BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Fungsi seksual merupakan bagian dari fungsi yang mempengaruhi kualitas hidup manusia. Fungsi seksual dalam hubungan seksual suami istri, pada dasarnya tidak selalu diidentikkan semata-mata untuk menghasilkan keturunan (prokreasi), namun juga sangat bermakna untuk kesenangan (rekreasi) bagi pasangan tersebut. Tidak bisa dipungkiri suasana dan hasil yang menyenangkan dari hubungan seksual suami istri, akan menambah kasih sayang diantara keduanya, dan secara keseluruhan berdampak positif dalam kehidupan keluarga. Manusia senantiasa mengembangkan daya khayalnya untuk menciptakan variasi aktivitas demi mendapatkan kenikmatan seksual. Dari sinilah timbul istilah kelainan seksual, meskipun ini bersifat subyektif, karena apa yang disebut kelainan bagi seseorang, biasanya merupakan kegiatan normal bagi yang lain. Gangguan seksual dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, edisi III (PPDGJ III) terbagi dalam kelompok kecil, yaitu: Disfungsi Seksual bukan disebabkan oleh gangguan atau penyakit organik (F52) menjadi bagian dari Sindrom Perilaku yang Berhubungan dengan Gangguan Fisiologis dan Faktor Fisik (F50-59). Gangguan identitas jenis kelamin (F64), Gangguan Perferensi Seksual (F65) dan Gangguan Psikologis dan Perilaku yang berhubungan dengan perkembangan dan orientasi seksual (F66) yang termasuk gangguan terkait dengan hetero-, homo-, dan biseksual dalam berbagai variasi, masuk
kedalam kelompok besar Gangguan Kepribadian dan Perilaku Masa Dewasa (F6069). Gangguan seksual tidak hanya berdampak pada penderita, tetapi juga pada pasangannya. Salah satu gangguan fungsi seksual yang banyak ditemui di masyarakat adalah gangguan disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap
atau
terus-menerus
(setidaknya
3
bulan)
untuk
mencapai
atau
mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan (Glen, 2014, Balon, 2014). Pada umumnya penyebab disfungsi ereksi dikelompokkan menjadi 2 faktor, yaitu faktor fisik dan faktor psikologis. Faktor psikologis disebabkan oleh depresi, kecemasan, stres. Faktor fisik meliputi gangguan atau penyakit yang berkaitan dengan: gangguan hormon, pembuluh darah dan saraf, gaya hidup tidak sehat yaitu dengan mengkonsumsi minuman beralkohol berlebihan, dan merokok (Familia, 2010; Pangkahila, 2011; Irianto, 2014). Salah satu penyebab disfungsi ereksi adalah rokok yang mengandung banyak bahan kimia. Kandungan rokok sangat berbahaya bagi perokok aktif maupun yang bukan perokok namun berada di sekitarnya (perokok pasif) (Fitriani, 2010). Pada hasil survey Massachusetts Male Aging Study (MMAS) menemukan bahwa merokok memiliki resiko 24% terjadinya disfungsi ereksi sedang dan berat, sementara pada bukan perokok hanya memiliki resiko sebesar 14%, dan pada penelitian lain menemukan bahwa kebiasaan merokok pada laki-laki yang berumur 30-40 tahun dapat meningkatkan prevalensi disfungsi ereksi sebanyak 40% (Kumar, 2010).
