BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sistem pemerintahan di Indonesia tidak mengenal adanya sistem sentralistik sebagaimana yang tersirat dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.
Asas
desentralisasi,
penyelenggaran dekonsentrasi,
pemerintahan dan
tugas
dilaksanakan
pembantuan,
dengan
sehingga
asas
terdapat
pemerintahan daerah serta daerah otonom baru atau wilayah yang bersifat administratif. Hal ini bertujuan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur baik materil maupun spiritual. Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, akan dapat memberikan kewenangan otonomi yang luas, nyata, dan bertangungjawab kepada pemerintah daerah secara proposional. Hal ini diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah secara demokratis,
peran
serta
masyarakat,
pemerintah
dan
keadilan,
serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, terutama kepada pemerintah kabupaten dan kota. Tujuan pemberian kewenangan dalam otonomi daerah adalah guna meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan sosial, demokrasi dan penghormatan terhadap budaya lokal, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
1
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan semakin besar, sehingga tangungjawab yang diemban juga akan bertambah banyak. Implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintah yang begitu luas dalam rangka otonomi daerah, merupakan berkah bagi daerah. Namun disisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut sekaligus juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk pelaksanaannya, karena semakin bertambah urusan pemerintah daerah yang menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Oleh karena itu aspek yang perlu diperhatikan yaitu sumber daya keuangan. (Darumurti dan Rauta, 2000: 68). Dalam mengisi dan melaksanakan pembangunan, masalah keuangan merupakan masalah pokok pemerintah, dalam rangka penerimaan dan pengeluaran yang harus dilakukan oleh pemerintah demi kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan topografi yang begitu luas, dengan meningkatnya pendapatan per kapita dan taraf hidup masyarakat, merupakan faktor yang menjadi tantangan bagi masyarakat dan pemerintah. Hal ini menyebabkan pengeluaran pemerintah begitu tinggi, di lain pihak sumber penerimaan yang terbatas harus diusahakan untuk menutupi kebutuhan tersebut. Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur mengurus rumah tangganya adalah kemampuan selfsupporting dalam bidang keuangan. Kaho (1988: 123). Dengan perkatan lain, faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengatur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Ini berarti, dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga, daerah dapat membutuhkan uang.
2
Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan daerah, Pamudji yang dikemukanan oleh Kaho (1988: 124) menegaskan pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk itu keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Dari pendapat di atas terlihat bahwa untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya, daerah membutuhkan uang. Tanpa adanya uang yang cukup, bukan saja tidak mungking bagi daerah untuk dapat menyelenggarakan tugas kewajiban serta kewenangan yang ada padanya dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya, tetapi ciri pokok dan mendasar dari suatu daerah otonom menjadi hilang. Kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya pendapatan asli daerah yang diperoleh daerah tersebut. Dalam kaitannya dengan pemberian otonomi daerah yang lebih luas kepada daerah, pendapatan asli daerah selalu dipandang sebagai salah satu indikator untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada pemerintah pusat. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan pendapatan asli daerah kepada anggaran dan pendapatan belanja daerah, maka akan menunjukan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat sebagai konsekuensi sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah dari prinsip secara nyata dan bertangung jawab. Pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi, kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007
3
pemekaran daerah berarti pengembangan dari suatu daerah otonomi menjadi dua daerah otonom baru. Pemekaran daerah otonomi dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 pasal 33 ayat 1 huruf a. Tujuan pemekaran sebagaimana tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan dimaksud untuk meningkatkan kesejahteran melalui: 1.
memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi;
2.
meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan;
3.
pemekaran wilayah diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat;
4.
percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah
5.
percepatan pengelolaan potensi daerah;
6.
peningkatan keamanan dan ketertiban;
7.
peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Menurut Mardiasmo (2001: 96) mengemukakan bahwa ada dua hal terkait
pemberlakuan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah merupakan langkah strategis yaitu. Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal dan bangsa Indonesia berupa ancaman disentegrasi, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia. Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategi bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi
4
dengan meperkuat basis perekonomian di daerah. Studi evaluasi dampak pemekaran daerah Bappenas dan UNDP (2008) ada empat aspek utama yang menjadi fokus penelitiannya yaitu: 1) Perekonomian daerah; 2) keuangan daerah; 3) pelayanan publik; dan 4) aparatur pemerintah daerah. Hasil evaluasi menunjukan bahwa daerah-daerah pemekaran yang menjadi cakupan wilayah studi, secara umum memang tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibanding daerah induk atau daerah kontrol. Namun setelah lima tahun dimekarkan, ternyata kondisi daerah otonom baru masih tetap juga secara umum berada di bawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol. Pertumbuhan ekonomi daerah otonom baru lebih fluktuatif dibandingkan dengan daerah induk yang relatif stabil dan terus meningkat. Memang pertumbuhan ekonomi daerah pemekaran (gabungan DOB dan daerah induk) menjadi lebih tinggi dari daerah-daerah kabupaten lainnya, namun masih lebih rendah dari daerah kontrol telah membandingkan kinerja pembangunan daerah otonom baru, daerah induk, dan daerah kontrol. Hal ini berarti, walaupun daerah pemekaran telah melakukan upaya memperbaiki perekonomian di masa transisi membutuhkan proses, karena belum semua potensi ekonomi dapat digerakan. Meskipun terjadi pengurangan kemiskinan diseluruh daerah terlihat bahwa pemekaran mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke daerah otonom baru. Dari sisi ekonomi, penyebab ketertingalan daerah otonom baru dari daerah induk maupun daerah lainya adalah keterbatas sumber daya alam juga keterbatasn sumber daya manusia. Secara umum kinerja keuangan daerah otonom baru lebih rendah daerah induk. Selama lima tahun kinerja keuangan daerah
5
otonom baru cendrung konstan, sementara kinerja keuangan daerah induk cendrung meningkat. Daerah otonom baru memiliki ketergantungan fiskal yang tinggi dibandingkan dengan daerah induk dengan kesenjangan yang semakin melebar. Pemekaran juga mendorong ketergantungan yang lebih besar di daerah pemekaran dibandingkan dengan daerah kontrol maupun kabupaten lain pada umumnya. Kabupaten Sorong Selatan merupakan salah satu dari 14 kabupaten yang dimekarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2002 oleh Pemerintah Pusat di Provinsi Papua yaitu: Kabupaten Kerom, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Bovendigul, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahokimo, Kabupaten Bintuni, Kabupaten Wondama, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Supiori, Kabupaten Waropen, Kabupaten Raja Ampat, dan Kabupaten Sorong Selatan. Kabupaten Sorong Selatan dengan daerah bawahan terdiri dari 14 (empat belas) distrik yaitu: Distrik Aitinyo, Distrik Ayamaru, Distrik Aifat, Distrik Mare, Distrik Aifat Timur, Distrik Ayamaru Utara, Distrik Moswaren, Distrik Wayer, Distrik Sawiat, Distrik Kais, Distrik Inanwatan, Distrik Kokoda, Distrik Seremuk dan Distrik Teminabuan sebagai ibukota kabupaten serta pelaksanaan pemerintahannya dimulai pada tanggal 6 Agustus 2003, dan definitifnya pada tanggal 10 November 2005. Dalam melaksanakan pemerintahan dengan usia kabupaten yang begitu singkat terjadi pemekaran daerah otonom baru
yaitu
Kabupaten
Maybrat
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2009. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan,
6
dan penggabungan daerah, pada pasal 2 ayat 3 huruf a dan ayat 4 huruf a menyatakan bahwa kabupaten induk harus berusia di atas 7 tahun sehingga dilakukan pengusulan untuk pemekaran daerah otonom baru.
Gambar 1.1 Peta Kabupaten Sorong SelatanSebelum Pemekaran. Sumber: Bapeda Sorong Sorong Selatan, 2002
Dengan melihat mekanisme pemekaran yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah pasal 3 menyatakan bahwa dalam memekarkan suatu daerah otonom baru usia kabupaten atau kota sebagai daerah induk harus mencapai usia di atas 7 tahun untuk dapat melakukan usulan pemekaran. Dengan berpedoman pada keputusan ini, maka belum saatnya dilakukan pemekaran wilayah karena usia kabupaten induk belum mencapai ketentuan dan juga tidak mempertimbangakan indikator sebuah daerah pemekaran, seperti kemampuan ekonomi dan kemampuan keuangan serta indikator indikator lain antara daerah otonom baru dengan daerah induk. Hal ini merupakan kemauan elite politik di daerah sehingga yang membuat
7
