1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang M asalah Perempuan dan politik merupakan konsep yang mempertemukan antara sekelompok orang berjenis kelamin perempuan dan negara. Ruang politik merupakan bagian tak terpisahkan dari serangkaian kepentingan negara dalam menaungi berbagai kepentingan rakyatnya. Ruang politik terbuka diwujudkan melalui agenda negara yang bernama Pemilihan Umum atau yang sering disebut Pemilu. Hal yang perlu diperhatikan adalah sebelum seorang politisi mengikuti ajang Pemilihan Umum m aka dia harus menjadi anggota salah satu partai politik sebagai rumah pencalonan dirinya. Partai politik merupakan sebuah organisasi untuk memperjuangkan nilai atau ideologi tertentu melalui penguasaan
struktur
kekuasaan
dan
kekuasaan
itu
diperoleh
melalui
keikutsertaannya di dalam pemilihan umum (Pamungkas, 2011). Partai digunakan sebagai alat perjuangan untuk mengambil kekuasaan negara dan kemudian
memberikan
nilai-nilai
yang
dianggapnya
benar
di
dalam
membangun bangsa. Politik kepartaian di Indonesia dimulai sejak pra kemerdekaan bersama dengan munculnya kesadaran dan kebangkitan kesadaran nasional dalam suatu pertentangan langsung dengan kolonialisme Belanda dan faktor internasional kemenangan
Jepang
dan
Rusia. Kemudian
berlanjut
pada
era
awal
kemerdekaan dan demokrasi liberal, era demokra si terpimpin, era orde baru,
2
serta era reformasi. M asing-masing periode memiliki konteks cerita yang berbeda karena kebijakan yang diterapkan pun berbeda pada tiap masanya. Isu mengenai pengar usutamaan gender mulai terlihat saat dikeluarkannya Instruksi Presiden No 9 tahun 2000. Hak-hak perempuan mulai diuraikan dalam beberapa poin penting seperti hak akses pendidikan, akses pub lik servis, dan juga akses politik. Perempuan tidak lagi hanya menjadi „penerima‟ manfaat pembangunan namun juga keterlibatan di dalam akses pengambilan kebijakan. Wacana mengenai keterlibatan perempuan di bidang politik nyatanya mulai bergerak menjadi isu nasional pada era reformasi. Kebijakan pengarusutamaan gender Indonesia di bidang politik terdengar pada sidang Paripurna DPR RI tanggal 18 F ebruari 2003 yang membolehkan adanya kuota minimal 30 % bagi setiap partai untuk merekrut perempuan sebagai calon wakil rakyat yang dituliskan dalam pasal 65 ayat 1 U U No. 12 tahun 2003. Regulasi formal terus bergulir hingga hadirnya UU No 22 tahun 2007
tentang penyelenggaraan pemilu dan UU N o. 2 tahun 2008 tentang
partai politik yang diantaranya memuat keterwakilan perempuan sebanyak 30 % pada partai kemudian disempurnakan dengan UU No. 8 tahun 2012 tentang pemilu legislatif. A da 9 pasal yang mengatur keterwakilan perempuan di dalam partai politik. Kebijakan affirmative pemenuhan kuota mininal 30% dalam pencalonan legistalif pun „memaksa‟ setiap elemen masyarakat baik laki-laki dan perempuan untuk mampu menerima bahwa perempuan pun didorong untuk berpolitik. Pihak yang amat bersentuhan langsung adalah partai politik peserta
3
