BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.1.1 Definisi Pembangunan Proses pembangunan pada dasarnya bukanlah sekedar fenomena ekonomi semata. Pembangunan tidak sekedar ditunjukkan oleh prestasi pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara, namun lebih dari itu pembangunan memiliki perspektif yang luas. Pembangunan adalah proses perubahan ke arah kondisi yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana. Proses perencanaan yang baik dan komprehensif merupakan titik penting
untuk
berhasilnya pembangunan. Menurut Sukirno (1985: 13) pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang mana pendapatan per kapita suatu daerah/wilayah akan meningkat dalam jangka panjang. Pertumbuhan maupun pendapatan per kapita merupakan dua unsur utama tanpa memperhatikan aspekaspek lain seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan. Tikson (2005 dalam Kartika, 2007) mengemukakan pembangunan nasional adalah transformasi ekonomi, sosial dan budaya melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi tersebut dapat dilihat dari pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik.
1
Dalam teori Neoklasik (Neo-classic Theory) yang dipelopori oleh Stein (1964), kemudian dikembangkan oleh Roman (1965) dan Siebert (1969), dikemukakan apabila proses pembangunan suatu negara berkembang baru mulai, maka tingkat perbedaan kemakmuran antarwilayahnya cenderung menjadi tinggi (divergence), sedangkan bila proses pembangunan telah berjalan dalam waktu yang lama maka perbedaan tingkat kemakmuran antarwilayah cenderung menurun (convergence). Hal ini disebabkan di negara yang sedang berkembang, lalu lintas modalnya masih belum lancar sehingga proses penyesuaian ke arah tingkat keseimbangan pertumbuhan belum dapat terjadi. Beberapa ahli ekonomi seperti Schumpeter dan Hicks, telah menarik perbedaan yang lebih lazim antara istilah perkembangan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Perkembangan ekonomi mengacu pada masalah negara terbelakang, sedangkan pertumbuhan mengacu pada masalah negara maju. Todaro (2006: 22) mendefinisikan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang bersifat multidimensional, melibatkan perubahan-perubahan besar, baik terhadap perubahan struktur ekonomi, perubahan sosial, mengurangi kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi. Perhatian utama negara yang sedang berkembang terfokus pada dilema antara pertumbuhan dan pemerataan. Pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur berdasarkan peningkatan Produk Nasional Bruto (PNB), tetapi harus memperhatikan juga distribusi pendapatan masyarakat yang telah tersebar, apakah merata atau tidak serta masyarakat mana yang telah menikmati hasil-hasilnya.
2
Arsyad (1999: 108) menyatakan bahwa permasalahan utama dalam pembangunan daerah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan setiap daerah (endogenous development) seperti potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumber fisik daerah. Keadaan sosial ekonomi yang berbeda dari setiap daerah akan membawa implikasi bahwa campur tangan pemerintah untuk tiap daerah berbeda pula. Perbedaan tingkat pembangunan antardaerah mengakibatkan perbedaan tingkat kesejahteraan antardaerah dan menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi suatu negara. Tolok ukur keberhasilan pembangunan suatu daerah dapat dilihat dari pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kesenjangan pendapatan antarpenduduk dan antarsektor yang semakin kecil. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan pendapatan masyarakat secara keseluruhan sebagai cerminan kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang tercipta di suatu wilayah. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan jika tingkat kegiatan perekonomiannya meningkat atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua hal penting yang saling terkait dalam proses pembangunan suatu negara. Tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa kedua aspek ini seringkali terdapat trade off satu sama lain, yaitu apabila pertumbuhan diutamakan maka cenderung akan menurunkan tingkat pemerataan, dan sebaliknya apabila pemerataan yang diutamakan maka akan cenderung memperlambat proses pertumbuhan.
3
1.1.2 Pembangunan di Indonesia Pembangunan ekonomi di Indonesia sejak awal kemerdekaan memiliki perkembangan yang kurang menyenangkan. Kondisi politik yang tidak stabil dan kabinet yang selalu berubah silih berganti berakibat pada kebijakan ekonomi yang selalu berubah sepanjang waktu. Sejak pemerintahan orde baru mulai berkuasa, gagasan tentang pembangunan ekonomi mulai mendapat perhatian yang serius dan menunjukkan hasil yang nyata meskipun selama periode 1960-1965, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 1,9 persen (Dumairy, 1996 dalam Ramly, 2012: 15). Di pemerintahan Orde Baru, Indonesia disebut sebagai salah satu keajaiban di Asia Timur (East Asian Miracle), yang berhasil mencapai pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equality). Bersama beberapa negara di Asia lainnya, Indonesia mendapat sebutan The High Peforming Asian Economics (HPAEs), yaitu kelompok negara-negara di Asia yang memiliki kinerja ekonomi ajaib seperti terlihat dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1 Indikator Ekonomi Beberapa Negara Asia Pasifik
Hongkong
Pertumbuhan GNP/Kapita 1965-1989 (%) 6,3
Pertumbuhan GDP 1965-1980 (%) 8,6
Pertumbuhan GDP 1980-1989 (%) 7,1
Indonesia
4,4
7,0
Korea Selatan
7,0
Malaysia
Pertumbuhan GDP 1996 (%)
Ekpor Miliar $
5,0
38,87
5,3
8,07
11,21
9,9
9,7
9,2
33,38
4,0
7,4
4,9
9,2
18,56
Philipina
1,6
5,9
0,7
5,6
4,45
Singapura
7,0
10,0
6,1
8,3
29,69
7,3
7,0
8,6
13,88
Negara
Thailand 4,2 Sumber: World Bank (1994)
4
1.1.3 Ketimpangan di Indonesia Menurut teori Neo Klasik, pada awal proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antarwilayah cenderung meningkat. Proses tersebut akan terjadi sampai ketimpangan mencapai titik puncak. Saat proses pembangunan terus berlanjut, ketimpangan pembangunan antarwilayah akan berangsur-angsur menurun. Kuznets (1971 dalam Todaro, 2006) menyatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, keterkaitan antara pertumbuhan dan ketimpangan seperti U-terbalik yang mana pada tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung buruk dan tidak akan meningkat sampai negara tersebut mencapai status berpendapatan menengah (middleincome). Namun sesudah fase tersebut, distribusi pendapatan akan terus membaik atau ketimpangan akan terus menurun. Hirschman (1958 dalam Muta’ali, 1999: 3) mengemukakan bahwa jika suatu daerah mengalami perkembangan maka akan membawa pengaruh atau imbas ke daerah lain. Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi seringkali tidak diimbangi pemerataan sehingga menimbulkan berbagai dilema dalam pembangunan nasional dan justru memperlebar kesenjangan antarwilayah serta menimbulkan permasalahan ekonomi yang berlapis-lapis, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, ketimpangan antarwilayah (kotadesa, pusat-daerah). Dalam literatur ekonomi regional ditemukan adanya strategi pembangunan yang tidak seimbang, yaitu strategi yang hanya menekankan pada pengembangan salah satu sektor ekonomi atau wilayah yang dianggap potensial.
