15
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini sungguh memprihatinkan, karena itu penerapan asas legalitas 1 secara kaku sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Selain itu, perlakuan diskriminasi terhadap pencari keadilan, juga semakin kasat mata dengan berbagai pertimbangan latar belakang sosial dan politik serta kedudukan seseorang dalam strata sosialnya. Konsekuensinya, pedang keadilan hanya tajam ke bawah, akan tetapi tumpul ke atas. Oleh karena itu, asas legalitas 2 perlu segera
1
Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Di Indonesia ketentuan asas legalitas ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menentukan: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu”. P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990, hal. 1. Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan pidana yang mendahuluinya”. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, 2005, hal. 41 dan Andi Hamzah, Naskah Akademik RUU-KUHAP, Makalah Diskusi Panel 27 tahun KUHAP, Indonesia Room, Hotel Shangri-La, Jakarta, 26 Nopember 2008, hal. 12. 2 Utrecht sejak dahulu juga sudah sangat berkeberatan dengan dianutnya asas legalitas di Indonesia. Alasannya antara lain ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana tidak dipidana karena adanya asas tersebut serta asas legalitas menghalangi berlakunya Hukum Pidana Adat yang masih hidup dan akan hidup di Indonesia. Lebih lanjut Utrecht mengatakan, bahwa: “Terhadap asas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan antara lain, bahwa asas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen). Akibat asas nullum delictum itu hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum ditentukan secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan suatu kejahatan, akan tetapi tidak diatur oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, maka ia tidak dapat dihukum. Lihat Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1958, hal. 195-198.
Universitas Sumatera Utara
16
mendapat perluasan pengertian, artinya undang-undang bukan satu-satunya pedoman Hakim dalam menjatuhkan putusan. Hal tersebut sesuai pula dengan konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2011 (untuk selanjutnya disingkat dengan RUU-KUHP), pada Pasal 1 angka (3) dirumuskan, bahwa: ”ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan, bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”. 3 Selanjutnya pada Pasal 1 angka (4) dijelaskan, bahwa: ”berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakatsebagaimana dimaksud pada angka (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”. 4 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) sampai angka (4) RUU KUHP tersebut, maka secara ringkas dapat dikatakan, bahwa Hukum Pidana Indonesia adalah berdasarkan asas legalitas yang dipertegas dengan larangan menggunakan penafsiran analogi. Walaupun demikian, asas legalitas tersebut dapat dikesampingkan dengan memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Dengan demikian, ketentuan Pasal 1 angka (4) ini, jika tidak hati-hati dalam penerapannya, maka Hakim bisa terjebak pada analogi. 5 Sedangkan analogi 6 dalam Rancangan Pasal 1 angka (2)
3
Rancangan Undang-Undang KUHP Tahun 2011. Ibid. 5 Analogi adalah memberikan penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan peraturan tersebut (lihat Syafruddin Kalo, Teori & Penemuan Hukum, 2004, Diktat Untuk Mata Kuliah Teori Hukum dan Penemuan Hukum Pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, hal. 69. 4
Universitas Sumatera Utara
17
RUU KUHP tersebut dilarang dipergunakan. Tegasnya ketentuan Pasal 1 tersebut antara
satu dengan yang lainnya terjadi kontradiksi, dengan kata lain pembuat
undang-undang kurang konsisten. Terlepas dari hal tersebut, setidak-tidak RUU KUHP Nasional tersebut, jika nanti disahkan dan diberlakukan, maka telah secara nyata membuka peluang penerobosan terhadap asas legalitas. Hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat tidak terabaikan keberadaannya, malahan UUD 1945 hasil amandemen kedua dalam Pasal 18B ayat (2) telah menentukan secara limitatif, bahwa: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Oleh karena itu, asas legalitas dewasa ini memang mulai melemah, sebagaimana yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa: ”asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolak dari ide/nilai dasar ”kepastian hukum”. Namun,
dalam
realitasnya
pelunakan/penghalusan
atau
asas
legalitas
ini
pergeseran/perluasan
mengalami dan
berbagai
menghadapi
bentuk berbagai
tantangan, antara lain sebagai berikut:7 1. Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 angka (2) KUHP;
6
Dalam hukum pidana analogi tidak diperbolehkan, berhubung dengan asas legalitas yang ditentukan dalam Pasal 1 KUHP, bahwa seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, terkecuali apabila berdasarkan ketentuan undang-undang yang sudah ada sebelum peristiwa pidana dilakukan. 7 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. ke-2, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hal. 11-12.
Universitas Sumatera Utara
18
2. Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiel; 3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang- Undang Dasar Sementara Tahun 1950; Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai ”nullum delictum sine lege”, akan tetapi juga sebagai ”nullum delictum sine ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, akan tetapi juga sebagai asas legalitas materiel, yaitu dengan mengakui Hukum Pidana Adat, yaitu suatu hukum yang hidup dan ditaati oleh masyarakat atau hukum tidak tertulis yang berfungsi sebagai salah satu sumber hukum. Walaupun demikian, kenyataan yang nampak hingga saat ini adalah kebijakan pembangunan hukum nasional masih kental dengan hegemoni hukum modern yang sarat dengan model penalaran positivistiknya. Kenyataan tersebut nampak dari beberapa indikasi, yakni: ”a. Pembangunan hukum nasional yang terfokus pada kebijakan legislasi berupa peraturan perundang-undangan; b.
Penegakan hukum yang lebih mengedepankan aspek kepastian hukum, aspek prosedural dan seringkali bersifat legalistik-formalistik”. 8 Selain itu, tatanan hukum Indonesia saat ini, yang disebut-sebut sebagai
”Hukum Nasional”, tidak dibangun dari jati diri bangsa Indonesia, namun dipaksakan 8
Al. Wisnubroto, Qua Vadis Tatanan Hukum Indonesia, Universitas Atma Jaya, 2010, hal. 52.
cet. ke-1, Yogyakarta:
Universitas Sumatera Utara
19
dari konsep bangsa asing (not developed from within but imposed from out side). Perjalanan sejarah hukum Indonesia yang terinvensi melalui usaha transplantasi, transformasi, penetrasi atau upaya apapun namanya yang mengarah pada pemasukan sistem hukum asing (sistem hukum modern/Eropa) ke dalam suatu sistem hukum asli (sistem hukum pribumi/tradisional/adat) yang sudah mapan, sehingga akan mengalami kesulitan dan menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Dengan demikian, nyatalah bahwa sumber permasalahan memakai tradisi negara hukum model Barat (constitutional state) pada negara berkembang adalah tidak terjadinya receptio in complexu secara sempurna, ”melainkan hanya penerimaan konsep negara dan hukum ketatanegaraan Barat secara terpenggal (konstruksi dan norma positifnya dimengerti dan diterima), akan tetapi ide dan maksud dasarnya terlepas dan tidak tertangkap”. 9 Di negara-negara berkembang, kebanyakan mewarisi perundang-undangan kolonial seperti Indonesia, karena itu pula pembinaan hukum melalui perundangperundangan baru memegang peranan yang sangat penting, tetapi di samping itu harus dipahami pula tidak semua persoalan atau sengketa yang terjadi di dalam masyarakat dibawa ke pengadilan untuk penyelesaiannya. Namun demikian, seperti apa yang dikatakan oleh S.Tasrif, bahwa ia menyetujui hukum adalah ”suatu alat yang ampuh untuk mencapai pembaharuan masyarakat (Law as a tool of social engineering)”,
10
suatu teori yang telah dikembangkan oleh Roscoe Pound yang pernah menjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Harvard bertahun-tahun lamanya. Dengan demikian, 9
Ibid., mengutip pendapat Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002, hal. 406. 10 S.Tasrif, Tanggap Atas Prasaran Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, dalam: Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, cet. ke-2, Bandung: Alumni, 2006, hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
20
peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin, bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur yang dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi kedua-duanya. Apa yang dikatakan oleh S.Tasrif tersebut, bahwa perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi kedua-duanya sangat berperan membantu peranan hukum dalam pembangunan, sehingga sangat diperlukan suatu penelitian tentang hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum dalam putusan pengadilan. Selain itu, masyarakat lebih cepat melihat hukum itu ada di ruang pengadilan, yaitu melalui perangkat-perangkat penegak hukumnya, Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum dan Majelis Hakim. Putusan pengadilan yang adil, putusan yang tidak memihak adalah harapan semua pencari keadilan, apakah ia terdakwa maupun korban serta juga para penegak hukumnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya, harapan tersebut selalu kandas dilindas asas legalitas yang berkuasa dalam pertimbangan putusan pengadilan. Peranan Hakim atau pengadilan dalam hal penerapan dan pengembangan hukum adalah sangat penting untuk dipelajari, dipahami ataupun diteliti. Seperti apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, 11 bahwa: ”dalam hal penerapan dan pengembangan hukum ini, sangat menarik dan penting untuk dipelajari kedudukan Pengadilan atau Hakim”. Berlainan dengan pendapat kuno yang antara lain ditulis oleh Montesquieu dalam bukunya ”L’Esprit de Lois” yang menyatakan, bahwa ”Hakim itu hanya corong dari undang-undang (La bouche qui prononce les poroles de 11
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenal Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, cet. ke-2, Bandung: Alumni, 2009, hal. 97-98.
Universitas Sumatera Utara
21
la loi)”.12 Oleh karena itu, pada umumnya orang sekarang mengetahui, bahwa selain menerapkan undang-undang, Pengadilan atau Hakim itu juga menemukan atau bahkan sering membentuk hukum baru. Hal ini disebabkan, karena di dalam sistem hukum Indonesia dikenal asas yang menyatakan, bahwa: ”Pengadilan atau Hakim itu tidak boleh menolak untuk memeriksa satu perkara dengan alasan, bahwa hukum mengenai perkara itu tidak ada atau tidak jelas”. Asas atau prinsip ini dinamakan asas non-liquet. Asas ini termuat di dalam Pasal 22 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving) yang berlaku di masa Kolonial Hindia Belanda. Ketentuan Pasal 22 AB tersebut, pada saat ini diadopsi oleh Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan, bahwa: ”Pengadilan dilarang, menolak untuk memeriksa, mengadili, memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih, bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”. Pada ayat (2) ditentukan, bahwa: ”ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.” Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut, tampak dengan jelas, bahwa Pengadilan atau Hakim dalam sistem hukum Indonesia bukanlah Hakim yang pasif yang merupakan corong belaka dari badan perundang-undangan seperti yang digambarkan oleh Mostesquieu,
12
Adanya ajaran, bahwa Hakim hanyalah corong undang-undang (La bouche qui prononce les poroles de la loi) dan dilarang menciptakan hukum, pada umumnya dianut oleh negara-negara yang menganut tradisi Civil Law System pada abad ke 19. Lihat M.D.A. Freeman, Llyod’s, Introduction to Jurisprudence, London: Sweet & Maxwell, 2001, hal. 13841386. Lihat pula Neil Mac Cormick, Rhetoric and Rule of Law Theory of Legal Reasoning, Oxford University Press, hal. 256.
Universitas Sumatera Utara
22
akan tetapi Hakim harus aktif dan berperan di dalam menemukan hukum atau membentuk hukum baru. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa: ”Pengadilan atau Hakim itu merupakan unsur yang cukup penting, tidak saja di dalam menemukan hukum, akan tetapi juga di dalam mengembangkan hukum”. 13 Paul Scholten 14 mengatakan: ”Het recht is er, doch moet gevonden worden” (hukum telah ada, tetapi harus diketemukan). Selanjutnya Paul Scholten mengatakan adalah ”sesuatu yang khayal apabila orang beranggapan, bahwa undang-undang itu telah mengatur segala-galanya secara tuntas”. 15 Apa yang dikatakan oleh Scholten tersebut memberikan
makna, bahwa
selengkap apapun undang-undang itu tetap menyiratkan kekuranglengkapan. Apa lagi seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisan kolonial itu masih diberlakukan di Indonesia, sudah barang tentu banyak yang tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan teori yang pernah dikemukakan oleh Cicero, ”Ubi societas, ibi ius” (”where there is a society, there is law”) di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. Sehubungan dengan itu, Von Savigny, menyatakan, bahwa: ”hukum itu akan
13
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Ibid., hal. 98 mengutip, Soedikno Martokoesoemo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan di Indonesia, disertasi Universitas Gajah Mada, 1970, Penyalur (Penerbit) PT. Gunung Agung. Lihat juga buku: Bab Tentang Penemuan Hukum Prof. Dr. Soedikno Mertokoesoemo dan Prof. Mr. A. Pitlo, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1983. 14 E. Utrecht dalam Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Djakarta: PT Penerbit Dan Balai Buku ”Ichtiar”, tjetakan kelima, 1959, hal. 224, mengutip pendapat Paul Scholten dalam bukunya, Alg Deel, hal. 19. 15 Anthon Freddy Susanto dalam Semiotika Hukum, Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, cet. Pertama, Bandung: PT Refika Aditama, 2005, hal. 11 mengutip pendapat Scholten. Bandingkan juga Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, cet. 1, Jakarta: Erlangga, 2009, hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
23
berkembang sebagaimana berkembangnya pemikiran masyarakatnya”. Artinya, jika pemikiran masyarakatnya berkembang dengan baik, maka hukumnya juga akan berkembang pula dengan baik. Demikian juga sebaliknya, jika pemikiran masyarakatnya tidak berkembang dengan baik, maka hukumnya juga tidak akan berkembang dengan baik. Oleh karena itu, peranan hukum tidak tertulis untuk melengkapi hukum yang tertulis, khususnya dalam pertimbangan putusan hakim sangatlah dibutuhkan. Dengan kata lain, penerapan hukum tertulis (asas legalitas) semata-mata
akan banyak
menciderai rasa keadillan masyarakat, terutama masyarakat kecil dan miskin. Selain itu, dari perspektif sistem peradilan pidana, aspek pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan terbukti atau tidak terbuktinya pelaku perbuatan pidana, sehingga ia bisa dipidana atau dibebaskan dari segala dakwaan. Oleh karena itu, berdasarkan penjatuhan putusan pidana yang dilakukan oleh hakim, terdapat beberapa ajaran/teori yang berhubungan dengan sistem pembukt ian tersebut, yakni: Pertama, Conviction-in Time, yaitu suatu teori yang menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian ”keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.
Universitas Sumatera Utara
24
Sehingga dengan demikian, ”keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini”. 16 Kedua, Conviction-Raisonee, dalam sistem ini pun dapat dikatakan, bahwa ”keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim ”dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction in time peran ”keyakinan hakim” leluasa tanpa batas, maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan ”alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Dengan demikian, ”keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal”. 17 Ketiga, pembuktian menurut undang-undang secara positif, merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pembuktian menurut undang-undang secara positif, ”keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undangundang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa
16
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Edisi Kedua, hal. 277. 17 Ibid., hal. 277-278.
Universitas Sumatera Utara
25
tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keempat, pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk Stelsel), sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Selain itu, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ”menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu, antara sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu ”sistem pembuktian menurut undangundang secara negatif”. Rumusannya berbunyi, salah tidaknya seseorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, maka untuk menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya sematamata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alatalat bukti yang ditentukan undang-undang. ”Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan alat-
Universitas Sumatera Utara
26
alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu ”dibarengi” dengan keyakinan hakim”. 18 Sehubungan dengan itu, Wirjono Prodjodikoro 19 berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan. Pertama, memang sudah selayaknya harus ada keyakinan Hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah Hakim terpaksa memidana seseorang, sedangkan Hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah, jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan. Sehingga sistem pembuktian berdasar undangundang secara negatif (negatief wettelijk) ini dianut oleh Hukum Acara Pidana Indonesia. Sistem tersebut tercantum dalam Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut dijelaskan pula, bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Penjelasan Pasal tersebut juga menegaskan, bahwa yang diprioritaskan pertama untuk menjatuhkan pidana terhadap seorang itu adalah untuk 18
Ibid., hal. 278-279. Wirjono Prodjodikoro, dalam Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996, hal. 235. 19
Universitas Sumatera Utara
27
tegaknya kebenaran, kemudian keadilan dan yang terakhir adalah kepastian hukum. Oleh karena itu, kepastian hukum yang selalu menjadi label asas legalitas, ternyata dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP, kepastian hukum diposisikan paling belakang, yaitu di belakang kebenaran dan keadilan. Selain itu, Penjelasan Pasal 183 KUHAP yang menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif tersebut merupakan pintu masuk penerapan melawan hukum materiel, baik fungsi negatif maupun positif. Hal mana disebabkan dalam memutus suatu perkara, Hakim tidak terikat pada ketentuan perundang-undangan yang ada, setidak-tidaknya Hakim lebih leluasa untuk menemukan hukum atau menafsirkan hukum sesuai dengan keyakinan yang ada padanya yang termasuk juga di dalamnya adalah keyakinan Hakim, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa walaupun tidak memenuhi unsur-unsur perundangan-undangan. Akan tetapi, dia meyakini perbuatan tersebut adalah perbuatan tercela, tidak patut menurut hukum yang hidup masyarakat atau yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Di lain pihak ia berkeyakinan walaupun perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur dalam pasal-pasal yang didakwakan, tetapi ia berkeyakinan, bahwa perbuatan tersebut tidak tercela dalam pandangan masyarakat. Untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam masyarakat yang sekaligus penegakan hukum, peranan Hakim sangatlah dominan. Mengenai peranan Hakim dalam menegakkan kepastian hukum, maka tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dan hakim, untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa: ”pengadilan di
Universitas Sumatera Utara
28
Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, melainkan untuk mencari kebenaran dan keadilan”. 20 Oleh karena itu, dalam Hukum Pidana dimungkinkan adanya alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond), yaitu pembenaran atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum dan alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yaitu pemaafan perbuatan seseorang sekalipun telah melakukan tindak pidana atau melawan hukum. Alasan pembenar ini diatur dalam KUHP, yaitu antara lain dalam Pasal 31, 32, 33, 34, 35. Pasal-pasal tersebut antara lain mengatur tentang: ”tidak dipidana orang yang melakukan tindak pidana, karena melaksanakan peraturan perundang-undangan, melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang, keadaan darurat serta pembelaan diri. Sedangkan alasan pemaaf ini diatur dalam KUHP, yaitu antara lain dalam Pasal 42, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 50 dan 51. Pasal-pasal tersebut antara lain mengatur tentang: ”tidak dipidana, orang yang tidak mengetahui, bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana, orang yang melakukan tindak pidana karena adanya paksaan, tekanan dan ancaman yang tidak bisa dihindari”. Berdasarkan uraian tersebut di atas, setidak-tidaknya ada lima alasan yang menjadi latar belakang penelitian ini perlu untuk dilakukan, yakni: Pertama, adanya ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan: ”Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. 20
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progressif, Jakarta: Buku Kompas, 2007, hal.
275.
