19 POLITIK BERJENIS KELAMIN LAKI-LAKI? (KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DPRD PROVINSI SULAWESI TENGGARA PADA PEMILU 2014) Asliah Zainal Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah IAIN Kendari
[email protected] Abstract Women representation in politics in fact still has not showed in maximum results, both at the national and local level. This study was conducted to examine the dynamics of women representation Southeast Sulawesi Provincial Parliament at the general election in 2014. This studi used a sample of four political parties, PAN as the category of the ruling party and the first winner, the Golkar Party as the old political party and the second winner, Gerindra as a new political party with the acquisition of a significant voice as the fifth winner, and the PPP as an old and Islamic political party. This study shows that the women representation in Southeast Sulawesi Provincial Parliament has eight chair or 18 % within 45 of total legislators. This number is a slight increase compare to the general election in 2009 with only reached seven chair or 16% of women legislators. Among eight women legislators, six women or 75% were come and influenced by the power. Key Words: women and politic, affirmative action, patriarchy. Abstrak Wacana keterwakilan perempuan dalam bidang politik masih belum menunjukan hasil yang maksimal, baik pada level nasional maupun lokal. Studi ini dilakukan untuk mengkaji dinamika keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara pada Pemilu 2014. Penelitian ini menggunakan sampel empat partai politik peserta Pemilu 2014, yaitu PAN sebagai partai penguasa dan pemenang pertama, Partai Golkar sebagai partai lama dan pemenang kedua, Partai Gerindra sebagai partai baru dengan suara yang cukup signifikan, dan PPP sebagai partai lama dengan basis Islam. Studi ini menunjukan bahwa Keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara pada Pemilu 2014 mendudukan 8 orang legislator perempuan dari 45 legislator (18%), sedikit meningkat dari pemilu 2009 yang hanya mencapai 7 orang legislator perempuan 16%). Dari delapan orang legislator perempuan, 6 orang atau 75% lahir dari rahim kekuasaan. Kata Kunci: perempuan dan politik, affirmative action, patriarki
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
AL-IZZAH
20 Pengantar Ruang dan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan di ranah publik diharapkan memiliki porsi yang sama. Negara telah menjamin ketersediaan ruang politik bagi dua jenis kelamin tersebut, bahkan melindungi secara khusus terjaminya hak-hak politik aktif perempuan. Perlindungan negara terhadap ruang ketersediaan perempuan di dunia politik ditelorkan lewat affirmative action dengan keharusan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik baik ditingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Kebijakan ini ditegaskan kembali dengan zipper system yang mengharuskan diselipkanya calon legislatif perempuan diantara tiga calon legislatif dan ditempatkan dalam nomor urut perdana, bukan pada nomor urut pungkas. Potret kehadiran perempuan di ruang politik nyatanya direspon kurang gairah. Hingga pemilu 2009, keterwakilan perempuan dilegislatif pusat hanya mencapai angka 18%, keterwakilan perempuan di DPD lebih baik pada level 27% sedangkan di DPRD propinsi hanya sekitar 15,53% dari nominal 33 provinsi di Indonesia dan hanya mencapai 12% di DPRD Kabupaten/Kota. Lebih menyedihkan lagi ada 10% dari 497 kabupaten/kota yang tidak memiliki keterwakilan perempuan.1 Untuk Provinsi Sulawesi Tenggara, keterwakilan perempuan di DPR RI pada pemilu 2009 hanya satu orang dari lima anggota DPR RI sedangkan di DPD sama sekali tidak terwakili (UNDP, 2010). Di level DPRD provinsi, kehadiran perempuan meningkat dari 4 orang pada pemilu 2004 menjadi 7 (16%) pada pemilu 2009.2 Meskipun menunjukan kecenderungan meningkat, agaknya perjuangan untuk menghadirkan keterwakilan perempuan hingga mencapai angka minimum 30% masih menunjukan denyut nadi yang lemah. Di level kabupaten/kota kehadiran perempuan di ruang-ruang parlemen lokal lebih minim lagi. Dari 12 kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara, hanya Kota Kendari yang mencapai kuota hingga 34% keterwakilan perempuan di legislatif pada pemilu 2009. Sementara kabupaten/kota lain masih berkisar angka maksimum 20% (Kabupaten Buton) hingga minimum 4% (Kolaka Utara) dan Konawe Utara 5%.3 Tidak hanya di ruang-ruang duduk parlemen, kehadiran perempuan di level kepengurusan partaipun lebih dahulu tersendat-sendat, bahkan absen. Pengurus partai politik direpotkan dengan keharusan memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan pada jajaran pengurus parpol. Kerepotan ini menjadi semakin kronis, manakala partai harus pula 1
Laporan UNDP, 2010. DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, 2012. 3 Diolah dari 12 sumber BPS kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara, 2012. 2
AL-IZZAH
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