usulan pemekaran yaitu Kabupaten Sorong bukan Kabupaten Sorong Selatan Sebagai kabupaten induk yang dapat mengusulkan pemekaran Kabupaten Maybrat. Mengamati proses lebih lanjut dalam usulan pemekaran ketika terjadi pembahasan di DPR RI ternyata diketahui bahwa Kabupaten Maybrat yang diusulkan oleh Kabupaten Sorong sebagai daerah otonom baru ternyata merupakan daerah bawahannya Kabupaten Sorong Selatan. Dengan berbagai pertimbangan politik dan desakan masyarakat, akhirnya melalui surat keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 133 Tahun 2008 tentang penyerahan sebagian cakupan wilayah bawahan Kabupaten Sorong Selatan kepada Pemerintah Kabupaten Sorong yang terdiri dari 11 distrik yaitu Distrik Aitinyo, Distrik Aitinyo Barat, Distrik Aitinyo Timur, Distrik Ayamaru Timur, Distrik Ayamaru, Distrik Mare, Distrik Ayamaru Utara, Distrik Aifat, Distrik Aifat Timur, Distrik Aifat Selatan, dan Distrik Aifat Tengah, Pemekaran wilayah akan menyebabkan berkurangnya objek PAD yang merupakan bagian terpenting dari kemandirian daerah kabupaten induk. PAD sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang berasal dari dalam daerah dan harus ditingkatkan seoptimal mungkin dalam rangka mewujudkan semangat kemandirian keuangan, baik itu kabupaten pemekaran maupun kabupaten induk. Mandiri diartikan sebagai semangat dan tekad yang kuat untuk membangun daerahnya sendiri dengan tidak mengantungkan diri pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat, meskipun disadari bahwa sebagian besar PAD daerah otonom (kabupaten/kota) sangat kecil sehingga masih diperlukan bantuan keuangan dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum, Dana
8
Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil serta transfer dari pemerintah provinsi berupa pajak provinsi dan lain-lain. Tabel 1.1 Keadaan PAD dan APBD Kabupaten Sorong Selatan, 2004 – 2013 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 *2009 *2010 *2011 *2012 *2013
PAD APBD 3,069,516,109.00 146,522,658,638.00 2,280,621,000.00 253,565,092,050.00 6,034,859,504.00 522,780,609,138.00 7,019,849,678.00 615,448,112,652.00 8.885.908.217,00 673,086,501,431.61 5,654,106,746.00 540,880,860,713.00 7,836,198,640.00 489,348,723,636.00 8,636,198,640.00 542,852,211,915.35 13,185,144,691.00 594,100,528,367.00 15,129,966,388.00 583,166,629,577.76 Rata-rata Sumber: Ringkasan APBD Kabupaten Sorong Selatan, 2004 – 2013 *Sesudah Pemekaran Wilayah
Kuncoro (2004: 9) menunjukan bahwa selama kurung waktu 1984/1985 sampai dengan 1990/1991, untuk daerah provinsi PAD rata-rata hanya mampu membiayai 30 persen dari belanja tidak langsung untuk daerah kabupaten atau kota kurang dari 22 persen mampu dibiayai oleh PAD. Hal ini juga terlihat pada Kabupaten Sorong Selatan yang kontribusi pendapatan asli daerah dari tahun 2004–2013 masih sangat rendah rata-rata hanya 1,54 persen dari total APBD Kabupaten Sorong Selatan. Pengukuran kemampuan keuangan daerah telah dilakukan saat ini yaitu dengan melihat rasio antara PAD dengan Total Pendapatan APBD. Prinsipnya, semakin besar sumbangan PAD terhadap Total Pendapatan APBD akan menunjukan semakin kecil ketergantungan kepada pemerintah pusat. Sejalan dengan hakekat otonomi daerah, maka besarnya sumber pendanaan untuk daerah harus diikuti dengan deskresi dalam hal belanja harus sesuai dengan
9
kebutuhan dan prioritas daerah. Dengan demikian diharapkan agar pengeluaran pemerintah daerah (local government sending) akan benar-benar bermanfat dan menjadi stimulus fiskal bagi perekonomian di daearh untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kondisi fiskal tersebut terjadi pada Kabupaten Sorong Selatan di mana peran dana transfer dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan menunjukan nilai yang sangat besar dari kondisi saat ini di mana menunjukan rata-rata proporsi dana perimbangan terhadap total pendapatan APBD dari tahun 2004–2013 sebesar 91,78 persen. Hal ini menunjukan rendahnya kemampuan pemerintah daerah dan kuatnya peran pemerintah pusat dibandingkan pemerintah daerah melalui angka ketergantungan fiskal dalam alokasi anggaran. Tabel 1.2 Dana Perimbangan Pada APBD Kabupaten Sorong Selatan, 2004 – 2013 Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus dan Total APBD Penyesuaian 2004 140,582,684,716.00 146,522,658,638.00 2005 234,880,655,350.00 253,565,092,050.00 2006 516,745,749,634.00 522,780,609,138.00 2007 602,428,262,974.00 615,448,112,652.00 2008 619,142,260,194.61 673,086,501,431.61 *2009 506,282,279,610.00 540,880,860,713.00 *2010 367,750,915,396.00 489,348,723,636.00 *2011 475,444,202,528.00 542,852,211,915.35 *2012 537,537,798,243.00 594,100,528,367.00 *2013 544,151,899,305.76 583,166,629,577.76 Sumber Ringkasan APBD Kabupaten Sorong Selatan, 2004 – 2013 *Sesudah Pemekaran Wilayah Tahun
Berdasarkan pemaparan uraian di atas beserta fenomenanya, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten Sorong Selatan sebelum dan sesudah pemekaran”.
