BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai oleh tersedianya kesempatan kerja produktif bagi penduduk yang tumbuh begitu cepat, nampaknya kurang berhasil mengurangi laju kemiskinan di suatu negara sedang berkembang (Arsyad, 2010: 280). Fakta ini juga terjadi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menguat selama periode tahun 1999-2013 (Bank Dunia, 2015), ternyata hanya diikuti tingkat penurunan kemiskinan yang cenderung melambat dari tahun ke tahun. Dalam satu dekade terakhir, penurunan terendah terjadi di tahun 2014, yaitu menurun satu persen dari tahun sebelumnya. Nampaknya, isu kemiskinan ini masih memerlukan perhatian serius pemerintah Indonesia. Salah satu masalah krusial terkait kemiskinan yang dialami oleh suatu negara, termasuk Indonesia, adalah masalah pengukurannya. Selama ini, kemiskinan dianggap sebagai fenomena berdimensi tunggal, yang pengukurannya hanya dikaitkan dengan masalah moneter, yaitu kekurangan pendapatan atau pengeluaran. Kemiskinan moneter ini ditentukan berdasarkan garis kemiskinan. Seseorang dapat dikategorikan miskin jika rata-rata pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan, dan sebaliknya, jika seseorang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di atas garis kemiskinan, dapat dikategorikan tidak miskin (Tsui, 2002). Pengukuran kemiskinan yang menekankan dimensi moneter memang mudah namun hasilnya tidak memuaskan. Ketidakpuasan terhadap pengukuran
1
kemiskinan moneter mulai muncul ketika bukti empiris menunjukkan bahwa, laju pertumbuhan ekonomi pada tingkat nasional ternyata tidak mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran di negara-negara sedang berkembang secara langsung. Pernyataan tersebut disampaikan dalam World Employment Conference pada 1976 (Muro et al., 2011). Sen (1979; 1981) dan Alkire dan Santos (2014) telah merangkum 6 kelemahan pengukuran kemiskinan moneter. Keenam kelemahan tersebut adalah: (1) pola perilaku konsumsi masing-masing individu tidak selalu sama, sehingga pencapaian pada suatu garis kemiskinan (pendapatan atau pengeluaran) tertentu tidak menjamin seseorang sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya; (2) dalam pemenuhan kebutuhannya, masing-masing individu dihadapkan pada tingkat harga yang kemungkinan berbeda, hal ini akan mengurangi tingkat akurasi dari garis kemiskinan dengan pendekatan pendapatan atau pengeluaran tersebut; (3) kemampuan masing-masing individu untuk mengonversikan sejumlah tertentu pendapatan atau pengeluaran sesuai fungsinya sangat beragam, yang dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, kesehatan, lokasi, iklim, dan kondisi ketidakmampuan seseorang; (4) kualitas pelayanan, seperti ketersediaan air bersih, kesehatan, dan pendidikan yang terjangkau, seringkali tidak tersedia di pasar; (5) tidak dapat menjelaskan distribusi pendapatan dalam rumah tangga; (6) studi partisipatif menunjukkan bahwa individu yang mengalami kemiskinan menggambarkan ketidakmampuannya dalam mencukupi kebutuhan, selain rendahnya pendapatan.
