BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi global sebagai akibat dari kenaikan harga komoditi, telah menjadi faktor penghambat laju pertumbuhan ekonomi pada mayoritas negara-negara di dunia. Diantara angka pertumbuhan negatif tersebut, Indonesia masih mampu mencatatkan angka pertumbuhan ekonomi yang positif, walau disertai penurunan dari angka tahun sebelumnya. Faktor penyangga relatif stabilnya angka ekonomi Indonesia, selain kemampuan untuk menggarap pasar domestik, juga disebabkan masih relatif tingginya angka ekspor dibandingkan dengan impor. Data Biro Pusat Statistik (BPS) seperti yang dikutip oleh Departemen Perdagangan RI
dalam
rilis
Neraca
Perdagangan
Januari
–
Agustus
2008
(www.depdag.go.id) menunjukan bahwa surplus nilai eskpor terhadap impor mencapai US$5.0461 Milyar . Perbandingan total nilai ekspor dan impor Januari 2007 – Agustus 2007 (Ekspor:US$74.2153 Milyar – Impor:US$42.7485 Milyar – Surplus: US$31.4668 Milyar) dengan total nilai ekspor Januari 2008 – Agustus 2008 (Ekspor: US$95.3911 Milyar – Impor: US$90.3450 Milyar – Surplus US$5.0461 Milyar), menujukan adanya peningkatan ekspor disertai nilai impor, yang berdampak menurunnya surplus ekspor atas impor (lihat tabel 1.1).
1
2
Namun diantara surplus ekspor atas impor, BPS mencatat fakta dimana industri furniture dengan produk yang umumnya berupa kayu lapis dan hasil olahan kayu, mengalami penurunan sebesar 6.44% dibanding tahun 2007 (Lihat tabel 1.2).
3
Tabel 1.1. Neraca Perdagangan Indonesia – Tahun 2007 dan 2008 (Januari – Agustus). Sumber: Rilis Neraca Perdagangan Januari – Agustus 2008 Departemen Perdagangan RI (www.depdag.go.id).
4
Tabel 1.2. Ringkasan Ekspor Indonesia 2003 – 2008. Sumber: Rilis Neraca Perdagangan Januari – Agustus 2008 Departemen Perdagangan RI (www.depdag.go.id).
5
Fakta ini harus mendapat perhatian lebih, mengingat potensi Indonesia yang memiliki keunikan berupa melimpahnya bahan baku kayu dan biaya tenaga kerja yang relatif murah (www.globalproduction.com) dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Selain itu, pengerjaan furniture dalam skala kecil dan memiliki nilai artistik tinggi amat diminati negara-negara di Eropa. Industri ini, khususnya ukiran dan kerajinan tangan, juga memiliki kelebihan berupa kandungan lokal yang tinggi dan berorientasi pasar ekspor. Penyerapan produk furniture untuk pasar domestik juga relatif tinggi, yakni sekitar 80% dengan nilai konsumsi pasar lokal sebesar US$ 1,5 Milyar (www.detikfinance.com). Namun di sisi lain, pasar domestik juga mengalami ancaman. Penerapan ASEAN – China Free Trade Agreement (AFTA) per Januari 2010, akan membuat produk furniture lokal akan berhadapan langsung tanpa adanya proteksi yang memadai dari regulator dalam menghadapi situasi membanjirnya produk furniture dari China, terutama dari jenis panel. Situasi ini diperkirakan akan menurunkan penyerapan produk furniture lokal di pasar domestik hingga ke kisaran 5560%. Nilai ekspor furniture per tahun mencapai lebih dari US$ 2 Milyar, dengan rata-rata nilai pengiriman sebesar US$15.000 per kontainer untuk tujuan ke Eropa, Jepang dan Amerika Serikat. Walau sebelumnya untuk tahun 2009 diperkirakan nilai ekspor akan turun sebesar 40%, namun Asmindo mencatat adanya peningkatan aktivitas pasar ekpor funiture di awal semester II-2009. Sehingga asumsi penurunan nilai ekspor
6
diperkirakan akan turun ke kisaran 20%. Recovery ekspor furniture diperkirakan terjadi pada pertengahan 2010 (Detik, 2009). Dengan makin ketatnya perdagangan furniture di pasar lokal akibat penerapan AFTA, Indonesia memiliki potensi besar yang dapat dimaksimalkan, berupa produk furniture tradisional yang sangat diterima pasar di Eropa untuk dapat mempertahankan pendapatan dari ekspor melalui industri furniture. Potensi ekonomi antara permintaan dan ketersediaan kemampuan produksi seharusnya dapat dimaksimalkan melalui ekspor. Ekspor oleh para pengrajin lokal di satu sisi memiliki berbagai hambatan, antara lain: 1. Pengumpulan pesanan, 2. Modal, 3. Letak geografis yang berbeda, 4. Pengalaman trading antar negara, 5. Pemasaran (marketing) product, 6. Pengiriman sample, 7. Koordinasi produksi, 8. Administrasi ekspor, dan 9. Biaya pengiriman barang.