Universitas Sumatera Utara
29
Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan, bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar putusan Hakim dan Hakim Konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu, semua masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, ”Hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa, sehingga putusan yang dijatuhkan sesuai dan adil dengan kesalahan yang dilakukannya”. 21 Ketentuan Pasal 5 ayat (1) tersebut secara tegas membuka peluang untuk menerapkan hukum yang tidak tertulis, hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), yang sekaligus menegatifkan asas legalitas. Selain itu, juga membuka peluang bagi Hakim untuk melakukan penemuan hukum atau penafsiran-penafsiran, sepanjang tidak bernuansakan penafsiran analogi, akan tetapi penafsiran yang dibenarkan yaitu penafsiran ekstensif. Dibenarkannya melakukan penafsiran berarti walaupun asas legalitas bersifat rigid tetap dimungkinkan dilakukan pengecualian sepanjang batas-batas tertentu, meski dalam realitasnya penganut legal positivis menolak hal tersebut. Dalam ajaran positivis larangan penafsiran analogi bukan hanya sekedar doktrin,
melainkan telah
21
Lihat Penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Universitas Sumatera Utara
30
diformulasikan secara tegas dalam asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 angka (1) KUHP. Dalam sejarah peradilan Indonesia penafsiran analogi pernah diterapkan oleh Bismar Siregar ketika menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan yaitu dalam kasus seorang lelaki yang menyetubuhi seorang perempuan dengan janji akan menikahinya, akan tetapi kemudian ia mengingkari janjinya tersebut. Menurut Hakim Bismar, memang benar dari segi hukum perdata perikatan hukum yang demikian batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-undang, sehingga walaupun ada cedera janji (wanprestasi) yang dilakukan oleh terdakwa, hal tersebut tidak dapat digugat ganti rugi oleh saksi korban, tetapi Bismar berpendapat di bidang pidana, perbuatan cedera janji dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa. Bismar menganalogikan sesuatu yang melekat bersatu dalam diri seseorang seperti ”alat kelamin” sebagai ”barang” dengan menafsirkan istilah ”barang” dalam bahasa daerah terdakwa dan saksi (Tapanuli) dikenal sebagai ”bonda” yang dapat diartikan sebagai ”alat kelamin”. Saksi korban menyerahkan kehormatannya kepada terdakwa karena bujuk-rayu hendak dinikahi sama dengan menyerahkan bonda (barang) karena tipu muslihat. Hakim Bismar kemudian memutus menghukum laki-laki tersebut berdasarkan Pasal 378 KUHP (Penipuan). Akan tetapi, ”putusan tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung, karena dianggap melakukan analogi”. 22 Kedua, adanya ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan: ”Pengadilan 22
Widodo Dwi Putri, mengutip Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 144/PID/1983/PT Mdn dalam disertasi: Tinjauan Kritis Filosofis Terhadap Positivisme Hukum, Jakarta, Juli 2011.
Universitas Sumatera Utara
31
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih, bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ini mirip dengan ketentuan Pasal 22 A.B. yang menentukan: ”bilamana seorang Hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak jelas atau tidak lengkap, maka Hakim itu dapat dituntut karena penolakan mengadili. Oleh karena itu, maka Hakim terpaksa turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Bilamana undang-undang tidak menyebut suatu perkara, maka Hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri. Hakim harus bertindak sebagai pembentuk hukum dalam hal undang-undang diam saja. Rasio ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22 A.B. ini: masyarakat tidak tertolong apabila ditinggalkan dengan perselisihan-perselisihan yang tidak selesai. Sehingga, tugas Hakim ialah menyelesaikan semua perkara. Selain itu, Hakim wajib membuat penyelesaian yang diinginkan masyarakat tersebut. Oleh karena itu, adanya pendapat, bahwa: ”Hakim tidak lain dari pada corong undang-undang atau ”Labouche qui prononce les paroles de la loi” telah tidak berlaku lagi”. 23 Menurut van Apeldoorn, Hakim harus menyesuaikan (waarderen) undangundang dengan hal-hal konkrit yang terjadi di masyarakat dan selanjutnya dibawa kemukanya, Hakim harus menambah (aanvullen) apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit, karena undang-undang 23
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet ke-lima, Djakarta: P.T Penerbit Dan Balai Buku “Ichtiar”, 1959, hal. 223-224.
Universitas Sumatera Utara
32
tidak dapat meliputi segala kejadian yang timbul di masyarakat. Bukankah pembuat undang-undang hanya menetapkan suatu petunjuk hidup umum saja? Pertimbangan mengenai hal-hal yang konkrit tersebut, yaitu: ”menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal konkrit, diserahkan kepada Hakim”. 24 Ketentuan tersebut di atas dapat dimaknai, bahwa Hakim dipaksa atau wajib turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Bilamana undang-undang tidak mengatur suatu perkara, maka Hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menemukan dan menggali nilai-nilai hukum yang tidak tertulis yang hidup di kalangan masyarakat (living law). Untuk itu, ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh Hakim yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Lembaga penemuan hukum ini akan dibawa kepada lembaga interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Karena dalam melakukan penyesuaian peraturan perundangundangan dengan peristiwa konkrit yang terjadi dalam masyarakat, tidak selalu dapat diselesaikan dengan jalan menghadapkan fakta dengan peraturannya saja melalui interprestasi, tetapi lebih jauh dari itu kadangkala Hakim terpaksa mencari dan membentuk
hukumnya
sendiri
melalui
kontruksi
penafsiran,
rechtsverfijning
24
Ibid., hal. 224.
Universitas Sumatera Utara
33
(menghaluskan hukum, membentuk pengecualian-pengecualian atas aturan-aturan hukum yang bersifat umum). Paham yang menyatakan, bahwa Hakim tidak lain adalah corong undang-undang belaka (La bouche qui prononce les poroles de la loi) harus ditinggalkan karena masyarakat bergerak/berkembang begitu cepat, sehingga tidak
jarang zaman
meninggalkan hukum jauh di belakang. Ketiga, adanya ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan: ”Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut di atas, memberi sinyal penegasan, bahwa Hakim dalam memutus suatu perkara dibenarkan mendasarkan pertimbangannya pada sumber hukum tak tertulis. Pasal tersebut merupakan reformasi terhadap ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf (f) KUHAP, di mana dalam pasal tersebut sama sekali tidak mencantumkan sumber hukum tidak tertulis sebagai dasar alternatif pemidanaan, tetapi hanya menegaskan peraturan perundang-undanganlah yang menjadi dasar pemidanaan atau yang menjadi dasar hukum dari putusan. Pasal tersebut sekaligus menegatifkan asas legalitas yang ditentukan dalam Pasal 1 angka (1) KUHP, di mana ”tiada seorangpun yang dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.
Universitas Sumatera Utara
34
Dalam tradisi hukum Civil Law, peran pemerintah dan parlemen dominan dalam pembuatan hukum yang berupa peraturan-peraturan tertulis. Sementara Hakim hanyalah corong undang-undang dan dilarang untuk menciptakan hukum. Para Hakim dari tradisi Eropa Kontinental, pada dasarnya berada pada arus besar (mainstream) pemikiran, bahwa ”law as it is written in the book”. Artinya, Hakim dalam menyelesaikan perkara harus terlebih dahulu melihat kepada undang-undang dari pada sumber hukum lainnya. Tempat pengadilan dalam sistem hukum yang lebih cenderung ke tradisi kontinental serta dominasi paradigma Positivisme Hukum, tidak memberi ruang yang cukup pada pengadilan untuk menjadi suatu institusi yang mampu menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 25 Keempat,
Perbuatan Melawan Hukum Materil Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006. Sifat melawan hukum (wederrechtelijkeheid) dalam ilmu hukum dikenal dua macam, yaitu sifat melawan hukum materiel (materiel wederrechtelijkehid) dan sifat melawan hukum formil (formale wederrechtelijkehid). Sifat melawan hukum materiel (materiel wederrechtelijkeheid) merupakan sifat melawan hukum yang luas yaitu melawan hukum itu sebagai suatu unsur tidak hanya melawan hukum yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis. Jadi walaupun undang-undang tidak menyebutkannya, maka melawan hukum adalah tetap merupakan unsur dari setiap tindak pidana. Sedangkan sifat melawan hukum formal (formale wederrechtelijkeheid) adalah ”merupakan unsur dari hukum positif yang tertulis saja sehingga ia baru 25
Widodo Dwi Putro, Disertasi: Tinjauan Kritis Filosofis Terhadap Positivisme Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 2011, hal. 6-7.
Universitas Sumatera Utara
35
merupakan unsur dari tindak pidana apabila dengan tegas disebutkan dalam rumusan tindak pidana”. 26 Sifat melawan hukum materiel terdiri dari sifat melawan hukum materiel fungsi negatif dan sifat melawan hukum materiel fungsi positif. Ajaran melawan hukum materiel fungsi negatif mengatakan, bahwa jika suatu hukum tertulis menganggap suatu perbuatan melawan hukum dan diancam dengan pidana, tetapi masyarakat menganggap perbuatan tersebut wajar-wajar saja, tidak tercela, maka terdakwa tidak dipidana walaupun unsur-unsur pasal yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti dilakukan oleh terdakwa. Sedangkan ajaran melawan hukum materiel fungsi positif mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak diatur di dalam hukum positif atau hukum tertulis, tetapi perbuatan tersebut melanggar norma-norma tidak tertulis yang ada di dalam masyarakat dan perbuatan itu dianggap tercela, maka terdakwa masih dapat dipidana. Praktek peradilan pidana di Indonesia menganut sifat melawan hukum materiel dalam fungsinya yang negatif yang merupakan hukum yang tidak tertulis. Tetapi diterapkan dalam berbagai putusan pengadilan. Meskipun perbuatan terdakwa memenuhi unsur tindak pidana, apabila perbuatan tersebut menurut nilai-nilai yang hidup di masyarakat tidak lagi mengandung sifat melawan hukum, telah merupakan social adequat, telah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat, maka kepada terdakwa tidak dikenakan pidana. Putusan bisa berupa pelepasan dari segala tuntutan hukum. 26
M. Sudrajad Basar dalam Guse Prayudi, Sifat Melawan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Majalah Varia Peradilan, Tahun XXII, No. 254 Januari 2007, Jakarta: IKAHI, 2007, hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
36
Merupakan alasan peniadaan pidana disebabkan kehilangan sifat melawan hukumnya dan merupakan alasan pembenar. Sifat melawan hukum materiel yang negatif tersebut dalam praktek tidak secara tegas dipraktekkan dalam peradilan pidana di Indonesia, karena Mahkamah Agung RI ternyata mempraktekkan pula sifat melawan hukum materiel dalam fungsi positif yakni sebagaimana dalam putusannya Nomor 275K/Pid/1982 dalam perkara Korupsi Bank Bumi Daya, Mahkamah Agung secara tegas dan jelas mengartikan sifat melawan hukum materiel, yaitu menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas berlebihan serta keuntungan lainnya dengan maksud agar ia menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya. Hal itu menurut Mahkamah Agung ”merupakan perbuatan tercela atau perbuatan yang menusuk rasa keadilan masyarakat banyak”. 27 Mahkamah Agung melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materiel ke arah fungsi positif melalui kriteria limitatif dan kasuistik berupa ”perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi, ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibanding dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut”. 28
27
Guse Prayudi, Sifat Melawan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Majalah Varia Peradilan, Tahun XXII, No. 254 Januari 2007, Jakarta: IKAHI, 2007, hal. 25. 28 Lilik Mulyadi, Pergeseran Perspektif Dan Praktek Dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan, Majalah Varia Peradilan, Tahun XXI, No. 246, Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2006, hal. 22.
Universitas Sumatera Utara
37
Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung ini dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan lainnya berpendapat, bahwa sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materiel telah mempunyai fungsi positif. Fungsi ini, menurut ajaran umum hukum pidana, ”tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan asas legalitas”. 29 Dengan demikian, pertimbangan putusan Mahkamah Agung tersebut dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di samping mempunyai daya efek jera bagi para pelaku korupsi yang semakin menggurita. Hanya saja, yurisprudensi yang memiliki daya tangkal yang kuat untuk menekan angka kenaikan tindak pidana korupsi tersebut telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan, bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan telah bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Walaupun demikian, Mahkamah Agung sebagai garda terakhir penegakan hukum ternyata tidak memperdulikan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dengan kata lain Mahkamah Agung tetap menganut ajaran perbuatan melawan hukum materiel sebagaimana terdapat dalam putusannya, antara lain Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2064 K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama terdakwa H. Fahrani 29
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik Dan Masalahnya, Bandung: Alumni, 2007, hal. 83.
Universitas Sumatera Utara
38
Suhaimi, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus 2006 atas nama terdakwa Hamdani Amin, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974 K/Pid/2006 tanggal 13 Oktober 2006 atas nama terdakwa Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, SH, seluruh putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Kelima, ketentuan Undang-Undang Darurat (UUDRT) Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil pada Pasal 5 ayat (3) huruf (b) menentukan, bahwa: Hukum materiil sipil untuk sementara waktu pun hukum materil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian: a. bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan yang terhukum; b. bahwa bilamana Hukuman Adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran Hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi-tingginya 10 tahun penjara. Dengan pengertian, bahwa Hukuman Adat yang menurut faham Hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu. Legalitas dari ketentuan UUDRT tersebut di atas, telah diperkuat dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1961 Tentang Penetapan Semua
Universitas Sumatera Utara
39
Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undang yang menentukan secara tegas pada Pasal 1-nya, bahwa: ”Semua Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang hingga tanggal 31 Desember 1960 belum mendapat pengesahan atau persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ditetapkan menjadi Undang-Undang.” Lebih lanjut dalam Pasal 2-nya menentukan, bahwa: ”Peraturan-peraturan Negara termaksud dalam Pasal 1 yang masih berlaku pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, akan segera disesuaikan dengan Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor I/MPRS/1960 dan Nomor II/MPRS/1960.” Perlu ditegaskan, bahwa dalam penelusuran kepustakaan di Indonesia bahwa penelitian tentang: ”Hukum tidak tertulis sebagai salah satu sumber hukum dalam keputusan pengadilan perkara pidana” belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini masih orisinal. Selain itu, Hakim seharusnya bukan sekadar corong undang-undang, akan tetapi faktanya tidak tertutupi, bahwa putusan-putusan pengadilan yang dijatuhkan para Hakim hanya berpedoman pada hukum positif. Namun di lain pihak, Hakim-Hakim Mahkamah Konstitusi yang diketuai oleh Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, telah bersepakat ’mengayuh biduk’ Mahkamah Konstitusi ini dengan berpegang pada anutan paradigma keadilan substantif dan hukum progresif. Sebagai peradilan Konstitusi, kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 bukan saja untuk menegakkan hukum, tetapi juga mewujudkan hukum yang berkeadilan. Oleh sebab itu, ”putusan-
Universitas Sumatera Utara
40
putusan Mahkamah Konstitusi kerap dikatakan memiliki sifat progresif karena dilandasi oleh pemikiran progresif dari Hakim-Hakimnya”. 30 Di negara-negara Anglo-Saxon, Hakim pengadilan diberi kebebasan untuk tidak terbelenggu oleh ketentuan undang-undang guna mencari keadilan serta menciptakan hukum sendiri, sehingga produk hukumnya cenderung responsif. Sebaliknya, di negaranegara Eropa Kontinental, Hakim hanya boleh menerapkan hukum sesuai ketentuan undang-undang, sehingga produk hukumnya cenderung ortodoks. Teori Roscoe Pound mengenai kepentingan-kepentingan sosial merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum responsif. Dalam perspektif ini, hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekadar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil. Oleh karena itu, ”hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substantif”. 31 Hukum memang seharusnya bukan sekadar teks yang dibaca kemudian diterapkan sesuai bunyinya. Hukum harus dijiwai, dipahami, ditelusuri sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Hukum harus progresif, tidak pasif, tidak seperti burung beo yang berbicara, sesuai apa yang didengarnya, tapi memahami apa yang dilakukannya. Hukum seharusnya tidak hanya yang tertulis, tidak hanya yang tertera dalam undang-undang.
30
Moh. Mahfud MD, Hukum Kata Kerja, Hukum Untuk Manusia, Kata Pengantar dalam, Norbertus Jegalus, Hukum Kata Kerja Diskursus Tentang Hukum Progresif, cet. ke-1, Jakarta: Obor, April 2011, hal. xxiii. 31 Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward responsive aw, Harper & Row, 1978, Penerjemah, Raisul Muttaqien, Hukum Responsif, cet. ke2, Bandung: Nusamedia, Agustus 2008, hal. 83-84.
Universitas Sumatera Utara
41
Satjipto Rahardjo mengatakan, ”hukum progresif adalah sebuah konsep mengenai cara berhukum”. 32 Cara berhukum tidak hanya satu; melainkan bermacammacam. Di antara cara berhukum yang bermacam-macam itu, hukum progresif memiliki tempatnya sendiri. Untuk membuat deskripsi yang jelas mengenai hukum progresif, maka ia dapat dihadapkan kepada cara berhukum yang positif-legalistis. Dalam cara berhukum terakhir, maka berhukum adalah menerapkan undang-undang. Cara berhukum yang demikian ini semata-mata berdasarkan undang-undang (alles binnen de kader van de wet) atau ”mengeja undang-undang”. Di sini orang tidak berpikir jauh kecuali membaca teks dan logika penerapannya. Cara berhukum seperti ini adalah ibarat menarik garis lurus antara dua titik. Titik yang satu adalah pasal undang-undang dan titik yang lain adalah fakta yang terjadi. Segalanya berjalan secara linier, sehingga cara berhukum sudah seperti mesin otomatis. Paul Scholten (1954) menyebutnya sebagai: ”hanteren van logische figuren”, sedangkan O.W. Holmes (1963) mengatakannya sebagai ”a book of mathematics”. Selanjutnya Satjipto Rahardjo 33 mengatakan: “dihadapkan kepada cara berhukum tersebut di atas, maka hukum progresif bekerja sangat berbeda. Ia tidak berhenti pada membaca teks dan menerapkannya seperti mesin, melainkan suatu aksi atau usaha (effport)”.
32
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks,kumpulan tulisan peringatan Ulang Tahun yang ke-40 Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh,, dalam Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Jakarta: Rajawali Pers, Ed.1-1, 2009. 33 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
42
Cara berhukum memang dimulai dari teks, tetapi tidak berhenti hanya sampai di situ, melainkan mengolahnya lebih lanjut yang disebut aksi dan usaha manusia itu. Dengan demikian, maka cara berhukum secara progresif itu lebih menguras energi, baik pikiran maupun empati dan keberanian. Hadi Suyoto mengutip pendapat Gustav Radbruch yang menyatakan, bahwa: ”putusan hakim yang ideal setidaknya memuat idee des recht yang meliputi unsur keadilan
(gerechtigheit),
kepastian
hukum
(rechtsicherheit)
dan
kemanfaatan
(Zwechmassingheit) ketiga unsur harus diterapkan secara proporsional yang pada akhirnya menghasilkan putusan yang memenuhi harapan para pencari keadilan”. 34 Selanjutnya Hadi Suyoto menyatakan, bahwa: ”ketiga unsur yang dipopulerkan Gustav Radbruch tersebut dalam implimentasinya tidaklah mudah, oleh karena Hakim harus bekerja lebih sungguh-sungguh dalam menemukan hukum (rechtsvinding) dan menciptakan hukum (rechtsshepping)”. Akan tetapi, sangat disayangkan masih banyak ditemukan kesungguhan hakim belum maksimal bahkan sekadar menerima apa adanya dalam undang-undang atau hukum positif. ”Sehingga hegemoni ini berimplikasi terhadap hak-hak dan atau kepentingan-kepentingan para pencari keadilan terabaikan atau bahkan kepatutan, keadilan, ketertiban dan kepentingan umum juga menjadi hal-hal yang terlupakan”. 35 Sedangkan di Amerika seorang Hakim dianggap menjalankan empat peranan: Pertama, menegakkan norma (norm enforcer) ; Kedua, membuat hukum (lawmaker); Ketiga, menjadi administrator, dan; 34
Majalah Varia Peradilan, Tahun XXV No. 293 , April 2010, hal. 67. Hadi Suyoto, Ibid.