2
Pengukuran kemiskinan yang melibatkan multidimensi diperlukan untuk mengatasi ketidakpuasan penggunaan pendekatan pengukuran kemiskinan moneter. Seperti dikemukakan oleh Muro et al. (2011), beberapa masalah sosial ekonomi merupakan fenomena yang kompleks, “complexity also implies multidimensonality”, sehingga diperlukan pendekatan yang lebih tepat untuk merepresentasikan fenomena yang kompleks dan kenyataan yang bersifat multidimensi tersebut. Kemiskinan yang secara tradisional masih dipandang sebagai kekurangan dari sisi pengeluaran atau pendapatan, akhirnya berkembang menjadi fenomena yang bersifat multidimensi (Yu, 2013). Kemiskinan multidimensi tidak hanya terbatas sebagai topik diskusi akademis murni namun telah meluas menjadi perdebatan kebijakan baik domestik maupun internasional (Ferreira dan Lugo, 2013). CONEVAL, Dewan Nasional Meksiko untuk Evaluasi Kebijakan Sosial telah mengadopsi indeks kemiskinan multidimensi sebagai ukuran resmi kemiskinan negara tersebut sejak Desember 2009. Kemiskinan di negara tersebut diukur dengan memperhitungkan komponenkomponen sosial penting kemiskinan, seperti kualitas perumahan serta akses ke pelayanan kesehatan dan makanan, yang seringkali diabaikan dalam menetapkan ukuran kemiskinan (Launch of Mexico’s New Poverty Measure, 2009). Langkah Meksiko tersebut selanjutnya diikuti oleh Columbia. Pada tahun 2011, Presiden Columbia mengumumkan tentang penggunaan indeks kemiskinan multidimensi sebagai ukuran resmi kemiskinan negara tersebut. Studi tentang kemiskinan multidimensi juga mendorong Yu (2013) untuk mengestimasi kemiskinan multidimensi di China, suatu negara dengan angka
3
disparitas tinggi, tidak hanya antarprovinsi namun juga antarklasifikasi wilayah perdesaan dan perkotaan. Penelitian Yu menghasilkan temuan bahwa pesatnya tingkat pertumbuhan ekonomi berdampak pada turunnya angka kemiskinan di China selama beberapa tahun terakhir, baik dari sisi moneter maupun multidimensi. Studi tentang kemiskinan multidimensi di Indonesia juga telah dilakukan oleh sejumlah peneliti, seperti: Wardhana (2010), Alkire dan Foster (2011), serta Ballon dan Apablaza (2012). Studi-studi tersebut dilakukan pada level provinsi dengan metode dan dimensi kemiskinan yang berbeda-beda. Meskipun studi kemiskinan multidimensi di Indonesia telah dilakukan oleh sejumlah peneliti, namun penelitian serupa masih diperlukan, terutama studi kemiskinan pada level yang lebih kecil yaitu kabupaten/kota, seperti halnya yang dilakukan oleh Prabowo (2012), Budiantoro dkk. (2013), serta Hanandita dan Tampubolon (2015). Studi kemiskinan multidimensi dalam penelitian ini dilakukan di kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Studi kemiskinan multidimensi di Provinsi Jawa Tengah penting, sebab salah satu permasalahan strategis yang terjadi di Jawa Tengah adalah tingginya persentase jumlah penduduk miskin (secara moneter) yang melebihi persentase rata-rata nasional. Pada September 2013, presentase jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah adalah 14,44 persen jauh melebihi presentase jumlah penduduk miskin di tingkat nasional yang hanya 11,47 persen (BPS, 2014: 21). Meskipun tren persentase jumlah penduduk miskin cenderung menurun, namun persentase jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah
4
adalah yang tertinggi kedua setelah D.I. Yogyakarta untuk seluruh wilayah Jawa. Gambar 1.1 menunjukkan presentase jumlah penduduk miskin baik di tingkat Jawa Tengah maupun nasional, selama kurun waktu 2011—2013. Indonesia
2011 20,00 15,76 15,00 10,00 12,49
September 2013 14,44
5,00 11,47
Maret 2012 11,96
15,34
0,00 11,37
14,56
Maret 2013
11,66
14,98 September
2012
Sumber: BPS 2011—2013, diolah Gambar 1.1 Persentase Jumlah Penduduk Miskin di Jawa Tengah dan Nasional, 2011—2013
Selain persentase jumlah penduduk miskin yang jauh melebihi angka nasional, ternyata pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah yang mencapai 5,81 persen pada tahun 2013, hanya menempati posisi terendah kedua di antara provinsi lain yang berada di wilayah di Pulau Jawa, meskipun angka tersebut masih berada di atas angka nasional (5,78 persen). Data mengenai pertumbuhan ekonomi dan persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah selama 2013 ditunjukkan pada Tabel 1.1. Data tersebut semakin menguatkan alasan tentang pentingnya studi kemiskinan, dan kaitannya dengan tingkat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah, melalui analisis kemiskinan multidimensi di level kabupaten/kota.