21 memenuhi 30% kuota kehadiran perempuan dalam absensi daftar balon dan calon tetap anggota legislatif pada pemilu 2014, baik di level provinsi terlebih lagi di kabupaten/kota. Fakta ini menunjukan kecenderungan demam kronis yang dialami partai politik sebagai gerbong politik masyarakat di tingkat lokal. Kondisi kronis yang dihadapi partai peserta pemilu (parpol) tersebut adalah situasi berulang setiap kali demam pemilu menghampiri. Situasi kronis yang menyertai demam pemilu ini apakah menjadi shock terapi yang menyentak kesadaran untuk segera diobati ataukah demam tersebut diaggap sebagai demam reguler lima tahunan yang dianggap biasa. Karena menjadi biasa, demam yang selalu berulang tersebut disikapi beragam oleh berbagai partai politik di Provinsi Sulawesi Tenggara. Beragam studi sudah dilakukan untuk menjelaskan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dalam berbagai level. Penelitian-penelitian berikut menguatkan asumsi bahwa ruang politik yang disediakan bagi perempuan di lembaga legislatif meskipun sudah dalam bentuk regulasi resmi, masih belum terisi sepertiganya baik di level nasional (18%) maupun di provinsi (13,53%) dan kabupaten/kota (10%). Penelitian Women Research Institute-IDRC tentang penerapan sistem kuota dan sistem zipper di DPR RI, DPRD Kota Banda Aceh, DPRD Kota Solo, DPRD Kota Pontianak, DPRD Kota Mataram dan DPRD Kabupaten Minahasa Utara menyebutkan bahwa pemenuhan keterwakilan perempuan dalam wilayahwilayah tersebut bervariatif, dimana Minahasa Utara memenuhi kuota paling tertinggi (40%) keterwakilan perempuanya di level DPR RI, sama variatifnya ditingkat lokal DPRD.4 Studi yang dilakukan 5 6 Soetjipto&Soeseno-CETRO dan Cahyowati menegaskan bahwa meskipun kesetaraan gender telah dituangkan dalam bentuk legal formal ataupun dalam bentuk AD/ART partai, akan tetapi kendala-kendala bagi perempuan untuk terjun dalam partai politik masih bisa ditemukan secara nyata di lapangan. Cahyowati juga melakukan studi tentang keterwakilan perempuan di DPR RI dengan mengacu kepada prinsip keadilan, HAM, dan demokrasi. Hasilnya menunjukan bahwa keterwakilan perempuan diDPR RI dari pemilu ke pemilu belum memenuhi prinsip keadilan, HAM, dan demokrasi, sebab affirmative action yang mengharuskan 30% keterwakilan perempuan 4
Women Research Institute (WRI)-IDRC, Perempuan dan Politik (Sistem Kuota dan Zipper System). (Ringkasan Laporan Penelitian, 2011). 5 Anik Widyani Soetjipto & Nuri Soeseno-CETRO, Peluang Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga Politik Formal di Indoesia, (Jakarta: CETRO), 2005). 6 RR Cahyowati, Keterwaklan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Ditinjau dari Prinsip Keadilan, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi), Tesis Universitas Brawijaya, Malang, 2011.
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
AL-IZZAH
22 belum mampu dipenuhi oleh partai politik. Hal ini terus berulang disebabkan oleh tak adanya sangsi bagi partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Soal kendala-kendala yang dihadapi perempuan diteliti oleh Pambudi di Sampang Madura disebabkan oleh kuatnya budaya patriarkhi yang menempatkan priviledge dan dominasi kaum laki-laki dalam masyarakat sebagai pilar penyangga budaya, khususnya dalam level kekuasaan dan politik, serta didukung pula oleh legitimasi sosio-religius. Temuan yang sama oleh Parawangsa (tt).7 Penelitian-penelitian tersebut menjelaskan betapa variatif dan fluktuatifnya potret keterwakilan perempuan di lembaga legislatif pada tingkat pusat dan daerah. Dengan menggunakan analisis feminis, tulisan ini akan mengkaji fakta bagaimana dinamika keterwakilan perempuan pada masing-masing partai politik sebagai calon legislatif di DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara pada pemilu 2014? Lebih khusus akan mencermati bagaimana sistem rekrutmen dan kaderisasi yang dilakukan partai politik peserta pemilu 2014 dan kesulitan dan kendala yang dihadapi dalam memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan pada pemilu 2014. Geliat Politik Perempuan dalam Wajah Politik Maskulin Struktur politik yang timpang tersebut dimulai dari formulasi produk hukum hingga rekrutmen pada level lembaga. Akibatnya, struktur politik yang selama ini berlangsung sangat bias laki-laki, berbau maskulin dan sangat anti terhadap feminitas. Atas kondisi timpang tersebut, perspektif kritis menilai perlu adanya langkah strategis dan kritis untuk menghadirkan perempuan dalam lembaga-lembaga politik. Langkah strategis ini bukan untuk memberikan hak istimewa dengan perlakuan khusus bagi perempuan, tetapi mengingat selama ini politik adalah dominasi laki-laki maka pandangan kritis menghendaki agar tercipta kompetensi yang lebih fair antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik. Rendahnya posisi perempuan dalam politik memiliki latar belakang yang sangat kompleks, tetapi sesungguhnya bermuara pada konstruksi sosial yang timpang dalam masyarakat. Hubungan antara laki-laki dan perempuan yang timpang dalam politik berasal dari manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan konstruksi sosial. Ada penilaian sosial dikalangan masyarakat yang misoginis dan underestimate terhadap kemampuan dan kapabilitas perempuan dalam politik. Penilaian misoginis tersebut bukan disebabkan oleh konstruksi biologis antara laki-laki dan perempuan yang 7
Mohammad Yusuf Pambudi, Perempuan dan Politik; Studi tentang Aksesibilitas Perempuan menjadi Anggota legislatif di Kabupaten Sampang, (Surabaya: Universitas Airlangga, 2010).