5
Fenomena terjadinya ketimpangan dalam pembagian pendapatan sudah menjadi fenomena umum yang terjadi di sebagian besar belahan bumi, baik pada negara-negara maju maupun negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Indonesia menjadi sorotan dan tujuan para pemilik modal global yang tengah kehilangan kesempatan setelah kawasan Eropa dan Amerika mengalami krisis ekonomi. Indonesia dianggap sebagai kunci kemajuan ekonomi ASEAN, bahkan Asia dan dunia. Hal itu adalah hasil pencapaian pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, kekuatan ekonomi domestik yang terus meningkat dengan ditopang oleh arus penanaman modal asing yang terus masuk. Namun hasil pembangunan yang dicapai Indonesia selama ini belum merata baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, pedesaan dan perkotaan serta antargolongan masyarakat. Sebagai suatu permasalahan dalam pembangunan, ketimpangan tidak dapat dihilangkan secara sempurna. Kesenjangan pendapatan akan tetap ada baik pada golongan keluarga atau masyarakat, maupun antardaerah dalam suatu wilayah tertentu. Adanya perbedaan distribusi pendapatan antardaerah dan distribusi pengeluaran pemerintah pusat dan daerah merupakan salah satu permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan. Perbedaan tersebut terjadi selama bertahuntahun
sehingga
menyebabkan
terjadinya
ketimpangan
antardaerah.
Diberlakukannya otonomi daerah masih belum mampu memperkecil ketimpangan dan hal ini dapat terlihat dari perbedaan tingkat pembangunan antara lain perbedaan tingkat pendapatan per kapita dan infrastruktur di daerah. Ketimpangan regional di Indonesia terjadi karena pemerintah pusat menguasai dan mengendalikan hampir sebagian besar pendapatan daerah yang
6
ditetapkan sebagai penerimaan negara, termasuk pendapatan dari hasil sumber daya
alam
dari
sektor
pertambangan,
perkebunan,
kehutanan,
dan
perikanan/kelautan. Pembangunan masih terpusat pada Kawasan Indonesia Barat khususnya di Pulau Jawa, sektor modern umumnya berada di perkotaan, sedangkan sektor tradisional berada di pedesaan. Akibatnya, ketimpangan pembagian pendapatan semakin melebar, pengangguran semakin bertambah, tingkat kemiskinan semakin tinggi, dan ketidakseimbangan struktural. Tabel 1.2 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 Di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, 2006-2012 (dalam persen) Tahun Provinsi 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Kawasan Barat Indonesia
Ratarata 5,77
Sumatera
5,26
4,96
4,98
3,50
5,58
6,19
5.82
5,18
Jawa
5,78
6,17
6,02
4,81
6,33
6,65
6,57
6,20
Bali
5,28
5.92
5,97
5,33
5,83
6,49
6,65
5,92
Kawasan Timur Indonesia
5,65
Kalimantan
3.80
3.14
5,35
3.47
5,38
4,97
4,83
4,42
Sulawesi
6,93
6,88
8,43
6,92
8,25
8,10
8,67
7,24
Nusa Tenggara Maluku dan Papua Jumlah 33 Provinsi
3,92
5,02
3,83
8,22
5,80
1,24
2,15
4,31
-0,40
5,72
4,17
11,90
9,93
8,56
7,85
6,62
5,19
5,63
5,74
4,77
6,14
6,35
6,30
5,83
Indonesia
5,51
6,32
6,01
4,63
6,22
6,49
6,23
5,92
Sumber: BPS, 2006-2012 (diolah)
Tabel 1.2 terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Kawasan Barat Indonesia dari Tahun 2006-2012 mencapai rata-rata 5,77 persen dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai oleh Pulau Jawa, sebesar 6,20 persen. Laju pertumbuhan ekonomi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) lebih tinggi dibandingkan dengan Kawasan Timur Indonesia. Walaupun pembangunan
7
ekonomi telah menghasilkan pertumbuhan yang tinggi ternyata belum sepenuhnya dapat mengatasi permasalahan kesenjangan antardaerah. Perbedaan laju pembangunan antardaerah menyebabkan terjadinya kesenjangan kemakmuran dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Penyebab lain kesenjangan yang terjadi antara KBI dan KTI adalah keberadaan Ibukota Indonesia yang terletak di Pulau Jawa, yaitu Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional dan provinsi-provinsi di Pulau Jawa yang pada umumnya mengalami perkembangan ekonomi yang lebih cepat dibanding provinsi lainnya di luar Jawa. Salah satu kebijakan pemerintah guna mengurangi tingkat kesenjangan pembangunan antardaerah khususnya antara wilayah KBI dengan wilayah KTI adalah diterapkannya kebijakan pembangunan melalui konsep kawasan andalan, yang didasarkan pada potensi masing-masing daerah. Melalui kebijakan tersebut diharapkan dapat terjadi keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan pendapatan per kapita antarwilayah sehingga dapat menutup atau mempersempit gap antara perkembangan ekonomi daerah Pulau Jawa dan luar Jawa (Kuncoro, 2002: 14). Namun berbagai program yang dikembangkan untuk menjembatani ketimpangan antardaerah selama ini ternyata belum mencapai hasil yang memadai. 1.1.4 Pengertian Teori Kutub Pertumbuhan Ketimpangan yang terjadi tidak terlepas dari strategi pembangunan yang diterapkan oleh suatu negara dengan didasarkan pada konsep teoritis. Beberapa
8
teori atau konsep dikembangkan oleh beberapa ahli ekonomi untuk mengurangi permasalahan-permasalahan ekonomi suatu daerah/wilayah, seperti teori basis, teori tempat sentral, dan teori pusat pertumbuhan (growth pole). Teori basis dapat dikatakan sebagai teori yang pertama kali menjelaskan ekonomi wilayah. Teori ini membagi kegiatan ekonomi menjadi dua sektor yaitu sektor basis (basic activities) dan sektor non basis (non basic activities). Teori lainnya adalah teori tempat sentral (central place theory) yang dikembangkan oleh Christaller (1993) dengan mengembangkan model analisis dari atas atau skala besar (nasional). Christaller mengemukakan bahwa wilayah pelayanan yang paling efisien adalah berbentuk segienam (hexagonal) dan pusatnya berada di tengah (central). Agar teori ini menjadi dinamis, maka disempurnakan dengan beberapa teori pertumbuhan wilayah yang membahas perubahan struktural pada tata ruang geografis yang bersifat dinamis. Salah satunya adalah teori kutub pertumbuhan. Teori ini dipelopori oleh Perroux (1955), seorang ahli ekonomi Perancis. Penekanan pengertian kutub pertumbuhan oleh Perroux dikaitkan pada ruang ekonomi, yaitu medan kekuatan, yang mana ruang ekonomi mengandung pusat-pusat dan kutub pertumbuhan dengan kekuatan sentifugal yang memancar ke sekeliling daerah/wilayah dan mempunyai kekuatan sentripetal yang menarik sekitar daerah/wilayah ke pusat-pusat daerah/wilayah tersebut. Kebijakan pemerintah untuk mengembangkan wilayah adalah dengan menetapkan kota atau wilayah tertentu menjadi pusat pertumbuhan (growth pole). Pusat pertumbuhan merupakan salah satu cara untuk menggerakkan dan memacu
9
pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang diarahkan pada daerah-daerah yang memiliki potensi dan fasilitas wilayah akan mempercepat terjadinya kemajuan ekonomi, karena kemajuan suatu daerah akan membuat masyarakat untuk mencari kehidupan yang lebih layak di daerah tersebut. 1.1.5 Penerapan Konsep Pusat Pertumbuhan di Indonesia Penerapan konsep pusat pertumbuhan secara regional untuk wilayah tertentu di Indonesia mulai berkembang pesat. Hal ini terlihat dari semakin banyak daerahdaerah di Indonesia menerapkan beberapa kegiatan pembangunan wilayah seperti pola Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Sentra Produksi (KSP), Kawasan Masyarakat Industri dan Perkebunan (KIMBUN) dan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Beberapa kawasan potensial di Indonesia dapat dikembangkan menjadi pusatpusat pertumbuhan antara lain daerah Pantura Jawa, pantai timur Sumatera, beberapa daerah di Kalimantan dan Sulawesi yang secara simultan mendorong daerah sekitarnya sebagai kawasan penyangga serta memanfaatkan kota-kota besar sebagai ranah pertumbuhan guna pengembangan daerah penyangga. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011, Pemerintah Indonesia menyusun Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Masterplan ini berisi arahan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode lima belas tahun sejak Tahun 2011 sampai 2025. Pengembangan MP3EI berfokus pada 8 program utama, yaitu: pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata,
10
telematika, dan pengembangan kawasan strategis. Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama yang disesuaikan dengan potensidan nilai strategisnya masing-masing di koridor yang bersangkutan.
