidak hanya
adalah:
).
Komponen-komponen
itu
dalam
hal
partisipant,
tuturan yang terlihat, namun juga
yang
latar
belakang informasi tentang hubungan peran -87-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No.1 Januari 2011
dalam keluarga dan institusi lain, fitur
situasi yang berbeda (Wardhaugh, ….. 90).
pembeda dalam siklus kehidupan, serta
Salah satu aspek penentu pemilihan kode ini
perbedaan suatu kelompok berdasarkan jenis
adalah domain yang dikemukakan oleh
kelamin dan status sosial. Analisis mengenai
Fishman. Dia mengatakan bahwa :
bagaimana seorang penutur berperan dalam suatu peristiwa diperlukan untuk memahami
…. a socio-cultural construct
peran apa yang dijalankan olehnya dan
abstracted
bagaimana dia terlibat secara aktif dalam
communication between
stuktur dan performasi komunikasi ( Saville-
locales
Troike, 2003:114 ).
from
topics
on
relationships
communicators, of
an
communication,
in
accord with the institutions of a society and the spheres of activity
3.3 Pemilihan Bahasa Masyarakat
of a speech community (Savile
Indonesia
adalah
Troike, 2003:42).
masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, sehingga terdapat
Beberapa aspek domain diantaranya
berbagai macam ragam bahasa atau dialek
adalah
selain bahasa Indonesia sebagai bahasa
partisipan, dan setting. Seorang bilingual
dominan.
masyarakat
akan menggunakan pilihan kode yang
mempergunakan dan memilih bahasa atau
berbeda jika topik yang dibicarakan juga
kode dalam strategi
yang
berbeda. Bahasa Indonesia dipilih jika topik
penggunaannya disesuaikan dengan konteks
yang dibicarakan tentang ilmu pengetahuan
(Saville-Troike, 2003 :42). Masyarakat yang
atau politik. Begitu juga ketika setting
dapat mempergunakan lebih dari satu kode
dimana konversasi itu dituturkan juga
disebut masyarakat bilingual. Hal ini berarti
menentukan
dapat
masyarakat
partisipan yang menjadi mitra tutur juga
Indonesia berada dalam situasi diglossia
menentukan pilihan kode bahasa. Bahasa
yaitu situasi dalam suatu masyarakat yang
Indonesia
memiliki dua kode yang masing-masing
konversasi terjadi antara seorang guru dan
menunjukkan perbedaan, kode yang satu
murid atau mahasiswa di uang kelas. Selain
diterapkan
tertentu,
ketiga faktor tersebut, juga terdapat faktor
sementara kode yang lain diaplikasikan pada
lain yaitu faktor identitas sosial dan politik,
-88-
Tiap-tiap
dikatakan
pada
berinteraksi
bahwa
satu
situasi
domain
pilihan
menjadi
berdasarkan
bahasa.
pilihan
topik,
Sementara
utama
jika
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kab. Blora (A. Muhid)
seperti penggunaan bahasa etnik yang dapat
oleh perbedaan kesopanan penutur terhadap
menjadi penanda identitas suatu negara.
mitra
tutur
(Poedjasoedarma,
1979:3).
Bahasan berikut akan mengulas tentang berbagai bentuk dan bagaimana masing-
3.4 Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa ibu orang-orang Jawa yang tinggal terutama di
masing bentuk tersebut diterapkan dalam penggunaan konversasi antar penutur.
daerah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain itu, bahasa
Jawa
oleh
Menurut Poedjasoedarma (1979 : 6-
di
7) perbedaan tingkat tutur dapat dilihat dari
Lampung, di dekat Medan dan di daerah-
bentuknya. Penyebutan pronomina, bentuk
daerah transmigrasi yang menjadi kantong-
kata benda, kata kerja, dan kata sifat yang
kantong
berbeda
masyarakat
juga
Banten
bahasa
digunakan
3.5 Bentuk Tingkat Tutur
sebelah
Jawa
Utara,
sebagai
akibat
menunjukkan
perbedaan
rasa
masyarakat Jawa yang beremigrasi ke
hormat dari penutur. Pemilihan kata aku,
daerah tersebut dan masih mempergunakan
kula, dan dalem menunjukkan perbedaan
bahasa Jawa sebagai bahasa minoritas.
rasa hormat penutur tergantung dari siapa
Bahasa Jawa memiliki berbagai dialek
mitra tuturnya. Sedangkan kata benda,
geografis seperti dialek Banyumas, Tegal,
keadaan, dan kerja yang berbeda juga
Yogya-solo, Surabaya, Samin, Osing, dan
mencerminkan perbedaan sistem tingkat
sebagainya yang masing-masing memiliki
tutur. Contohnya untuk kata benda adalah
subdialek
dialek,
omah, griya, dan dalem; kata keadaan
masyarakat Jawa juga mengenal ragam
membedakan kata lara, sakit, dan gerah,
bahasa seperti formal, informal, dan ragam
serta kata sifat merefleksikan perbedaan
indah, yang masing-masing memiliki bentuk
kosakata pada turu, tilem, dan sare.
fonologi,
sendiri.
morfologi,
Disamping
sintaksis,
maupun
Kalimat-kalimat tak langsung juga
leksikon yang berbeda. Ragam tersebut
mempengaruhi
tercermin dalam tingkat tutur (undha usuk)
bahasa. Jika seseorang akan menyuruh orang
yang
penggunaanya.