AL-IZZAH
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
23 memang berbeda, tetapi oleh konstruksi sosial yang bernuansa patriarkhis dalam masyarakat. Oleh sebab itu, yang mesti dicermati adalah struktur dan sistem yang bias gender dan juga penilaian dan idiologi patriarkis yang sudah terlanjur berakar di masyarakat.8 Patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang mendukung dan membenarkan dominasi laki-laki, sehingga menimbulkan pemusatan kekuasaan dan privilege di tangan kaum laki-laki, mengakibatkan kontrol dan sub-ordinasi perempuan, serta menciptakan ketimpangan sosial antar gender. Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat dan pemerintahan serta mencerabut perempuan dari aksesnya terhadap kekuasaan.9 Sistem patriarkhis ini lebih terlihat lagi dalam persoalan penempatan dan keterwakilan perempuan di bidang politik. Kekuasaan dianggap selalu identik dengan laki-laki, dengan sifatsifat maskulinitas yang membutuhkan ketegaran, keperkasaan, kekuatan dan pengaruh yang besar. Politik yang identik dengan kekerasan, persaingan, dan konflik yang menampakan wajah maskulin membuat perempuan sangat tidak familiar dan menimbulkan rasa traumatis. Maskulinitas pada level kekuasaan ini menjadikan perempuan menjauhi kekuasaan dan hal-hal yang berbau politik maskulin. Sifat kekuasaan yang maskulin ini naifnya bertentangan dengan dunia feminitas perempuan. Masyarakat pun tidak memiliki kesiapan dalam menjadikan perempuan membangun kualitas kekuasaan yang maskulin. Hingga akhirnya, anak perempuan tidak memiliki gambaran kultural akan sosok pemimpin perempuan sebab kekuasaan selalu digambarkan dengan potret domain laki-laki yang sangat maskulin. Ketika perempuan menjadi pemimpin atau terjun dalam bidang politik, mereka tergagap-gagap mengekspresikan dirinya secara matang dan kompeten. Mulia&Farida menegaskan bahwa selama kekuasaan itu identik dengan maskulinitas, maka akan sulit bagi perempuan untuk menapakan kaki ke daerah kekuasaan. Perempuan dapat merasa nyaman dan betah menggeluti dunia kekuasaan dan politik jika wajah kakuasaan yang maskulin itu diubah. Perempuan tidak harus mengabaikan sifat-sifat feminitas dalam dirinya lalu menjadi maskulin.10
8
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosia,(Yogyakarta: INSIST Press, 2005). 9 Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Terj. Rofik Suhud, (Bandung: Mizan, 1996). 10 Siti Musdah Mulia & Anik Farida, Perempuan dan Politik, (Jakarta: Gramedia, 2005).
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
AL-IZZAH
24 Untuk mendapatkan hak-hak sosial dan politik yang sama antara perempuan dan laki-laki, kunci perubahannya menurut Walby adalah pada perjuangan gerakan feminisme.11 Mencermati rendahnya keterlibatan perempuan dalam politik sebagaimana fokus penelitian ini dianalisis dari perspektif feminisme sosialis. Aliran ini menggarisbawahi bahwa penyebab rendahnya partisipasi politik perempuan oleh karena sistem dan struktur yang bias gender dan masih kuatnya cengkeraman idiologi patriakhis. Feminisme sosialis mengelaborasikan antara Marxixme dan Engels dengan kaum feminis radikal.12 Bagi feminis sosialis, penindasan dan ketidakadilan bisa berlangsung di level manapun. Dasar penindasan gender bukan semata disebabkan oleh eksploitasi ekonomi sebagai dasar dominasi kelas (sebagaimana pandangan feminisme Marxis Klasik), tetapi juga hasil dari dominasi atas perempuan akibat sistem patriarkhis di berbagai level kelas sosial.13 Harus disadari bahwa penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan ada dalam level manapun, bahkan sudah ada sebelum kapitalisme dan tidak akan terhapus oleh karena runtuhnya kapitalisme. Maka, analisis terhadap ketidakadilan pada perempuan bukan hanya kritik terhadap dominasi kelas akibat sistem kapitalisme, tetapi juga kritik terhadap dominasi atas perempuan akibat sistem patriarkhis. Pemenjaraan posisi perempuan hanya pada sektor domestik mengacu pada konsep ibuisme. Mies merujuk ibuisme ini pada istilah housewifization untuk menunjukkan suatu kondisi dimana peran utama perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga.14 Ideologi tersebut melokalisasi perempuan di seputar aktivitas domestik sekaligus membatasi geraknya di sektor lain. Ideologi ibuisme diciptakan oleh negara dalam rangka melestarikan ideologi patriarki yang identik dengan negara dan laki-laki. Struktur parpol sangat bias gender dan eksklusif, serta mencerminkan dominasi laki-laki. Kendala sosial dan politik ini berhubungan erat dengan kendala idiologi dan psikologis. Kendala psikologis yang menghambat perempuan di bidang politik berasal dari perempuan itu sendiri. Salviana menyebutkan bahwa perempuan kurang memiliki greget dalam mencapai cita-cita yang berkaitan dengan kepentingan politik dan kondisi ini dipengaruhi sistem patriarki.15 11
Walaby dalam Jane Philcher & Imelda Whelehan, 50 Key Concepts in Gender Studies, (London: Sage Publication, 2004). 12 A Jagger A, “Political Philosophies of Women’s Liberation”. Dalam VeterlingBraggin, M (Ed.).Feminisme and Philosophy, (West Hartforth: Kumargian Press, 1977). 13 Mansour Fakih, Op Cit. 14 Dalam Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997). 15 Vina Salviana, “Wanita dalam Kehidupan Politik” dalam Suara Wanita, (Malang: Pusat Studi Wanita dan Kemasyarakatan Universitas Brawidjaja, 1995).