Untuk itulah, diperlukan peran pihak intermediator (Trader, Buying House atau Agent) antara pengrajin (Supplier atau Vendor) sebagai produsen dan pembeli (Customer atau Buyer) sebagai konsumen, guna
7
menggabungkan kedua belah pihak ini menjadi satu bagian integral baik secara aliran produk maupun informasi. Integrasi ini dapat dilakukan dengan mengadopsi bentuk Supply Chain Management (SCM). Dimana Supplier, Buyer dan Forwarder terhubung dengan bantuan suatu organisasi (Agent atau Trader) sebagai satu mata rantai kegiatan yang saling terkait. Penerapan SCM yang baik akan memberikan keuntungan yang besar bagi kedua belah pihak. Dari sisi Supplier akan terbantu dengan adanya peranan SCM untuk menjual produk mereka. Sedangkan untuk buyer (konsumen) akan mendapatkan kepastian akan pemenuhan produk yang diperlukan. Penerapan SCM yang efektif dan efisien akan mampu mengurangi sekat-sekat proses yang tidak dibutuhkan dan menimbulkan biaya-biaya tambahan, serta meningkatkan skala ekonomi pemesanan, yang pada akhirnya akan menjadi keunggulan berupa harga yang kompetitif. Harga kompetitif inilah yang harusnya menjadi titik penting bagi ekpor furniture. Sehingga selain keunggulan berupa harga, juga harus didukung dengan produk yang unik dan ditunjang dari segi kepastian pemenuhan pesanan. Diantara pelaku eksportir furniture di Indonesia, Mijo merupakan salah satu pelaku industri yang telah mengadopsi SCM ke dalam kegiatan bisnisnya. Mijo Ltd adalah sebuah perusahaan yang bergerak sebagai agent ekspor hardware (furniture & handicraft) yang menghubungkan Supplier, Buyer dan Forwarder. Mijo Ltd didirikan pada September 2005 di Hong Kong.
8
Awal
operasional
Mijo
di
Indonesia
ditandai
dengan
pengambilalihan lini bisnis “Hardlines” dan karyawan Otto International Pte.Ltd pada tahun 2006. Mayoritas produk-produk dalam lini bisnis “Hardlines” ini berupa produk furniture dan home decoration, terutama dengan bahan dasar kayu maupun rotan. Mijo membawahi sekitar 10 orang karyawan. Mijo Ltd juga beroperasi di Malaysia, Cina dan Jerman. Saat ini, pasar ekspor terbesar Mijo adalah ke Eropa, khususnya Jerman. Mijo memiliki berbagai konsumen di Eropa seperti Otto Group, 3 Suisses, Baur, Heine, Bon Prix, Euronova, Freemans dan Kaleidoscope. Konsumen ini melakukan pemesanan kepada Mijo Jakarta untuk jenis barang tertentu yang dikerjakan oleh produsen (Supplier atau vendor) di Indonesia. Supplier Mijo di Indonesia umumnya berada pada skala UKM. Dimana produk yang dihasilkan sebagian besar berbahan baku rotan maupun jati. Baik dalam bentuk perkakas rumah tangga, hiasan, maupun hasil kayu dengan nilai atristik yang tinggi. Mijo akan bertanggung jawab dalam hal mencari Supplier yang mampu untuk memenuhi pemesanan tersebut, mengatur agar jadwal produksi sesuai dengan perencanaan, membantu Supplier untuk dapat memenuhi persyaratan produksi konsumen (desain, bahan maupun kuantitas), mengorganisir proses pengiriman, pembayaran kepada Supplier maupun menghitung denda yang mungkin terjadi akibat ketidakmampuan Supplier.