35
Universitas Sumatera Utara
43
Keempat sebagai seorang politikus. 36
Peranan terakhir ini tidak lazim diakui di Indonesia, kecuali apabila diperdebatkan apa yang sering dikeluhkan para hakim, bahwa pada masa Orde Baru sangat terasa pengaruh Menteri Kehakiman (seorang yang ditunjuk secara politis) terhadap para Hakim, termasuk juga pada para Hakim Agung. Merujuk terhadap konsep tentang rasionalitas hukum, baik formal maupun substantif Max Weber menengarai adanya tiga tipe penyelenggaraan peradilan dalam masyarakat, yaitu: Pertama: Peradilan Kadi atau peradilan dengan fungsi perdamaian atas dasar kearifan dan kebijaksanaan sang Pengadil. Kedua: Peradilan Empiris, dalam peradilan ini Hakim memutuskan perkaraperkaranya dengan cara beranalogi dengan keputusan-keputusan terdahulu yang ada relevansinya dengan perkara yang sedang ditangani. Tipe yang kedua ini lebih rasional. Ketiga: Peradilan rasional, peradilan yang bekerja atas asas-asas kerja sebuah organisasi birokrasi dan hasilnya berlaku secara universal, peradilan inilah yang banyak berkembang di negara-negara modern, tidak terkecuali di Indonesia. 37 Sehingga ada pertanyaan yang muncul dari sebuah peradilan rasional, apakah hasilnya sudah bisa berlaku universal? Ketika putusan peradilan hanya didasarkan atas ketentuan-ketentuan perundang-undangan atau kitab undang-undang (rechtspraak naar wetboeken), ”pengadilan yang demikian ini adalah diilhami dengan paham positif atau moderne wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis (schreven wetgeving)”. 38
36
Mardjono Reksodiputro, Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum memperingati 70 tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH., Bandung: PT. Refika Aditama, Oktober 2008, hal. 110. 37 Hadi Suyoto, Op. Cit., hal. 68. 38 Djokosoetono, Hukum Tata Negara, kuliah dihimpun oleh Harun Al Rasyid pada tahun1959, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hal. 117. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Pengantar
Universitas Sumatera Utara
44
Konsep yang terus dicantumkan di dalam ketentuan undang-undang Kekuasaan Kehakiman, walaupun undang-undang tersebut telah berapa kali dirubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah diterimanya konsep yang menjadi acuan pengadilan pidana yaitu: Pertama, bahwa pengadilan menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Kedua, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ketiga, bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar mengadili. Keempat, bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Di dalam praktek konsep yang ada bernaung di dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut merupakan konsep yang selalu diabaikan untuk dipedomani oleh para hakim dalam memutus suatu perkara, khususnya konsep ketiga dan keempat. Para Hakim seharusnya konsisten menerapkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 39 (yang merupakan konsep
Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 7. 39 Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, ketentuan serupa juga diatur dalam Undang-Undang yang lama, yaitu pada Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan, bahwa: segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
Universitas Sumatera Utara
45
ketiga)
yang
membuka
peluang
bagi
sumber
hukum
tidak
tertulis
untuk
dipertimbangkan hakim dalam mengadili dan memutus perkara. ”Tetapi faktanya, pasal tersebut merupakan pasal yang mati suri dalam prakteknya”. Di satu sisi Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman membuka peluang diterapkannya sumber hukum tak tertulis dalam pertimbangan suatu putusan, di lain sisi Undang-Undang tersebut tidak menunjukkan konsistensinya, karena pada Pasal 6 ayat (2) ditegaskan bahwa tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan karena alat pembuktian yang sah ”menurut undang-undang”, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Pasal 6 ayat (2) tersebut secara terang-terangan menegaskan, bahwa: ”seseorang itu baru dapat dijatuhi pidana apabila menurut undang-undang cukup bukti bahwa seorang itu dianggap dapat dipertanggungjawabkan telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan atas dirinya”. Oleh karena itu, mungkin saja Pasal 6 ayat (2) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman inilah yang selalu menjadi tameng bagi Hakim dalam memutuskan perkara dengan mengabaikan pertimbangan sosiologis atau keadilan masyarakat. Dengan pasal tersebut Hakim merasa terbebaskan dari segala kritik terhadap putusannya yang tidak memuaskan banyak pihak. Hakim berpijak pada ajaran positivisme hukum secara kaku. Namun tidaklah adil, jika kritikan hanya ditujukan kepada Hakim dan putusannya, tanpa melihat problem
tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Universitas Sumatera Utara
46
mendasar pada sistem penegakan hukum di Indonesia yang menyebabkan prinsip keadilan menjadi lemah ditindas oleh prinsip kepastian hukum yang bernuansakan penerapan hukum tertulis secara kaku. Problem itu berakar dari sistem hukum yang dianut yaitu civil law system. Masalah utama terlihat ketika suatu hukum telah bertransformasi menjadi undangundang yang merupakan prinsip utama dari kultur civil law system, sistem ini telah diadopsi Indonesia. Problem yang tidak putus-putusnya dari reformasi hukum adalah problem yang menyangkut keadilan dalam hubungannya dengan penegakan hukum. Hukum ataupun peraturan perundang-undangan seharusnya bersikap adil, tetapi realitasnya keadilan bagai barang mewah yang tidak terjangkau sebagian masyarakat, terutama masyarakat kecil dan miskin. Tetapi di lain pihak, negara asal Civil Law System seperti Prancis telah membuka pintu untuk mentransfer sistem hukum yang lain, seperti common law system. Achmad Ali 40 mengatakan, bahwa: ”celakanya ketika para pakar Barat sendiri, khususnya pakar-pakar terkemuka dalam perbandingan hukum yang muncul belakangan, telah meralat atau telah merevisi sebagian pandangan arogan mereka, justru yang menamakan diri mereka ”pakar hukum Indonesia” di alam reformasi ini, masih memposisikan hukum dan hukum Indonesia ke dalam ”rumpun” atau sistem hukum Eropa Kontinental yang merupakan rumpun mantan majikannya, Belanda.
40
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Vol.1 Pemahaman Awal, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, hal. 498.
Universitas Sumatera Utara
47
Realitas hukum di Indonesia, memberlakukan: (1) Perundang-undangan (ciri Eropa Kontinental), (2) Hukum Adat (ciri customary law), (3) Hukum Islam dan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia (ciri Islamic Law System), (4) Hakim Indonesia di dalam praktek mengikuti ”Yurisprudensi” (ciri common law, dengan asasnya ”stare decisis”. Itulah argumen, sehingga ”pakar modern memasukkan Indonesia ke dalam ”Mix Legal System” (berlaku sistem hukum perundang-undangan, hukum adat dan hukum Islam), dan memang itulah yang tepat”. 41 Memperhatikan apa yang dikemukakan Achmad Ali di atas, tergambarlah bahwa ia sangat tidak setuju, jika Indonesia menganut sistem hukum Civil Law. Sampai-sampai ia menghujat pakar hukum lainnya yang berdiri atas pendapat Indonesia menganut sistem hukum Civil Law: ”Maka bagi para alumni Fakultas-Fakultas Hukum di Indonesia produk ”tempo doloe” senantiasa dicekoki dengan indoktrinasi, bahwa: ”sistem hukum Indonesia (yang mantan Kerajaan Hindia Belanda), adalah menganut sistem Civil Law atau Eropa Kontinental”, katanya”. 42 Begitu pula halnya dengan konsep keempat, hal tersebut diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang
Nomor
48
Tahun
2009
Tentang
Kekuasaan
Kehakiman,
mengamanatkan ”Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, tidak digunakan oleh para Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara (pidana). Padahal pasal tersebut memiliki titik temu dengan pemikiran Eugen Ehrlich yang menegaskan, bahwa: ”titik berat perkembangan hukum tidak terletak dalam 41
Ibid., hal. 499. Ibid., hal. 498.
42
Universitas Sumatera Utara
48
perundang-undangan juga tidak dalam putusan pengadilan maupun ilmu pengetahuan di bidang hukum akan tetapi dalam masyarakat itu sendiri”. 43 Putusan Hakim beberapa waktu belakangan ini, khususnya priode 2009-2011 banyak mendapat kritikan tajam dari masyarakat, karena dinilai mencederai rasa keadilan yang menyimpang dari nilai-nilai keadilan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 hasil amandemen Pasal 24 ayat (1) yang menentukan, bahwa kekuasaan Kehakiman (di mana produknya adalah putusan Hakim) merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menegakkan hukum dan keadilan, ibarat ketidakakuran antara bibir dan hati. Yang mencuat ke permukaan di dominasi oleh prinsip kepastian hukum, sementara keadilan tenggelam di dasar laut yang dalam. Padahal setiap putusan Hakim diawali dengan kalimat yang sangat sakral, yakni: ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kalimat ”Ketuhanan Yang Maha Esa” tersebut mengilhami mantan Hakim Agung, Bismar Siregar untuk mengatakan, bahwa: ”mengamati hukum yang berlaku sekarang ini, siapapun tidak akan menyangkal, bahwa apa yang disebut hukum yang Berketuhanan Yang Maha Esa, masih jauh dari harapan”. 44 Untuk menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan aparat penegak hukum, khususnya Hakim, tidaklah cukup hanya berbekal kualitas ilmu hukum dan ilmu
43
Eugen Ehrilch, Fundamental Prinsiples of the Sosiology of Law, New York: Arno Press, Edisi 1975, terjemahan oleh W. L. Moll. 44 Bismar Siregar, Meningkatkan Peranan dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Dalam Pembangunan Sebagai Pengamalan Pancasila Menjelang Tahun 2000, dalam Abu Daud Busroh, Derap Langkah Menabur Keadilan Memorial 60 Tahun, Jilid 1, Palembang, Sumatera Selatan: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda, 2005, hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
49
pengetahuan lainnya, tetapi lebih dari itu adalah kualitas ilmu pengetahuan dan sikap tentang bagaimana menegakkan hukum dan keadilan. Khususnya bagi Hakim, pedoman itu telah diatur secara tegas di dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan dengan tegas bahwa peradilan dilakukan ”Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.” Namun, apa yang dikatakan oleh Bismar Siregar tersebut di atas adalah fakta yang hingga tulisan ini dibuat, hukum Berketuhanan Yang Maha Esa itu hanya simbolik tanpa diwujudkan secara konsisten dan konsekwen di dalam praktek peradilan. Ini terbukti ada beberapa orang Hakim yang ditangkap oleh KPK karena diduga menerima suap. Satu di antaranya adalah Syarifuddin yang membebaskan Agusrin, Gubernur Bengkulu dalam kasus tindak pidana korupsi. Barda Nawawi Arief mengatakan, namun tidak sedikit di antara mereka, termasuk para Hakim yang tidak mengetahui pedoman/tuntunan Ilahiah (tuntunan Tuhan Yang Maha Esa) tentang bagaimana menegakkan kebenaran dan keadilan, sebagaimana misalnya terdapat tuntunan Al-Quran yang menyatakan antara lain: 1. ”Apabila kamu menghukum di antara manusia (”bainan naas”), maka hukumlah dengan adil”(Surat An-Nisaa: 58); 2. ”Tegakkanlah kebenaran dan keadilan walau pada dirimu sendiri, ayahibumu, maupun pada karib kerabat (kroni-kroni)-mu” (Surat An-Nisaa: 135); 3. ”Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran/keadilan” (Surat An-Nisaa: 135); 4. ”Janganlah kebencianmu kepada suatu kaum/golongan, mendorong/ menyebabkan kamu berlaku tidak adil” (Surat Al-Maidah: 8). 45
45
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 5-6.
Universitas Sumatera Utara
50
Tuntunan keadilan menurut Al-Quran di atas jelas mengandung prinsip-prinsip universal, yaitu: Prinsip Persamaan (”equality”; ”indiskriminasi”); tidak pilih kasih (”nonfavoritisme”; ”antinepotisme”; tidak berpihak (”fairness”, impartial”); dan prinsip objektivitas (tidak subjektif). Prinsip/nilai-nilai universal itu, saat ini terlihat semakin melemah atau mengalami erosi. Peningkatan kualitas para penegak hukum terhadap tuntunan keadilan keTuhanan Yang Maha Esa di atas, tentunya tidak hanya sebatas kemampuan pengetahuan (”knowledge/cognitive”) saja, akan tetapi diharapkan menjiwai keyakinan dan sikapnya, bahwa apabila keadilan berdasarkan tuntunan Illahi itu tidak diikuti dan dilaksanakan, maka rusaklah masyarakat. Gustav Radbruch mengatakan, bahwa pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek. Yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai, yakni: Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi hukum. Aspek ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu menjamin, bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati. 46
Keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama dari pada yang lainnya. Dalam hal ini Indonesia pada prakteknya menganut Positivisme hukum, yang mengabaikan secara transparan pendapat dari Gustav Radbruch di atas, sedangkan secara teoretis hukum positif yang berlaku di Indonesia khususnya tentang Kekuasaan 46
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, cet. ke enam, 1990, hal. 163.
Universitas Sumatera Utara
51
Kehakiman menomorsatukan aspek keadilan. Kenapa ini bisa terjadi? Oleh karena itu, hal ini sangat perlu untuk diteliti secara ilmiah dan bukan berdasarkan asumsi belaka. Positivisme hukum termasuk dalam kategori ilmu pengetahuan hukum modern. Karakter utama hukum modern adalah sifatnya yang rasional. Rasionalitas ini ditandai oleh sifat peraturan hukum yang prosedural. Prosedur, dengan demikian menjadi dasar legalitas yang penting untuk menegakkan apa yang disebut keadilan, bahkan prosedur menjadi lebih penting daripada bicara tentang keadilan (justice) itu sendiri. Di dalam konteks ini upaya mencari keadilan (searching for justice) bisa menjadi gagal hanya karena terbentur pelanggaran prosedur. “semua penanganan kasus harus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku”, demikian ungkapan yang merepresentasikan betapa pentingnya prosedur demi menjamin rasionalitas hukum. ”Sebaliknya segala bentuk upaya lain mencari kebenaran dalam upaya menegakkan keadilan, di luar peraturan hukum yang berlaku tidak dapat diterima dan dianggap sebagai out of legal thought, bahkan illegal”. 47 Pada sistem hukum modern, keadilan (justice) sudah dianggap diberikan dengan membuat hukum positif. Akan tetapi di dalam praktek, penggunaan paradigma positivisme dalam hukum modern ternyata juga banyak menimbulkan kekakuan-kekakuan sedemikian rupa, sehingga pencarian kebenaran (searching for the truth) dan keadilan (searching for justice) tidak tercapai karena terhalang ”tembok-tembok ”prosedural.
47
FX. Adji Samekto, Justice Not For All: Kritik terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi Hukum Kritis, Yogyakarta: Genta Press, 2008, hal. 33-34.
Universitas Sumatera Utara
52
Resolusi PBB pada Kongres PBB ke-9 Tahun 1995 di Kairo Tentang “Criminal Justice Management in The Context of Accountability of Public Administration and Sustainable Development”, telah menentukan a.l.: a. Peradilan (pidana) bertanggung jawab untuk terselenggaranya peradilan pidana yang efisien dan manusiawi (humane and efficient criminal justice); b. Manajemen peradilan pidana merupakan bagian dari administrasi publik yang bertanggung jawab pada masyarakat luas; c. Penyelenggaraan peradilan pidana harus merupakan bagian dari kebijakan pembangunan sumber daya yang berkelanjutan (a policy of sustainable development of resources), termasuk “ensuring justice” dan “the savety of citizens”. 48 Lebih lanjut dalam “working paper” Kongres PBB ke-9 Tahun 1995 di Kairo tersebut pada dokumen A/CONF. 169/6, tersebut juga menentukan:
a. semua aspek dari penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana bertanggung jawab agar sistem peradilan mendapat kepercayaan dan respek masyarakat (to gain public trust and respect). b. Agar mendapat kepercayaan dan respek masyarakat, maka Sistem Peradilan Pidana harus terbuka dan transparan (must be open and transparant). c. akuntabilitas Sistem Peradilan Pidana merupakan bagian dari konsep pemerintahan yang baik (accountability of the criminal justice system is part of the concept of good governance) yang pada gilirannya akan menjamin keberhasilan masyarakat yang berkelanjutan (sustainable society). 49
Sistem Peradilan Pidana yang sehat “sangat diperlukan”, karena merupakan: 1. bagian integral dari kebijakan membangun kepercayaan dan respek masyarakat (public trust and respect); 48
Dokumen A/CONF. 169/6 Resolusi PBB pada Kongres PBB ke-9 Tahun 1995 di
Kairo. 49
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
53
2. bagian integral dari kebijakan pengembangan sistem pemerintahan yang baik (good governance); dan 3. bagian integral dari kebijakan meningkatkan kualitas lingkungan (quality of life) dan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). 50 Sehubungan dengan itu, Deklarasi Wina pada Kongres PBB ke-10 Tahun 2000 dalam dokumen A/CONF.187/4/Rev.3 tanggal 15 April 2000, juga menentukan, bahwa: “Tiap negara bertanggung jawab untuk menegakkan dan mempertahankan: “a fair, responsible, ethical and efficient criminal justice system”. 51
Dengan demikian dalam deklarasi ini tidak ditonjolkan semata-mata pada prinsip
peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan. Hakim Cardozo mengatakan, bahwa dalam penerapan hukum yang baik sangat dibutuhkan kesadaran para hakim mengenai nilai-nilai kepentingan yang berkembang di tengah masyarakat. Hakim harus menggunakan cara yang dipergunakan pembuat undang-undang, yakni: ”dengan melakukan penyelidikan terhadap kepentingan yang berkembang di dalam masyarakat. Hanya dengan memahami perkembangan kepentingan di masyarakat hakim dapat menerapkan hukum secara benar dan adil”. 52 Selanjutnya Hakim Cardozo mengatakan, bahwa: ”oleh karena hukum sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen di luar hukum, maka para penegak hukum dalam mewujudkan tugas utama hukum harus
50
Ibid. Deklarasi Wina pada Kongres PBB ke-10 Tahun 2000 dalam dokumen A/CONF.187/4/Rev.3 tanggal 15 April 2000. 52 Ibid., hal. 64. 51
Universitas Sumatera Utara
54
memahami secara benar logika, sejarah, adat istiadat, pedoman perilaku yang benar agar keadilan dapat ditegakkan”. 53 Satjipto Rahardjo mengatakan, bahwa: ”tugas hakim dalam menerapkan hukum tidak selalu dipahami sebagai upaya sosial kontrol yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus mendisain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering.” 54 Ajaran Teori hukum rasional menolak pandangan bahwa Hakim harus selalu memutus perkara sesuai perintah yang sudah digariskan undang-undang. ”Hakim seharusnya menguji undang-undang terhadap perkembangan kebutuhan (needs) yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hakim bukan corong undang-undang.” 55 Di dalam praktek, penggunaan paradigma positivisme dalam hukum modern ternyata juga banyak menimbulkan kekakuan-kekakuan sedemikian rupa, ”sehingga pencari kebenaran (searching for the truth) dan keadilan (searching for justice) tidak tercapai karena terhalang oleh tembok-tembok procedural.” 56 periode 2009/2010 media massa seringkali
Sehingga, pada
memberitakan sejumlah praktek
penegakan hukum untuk rakyat kecil yang dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat. Satu di antaranya adalah peradilan terhadap seorang nenek pencuri 3 (tiga) buah kakao.