AL-IZZAH
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
25 Perempuan umumnya cenderung enggan menempati posisi elit pimpinan di partai politik, sebab meganggap bahwa partai politk adalah domain laki-laki. Gambaran partai politik yang sarat kekerasan, intrik, konflik dan bisa jadi pula kekerasan fisik membuat kaum perempuan merasa ngeri dan enggan untuk mendekati bidang yang terkesan sangat maskulin ini. Ia cenderung menonjolkan kejantanan, keperkasaan, kemachoan lewat aktivitas persaingan dan perseteruan yang berbau maskulin. Perempuan umumnya cenderung enggan menempati posisi elit pimpinan di partai politik, sebab menganggap bahwa partai politk adalah domain laki-laki. Gambaran partai politik yang sarat kekerasan, intrik, konflik dan bisa jadi pula kekerasan fisik membuat kaum perempuan merasa ngeri dan enggan untuk mendekati bidang yang terkesan sangat maskulin ini. Ia cenderung menonjolkan kejantanan, keperkasaan, kemachoan lewat aktivitas persaingan dan perseteruan yang berbau maskulin. Kendala sosialekonomi berkaitan dengan tak adanya basis dukungan bagi kaum perempuan dan pendanaan yang minim dari perempuan. Sangat jarang ditemukan dukungan dari lembaga untuk menggalang basis masa bagi kiprah perempuan dibidang politik ditambah lagi dengan hampir tak ditemukanya koordinasi antara caleg-caleg perempuan diantara berbagai partai politik yang bisa mengidentifikasi dukungan masa terhadap mereka. Dana seringkali menjadi penghalang bagi perempuan yang akan berpartisipasi dalam pencalonan legislatif. Sementara laki-laki lebih sering punya sumber daya, jaringan, maupun dana yang lebih kuat dibandingkan perempuan. Randall menyodorkan fakta bahwa alasan terbanyak keberadaan perempuan dalam kegiatan politik dan mendapat jabatan politik adalah karena mereka memiliki hubungan dengan laki-laki tertentu seperti ayah, suami, mertua dan sebagainya.16 Sebut saja misalnya, Gloria ArroyoMacapagal dari Filipina, Megawati dari Indonesia, Benazir Butto dari Pakistan adalah pemimpin yang dilahirkan oleh mantan presiden di negara bersangkutan. Kekuasaan cenderung melahirkan kekuasaan baru yang terus berlanjut adalah sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Banyak kaderkader kekuasan yang dilahirkan oleh rahim kekuasaan baik yang tengah maupun yang telah berkuasa. Dinamika Pemenuhan 30% Keterwakilan Perempuan Pada Pemilu 2014, KPU Provinsi Sulawesi Tenggara menyebutkan bahwa data pemilih sebanyak 1.826.333 dengan jumlah pengguna hak pilih sebanyak 1.321.247 dengan perincian pemilih laki-laki berjumlah 646.019 16
Dalam Faisal Siagian, Keterwakilan Wanita Indonesia di Lembaga Legislatif, (Jakarta: Analisis CSIS Tahun XXV No.3 Mei-Juni, 1996).