5
Tabel 1.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin serta Pertumbuhan Ekonomi se-Pulau Jawa, 2013
Provinsi
Jumlah Penduduk Miskin (000)
Persentase Penduduk Miskin (%)
Pertumbuhan Ekonomi 2013 (%)
Maret 2013 September 2013 Maret 2013 September 2013 (1) (2) DKI Jakarta 354,19 Jawa Barat 4.297,04 Banten 656,24 Jawa Tengah 4.732,95 D.I. Yogyakarta 550,19 Jawa Timur 4.771,26 Indonesia 28.066,55 Sumber: BPS (2013), diolah
(3) 375,70 4.382,65 682,71 4.704,87 535,18 4.865,82 28.553,93
(4) 3,55 9,52 5,74 14,56 15,43 12,55 11,37
(5) 3,72 9,61 5,89 14,44 15,03 12,73 11,47
(6) 6,24 6,05 5,86 5,81 5,40 6,59 5,78
Pengujian hubungan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan yang diukur dengan multidimensi, semestinya juga memberikan alasan pentingnya studi ini, sebab pengujian hubungan tersebut pada kebanyakan studi sebelumnya dilakukan dengan pengukuran yang berbeda. Jika kemiskinan diukur dengan dimensi tunggal (moneter), hubungan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan adalah linier negatif (lihat Ravallion dan Chen, 1997; Dollar dan Kraay, 2002; Bourguinon, 2004; Iradian, 2005; Ghosh, 2011; Guiga dan Rejeb, 2012; dan Le et al., 2014). Hasil yang sama ditunjukkan pada Gambar 1.2, bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan pendekatan PDRB per kapita ADHK 2000 dan kemiskinan moneter berdasarkan perhitungan BPS adalah linier negatif. Bagaimanakah hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan yang diukur dengan multidimensi. Hal ini juga menjadi pusat perhatian dalam studi kemiskinan multidimensi ini.
6
Sumber: BPS, 2011—2013 ( diolah) Gambar 1.2 Persentase Jumlah Penduduk Miskin dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota se-Provinsi Jawa Tengah, 2011—2013
Pertumbuhan ekonomi yang meningkat seharusnya mampu memberikan manfaat yang lebih besar dalam mengurangi tingkat kemiskinan (Kakwani dan Son, 2006). Konsistensi hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan yang diukur dengan pendekatan multidimensi semestinya memberikan manfaat yang lebih besar bagi pembuat kebijakan, sehingga dapat menentukan sasaran yang lebih tepat dan terukur dalam menyusun perencanaan dan membuat program-program penanggulangan kemiskinan. Selain itu, dengan memandang kemiskinan bukan hanya sebagai fenomena yang bersifat unidimensional namun sebagai bentuk deprivasi dari berbagai dimensi serta beberapa permasalahan strategis yang terjadi, maka menarik untuk meneliti dan menganalisis variabel kemiskinan yang diukur dengan pendekatan multidimensi di Provinsi Jawa Tengah.
7
1.2 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai kemiskinan multidimensi dengan cakupan penelitian yang lebih spesifik, misalnya pada tingkat provinsi maupun kabupaten, belum banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa peneliti yang tercatat pernah melakukan penelitian kemiskinan multidimensi di Indonesia sebelumnya, antara lain: Wardhana (2010), Alkire dan Foster (2011), Prabowo (2012), Budiantoro dkk. (2013), serta Hanandita dan Tampubolon (2015). Wardhana (2010), misalnya, mengadakan penelitian mengenai kemiskinan multidimensi di Indonesia menggunakan data IFLS 1993—2007, dengan metode penghitungan kemiskinan multidimensi Multiple Correspondence Analysis (MCA). Selanjutnya, Alkire dan Foster (2011) mencoba menghitung kemiskinan multidimensi di Indonesia, dengan sumber data yang sama namun rentang waktu dan metode pengukuran berbeda, yaitu data IFLS tahun 2000. Dalam penelitian ini, Alkire dan Foster mencoba mengaplikasikan metode temuannya yang diberi nama metode Alkire-Foster. Mengacu pada metode yang sama seperti yang diterapkan dalam penelitian Alkire dan Foster (2011) sebelumnya, Budiantoro dkk. (2013), serta Hanandita dan Tampubolon (2015) berusaha mengaplikasikan metode Alkire-Foster dalam penelitiannya tentang kemiskinan multidimensi dengan cakupan wilayah Indonesia.