Sebagai alat kekuasaan, hukum cenderung tumpul saat
berhadapan dengan mereka yang memiliki kekuasaan. Sebab, kekuasaan mereka
53
Ibid., hal. 48. Ibid., hal. 53. 55 Ibid., hal. 63. 56 FX Adji Samekto, Studi hukum Kritus kritik terhadap hukum modern, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 51. 54
Universitas Sumatera Utara
55
dapat
menundukkan hukum. Sebaliknya, ”hukum amat tajam saat berhadapan
dengan orang kecil yang tak punya kuasa”. 57 Pada saat ini pelaksanaan penegakan hukum, khususnya dalam peradilan pidana cenderung dilakukan dengan prosedural yang kaku. Hukum untuk rakyat kecil ditafsirkan persis dengan teks undang-undang dan mengabaikan pertimbangan nurani, aspek sosial dan moral. Dengan kata lain positivisme hukum dipraktekkan secara membabi buta. Padahal baik dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, 58 maupun dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 59 mengisyaratkan, bahwa: 60 ”positivisme hukum tersebut dapat diterobos.” Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, pada saat melakukan kunjungan kerjanya ke salah satu sel Lembaga Pemasyarakatan (LP) 57
Saleh Ridla, Wakil Ketua Komnas Ham Media Massa Ikut Pantau Keadilan, Pers Jadi Harapan Bongkar Ketidakadilan, Kompas, Senin 15 Februari 2010, hal. 4. 58 Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya. 59 Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan, bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya pada ayat (2) menentukan, bahwa: dalam mempertimbangan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Hal ini diperkuat lagi dalam penjelasan pasal yang menyebutkan bahwa berdasarkan ketentuan ini, maka dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, maka Hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa, sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya. 60 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 29 Oktober 2009, yaitu pada saat diundangkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ini ditegaskan juga, bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
56
Anak Tangerang, sangat terperanjat, ketika bertemu dengan Aris. Ia tidak menduga Aris yang masih sangat belia telah dihukum berat, walau hanya mencuri sebuah telepon genggam. Konsekuensinya, “Ia akan menghabiskan masa remajanya di penjara. Ini sangat memprihatinkan,” kata Patrialis. 61 Dalam kunjungan kerja sebelumnya di LP Anak Tangerang, pada bulan Desember 2009, Patrialis juga pernah menemukan empat anak berusia 10 tahunan yang dihukum 3-4 tahun, karena terlibat berbagai kejahatan. Padahal, ”semestinya anak-anak itu tidak perlu menjalani hukuman di penjara, dan dikembalikan kepada orang tuanya.” 62 Menurut Sosiolog Kastorius Sinaga di Jakarta,
cerita anak-anak yang
terpaksa mendekam di penjara itu kian menggambarkan ketidakadilan yang dirasakan rakyat miskin di negeri ini. Aris dan kawan-kawan adalah korban penerapan hukum yang mengabaikan rasa keadilan. Ia membandingkan hukuman bagi Aris dengan Robert Tatular, pemilik Bank Century, yang juga dihukum lima tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Bahkan, di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Robert sebelumnya dihukum empat tahun penjara. “Kita perlu benar-benar mendesak agar penegakan hukum di negeri ini dapat memberikan rasa keadilan, menimbulkan efek jera, dan memberikan jaminan kepastian hukum,” tutur Kastorius, yang juga Direktur Eksekutif Centre for Information and Law Economic Studies itu. 63
61
Kompas, Senin, 15 Februari 2010, hal. 1. Ibid. 63 Ibid. 62
Universitas Sumatera Utara
57
Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, juga sangat prihatin terhadap sejumlah peristiwa hukum yang belakangan sering menyinggung rasa keadilan masyarakat. Cerita pemidanaan “kenakalan” anak di Surabaya atau hukuman bagi Nenek Minah yang diduga mencuri kakao terjadi saat penegak hukum menerapkan hukum seperti apa yang tertulis. Penegak Hukum berperilaku seperti itu terutama saat berhadapan dengan pelanggar dari kalangan masyarakat kelas bawah dan miskin. Sementara pada pelanggar hukum yang berasal dari kalangan mampu, baik secara financial maupun terhadap yang memiliki akses pada kekuasaan, maka penegak hukum tidak melakukan hal serupa, bahkan cenderung mengatur sedemikian rupa supaya hukum bisa lebih menguntungkan bagi pelanggar jenis itu. Dengan pengukuhan dirinya sebagai Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD mendesak penegak hukum lebih mendahulukan kebenaran substantif dalam menegakkan hukum. “Hukum kita saat ini memang tengah mengalami persoalan besar, terutama kita orang kecil yang berurusan dengan hukum, aparat langsung memperlakukan bunyi hukum secara formal. Seorang nenek yang dilaporkan mencuri tiga buah kakao bisa langsung ditangkap dan diproses sampai ke pengadilan,”ujarnya. Namun jika pelaku adalah orang mampu atau orang yang memiliki akses kekuasaan, unsur dalam undangundang coba disamarkan atau dicari-cari aturan yang seakan-akan membenarkan tindak pidana itu. Akibatnya, terjadilah banyak kasus yang dinilai sangat memprihatinkan seperti ketika seorang pengendera sepeda motor ditangkap dan diadili karena dianggap lalai sehingga menyebabkan kematian isterinya. Padahal, ia
Universitas Sumatera Utara
58
juga korban kecelakaan itu. Rasa keadilan masyarakat juga terluka. “Apalagi saat melihat dalam kasus besar, yang jelas pelakunya ada dan keuangan Negara dibobol, penegak hukum malah sibuk bicara soal unsur hukum formal, yang katanya belum terpenuhi, sehingga kasus besar itu tak kunjung selesai,” ujarnya. 64 Sehubungan dengan itu, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Katolik Soegijaoranata Semarang, Agnes Widanti mengakui, masyarakat miskin semakin tak berdaya saat berhadapan dengan hukum. Penegak hukum dengan mudahnya menjatuhkan hukuman kepada masyarakat miskin yang terbukti bersalah tanpa melihat konteks mengapa hal itu terjadi. Agnes mengakui, saat ini semua orang yang memiliki kekuasaan dengan leluasa menerapkan kekuasaannya melalui jalur hukum. Karena itu, orang yang tidak memiliki kuasa apapun, seperti orang miskin, dengan mudahnya dijerat. Dalam hukum progresif, seharusnya penegak hukum tidak hanya berlaku normatif. “Adakalanya penegak hukum harus mendengar hati nuraninya. Kasus Minah yang mengambil tiga kakao misalnya, Hakim tidak perlu menangis. Keyakinan hakim bisa digunakan untuk membebaskan seseorang,” ujar Agnes lagi. 65 Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang Siti Rakhma Mary Herwati menambahkan, hukum saat ini cenderung tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tidak memiliki uang. Menurut Rakhma, harus ada keadilan yang dirasakan 64
Ibid., hal. 15. Ibid.
65
Universitas Sumatera Utara
59
rakyat, jika berhadapan dengan hukum. Akan tetapi, kenyataannya hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin. Rahkma menambahkan, negara lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat, ketika menegakkan undang-undang atau peraturan. Akibatnya, penegak hukum hanya menjadi corong dari aturan. “Ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positivisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial,” ujar Rakhma. Dari kasus yang ditangani LBH Semarang, kasus pencurian kapuk randu di Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang dengan terdakwa Manisih (39), Sri Sumarti (19), Jowono (16), dan Rusnoto (14), sebagai contoh. Keempatnya akhirnya dihukum 24 hari penjara karena dinilai terbukti mencuri 14 Kilogram randu senilai Rp 12.000. Padahal, yang mereka lakukan adalah nggeresek (mengambil sisa panen) yang menjadi tradisi masyarakat setempat.66 Selain pencurian telepon genggam, kakao, randu, media massa juga memberitakan kasus-kasus pidana yang dilakukan rakyat kecil, seperti pencurian sebuah semangka di kebun Gaguk Prambudi, warga Ngampel, Kediri yang dilakukan oleh Basar Suyanto dan Kholil, dihukum percobaan 15 hari, tetapi selama proses hukum berjalan, pelaku sudah ditahan selama 2 bulan 10 hari. Selanjutnya seorang lelaki bernama Aspuri yang berusia 19 tahun telah ditahan selama dua setengah bulan dengan alasan melanggar Pasal 362 KUHP,
66
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
60
karena disangka melakukan pencurian sebuah baju yang terletak di pagar rumah yang tidak bertuan. Selain itu, kasus yang menimpa seorang lelaki bernama Lanjar Sriyanto, warga Solo, Jawa Tengah dalam kecelakaan lalu lintas. Ia dianggap lalai mengenderai motor, sehingga menghilangkan nyawa isterinya. Ia ditahan sekitar sebulan. Kasus Lanjar dan isterinya bernama Saptaningsih dan anaknya terlibat kecelakaan di Colomadu, Kabupaten Karanganyar. Sepeda motor Lanjar menabrak mobil Suzuki Carry yang berhenti mendadak di depannya. Isterinya terpelanting dan akhirnya tewas akibat tertabrak mobil Isuzu Panther yang saat bersamaan muncul di jalur berlawanan. Lanjar diduga lalai dan didakwa berdasarkan Pasal 359 dan 360 KUHP. Pengemudi Panther yang notabene anggota Kepolisian Resort Ngawi hanya dijadikan saksi. Berbagai kasus tersebut di atas mungkin telah berulang kali terjadi, namun mungkin pula tak terdeteksi oleh pers sehingga tak diketahui secara meluas oleh masyarakat. Sehubungan dengan itu, Satjipto Rahardjo mengatakan, bahwa: ”hukum itu bukan hanya peraturan, bukan mesin, melainkan syarat dengan peran yang dimainkan oleh manusia.” 67 Hukum tidak pernah sepi dari berkelebatnya manusiamanusia yang menjalankan hukum itu. Sudah sejak kehadiran dari peraturan, sistem hukum, tata cara menjalankan hukum dan sebagainya, manusia berperan besar. Manusialah yang membuat peraturan dan lain-lainnya itu, sehingga segala sesuatu terpulang kembali kepada manusia juga. Selain itu, pencurian sebuah baju, yang 67
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir. Catatan Kritis Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: Buku Kompas, 2007, hal. 104.
Universitas Sumatera Utara
61
tergantung begitu saja dipagar, kemudian dipersamakan dengan pencurian motor atau bahkan kasus-kasus korupsi yang mencuri uang negara yang sangat banyak. Akhir-akhir ini, hukum dan perubahan sosial menunjukkan trend yang justru menyakiti nurani masyarakat. Kejadian nenek Minah dan biji kakaonya merupakan bukti nyata trend ini. Sifat pemidanaan untuk menimbulkan efek jera justru berbalik jadi “senjata makan tuan” yang membuat orang kemudian mempertanyakan dan mempersalahkan hakikat hukum itu sendiri. Kasus yang tak kalah menarik untuk diungkapkan adalah kasus yang menimpa seorang perempuan, bernama Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang dijebloskan ke penjara akibat tindakannya menuliskan keluhan yang dialaminya di surat pembaca elektronik. Rasa keadilan masyarakat tercabik, akibatnya jutaan orang menyatakan simpati pada Prita. Mereka rela memberikan uang receh, uang koin, mulai dari anak jalanan hingga anak orang kaya. Dari orang biasa hingga artis tenar. Mereka memberikan dukungan untuk membantu Prita yang dihukum membayar Rp 204 juta oleh Pengadilan Tinggi Banten. Di samping digugat secara perdata, Prita juga dilaporkan secara pidana dengan jeratan pasal berlapis, dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hingga Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pengadilan Negeri Banten dalam agenda sidang pembacaan putusan sela, Majelis Hakim yang diketuai oleh Karel Tuffu menolak dakwaan penuntut umum tentang pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera yang dilakukan oleh Prita Mulyasari. Menurut Majelis Hakim, dakwaan penuntut umum
Universitas Sumatera Utara
62
kabur, tidak jelas, dan tidak cermat. Dalam putusan tersebut, majelis hakim menilai, bahwa dakwaan batal demi hukum karena surat dakwaan penuntut umum tidak cermat dengan pertimbangan bahwa penerapan undang-undang yang disangkakan kepada terdakwa Prita Mulyasari, yaitu Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, belum bisa diterapkan, dan baru bisa diterapkan setelah dua tahun diundangkan atau terhitung 21 April 2010. Hakim juga menilai surat dakwaan yang menyatakan bahwa Prita Mulyasari telah merugikan dan mencemarkan nama baik dokter dan Rumah Sakit Omni International tidak terbukti. Surat elektronik yang dibuat dan dikirim terdakwa dinilainya hanya keluhan buruknya layanan dan ketidakprofesionalan rumah sakit. Perbuatan terdakwa tidak termasuk melawan hukum. Untuk itu majelis hakim memutuskan mengabulkan eksepsi penasihat hukum Prita. Pada tanggal 29 Desember 2009, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan vonis bebas dengan putusan disebutkan, bahwa berdasarkan pertimbangan fakta-fakta dalam persidangan dan barang bukti, apa yang dilakukan terdakwa adalah tidak bermuatan penghinaan sebagaimana tuntutan penuntut umum. Surat Elektronik Prita dengan subjek Penipuan RS Omni International merupakan bagian dari kritik. Surat ini menurut Majelis Hakim semestinya dilaporkan ke Majelis Kehormatan Kedokteran. Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menilai vonis bebas yang diberikan kepada Prita telah memberikan pembelajaran bagi semua pihak,
Universitas Sumatera Utara
63
termasuk Depkominfo, untuk melakukan perbaikan undang-undang, khususnya Undang-Undang Infomasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). ”Saya rasa UU ITE mesti kita telaah lagi,” ujarnya saat menggelar jumpa pers akhir tahun 2009 di Jakarta beberapa tahun lalu. Untuk itu Menkominfo mempersilakan masyarakat memberikan masukan kepada pemerintah terhadap perbaikan regulasi tersebut. ”Jika misalnya ada hal-hal yang kurang pas, silakan dikoreksi. Masyarakat silakan memberikan masukan untuk UU ITE itu,” kata Tifatul Sembiring. 68 Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Moh. Mahfud MD mengaku senang dengan Putusan Hakim yang membebaskan Prita Mulyasari. ”Saya senang Prita dibebaskan, karena merupakan cerminan rasa keadilan,” kata Mahfud di Gedung MK kemarin. Menurutnya, ”kasus yang menyeret Prita memang tidak tepat diproses di pengadilan”. 69 Namun kegembiraaan Prita dan para simpatisannya tak berlangsung lama karena
Mahkamah
Agung
yang
diharapkan
memberikan
putusan
yang
mencerminkan rasa keadilan masyarakat, terutama masyarakat kecil dalam strata sosial yang rendah justru menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Banten, mengabulkan permohonan Kasasi Penuntut Umum, dengan amar putusan menyatakan Prita bersalah melakukan pencemaran nama baik melalui surat elektronik (e-mail).
68
Harian Seputar Indonesia, Rabu 30 Desember 2009, hal. 7. Ibid.
69
Universitas Sumatera Utara
64
Keputusan ini, jelas mengundang kecaman dari berbagai pihak. Menurut OC. Kaligis 70, ”keputusan MA tersebut dianggap tidak adil, apalagi jika dibandingkan dengan perkara Majalah Time dan Playboy yang menang sebelumnya di tingkat Mahkamah Agung”. Inilah wajah hukum Indonesia, tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Mungkin masih hangat dalam ingatan Kita bagaimana seorang nenek yang berumur 55 tahun harus diperkarakan hanya karena tiga buah kakao. Advokat senior Todung Mulya Lubis menilai, ”Mahkamah Agung tidak peka terhadap kondisi sosial masyarakat dalam mengabulkan Kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum perkara pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional yang menjerat Prita Mulyasari”. 71 Kondisi masyarakat yang telah memiliki kesadaran tinggi serta menguasai penggunaan teknologi tidak dipertimbangkan sungguh-sungguh oleh Mahkamah Agung. Selain itu, ”Mahkamah Agung tidak peka terhadap perubahan-perubahan kesadaran publik yang begitu tinggi termasuk dalam menggunakan teknologi informasi yang betul-betul canggih,”kata Todung”. 72 Todung menilai Prita tidaklah bersalah. Ibu tiga anak itu hanya mengkritik manajemen rumah sakit Omni melalui media online. ”Menurut saya sah-sah saja, karena media itu terbuka untuk publik,”katanya. Dengan menghukum Prita menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi hukum telah membungkam hak kritik warga negara.
Elektronik penegak Membungkam hak untuk
melakukan koreksi, katanya lagi.” Kasus Prita bukanlah kasus terakhir yang 70
O.C. Kaligis, Harian Jurnal Medan, Jum’at 15 Juni 2011. Todung Mulya Lubis, Harian Tribun Medan, Senin, 11 Juli 2011. 72 Ibid. 71
Universitas Sumatera Utara
65
menyayat sanubari pencari keadilan, terutama bagi masyarakat kecil dan miskin. Masih banyak kasus serupa baik karena tak terpantau media atau terpantau akan tetapi dibiarkan saja karena mungkin nilai jual beritanya rendah.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimana konsistensi asas legalitas dengan berlakunya hukum tidak tertulis dalam hukum pidana? 2. Bagaimana implementasi konsep the living law dalam undang-undang hukum pidana Indonesia? 3. Bagaimana peranan penegak hukum dalam menerapkan hukum tidak tertulis?
C. Asumsi Dalam asumsi ini dideskripsikan dugaan awal atau jawaban sementara mengenai permasalahan yang akan diteliti ataupun kajian sebagai berikut: 1. Penegakan hukum pidana di Indonesia sering kali dihadapkan pada jenis kejahatan yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Terdapat tindakan-tindakan baru yang ternyata merugikan, sementara hukum pidana tertinggal jauh dengan perkembangan masyarakat. Kenyataan ini menimbulkan suatu dilema terhadap eksistesi asas legalitas, apakah kepastian hukum akan dikalahkan oleh upaya pemenuhan keadilan dalam masyarakat atau
Universitas Sumatera Utara
66
sebaliknya. Asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana, oleh karenanya walaupun ada pergeseran asas legalitas di dalam praktek, terutama dianutnya ajaran sifat melawan hukum materiel, pergeseran tersebut harusnya bersifat kasuistis saja, sehingga asas legalitas tetap konsisten keberadaannya dalam praktek hukum pidana di Indonesia. Asas legalitas masih harus dipandang perlu keberadaannya dalam sistem hukum pidana Indonesia, hal ini disebabkan selain adanya suatu kepastian hukum, juga menghindari adanya suatu bentuk kesewenang-wenangan dari aparatur penegak hukum maupun penguasa dalam konteks yang lebih luas. Tegasnya asas legalitas dalam praktek peradilan pidana di Indonesia tidak diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki oleh Pasal 1 KUHP; 2. Asas legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen. KUHP ataupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan bidang perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan tersebut. Dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan pengadilan adat memungkinkan diterapkannya pidana adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) walaupun tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP yang berlaku. Hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) cakupannya begitu luas. Di antaranya tercakup hukum kebiasaan, hukum adat dan pada dasarnya hukum tersebut mempunyai karakter yang sama, yaitu tidak tertulis. Dalam Rancangan KUHP, hukum yang hidup dalam masyarakat ini dicantumkan pada Pasal 1 angka (3).