Gambar 1.1 Perencanaan Pembangunan di 6 Koridor Ekonomi Melalui Program MP3EI Sumber: MP3EI 2011-2025, Kemenko Bidang Perekonomian
Percepatan
dan
Perluasan
Pembangunan
Ekonomi
Indonesia
diselenggarakan berdasarkan pendekatan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, baik yang telah ada maupun yang baru. Pendekatan ini pada intinya merupakan integrasi dari pendekatan sektoral dan regional. Setiap wilayah mengembangkan produk yang menjadi keunggulannya. Tujuan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tersebut adalah untuk memaksimalkan keuntungan aglomerasi, menggali potensi dan keunggulan daerah serta memperbaiki ketimpangan spasial pembangunan ekonomi Indonesia. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan mengembangkan klaster industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) disertai
11
dengan penguatan konektivitas antarpusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan antara pusat pertumbuhan ekonomi dengan lokasi kegiatan ekonomi serta infrastruktur pendukungnya. Secara keseluruhan, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan konektivitas tersebut menciptakan Koridor Ekonomi Indonesia. Koridor Ekonomi yang dibentuk sebanyak enam koridor yang didasarkan pada potensi dan keunggulan masing-masing wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia. Tema pembangunan masing-masing koridor ekonomi Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.1. Suksesnya pelaksanaan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia sangat tergantung pada kuatnya derajat konektivitas ekonomi nasional (intra dan interwilayah) maupun konektivitas ekonomi internasional Indonesia dengan pasar dunia. 1.1.6 Kondisi Perekonomian Wilayah Kalimantan Wilayah Kalimantan merupakan pusat pembangunan di Indonesia Bagian Timur yang memiliki posisi strategis bagi kerjasama antardaerah. Pulau Kalimantan memiliki posisi yang cukup strategis di koridor nasional, regional ASEAN, dan global. Dalam konteks nasional, Pulau Kalimantan memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar dengan keunggulan kompetitif pada sektor pertambangan (minyak, gas, emas, batubara), kehutanan (kayu), perkebunan (sawit, karet), dan perikanan laut dan darat. Pulau Kalimatan juga memiliki kekayaan cadangan minyak bumi, gas, batubara, dan bijih besi terbesar di Indonesia,
serta
kawasan
hutan
produksi
terluas
di
Indonesia.
Dari
produktivitasnya, wilayah Kalimantan berada di nomor 4 sebagai produsen bauksit terbesar di dunia dan pengekspor batubara di beberapa negara ASEAN.
12
Hasil perkebunan kelapa sawit wilayah Kalimantan menjadi salah satu potensi yang dapat memberikan kontribusi pada tingkat nasional maupun ASEAN.
Gambar 1.2 Peta Daya Saing Posisi Strategis Wilayah Pulau Kalimantan di Koridor Nasional, Regional, dan Global Sumber: Bappenas (2015)
Berkaitan dengan MP3EI, sesuai dengan kondisi sumber daya dan geografis Pulau Kalimantan, tema pengembangan Koridor Ekonomi Kalimantan dalam MP3EI adalah sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang dan Lumbung Energi Nasional”. Penetapan Koridor Ekonomi Kalimantan sebagai pilar energi nasional tidak terlepas dari potensi migas dan batubara. Tahun 2008, cadangan minyak mentah dan batubara di Pulau Kalimantan masing-masing mencapai 9,3 persen dan 49,6 persen dari cadangan batubara nasional.