Pemilu. Kebijakan ini menyebabkan adanya perubahan orientasi visi dan misi partai. Nuansa perempuan mulai hadir dalam konsentrasi garapan partai. Perubahan orientasi sasaran/ideologi parpol ini dapat kita lihat dalam buku “Partai-Partai Politik Indonesia” yang diterbitkan oleh Kompas 2004, dari 24 partai politik peserta pemilu 2004 yang mengajukan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) semuanya mulai menyebutkan perempuan sebagai sasaran program. M isalkan saja Partai PDK (Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan) yang menyebutkan perempuan sebagai kelompok strategis di Indonesia yang wajib untuk diperhatikan. Partai Perhimpunan Indonesia Baru menyebutkan adanya kalimat „perempuan yang merdeka‟ sebagai salah satu basis perjuangan mereka. Begitu pula dengan partai-partai besar lainnya seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Kesejahteraan Sosial (PKS), Partai Demokrat, dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan(PDI-P). Pergeseran orientasi dan konsentrasi politik partai pada aspek perempuan menjadi suatu tanda tanya besar bagi publik. Apakah perubahan ini terjadi karena kebijakan affirm ative action atau memang benar perhatian terhadap perempuan mulai meningkat di kalangan partai. Belum lagi jika kita melihat adanya istilah-istilah yang muncul dan menempel bagi para anggota calon legislatif perempuan. Salah satunya adalah apakah caleg perempuan ini adalah seorang „caleg boneka‟ yang menjadi trik permainan partai politik. Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi w ilayah yang me narik untuk diteliti, keterlibatan perempuan terus naik dari 2004 sejumlah 5% naik menjadi 9% di
4
Pemilu 2009 (Data KPU, 2014). Terjadi peningkatan meskipun kuota minimal 30% belum terpenuhi. DIY dalam data Puskapol UI(2013) termasuk dalam 9 besar DPRD Provinsi dengan Keterpilihan Perempuan Kategori Tinggi (>20 %).
Begitu pula pada Pemilu 2014, pada saat pencalonan seluruh partai
politik telah menerapkan kuota 30% bahkan beberapa partai merekrut calon legislatif perempuan lebih dari 30 %. Sebuah prestasi da n juga pertanyaan menarik
tentang
bagaimana
keterlibatan
perempuan
ini
mengalami
peningkatan. Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai satu w ilayah yang memiliki struktur pemerintahan sebagai „daerah khusus‟ karena Gubernur sebagai posisi tertinggi di sebuah provinsi diduduki oleh seorang Sultan dan sistem patriarkhi yang dianut sebagian besar masyarakat Jawa (termasuk DIY) menarik untuk diteliti. Patriakhi adalah sebuah sistem yang diatur oleh laki-laki yang kekuasaannya dijalankan melalui institusi sosial, po litik, ekonomi, dan agama. Sistem ini bersifat hierarkhi, agresif, dan muncul secara independen dari perubahan-perubahan sosial seperti sistem kapitalisme yang membagi sektor domestik dan sektor publik. Sistem ini memungkinkan laki-laki menjadi lebih dominan dibanding dengan perempuan (Gamble, 2010). Sistem ini lekat dengan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga. Hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan telah diatur melalui pranata sosial masyarakat. Perempuan politik juga akan bersinggungan dengan peranan perempuan di dalam struktur sosial masyarakat.