10
1.2 Keaslian Penelitian Kajian penelitian tentang analisis kemampuan keuangan daerah telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dengan daerah dan periode waktu yang berbeda. Hal ini berarti masalah kemampuan keuangan daerah menarik untuk diteliti. Namun penelitian yang dilakukan secara khusus pada Kabupaten Sorong Selatan sebelum dan sesudah pemekaran sangat penting dan belum pernah diteliti. Beberapa penelitian sebelumnya yang menjadi acuan sebagai berikut. 1. Studi dari Bapenas dan UNDP (2008) menyimpulkan adanya empat faktor utama pendorong pemekaran wilayah di masa reformasi yaitu: a. Motif untuk efektivitas/efisiensi administrasi pemerintahan mengingat wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang menyebar, ketertinggalan pembangunan; b. Kecenderungan untuk homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban rural, tingkat pendapatan dan lain-lain); c. Adanya kemajuan fiskal yang dijamin oleh Undang-Undang dengan disediakannya dana perimbangan; d. pemburu rente (bureauckratik and political rent-seeking) para elit politik, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari pemekaran wilayah, baik dana dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sendiri. 2. Uryszek, (2013) meneliti tentang nilai dan struktur pendapatan daerah, kemandirian keuangan pemerintah daerah, penyetaraan ketidakseimbangaan fiskal, dan manajemen pada hutang publik pada pemerintahandaerah di Polandia. Hasil penelitian menunjukan bahwa sektor pembiayaan publik di
11
Polandia sudah terdesentralisasi, tetapi kemandirian keuangan pemerintah daerah sangat rendah dan pendapatan daerahnya tidak mampu mencukupi belanja daerah. Meskipun sistim penyertaan bantuan diperkenalkan untuk mengurangi gejala ketidak seimbangan fiskal horisontal, efektifitas masih terbatas. 3. Towa (2013) meneliti tentang analisis kemampuan keuangan Kabupaten Ngada sebelum dan sesudah pemekaran bahwa adanya perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan keuangan daerah antara kondisi sebelum dan sesudah pemekaran Kabupaten Ngada yang ditunjukan melalui Derajat Otonomi Fiskal (DOF) dan dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemekaran wilayah membawa perubahan bagi peningkatan kemampuan keuangan daerah Kabupaten Ngada melalui indikator Derajat Otonomi Fiskal (DOF), dan juga tidak ada hubungan antara indikator keuangan daerah (DOF, IKR, dan IPPAD) dengan pertumbuhan ekonomi melalui indikator PDRB Kabupaten Ngada. 4. Agustin (2012) meneliti tentang pengaruh tingkat kemampuan keuangan daerah dalam mendukung pelaksanan otonomi daerah di Kabupaten Manokwari, dari hasil perhitungan dan analisis data menunjukan bahwa rasio DOF Kabupaten Manokwari sangat kurang, dengan rata-rata sebesar 3,38 persen. Rasio perhitungan dan analisis IKR menunjukan bahwa pada tahun 2007 sebesar 5,70 persen tahun 2008 naik menjadi 6,61 persen, selanjutnya mengalami penurunan di tahun 2009 yakni sebesar 5,81 persen dan pada tahun 2010 sebesar 5,76 persen dengan asumsi bahwa sisa pembiayan sebesar 94,24 persen bersumber dari dana perimbangan dan transfer pemerintah dan
12
pinjaman. Dengan demikian maka hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa, diduga kondisi kemampuan keuangan Kabupaten Manokwari di lihat dari IKR berdasarkan hasil perhitungandan analisis adalah kurang. 5. Riani dan Pudjihardjo (2012) meneliti tentang analisis dampak pemekaran wilayah terhadap pendapatan perkapita, kemiskinan dan ketimpangan antara wilayah di Provinsi Papua dengan kesimpulan bahwa, dari hasil pengujian dengan statistik t-test equalmean menunjukan beberapa hal: a. kebijakan pemekaran daerah tidak mempunyai pengaruh terhadap perubahan pendapatan perkapita; b. ada indikasi yang kuat dan signifikan bahwa pemekaran daerah mempunyai pengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan di daerah perkotaan. Secara keseluruhan pemekaran daerah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan di Provinsi Papua; c. kebijakan pemekaran daerah di Provinsi Papua hanya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan di Provinsi Papua. 6. Aryanto (2011) meneliti tentang analisis kemandirian keuangan daerah dan pertumbuhan
ekonomi
kabupaten/kota
di
Sumatera
Selatan
dengan