13
1 6
7
5
2
3
4
Kutai Timur, Maloy – Bauksit/Alimina, Kelapa Sawit,Batubara Perkayuan Balikpapan, dsk – Kelapa Sawit, Migas, Perkayuan
1 2
Rapak dan Ganal, Kalimantan Timur – Migas Kotabarau, Tnah Bumbu, dsk – Besi Baja, Kelapa Sawit, Batubara, Perkayuan
3 4
Barito, dsk – Besi Baja, Kelapa Sawit,Perkayuan Pontianak, Mempawah, dsk – Bauksit/Alumina, Kelapa Sawit, Perkayuan Kereta Api Batubara dan Jalan Trans Kalimantan
Gambar 1.3 Perencanaan Pembangunan Koridor Ekonomi Kalimantan Sumber: MP3EI 2011-2025, Kemenko Bidang Perekonomian
Pulau Kalimantan memiliki komoditas unggulan yang berdaya saing tinggi, baik di pasar domestik maupun pasar luar negeri. Komoditas unggulan di Koridor Ekonomi Kalimantan diantaranya adalah minyak dan gas bumi yang terpusat di Provinsi Kalimantan Timur, kelapa sawit yang terpusat di Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kalimantan Tengah, karet yang terpusat di Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, dan Provinsi Kalimantan Selatan, serta perikanan dan kelautan, dengan perikanan tangkap dan budi daya laut yang terpusat di Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Selatan. Kegiatan-kegiatan ekonomi utama di Koridor Ekonomi Kalimantan berpusat di
14
5 6 7
empat kota pusat ekonomi, yaitu Kota Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, dan Samarinda, yang terkoneksi melalui Jalur Penghubung Koridor (Gambar 1.2). 7,00 6,00
persen (%)
5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 Kalimantan
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 4,20 2,73 2,66 3,01 3,98 3,88 3,51 5,19 3,46 5,38 4,98 4,83
Jumlah 33 Provinsi 3,29 4,34 4,55 4,26 5,37 5,19 5,67 5,74 4,77 6,14 6,35 6,28
Gambar 1.4 Pertumbuhan Ekonomi Pulau Kalimantan dan 33 Provinsi di Indonesia, 2001-2012 Sumber: BPS, 2000-2012 (diolah)
Keberhasilan suatu daerah dalam melaksanakan pembangunan dapat terlihat dari pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kesenjangan pendapatan rendah. Masih besarnya kesenjangan antarwilayah, khususnya kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) tercermin dari perbedaan pertumbuhan ekonomi dan kontribusi PDRB terhadap PDB nasional. Tingkat pertumbuhan ekonomi Pulau Kalimantan masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Dari Gambar 1.4 terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Pulau Kalimantan pada Tahun 2001-2012 berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi 33 provinsi dan cenderung menurun. Ketimpangan pembangunan di Indonesia dapat dilihat dari ketimpangan kontribusi PDRB antarpulau terhadap PDB nasional. Selama 30 tahun (1983-
15
2012) kontribusi PDRB KBI sangat dominan dan tidak pernah berkurang dari 80 persen. Struktur perekonomian Indonesia selama kurun waktu tersebut masih didominasi beberapa provinsi di Pulau Jawa dengan kontribusi PDRB selalu berada di atas 50 persen. Pulau Kalimantan menempati urutan ketiga dalam sumbangan terhadap PDB Indonesia, yaitu sebesar 8,4 persen (lihat Tabel 1.3). Tabel 1.3 Peran Wilayah/Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional, 1978-2012 (dalam persen) Pulau
1978
1983
1988
1993
1998
2003
2008
2012
Sumatera
27,6
28,7
24,9
22,8
22,0
22,4
21,4
20,9
Jawa
50,6
53,8
57,4
58,6
58,0
59,3
60,9
61,4
Kalimantan
10,2
8,7
8,9
9,2
9,9
9,3
8,8
8,4
Sulawesi
5,5
4,2
4,1
4,1
4,6
4,2
4,6
5,0
Bali dan Nusa Tenggara
3,1
2,8
3,0
3,3
2,9
2,8
2,7
2,6
Maluku dan Papua
2,9
1,8
1,7
2,0
2,5
2,0
1,6
1,7
Sumber: BPS, 1978-2012 (diolah)
Pulau Kalimantan menempati urutan ketiga dalam sumbangan terhadap PDB Indonesia dan peran Kalimantan dalam pembentukan PDB nasional mengalami penurunan. Dalam mendorong perekonomian wilayah Kalimantan, realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) masih relatif kecil. Meskipun demikian, secara umum peringkat iklim investasi wilayah Kalimantan selama periode 2010-2012 masih cukup baik (lihat Tabel 1.4 dan 1.5). Berdasarkan kondisi tersebut, tidak berlebihan jika Pulau Kalimantan dianggap sebagai kekuatan ekonomi dan sosial di Kawasan Timur Indonesia.
16
Pulau
Tabel 1.4 Realisasi Investasi PMA 2010-2012 (Nilai Investasi Dalam US$) 2010 2011 Proyek Investasi Proyek Investasi 359 747,13 667 2.076,56 1.973 11.498,77 2.632 12.324,54 254 2.011,45 331 1.918,85 80 859,10 146 715,26
Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Bali dan Nusa 372 Tenggara Maluku 10 Papua 28 Total 3.076 Sumber: Bappenas (2012)
Pulau
502,66
474
952,65
477
1.126,55
248,89 346,77
31 61
141,54 1.345,14
19 39
98,77 1.234,47
16.214,77
4.342
19.474,54
4.579
24.564,68
Tabel 1.5 Realisasi Investasi PMDN 2010-2012 (Nilai Investasi Dalam US$) 2010 2011 Proyek Investasi Proyek Investasi 222 4.224,20 370 16.334,26 397 35.140,34 601 37.176,19
Sumatera Jawa Kalimantan 149 Sulawesi 58 Bali dan Nusa 39 Tenggara Maluku 2 Papua 8 Total 875 Sumber: Bappenas (2012)
2012 Proyek Investasi 695 3.729,29 2.807 13.659,92 355 3.208,65 187 1.507,03
2012 Proyek Investasi 287 14.256,24 636 52.692,94
14.575,58 4..337,57
198 82
13.467,39 7.227,52
183 59
16.739,69 4.900,99
2.119,27
32
356,74
29
3.167,76
0,00 229,31
4 26
13,57 1.425,02
4 12
323,89 100,51
60.626,27
1.313
76.000,69
1.210
92.182,02
Dalam pembentukan PDRB wilayah Kalimantan Tahun 2004 dan 2012, Provinsi Kalimantan Timur memiliki peran yang lebih besar dibanding tiga provinsi lainnya. Sumbangan PDRB ADHK wilayah Kalimantan terhadap pembentukan PDB nasional pada Tahun 2012 mencapai 8,4 persen, dengan kontribusi terbesar berasal dari Provinsi Kalimantan Timur sebesar 4,78 persen (lihat Tabel 1.6).
17
Tabel 1.6 Perbandingan Kontribusi Provinsi Terhadap Pembentukan PDRB ADHK Migas Pulau Kalimantan, 2004 vs 2012 Pangsa Pangsa Pangsa Pangsa PDRB 2004 terhadap terhadap PDRB 2012 terhadap Provinsi terhadap (Rp. Juta) Pulau Nasional (Rp. Juta) Nasional Pulau (%) (%) (%) (%) Kalimantan Barat 22,483,020 15.09 1.39 34,007,560 16.20 1.35 Kalimantan Tengah
13,253,080
8.90
0.82
21,420,480
10.20
0.85
Kalimantan Selatan
22,171,330
14.88
1.37
34,413,310
16.39
1.37
Kalimantan Timur
91,050,430
61.12
5.64
120,085,760
57.20
4.78
9,23
209,927,100
KALIMANTAN 148,957,860 Sumber: BPS, 2004 dan 2012 (diolah)
8,35