5
1.2 Rumusan M asalah Pergeseran orientasi politik terjadi ketika adanya kebijakan affirmative action, kuantitas perempuan politik semakin banyak. Perempuan didorong kuat-kuat untuk memenuhi kuota 30 % dan dinamika perpolitikan negeri menjadi sedikit bergeser dan „harus‟ mempertimbangkan lagi hak kontrol sua ra perempuan. Selain itu, perempuan juga harus pintar untuk melakukan strategi agar mampu bertahan di dalam pertarungan politik termasuk kondisi psikologis (problema) yang m uncul
dari peran mereka. Oleh
ketertarikan mengenai bagaimana
karenanya
timbul
kebijakan ini mampu direspon oleh
perempuan di tengah jengah perpolitikan negeri dalam konsep
“politik
perempuan” di Yogyakarta ?Pertanyaan menarik muncul: 1. Bagaimana kebijakan kuota affirmative action di Yogyakarta? 2. Bagaimana keterlibatan perempuan di dalam politik kepemerintahan (legistatif)? 3. Bagaimana politik dimaknai oleh perempuan politik? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang dari penulisan skripsi ini adalah : 1. M emberi gambaran mengenai kebijakan affirmative action di Yogyakarta 2. M emberi gambaran tentang keterlibatan perempuan di dalam politik kepemerintahan (legislatif) di DIY 3. M emberi gambaran penting di dalam melihat orientasi perempuan di dalam melakukan aktivitas politik
6
1.4 Ruang Lingkup Penelitian. Pemilu di Indonesia telah diselenggarakan mulai tahun 1955, rentang waktu yang cukup lama dengan dilaksanakan penelitian ini. Perbedaan interval waktu membutuhkan konteks yang berbeda sehingga penulis dalam hal ini membatasi studi kasus pada pemilihan umum di tahun 2014. A ktivitas politik pun banyak wujudnya, sehingga penulis membatasi proses studi ini pada kasus Pemilihan Umum DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II karena proses pemilihan ini memungkinkan setiap lapisan masyarakat untuk memilih dan dipilih secara langsung.
1.5 Tinjauan Pustaka Tema perempuan di bidang politik memang bukanlah tema yang baru. Tema ini muncul seiring lahirnya pemimpin-pemimpin baru yang berjenis kelamin perempuan. Apalagi sejak era reformasi dan demokrasi, wawasan mengenai kesetaraan gender semakin meluas. Cantor dan Bernay (1992) menulis mengenai kiprah wanita di dalam dunia politik. Cantor dan Bernay melakukan penelitian dengan wawancara mendalam kepada 25 orang politikus wanita di Amerika mengenai keterkaitan sosok perempuan politik melalui pendidikan macam apa yang mereka terima saat masih kecil. Temuan dari penelitian ini yaitu kualitas pendidikan yang didapat semasa kecil menyuburkan kualitas kepemimpinan para politikus wanita ini untuk berkiprah. Formulasi kepemimpinan perempuan dirumuskan Cantor dan Bernay dalam kalkulasi kompetensi d iri ditambah agresi kreatif ditambah kekuasaan wanita. Kepemimpinan wanita digambarkan akan
7
menjalankan kekuasaan dengan cara yang tidak terlalu tampak maskulin karena seorang perempuan akan melakukan pola sosialisasi melalui pola pengasuhan dari ibu kepada anak perempuannya secara turun -menurun. Temuan lain adalah politikus perempuan haruslah melalui berbagai hambatan sosial dan politik seperti mengumpulkan dana kampanye, meningkatkan kredibilitas, mendapat dukungan „setengah hati‟ dari kalangan perempuan lain, partai, keluarga dan lain-lain. Aspek psikologi sudah mulai dibahas, tapi hanya pada tingkat perumusan kepemimpinan perempuan saja. Hambatan menjadi seorang politikus wanita sudah diperlihatkan akan te tapi mengapa mereka masih mau untuk melakukan proses pencalonan legislatif, apa karena uang jabatan atau motif lain belum terlihat secara rinci dan menyeluruh. Nikki Craske (1999) melakukan penelitian kepada perempuan politik yang ada di Amerika Latin. Craske memaparkan bahwa di Amerika Latin juga terdapat sekat wanita di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik sehingga hal ini cukup mempengaruhi bagaimana sistem politik juga berjalan menjauhi kesetaraan gender. Craske memberikan konsep baru yakni Political Motherhood atau politik perempuan yang memberikan gambaran mengenai bagaimana perempuan diberikan kesempatan yang luas untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai sektor seperti tenaga kerja, politik, maupun berpartisipasi dalam
gerakan
sosial.