Kebiasaan merokok dapat merusak pembuluh darah, karena kandungan nikotin pada rokok dapat menyempitkan arteri yang menuju penis sehingga mengurangi aliran darah dan tekanan darah menuju penis. Ereksi tidak dapat terjadi bila darah tidak mengalir bebas ke penis. Efek ini meningkat seiring dengan peningkatan lamanya paparan asap nikotin (Gondodiputro, 2007; Horasanli dkk, 2008; Familia, 2010). Selain itu nikotin juga dapat berpengaruh langsung pada fungsi endotel dan otot polos ruang-ruang korpus kavernosum penis, akibatnya fungsi relaksasi ruang pembuluh darah di dalam penis terganggu sehingga aliran darah terhambat dan ereksi terganggu atau tidak terjadi. Nikotin pada perokok yang beredar melalui darah akan dibawa ke seluruh tubuh termasuk organ reproduksi. Nikotin juga akan mengganggu proses spermatogenesis sehingga menganggu kualitas sperma menjadi buruk (Kumar, 2010). Sebuah penelitian di Hong Kong, terhadap 819 laki-laki perokok berusia 3160 tahun, didapatkan prevalensi disfungsi ereksi adalah 44,7% dikalangan laki-laki perokok (Lam dkk, 2006). Studi ini menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor risiko independen untuk disfungsi ereksi vaskulogenik dan menggaris bawahi kemungkinan merokok dapat bertindak secara sinergis dengan faktor risiko lainnya. Kebiasaan merokok satu setengah kali lebih mungkin untuk terkena disfungsi ereksi dibandingkan yang tidak merokok (Pangkahila, 2011; Irianto, 2014). Disfungsi ereksi hanya didasarkan pada 2 penilaian, yaitu kepuasan seksual responden dan kesulitan responden selama berhubungan seksual. Dalam studi lain
menjelaskan bahwa laki-laki perokok memiliki risiko 1,42 kali menderita disfungsi ereksi dibandingkan bukan perokok (Gades dkk, 2007). Angka kejadian disfungsi ereksi di beberapa daerah di Indonesia, menyebutkan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, bahwa dari 41 responden yang mempunyai kebiasaan merokok, 58,3% mengalami disfungsi ereksi sedangkan yang tidak mengalami disfungsi ereksi sebanyak 10,0% (Grace, 2014). Demikian pula penelitian lain melaporkan, bahwa secara keseluruhan penelitian pada laki-laki dengan kebiasaan merokok yang berpengaruh terhadap fungsi ereksi, didapatkan seluruh responden mengalami disfungsi ereksi dan dengan tingkatan yang berbedabeda (Nurbaiti dkk., 2015). Sepanjang penelusuran penulis melalui media internet, di Bali khususnya di Kabupaten
Klungkung,
belum
ada
penelitian
tentang
hubungan
derajat
ketergantungan merokok dengan kejadian disfungsi ereksi. Menurut data di Dinas Kesehatan Kabupaten Klungkung tahun 2014 diperoleh penyakit tertinggi pada sistem pernapasan yang dapat disebabkan oleh paparan nikotin, kasus banyak dijumpai pada tiga Kecamatan di Kabupaten Klungkung daratan. Kabupaten Klungkung mempunyai luas wilayah 315 km2 dengan jumlah penduduk 174.800 jiwa, jumlah penduduk laki-laki berumur sekitar 30-40 tahun adalah 12.100 jiwa, terdiri dari 4 Kecamatan yaitu 3 Kecamatan di Klungkung daratan yaitu: Kecamatan Banjarangkan, Kecamatan Klungkung, Kecamatan Dawan dan Kecamatan Nusa Penida
Gambar 1.1 Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Klungkung
Berdasarkan data tersebut dan juga melihat banyaknya kebiasaan merokok pada laki-laki di Kabupaten Klungkung, yang kurang memahami dampak buruk dari rokok, maka peneliti mencoba melakukan penelitian di Kabupaten Klungkung terkait Hubungan Derajat Ketergantungan Merokok terhadap kejadian Disfungsi Ereksi pada laki-laki di Kabupaten Klungkung.
1.2 Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah ada hubungan derajat ketergantungan merokok terhadap kejadian disfungsi ereksi pada laki-laki perokok di Kabupaten Klungkung ?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara derajat ketergantungan merokok dengan terjadinya disfungsi ereksi pada laki-laki perokok di Kabupaten Klungkung. 2. Tujuan khusus penelitian adalah untuk menentukan hubungan antara derajat merokok dengan derajat keparahan disfungsi ereksi.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Secara akademis, penelitian ini dapat menjadi literatur tambahan bagi studi terkait ketergantungan merokok dalam kaitannya dengan kejadian disfungsi ereksi Bagi Instansi Dinas kesehatan dan Puskesmas setempat, dapat memberikan rekomendasi kebijakan tindakan preventif secara dini sehingga dapat meminimalisir tingkat kejadian disfungsi ereksi akibat ketergantungan merokok pada laki-laki perokok di Kabupaten Klungkung