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
AL-IZZAH
26 dan pemilih perempuan sedikit lebih banyak berjumlah 675.228. Dari jumlah tersebut, suara sah untuk keseluruhan partai politik sebanyak 1.180.733 sementara suara tidak sah sebanyak 140.514 (KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, 2014). Sulawesi Tenggara terdiri atas enam Dapil, yaitu Dapil Sultra I Meliputi Kota Kendari, Dapil Sultra II meliputi Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Bombaana, Dapil Sultra III meliputi Kabupaten Muna dan Kabupaten Buton Utara, Dapil Sultra IV meliputi Kota Bau-Bau, Kabupaten Buton, dan Kabupaten Wakatobi, Dapil Sultra V meliputi Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara, dan Dapil Sultra VI meliputi Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Utara. Jumlah perolehan suara partai politik adalah 1.227.016 dengan jumlah perolehan suara paling banyak adalah Partai Amanat Nasional sebanyak 221.449 suara. Diantara enam Dapil di Sultra, Partai Amanat Nasional memperoleh suara terbanyak dari Dapil Sultra I, Sultra III, kemudian Sultra IV. Pemenang Pemilu kedua adalah partai Golkar, pemenang ketiga adalah Partai Demokrat, pemenang keempat adalah PDIP, pemenang kelima adalah Partai Gerindra, menyusul berikutnya Partai Nasdem, PKS, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Persatuan Pembangunan, PKB, PBB, dan yang terakhir adalah PKPI. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada table berikut: Tabel 1; Jumlah Perolehan Suara Parpol No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Partai Politik Partai Nasdem
Sultra 1
Sultra II
Sultra III
Sultra IV
Sultra V
Sultra VI
Jumlah Suara
30.405
6.966
7.668
23.209
10.774
20.984
100.006
PKB
3.942
12.382
10.580
7.719
15.111
6.259
55.993
PKS
12.570
22.113
12.173
17.907
18.298
7.273
90.334
PDIP
12.379
17.373
12.101
35.316
31.856
23.152
132.177
15.119
50.204
32.257
22.112
24.922
29.651
174.265
13.619
17.119
11.609
26.008
35.065
10.050
113.470
7.689
22.773
19.555
31.128
41.015
20.778
142.938
PAN
48.449
34.380
42.420
42.004
32.183
22.013
221.449
PPP
7.875
15.364
5.633
14.365
9.336
4.856
57.429
Partai Hanura
6.916
11.317
3.709
15.170
14.788
20.656
72.556
Partai Golkar P. Gerindra P. Demokrat
AL-IZZAH
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
27 11. 12.
PBB PKPI
Jumlah
4.864
10.531
2.074
12.137
7.134
5.333
42.073
3.991
1.758
2.672
7.604
5.359
2.942
24.326
67.818
222.280
162.451
254.679
245.841
173.947
1.227.016
Sumber: KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, 2014 Jumlah anggota legislatif laki-laki sebanyak 37 atau 82 % sementara caleg perempuan yang terpilih sebanyak 8 orang atau sekitar 18 %, sebuah angka yang masih jauh dari ketetapan affirmative action sebagaimana harapan undang-undang. Angka ini sedikit lebih tinggi dari perolehan keterwakilan perempuan pada pemilu sebelumnya sebanyak 7 orang atau sekitar 16%, sebuah peningkatan jumlah ketewakilan perempuan yang tidak cukup signifikan. Partai-partai yang hampir merata mampu menghasilkan kusri di seluruh daerah pemilihan hanya dua yaitu Partai Golkar dan PAN. Selebihnya partai tidak bisa menggolkan wakil-wakilnya di seluruh daerah pemilihan. PAN sebagai partai pemenang pemilu dengan jumlah perolehan suara terbanyak cukup rasional jika menengok fakta bahwa penguasapenguasa daerah di Sulawesi Tengara didominasi oleh PAN, di antaranya adalah Gubernur Sulawesi Tengara sebagai ketua Dewan Pimpinan Wilayah PAN Sulawesi Tenggara, Walikota Kendari, Bupati Muna, Bupati Buton Utara, Bupati Buton, Bupati Konawe, Bupati Bombaana dan Walikota BauBau. Sementara itu, Partai Golkar sebagai partai lama dan mapan dalam pengalaman berpolitik juga memenangkan pemilu di seluruh wilayah daerah pemilihan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: Table 2 : Perolehan Kursi Masing-Masing Parpol No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Partai Politik Partai Nasdem PKB PKS PDIP Partai Golkar Partai Gerindra Partai Demokrat PAN PPP Partai Hanura Jumlah
Laki-laki
Perempuan
2 1 5 5 5 4 4 7 2 2 37
1 0 0 0 2 0 2 2 0 1 8
Jumlah Kursi 3 1 5 5 7 4 6 9 2 3 45
Sumber: KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, 2014 Vol. 10 No. 1, Juli 2015
AL-IZZAH
28 Di DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, PAN sebagai partai pemenang pemilu dengan jumlah perolehan suara terbanyak menempatkan dua orang wakil perempuannya, sementara Golkar juga menempatkan dua wakil perempuannya. Pemenang pemilu ketiga yaitu Partai Demokrat menempatkan juga dua orang wakil perempuan di legislatf provinsi, PDIP sebagai pemenang keempat tidak memiliki keterwakilan perempaun, begitu pula halnya dengan partai Gerindra, PPP, PKS, PKB, PBB, dan PKPI. Sementara itu partai yang memiliki keterwakilan perempuan sebanyak satu orang adalah Partai Nasdem sebagai pemenang pemilu keenam dan Partai Hanura sebagai pemenang pemilu ke 8. Dari distribusi junlah perohan kursi masing-masing partai politik dengan keriteria perbedaan gender tersebut dapat dikatakan bahwa tiga besar partai pemenang pemilu 2014 berhasil menempatkan wakil perempuannya sebanyak dua orang. Sementara partai yang lain hanya satu atau bahkan tidak ada sama sekali. Nama-nama anggota legislatif yang ditetapkan KPU sebagai pemenang pemilu 2014 ada yang merupakan sosok-sosok lama, tetapi juga menghadirkan soso-sosok baru. Jumlah incumbent dan wajah baru hampir berimbang, yaitu 24 yang berasal dari incunbent dan 21 yang merupakan sosok lama.17 PAN yang memenangkan pemilu di hampir seluruh daerah pemilihan hanya satu legislator incumbent yang masuk, yaitu H. Abdurrahman saleh, selebihnya adalah sosok-sosok baru. Partai Golkar menghasilkan dua legislator incumbent, yaitu Amiruddin Nurdin dan Ruslimin Mahdi. PPP menempatkan satu legislator incumbentnya yaitu Abdul Rasyid Syawal. Dua perwakilan perempuan dari PAN adalah Hj. Waode Farida & Dra. Hj. Muniarty M. Ridwan. Sementara itu, dua perempuan yang berasal dari Golkar adalah Hj. Suriyani, SE, MM. Dan Hj. Waode Siti Nurlaila. Perempuan-perempuan dari dua partai tersebut adalah kader-kader yang dekat atau di bawah naungan penguasa di wilayah masing-masing. PAN berhasil meraup suara terbanyak berasal dari dapil yang kepala pemerintahannya berasal dari PAN, yaitu Walikota Kendari, Bupati Muna, Bupati Buton Utara, dan Bupati Buton. Hal yang menarik dari Dapil Sultra III dapil yang menghsilkan wakil perempuan dua sekaligus, yaitu Kabupaten Buton Utara yang menempatkan Dra. Hj. Muniarty M. Ridwan yang juga adalah istri Bupati Buton Utara M. Ridwan Zakaria. Wakil perempuan satu lagi adalah Hj. Waode Farida dari Kabupaten Muna yang juga adalah istri bupati Muna L.M. Baharuddin.