Universitas Sumatera Utara
67
Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) adalah untuk menarik hukum yang tidak tertulis menjadi hukum formal. Sayangnya Pasal 1 angka (3) tersebut tidak memberikan pengertian yang jelas apa yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat; 3. Dalam penegakan hukum, selayaknyalah bukan semata-mata ditumpukan pada Hakim atau pengadilan, tetapi peranan penegak hukum lainnya seperti Jaksa/Penuntut Umum dituntut pula peran sertanya untuk menerapkan hukum sebagaimana mestinya, tidak hanya hukum tertulis tetapi juga hukum tidak tertulis, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 73
D. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Menurut Kamus Concise Oxford Dictionary, teori diartikan sebagai suatu indikator dari makna sehari-hari, anggapan yang menjelaskan tentang sesuatu, khususnya yang berdasarkan pada prinsip-prinsip independen suatu fenomena dan lain-lain yang perlu dijelaskan. ”Teori berasal dari kata ”theoria”, dalam bahasa
73
Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia menentukan bahwa:”Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.”
Universitas Sumatera Utara
68
latin berarti ”perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata ”thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas”. 74 Kerangka teori75 adalah ”penentu tujuan dan arah penelitian dan dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna membentuk hipotesis-hipotesisnya, maka teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk”. 76 Oleh karena itu, dalam suatu penelitian pemahaman suatu teori sangatlah dibutuhkan, karena dengan pemamaham teori tertentu si peneliti akan dapat menguraian atau menganalisis konsep-konsep atau variabel-variabel yang terkandung di dalam cakupan teori tersebut. Sebagaimana dikemukakan Richard M. Steers, bahwa: a theory is a set of statements that serve to amplify the manner in which certain concepts or variables are interrelated. These statements result bolth from our present level of knowledge on the topic and from our assumptions about the variables themselves, that can be tested in the field or laboratory.
74
H.R. Otje Salman, Anthon F. Susanto dalam bukunya berjudul Teori Hukum, Bandung, Refika Aditama, 2009 mengutip Soetandyo Wignjo Soebroto: Teori adalah adalah suatu konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam pengalaman ialah alam yang tersimak bersaranakan indera manusia. Sehingga tak pelak lagi bahwa berbicara tentang teori seseorang akan dihadapkan kepada dua macam realitas, yang pertama adalah realitas in abstraco yang ada di alam idea imajinatif, dan kedua adalah padanannya yang berupa realitas in concreto yang berada dalam pengalaman indrawi. 75 Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosio Yuridis dan Masyarakat, Bandung: Alumni, 1983, hal. 111-112, menyebutkan lima macam kegunaan dari teori, yaitu: Pertama, teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diteliti atau diuji kebenarannya. Kedua, teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta perkembangan-perkembangan definisi-definisi. Ketiga, teori biasanya merupakan ikhtiar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut obyek yang diteliti. Keempat, teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan kemungkinan fakta-fakta tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang. Kelima, teori memberikan petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti. 76 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustama Utama, 1997, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
69
In short, a theory is simply a technique or model that permits us to better understand how different variables fit together. 77 Jadi sesuai dengan pendapat Steers, bahwa teori adalah seperangkat pernyataan-pernyataan yang disediakan untuk menjelaskan tentang konsep-konsep atau variabel-variabel tertentu yang saling berhubungan. Pernyataan-pernyataan ini dihasilkan dari tingkat pengetahuan saat ini dan dari asumsi
tentang variable-
variabel itu sendiri yang memperkenankan untuk menarik simpulan atau proposisi logis atau hipotesis yang dapat diuji di lapangan atau laboratorium. Secara singkat, ”suatu teori adalah teknik atau model yang membantu untuk mengenali lebih baik bagaimana variabel-variabel yang berbeda itu dapat berhubungan dengan tepat.” 78 Pengadilan merupakan representasi utama wajah penegakkan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, tetapi juga keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan-putusan hakimnya. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum telah mendorong meningkatnya ketidak percayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Proses peradilan dalam praktek sering ditafsirkan sebagai suatu proses memeriksa dan mengadili berdasarkan hukum positif semata-mata. Pandangan ini telah mendominasi pemikiran para Hakim yang mengadili suatu kasus, sehingga apa
77
Artidjo Alkostar, Korelasi Korupsi Politik Dengan Hukum dan Pemerintahan di Negara Modern (Telaah Tentang Praktek Korupsi Politik Dan Penanggulangannya), Ringkasan Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Dipenogoro Semarang, 2007, hal. 7-8, mengutip Steers, Richard M., Introduction to Organizational Behavior, Scott, Foresman and Company, USA, 1988, hal. 631. 78 Ibid., hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
70
yang menjadi ketentuan undang-undang itulah yang akan menjadi dasar penjatuhan hukuman atau pembebasan terdakwa (pelaku) dari jeratan hukum. Pandangan tersebut di atas sudah barang tentu memiliki kelemahan, karena dapat berakibat penegakan hukum yang kaku, cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat, oleh karena proses mengadili dalam kenyataannya bukanlah proses yuridis semata. Proses peradilan bukan hanya menerapkan pasal-pasal dari undangundang yang didakwakan. Oleh karena itu, sebagai kerangka teori dalam disertasi ini, maka digunakan teori Negara Hukum sebagai teori utama (Grand Theory).
Selain itu, juga
digunakan teori Hukum Pembuktian (Middle Theory) dan teori Living Law (Applied Theory), sebagai berikut: a. Teori Negara Hukum: Dalam teori negara hukum dikenal dua macam konsepsi tentang negara hukum yang terdiri dari konsep negara dalam arti rechtstaat dan negara hukum dalam pengertian rule of law. Istilah rechtstaat dikenal di negara-negara Eropa Kontinental, paham ini dikembangkan antara lain oleh Friedrich Julius Stahl, sedangkan the rule of law dikembangkan di negara-negara Anglo Saxon, para penganut common law yang dipelopori oleh Albert Venn Dicey. Kedua konsep tersebut memiliki maksud yang sama, yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia dan penghormatan atas martabat manusia.
Universitas Sumatera Utara
71
Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur rechtsstaat dalam arti klasik, yaitu: a. Perlindungan hak-hak asasi manusia; b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica); c. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur); d. Peradilan administrasi dalam perselisihan. 79 A. V. Dicey mengemukakan, bahwa ”rule of law” yang membentuk prinsip fundamental konstitusi, memiliki tiga makna atau dapat dilihat dari tiga sudut pandang yang berbeda, yakni: 80 Pertama, ia berarti supremasi atau superioritas hukum reguler yang mutlak yang bertentangan dengan pengaruh kekuasaan sewenang-wenang, dan mencabut hak prerogatif atau bahkan kekuasaan bertindak yang besar di pihak pemerintah karena munculnya kesewenang-wenangan tersebut. Kedua, kesetaraan di depan hukum, atau ketundukan setara semua kelompok masyarakat kepada hukum umum negara yang dijalankan oleh mahkamah hukum umum; menurut pengertian ini ”rule of law” membuang gagasan mengenai pengecualian pejabat pemerintahan atau orang-orang lain dari kewajiban untuk patuh kepada hukum yang mengatur warga negara yang lain atau terbebas dari yurisdiksi mahkamah umum; tidak ada sesuatu yang benarenar sesuai dengan hukum administratif (droit administartif) atau pengadilan administratif (tribunaux administratif) Prancis. 79
Friedrich Julius Stahl dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998, hal. 57-58. 80 A. V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (Pengantar Studi Hukum Konstitusi), Penerjemah Nurhadi, M.A., Bandung: Nusamedia, 2007, hal. 264-265.
Universitas Sumatera Utara
72
Gagasan yang mendasari ”hukum administartif” yang dikenal di luar negeri adalah, bahwa berbagai urusan atau perselisihan yang menjadi pemerintah dan para pembantunya berada di luar ranah pengadilan negeri (civil courts) dan harus diselesaikan oleh lembaga khusus atau kurang lebih resmi. Gagasan ini sama sekali tidak dikenal di dalam hukum Inggris, dan memang benar-benar tidak sejalan dengan tradisi dan adat istiadat Inggris. Ketiga, dapat digunakan sebagai rumusan untuk mengungkapkan fakta, bahwa bagi Inggris hukum konstitusi aturan-aturan yang di luar negeri biasanya membentuk sebagian undang-undang konstitusi, bukanlah sumber melainkan konsekuensi hak-hak individu, karena ditentukan dan dijalankan oleh pengadilan, bahwa singkat kata, asas-asas hukum pribadi bagi Inggris merupakan keputusan pengadilan dan Parlemen yang telah sedemikian diperluas untuk menentukan kedudukan pemegang tahta dan para abdinya. Sehingga, konstitusi merupakan hasil dari hukum umum negara. Dengan demikian A.V. Dicey secara tegas mengatakan, bahwa hukum pribadi itu adalah merupakan keputusan pengadilan dan Parlemen. Hal tersebut dapat dimaknai, pengadilan melalui hakim-hakimnya dapat membuat hukum, menemukan hukum, yang sekaligus membuka peluang untuk penerapan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat (Living Law). Perbedaan yang menonjol antara konsep rechtsstaat dan the rule of law ialah pada konsep yang pertama peradilan administrasi negara merupakan suatu sarana yang sangat penting dan sekaligus pula ciri yang menonjol pada
Universitas Sumatera Utara
73
rechtsstaat itu sendri. Sebaliknya pada the rule of law, peradilan administrasi tidak diterapkan karena kepercayaan masyarakat yang demikian besar kepada peradilan umum. Ciri yang menonjol pada konsep the rule of law ialah ditegakkannya hukum yang adil dan tepat (just law). 81 Karena semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, maka ordinary court dianggap cukup untuk mengadili semua perkara termasuk perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah. Ke empat prinsip ”rechtstaat” yang dikembangkan oleh F. Julius Stahl pada pokoknya dapat digabungkan dengan ke tiga prinsip ”rule of law” yang dikembangkan oleh A. V. Dicey untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern di zaman sekarang. Bahkan oleh ”The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting negara hukum menurut ”The International Commission of Jurists” itu adalah: 1) Negara harus tunduk pada hukum; 2) Pemerintah menghormati hak-hak individu; 3) Peradilan yang bebas dan tidak memihak. 82
81
Padmo Wahyono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, dalam Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal. 91. 82 Jimly. Com/makalah/nama file57/Konsep Negara Hukum, diakses tanggal 04-042012, Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
74
Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara hukum klasik, dan negara hukum materiel atau negara hukum modern. 83 Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundangan-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu negara hukum materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ’Law in a Changing Society’ membedakan antara ”rule of law” dalam arti formil yaitu dalam arti ’organized public power’, dan ’rule of law’, dalam arti materiel yaitu ’the rule of just law’. Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan, bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan pula dipengaruhi oleh alam pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif. Karena itu, di samping istilah ’the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangkan istilah ’the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian
tentang ’the rule of law’ tercakup
pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ’the rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang 83
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ichtiar, 1962, hal. 9, dalam Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum, Makalah, 2012, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
75
diharapkan dicakup dalam istilah ’the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang negara hukum di zaman sekarang. Berdasarkan uraian di atas, maka apa yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddieqie dengan mengutip pandangan Utrecht dan Wolfgang Friedman, untuk Indonesia konsepsi tentang negara hukum sangat tepat diterapkan istilah ’the rule of law’ dalam pengertian yang bersifat luas, karena dengan demikian hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup di masyarakat (living law) diakui keberadaannya dalam konstitusi, setidak-tidaknya melengkapi kekurangan atau kekosongan hukum pada hukum yang tertulis. Roscoe Pound menyebutkan ada dua kebutuhan pentingnya pemikiran secara filosofis tentang negara hukum, yaitu: 84 Pertama, kebutuhan masyarakat yang besar akan keamanan umum. Kebutuhan akan perdamaian dan ketertiban guna mewujudkan keamanan mendorong manusia mencari aturan yang mengatur manusia terhadap tindakan yang sewenang-wenang dari penguasa maupun individu sehingga dapat mendirikan suatu masyarakat yang mantap. Kedua, adanya kebutuhan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan di bidang keamanan umum dan membuat kompromi-kompromi baru secara terus menerus dalam masyarakat, karena terjadinya perubahan dan untuk itu diperlukan adanya penyesuaian-penyesuaian agar tercapai suatu hukum yang sempurna.
84
Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of law, Yale University Press, New Haven, 1959, hal. 107, dalam artikel (ringkasan disertasi) Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, Bandung: Program Pascasarjana Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, 19 September 2007, hal. 11-12.
Universitas Sumatera Utara
76
Rukmana Amanwinata mengemukakan, bahwa: 85 secara teoretis Konsepsi Negara Hukum yang dianut Indonesia tidak dari dimensi formal, melainkan dalam arti materiil atau lazim dipergunakan terminologi Negara Kesejahteraan (welfare state) atau Negara kemakmuran. Oleh karena itu, tujuan yang hendak dicapai Negara Indonesia adalah terwujudnya masyarakat adil dan makmur baik spiritual maupun materiil berdasarkan Pancasila, sehingga disebut juga sebagai negara hukum yang memiliki karakteristik mandiri yaitu Negara Hukum berdasarkan Pancasila. Di Indonesia, sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen, konsepsi negara hukum yang dianut adalah rechsstaat dan setelah amandemen ketiga yang disahkan pada tanggal 10 Nopember 2001, istilah rechsstaat sudah tidak dicantumkan lagi tetapi hanya menyebutkan, ”Indonesia adalah Negara Hukum”. 86 Hal tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan kenapa istilah rechsstaat harus dihilangkan dengan amandemen ke tiga Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, apakah hal tersebut merupakan suatu hal yang penting bagi Indonesia dalam identitasnya sebagai negara hukum? Tidak ada penjelasan resmi tentang hal tersebut. Apalagi jika dilihat pada aturan tambahan Pasal II Undang-Undang 85
Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945, Disertasi, Bandung: Fakultas Pascasarjana Uiversitas Padjadjaran, 1996, hal. 109, dalam Ninil Eva Yustina, Perbuatan Melawan Hukum Materiil (Materiel Wederrechtelijkeheid) Dalam TindakPidana Korupsi Pada Praktek Peradilan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, artikel (rangkuman Tesis pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Universitas Merdeka Malang, 21 Februari 2009, tanpa halaman. 86 Lihat Pasal 3 UUD 1945 yang telah diamandemen (perubahan ke tiga, disahkan 10 Nopember 2001).
Universitas Sumatera Utara
77
Dasar 1945 (amandemen ke empat yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002) yang secara tegas menyebutkan bahwa, ”dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-Pasal”. Dengan kata lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah diamandemen (perubahan Ke empat), hanya terdiri atas Pembukaan dan Pasal-Pasal tanpa adanya penjelasan pasalpasal. Dengan demikian, seperti apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Moh. Mahfud MD 87, dengan dinetralkannya menjadi negara hukum saja yang dulu terkesan menganut rechststaat, politik hukum kita tentang konsepsi negara hukum menganut unsur-unsur yang baik dari rechsstaat dan the rule of law, bahkan sistem hukum lain sekaligus. Dulu, konsep negara hukum ditegaskan di dalam Penjelasan UUD dengan kalimat ”Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)....” namun sekarang Penjelasan UUD sudah tidak berlaku dan pernyataan prinsip negara hukum itu penuangannya di dalam Konstitusi dipindahkan ke dalam Pasal 1 angka (3) dengan kalimat yang netral, yaitu, ”Negara Indonesia adalah negara hukum.” Lebih lanjut Prof. Dr. Moh. Mahfud MD 88 mengatakan, bahwa penetralan itu bukan tidak penting karena di dalamnya terkandung konsep prismatik tentang negara hukum, yakni penggabungan unsur-unsur baik dari berbagai konsep yang berbeda ke dalam satu konsep yang menyatu (integratif) yang implementasinya 87
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, hal. 52. 88 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
78
disesuaikan dengan tuntutan perkembangan. Dalam konteks ini, misalnya, disebutkan bahwa konsep negara hukum Indonesia menerima prinsip kepastian hukum di dalam rechtsstaat sekaligus prinsip keadilan di dalam the rule of law serta nilai spiritual dari hukum agama. Hukum tertulis dan segala ketentuan proseduralnya (rechtstaat) diterima di dalam negara hukum Indonesia, tetapi semua itu harus diletakkan dalam rangka menegakkan keadilan (the rule of law); ketentuan-ketentuan tertulis yang menghalangi keadilan dapat ditinggalkan. Penguatan dari konsepsi ini adalah penyebutan di dalam fungsi kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan seperti tertulis pada Pasal 24 ayat (1) serta penegasan di dalam Pasal 28D ayat (1) tentang hak memperoleh kepastian hukum yang adil dan Pasal 28H, bahwa hukum harus dibangun berdasarkan keadilan dan kemanfaatan. Dengan demikian, dengan dihilangkannya istilah ”rechtstaat” dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, hal tersebut menegaskan, bahwa konsepsi negara hukum yang dianut oleh Indonesia adalah konsep negara hukum yang materiel atau konsep negara hukum dalam arti luas, artinya tidak semata-mata mengandalkan kepastian hukum tetapi lebih memperioritaskan kepastian hukum untuk memperoleh keadilan yang sekaligus membuka peluang diterapkannya dalam peradilan (pidana) hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). b. Teori Hukum Pembuktian
Universitas Sumatera Utara
79
Hukum pembuktian merupakan salah satu bagian dari beberapa materi yang ada pada hukum acara. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam pula acara yang dianut oleh negara Indonesia. Di antaranya adalah Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Tata Usaha Negara. Dengan adanya beberapa jenis hukum acara yang berbeda-beda tersebut tentu hukum pembuktian mempunyai spesifikasi dan karekteristik tersendiri dalam bidang hukum masing-masing. Mulai dari dasar hukum pembuktian, sistem dan teorinya, kepada siapa beban pembuktian diberikan dan bagaimana hakim pada masing-masing bidang hukum tersebut menilai alat-alat bukti yang diajukan. Oleh karena itu, untuk lebih terarahnya penelitian ini, maka dalam hal ini dibatasi pembahasan hukum pembuktian yakni hanya pada Hukum Acara Pidana Saja. Dari perspektif sistem peradilan pidana, aspek pembuktian memegang peranan yang sangat penting atau urgen dalam menentukan terbukti atau tidak terbuktinya pelaku perbuatan pidana. Sehingga ia bisa dipidana atau dibebaskan dari segala dakwaan. Berdasarkan penjatuhan putusan pidana yang dilakukan oleh Hakim, terdapat beberapa ajaran/teori yang berhubungan dengan sistem pembuktian tersebut, yakni: 1) Conviction-in Time: Conviction-in Time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, sematamata ditentukan oleh penilaian ”keyakinan” Hakim. Keyakinan Hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana Hakim menarik dan
Universitas Sumatera Utara
80
menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan Hakim dari alat-alat bukt i yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Menurut sistem ini, bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukt i itu diabaikan Hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.
Sehingga dengan
demikian, ”keyakinan Hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini”. 89 2) Conviction-Raisonee: Dalam sistem ini pun dapat dikatakan, bahwa ”keyakinan Hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan Hakim ”dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction in time peran ”keyakinan hakim” leluasa tanpa batas, maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan Hakim harus didukung dengan ”alasan-alasan yang jelas”. Oleh karena itu, dalam sistem ini Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Dengan demikian, ”keyakinan Hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benarbenar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal”. 90 3) Pembuktian menurut undang-undang secara positif
89
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Edisi Kedua, hal. 277. 90 Ibid., hal. 277-278.