Konsep
baru
ini
muncul
hanya
menjelaskan
keterwakilan perempuan di berbagai sektor tetapi belum menjelaskan secara mendetail mengenai politik perempuan yang mengedepankan perempuan sebagai aktor tindakan politik. Di samping itu, penjelasan belum sesuai
8
dengan konteks Indonesia yang memiliki nilai-nilai moral yang berbeda dengan Amerika Latin. Utami (2001) melakukan studi tentang perempuan politik di parlemen. Pembahasan
Utami
difokuskan
pada
kajian
historis
perjuangan
dan
pemberdayaan perempuan di tahun 1 999-2001. U tami mengatakan perlunya untuk memperkuat posisi perempuan melalui peningkatan partisipasi p olitik perempuan dan adanya k uota di dalam pelibatan perempuan di bidang politik. Upaya ini perlu untuk didukung dengan pendidikan ag ar perempuan terhindar dari persoalan budaya yang membuat
perempuan menjadi konco wingking
dan akses politik perempuan yang rendah. Selama kurun waktu 1999 -2001 banyak peristiwa seperti diskriminasi hak angket, komprom i politik yang seringkali gagal, dan bentuk diskriminasi lainnya. Tulisan ini telah sedikit menyinggung budaya, akan tetapi belum menjelaskan secara jelas relasi budaya dalam membentuk budaya politik yang dapat dikatakan tidak adil gender. Soetjipto (2011) menuliskan mengenai perjalanan politik perempuan Indonesia pasca reformasi. memperbaiki
peradaban,
Politik perempuan sebagai politik untuk yaitu
upaya
kemanusiaan dari cengkraman kekuasaan.
historis 1
untuk
membebaskan
Soetjipto menuliskan sejarah
historis gerakan perempuan di arena politik Indonesia sejak tahun 1998 -2008 hingga pada pembahasan advokasi kebijakan melalui penjelasan kebijakan 1
Keadilan bagi politik pe rempuan bukan sekadar perjuangan menuntut hak individu, melainkan praktik menjaga perdamaian, menjaga kehidupan. Inilah yang dimaksud dengan ethics of care (etika kepedulian) sebagai dasar penylenggaraan keadilan. Bagi politik perempuan etika ini mendahului ethics of right (etika keadilan), yaitu tuntutan penyelenggaraan keadilan yang semata mata didasarkan pada kepentingan individu.
9
afirmatif untuk partisipasi politik perempuan pada Pemilu 2004 dan 2009. Temuan dari Soetjipto bahwa politik perempuan hari-hari ini sedang masuk dalam tahap evaluasi ideologis, dimana wacana ini be lum banyak diakui secara tindakan oleh politik Indonesia sebagai bagian dalam memajukan kualitas demokrasi ke peradaban yang lebih memerdekakan perempuan, tidak bias gender. Pembahasan baru lintas historis belum membahas subjek kajian langsung/ politisi perempuannya. Partini (2012) juga melakukan studi tentang bias gender dalam birokrasi PNS perempuan di DIY. Studi ini memberikan gambaran tentan g analisis posisi P NS di DIY. Temuan yang terdapat dalam tulisan ini adalah dalam hal kualitas SDM , PNS perempuan memiliki cultural capital (ilmu pengetahuan dan ijazah) yang memungkinkan PNS perempuan untuk meraih jabatan lebih tinggi dibanding PNS laki-laki. Akan tetapi nyatanya kebijakan sistem zig-zag bagi setiap orang yang ingin naik pangkat menyulitkan perempuan karena sistem ini seringkali membuat perempuan mengorbankan kesempatan naik jabatan demi keluarganya. Penelitian ini menunjukkan pada satu pemahaman bahwa sistem memang telah mengizinkan pere mpuan untuk masuk ke dalam birokrasi secara terbuka akan tetapi masih saja ada kebijakan -kebijakan yang menghambat kemajuan seorang pejabat publik perempuan. Lalu bagaimana dengan para calon legislatif perempuan dan anggota legislatif perempuan?. Berbagai studi pustaka di atas merupakan studi mengenai perempuan politik. Kajian yang dilakukan banyak didominasi pada pergerakan sejarah dan berbagai hambatan sehingga kurang memperhatikan para perempuan yang