lain, maka pilihan bahasa yang digunakan
Menurut Soepomo (1975), tingkat tutur
tidak bernada menyuruh, namun dibalut
adalah variasi bahasa yang perbedaan antar
dengan bentuk lain. Dalam mengekspresikan
tingkat satu dengan yang lain ditentukan
keinginanya, seseorang dapat mengujarkan
sangat
kompleks
pemilihan
tingkat
tutur
-89-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No.1 Januari 2011
(1) ‘asrep nggih’ atau (2) ‘saged nyalake
kepentingannya,
AC’, atau (3) ‘ACne uripke’ untuk tutur yang
langsung tuturannya. Contoh lain kalimat
sama yaitu menyuruh. Perbedaan pemilihan
tidak
tuturan
pengandaian, dengan menyebutkan ‘kalau
dengan
maksud
yang
sama
langsung
maka semakin tidak
adalah
tidak
dengan
merepotkan’,
bentuk
menunjukkan adanya perbedaan tingkat
sekiranya
tutur dalam bahasa Jawa yaitu tingkat tutur
memakai partikel pelemah ‘mbok’, serta
halus yang berfungsi membawakan rasa arti
pemakaian bentuk pasif di- dan bukannya
kesopanan yang tinggi (tingkat tutur krama),
imbuhan
tingkat tutur menengah sebagai cerminan
(Poedjosoedarma, 1979: 7-8).
imperative
–ana
atau
dengan
–kna
rasa kesopanan yang sedang-sedang (tingkat
Karakter kata pada tingkat tutur
tutur madya), serta tingkat tutur biasa yang
ngoko adalah kata-kata serta imbuhan
menunjukkan
rendah
ngoko. Tingkat tutur krama mengandung
(tingkat tutur ngoko) (Poedjasoedarma, 1979
kata-kata tugas dari kosa kata krama.
: 7-8).
Sedangkan tingkat tutur madya adalah
kesopanan
Thomas menambahkan
( bahwa
yang
1995:155-156) tuturan
(1)
tingkat tutur krama yang telah mengalamai proses
penurunan
tingkat,
proses
merupakan kalimat tidak langsung yang
informalisasi, dan proses ruralisasi. Tingkat
berfungsi untuk menyuruh. Menurut Scollon
tutur madya ini ditandai dengan kata tugas
and Scollon (1995: 42 – 43), ada beberapa
dan
faktor yang mempengaruhi kesopanan suatu
kiyambake, niki, niku, onten, ampun, ajeng,
ujaran. Faktor tersebut yaitu (1) kekuasaan.
dan teng (Poedjosoedarma, 1979:12).
pronominal
seperti
sampeyan,
Terdapat kecenderungan untuk menaikkan tingkat kesopanan tuturan terhadap mitra
3.6 Faktor lain
tutur yang memiliki kekuasaan lebih tinggi
Selain faktor tingkat formalitas dan
dari penutur. (2) Jarak sosial. Semakin
tinggi rendahnya status sosial, ada juga
dekat/akrab
maka
faktor lain yang mempengaruhi pemilihan
semakin tidak dibutuhkan kesopanan ujaran.
tingkat tutur yaitu faktor kehadiran orang
Namun ketika hubungan sosial seseorang
ketiga, situasi emosi penutur, watak penutur,
tidak dekat, maka semakin tinggi tingkat
tujuan tutur, materi percakapan, serta jenis
kesopanan tersebut. (3) Tingkat kepentingan
tutur. Faktor kehadiran orang ketiga dapat
yang mendesak. Semakin tinggi tingkat
menentukan pilihan bahasa. Ekowardono
-90-
hubungan
seseorang,
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kab. Blora (A. Muhid)
(1991 : 14-17) menambahkan bahwa dalam
Dalam
situasi
emosi,
orang
pemilihan tingkat tutur, hubungan antara
terkadang tidak dapat mengendalikannya,
penutur ( pihak 1), mitra tutur (pihak 2), dan
sehingga lupa akan kesopanan dan akan
pihak 3 juga diperhitungkan ketika ada
menggunakan ngoko. Watak seseorang juga
kemunculan kosakata krama dalam bahasa
mempengaruhi
ngoko. Jika hubungan pihak 1 dan 2 sudah
mempertimbangkan kesesuaian tingkat tutur
akrab, pihak 1 tidak perlu meninggikan
karena
pihak 2, maka bahasa yang digunakan
percakapan juga mempengaruhi pemilihan
adalah bahasa ngoko. Namun ketika dalam
bahasa seseorang. Ketika penutur memiliki
hubungan yang akrab itu pihak 1 merasa
tujuan
perlu meninggikan pihak 2 atau pihak 3 atau
sesuatu, maka ada kecenderungan untuk
keduanya, maka bahasa yang digunakan
memperhalus bahasanya sehingga tingkat
lebih halus. Kepentingan meninggikan ini
tutur
mungkin dipengaruhi oleh status sosial atau
percakapan
usia yang lebih tinggi. Ekowardono (1991 :
menyurat juga menuntut seseorang untuk
15-17)
berbahasa
juga
mengemukakan
kaidah
seseorang
untuk
kesombongannya.
tertentu,
krama
merayu
yang seperti
krama,
Tujuan
atau
meminta
digunakan. contohnya
padahal
tidak
Sarana surat
sehari-hari
penggunaan krama. Bahasa krama dipakai
berbahasa ngoko. Topik percakapan seperti
jika pihak 1 bermaksud meninggikan pihak
tentang keagamaan dan kebatinan juga
2 atau 3 atau keduanya. Namun bahasa
merupakan faktor penentu pemilihan tingkat
krama
tutur.