Selama periode 2009-2012, nilai PDRB ADHK dengan migas dan tanpa migas seluruh provinsi di Pulau Kalimantan mengalami kenaikan setiap tahun dan pertumbuhannya positif. Artinya, kegiatan perekonomian di Pulau Kalimantan mengalami peningkatan. Secara agregat, Provinsi Kalimantan Timur masih mendominasi perekonomian Pulau Kalimantan dengan menguasai 58 persen dari total PDRB migas dan 47 persen PDRB tanpa migas (lihat Tabel 1.7). Tabel 1.7 PDRB ADHK Menurut Provinsi di Pulau Kalimantan, 2009-2012 (Miliar Rupiah) PDRB Dengan Migas Rata-rata Provinsi Miliar 2009 2010 2011 2012 Persen Rupiah Kalimantan Barat 28.756,88 30.328,70 32.138,39 34.013,64 31.309,40 16,02 Kalimantan Tengah
17.657,79
18.805,68
20.078,09
21.420,48
19.490,51
9,97
Kalimantan Selatan
29.051,63
30.674,12
32.552,60
34.413,31
31.672,92
16,20
Kalimantan Timur
105.564,94
110.953,45
115.489,85
120.085,76
113.023,50
57,81
KALIMANTAN
181.031,24
190.761,95
200.258,93
209.933,19
195.496,33
100,00
PDRB Dengan Migas
Rata-rata
Kalimantan Barat
28.756,88
30.328,70
32/138,39
34.013,64
31.309,40
20,40
Kalimantan Tengah
17.657,79
18.805,68
20.078,09
21.420,48
19.490,51
12,70
Kalimantan Selatan
28.578,33
30.204,51
32.101,10
33.981,72
31.216,42
20,34
Kalimantan Timur
60.031,03
67.041,26
75.105,34
83.597,24
71.443,72
46,56
KALIMANTAN 135.024,03 146.380,14 Sumber: BPS, 2009-2012 (diolah)
159.422,92
173.013,08
153.460,04
100,00
18
Kontribusi PDRB yang tinggi belum tentu diikuti dengan laju pertumbuhan yang tinggi pula. Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Timur pada Tahun 2008-2012 di sektor migas merupakan yang terendah dibanding tiga provinsi lain, sedangkan pada sektor non migas, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur merupakan yang tertinggi (lihat Gambar 1.3). 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Rata-rata Laju Pertumbuhan Dengan Migas Rata-rata Laju Pertumbuhan Tanpa Migas Gambar 1.5 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK Menurut Provinsi di Pulau Kalimantan, 2008- 2012 Sumber: BPS, 2008-2012 (diolah)
Menurut Lewis dalam teorinya yaitu model dua sektor Lewis (Lewis twosector model), di negara berkembang terjadi transformasi struktur perekonomian dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, dan lebih berorientasi pada kehidupan perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh. Teori Lewis diakui sebagai teori umum yang membahas proses pembangunan di negara-negara dunia ketiga yang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja (Todaro, 2003: 116). Pandangan ini didukung oleh Clark dengan mengumpulkan data statistik mengenai persentasi tenaga kerja yang bekerja di sektor primer, sekunder dan
19
tersier di beberapa negara. Data tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita suatu negara, semakin kecil peranan sektor pertanian dalam menyediakan kesempatan kerja, sebaliknya sektor industri makin penting peranannya dalam menampung tenaga kerja (Sukirno, 1985: 75). Di Pulau Kalimantan diduga terjadi transformasi struktur ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari perubahan sumbangan sektor industri pengolahan ke sektor keuangan/persewaan dan jasa perusahaan terhadap PDRB Pulau Kalimantan. Tabel 1.8 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2000-2012, sektor industri pengolahan cenderung turun, sedangkan sektor keuangan/persewaan cenderung naik. Sumbangan sektor industri pengolahan yang semula sebesar 32,84 persen pada Tahun 2000 turun sekitar 45 persen menjadi 17,96 persen pada Tahun 2012. Sektor keuangan/persewaan dan jasa perusahaan yang semula menyumbang 2,61 persen pada Tahun 2000 naik 74 persen menjadi 4,53 persen pada Tahun 2012. Hal ini bukan berarti bahwa produksi sektor industri pengolahan mengalami penurunan, akan tetapi yang terjadi adalah pertumbuhan sektor industri pengolahan kalah cepat dibandingkan dengan sektor keuangan/persewaan. Tabel 1.8 No. 1 2 3 4 5 6 7
Perbandingan Distribusi Persentase PDRB ADHK Pulau Kalimantan Berdasarkan Lapangan Usaha, 2000-2012 (dalam persen) Lapangan Usaha 2000 2004 2008 2012
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan/Persewaan dan Jasa 8 Perusahaan 9 Jasa-jasa Sumber: BPS, 2000–2012 (diolah)
14,87 25,89 32,84 0,31 3,74 10,48
15,13 26,61 28,90 0,35 4,07 11,54
14,89 28,12 22,77 0,38 4,93 12,50
14,58 29,37 17,96 0,41 5,63 13,69
4,99
5,45
6,82
7,61
2,61
2,97
3,88
4,53
4,27
4,97
5,71
6,23
20
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang mana pendapatan per kapita suatu negara meningkat selama kurun waktu panjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan absolut tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang (Meier, 1995 dalam Fawait, 2012: 3). Pendapatan per kapita yang tinggi merupakan salah satu tujuan penting bagi perekonomian negara-negara di dunia. Adanya perbedaan pendapatan per kapita pada masing-masing daerah dapat menimbulkan suatu permasalahan. PDRB per kapita yang semakin besar menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, sedangkan PDRB per kapita yang semakin kecil berarti semakin buruk tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut.
Gambar 1.6 Rata-rata PDRB Per Kapita ADHK 2000 33 Provinsi Di Indonesia, 2004-2012 (dalam Rupiah) Sumber: BPS, 2012 (diolah)
Tingkat pendapatan per kapita 33 provinsi di Indonesia bervariasi besarnya. Perbedaan PDRB per kapita antardaerah di Indonesia memberikan gambaran tentang kondisi dan perkembangan pembangunan di Indonesia. Kawasan Barat
21
Indonesia memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi daripada Kawasan Timur Indonesia. Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Riau dan Papua Barat adalah provinsi-provinsi yang memiliki pendapatan per kapita di atas rata-rata pendapatan per kapita 33 provinsi di Indonesia pada Tahun 2004-2012 (lihat Gambar 1.5). Tabel 1.9
Provinsi
PDRB Per kapita ADHK Tertinggi dan Terendah Di Pulau Kalimantan (Menurut urutan 3 kabupaten/kota), 2008 dan 2012
Kabupaten/Kota
Melawi Sekadau Kalimantan Kayong Utara Barat Kota Singkawang Kubu Raya Kota Pontianak Pulang Pisau Kapuas Kalimantan Seruyan Tengah Lamandau Kotawaringin Barat Sukamara Hulu Sungai Utara Hulu Sungai Tengah Kalimantan Hulu Sungai Selatan Selatan Tanah Bumbu Balangan Kotabaru Bulungan Nunukan Kalimantan Malinau Timur Kutai Kartanegara Kota Bontang Kutai Timur Sumber: Bappenas (2012)
PDRB Per kapita ADHK 2000 Terendah (dalam Ribu Rupiah) Non Migas Migas 2008 2012 2008 2012 2.891 3.342 2.891 3.342 3.354 4.080 3.354 4.080 4.264 5.039 4.264 5.039
5.546 5.752 5.958
3.557 4.006 4.796