10
terjun ke dunia politik sebagai subjek kajian di dalam studi. Pem bahasan yang dilakukan belum menyentuh ranah praktis keterlibatan perempua n di dalam politik serta proses pemaknaan politik itu sendiri bagi perempuan . Tulisan ini hadir untuk melengkapi kekayaan pustaka kita mengenai peristiwa perempuan politik di DIY khususnya di dalam memahami respon perempuan terhadap kebijakan affirmative negara yang menetapkan kebijakan kuota 30% bagi perempuan. 1.6 Landasan Teori Era reformasi menjadi era dimana demokrasi dijunjung tinggi dan atas nama kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, setiap warga negara diperbolehkan untuk berpolitik secara terbuka melalui partai politik. Kompetisi terbuka ini melahirkan konsekuensi hadirnya berbaga i macam jenis perilaku berpolitik. Perilaku politik dapat dikatakan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik (Ramlan, 1992). Faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku politik aktor politik ada empat, yakni (1) lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem ekon omi, sistem budaya dan media massa; (2) lingkungan sosial politik langsung seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan;(3) struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu yang didasari oleh kepentingan, penyesuaian diri, dan pertahanan diri;(4) faktor sosial politik langsung yang berupa situasi, yakni keaadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung
11
ketika akan melakukan suatu kegiatan seperti cuaca, keadaan keluarga, ancaman, suasana kelompok, dan seterusnya.
2
3
Perilaku merupakan satu dari tiga wujud kebudayaan . Perilaku berada pada posisi tengah piramida kebudayaan. Perilaku para perempuan politik pun menjadi salah satu aspek di dalam melihat budaya politik berkembang di kalangan
politisi
perempuan. Almond dan
Verba
(1990) mengartikan
kebudayaan politik suatu bangsa sebagai distribusi pola -pola orientasi khusus menuju
tujuan
politik
diantara
masyarakat
bangsa.
Budaya
politik
menggerakkan pemahaman pada perpaduan antara dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu(Syamsyudin, 1991). Almond dan Verba lebih lanjut menjelaskan bahwa dari pola-pola orientasi khusus tersebut d apat dipakai apabila telah dipaham i berbagai cara yang sistematis orientasi individu terhadap objek politik yang ia pah ami. Terdapat tiga kom ponen dalam objek politik yaitu komponen kognitif, yaitu yang menyangkut pengetahuan tentang politik dan kepercayaan pada politik, peranan, dan segala kewajibannya. Komponen kedua adalah orientasi afektif yakni perasaan terhadap sistem politik, perananannya, para aktor, dan penampilannya. Komponen ketiga adalah orientasi evaluatif yakni keputusan dan praduga tentang objek -objek politik yang secara tipikal melibatkan kom binasi standar nilai dan kriteria 4
dengan informasi dan perasaan. Penjelasan di atas menjadi landasan uta ma di dalam studi tentang fenomena “politik perempuan” ini yang tak lain adalah 2
Surbakti, Ramlan, hal 132 W ujud kebudayaan terbagi menjadi tiga, ya itu idea (kognitif), perilaku, dan materi (arte fak), lihat Koentjaraningrat, 2009 4 Almond, Gabriel dan Verba, Sidney, terj. Sahat Simamora, Budaya Politik, Tingkah Laku dan Demokrasi di Lima Negara, Jakarta, 1990, hal 16.4 , Sastroatmodjo,1995 hal 36 3
12
bagaimana politik dimaknai sebagai sebuah orientasi dari ekspresi politik yang didapat melalui pengalaman, tidak dalam bentuk bagaimana politik dimaknai sebagaimana digunakan sebagai alat mencapai kekuasaan, tapi bagaimana politik sebenarnya dihayati oleh perempuan.