Sementara
Prabowo
(2012),
mencoba
meneliti
kemiskinan
multidimensi dalam lingkup yang lebih kecil yaitu tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo. Selanjutnya pada 2014,
8
Badan Pusat Statistik (BPS) juga pernah mengulas tentang penelitian sejenis, namun terbatas pada rumah tangga petani. Meskipun penelitian kemiskinan multidimensi di Indonesia masih jarang dilakukan, beberapa penelitian bertema serupa sejatinya telah banyak dilakukan di luar negeri, seperti: Muro et al. (2011), Salahudin dan Zaman (2012), Yu (2013), Le et al. (2015), serta Alkire dan Santos (2014). Muro et al. (2011) mencoba memperkenalkan metode baru untuk menghitung kemiskinan multidimensi, yaitu: Mazziota-Pareto Approach. Berbeda dengan Muro et al. (2011), Salahudin dan Zaman (2012), Yu (2013), Le et al. (2015), serta Alkire dan Santos (2014) tetap konsisten untuk menerapkan metode Alkire-Foster dalam penelitian kemiskinan multidimensinya. Sementara itu, penelitian tentang pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan yang masih dipandang sebagai fenomena unidimensional, telah banyak dilakukan. Guiga dan Rejeb (2012), misalnya, menggunakan analisis regresi data panel dengan model regresi double-log untuk mengestimasi pengaruh pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan. Hasil temuannya adalah pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Beberapa penelitian dengan temuan serupa juga dilakukan oleh Dollar dan Kraay (2002) serta Le et al. (2014). Sementara itu, variabel independen berbeda digunakan oleh Saleh (2002) untuk meneliti faktor-faktor penentu kemiskinan regional di Indonesia. Tabel 1.2 merupakan ringkasan dari beberapa penelitian terdahulu tentang kemiskinan multidimensi dan pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan moneter.
9
2. Muro, Mazziotta, dan Pareto (2011)
Composite Indices of Development and Poverty: An Application to MDGs
Metode Data (4) Data IFLS 1993— 2007
Data MDGs 2003— 2006
Metode
Model
Temuan
(5) (6) Metode Multiple Metode ini menggunakan 3 dimensi Correspondence dasar, yaitu: pendidikan, kesehatan, dan Analysis (MCA) standar hidup, sehingga menghasilkan CIP (Composite index of Poverty). Metode MazziottaPareto Approach
(7) Kemiskinan di Indonesia periode 1993-2007 merupakan fenomena perdesaan dan lebih bersifat kronis meskipun cenderung mengalami penurunan. Metode penghitungan kemiskinan = + cvi merupakan indeks kemiskinanHPI dan Mazziotta-Pareto Index (MPI) memberikan gambaran yang yang dicari, dengan: hampir sama, namun jika ∑ ( ∑ ) = ; = ;dibandingkan dengan HDI menunjukkan hasil yang berbeda. dan cv = i
3
Prabowo (2012)
Analisis dan Pemetaan Susenas Kemiskinan Provinsi 2008 dan Sulawesi Utara dan 2011 Gorontalo, 2008 dan 2011 (Pendekatan Multidimensional dan Moneter)
4. Salahudin dan Multidimensional HIES, PSLM Zaman (2012) Poverty Measurement 1998—2006 in Pakistan: Time serta (PDHS) Series Trends and 2006—2007 Breakdown 5. Yu (2013) Multidimensional (CHNS) Poverty in China: 2000— Findings Based on the 2009 CHNS
Metode Alkire- Penghitungan kemiskinan multidimensi Foster dalam penelitian ini menggunakan 3 dimensi, yaitu: pendidikan, kesehatan, dan standar hidup
Kemiskinan yang diukur dengan hanya mempertimbangkan dimensi moneter memberikan gambaran yang berbeda dengan hasil pengukuran kemiskinan multidimensi dan merupakan fenomena perdesaan.
Metode Alkire- Foster
Selama kurun waktu 1998-2006, dimensi Pendidikan dan Kesehatan merupakan dimensi yang paling membutuhkan perhatian.
Metode Alkire- Foster
Menggunakan 7 dimensi, yaitu: standar hidup, kesehatan, air dan sanitasi, kualitas udara, aset, pendidikan, serta mata pencaharian.
Menggunakan 5 dimensi, yaitu: China memiliki tingkat disparitas pendapatan, standar hidup, pendidikan, yang tinggi, tingkat kemiskinan di kesehatan, dan keamanan sosial dan 8 perdesaan 1,5 kali lebih tinggi indikator. daripada kemiskinan di perkotaan.