17
AL-IZZAH
Harian Kendari Pos, 20 Mei 2014.
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
29 Legislatif perempuan yang lahir dari rahim penguasa juga terjadi dalam partai Golkar yang menempatkan dua wakil perepuanya. Hj. Suriyani berasal dari Kabupaten Konawe Selatan dan juga merupakan istri Bupati Konawe Selatan H. Imran. Tidak jauh berbeda dengan Hj. Waode Siti Nurlaila berasal dari Kabuoate Muna dan juga merupakan istri mantan Bupati Muna Ridwan Bae. Di sisi lain, partai Gerindra sebagai partai baru tidak berhasil menempatkan satu orang perenpuan pun sebagai wakilnya, tidak jauh berbeda dengan kondisi yang dialama PPP. Ketiadaan wakil perempuan dari dua partai tersebut bukan berarti menegasikan sama sekali fakta yang ada. Begitu pula sebaliknya, kehadiran wakil perenpuan bukan juga sesuatu yang tidak bisa dicermati lebih jauh. Kehadiran dan ketidakhadiran perempuan di lembaga legislatif haruslah dipandang secara sama, yaitu keduanya bukanlah sesuatu yang meaningless. Faktanya, keduanya adalah fenomena yang membutuhkan pengkajian lebih jauh. Ketidakhadiran wakil perempuan butuh pencermatan lebih dalam, begitu pula halnya kehadiran mereka bukan sama sekali mencegah untuk penelusuran lebih lanjut. Fenomena ini adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari yang dikatakan Soetjipto sebagai “angin segar tetapi bukan angin surga”.18 Keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara secara jelas sangat dipengaruhi oleh kekuasaan, lebih tepatnya penguasa di wilayah masing-masing. Partai penguasa lebih mudah untuk menempatkan wakil perempuannya di lembaga legislatif yang notabene juga memiliki hubungan emosional dengan penguasa, yaitu istri atau anak sang penguasa. Partai-partai yang diasuh langsung di bawah kendali kekuasaan dapat dipastikan memenangkan pemilu legislatif dan juga berhasil menempatkan perwakilan perempuannya di parlemen. Sebaliknya partai-partai yang bukan asuhan penguasa terlalu sulit untuk menghadirkan perempuan dalam lembaga legislatif. Upaya Rekrutmen dan Kaderisasi Parpol Terhadap Perempuan Data menyebutkan bahwa semua partai politik menyatakan tidak terlalu sulit mencari perempuan untuk duduk menjadi pengurus di partai politik. Meskipun demikian, keterlibatan mereka memiliki variasi yang berbeda, ada yang hadir dengan kesadaran sendiri, ada secara instan/tibatiba, dan lebih banyak lagi yang duduk oleh karena didudukkan oleh pengurus laki-laki. Dua cara yang dilakukan partai politik dalam sistem rekrutmen perempuan di level kepengurusan, yaitu sistem rekrutmen tersistematis dan sistem rekrutmen instan. Dalam sistem rekrutmen 18
Ani Soetjipto, Op Cit.