9
1.2. Rumusan Masalah Sebelum implementasi dilakukan, Mijo Ltd menggunakan software TradeLook. Tradelook software di bangun oleh Tradelook Software Ltd. yang memiliki spesialisasi di bidang solusi TI dan ERP bagi perusahaan yang bergerak di bidang trading dan manufacturing, khususnya untuk perusahaan kelas menengah ke bawah. Tradelook software dibangun sebagai web-based application. Mijo Ltd - Jakarta menggunakan sistim ini sejak berdirinya perusahaan pada tahun 2006. Namun dalam penerapan SCM dengan penggunaan Tradelook, Mijo menghadapi permasalahan berupa ketidaksesuaian penggunaan Tradelook dengan kebutuhan perusahaan. Sehingga apabila permasalahan ini tidak diatasi dengan baik akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan secara keseluruhan. Hal ini dirasakan mendesak untuk diperbaiki, mengingat pentingnya arus informasi dan pemantauan kerja melalui sistem dalam kegiatan ekspor bagi penerapan SCM. Selain itu, tekanan dari krisis ekonomi dan penerapan AFTA, mendorong Mijo untuk melakukan tindakan pencegahan dan penyesuaian yang diperlukan guna dapat bertahan pada industri furniture, khususnya yang berorientasi ke pasar ekspor. Tradelook hanya digunakan untuk pengumpulan data Purchase Order dan Style oleh department Merchandising, dimana kedua kegiatan ini hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh kegiatan operasional Mijo sehari-hari.
10
Software ini dari segi operasional dirasakan tidak mendukung kebutuhan operasional dirasakan tidak user friendly, tidak digunakan secara menyeluruh untuk setiap aktivitas Mijo dan tidak dapat mendukung kebutuhan analisa laporan lebih lanjut (per department, perhitungan komisi, maupun perhitungan turnover ratio) yang harus dilakukan secara manual melalui bantuan spreadsheet. Selain itu, metriks penilaian kinerja operasional yang seharusnya digunakan Mijo, seperti Lead Time, Delivery Performance, Claim/Return Rate maupun Penalties juga belum dapat diakomodasi oleh Tradelook karena penggunaannya yang tidak maksimal. Tradelook juga tidak dapat memampukan perusahaan untuk beroperasi secara “seasonal”, dimana permintaan pasar atas produkproduk furniture (dari segi bahan, warna, maupun bentuk) amat ditentukan oleh pengaruh musim yang berlaku, khususnya di Eropa dengan pembagian musim yang spesifik (Spring / Summer - SS , Autum / Winter AW). Persyaratan “seasonal” ini harus menjadi perhatian Mijo karena berdampak langsung terhadap rencana produksi, pengiriman maupun pemesanan yang harus dibuat untuk pasar yang memiliki orientasi ke Eropa. Dari sisi strategis, penggunaan Tradelook saat ini tidak memampukan Mijo untuk melakukan seleksi Supplier (sourcing), maupun pengambilan keputusan atas kinerja Supplier dan analisa kecenderungan pasar atas produk yang diminati.