tidak
boleh
digunakan
untuk
meninggikan pihak 1 (dirinya sendiri ) serta tidak boleh meninggikan pihak 3 yang merupakan
kerabat
berhadapan
dengan
Metode dan Teknik Analisis Data Metode
yang
digunakan
untuk
ketika
menganalisis data adalah metode padan
yang
dengan alat bantu berupa tulisan atau teori-
ditinggikan. Tingkat tutur krama juga
teori yang relevan. Pada penelitian ini yang
digunakan
menjadi alat penentunya adalah
jika
sendiri
4.
pihak
pihak
1
2
bermaksud
ujaran
merendahkan diri terhadap pihak 2 atau
penutur sendiri. Selain itu digunakan juga
pihak 3 atau keduanya. Selain itu tingkat
metode agih
tutur ini juga digunakan ketika pihak 1
bantunya justru bagian dari bahasa itu
bermaksud meninggikan pihak 3 tanpa
sendiri dengan menerapkan teknik dasar,
meninggikan pihak 2.
yaitu teknik pilah unsur-unsur penentu
yaitu
metode
yang alat
-91-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No.1 Januari 2011
karena cara yang digunakan pada awal kerja
kata biasa atau dengan narasi, tidak dengan
analisis adalah membagi satuan lingual
simbol.
datanya menjadi beberapa bagian atau unsur yang
dipandang
sebagai
bagian
yang
5. Hasil dan Pembahasan
langsung membentuk satuan lingual yang
Pada
analisis
ini
peneliti
dimaksud ( Sudaryanto, 1993 : 31 ).
membahas
Langkah-langkah
mempengaruhi penutur dalam menentukan
analisis
data
dapat
faktor-faktor
akan yang
diuraikan sebagai berikut:
pemilihan tingkat tutur bahasa. Dalam hal
a. Menganalisis pola tingkat tutur yang
ini
digunakan masyarakat desa Klopoduwur
Klopodhuwur yaitu mbah Lasio dan mbah
b. Menganalisis faktor yang mempengaruhi
Suyoto yang merupakan keturunan dari
penutur dalam pemilihan tingkat tutur
mbah Engkrek dan mbah Godhek sebagai
penutur
adalah
narasumber
desa
pengikut Samin Surosentiko. Mbah Lasio Metode dan Teknik Penyajian Hasil
berusia
43
tahun,
bekerja
sebagai
Analisis Data
penggembala sapi, dan tidak pernah sekolah. teknik
Sedangkan mbah Suyoto berusia 53 tahun,
penyajian hasil analisis data, yaitu metode
bekerja sebagai petani, namun sebelumnya
formal dan informal. Metode formal yaitu
pernah bekerja sebagai guru. Mitra tutur
metode penyajian hasil analisis data dengan
adalah mahasiswa/mahasiswi pasca sarjana
menggunakan statistik berupa tabel dan
Linguistik Undip tahun ajaran 2009/2010.
angka, sedangkan metode informal, yaitu
Peneliti akan mengklasifikasikan tingkat
metode penyajian hasil analisis data yang
tutur
menggunakan uraian kata-kata yang lengkap
kemudian mencari alasan atau faktor dibalik
yang rinci dan terurai (Sudaryanto 1993:36).
pemilihan tingkat tutur bahasa tersebut.
Untuk memperoleh laporan atau hasil
Tingkat Tutur Madya
Ada
dua
metode
dan
berdasarkan
Data
analisis data yang lengkap dalam penelitian
yang
leksikon
diperoleh
bahasanya,
peneliti
ini, metode dan teknik yang dipakai untuk
menunjukkan bahasa madya yang digunakan
menyajikan
penutur terhadap mitra tutur. Data tersebut
metode
hasil
analisis
data
adalah
informal karena penyajian hasil
analisis datanya dirumuskan dengan kata-
yaitu : Niku niku nggih sok sasi suro malem Jumah niku. Nggih mboten
-92-
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kab. Blora (A. Muhid)
kathah tiyang gangsal tiyang wolu.
Lha pak Engkrek niki gadhah anak buah
Coro sedulure musyawarah. Cocokan
diken nggarap sabin (dari kata meniko).
masalah kebatinan.
Kan ngeten lhe nggih (dari kata mekaten).
Niku
merupakan
bahasa
madya
Penggunaan bahasa
madya
juga
sebagai ambilan dari krama meniko, begitu
ditandai dengan bentukan leksikal yang
juga nggih yang awalnya dari kata inggih (
berbeda dengan bahasa ngoko dan krama.
krama ). Bahasa madya tersebut diperoleh
Data tersebut diantaranya adalah :
dari pelesapan bunyi awal bahasa krama.
Yen dalu niku trus medhal mlampah-
Data lain yang menunjukkan
mlapah.
pelesapan
Nek malem jumat nopo malem suro dalu
bunyi bahasa krama yaitu : Tiyang Pedunungan onten, tiyang Tiraban
ngantos enjing trus mantuk teng nggene
onten, Balegedong onten. Tiyang mriki
piyambak-piyambak.
mboten onten. Namung kulo sarasan ( dari
Rino kalih bengi estri kaleh jaler.
kata wonten ).
Mbah Lasio niku peguron saking Kecapi
Mboten teng mriki teng nggene kulo. Yen
namine pak Siti niku.
dalu niku trus medhal mlampah-mlampah
Selain itu terdapat penanda lain dari
ngoten kalih mele’an ngoten ( dari kata
bahasa madya yang diperoleh dari bahasa
dhateng dan panggenapipun ).
krama namun bunyi akhirnya dirubah dari –
Lha niku rak riyin sami ajrih. Ajrih. Riyin
ipun menjadi –e. data tersebut diantaranya
tiyang sikep Samin kan awon ( dari kata
adalah :
rumiyin ).