Sejalan dengan fenomena
yang terjadi, Wolf (1997) mengatakan
perempuan-perempuan pada abad 21 mulai “melek kuasa”. Para kaum wanita mulai bergerak menuju kesadaran akan kebutuhan memperoleh kekuasaan karena di sana dia bisa melakukan kontrol. Perempuan menurut Wolf memiliki semacam khayalan tentang “penyelamatan” hak-hak mereka dalam cara pikir yang feminis, dalam lamunan, yang telah diajarkan sejak kecil untuk dipak ai memikirkan kehendaknya sendiri. Khayalan itu berbunyi: suatu hari nanti, saat kita entah bagaimana dibuat setara dengan laki-laki -akibat perubahan zaman, berkat keputusan pemerintah, atau apapun juga - maka kita akan menerima apa yang kita butuhkan. Politik menjadi sebuah „khayalan‟ bagi perempuan sebagai upaya dalam proses mew ujudkan berbagai „kebutuhan‟ perempuan yang belum ia dapatkan. Politik dipandang sebagai sebuah jalan untuk meminta hak -hak perempuan. Ratih (2009) mengatakan semangat revolusione r yang mewarnai gerakan perempuan sejak dekade ke-2 abad ke-20 mendorong perempuan untuk menentang nilai-nilai Victorian dan tradisi feudal priyayi:‟perempoean dipandang seperti perhiasan roemah tangga dan mendjadi kepalanja koki… memilih doedoek diam sambil makan angin‟. Penjelasan di atas juga menuntun pada bahasan studi ini dimana perilaku politik perempuan menjadi
13
gerakan perempuan melawan „tradisi‟ dan stigma yang melekat padanya. Seperti disebutkan diatas,
gerakan politik perempuan berusaha
untuk
„melawan‟ ideologi patriarkhi yang selama ini telah terkonstruksi dengan baik di dalam masyarakat Jawa. Patriakhi(Saptari,1997) adalah sebuah sistem yang diatur oleh laki-laki yang kekuasaannya dijalankan melalui institusi sosial, politik, ekonom i, dan agama. Sistem ini bersifat hierarkhi, agresif, dan muncul secara independen dari perubahan-perubahan sosial seperti sistem kapitalisme yang membagi sektor domestik dan sektor publik. Sistem ini memungkinkan laki-laki menjadi lebih dominan dibanding dengan perempu an di sektor publik. Di sisi lain, konsep kekuasaan dalam budaya Jawa masih mempercayai bentuk kepemimpinan politik “paternalistik” cocok dengan karakteristik budaya Jawa. Pengertian kekuasaan dalam paham Jawa menekankan upaya untuk menyatukan hal-hal yang bertolak belakang, penggambaran klasiknya adalah
kombinasi
laki-laki
dan
perempuan.
Namun
demikian
bukan
penyatuannya yang ditekankan namun lebih kepada menyandingkan bentuk dan karakteristik feminism -maskulin, dalam hal ini prinsip keseimbangan yang bekerja (konsistensi dengan nilai keselarasan).
5
Konsep kekuasaan Jawa ini
kental dengan spesifikasi pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan sebagai bagian untuk menuju keseimbangan. H ubungan kekuasaan ada pada hubungan fungsional peran laki-laki dan perempuan yang dilembagakan.