11
1.3. Tujuan dan Manfaat Pelaksanaan Group Field Project (GFP) Pelaksanaan thesis melalui jalur Group Field Project (GFP) ini dilakukan, karena apa yang dihadapi oleh Mijo saat ini merupakan permasalahan yang nyata dan bersifat strategis. Ketidakmampuan Tradelook menjawab kebutuhan Mijo saat ini, akan mempegaruhi kegiatan Mijo sebagai satu kesatuan Supply Chain Management (SCM) dalam operasionalnya maupun dalam hal strategis perusahaan. Pelaksanaan GFP ini memiliki tujuan untuk: 1. Mencari penyebab ketidakmampuan Tradelook menunjang bisnis daripada Mijo. 2. Mencari solusi dan alternatif yang mememapukan Mijo untuk dapat beroperasi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan industri furniture. 3. Mengintegrasikan kegiatan perusahaan agar selaras dengan Supplier, Forwarder dan Buyer sebagai satu rantai kegiatan Supply Chain yang memempukan rencana strategis Mijo. 4. Menyatukan
tujuan
dan
fungsi
perusahaan
dengan
menggunakan peran TI sebagi enabler bagi Mijo, terutama secara strategis dan jangka panjangnya.
Dengan dilaksanakannya GFP ini, maka diharapkan akan menghasilkan manfaat bagi Mijo dalam bentuk:
12
1. Memampukan Mijo untuk mengolah informasi lebih cepat dengan menggunakan solusi dan perbaikan yang diusulkan, sehingga dapat mengambil keputusan secara strategis sesuai objectives Mijo. 2. Memberi
masukan
berupa
rekomendasi
peningkatan
(Improvement) apa saja yang dapat dilakukan berdasarkan penilaian kegiatan implementasi yang dijalankan.
1.4. Ruang Lingkup GFP Ruang lingkup pelaksanaan GFP ini mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Penilaian
kesesuaian
Tradelook
dan
Allegro
dengan
operational Mijo. 2. Cakupan perusahaan (Mijo) sebagai pusat kegiatan GFP (Lihat gambar 1.1 – Kotak pada area Mijo).
Gambar 1.1. Cakupan GFP. Source: Part of Research.
13
3. Tidak mencakup penilaian pada internal Supplier, Buyer dan Forwarder (eksternal perusahaan). 4. Evaluasi dan analisa potensi sistem untuk pengembangan sistim ke arah yang lebih strategis di masa yang akan datang, sebagai masukan dari hasil GFP.
1.5. Sistematika Penulisan Pelaksanaan dan perumusan thesis GFP (Group Field Project) ini dimulai dari pendefinisian masalah yang berasal dari kebutuhan implementasi Allegro (Requirements) oleh Mijo. Dimana Tradelook dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan operasional Mijo saat ini. Definisi permasalahan ini akan dikelompokan pada Bab I. Berdasarkan definisi permasalahan
yang
ada,
maka
akan
dikumpulkan teori-teori yang mendukung pelaksanaan GFP untuk memaksimalkan Supply Chain Management Mijo sebagai bagian dari landasan teori. Landasan teori ini akan diulas pada Bab II. Bersamaan dengan itu, metodologi pelaksanaan GFP, informasi mengenai Mijo dan proses bisnis yang berjalan akan dijabarkan pada Bab III. Bab IV akan membahas mengenai acuan ukur kinerja dalam bentuk KPI yang diturunkan dari analisa kondisi industri berserta business objectives Mijo. Bab ini juga akan membahas mengenai kinerja Tradelook sebagai sistem yang sebelumnya digunakan, beserta kinerja Allegro sebagai sistem yang dipilih untuk digantikan. Hasil pengukuran masing-
14
masing akan diperbandingkan untuk mengidentifikasi peningkatan apa yang diperoleh dengan adanya penerapan sistem yang baru Pelaksanaan implementasi Allegro sebagai applikasi yang dipilih Mijo, akan dimasukan ke dalam Bab V. Bab ini juga akan mencakup identifikasi potensi peningkatan Allegro. Bab VI bersisikan kesimpulan dan saran hasil dari implementasi Allegro, serta mencakup penjabaran solusi peningkatan yang telah diidentifikasikan sebelumnya.