Lha niki mawon ampun wayahe mbukak
Lha kulo mbukak niki mpun diroh-rohi
kulo mboten wantun mbukak.
tiyang ( dari kata sampun ).
Niyate lakon niki rak seduluran to mas.
Mongko kulo niku lajer sing gedhe neng kok
Lha itungane kulo niki kan sing nggugah
mboten sae ( dari kata nanging ).
kulo niku rak tiyang nJapah.
Lare kulo pami njenengan gadhah lare kulo
Arabe arab Paris tesih ndoyong ngaten niku
gadhah
mboten onten sandanganane. Arab gundul.
lare
(
dari
kata
upami
dan
panjenengan ).
Nopo meleh mpun nduwe anak niku mpun
Wo niki mpun jaman sakniki kok (dari kata
isin corone niku. Tanggung jawabe malah
sakmeniko).
soyo…
Pami nggih niku mburu slamete pas dinten nopo (dari kata menopo).
Dari data di atas, menunjukkan bahwa penutur cenderung menggunakan bahasa madya yang menunjukkan kesopanan -93-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No.1 Januari 2011
yang sedang-sedang saja. Penutur adalah
tingkat keakraban, bukan karena usia.
narasumber yang usianya jauh di atas mitra
Pemilihan
tutur,
tingkat ‘keangkeran’ pada diri mitra tutur.
namun
tetap
mempertimbangkan
kesopanan. Hal ini terjadi karena
tersebut juga dipengaruhi oleh
tingkat
Jika penutur merasa terancam, maka bahasa
keakraban keduanya tidak dekat karena baru
yang digunakan lebih sopan dari madya.
pertama kali bertemu sehingga penutur
Namun karena penutur tidak melihat mitra
menggunakan bahasa yang menunjukkan
tutur sebagai orang yang ‘angker’ atau
kesopanan, walaupun usia penutur lebih tua.
menakutkan dari bentuk tubuhnya serta
Ketidakakraban bisa ditunjukkan dengan
ekspresi wajahnya ( hal ini dapat dibuktikan
bahasa krama, namun hal tersebut tidak
dengan foto yang terdapat pada lampiran ),
tampak di sini. Penutur merasa bahwa
maka penutur merasa cukup menggunakan
dengan penggunaan bahasa madya saja
bahasa kesopanan yang sedang saja. Dari
sudah cukup karena jika menggunakan
cara bicaranyapun, mitra tutur dari awal
bahasa krama terlalu meninggikan mitra
sudah menggunakan bahasa krama atau
tutur, padahal mitra tutur berusia lebih muda
madya
darinya. Penggunaan bahasa krama terjadi
keangkeran.
jika penutur berhadapan dengan mitra tutur
yaitu tinggi rendah jabatan dan pangkat,
yang memiliki usia, kedudukan, pendidikan,
kekuatan ekonomi, dan aluran kekerabatan.
serta faktor ekonomi yang lebih tinggi.
Namun
Sehingga
terjadi
menentukan pemilihan suatu bahasa karena
‘bargaining power’. Penutur sebenarnya
seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,
berhak untuk menggunakan bahasa ngoko
penutur dan mitra tutur adalah pribadi yang
karena usianya lebih tinggi. Namun ternyata
baru bertemu pertama kali dan belum saling
penutur tetap mempertimbangkan kesopanan
mengenal
karena
mengetahui latar belakang mitra tutur.
disini
tingkat
tampaknya
keakraban
yang
jauh.
sehingga
tidak
menunjukkan
Faktor keangkeran lainnya
faktor
tersebut
sehingga
tidak
penutur
dapat
tidak
Sehingga bahasa yang dipilih adalah bahasa
Selain pemilihan bahasa madya yang
yang tetap menunjukkan kesopanan namun
menunjukkan kesopanan dalam bentuk kata-
yang sedang-sedang saja yaitu bahasa
kata, terdapat juga pengungkapan dalam
madya.
bentuk kalimat yang tidak langsung. Data Pada anasisis di atas, pemilihan
bahasa madya digunakan karena faktor -94-
tersebut yaitu :
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kab. Blora (A. Muhid)
Ngaten le nggih yen tanglet masalah
pengalaman
sejarah niki paling pol tiyang tigo.
wawancara
Pami kados njenengan niku le pami
banyaknya orang tiga. Selain itu dia juga
ajeng ngertos sejarah lakon mriki
mengungkapkna
tiyang tigo. Mangke
saged
plek
kepada
sedoyo. Lha upami sampeyan rekam
sebelumnya, dilakukan
oleh
bahwa
kamituwo
biasanya sebanyak-
telah
untuk
berpesan membatasi
wawancara hanya untuk 3 orang saja. Dia
rak njenengan nderek ngrekam yen
berharap dengan tuturan tersebut mitra tutur
sampun dugi klurahan tan saged.
memahami bahwa dia hanya menginginkan
Kulo jane ndek wingi mpun wekas kaliyan kamituwo jane. Nek suk ono
3 pewawancara saja. Pada tuturan di akhir,
wong ngadepi aku wong telu ae wo
penutur juga memberikan pertanyaan kepada
ora usah akeh-akeh. Wong sing mpun
mitra
niku kulo wates kok. Ngko nek akeh-
melanjutkan
akeh malah ora nangkep. Nek tiyang
kamituwo saja tidak di rumahnya. Dari
kalih nopo tiyang tigo lha niku saged
kalimat tersebut tampak bahwa penutur
plek
menggunakan
sedoyo.
njenengan
Sing
pripun
dikarepke sak
saged-
kamituwo
ngoten
wawancara
di
kesopanan
untuk tempat
dalam
diwawancarai oleh sekitar 8 orang, dan berharap
data
bersedia
dari tuturannya adalah dia tidak nyaman jika
pripun
nggih? Teng cari’an?