5
Handayani, Christina S dan Ardhian Novianto. 2004. Kuasa W anita Jawa. Yogyakarta : LKIS Press, hlm 100
14
Sebagaimana politik dipresepsikan oleh perempuan sebagai bagian pemenuhan kebutuhan diri, bayangan akan hadirnya negara yang sensitif terhadap perempuan menjadi tujuan penting dalam agenda politik perempuan. Pengambilan keputusan negara haruslah melihat bagaimana perempuan serta persoalan
domestik
yang
selama
ini
digelutinya
sebagai
bahan
ajar
pengambilan keputusan. Politik menurut perempuan dikenal dengan ungkapan the personal is political (yang pribadi adalah politik) Istilah ini pertama kali dimunculkan oleh Carol Hanisch, seorang penggiat feminisme Amerika, dalam 6
sebuah tulisan “Notes from the second year” di tahun 2007. Aktivitas politik sangat lekat dengan kata perempuan karena perempuan telah terbiasa mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-sehari mulai dari hal kecil seperti
mengatur
makan
dan
minum
hingga
persoalan
sulit
seperti
mempertimbangkan keuangan(Adelina, 2008). O leh karenanya tidak ada presepsi “politik itu kotor”
bagi seorang perempuan. Perluasan lingkup
keluarga ke dalam konsep negara juga menjadi dasar nilai budaya yang dipegang perempuan Jawa. Karakteristik perempuan Jawa kental dengan ikatan keluarga (kekerabatan) yang kuat. 1.7 M etode Penelitian Penelitian
ini
lebih
menitikberatkan
pada
riset
kualitatif
dengan
pendekatan metode deskripsi analitis dalam melakukan studi pada kasus perempuan
politik
DIY
untuk
mempelajari,
menerangkan
dan
menginterpretasikan suatu kasus dalam konteksnya secara natural. Aktivitas
6
Perdana, Aditya dkk. Hal 1
15
berpolitik memang banyak bentuknya, akan tetapi pokok bahasan mengenai respon perempuan terhadap kebijakan kuota 30 % dipilih menjadi kajian studi dikarenakan perilaku berpolitik mencerminkan bagaimana proses pemahaman politik dan keterlibatan perempuan mampu dilihat.
Observasi dilakukan pada
arena pemilihan umum sebagai ruang kontestasi proses „adu tangguh‟ para calon legislatif untuk melakukan beberapa alternatif pilihan bertindak politik. Unit analisis dalam penelitian merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam menentukan validitas data. Pemilihan informan penulis pilih menurut kategori keterwakilan suara perempuan dari keseluruhan cakupan informan penulis. Adapun cakupan informan adalah lima orang yang terdiri dari calon legislatif maupun anggota legislatif yang tergabung dalam
Forum
Komunikasi Perempuan Politik DIY dan N ARASITA. Pertimbangan pemilihan informan penulis dasarkan pada pembedaan kelas ekonomi, status hubungan keluarga (relasi suam i isteri di dalam keluarga) status pendidikan dan pengalaman berbeda dalam kegiatan politik pemilu 2014, yakni informan dengan pengalaman satu kali nyaleg namun gagal, dua kali nyaleg namun gagal, satu kali nyaleg berhasil, caleg incumbent namun gagal, dan caleg incumbent yang berhasil. Dalam melakukan penelitian ini, data diperoleh melalui metode observasi partisipatoris, wawancara, dan dokumentasi. O bservasi partisipatif berusaha mengamati dan terlibat secara langsung untuk mengidentifikasi dan mengetahui bagaimana perempuan politik ini melakukan aktivitas politiknya . Observasi ini lebih khusus bersifat partisipatoris atau participant observation. (Ahimsa-Putra, 2007). M etode ini diwujudkan melalui proses pendekatan kepada informan dan
16