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
AL-IZZAH
30 sistematis, perempuan hadir dengan kesadaran sendiri, sementara dalam sistem rekrutmen instant, perempuan biasanya hadir oleh sebab didudukkan oleh pengurus laki-laki. Jumlah perempuan dengan sistem rekrutmen ini tersistemtis jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan sistem instant. Perempuan yang hadir secara instan biasanya adalah perempuan-perempuan yang suami, ayah, kakak, atau pamannya adalah pengurus partai politik sehingga kehadiran mereka yang ada secara tiba-tiba direkatkan oleh hubungan emosional . Sementara itu, perempuan yang duduk dalam rekrutmen tersistematis kehadiran mereka oleh sebab hubungan pertemanan, persahabatan dan kolega yang direkatkan oleh hubungan atau relasi sosial. Kedua tipe latar belakang kehadiran perempuan dalam level pengurus partai juga dibedakan pada sisi inisiatif dan keterlibatan aktif dari perempuan sendiri. Kehadiran perempuan atas kesadaran dan inisiatif sendiri juga bisa disebabkan oleh hubungan pertemanan dengan pengurus di partai, akan tetapi perempuan-perempuan tersebut biasanya lebih aktif dalam partai. Perempuan yang hadir secara tiba-tiba, inisiatif biasanya tidak terlalu mudah untuk dideteksi apakah lebih banyak keterlibatan para perempuan sendiri atau secara otomatis beriringan dengan posisi strategis sosok-sosok pengurus laki-laki yang dekat secara emosional. Tipe ini biasanya tidak terlalu membuat perempuan menjadi aktif dalam partai, begitu pula halnya dengan kehadiran perempuan oleh karena campur tangan pengurus laki-laki. Inisiatif lebih banyak dari para laki-laki yang sudah lebih dahulu aktif dalam partai. Ketiga tipe kehadiran perempuan pada level pengurus partai politik di atas tidak berdiri sendiri-sendiri. Dalam beberapa kasus, ketiga tipe tersebut saling berkaitan satu sama lain. Bahkan satu kasus bisa melingkupi dua atau ketiga tipe sekaligus. Seorang perempuan pengurus partai Golkar, Nr menceritakan bahwa ia duduk sebagai pengurus Partai Golkar dalam bidang perempuan karena dimasukan namanya oleh suaminya yang kebetulan adalah pengurus DPD Partai Golkar , sementara tidak pernah satu kalipun ia terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan partai.19 Jika kehadiran perempuan pada level pengurus diakui oleh semua partai politik tidak terlalu sulit, lain halnya dengan kehadiran mereka sebagai bakal calon dan calon anggota legislatif. Empat partai politik memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam menghadirkan perempuan sebagai bakal calon dan calon anggota legislatif untuk didaftarkan di KPU provinsi. PAN adalah partai yang tidak banyak mendapatkan kesulitan dalam menempatkan perempuan sebagai bakal calon dan calon yang diusulkan partai. Sekretaris Umum DPW PAN, Abdur Rahman Saleh menegaskan bahwa partai ini memiliki perempuan-perempuan yang sudah 19
AL-IZZAH
Sebagaimana dituturkan dalam wawancara dengan Ibu Nr, tanggal 11 Juni 2014.
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
31 memenuhi kuota 30% bahkan lebih. Perempuan-perempuan tersebut diikatakannya juga cukup potensial sebagai calon anggota legislatif.20 PAN merupakan partai yang ada dalam asuhan penguasa oleh sebab gubernurnya adalah Ketua DPW PAN provinsi Sulawesi Tenggara. Disamping itu, para kepada daerah di beberapa wilayah di Sultra juga adalah orang-orang PAN. Sebut saja misalnya Walikota Kendari, Bupati Muna, Bupati Buton Utara, dan Bupati Buton. Sebagai partai asuhan penguasa, tidak terlalu sulit bagi partai ini untuk menghadirkan perempuan sebagai bakal calon dan calon anggota legislatif. Bahkan ia menjadi gula yang banyak didatangi dan dirubung semut. Hal yang kurang lebih sama terjadi dalam partai Golkar. Partai ini mengaku tidak sulit untuk menempatkan perempuan secagai bakal calon dan calon anggota legislatif. Partai Golkar adalah partai lama yang diakui oleh beberapa pengurusnya menjadi incaran orang-orang yang ingin maju sebagai anggota legislatif. Golkar menjadi partai kader yang menggodok pembelajaran berpolitik bagi calon-calon legislatif laki-laki maupun perempuan. Beberapa kader perempuan dan juga calon anggota legislatif pada pemilu 2014 menyatakan mereka mengetahui dan belajar politik dari partai Golkar. Partai inilah yang memberikan banyak pengalaman bagi perempuan-perempuan tersebut untuk terjun dalam dunia politik sebagai calon anggota legislatif. Beberapa diantaranya masih bertahan di partai Golkar, tetapi ada pula yang pindah partai. Ibu Dewi tamburaka mengaku sejak masih mahasiswa direkrut oleh Partai Golkar dan sampai sekarang aktif mengkader perempuan dalam kapasitasnya sebagai Ketua KPPG (Kesatuan Perempuan Partai Golkar). Partai dengan kategori kedekatan dengan penguasa dan partai lama ternyata bukan penanda utama mudah dan sulitnya mendudukkan perempuan sebagai bakal calon dan calon anggota legislatif. Partai Gerindra sebagai partai yang baru dua kali mengikuti pemilu sejak tahu 2009 tidak lantas mendapatkan kesulitan dalam menghadirkan perempuan kadernya. Hal ini disebabkan karena perempuan-perenpuan yang ada dalam partai Gerindra adalah perempuan-perempuan yang aktif dengan berbagai macam latar belakang sosial, mulai ibu rumah tangga, penguasaha/wiraswasta, hingga LSM. Organisasi-organisasi sayap Gerindra, seperti PIRA (Perempuan Indonesia Raya), SATRIA (satuan Relawan Indonesia Raya), dan Gemira (Gerakan Muslim Indonesia Raya) diisi oleh banyak perempuan-perempuan yang aktif dan vokal. SATRIA bahkan diakui oleh wakil ketuanya. Ibu Husnawati lebih banyak berisi perempuan daripada 20
Wawancara dengan Sekretaris Umum DPW PAN Sulawesi Tenggara, H. Abdur Rahman saleh, tanggal 8 Juni 2014.