Konteks
apakah
mengungkapkan keinginannya. Implikatur
sagedipun kulo wangsuli. Upami teng nggene
tutur
tersebut
yaitu
hanya
3
orang
saja
yang
melakukannya. Dia juga berharap agar
wawancara yang dilakukan oleh mahasiswa
wawancara
di rumah mbah Lasio. Ketika mbah Lasio
dilanjutkan
baru saja datang dari menggembala lembu,
kamituwo. Mbah Lasio adalah pihak yang
beliaunya
oleh
dibutuhkan oleh mitra tutur. Mitra tutur
istrinya untuk masuk rumah dan melayani
mendatangi rumah penutur karena berharap
wawancara dari mahasiswa yang berjumlah
mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
sekitar 8 orang. Pada awalnya wawancara
Karena merasa bahwa keberadaan penutur
berjalan baik, namun ditengah wawancara
dibutuhkan oleh mitra tutur, maka dia
penutur
jika
berhak untuk mengajukan keberatan. Namun
menanyakan masalah masyarakat Samin
penutur tetap mempertimbangkan kesopanan
hanya
ketika
langsung
dipersilakan
mengungkapkan
orang
tiga
saja.
bahwa
Berdasarkan
segera nanti
mengajukan
dihentikan malam
di
keberatan
dan rumah
itu. -95-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No.1 Januari 2011
Kesopanan penutur terjadi karena jarak
timbulnya tuturan tidak langsung sebagai
sosial antara penutur dan mitra tutur yang
cerminan kesopanan.
jauh. Pertemuan ini
pertama kali terjadi,
Dari
uraian
di
atas,
dapat
sehingga keduanya belum saling mengenal.
disimpulkan bahwa dari sisi formalitas
Karena tidak saling mengenal sebelumnya,
hubungan seseorang, faktor penentu yang
maka jarak antara keduanya juga tidak akrab
mengakibatkan
sehingga
bahasa
penutur
mengungkapkan
penutur
madya
menggunakan
sebagai
keinginannya dengan kesopanan agar tidak
kesopanan
menyinggung perasaan mitra tutur.
ketidakakraban atau jarak sosial yang jauh
Terdapat
data
lain
yang
menunjukkan kesopanan penutur.
karena
tingkat
antar penutur, bukannya faktor keangkeran ataupun faktor usia.
Lambeku nganti kecut.
Tuturan
adalah
representasi
Tingkat Tutur Ngoko
tersebut
diujarkan
oleh
Penutur
menggunakan
bahasa
mbah Waini, istri mbah Lasio yang juga
madya terhadap mitra tutur karena faktor
diwawancarai oleh mitra tutur. Wawancara
ketidakakraban antara keduanya. Namun
telah berlangsung selama kurang lebih 2
terdapat fenomena lain, dimana penutur juga
jam.
menggunakan
Tampaknya
dia
telah
kelelahan
bahasa
ngoko
dalam
meladeni pertanyaan mahasiswa. Hal ini
berkomunikasi. Bahasa ngoko pada konteks
didukung oleh gerak tubuhnya dengan
ini tidak dituturkan secara penuh dalam
menyandarkan kepalanya pada bahu seorang
kalimat, namun hanya ditunjukkan dengan
mahasiswi di sebelahnya. Tuturan tersebut
penggunaan leksikon ngoko. Hal tersebut
mengekspresikan rasa lelahnya dan berharap
dikarenakan beberapa faktor yaitu :
agar
Kehadiran Pihak ke-3
mitra
tutur
menghentikan
wawancaranya. Keinginan tersebut tidak
Kehadiran Pihak ke-3 dengan Usia yang
diungkapkan secara langsung dengan tindak
Lebih Muda.
tutur menyuruh misalnya, karena penutur mempertimbangkan
faktor
kesopanan.
Antara penutur dan mitra tutur baru bertemu
Nek tiyang sakniki rak carane meh neng ndi? Neng tegal. Kalih mlampah niku rak mboten sopan.
saat itu, sehingga keduanya memiliki jarak
Niat mriki niku sae. Ape neng ndi? Ape
sosial
neng ngarep. Nggih mboten. Ko ndi? Ko
yang
jauh
atau
tidak
Pertimbangan ketidakakraban ini -96-
akrab. memicu
mburi. Nggih mboten.
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kab. Blora (A. Muhid)
Nggih. Wis mbok karepno mbok adhepi mbok antepi mbok karepno lha kuwi
Lha tiyang samin sangkak niku nggih larene pinten mbah? Yo loro lanang wedhok.
jawab
Ngeten niki mbahe lanang mbahe kulo
diarani sikep karo ati lan tanggung
sampeyan tanglet mboten roh. Wis ora roh aku.
kudu
bener-bener
tanggung
Kados mbah Pangan samin sangkak niku
jawab.
Data diatas menunjukkan perubahan
sakjane asline nggih sekolahe teng mriki.
tingkat tutur dari bahasa madya ke bahasa
Ning sampun anu kan wong aku duwe
ngoko. Hal tersebut dipengaruhi karena
gaman
tuturan tersebut menceritakan pihak ke-3.
takketokke tembungne ngatos.
Mbah Lasio sebagai narasumber sekaligus penutur pada awalnya mengujarkan bahasa madya ketika berkomunikasi dengan mitra tutur ( mahasiswa ketidakakraban.