Tabel 1.2 Ringkasan Penelitian Terdahulu
Pengarang/ Peneliti Judul (Tahun) (1) (2) (3) 1. Wardhana Multidimensional (2010) Poverty Dynamics in Indonesia (1993 2007)
No.
10
7.
Le, Nguyen dan Multidimensional Pung (2015) Poverty: First Evidence from Vietnam
8.
Hanandita dan Tampubolon (2015)
9. Dollar dan Kraay (2002) 10. Guiga dan Rejeb (2012)
11. Saleh (2002)
Metode Data (4) Survei RTUP ST 2013
Metode
Model
(5) (6) Metode Menggunakan 3 dimensi, yaitu: Alkire- Foster kesehatan, pendidikan, dan standar hidup dan 10 indikator dengan cutoff 33,33 persen.
VHLSS 2010 dan 2012
Temuan (7) Persentase kemiskinan multidimensi RTUP dengan pendapatan utama dari sektor pertanian (26,53 persen) adalah jauh lebih besar jika dibandingkan RTUP dengan pendapatan utama selain sektor pertanian (11,59 persen). Ditemukan terdapat perbedaan hasil yang signifikan antara penghitungan kemiskinan moneter dan kemiskinan multidimensi.
Metode Menggunakan 5 dimensi, yaitu: Alkire- Foster kesehatan, pendidikan, asuransi dan bantuan sosial, kondisi kehidupan, serta akses informasi dan partisipasi sosial; dengan 16 indikator. Multidimensional Susenas Metode Menggunakan 3 dimensi, yaitu: Penelitian menunjukkan bahwa Poverty in Indonesia: 2003— Alkire- Foster kesehatan, pendidikan, dan pengurangan kemiskinan moneter Trend Over the Last 2013 pendapatan, serta 10 indikator yang terjadi di Indonesia selama Decade (2003—2013) dekade terakhir, tidak dibarengi oleh penurunan dari sisi non moneter. Growth is Good for 137 negara, Regresi OLS Menggunakan regresi OLS dengan Pertumbuhan berperan penting dalam the Poor 1950—1999 model: = α0 + α1yct+ α2 Xyct +µ c+ εct menurunkan angka kemiskinan. Poverty, Growth and 52 NSB, Regresi data Inequality in 1990—2005 panel Developing Countries
Model regresi linear sederhana dengan data panel: Log Pit = αi + α1 logGDPit + α2 logGiniit +α3logInfit+α4 logSavingit++ α5 logSchoolit +εit Faktor-faktor Penentu IHDR, Regresi data Model regresi linear: Tingkat Kemiskinan 1996—1999 panel POVit = αit + γi + εit Regional di Indonesia
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Pertumbuhan pendapatan riil per kapita memiliki peranan penting dalam mengurangi tingkat kemiskinan moneter IPM dan tingkat kesenjangan pendapatan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan per provinsi di Indonesia.
Tabel 1.2 Lanjutan
Pengarang/ Peneliti Judul (Tahun) (1) (2) (3) 6. BPS Provinsi Analisis Sosial Jawa Tengah Ekonomi Petani di (2014) Jawa Tengah
No.
11
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah wilayah, periode, serta variabel penelitian. Wilayah yang menjadi fokus penelitian adalah Provinsi Jawa Tengah, dengan rentang waktu 2011—2013. Untuk pengukuran kemiskinan multidimensi mengadopsi dari teori dan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu berdasarkan buku panduan Alkire dan Santos (2010; 2014), Prabowo (2012), Hanandita dan Tampubolon (2015), serta beberapa jurnal terkait, akan tetapi disesuaikan dengan ketersediaan data dan konsep yang ada di Indonesia. Selain itu, penelitian ini mencoba untuk menguji pengaruh pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan PDRB per kapita ADHK 2000 terhadap tingkat kemiskinan multidimensi di Jawa Tengah, periode 2011—2013 dengan mengacu pada jurnal Dollar dan Kraay (2002), Saleh (2002), serta Guiga dan Rejeb (2012), dan beberapa jurnal lain yang relevan dengan penelitian.