7.899 8.573 9.412
6.849 7.177 7.830
4.523 4.888 5.509
9.700 9.708 12.567
5.546 5.752 5.958
3.557 4.006 4.796
8.653 9.797 9.412
PDRB Per kapita ADHK 2000 Tertinggi (dalam Ribu Rupiah) Non Migas Migas 2008 2012 2008 2012
6.343 8.907 11.443
7.337 11.044 13.209
6.343 8.907 11.443
7.337 11.044 13.209
8.840 10.097 12.919
10.250 12.127 14.369
8.840 10.097 12.919
10.250 12.127 14.369
12.725 12.898 15.840
12.467 14.054 18.492
12.725 12.898 15.840
12.467 14.054 18.492
16.414 20.145 75.656
21.981 21.912 75.660
51.877 182.931 76.706
45.126 126.453 76.216
6.849 7.177 7.830
4.523 4.888 5.509
10.497 10.668 12.567
Selama kurun waktu lima tahun terakhir (2008-2012), perkembangan PDRB per kapita seluruh provinsi di Pulau Kalimantan rata-rata meningkat. PDRB per
22
kapita Provinsi Kalimantan Timur paling tinggi dibanding tiga provinsi lain. Namun perkembangan disparitas PDRB per kapita seluruh provinsi di Pulau Kalimantan Tahun 2008 dan 2012 justru menunjukkan kecenderungan yang semakin melebar. Gambaran perbandingan tiga kabupaten/kota dengan PDRB per kapita tertinggi dan terendah di Pulau Kalimantan dapat dilihat dalam Tabel 1.9. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Timur yang ditunjukkan dengan tingginya selisih nilai PDRB per kapita tertinggi dan terendah di provinsi tersebut. PDRB per kapita tertinggi dengan migas pada Tahun 2008 terdapat di Kota Bontang yang mencapai Rp182.931 ribu/jiwa dan terendah di Kabupaten Bulungan sebesar Rp8.653 ribu/jiwa. PDRB per kapita tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur terdapat di Kota Bontang, Kabupaten Kutai Timur, dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Disparitas terendah pada Tahun 2012 terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah dengan perbandingan PDRB per kapita tertinggi berada di Kabupaten Sukamara sebesar Rp14.369 ribu/jiwa dan terendah di Kabupaten Pulang Pisau sebesar Rp6.849 ribu/jiwa. PDRB per kapita tertinggi di Provinsi Kalimantan Barat sebesar Rp13.209 ribu/jiwa terdapat di Kota Pontianak dan terendah di Kabupaten Melawi sebesar Rp3.342 ribu/jiwa. PDRB per kapita tertinggi di Provinsi Kalimantan Selatan terdapat di Kabupaten Kotabaru dan terendah di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Ketimpangan yang cukup tinggi antarkabupaten/kota di Pulau Kalimantan juga dapat dilihat pada Tabel 1.10. Perbandingan nilai PDRB per kapita, persentase tenaga kerja sektor primer, dan pengangguran antarkabupaten/kota
23
cukup tinggi, yaitu masing-masing 1:23, 1:64, dan 1:45. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan yang cukup tinggi di Pulau Kalimantan. Tabel 1.10 Gambaran Umum Indikator Sosial Ekonomi Kabupaten/Kota, 2012 Indikator Sosial Ekonomi
Minimum
Maksimum
Mean
Nasional
Indikator Ekonomi PDRB Per kapita non migas (juta) Pertumbuhan Ekonomi (%) Paritas Daya Beli (ribu rupiah) Kemiskinan (%)
3.342.206,49
75.660.458,64
11.690.738,58
10.671.024,82
0,79
18,25
6,60
6,20
609,85
661,33
638,39
633.269
2,60
26,90
7,90
11,66
Indikator Ketenagakerjaan Jumlah TK Sektor Primer (%)
1,38
88,65
52,58
34,36
Jumlah TK Sektor Sekunder (%)
1,77
54,58
11,26
19,10
Jumlah TK Sektor Tersier (%)
3,90
88,54
36,16
46,54
Angka Pengangguran (TPT) (%)
0,32
14,32
5,19
6,14
Indikator Pendidikan Rata-rata Lama Sekolah (tahun)
5,73
10,80
7,96
7,92
Angka Melek Huruf (%)
88,34
99,95
95,68
93,10
Indikator Kependudukan Angka Harapan Hidup (tahun) Dependency Ratio 2
Kepadatan Penduduk (jiwa/km ) Sumber: BPS, 2012 (diolah)
61,69
73,79
68,39
70,10
36,91
62,42
51,89
50,50
1,57
8.917,42
385,83
128,09
Terkait dengan MP3EI, terdapat beberapa kendala terkait pengembangan perekonomian yang dihadapi oleh Koridor Ekonomi Kalimantan. 1. Adanya tren menurun pada total nilai produksi sektor migas dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, perlu pengembangan secara intensif sektor-sektor lainnya guna mengimbangi penurunan kinerja sektor migas sehingga perekonomian wilayah Kalimantan dapat terjamin keberlanjutannya.
24
2. Terdapat disparitas pembangunan antarwilayah di dalam koridor, baik wilayah penghasil migas dengan non-penghasil migas, maupun antara kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan. 3. Rendahnya nilai PDRB per kapita Pulau Kalimantan dibandingkan dengan pulau lainnya di Indonesia (menempati urutan ketiga setelah Pulau Jawa dan Sumatera). Rata-rata PDRB per kapita tiga provinsi di Kalimantan (kecuali Provinsi Kalimantan Timur) selama lima tahun terakhir (2008 – 2012) berada di bawah rata-rata nasional. 4. Terdapat kesenjangan antara infrastruktur pelayanan dasar yang tersedia dengan yang dibutuhkan. Infrastruktur dasar mencakup infrastruktur fisik seperti jalan, kelistrikan, akses air bersih, dan lain-lain, dan non fisik (sosial) seperti pendidikan dan layanan kesehatan. 5. Terlihat pula indikasi adanya ketimpangan intrawilayah Kalimantan. Melihat beberapa kondisi yang terjadi di Koridor Ekonomi Kalimantan tersebut, penting untuk dikaji seperti apa kondisi ekonomi regional di Kalimantan sebenarnya. Dengan mengetahui peta kondisi perekonomian di Pulau Kalimantan maka setiap pengambil kebijakan dapat memutuskan kebijakan pembangunan yang lebih akurat. Implementasi dari metode-metode yang telah dipakai sebelumnya dapat diimplementasikan pada koridor ekonomi lainnya dan pendekatan analisis yang masih jarang digunakan, diharapkan mampu memberi masukan dalam pengambilan kebijakan pembangunan. Berdasarkan uraian paragraf, perlu dilakukan pengkajian terhadap potensi masing-masing daerah sehingga diharapkan muncul pusat pertumbuhan baru.
25
Pengkajian terhadap ketimpangan antarkabupaten/kota dan kesesuaian program pemerintah (MP3EI) terhadap kondisi masing-masing daerah juga perlu diperhatikan agar hasil pembangunan diharapkan mempunyai efek menyebar dan terjadi pemerataan antardaerah di Kalimantan.
1.2
Keaslian Penelitian Dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini
mempunyai persamaan dan perbedaan. Penelitian ini mempunyai persamaan pada beberapa alat analisis dari penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi, sedangkan perbedaannya pada periode penelitian, lokasi, dan variabel yang digunakan. Penelitian tentang pusat-pusat pertumbuhan (growth pole) dan ketimpangan regional telah banyak dilakukan. Sebagai pembanding, diuraikan beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. No.