)
Namun
karena faktor ketika
penutur
kok
ora
takketokke
dadi
Menawi nggih nderek ajrih menawi nggih niki ditutup kalih mbahe ngeten. Tiyang mriki tangklet niku mboten didudohke. Yo ra iso jenenge samin kok takdudohno. Lha piyambake niku mestani anake mbah wedhok.
menghadirkan pihak ke-3, dia mengubah
Lha pak Engkrek niki gadhah anak buah
bahasa madya tersebut menjadi bahasa
diken nggarap sabin. Wis rak usah do
ngoko. Konteks perubahan tingkat tutur ini
balik do nggawe gubug wae neng kene.
menunjukkan bahwa penutur seolah-olah
Le ngarani brak.
berbicara dengan orang lain yang usianya
Kilen mejit niku wau. Jaman mbiyen mpun
lebih muda sehingga penutur beranggapan
dados unine omah ki suk anak turunke
bahwa tidak perlu meninggikannya. Selain itu, tuturan itu juga bukan ditujukan bagi mitra tutur sehingga pemilihan bahasa yang dipakai adalah bahasa ngoko. Kehadiran Pihak ke-3 dengan Usia yang Lebih Tua. Mbah-mbah riyin niku gadhah pangan sangking sedulur-sedulur. Suk mben nek
dadekke mejit.
Data
tersebut
menunjukkan
perubahan bahasa dari madya ke bahasa ngoko. Penutur menghadirkan pihak ke-3 yang kesemuanya merupakan leluhurnya. Dilihat dari konteksnya, tampaknya tuturan tersebut merupakan tuturan leluhur kepada keturunannya atau pengikutnya sehingga
nandur pari awake dhewe nanggap
bahasa yang digunakan adalah bahasa ngoko
joged neng nggone kamituwo nopo neng
karena dilihat dari faktor usia, leluhur lebih
nggone lurah.
tua dari keturunannya. Penutur di sini hanya menceritakan
kembali
tuturan-tuturan -97-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No.1 Januari 2011
leluhur tersebut atau dengan kata lain hanya
dengan saudaranya tersebut akrab, maka
mengulang
penggunaan bahasa ngokolah yang dipilih.
kembali
apa
yang
telah
dituturkan leluhurnya. Karena
tuturan itu
hanya
leluhurnya,
Jam setunggal dalu kulo diparani mbah
bukannya tuturan yang ditujukan kepada
Engkrek. Timbang aku urip karo mbah
mitra tutur maka penutur beranggapan
lanang aku tak nusul kowe njaluk mati
bahwa tidak perlu mengubah dalam bahasa
ae. Nggih. Ora iso le trusno lakonono.
mengulang
tuturan
Tedapat data lain yaitu :
Konteks
madya. Kehadiran Pihak Ke-3 yaitu Roh Tak
data
di
atas
adalah
ungkapan kekesalan penutur yang selama hidupnya dimusuhi oleh kakeknya sendiri
Terlihat. Terdapat
data
lain
yang
menunjukkan perubahan pemilihan bahasa ketika penutur berkomunikasi dengan roh
yaitu mbah Godhek yang dituturkan ketika ketika suatu saat ‘bertemu’ dengan ‘roh’ buyutnya yang telah meninggal yaitu mbah Engkrek. Karena hal itulah maka dia
tak terlihat. Data tersebut adalah : Niku gampangane kanggo mbrokohi aku
mengutarakan keinginannya kepada mbah Engkrek untuk menyusulnya mati saja
njaluk slamet.
Konteks tuturan data di atas adalah
daripada
hidup
namun
dibenci
oleh
penutur
kakeknya. Percakapan antara dirinya dan
terhadap kakang kawah adhi ari-ari. Ketika
‘roh’ mbah Engkrek tersebut dituturkan
manusia lahir ke dunia, dia akan selalu
dengan bahasa ngoko karena dia merasa
ditemani oleh ari-ari sebagai saudara yang
sudah akrab dengan leluhurnya itu walaupun
akan selalu mendampingi siang malam.
dari segi usia lebih tua dan memiliki
Sehingga hari kelahiran penutur yang sama
keangkeran karena disegani oleh masyarakat
dengan saudaranya itu akan diperingati
desa itu karena ilmunya. Karena tuturan itu
dengan cara ‘mbrokohi’ atau membuatkan
sifatnya
bubur di hari ‘wetonnya’ ( tanggal kelahiran
penutur dan leluhurnya yang dianggap
pada
akrab, maka pemilihan bahasanya adalah
cerita
mengenai
masyarakat
kepercayaan
Jawa
)
agar
dapat
merupakan
percakapan
memberikan keselamatan padanya. Tuturan
ngoko.
‘aku njaluk slamet’ merupakan tuturan
Kehadiran pihak ke-3 yaitu binatang.
penutur yang ditujukan kepada saudaranya itu. Karena merasa bahwa hubungannya -98-
Lha
niku
sakkelingane
panganane disukani kembang.
kulo
antara
nggih
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kab. Blora (A. Muhid)
Diwur-wurke teng endas ngoten niku.
pada tuturannya ketika menceritakan tentang
Penutur beralih bahasa dari madya
mbah
Godhek.
Rasa
emosi
tersebut
ke ngoko karena kehadiran pihak ke-3 yaitu
menyebabkan
binatang. Tuturan tersebut ditujukan kepada
menghormati atau meninggikan pihak ke-3
binatang ketika dia sedang menceritakan
tersebut
tentang binatang peliharaannya dan ketika
pemilihan tingkat tuturnya adalah ngoko.
menceritakan
Data lain juga terdapat pada tuturan :
patung
kuda.