Universitas Sumatera Utara
81
Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pembuktian menurut undang-undang secara positif, ”keyakinan Hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa sematamata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan
keyakinan
Hakim. Dalam sistem ini, Hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. 4) Pembuktian menurut UU secara negatif (Negatief Wettelijk Stelsel): Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ”menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu, antara sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-
Universitas Sumatera Utara
82
undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu ”sistem pembuktian menurut undangundang secara negatif”. Rumusannya berbunyi, salah tidaknya seseorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan uraian di atas, maka untuk menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan Hakim semata-mata. Atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. ”Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undangundang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu ”dibarengi” dengan keyakinan hakim”. 91 Prof. Dr. Andi Hamzah mengemukakan, bahwa ada 4(empat) teori Pembuktian, yaitu: 1) 2) 3) 4)
Teori Pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijstheorie); Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu; Teori Pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (in conviction raissonnee); dan Teori Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijke). 92
Wirjono Prodjodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan 91
Ibid., hal. 278-279. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hal. 245-253.
92
Universitas Sumatera Utara
83
berdasarkan dua alasan, yakni: 93 Pertama, memang sudah selayaknya harus ada keyakinan Hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana. Oleh karena itu, janganlah Hakim terpaksa memidana orang, sedangkan Hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah, jika ada aturan yang mengikat Hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan. 94 Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) ini dianut oleh Hukum Acara Pidana Indonesia, hal tersebut tercantum dalam, Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut dijelaskan pula bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang. Penjelasan Pasal tersebut juga menegaskan, bahwa yang diprioritaskan pertama untuk menjatuhkan pidana terhadap seorang itu adalah untuk tegaknya kebenaran, kemudian keadilan dan yang terakhir adalah kepastian hukum. 93
Wirjono Prodjodikoro, dalam Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996, hal. 235. 94
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
84
Jika dikaitkan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan yang berjudul ”Hukum Tidak Tertulis Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Dalam Putusan Pengadilam Perkara Pidana”, telah sesuailah kerangka teori, khususnya pada middle theory, peneliti menampilkan teori hukum pembuktian, yaitu teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijke Stelsel), karena dalam hal ini untuk menentukan salah tidaknya seorang yang didakwa melakukan tindak pidana, tidak semata-mata beradasarkan asas legalitas, dalam arti tidak semata-mata berdasarkan undang-undang yang ada. Oleh karena itu, kepastian hukum yang selalu menjadi label asas legalitas, ternyata dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP, kepastian hukum diposisikan paling belakang, yaitu di belakang kebenaran dan keadilan. Penjelasan Pasal 183 KUHAP yang menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif tersebut merupakan pintu masuk penerapan melawan hukum materiel, baik fungsi negatif maupun positif. Hal mana disebabkan dalam memutus suatu perkara, hakim tidak terikat pada ketentuan perundang-undangan yang ada, setidak-tidaknya hakim leluasa untuk menemukan hukum atau menafsirkan hukum sesuai dengan keyakinan yang ada padanya yang termasuk juga di dalamnya adalah keyakinan hakim, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa walaupun tidak memenuhi unsur-unsur perundangan-undangan. Akan tetapi, dia meyakini perbuatan tersebut adalah perbuatan tercela, tidak patut menurut hukum yang hidup masyarakat atau yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Juga di lain pihak ia berkeyakinan
Universitas Sumatera Utara
85
walaupun
perbuatan
tersebut
memenuhi
unsur-unsur
pasal-pasal
yang
didakwakan, tetapi ia berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut tidak tercela dalam pandangan masyarakat. Untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam masyarakat yang sekaligus penegakan hukum, peranan hakim sangatlah dominan. Mengenai peranan hakim dalam menegakkan kepastian hukum, maka tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dan hakim, untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa: ”pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, melainkan untuk mencari kebenaran dan keadilan”. 95 c. Teori Living Law Dalam legal postivisme, bahwa hukum positiflah yang merupakan hukum yang berlaku. Hukum positif adalah norma-norma yudisial yang telah dibangun oleh otoritas negara. Hukum negara dipatuhi atau ditaati secara absolut yang disimpulkan ke dalam suatu statement gezetz ist gezet atau law is the law. Pandangan
tersebut
berlainan
dengan
legal
positivisme
yang
mengajarkan, bahwa cara pandangnya bersifat abstrak dan formal legalis, paradigma yuridis sosiologis atau yuridis empiris, seperti mazhab sejarah yang dipelopori von Savigny, yang telah mulai menarik perhatian banyak orang dari
95
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progressif, Jakarta: Buku Kompas, 2007, hal.
275.
Universitas Sumatera Utara
86
suatu analisis hukum yang bersifat abstrak dan ideologis kepada suatu analisis hukum yang difokuskan pada lingkungan sosial yang membentuknya. Dengan pandangan Von Savigny tersebut dinyatakanlah, bahwa hukum itu timbul bukan karena perintah penguasa atau kekuasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Proses dialektika antara tesis positivisme hukum dan antitesis aliran sejarah yang dipelopori oleh Von Savigny tersebut melahirkan aliran lain yang disebut dengan Sociological Jurisprudence yang mengajarkan bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (Living Law). Teori ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup. Tokoh aliran ini antara lain Eugen Ehrlich, yang mengatakan bahwa persoalan tentang hukum pada saat ini, tidak lagi merupakan persoalan tentang legalitas formal, melainkan bergerak ke arah penggunaan hukum sebagai sarana untuk turut membentuk tata kehidupan yang baru atau sesuai dengan kondisi saat itu. Hukum positif baru akan berlaku secara efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (Living Law). G.W. Paton mengatakan: Thus Ehrlich 96 (1862-1920) builds on the foundations laid down by Savigny a broad theory that law depends on popular acceptance and 96
G.W. Paton dalam Ibid. mengatakan: Grundlegung der Soziologie des Rechts, translated by Moll (1936) as FundamentalPrinciples of the Sociology of Law.
Universitas Sumatera Utara
87
that each group creates its own living law which alone has creative force. All that the judge does is to make precice and definite that raw material thus furnished by the community. He contrasts living law with the mere norm for decision laid down by the judge. To concentrate on the latter is to miss the reak spirit of law. Codes may be technically in force in the sense that a court will apply their provisions if they are called in question, but frequently a community ignores the codes and lives according to rules created by consent.” 97 Terjemahan bebasnya adalah jadi Ehrlich (1862-1920) membuat suatu teori yang luas yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh Savigny yang menyatakan, bahwa hukum tergantung pada penerimaan umum dan bahwa tiaptiap golongan menciptakan hukum hidupnya masing-masing yang di dalamnya terkandung kekuatan kreatif. Apa yang dikerjakan oleh Hakim hanyalah mengadakan precisering dan penentuan, yang bahan-bahannya telah disediakan oleh masyarakat. Dilawankannya ”living law” dengan ”norm for decision” norma-norma sebagai hasil putusan Hakim yang ditentukan oleh Hakim. Bila kita terlalu menitikberatkan pada ”norm for decision”, maka berarti kita kehilangan jiwa hukum yang sesungguhnya. Kitab-kitab hukum memang teknis berlaku dalam arti, bahwa suatu pengadilan akan memberikan bantuannya bila diperlukan, tetapi umumnya masyarakat tak memperhatikan kitab-kitab hukum itu dan hidup menurut peraturan-peraturan yang diciptakan dengan persetujuan. Secara empiris dapat dikatakan, bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat selain terbentuk oleh hukum negara (state law), juga terbentuk dari hukum kebiasaan (costomary law). Tetapi, secara antropologis bentuk mekanisme-mekanisme
pengaturan
sendiri
dalam
komunitas-komunitas
97
G.W. Paton, A Text Book of Jurisprudence, Oxford University Press, 1971, Third Edition, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
88
masyarakat adalah juga merupakan hukum yang secara lokal berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial. Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial. Pluralisme hukum yang kuat mengacu pada fakta adanya kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang dipandang sama kedudukannya, sehingga tidak terdapat hirarkhi yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih dominan dari sistem hukum yang lain. Untuk ini, teori Living Law dari Eugene Ehrlich yang menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup (Living Law) dari tatanan normatif yang biasanya dikontraskan atau dipertentangkan dengan sistem hukum negara dalam kategori pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism). Penegasan yang lugas dari Eugen Ehrlich adalah hukum yang dibuat, harus sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Hal tersebut mempunyai makna, bahwa Hakim sebagai salah satu dari aparat penegak hukum, dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya G.W. Paton98 mengemukakan: It is submitted that the relationship between law and social interests may be usefully studied by jurisprudence for three reasons. Firstly, it enables us better to understand the evolution of law. What is needed is not a dogmatic assumption that economic self-interest (or some such 98
Ibid., hal. 30-32.
Universitas Sumatera Utara
89
force) has determined the evolution of law, but a penetrating analysis of the interaction between a tough and taught tradition, which has sanctified the logical structure of the law, and the immediate pressure of social demands. The absorbing task is to watch the struggle of modern social interests to secure expression in spite of the narrow confines of decisions of the past. To attempt to explain the law on a purely logical basis is equivalent to interpreting a graph of the vibrations in a speeding motor-car without taking into account the surface of the road. 99Secondly, although man’s view of the ethics and of his social needs have changed as the centuries roll by, nevertheless the element of human interest provides a greater substratum of identity than does thelogical structure of the law. Comparative law frequently illustrates that, while the legal theories of two system may be as far apart as the poles, each may be forced for reasons of convenience so to modify the application of its theoretical basis that ultimately the practical results are not far removed. Many Roman decisions on the Lex Aquilia are surprisingly similar in effect to those of the English law of tort.100 German Law adopted a subjective theory of contract, English an objective, but each has been forced to adapt its theoretical basis to the needs of commerce. 101 In spite of differing theories, the Englishand Roman rules of possession were built up under the ’pressure of needs and circumstances which cannot have been wholly dissimilar. 102Thirdly, although the view Kelsen that the jurist should not discuss the question of social interest in attractive in that it encourages an impartial jurisprudence, yet such a study is essential to the lawyer to enable him to understand the legal system. As a mere question of terminology, it matters not how narrow is our pure science of law if it be supplemented by broader learning. But there is a danger that, if we regard jurisprudence proper as a pure science of law (in Kelsen’s sense), the study of the broader questions will disappear from books that are perused by the lawyer. 103 We desire an impartial judge, but the law is 99
G.W. Paton dalam Ibid. , hal. 31 mengutip Vyshinsky, Law of the Soviet State, 81, supports the union of jurisprudence and the social sciences, though with the object of showing the merits of dialectical materialism: K. Renner, Institutions of Private Law and their Social Functions: A. V. Dicey, Law and Opinion in England. 100 G.W. Paton, Ibid., mengutip C.f. Dig.9. 2. 9. 4; H. C. Gutteridge, Comparative Law nd (2 . Ed.), 49. 101 G.W. Paton, Ibid., mengutip E.J. Schuster, Principles of German Civil Law, 92. 102 G.W. Paton, Ibid., mengutip Holdsworth, History of English Law, vii. 460. It is not, of course, suggested that the element of human interest leads to identical solutions in the case of every system. Even over a period of one hundred years the common law shows surprising changes. The argument in the text is only that the pressure of social needs will frequently explain what, from the point of view of the logic of the law, may be a mere anomaly. 103 G.W. Patton, Ibid., mengutip Lord Simon, in conversation, once described the law as seen by practising lawyers and judges as ‘knowledge in blinkers’.
Universitas Sumatera Utara
90
self cannot be impartial (in one sense) for its very raison d’etre is to prefer one social interest to another. Is the judge less likely to make a clear survey because the question of the social interests involved in a particular problem is freely canvassed instead of being the ’inarticulate major premiss’? Public policy is a less dangerous ground of judgment if the reasons for any particular application are clearly set forth, 104 since the very effort to justify a decision may limit the effect of prejudice.” Dengan demikian, perlu dikemukakan, bahwa hubungan antara hukum dan kepentingan-kepentingan masyarakat sangat perlu dipelajari sebagai jurisprudence, karena tiga alasan, yakni: Pertama,
hal
dimungkinkan
untuk
dapat
lebih
mengetahui
perkembangan hukum. Apa yang diperlukan bukanlah anggapan-anggapan dogmatis, bahwa kepentingan-kepentingan ekonomi atau kekuatan-kekuatan lain semacam itulah yang menentukan perkembangan hukum, tetapi suatu analisis yang mendalam mengenai hubungan timbal-balik antara tradisi yang kuat dan yang diajarkan yang menguduskan (sanctified) struktur hukum yang logis dan tekanan-tekanan tuntutan masyarakat yang mendesak. Tugas yang terkandung di dalamnya ialah memperhatikan perjuangan kepentingankepentingan sosial modern untuk menjamin pernyataan dan bukan pembatasanpembatasan sempit dari putusan-putusan di masa yang lampau. Usaha untuk menerangkan hukum atas dasar logis semata-mata sama halnya dengan menafsirkan diagram kecepatan dalam suatu mobil yang berjalan cepat tanpa menghiraukan permukaan jalan.
104
G.W. Paton, Ibid., hal. 32, mengutip Cf. Lord Wright, Radcliffe v. Ribble Motor Services Ltd., (1939) A.C. 215 at 239 et seq.
Universitas Sumatera Utara
91
Kedua, walaupun pandangan orang tentang kesusilaan dan kebutuhankebutuhan sosialnya telah berubah-ubah sepanjang masa namun unsur kepentingan manusia menunjukkan dasar-dasar kesamaan yang lebih besar dari pada struktur logis hukum. Perbandingan hukum (Comparative Law) sering menunjukkan, bahwa walaupun teori-teori hukum dua sistem mungkin jauh berbeda, masing-masing karena penerapan dasar teoretisnya sedemikian rupa, hingga akhirnya hasilhasilnya yang praktis tidak begitu jauh berbeda. Banyak putusan-putusan hukum Romawi dalam Lex Aquilia mempunyai persamaan dengan putusan-putusan Law of Tort di Inggris. Hukum Jerman mengambil teori perjanjian subyektief Inggris mengambil teori perjanjian obyektif, tetapi keduanya terpaksa untuk menyesuaikan dasar teorinya dengan kebutuhan perniagaan. Walaupun terdapat perbedaan dalam teorinya, peraturan hak milik di Inggris dan Romawi keduanya disusun atas dasar ”tekanan kebutuhan-kebutuhan dan keadaan yang tak begitu berbeda.’’ Ketiga, walaupun menurut pandangan Kelsen bahwa ahli hukum tidak harus mempersoalkan kepentingan sosial sangat menarik, hingga menghasilkan jurisprudence yang tidak berat sebelah, tetapi penyelidikan yang demikian itu penting sekali bagi ahli hukum untuk memungkinkannya mengetahui sistem hukum. Sebagai persoalan terminologi semata-mata, tidaklah penting bagaimana sempitnya
ilmu
pengetahuan
hukum
murni
bila
dilengkapi
dengan
Universitas Sumatera Utara
92
penyelidikan-penyelidikan yang lebih luas. Tetapi ada bahayanya bila memandang jurisprudence sama dengan pure science of law (menurut pengertian Kelsen), penyelidikan persoalan-persoalan yang lebih luas akan lenyap dari buku-buku yang diselidiki oleh ahli-ahli hukum. Yang diinginkan memang Hakim yang tidak memihak, tetapi hukum itu sendiri tidak dapat memihak (dalam satu artian), karena satu-satunya ”raison d’etre” hukum ialah lebih mengutamakan kepentingan sosial yang satu daripada yang lain. Apakah Hakim kurang senang mengadakan penyelidikan karena persoalan kepentingan-kepentingan sosial yang tersangkut dalam suatu persoalan
tertentu dapat dengan bebas diselidiki daripada jika merupakan
”premisse major yang kurang terang”? Kebijaksanaan negara merupakan dasar pertimbangan yang kurang bahayanya jika alasan-alasan bagi penerapan tertentu dinyatakan dengan terang, karena satu-satunya usaha untuk membenarkan suatu keputusan dapat membatasi pengaruh purbasangka. Selain G.W. Paton, L.B. Curzon pun membahas tentang Living Law, seperti yang dikemukakannya sebagai berikut; The essence of his teaching. Ehrlich, an Austrian jurist, summarised his teaching thus (58)”At the present as well as at any other time, the centre of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society itself.” Law was to be comprehended only as a fungction aof society. There were, according to Ehrlich, two vital, complementary sources of law: (a) Legal history and jurisprudence, that is, useful precedents and written commentaries; and
Universitas Sumatera Utara
93
(b) ”Living Law” derived from current costom within sosiety and, in particular, from the norm-creating activities of the numerous groupings in which members of society were involved”. 105 Terjemahan bebasnya adalah Esensi ajarannya. Ehrlich, seorang ahli hukum Austria, meringkas ajaran-ajarannya sebagai berikut: ” Pada saat sekarang ataupun waktu lain, inti dari kegawatan perkembangan undangundang bukan berada pada pembuatan undang-undang, ataupun bukan dalam yuristik, bukan pula dalam keputusan keadilan, melainkan dalam masyarakat itu sendiri. Hukum dipahami hanya sebagai fungsi masyarakat. Menurut Ehrlich ada dua sumber hukum vital yang komplementer. (a) Sejarah perundang-undangan dan yurisprudensi, yakni uraian-uraian tertulis dan pemula, serta: (b) Undang-undang yang masih hidup (Living Law) berasal dari adat terbaru dalam masyarakat dan, pada khususnya, dari aktivitas-aktivitas yang menciptakan norma beberapa kelompok di mana anggota-anggota masyarakat terlibat. Selain itu, Ehrlich membedakan dengan cermat berbagai tipe norma. Terdapat ”norma keputusan” yakni norma-norma legal yang dinyatakan dalam undang-undang, peraturan-peraturan atau doktrin-doktrin hukum umum dan dimaksudkan untuk keputusan pengadilan. Peraturan-peraturan tersebut tidak berbeda dengan ”peraturan perbuatan” bagi orang-orang yang melakukan usaha untuk mengatasi perselisihan. Ada juga ”norma-norma perbuatan” dan 105
L.B. Curzon, Jurisprudence, Machdonald & Evan Ltd., Estover, Plymouth . Pi.6 71’Z, First published 1979.
Universitas Sumatera Utara
94
peraturan-peraturan organisasi” ini mengatur kehidupan masyarakat; normanorma demikian membentuk ”peraturan gabungan untuk lingkungan dalam”, di mana sebagai hukum yang dipraktekkan oleh masyarakat, dengan demikian diperkuat oleh kedudukannya. Pada intinya: (a) ”norma-norma keputusan” setara dengan apa yang secara umum dimengerti sebagai ”hukum”. (b) ”norma-norma perbuatan” adalah peraturan-peraturan kebangkitan diri, tergantung pada berat ringannya sanksi, wewenang penguasa, namun memerintah kelompok-kelompok vital, dan hubungan-hubungan dalam masyarakat. Selanjutnya L.B. Curzon mengemukakan: 106 Facts of law.”There could be discovered, underlying all laws within a society, certain ”vital facts”, and it was important for the jurist, wrote Ehrlich, to recognise and study them. They consisted of:usage; possession; domination; declaration of will. Within society the law could recognise, and build on, them in the following ways: (a) By attempting to make effective the relationships upon which the facts were based; (b) By attempting to regulate, or prohibit, those relationships; (c) By attempting to produce consequences from them. The law, in its formal sense, was the totality of generalised attitudes evident in the propositions referring to these facts.” Terjemahan bebasnya adalah Fakta-fakta hukum”. Ada yang dapat diketemukan, yang melandasi semua hukum dalam masyarakat yakni ”faktafakta kehidupan” tertentu dan ini penting bagi ilmu hukum, menurut tulisan Ehrlich, untuk mengenali dan mempelajarinya. Fakta tersebut terdiri atas: 106
L.B. Curzon, Ibid., hal. 145.
Universitas Sumatera Utara
95
pemanfaatan, pemilikan, dominasi, deklarasi kehendak.