1.3 Rumusan Masalah Beberapa kritikan dan kelemahan terkait pengukuran kemiskinan yang hanya memandang kemiskinan dari 1 dimensi, yaitu pendapatan (monetary approach) telah banyak disampaikan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Hal ini memunculkan dugaan bahwa pengukuran kemiskinan dengan menggunakan 1 sisi pendekatan, misalnya pendapatan atau pengeluaran sebagai indikator tunggal dinilai kurang memadai. Pengukuran kemiskinan yang kurang tepat dapat berdampak pada kebijakan pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program
penanggulangan
kemiskinan
(Suryahadi,
2012).
Untuk
mengantisipasi hal tersebut, maka dirasa perlu melakukan pendekatan dalam mengukur kemiskinan ditinjau dari beberapa dimensi berbeda (multidimensi).
12
Dengan memandang kemiskinan sebagai fenomena yang bersifat multidimensi, maka kemiskinan multidimensi perlu dihadirkan sebagai pelengkap terhadap pengukuran kemiskinan unidimensional yang bersifat monetary approach (kemiskinan moneter). Selain itu, belum tereksplorasinya kemiskinan yang diukur dengan pendekatan multidimensi serta beberapa permasalahan strategis terkait kemiskinan yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah menjadi salah satu motivasi terpenting untuk melakukan penelitian ini. Namun demikian, penelitian tentang kemiskinan multidimensi yang dilakukan di Indonesia, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lebih banyak difokuskan pada analisis dan sebaran kemiskinan multidimensi tersebut di suatu wilayah. Sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian terdahulu yang menganalisis bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan dengan pendekatan multidimensi. Seandainya ada, maka penelitian-penelitian terdahulu lebih fokus kepada pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan moneter. Oleh karena itu, apakah terdapat pengaruh pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan PDRB per kapita ADHK 2000 terhadap tingkat kemiskinan multidimensi di Jawa Tengah menjadi pertanyaan hipotesis yang mendorong penelitian ini.
1.4 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, pertanyaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana kondisi kemiskinan multidimensi di Jawa Tengah beserta sebaran spasialnya, selama kurun waktu 2011—2013?
13
2. Apakah terdapat pengaruh pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan pendekatan PDRB per kapita ADHK 2000 terhadap tingkat kemiskinan multidimensi di Jawa Tengah, selama kurun waktu 2011—2013?
1.5 Tujuan Penelitian Mengacu pada beberapa literatur yang sudah disebutkan sebelumnya dan permasalahan strategis yang ada di Provinsi Jawa Tengah, menarik untuk diteliti mengenai kondisi dan sebaran spasial kemiskinan multidimensi di Provinsi Jawa Tengah. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengukur, menganalisis, dan memetakan kondisi kemiskinan multidimensi di Jawa Tengah, selama kurun waktu 2011—2013. 2. Menguji ada tidaknya pengaruh pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan PDRB per kapita ADHK 2000 terhadap tingkat kemiskinan multidimensi di Jawa Tengah, selama kurun waktu 2011—2013.
1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut. 1. Memberikan informasi mengenai kondisi kemiskinan multidimensi di Jawa Tengah beserta sebarannya secara spasial, selama kurun waktu 2011—2013. 2. Memberikan strategi kebijakan bagi Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dalam menangani permasalahan kemiskinan. 3. Bagi ilmu pengetahuan, diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan, khususnya dalam ilmu ekonomi pembangunan, menambah
14
literatur, melengkapi kajian mengenai studi kemiskinan yang lebih luas, serta memperkaya sumber-sumber pustaka bagi penelitian selanjutnya.
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini disajikan dalam 5 bab. Bab I Pendahuluan menguraikan tentang latar belakang, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori berisi tentang landasan teori, hipotesis, dan kerangka penelitian. Bab III Metode Penelitian meliputi metode pengumpulan data, variabel penelitian, definisi operasional, alat analisis, dan model penelitian. Bab IV Analisis memuat pembahasan
yang berisi
hasil analisis, mencakup analisis kemiskinan
multidimensi, pemetaan kemiskinan, serta hasil pengujian hipotesis. Bab V Simpulan dan Saran merupakan simpulan akhir dari hasil penelitian, implikasi kebijakan, keterbatasan penelitian, serta saran untuk penelitian lebih lanjut.
15