Karena
keduanya merupakan obyek yang tidak perlu ditinggikan, maka pemilihan bahasa ngoko
mengenai
binatang,
maka
dalam
tidak
bahasanya,
perlu
sehingga
Dingge golek merdukun golek duwit sakniki.
Konteks percakapan tersebut yaitu
yang digunakan. Sehingga karena yang dibicarakan
penutur
kekesalan penutur
yaitu mbah Suyoto
dipandang tidak perlu menggunakan bahasa
terhadap sikap-sikap anak muda sekarang
madya atau krama.
yang berguru dengan menjalani suatu ritual
Faktor emosi
kebatinan hanya untuk mencari uang, bukan
Adat. Adat niku sok seneng kalih wong wedhok.
untuk
menolong
sesama
seperti
yang
dilakukan leluhurnya. Karena pihak-pihak
Lha nek satriyo ora digawekke omah
tersebut melakukan hal yang tidak benar,
wong wedhok wis seneng dhewe. Niku nek
maka penutur beranggapan bahwa mereka
satriyo.
adalah pihak yang tidak perlu ditinggikan, Sebagaimana telah diuraikan di atas,
penutur adalah seorang cucu yang dibenci oleh kakeknya yaitu mbah Godhek. Bahkan ketika lahirpun yang memberi nama Lasio adalah kakeknya yang artinya adalah disio-
sehingga bahasa yang ditujukan kepada mereka adalah bahasa ngoko. Faktor Mensitir Kalimat Sendiri. Nek ngaten mbatangi tiyang. Nek ngono mbah engkrek wedhok karo wong liyo.
sio. Sepanjang hidupnya penutur tidak
Konteks
tuturan
tersebut
adalah
pernah hidup rukun dengan kakeknya
cerita mengenai mbah Engkrek yang tidak
sampai-sampai ketika telah dewasa memilih
pernah berhubungan badan dengan manusia,
tinggal
namun
di
kakeknya.
hutan
demi
menjauh
dari
dengan
mahluk
halus.
Ketika
Kebencian kakeknya terhadap
kemudian istrinya hamil, maka dirinya
dirinya menyulut emosinya sehingga timbul
selalu mengatakan bahwa anak itu adalah
kebencian pada kakeknya. Hal ini terlihat
anaknya istrinya. Terdapat implikatur bahwa -99-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No.1 Januari 2011
berarti anak tersebut adalah hubungan antara
Perubahan tingkat tutur dari madya
istrinya dengan laki-laki lain. Tuturan
ke ngoko di atas terjadi bukan karena faktor
tersebut merupakan tuturan penutur sendiri
keakraban, keangkeran, usia, maupun faktor
ketika
mbah
status sosial. Hal ini terjadi karena istilah-
Engkrek yang selalu mengatakan anake
istilah di atas merupakan istilah yang
mbok wedhok. Dapat diimplikasikan oleh
memang sudah menjadi falsafah hidup
mbah Lasio ( penutur )
bahwa Mbah
mereka dan terbiasa dituturkan dalam
Engkrek putri memiliki anak dengan laki-
bahasa ngoko, sehingga ketika diujarkan
laki lain. Tuturan implikasi tersebut bukan
kembali, dalam situasi tingkat tutur bahasa
ditujukan
namun
madya sekalipun, istilah tersebut tetap
merupakan tuturan penutur sendiri sehingga
dituturkan dengan tingkat tutur ngoko.
penutur menggunakan bahasa ngoko. Hal ini
Karena jika diubah menjadi bahasa madya,
sesuai dengan kaidah penggunaan bahasa
justru akan terdengar aneh karena istilah itu
krama bahwa tidak boleh meninggikan
tidak terbiasa dibahasakan. Fenomena ini
pihak 1 ( diri sendiri ). Data lain yaitu :
juga terjadi pada peribahasa umum dalam
mengimplikasikan
pada
mitra
tuturan
tutur,
Wedhi nek kulo niku gadhah milik. Dos kulo nggih nek ngono yo wis ra usah.
Kekhasan Istilah Yen ngajeni awake dhewe moh kok ngajeni tiyang niku tak mboten pas. Lha wong kok njiwit dulure dhewe.
bahasa Jawa seperti mikul dhuwur mendhem jero, becik ketitik olo ketoro, ataupun alonalon waton kelakon yang tidak pernah dirubah dalam tingkat tutur bahasa lain termasuk ke dalam bahasa Indonesia. Tingkat Tutur Krama
Sing penting niku mriki. Kalih sanak
Sebelum melakukan pembahasan,
sedulur tindako sing apik sing becik ojo sok nganu wong nek durung nganu awake dhewe. Nggih paugerane niku tigo dadi golek selaselane yen biso. Wong mlaku ono pajeke. Wong turu ono pajeke. Lha nopo mbah niku? Keno nuthuk awake wong neng awake dhewe mpun dithuthuk ngaten le.
penulis akan menjelaskan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan tingkat tutur krama disini adalah bukan bahasa krama dalam bentuk kalimat keseluruhan, namun hanya kosakata yang menunjukkan adanya leksikon krama dalam kalimat tersebut. Pada bahasan
telah
dipaparkan
bahwa tingkat tutur yang dipilih penutur adalah
-100-
sebelumnya,
bahasa
madya
karena
faktor
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kab. Blora (A. Muhid)
ketidakakraban. Namun terkadang terdapat
Samin Surosentiko. Begitu juga yang terjadi
leksikon bahasa krama yang dituturkan oleh
pada penutur yang merupakan keturunan
penutur. Data tersebut adalah :
orang-orang
terhormat
Lha marahi jaman sakmeniko niku sing
menghormati
nglampahi niku niku mpun mboten wonten mbak. Lakon niku wedhi kalih sing nyonggo gesang ngaten. Rumiyin
Untuk
mereka,
maka
penutur
beranggapan
bahwa
perlu
untuk
meninggikan
bahasa
ketika
sedang
membicarakan
keduanya,
sehingga
pemilihan leksikon bahasa yang digunakan putranipun
Cakraningrat
saking Meduro rumiyin. Nek
itu.