Dalam
masyarakat, hukum dapat menerima dan membentuknya dengan cara-cara sebagai berikut: (a) Mengusahakan hubungan yang efektif di mana fakta-fakta didasarkan; (b) Berusaha untuk mengatur, atau melarang hubungan-hubungan tersebut; (c) Berusaha untuk menghasilkan konsekuensi-konsekuensi darinya. Hukum, dalam pengertian formalnya, merupakan totalitas sikap-sikap yang digeneralisasikan dalam proposisi berkenaan dengan fakta-fakta ini. Selanjutnya
pembahasan
tentang
Living
Law
L.B.
Curzon
mengemukakan: The ”Living Law”. This concept was at the heart of Ehrlich’s thinking. It was the ”living law” that dominated society’s life even though it had not always been reduced to formal, legal propositions. It reflected the values of society. (a) The ”inner order” of society’s life its ”culture pattern”was never static. Values changed; attitudes to wrong-doing varied from time to time; concepts of what constituted ”criminal conduct” altered over the years. (b) There was, necessarily a ”gap” between the living law and the positive law. One had merely to examine commercial usage to note the differences in the procedures of business and the formal laws relating to them. (c) It was the task of legislators and judgs to study the living law so as to recognise the existence and extant of the ”gap”between living and positive law. The recognition of mere norms of decision resulted in failure to take into acount the principles and practices of the living law based on popular acceptance of Institutions created by the workings of groups within society.” 107
107
Ibid., hal. 145-146.
Universitas Sumatera Utara
96
Terjemahannya adalah Hukum yang hidup (living law). Konsep ini berada pada jantung dari pemikiran Ehrlich. Merupakan ”hukum yang hidup” (Living Law) karena mendominir kehidupan masyarakat sekalipun tidak selalu diabaikan dalam proposisi formal dan legal. Di sini mencerminkan nilai-nilai masyarakat. (a) ”Perintah dalam” (inner order) bagi kehidupan masyarakat mengenai ”pola budayanya” tidak pernah statis. Perubahan nilai, sikap-sikap untuk berbuat keliru yang bervariasi dari waktu ke waktu; konsep-konsep yang berupa ”perbuatan kriminal” yang berganti-ganti pada tahun-tahun tersebut. (b) Terutama, adanya ”gap” antara hukum kehidupan dan hukum positif. Yang satu hanya mengkaji manfaat komersial belaka untuk mengetahui perbedaan prosedure usaha dan hukum formal yang berkaitan dengannya. (c) Merupakan tugas para pembuat hukum dan para Hakim untuk mempelajari hukum kehidupan agar dapat mengenali eksistensi dan perkembangan ”gap” antara hukum kehidupan dan hukum positif. Pengenalan norma-norma keputusan semata mengakibatkan gagalnya penafsiran prinsip-prinsip dan praktek-praktek hukum-kehidupan yang didasarkan atas pengakuan institusi secara popular yang tercipta melalui karya-karya kelompok dalam masyarakat). Pandangan/pendapat Ehrlich tersebut di atas secara gamblang hendak menjelaskan, bahwa hukum positif yang baik dan efektif adalah hukum positif
Universitas Sumatera Utara
97
yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Jika dipelajari secara mendalam, maka ajaran Ehrlich ini memberikan semangat bagi sistem hukum Indonesia, agar hukum positif yang berlaku di Indonesia tetap efektif dalam menghadapi perubahan dan perkembangan dinamika masyarakat haruslah menjadi hukum yang hidup di masyarakat dengan cara menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Ehrlich tidak melihat hukum sebagai suatu aturan yang berada di luar anggota masyarakat, melainkan diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Hukum lahir dari kesadaran masyarakat akan kebutuhannya (opinio necessitates). Teori ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup. Persoalan-persoalan tentang hukum, pada saat ini, tidak lagi merupakan persoalan tentang legalitas formal, tentang penafsiran pasal-pasal peraturan perundang-undangan, melainkan bergerak ke arah penggunaan hukum sebagai sarana untuk turut membentuk tata kehidupan yang baru atau sesuai dengan kondisi saat ini. Hukum positif baru akan berlaku secara efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Lalu apakah definisi masyarakat menurut Ehrlich? Definisi masyarakat menurut Ehrlich adalah
Universitas Sumatera Utara
98
jumlah total persekutuan manusia yang memiliki hubungan timbal-balik satu sama lain. 108 Selanjutnya Ehrlich mengatakan bahwa para pembuat undang-undang mestinya mengusahakan suatu integrasi antara hukum kehidupan dengan peraturan-peraturan formal agar hukum dapat memberikan ekspresi formal kepada perasaan paling dalam bagi masyarakat. (Ehrlich dalam pandangannya terhadap ”gap” antara perasaan dalam bagi masyarakat dengan hukum positif telah diilustrasikan pada referensi R.V. Hecallister (1808) yang diketemukan oleh juri, dalam kasus pencurian yang membawa kemungkinan vonis hukuman berat, ”nilai total” coins ”dua guines” dan ”setengah guines” berada di bawah empat puluh shilling”). 109 Ehrlich juga mengemukakan, bahwa banyak kewajiban dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat tanpa ancaman tekanan undang-undang. Fungsi norma yang paling penting menurutnya adalah hanya melalui dugaan. Ketaatan tanpa disadari untuk melaksanakan kewajiban direfleksikan dalam ketentuan undang-undang, memainkan peran sangat penting dalam undang-undang kehidupan (undang-undang hidup). Dalam berbagai hal, secara intuitif manusia menanggapi, perlunya melaksanakan tugas/kewajiban. Lalu bagaimana caranya menemukan hukum hidup sebagaimana konsep yang diajarkan Ehrlic tersebut?. Hukum hidup (living law) dapat diketemukan, menurut Ehrlich, hanya dari suatu pengujian keputusan-keputusan peradilan, 108
Erlich dalam L.B. Curzon, Ibid., hal. 146. Ibid.
109
Universitas Sumatera Utara
99
suatu penyelidikan yang sangat teliti mengenai isi dokumen-dokumen perusahaan dan sebagainya dan di atas segalanya, dari observasi masyarakat: (a) Suatu studi dokumen seperti sewa-menyewa, surat wasiat karena peraturanperaturan beruntun dalam suatu komunitas menyoroti tentang adat dan keyakinan, kontrak pembelian, dan sebagainya, menyajikan suatu gambaran tentang peraturan perbuatan oleh masyarakat. Dokumen-dokumen usaha bisa mempertunjukkan praktek perdagangan nyata yang justru membentuk peraturan-peraturan perdagangan legal. (b) Karena ”fakta-fakta hukum” yang vital merupakan fakta-fakta kehidupan sosial itu sendiri, maka perlu mempelajari ”bentuk-bentuk yang tak terbilang” atas aktivitas perhimpunan manusia dalam masyarakat. Jadi, ketegasan pabrikasi harus dikaji agar dapat memahami ”hukum hidup” dalam kaitannya dengan usaha. Hal ini melibatkan suatu pengujian mengenai jalur-jalur yang ”tak terhitung” yang sangat ruwet berasal dari pengakuan perintah untuk menyalurkan produk-produk jadi kepada konsumen. Barang-barang inventaris, teknik-teknik distribusi, daftar harga, supervisi di pintu gerbang oleh porter (penjaga) semua harus dipelajari apabila ”hukum hidup” akan dipahami, ”karena praktek akan menciptakan sebagian hukum yang sangat penting”. 110 Ehrlich melanjutkan pendapatnya yang mengatakan, bahwa: ”suatu pengetahuan riil, perubahan kehidupan dalam berbagai bentuknya serta
110
Ibid., hal. 146-147.
Universitas Sumatera Utara
100
aktivitas-aktivitas adalah sangat penting, apabila pembuatan undang-undang adalah untuk mengemukakan aspirasi masyarakat”. 111 Inilah esensi dari ajaran Ehrlich. Dalam hal ini perlu pula ditegaskan bahwa harus dibedakan jurisprudence sosiologis yang dipahami oleh Roscoe Pound dengan aliran sosiologi hukum yang dipahami oleh Eugene Erhlich. Sosiologi pensifatannya bermacam-macam,
tetapi perbedaannya
yang
paling
prinsipil dengan
jurisprudence sosiologi ialah bahwa sosiologi hukum berusaha menciptakan suatu ilmu pengetahuan mengenai kehidupan sosial sebagai suatu kebulatan dan meliput i sebagaian besar sosiologi umum dan ilmu politik. Titik berat penyelidikannya terletak pada masyarakat dan hukum sebagai suatu penjelmaan semata-mata, sedangkan menurut Roscoe Pound lebih menitikberatkan pada hukum dan memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum. Paduan pandangan Roscoe Pound dan Eugene Erhlich tersebut mengilhami Mochtar Kusumaatmadja melahirkan konsep hukum dalam pembangunan atau hubungan hukum dan pembangunan. Bagi negara yang sedang melakukan pembangunan salah satu alat yang bisa digunakan adalah hukum. Hukum dijadikan sebagai alat perubahan masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja melihat bahwa setiap perubahan pada dasarnya membawa penolakan-penolakan sendiri. Untuk itu, hukum digunakan sebagai alat agar perubahan yang terjadi sebagai faktor dalam pembangunan nasional
111
Ibid., hal. 147.
Universitas Sumatera Utara
101
bisa berjalan dengan tertib dan teratur. Selaras dengan konsepsi mengenai hukum, ia tidak melihat hukum semata-mata mengejar ketertiban dan keteraturan, ”tetapi tetap memperhatikan keyakinan hukum dalam masyarakat (living law)”. 112 Lebih lanjut Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa: Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif. Artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun yang dalam difinisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitik beratkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembangunan”. 113
Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa fungsi hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan ketertiban. Hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai ”sarana pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engeneering) atau sarana pembangunan. Inti teori hukum pembangunan yang diciptakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu:
112
Juhaya S. Praja, Teori Hukum Dan Aplikasinya, Bandung: Pustaka Setia, 2011, hal.
150. 113
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis), Bandung: Alumni, 2002, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
102
1) Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau pembangunan merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya; 2) Hukum dalam arti kaedah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan yang dikehendaki ke arah pembaharuan. 114 Pada bagian lain, Mochtar Kusumaatmadja juga mengemukakan bahwa ”hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institution) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan. Pengertian hukum di atas menunjukkan bahwa untuk memahami hukum secara holistik tidak hanya terdiri dari asas dan kaidah, tetapi juga meliputi lembaga dan proses. Keempat komponen hukum itu bekerja sama secara integral untuk mewujudkan kaidah dalam kenyataannya dalam arti pembinaan hukum yang pertama dilakukan melalui hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan. Sedangkan ”keempat komponen hukum yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan, berarti pembinaan hukum setelah melalui pembaharuan hukum tertulis dilanjutkan pada hukum yang tidak tertulis, utamanya mekanisme yurisprudensi”. 115 Teori
Hukum
Pembangunan
dari
Mochtar
Kusumaatmadja
memeragakan pola kerja sama dengan melibatkan keseluruhan stakeholders 114
Mochtar Kusumaatmadja, dalam Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadha, Sebuah Kajian Deskriptif Analitis, artikel, tanpa tempat, tahun, hal. 5. 115 Mochtar Kusumaatmadja, dalam Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Sebuah Kajian Deskriftif, Ibid., hal. 5-6.
Universitas Sumatera Utara
103
yang ada dalam komunitas sosial. Dalam proses tersebut ia menambahkan tujuan pragmatis (demi pembangunan) sebagaimana masukan dari Roscoe Pound dan Eugen Erhlich yang memperlihatkan korelasi antara pernyataan Laswell dan Mc. Dougal, bahwa kerja sama antara penstudi hukum dan pengemban hukum praktis itu idealnya mampu melahirkan teori hukum (theory about law), teori yang mempunyai dimensi pragmatis atau kegunaan praktis. Mochtar Kusumaatmadja secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk pembangunan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam arti norma diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Oleh karena itu, ”diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang berbentuk tidak tertulis harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”.116 Dari uraian tersebut jelaslah bahwa Mochtar Kusumaatmadja membuka peluang untuk penerapan hukum yang tidak tertulis di samping hukum yang tertulis, mengingat perundangan-undangan terkadang tidak mampu menampung semua persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini dipertegas dari ucapan belian bahwa di Indonesia, undang-undang merupakan cara pengaturan hukum
116
Ibid., hal. 152-153.
Universitas Sumatera Utara
104
yang utama, pembaruan masyarakat dengan jalan hukum berarti pembaharuan hukum utama melalui perundang-undangan. Di antara sekian banyak kesulitan yang akan dihadapi apabila ditempuh jalan ini, maka di sini hanya akan disebut dua di antaranya yakni: kesulitan untuk secara rasionil dan pasti menetapkan prioritas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan untuk membuat hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat. Mengenai hal yang pertama sekarang ini dipakai sebagai pedoman, bahwa yang mendapat prioritas adalah perundang-undangan yang menunjang usaha pembangunan. ”Hal ini tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa menangani persoalan-persoalan lain yang harus segera diatasi”. 117 Perundang-perundangan memang menjadi prioritas, terutama dalam hukum pidana sehubungan dengan dianutnya asas legalitas, tetapi apa yang dikatakan Mochtar Kusumaatmadja tersebut di atas, hal tersebut tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa melihat pada aturan lain yang tentunya yang dimaksud olehnya adalah hukum yang tidak tertulis, hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Konsep Living Law tersebut telah dianut secara tegas oleh UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (1) yang menentukan, bahwa: ”Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan 117
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, kumpulan karya tulis, Bandung: Alumni, 2006, hal. 89-90.
Universitas Sumatera Utara
105
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) tersebut dijelaskan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar putusan Hakim dan Hakim Konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Konsep living law ini juga dianut oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam Pasal 8 ayat (4) ditentukan: Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya. Jadi, baik Hakim dan Hakim Konstitusi serta Jaksa secara teoretis dalam pelaksanaan tugas telah diamanatkan untuk menerapkan konsep living law. Jika saja kedua aparat penegak hukum tersebut di dalam praktek menerapkan konsep living law, niscaya tidak akan terjadi kasus-kasus Nek Minah yang mencuri 3(tiga) buah kakao, Rasminah yang mencuri 6 (enam) buah piring dan kasus sandal jepit yang menghebohkan itu. Kenapa dan bagaimana sehingga aparat penegak hukum tersebut seakan mengabaikan konsep living law tersebut perlu dilakukan penelitian lebih dalam, sebagaimana yang dianjurkan oleh Ehrlich untuk menemukan hukum yang hidup, diketemukan hanya antara lain melalui dari suatu pengujian keputusan-keputusan peradilan dan observasi masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
106
Tentang Living Law ini, Shidarta 118 mengatakan bahwa dalam tradisi keluarga civil law system, norma positif dalam sistem peraturan perundangundangan dipandang sebagai sumber formal hukum yang paling utama. Hal ini terlebih-lebih sangat ditekankan dalam ranah hukum pidana. Makna hukum tertulis dalam konteks hukum pidana kerap dibatasi denotasinya yaitu hanya berupa undang-undang. Oleh karena itu, undang-undang perlu dibuat selengkap mungkin agar mampu mengakomodasi dan mengantisipasi setiap perilaku pelanggaran hukum. Pembentuk undang-undang umumnya berkeyakinan bahwa undangundang yang dihasilkannya mampu mengakomodasi dan mengantisipasi pelanggaran-pelanggarn hukum terkait dengan materi muatan yang tercantum dalam peraturan tersebut. Jika mengikuti konsepsi teori kehendak dari John Austin, keyakinan demikian dapat dibenarkan mengingat para pembentuk undang-undang sudah memastikan bahwa undang-undang itu dibuat dengan menampung kehendak penuh semua pemangku kepentingan. Oleh sebab itu, undang-undang yang dihasilkan sudah dipastikan telah menampung rasa keadilan dan memuat jaminan kemanfaatan jika diterapkan. Hakim yang menjumpai adanya peristiwa konkrit (empirik) yang dihadapkan di muka persidangan, dengan sendirinya tinggal menerapkan saja undang-undang itu. Jadi, menerapkan undang-undang dengan sendirinya sudah menjamin tegaknya keadilan dan kemanfaatan. 118
Shidarta, Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim, Makalah pengantar diskusi tentang penemuan hukum dalam putusan Hakim, tanpa tanggal, tahun dan tempat, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
107
Selanjutnya Shidarta mengatakan, bahwa: ”namun, keyakinan seperti di atas sebenarnya hanya sebatas asumsi. Het recht hinkt achter de feiten aan: hukum selalu berjalan tertatih-tatih di belakang peristiwa konkrit. Oleh sebab itu, cepat atau lambat, undang-undang akan tertinggal oleh fakta”. 119 Jurang ketertinggalan itu kian melebar seiring dengan berubahnya tatanan sosial tempat hukum itu hidup di dalam kenyataannya. Di sinilah terjadi legal gap antara hukum di atas kertas (law in the books) dan hukum yang hidup dalam kenyataan (law in action/the living law). 2. Kerangka Konsepsi Untuk melakukan penelitian ini agar lebih terarah, maka dibutuhkan penjelasan beberapa definisi atau pengertian dari judul yang diajukan sebagai kerangka konsepsi. Hal tersebut dilakukan guna menghindari penafsiran ganda yang tidak mengacu kepada topik pembahasan. Definisi-definisi yang perlu dijelaskan tersebut antara lain yaitu, Hukum Tidak Tertulis, Sumber Hukum dan Putusan Pengadilan sebagai berikut: a. Hukum Tidak Tertulis ”Hukum senantiasa mengalami perkembangan, tidak hanya dalam isinya, melainkan juga dalam bertambahnya jenis-jenis yang ada. Perubahan, perkembangan dan pertumbuhan tersebut pada gilirannnya menyebabkan, bahwa sistematik dan penggolongan hukum itu harus ditata kembali agar susunan rasional dari hukum itu tetap terpelihara”. 120 119
Ibid., hal. 2. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, cet.ke-3, 1991, hal. 71.
120
Universitas Sumatera Utara
108
Satjipto Rahardjo mengatakan, ”apabila kita ingin membuat suatu penggolongan besar, maka kita bisa melakukannya dalam bentuk hukum tertulis di satu pihak dan hukum tidak tertulis di lain pihak”. 121 Hukum tertulis sekarang sudah menjadi padanan bagi hukum perundang-undangan serta menjadi tanda ciri dari hukum modern yang harus mengatur serta melayani kehidupan modern. Kehidupan yang makin kompleks, bidang-bidang yang makin beraneka ragam, serta perkembangan masyarakat dunia yang makin menjadi suatu masyarakat yang tersusun secara organisatoris (organized society), hubungan antar manusia yang makin kompleks pula, memang tidak bisa hanya mengandalkan pada pengaturan tradisi, kebiasaan, kepercayaan atau budaya ingatan. Sekalipun penggunaan hukum tertulis telah menjadi hal yang sangat umum, tetapi ia tidak sekaligus bisa disamakan dengan meningkatnya kualitas keadilan, tetapi hanya menyangkut bentuk saja. Di samping itu, penggunaan hukum tertulis juga tidak serta-merta menghilangkan bekerjanya ”hukum” yang tidak tertulis begitu saja, seperti tradisi, kebiasaan atau praktek-praktek tertentu. Oleh karena itu, sesungguhnya bisa dibicarakan tentang berjalannya dua bentuk tatanan secara berdampingan, yaitu bentuk yang tertulis dan tidak tertulis. Kebiasaan dan lain-lain itu bisa bekerja secara diam-diam, di bawah
121
Ibid., hal. 71-73.