juga terha dap komunitas tersebut. Bermula dari awal perkenalan saya dengan pihak NARASITA dalam kegiatan magang Praktik Profesi Antropologi (PPA) saya selama kurang lebih satu setengah bulan pada bulan M aret-April 2014, saya pun mulai masuk dalam perkumpulan ini sebagai seorang relawan. Berbagai kegiatan saya ikuti untuk turut berinteraksi dengan para anggota. Kemudian pada tahun ini pula saya ikut aktif bergerak bersama dalam forum yang diberi nama Aliansi Perempuan U ntuk Kebijakan Responsif Gender. Forum ini berisi kan perwakilan dari organisasi masyarakat perempuan, organisasi sayap partai politik, organisasi perempuan keagamaan, organisasi sosial perempuan, da n Lembaga Swadaya M asyarakat (LSM ) perempuan yang tergabung melalui pelatihan gender yang diselenggarakan N ARASITA bersama dengan BPPM (Badan Pemberdayan Perempuan M asyarakat) DIY. Kedekatan emosional telah saya bangun hingga pada saat ini. M etode wawancara dilakukan dengan pendekatan-pendekatan antara lain melakukan sapaan, terbuka tidak ada tujuan eksplisit, menghindari pengulangan, mengajukan pertanyaan, menunjukkan ketidak tahuan, bergiliran dalam berdialog sehingga
tidak
ada
yang
mendominasi
atau
memonopoli
pembicaraan,
penyingkatan terhadap bahasa yang disampaikan sehingga tidak berbelit-belit, ada jeda waktu atau rehat agar pembicara dan lawan bicara dapat berpikir sejenak terhadap apa yang ingin diutarakan, dan penutup pembicaraan (Spradley, 1997). Dalam
metode ini, peneliti melakukan wawancara tidak terstruktur dan
wawancara terstruktur disesuaikan denga n kondisi informan di lapangan. Studi ini membutuhkan banyak
ruang pribadi karena berkaitan dengan pendalaman sisi
17
historis kehidupan informan. Pengalaman menjadi hal penting yang ingin penulis gali disamping bagaimana informan melakukan interaksi terhada p lingkungan sosial dan lingkungan politiknya. Studi dokumen merupakan metode atau langkah mengumpulkan data melalui dokumen file-file tertulis seperti buku, artikel, koran, novel, data harian (diary), biografi, autobiografi, data-data statistik dan seterusnya dilakukan ketika akan melakukan penelitian dan setelah melakukan penelitian(Davies,1998). Studi dokumen sangat berguna bagi seorang peneliti, sebelum terjun ke lapangan seorang ahli peneliti melalui studi dokumen dapat mendalami semua bahan -bahan dan keterangan yang ada tentang kebudayaan yang hendak dipelajarinya, dan mempelajari masalah-masalah yang terutama menarik perhatian. Usaha in i dimungkinkan memperoleh rujukan awal dari gagasan-gagasan atau proposisi pandangan hitoris dari masyarakat yang kita teliti(Noorman &Lincoln, 1994). Dari sana seorang peneiliti juga dapat membuat asumsi dasar yang kemudian diturunkan menjadi sebuah pertanyaan awal sebuah penelitian. Studi dokumen juga dibutuhkan saat penelitian maupun ketika penelitian telah selesai. Studi dokumen melalui banyak cara seperti yang saya sebutkan diatas mampu memberikan keterangan lebih lanjut mengenai subjek masyarakat yang kita teliti. Saat penelitian selesai studi dokumen dibutuhkan untuk keperluan membantu menelaah kembali masyarakat yang kita teliti melalui tulisan-tulisan maupun hasil penelitian yang sebelum nya. Berbagai referensi baik berupa surat kabar, artikel, life history, lokakarya, dan lain sebagainaya
terkait perempuan
politik akan mewarnai penulisan ini. Tulisan ini juga berisi mengenai gambar-
18
gambar yang mendukung atas penyataan penulis maupun peristiwa -peristiwa yang penulis dapat ketika melakukan kegiatan bersama dengan informan. Teknik analisis data dalam penelitian ini mengacu pada konsep M illes dan Hubermen(1992:20) yaitu interaktif model yang mengklarifikasikan analisis data dalam tiga langkah yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi. M ereduksi data berarti merangkum , memilih hal-hal pokok, mencari tema dan polanya. Langkah berikutnya yaitu menyajikan data, M iles dan Hubermen menyatakan bahwa yang paling sering digunakan untuk menyajikan data penelitian kualitatif adalah teks yang bersifat naratif. Langkah selanjutnya yaitu penyajian data dengan melakukan pengelompokan data yang terdiri dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi sehingga mempermudah dalam mendeskripsikan data. Langkah terakhir yaitu mengambil kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari analisis data yang telah dilakukan.