Peneliti/ Tahun
1
Easterly (2001)
2
Sridhar (2006)
3
Kubis, et.al., (2007)
4
Yang, et. al., (2008)
5
Kokko, et. al., (2010)
6
Adams, et. al., (2011)
Alat Analisis
Hasil Analisis
Studi di Luar Negeri Kemiskinan di Pakistan meningkat dari 22 persen menjadi 32 persen yang disebabkan oleh Regresi dan Indeks Gini instabiltas politik dan ekonomi, tekanan inflasi yang tinggi dan tingkat tabungan yang rendah. Jumlah penduduk di provinsi dan potensi Analisis Regresi Linier pertumbuhannya signifikan terhadap status Berganda aktual dari kutub pertumbuhan. Analisis Cluster, Cross- Daerah metropolitan Jerman dan 22 daerah Sectional NUTS3 adalah kutub pertumbuan terkuat. Models, Spatial Models, Sektor sekunder memberi efek spillover tinggi Treatment Effect Models bagi daerah tetangga. Ketimpangan pembangunan di Cina disebabkan Analisis Cluster oleh ketimpangan perekonomian regional. Tidak adanya ketergantungan positif antara GMM dan Moran’s I pertumbuhan provinsi kaya dengan provinsi sekitarnya. Polaritas pertumbuhan merupakan variabel Regresi OLS dan GMM penjelas dalam pertumbuhan lintas negara untuk menguji sejauh mana limpahan pertumbuhan
26
yang dihasilkan dari kutub pertumbuhan dunia. Afrika Selatan, Botswana, Nigeria, Angola, dan Kenya merupakan kutub-kutub pertumbuhan Polaritas Pertumbuhan dan yang paling konsisten di Sub Sahara Afrika. Analisis Cluster Ghana, Kamerun, Ethiopia, Tanzania, dan Guinea adalah daerah-daerah pusat pertumbuhan potensial di SSA. Ghana gagal melakukan diversifikasi ekonomi ke dalam industrialisasi, khususnya manufaktur. Analisis PDB, PDB perkapita, Ketimpangan di Ghana semakin parah, jumlah dan IPM pengangguran meningkat, utang tinggi, kesenjangan sosial semakin besar, infrastruktur terbelakang. Pertumbuhan industri di Nemamwa (titik Kuesioner, Wawancara, pertumbuhan) berjalan lambat yang disebabkan Observasi Lapangan, dan oleh kurangnya modal, informasi, area kerja, Dokumen tingkat kepemilikan, dan sewa yang tinggi. Studi di Dalam Negeri Desa-desa di Provinsi DIY memiliki Teknik pembobotan, Analisis aksesibilitas lokasi cukup baik, sistem spasial Guttman, Skalogram dan Indeks hirarki pelayanan menunjukkan gejala primasi sentralitas. Analisis Location dan kesenjangan. Basis kegiatan ekonomi Quotient, dan Analisis statistik terletak pada sektor pertanian, dengan dukungan korelasi Spearmann sektor jasa, perdagangan, dan industri. Ketimpangan ekonomi antardaerah di Indonesia Analisis Regresi Linier disebabkan oleh tingginya pendapatan perkapita Berganda Provinsi DKI Jakarta. 1. Hasil analisis overlay menunjukkan tidak satupun kabupaten/kota mempunyai potensi daya saing kompetitif dan komparatif. 2. Hasil analisis Shift Share menunjukkan tidak Analisis Location Quotient, terdapat satupun kabupaten/kota memiliki Analisis Shift Share, Model sektor yang mempunyai keunggulan Rasio Pertumbuhan, Metode kompetitif, tetapi hanya memiliki spesialisasi. Overlay, Tipologi Klassen, 3. Berdasarkan Tipologi Klassen terdapat 3 Penentuan prioritas dengan kabupaten/kota yang termasuk daerah maju Skoring dan range, Metode SIG tertekan, sedangkan 7 kabupaten lainnya untuk pemetaan masuk daerah relatif tertinggal. 4. Sektor perdagangan merupakan sektor yang banyak dimiliki kabupaten/kota di Sulawesi Tengah sebagai sektor prioritas untuk dikembangkan.
7
Ogunleye (2011)
8
Ayelazuno (2013)
9
Mushuku, et.al., (2013)
10
Muta'ali (2003)
11
Chrisyanto (2006)
12
Mangun (2007)
13
Soetopo (2009)
Indeks Williamson (CVw)
Ketimpangan pendapatan antarpulau di Indonesia tergolong dalam taraf ketimpangan rendah dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,210 sampai 0,261.
Sugiyanto, et. al., (2010)
Teknik Pembobotan potensi ekonomi, aglomerasi, potensi sumber daya, dan investasi pemerintah
Terdapat lima kecamatan yang potensial untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, meliputi Kecamatan Bulik, Kecamatan Lamandau, Kecamatan Delang, Kecamatan Belantikan Raya, dan Kecamatan Sematu Jaya.
14
27
15
Kuncoro, et. al., (2010)
Tipologi Kabupaten/Kota, Analisis Location Quotient dan Indeks Transformasi Struktural
16
Danastri (2011)
Analisis Basis Ekonomi, Analisis Gravitasi, Analisis Skalogram, dan Metode Overlay
17
Rochana (2012)
Indeks Williamson
18
Ardila (2012)
Analisis Skalogram dan Indeks Sentralitas, Metode Gravitasi, Analisis Tipologi Klassen dan Analisis Location Quotient
19
Kuncoro (2013)
Indeks Theil Entropi
20
Pamungkas (2013)
Autokorelasi Spasial (Moran’s I) dan Spillover Effects
21
Rahayu, et.al., (2014)
Analisis Skalogram dan Tipologi Klassen
1.3
Rumusan Masalah
Provinsi Kalimantan Timur merupakan provinsi yang mengalami gejala growth without development dan tidak terjadi transformasi struktural di seluruh kabupaten/kota. Perekonomian Provinsi Kalimantan Timur justru mengalami gejala deindustrialisasi. Kelurahan Kecapi, Kelurahan Harjamukti, dan Kelurahan Larangan berpotensi sebagai pusat perdagangan dan jasa, pendidikan, pemukiman, dan kesehatan. Kelurahan Kalijaga berpotensi sebagai pusat pelayanan pemerintah. Kelurahan Argasunya berpotensi sebagai pusat pemukiman. Kesenjangan ekonomi antarwilayah di Indonesia semakin besar pada era otonomi daerah. Diperoleh enam kecamatan di Kabupaten Banjarnegara sebagai pusat pertumbuhan yang saling berinteraksi dengan kecamatan di sekitarnya. Kondisi perekonomian dan sektor basis di tiap kecamatan berbeda-beda. Ketimpangan antardaerah di Indonesia cenderung meningkat selama periode tersebut baik antarpulau maupun di dalam pulau. Kutub-kutub pertumbuhan di KE Sulawesi tidak selalu berada di pusat ibukota provinsi sebagaimana ditetapkan dalam MP3EI. Kutubkutub pertumbuhan terdapat di Makasar, Sidenreng, Rappang, Wajo, Soppeng, Pinrang, Jeneponto, Bantaeng, Selayar, Gorontalo, Morowali, Banggai, Buton, dan Wakatobi Untuk meminimalisir kesenjangan wilayah antarkecamatan di Kabupaten Gunung Kidul, diperoleh 4 kecamatan sebagai pusat pertumbuhan, yaitu Kecamatan Wonosari, Playen, Semanu dan Karangmojo.
Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar di Indonesia dengan luas 546.559,76 km2 atau 29,38 persen dari luas wilayah Negara Indonesia. Sejak pembangunan ekonomi dicanangkan, Pulau Kalimantan berperan penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia dan merupakan salah satu penghasil devisa negara yang besar. Sebagai gambaran pada Tahun 1987, hanya Provinsi Kalimantan Timur yang menghasilkan 21 persen pendapatan ekspor Indonesia
28
(MacKinnon, et. al., 2000 dalam Kuncoro, 2013: 231) dan merupakan daerah dengan performa kemakmuran yang konsisten selain Provinsi DKI Jakarta. Karena kekayaan alamnya tersebut, dari enam koridor ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah melalui MP3EI, Pulau Kalimantan ditetapkan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional. Walaupun Pulau Kalimantan kaya akan sumber daya alam seperti migas, batubara, emas, hasil-hasil hutan yang melimpah, dan memiliki potensi untuk dikembangkan, namun perekonomian wilayah Kalimantan hanya mampu menyumbang 8,4 persen terhadap perekonomian Indonesia pada Tahun 2012. Hasil pembangunan di Pulau Kalimantan belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, sebagaimana tercermin dari masih banyaknya keluarga miskin, pengangguran, dan meningkatnya ketimpangan antardaerah (Kuncoro, 2010: 173). Berdasarkan hasil klasifikasi daerah seluruh provinsi di Indonesia Tahun 2001-2008 (Kuncoro, 2013: 246), Provinsi Kalimantan Timur merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang termasuk dalam klasifikasi daerah cepat maju dan tumbuh, dan penyumbang terbesar terhadap PDRB Pulau Kalimantan serta perekonomian nasional. Perbedaan nilai pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang cukup mencolok antarkabupaten/kota di Pulau Kalimantan menunjukkan bahwa pembangunan dan distribusi pendapatan di Kalimantan belum terlaksana secara merata.
1.4
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, diajukan pertanyaan–pertanyaan
penelitian sebagai berikut.
29
1. Di mana lokasi pusat-pusat pertumbuhan menurut kabupaten/kota di Pulau Kalimantan selama periode 2000-2012? 2. Apakah terdapat konsentrasi pertumbuhan di sekitar pusat-pusat pertumbuhan kabupaten/kota di Pulau Kalimantan? 3. Sektor ekonomi apa saja yang menjadi sektor unggulan dan kompetitif di kabupaten/kota di Pulau Kalimantan dan prioritas pembangunan apa saja yang harus dilakukan di masing-masing klaster? 4. Apakah transformasi struktural terjadi di seluruh kabupaten/kota di Pulau Kalimantan? 5. Bagaimana trend hubungan ketimpangan regional antarkabupaten/kota di Pulau Kalimantan?
1.5
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan, tujuan utama
penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk
melihat
kondisi
perekonomian
Koridor
Ekonomi
Kalimantan
dibandingkan dengan koridor ekonomi lainnya. 2. Melakukan identifikasi pusat-pusat pertumbuhan menurut kabupaten/kota. 3. Mengetahui konsentrasi pertumbuhan yang terjadi di sekitar daerah pusat-pusat pertumbuhan. 4. Mengetahui sektor-sektor yang menjadi sektor unggulan dan kompetitif di kabupaten/kota dan menentukan prioritas pembangunan yang harus dilakukan di masing-masing klaster.
30
5. Mengetahui apakah terjadi transformasi struktural atau tidak di seluruh kabupaten/kota. 6. Menganalisis kondisi ketimpangan regional di masing-masing kabupaten/kota dan
mengetahui
apakah
pertumbuhan
ekonomi
dapat
mempengaruhi
ketimpangan yang terjadi di masing-masing kabupaten/kota. 7. Mengetahui kesesuaian penentuan rencana pembangunan enam koridor ekonomi dalam naskah MP3EI.
1.6
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi
pemerintah,
diharapkan
penelitian
ini
dapat
dijadikan
bahan
pertimbangan/kajian dalam rangka pengambilan kebijakan pembangunan secara umum di wilayah Indonesia dan secara khusus di Kawasan Ekonomi Kalimantan dalam pencapaian target MP3EI Tahun 2025. 2. Diharapkan mampu mengidentifikasi masalah-masalah utama dalam masingmasing klaster sehingga dapat memberikan solusi kebijakan sesuai dengan kebutuhan di masing-masing klaster. 3. Memperkaya khasanah studi mengenai penggunaan analisis faktor dan analisis cluster dalam kebijakan regional.
1.7
Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Kalimantan yang mencakup 4 provinsi
yang terdiri dari 9 kota dan 46 kabupaten. Bertujuan untuk mengidentifikasi pusat-pusat pertumbuhan dan ketimpangan regional antarkabupaten/kota di Pulau
31
Kalimantan dengan periode amatan Tahun 2000–2012. Fokus teori utama dalam penelitian ini adalah teori pertumbuhan ekonomi, teori klasifikasi wilayah dan teori pusat pertumbuhan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dan berbasis pada analisis data sekunder dengan alat analisis sebanyak 9 (sembilan) yang terdiri dari 7 alat analisis untuk menentukan pusat pertumbuhan dan sektor-sektor unggulan masing-masing daerah, serta 2 alat analisis untuk menganalisis ketimpangan antarkabupaten/kota di Pulau Kalimantan.
1.8
Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini dibagi dalam lima bab yaitu: Bab I, menguraikan
tentang Pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, keaslian penelitian, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, lingkup penelitian, dan sistematika penulisan penelitian. Bab II adalah Kajian Pustaka yang berisi tentang penjelasan teori dan konsep yang relevan dengan topik penelitian. Bab ini juga akan mengidentifikasi studi empiris yang telah dilakukan sebelumnya dengan topik yang sama dengan penelitian ini. Bab III, pada intinya menjelaskan tentang desain penelitian, jenis data, variabel dan metoda analisis yang digunakan dalam penelitian ini, termasuk definisi operasional variabel yang digunakan, dan penjelasan mengenai analisis tipologi daerah, analisis basis ekonomi, analisis ketimpangan wilayah,
analisis
transformasi struktural, analisis autokorelasi spasial, analisis faktor, dan analisis klaster. Bab IV, berisi tentang gambaran umum kondisi sosial ekonomi kabupaten/kota di Pulau Kalimantan, hubungan antarvariabel dan hasil analisis tipologi daerah, analisis basis ekonomi, analisis ketimpangan wilayah, analisis
32
transformasi struktural, analisis autokorelasi spasial, analisis faktor, dan analisis klaster serta pemetaan dengan GIS. Bab ini secara khusus mengidentifikasi hasil klasifikasi wilayah dan melihat lebih dalam ciri-ciri khusus dari masing-masing wilayah. Bab terakhir yaitu Bab V, berisi tentang kesimpulan dan saran, yang merangkum penemuan utama penelitian ini dan hasil analisis serta masukan implikasi kebijakan untuk pemerintah.
33