Universitas Sumatera Utara
109
permukaan hukum tertulis yang bersifat resmi. Ancangan atau pendekatan sosiologis tersebut dimungkinkan untuk mengamati kejadian tersebut. Walaupun tidak dapat dibuat suatu definisi tentang apa hukum itu, 122 karena banyaknya segi dan lapangannya luas sekali, masih juga dapat dibagi dalam beberapa golongan berdasarkan beberapa ukuran (maatstaven). Oleh karena sumbernya bermacam-macam, maka hukum dapat dibagi dalam: 1. Hukum undang-undang (wettenrecht), yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. 2. Hukum kebiasaan dan hukum adat (gewoonte en adatrecht), yaitu hukum yang terletak dalam suatu peraturan kebiasaan atau peraturan adat istiadat, dan yang mendapat perhatian dari para penguasa masyarakat (perhatian ini ternyata dari keputusan para penguasa masyarakat itu). 3. Hukum traktat (tractaten recht), yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara-negara yang bersama-sama mengadakan suatu perjanjian (traktat). 4. Hukum yurisprudensi (jurisprudentie-recht), yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim. 5. Hukum ilmu (wetenschapsrecht) yaitu hukum sebetulnya saran-saran yang dibuat oleh ilmu hukum dan yang berkuasa dalam pergaulan hukum. Jadi, hukum yang terdapat dalam pandangan-pandangan ahli-ahli hukum yang terkenal dan yang sangat berpengaruhi (doktrin).
122
E. Utrecht, Op. Cit., hal. 89-90.
Universitas Sumatera Utara
110
Hukum undang-undang dan hukum traktat disebut juga hukum tertulis (geschreven recht). Hukum undang-undang ini hukum tertulis nasional, sedangkan hukum traktat hukum tertulis internasional.
”Sedangkan hukum
kebiasaan, hukum adat, hukum jurisprudensi dan hukum ilmu (doktrin) disebut juga hukum tidak tertulis (ongeschreven recht)”. 123 R. Subekti mengatakan, ”undang-undang (kodifikasi) peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda, yurisprudensi, hukum tidak tertulis dan hukum adat merupakan bahan-bahan (”bouwesteenen”) yang dapat dipakai dalam pembangunan Hukum Nasional”. 124 Selanjutnya R. Subekti mengatakan, jika meneliti tentang ”hukum tidak tertulis”, maka sebenarnya juga termasuk di dalamnya hukum yurisprudensi dan sebagian besar dari Hukum Adat Indonesia. Dikatakan ”sebagian besar”, karena juga ada unsur Hukum Adat dalam bentuk tertulis, misalnya ”Awig-Awig Desa” di Bali”. 125 Dengan demikian, hukum tidak tertulis adalah tidak sama dengan Hukum Adat, karena hukum tidak tidak tertulis adalah hukum yang hidup dan ditaati oleh suatu masyarakat. Sehingga hukum tidak tertulis lebih luas cakupannya dari Hukum Adat. b. Sumber hukum Menurut Peter Mahmud Marzuki, ”sumber hukum dapat diartikan sebagai bahan-bahan yang digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus 123
E. Utrecht, Ibid. R. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, cet.ke-III, 1992, hal. 118. 125 Ibid., hal. 118. 124
Universitas Sumatera Utara
111
perkara”. 126 Istilah sumber hukum mengandung banyak pengertian. 127 Istilah itu dapat dilihat dari segi historis, sosiologis, filosofis, dan ilmu hukum. Masing-masing disiplin mengartikannya dari perspektifnya terhadap hukum. Sejarawan, sosiolog, filsuf, dan yuris melihat hukum dari masing-masing sudut pandangnya. Bagi sejarawan dan sosiolog, hukum tidak lebih dari sekadar gejala sosial sehingga harus didekati secara ilmiah. 128 Filsuf dan yuris, sebaliknya, memandang hukum sebagai keseluruhan aturan tingkah laku dan sistem nilai. Dari perspektif sosiologis, sumber hukum berarti faktor-faktor yang benarbenar menyebabkan hukum benar-benar berlaku. Faktor-faktor tersebut adalah fakta-fakta dan keadaan-keadaan yang
menjadi tuntutan sosial untuk
menciptakan hukum. Sedangkan dari perspektif filosofis istilah sumber hukum juga mempunyai arti mengenai keadilan yang merupakan esensi hukum. Oleh karena itu, berdasarkan pengertian ini, sumber hukum menetapkan kriterium untuk menguji apakah hukum yang berlaku sudah mencerminkan keadilan dan fairness. 129 Menurut Ehrlich ada dua sumber hukum vital yang komplementer, yaitu:
126
Peter Mahmud Marzuki, dalam Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, Ed-1. cet.1, 2008, hal. 301. Cf. John Chipman Gray yang membedakan antara hukum dan sumbersumber hukum yang olehnya diartikan sebagai bahan-bahan hukum dan non hukum tetentu yang digunakan oleh Hakim karena tidak tersedianya aturan sehingga putusan itu menjadi hukum. Edgar Bodenheimer, Op. Cit., hal. 270. 127 G.W. Paton, A. Texbook of Jurisprudence, English Language Book Society, Oxford University Press, London, 1972, hal. 188. 128 P. van Dijk et al., Van Apeldoorn’s Inleiding Tot de Studie van het Nederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk-Willijnk, 1985, hal. 65. 129 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hal. 303.
Universitas Sumatera Utara
112
(a) Legal history and jurisprudence, that is, useful precedents and written commentaries; and (b) ”Living Law derived from current custom within society and, in particular, from the norm-creating activities of the numerous groupings in which members of society were involved. 130
Terjemahannya: (a) Sejarah perundang-undangan dan yurisprudensi, yakni uraian-uraian tertulis dan pemula, serta: (b) ”Undang-undang yang masih hidup” (living law) berasal dari adat terbaru dalam masyarakat dan pada khususnya, dari aktivitasakitivitas yang menciptakan norma beberapa kelompok di mana anggota-anggota masyarakat terlibat). Satjipto Rahardjo mengemukakan, bahwa: ”sumber-sumber yang melahirkan hukum bisa digolongkan dalam dua kategori besar, yaitu: sumbersumber yang bersifat hukum dan yang bersifat sosial”. 131
Yang
pertama merupakan sumber yang diakui oleh hukum sendiri sehingga secara langsung bisa melahirkan atau menciptakan hukum. Adapun yang kedua merupakan sumber yang tidak mendapatkan pengakuan secara formal oleh hukum, sehingga tidak secara langsung bisa diterima sebagai hukum. Apabila kita melihatnya secara demikian, maka yang kita jadikan tolok ukur adalah keabsahan secara hukum dari substansi yang dikeluarkan oleh masing-masing sumber tersebut. Substansi yang dihasilkan oleh sumber hukum adalah iposo 130
Eugen Ehrlich dalam L.B. Curzon, Jurisprudence, M & E Hanbooks, 1979, hal .
144-145. 131
Satjipto Rahardjo mengutip Fitzgerald, 1966: 109 dalam, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 81-82.
Universitas Sumatera Utara
113
jure yang dengan sendirinya sah, sedang yang lain tidak, dengan demikian hanya bisa disebut sebagai sumber-sumber kesejahteraan saja. Sebagai demikian, maka sumber sosial ini dapat disebut sebagai sumber bahan dan kekuatannya tidak otoritatif melainkan hanya persuasif. c. Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan adalah ”pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini”. 132 Putusan pengadilan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah putusan pengadilan perkara pidana umum dan pidana khusus (tindak pidana korupsi). Hal ini perlu dipertegas agar terlihat batasan penelitiannya tidak mencakup semua putusan pengadilan perkara pidana yang ada di luar KUHP. Sehubungan dengan itu, berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (2) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan secara tegas dan limitatif, bahwa: ”Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. Walaupun demikian berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut juga menentukan, bahwa: ”Pihak
yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap
Hakim yang mengadili perkaranya”. Pasal 17 ayat (2) menentukan, bahwa: ”Hak 132
Lihat Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Universitas Sumatera Utara
114
ingkar yang dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang Hakim yang mengadili perkaranya”. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 23 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut menentukan, bahwa: ”Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan
kasasi kepada
Mahkamah
Agung
oleh
pihak-pihak
yang
bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain”. Sedangkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut juga menentukan, bahwa: ”Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undangundang”. Akan tetapi berdasarkan Pasal 24 ayat (2)-nya menentukan, bahwa: ”Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) dan Sekretariat Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, maka penelitian tentang ”Hukum Tidak Tertulis Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Untuk Putusan Pengadilan Perkara Pidana” tidak ditemukan topik atau bahasan yang sama dengan judul penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
115
Aakn tetapi pembahasan tentang Hakim pada peradilan pidana di Indonesia, memang telah pernah ada dan ditulis oleh para peneliti pendahulu, antara lain: Disertasi Luhut M.P Pangaribuan yang berjudul ”Lay Judges Dalam Peradilan Indonesia: Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia.” 133 Tetapi pembahasan atau substansi pembahasannya sama sekali berbeda dengan penelitian ini. Penelitian disertasi ini dapat disebut ”asli’ karena jauh dari unsur plagiat yang bertentangan dengan asas-asas keilmuan, kejujuran, rasionalitas, objektivitas, dan terbuka. ”Semua ini merupakan implikasi dari proses menemukan kebenaran ilmiah”, 134
sehingga
kebenaran
penelitian
disertasi
ini
juga
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan pada sub bab sebelumnya yang akan menjadi fokus penelitian, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana konsistensi asas legalitas dengan berlakunya hukum tidak tertulis dalam hukum pidana. 2. Untuk mengetahui dan mengkritisi bagaimana implementasi konsep the living law dalam undang-undang hukum pidana Indonesia. 133
Disertasi tersebut telah diterbitkan menjadi Buku diubah dengan judul :”Lay Judges & Hakim ad hoc. Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Jakarta: Papar Sinar Sinanti, cet. Pertama, 2009. 134 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999, hal. 244.
Universitas Sumatera Utara
116
3. Untuk mengetahui dan mengkritisi bagaimana peranan penegak hukum dalam menerapkan hukum tidak tertulis. Oleh karena itu, hasil penelitian disertasi ini diharapkan bermanfaat atau mempunyai kegunaan, baik secara teoretis maupun
secara praktis. Kegunaan
teoretis mengandung arti, bahwa penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan hukum teoretis, terutama menambah konstribusi pemikiran di ranah hukum tidak tertulis yang masih kurang diminati di Indonesia, karena ada anggapan penerapan hukum tidak tertulis menjauhkan harapan untuk mendapatkan kepastian hukum. Bagi para akademisi hukum, kritik terhadap Positivisme Hukum dapat mendorong dilakukannya reorientasi pengajaran hukum di Indonesia. Secara singkat dapat dijelaskan, bahwa manfaat penelitian ini secara umum diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan penelitian dengan panduan pertanyaan penelitian sebagaimana yang telah dikemukakan dalam rumusan permasalahan. Selain itu, juga diharapkan akan dapat memberikan kontribusi positif, baik secara teoretis kepada disiplin ilmu hukum yang sedang ditekuni, maupun secara praktis kepada para praktisi hukum. Sehubungan dengan itu, penelitian ini secara khusus diharapkan bermanfaat: 1. Secara teoretis a. Sebagai bahan masukan dan kajian lebih lanjut bagi mereka yang berminat mendalami masalah-masalah hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum bagi Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara pidana, terutama untuk pencari keadilan masyarakat kecil dan miskin;
Universitas Sumatera Utara
117
b. Untuk memberikan gambaran yang berarti bagi studi hukum umumnya dan khususnya peranan Hukum tidak tertulis dalam peradilan pidana di Indonesia. 2. Dari sudut pandangan praktis, diharapkan penelitian ini mampu memberikaan kontribusi positif bagi para Hakim dalam memutus suatu perkara pidana.
G. Metode Penelitian Sutandyo Wignyosoebroto membagi beberapa tipe metode penelitian hukum antara lain sebagai berikut: a. Metode dalam kajian-kajian hukum yang dikonsepkan sebagai asas keadilan dalam sistem moral; b. Metode doktrinal dalam kajian-kajian hukum positif ; c. Kajian hukum dengan metode doktrinal dalam sistem hukum Anglo-Saxon (The Common Law System). d. Metode dalam penelitian hukum menurut konsep sosiologis (Pendekatan Makro Struktural atau juga Pendekatan Struktural-Fungsional dan Makro. Tipe penelitian ini sering juga disebut “Socio-Legal Method”. 135 1. Jenis dan Pendekatan penelitian Penelitian ini merupakan penelitian juridis normatif yaitu dalam artian, bahwa: asas-asas hukum normatif digunakan sebagai titik tolak analisis terhadap objek permasalahan yang diteliti. Dari analisis yang semacam ini kemudian dikaitkan 135
Soetandyo Wignyosoebroto, Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya. Surabaya: Universitas Airlangga, tanpa tahun dan tanggal terbit.
Universitas Sumatera Utara
118
dengan fakta-fakta empiris, hasil penelitian lapangan khususnya yang berkaitan dengan implementasi dari hukum positif (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang ada untuk mendukung pembahasan yang dilakukan. Dalam penelitian ini peneliti membahas: ”asas-asas hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. Oleh karena itu, penelitian ini terutama menggunakan bahan pustaka atau data sekunder”. 136 Mengingat penelitian ini merupakan penelitian juridis normatif, maka analisis yang digunakan pun berupa analisis kualitatif. Analisis yang bersifat deskriptif digunakan sebagai metode penelitian, namun tidak terbatas pada penggambaran norma-norma positif saja. Metode berfikir kritis untuk menelaah konsep-konsep positif tersebut dengan melihat fakta-fakta yang ada di pengadilan. Pertimbangan memilih jenis penelitian ini karena bahan utama penelitian ini adalah bahan hukum primer yang berupa undang-undang dan risalah pembentukan undang-undang yang merupakan arsip Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia serta literatur-literatur lainnya yang relevan. Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka penelitian bahan kepustakaan merupakan penelitian yang utama. Sedangkan penelitian lapangan, hanya berfungsi sebagai penunjang terhadap penelitian kepustakaan. Sehingga dengan demikian, penelitian ini menggunakan 4 pendekatan, yaitu: 136
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, cet. ketujuh, hal. 11-13.
Universitas Sumatera Utara
119
a. Pendekatan juridis, yaitu pendekatan dalam memahami hukum dari kaidah normatif aturan hukum tersebut beserta penjelasannya; b. Pendekatan kebijakan, yakni pendekatan dalam pembuatan keputusan yang berorientasi kepada tujuan yang hendak dicapai; c. Pendekatan nilai, memahami keberadaan suatu aturan hukum tertulis dan tidak tertulis dari sudut nilai-nilai yang melandasi pembentukannya atau penerapannya di dalam masyarakat; d. Pendekatan komparatif, pendekatan yang memperbandingkan kebijakan umum pembentuk undang-undang, kebijakan penerapan hukum tidak tertulisan atau penerobosan asas legalitas dalam pengambilan putusan perkara pidana yang dibahas. 2. Sumber Bahan Hukum Dikarenakan penelitian ini bersifat yuridis normatif, maka sumber bahan hukumnya terdiri dari: a. Bahan Hukum Primer: 137 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 137
Soerjono Soekanto dan Srimamudji mengklasifikasikan bahan penelitian hukum normatif dalam 3 kategori, yaitu bahan hukum primer, bahan skunder, dan bahan hukum tertier.
Universitas Sumatera Utara
120
3)Undang-Undang
Nomor
16
Tahun
2004
Tentang
Kejaksaan
Republik Indonesia. 4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman; 5) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan
hukum
sekunder
adalah
bahan-bahan
yang
tidak
termasuk
Ruang lingkup bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang memberikan Penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para Ahli, karya ilmiah/buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan penelitian ini. Atau laporan-laporan, artikel-artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, yang berkaitan dengan topik penelitian yang dilakukan, risalah-risalah pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup (living law). c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap
bahan
hukum
primer
dan
skunder,
seperti:
”Kamus hukum, kamus bahasa Inggris, Kamus bahasa Belanda, Kamus Filsafat, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian”. 138 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum 138
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998, hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1990, hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
121
Pengumpulan bahan hukum pada penilitian ini menggunakan teknik studi dokumen, artinya bahan hukum yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan berupa skunder ditabulasi yang kemudian disistimatisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian. Di samping itu untuk melengkapi bahan pustaka, juga dilakukan wawancara terhadap pakarpakar atau para penegak hukum yang terlibat langsung dalam praktek yang dianggap memahami permasalahan penerapan- penerapan hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum untuk putusan pengadilan, dengan mengunjungi langsung objek penelitian. 4. Analisis Bahan Hukum Guna mendapatkan hasil yang sesuai dngan tujuan dari penulisan penelitian Disertasi ini, maka seluruh bahan hukum yang sudah diperoleh dan dikumpulkan akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk bahan hukum dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang penerapan hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum untuk putusan pengadilan. Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan tersebut diklasifikasikan menurut jenis masalahnya, kemudian diseleksi unsur-unsur yang berkaitan dengan pembahasan penelitian yang dilakukan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam hal pengklasifikasan tersebut adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isi hukum yang dihendak dipecahkan;
Universitas Sumatera Utara
122
b. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang dipandang mempunyai relevansi dengan penelitian yang dilakukan ; c. Melakukan telaah dan analisa atas masalah penelitian yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang sudah dikumpulkan; d. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab masalah yang diteliti, yakni penerapan hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum untuk putusan pengadilan; e. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan. 139
H. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian disertasi ini terdiri dari 5 (lima) Bab, masing-masing Bab terdiri atas sub Bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. BAB I adalah merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang, perumusan masalah, asumsi, kerangka teori dan konsepsi, keaslian penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II adalah mengkaji tentang konsistensi asas legalitas dalam perkara pidana di Indonesia yang mencakupi tinjauan umum tentang fungsi hukum tidak tertulis dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, implikasi konsepsi Barat 139
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2007, hal. 142. Lihat juga M. Muslimin, Perlindungan Hak Asasi Rakyat Indonesia Dalam Memperoleh Informasi Melalui Upaya Melindungi Wartawan Dari Ancaman Penjara, Proposal Disertasi untuk memenuhi salah satu persyaratan mengikuti program Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijawa Malang, 2009, hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
123
terhadap Hukum Adat Indonesia, implikasi hukum tidak tertulis terhadap konsistensi asas legalitas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia serta eksistensi hukum tidak tertulis dalam sistem hukum di Indonesia. BAB III adalah mengkaji mengenai implementasi konsep the living law dalam hukum pidana Indonesia yang mencakupi: implikasi civil law system terhadap sistem hukum di Indonesia, implikasi common law system terhadap sistem hukum di Indonesia, implikasi hukum adat terhadap sistem hukum di Indonesia serta
implementasi hukum tidak tertulis
(the living law) di
Indonesia. BAB IV adalah mengkaji mengenai peranan penegak hukum dalam menerapkan hukum tidak tertulis yang mencakupi: hukum sebagai sarana untuk memperoleh keadilan, sumber hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, penerapan hukum tidak tertulis oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam proses peradilan, serta kewenangan Hakim dalam menerapkan hukum tidak tertulis dalam putusan perkara pidana. BAB V merupakan bab penutup yang mencakupi tentang kesimpulan dan saran atau rekomendasi sebagai solusi terbaik untuk mengatasi dari berbagai permasalahan yang ditemukan.
Universitas Sumatera Utara