mbah
Ali
Maksum
niku
garwanipun niku estrinipun namine mbah
adalah leksikon krama. Penerapan tingkat tutur krama yang tepat ini juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan penutur yang pernah menjadi guru sehingga memahami
Sarijah. Tindak-tindak ngoten niku le.
benar kaidah penggunaan tingkat tutur
Rasiban meniko putranipun kalih
bahasa krama yang tepat.
Lasio
kalih
Wakini.
Estri
meniko
sampun kapundut.
Pada bahasan sebelumnya, terdapat analisis mengenai penutur yang melakukan
Penggunaaan kata tugas yang lengkap
pengalihan tingkat tutur dari bahasa madya
seperti sakmeniko, wonten, sampun, dan
ke bahasa ngoko dikarenakan kalimatnya
rumiyin,
sufiks sebagai pemarkah bahasa
adalah kalimat tuturannya sendiri, sehingga
krama seperti –ipun tampak pada leksikon
penutur tidak perlu membahasakan dirinya
putranipun, garwanipun, dan estrinipun,
sendiri.
serta leksikon krama seperti gesang, tindak-
fenomena yang bertolak belakang, dimana
tindak, dan kapundut. Pemilihan
leksikon
penutur meninggikan dirinya sendiri dengan
krama tersebut bukan disebabkan ingin
menggunakan bahasa krama. Hal tersebut
meninggikan mitra tutur, namun merupakan
dapat disimak pada data berikut:
penghormatan terhadap pihak ke-3 yang sedang dibicarakan yaitu leluhur penutur
Namun
peneliti
menemukan
Lha dino iki sasi iki ngko wong tuwo takkon podo mele’an teng daleme kulo.
(Mbah Suyoto) . Data di atas menceritakan
Tuturan itu diujarkan oleh mbah
tentang mbah Engkrek dan mbah Godhek
Lasio. Selain data di atas, terdapat data lain
yang sangat dihormati oleh masyarakat
yang diperoleh dari istri mbah Lasio, yaitu
Klopoduwur karena merupakan pengikut
mbah Waini yang menceritakan bahwa -101-
Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 2 No.1 Januari 2011
suaminya sering membahasakan dirinya
cerminan jarak sosial yang jauh antara
sendiri seperti pada kalimat ‘Mengke nggih
keduanya. Dalam tingkat tutur bahasa
mbak kulo tak siram riyin”. Penutur
madya, terselip juga leksikon bahasa ngoko
menggunakan
leksikon
padahal
yang
bahasa
krama
yang diakibatkan kehadiran pihak ketiga,
dibicarakan
adalah
faktor emosi, tidak membahasakan dirinya
mengenai dirinya sendiri. Leksikon dalem
sendiri, serta kekhasan istilah di daerah
dan siram yang merujuk pada miliknya
tersebut. Selain leksikon bahasa ngoko,
seharusnya tidak muncul karena sesuai
leksikon bahasa krama juga muncul ketika
kaidah penggunaan ragam krama, tidak
penutur meninggikan atau menghormati
boleh meninggikan diri sendiri. Kemunculan
pihak yang sedang dibicarakan. Selain faktor
tersebut tampakya disebabkan karena latar
hubungan sosial antar penutur dan topik
belakang pendidikan mbah Lasio yang
pembicaraan, penerapan kaidah tingkat tutur
selama hidupnya tidak pernah mengenyam
bahasa yang tepat juga dipengaruhi oleh
bangku pendidikan, sehingga penutur tidak
status
dapat
penutur.
hal
memahami
secara benar
kaidah
penggunaan tingkat bahasa krama.
Berdasarkan hasil analisis, dapat kesimpulan
bahwa
yaitu
tingkat
pendidikan
Daftar Pustaka Duranty, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
6. Kesimpulan
diperoleh
sosial
pola
kebahasaan masyarakat desa Klopoduwur mempertimbangkan kaidah-kaidah dalam berinteraksi. Mereka mempertimbangkan
Ekowardono B. Karno, Soenardji, Hardyanto, dan M.A. Sudi Yatmana. 1991. Kaidah Penggunaan Ragam Krama Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
pemilihan tingkat tutur dalam bahasa Jawa berdasarkan beberapa faktor. Faktor pertama adalah faktor ketidakakraban. Jika penutur merasa tidak akrab dengan mitra tutur, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa madya. Pemilihan bahasa madya ini juga menunjukkan kesopanan yang diungkapkan dalam kalimat tidak langsung sebagai -102-
http://id.wikipedia.org/wiki/Gaplek Poedjasoedarma, Soepomo, Th. Kundjana, Gloria Soepomo, dan Alip Soeharso. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kab. Blora (A. Muhid)
Saville-Troike, Murriel. 2003. The Ethnography of Communication. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Samsuri. 1988. Berbagai Aliran linguistik Abad XX. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Sudaryanto. 1990. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. --------------- 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta : Duta Wacana University Press. Suryadi, M. 2010. Konstruksi Leksikal Tuturan Jawa Pesisir yang Bertautan dengan Nilai Kesantunan. Jurnal Seminar Nasional Bahasa dan Budaya. Semarang: Universitas Diponegoro.
-103-