menyimpulkan beberapa hal: a. kemandirian keuangan kabupaten atau kota di Sumatera Selatan memiliki indikasi bahwa kemampuan keuangan kabupaten/kota di sumatera selatan termasuk dalam kategori sangat rendah. Nilai rata-rata rasio kemandirian keuangan daerah tertinggi hanya sebesar 17, 28 persen yaitu Kota Palembang, dan tertinggi kedua yaitu Kota Lubuk Linggau dengan rasio
13
kemandirian keuangan daerah sebesar 6,94 Persen. Daerah yang memiliki kemampuan keuangan daerah terendah yaitu Kabupaten Oku Selatan dengan rasio kemandirian keuangan daerah hanya sebesar 1,17 persen; b. Berdasarkan pengelompokan daerah dengan tipologi klasen, Kota Palembang dengan Kabupaten Muara Enim termasuk kategori daerah maju yaitu daerah yang memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita lebih tinggi dari rata-rata daerah lain di Provinsi Sumatera Selatan, daerah maju tetapi tertekan yaitu: Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Oku, dan Kota Prabumulih. Daerah yang masuk kategori daerah berkembang yaitu, Kabupaten Lahat, Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Oku, Kabupaten Lubuk Lingau, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Oku Timur, dan Kabupaten Oku Selatan. Daerah yang relatif tertinggal yaitu: Kabupaten Pagar Alam, Kabupaten Ogan Ilir, dan Kabupaten Empang Lawang; c. berdasarkan peta kemampuan keuangan daerah ada lima daerah yang memiliki kondisi keuangan yang ideal yaitu: Kota Palembang, Kota Lubuk Linggau, Kabupaten Oku, Kabupaten Musi Rawas, dan Kabupaten Lahat. Dari kelima kabupaten/kota tersebut yang memiliki rasio kemandirian keuangan paling teringgi yaitu Kota Palembang.
1.3
Perumusan Masalah Dengan usia Kabupaten Sorong Selatan yang belum memenuhi persyaratan
untuk dilakukan pemekaran daerah otonom baru, ternyata telah terjadi pemekaran. Untuk itu, maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah Pendapatan Asli
14
Daerah sebagai potensi unggulan dalam mendukung pembangunan daerah sangat rendah, ketergantungan terhadap dana perimbangan atau pendapatan transfer dari pemerintah pusat maupun provinsi, dan akan berpengaruh terhadap Pertumbuhan ekonomi.
1.4 Pertanyaan Penelitian Dengan melihat masalah yang telah dikemukakan di atas maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian adalah apakah pemekaran Kabupaten Maybrat tahun 2009 akan berdampak terhadap keuangan dan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sorong Selatan?
1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang terkait dengan masalah tersebut di atas maka yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Menganalisis kemampuan keuangan daerah Kabupaten Sorong Selatan yang ditunjukan melalui derajat desentralisai fiskal, rasio ketergantungan keuangan daerah, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektifitas PAD.
2.
Menganalisis kemampuan keuangan daerah Kabupaten Sorong Selatan sebelum dan sesudah pemekaran wilayah melalui derajat desentralisai fiskal, rasio ketergantungan keuangan daerah, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektifitas PAD.
3.
Menganalisis hubungan antara kemampuan keuangan daerah dengan produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Sorong Selatan.
15
1.6 Manfat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran serta manfaat sebagai berikut. 1.
Sebagai masukan kepada Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerah dengan menggali sumbersumber peneriman daerah serta mempertimbangkan pengusulan DOB yang sedang berlangsung.
2.
Sebagai referensi dan acuan bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian terkait
1.7 Sistematika Penulisan Penyusunan sistematika penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: Bab 1 Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, keaslian penelitian, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab 2 Landasan Teori atau Kajian Pustaka yang terdiri dari teori, kajian terhadap penelitian terdahulu, formulasi hipotesis. Bab 3 Metode Penelitian terdiri dari desain penelitian, metode pengumpulan data, definisi operasional, dan metode analisis data. Bab 4 Analisis terdiri dari deskripsi data, dan pembahasan. Bab 5 Kesimpulan dan Saran, menguraikan kesimpulan hasil penelitian dan saran yang dapat digunakan setelah hasil penelitian.
16