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
AL-IZZAH
32 pengurus laki-laki.21 Seorang pengurus DPD Gerindra HR menyatakan bahwa rapat-rapat yang diadakan oleh Gerindra selalu menjadi diskusi yang banyak melibatkan pendapat-pendapat cerdas dari para perempuan. Tidak sulit di partai Gerindra untuk melihat keterlibatan aktif perempuan, baik pada kerja-kerja tataran ide maupun kerja-kerja tekhnis, sebab banyak pengurusnya yang memiliki pengalaman organisasi sebelumnya.22 Kondisi berbeda ditunjukkan oleh PPP. Partai ini mengaku agak kesulitan mencari perempuan untuk ditempatkan sebagai bakal calon dan calon anggota legislatif. Seorang pengurus perempuan dan juga calon anggota legislatif yang maju di DPRD Kota Kendari, Ibu AK mengakui jika keterlibatan perempuan dalam partai ini masih sangat minim. Ini juga diakui oleh mantan pengurus inti PPP, Bapak RS yang menyesalkan kerja-kerja partai yang tidak banyak memberdayakan perempuan. Meskipun PPP memiliki organisasi sayap perempuan, yaitu Wanita Persatuan pembangunan, namun organisasi ini tidak berperan secara signifikan dalam melibatkan perempuan secara aktif dalam politik. Aktivitas yang banyak melibatkan perempuan diakui Ibu AK hanyalah kumpul-kumpul untuk arisan atau sekali-sekali jika ada pengurus pusat yang datang.23 Dengan demikian, sistem rekrutmen yang dilakukan masing-masing partai politik ada yang berjalan secara sistematis, akan tetapi lebih banyak lagi yang dilakukan secara instant. PAN dan Partai Golkar meskipun mengaku tidak kesulitan melakukan rekrutmen pada level pengurus dan penetapan bakal calon dan calon anggota legislatif agak sulit untuk mengatakan bahwa partai ini melakukan sistem rekrutmen dan kaderisasi yang tersistematis. Pada beberapa kasus, ada pengurus-pengurus yang memang masuk dan aktif di kepengurusan partai politik sebagai kader-kader lama, akan tetapi kehadiran perempuan lebih banyak lagi yang hadir secara instant oleh sebab kepentingan praktis partai dan oleh sebab kedekatan emosional dan sosial para perempuan dengan pengurus di partai yang bersangkutan. Hal ini begitu jelas melihat fakta kehadiran perempuan sebagai anggota legislatif terpilih di dua partai politik tersebut adalah perempuan-perempuan yang dekat dengan istana/penguasa di daerah pemilihan masing-masing. Dua anggota legislatif perempuan PAN, yaitu Wa Ode Farida dan Hj. Muniarty Ridwan masing-masing adalah istri Bupati Muna dan istri Bupati Buton Utara. Kedua perempuan terpilih ini berasal 21
Wawancara dengan Wakil Sekretaris SATRIA, Ibu Husnawati, tanggal 5 Juni
22
Sebagaimana dituturkan dalam wawancara dengan Bapak HR, tanggal 2 Juni
2014. 2014. 23
Sebagaimana dituturkan dalam wawancara dalam beberapa kali bincang-bincang dengan Ibu AK dan Bapak RS.
AL-IZZAH
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
33 dari daerah pemilihan Sultra 3 yaitu meliputi Kabupaten Muna dan Kabupaten Buton Utara. Sementara itu, dua calon terpilih perempuan dari Partai Golkar juga masing-masing memiliki kedekatan emosional dengan penguasa atau mantan penguasa di daerah pemilihan masing-masing. Hj. Siti Nurlaila adalah istri mantan Bupati Muna, Ridwan Bae dan Hj. Suryani Imran adalah istri Bupati Konawe Selatan, H. Imran. Melihat tipe-tipe keterlibatan perempuan sebagaimana di atas memunculkan satu fakta bahwa partai politik di DPRD Sulawesi tenggara bias dikategorikan dalam dua tipe, yaitu partai politik yang dekat atau di bawah asuhan penguasa dan partai politik yang netral dan bukan dalam asuhan penguasa. Mencermati sistem rekrutmen yang dilakukan partai politik pada kader-kader perempuan, maka ada dua pihak yang harus telibat aktif dalam menghadirkan keterwakilan perempuan, yaitu partai politik yang bersangkutan dan sosok perempuan itu sendiri. Data menyebutkan bahwa partai asuhan penguasa, yaitu PAN dan Golkar, dan partai yang memiliki banyak kader perempuan aktif meskipun partai baru adalah partai-partai yang tidak terlalu sulit menghadirkan perempuan sebagai bakal calon dan calon anggota legislatif. Ketiga partai dengan titik tekan yang berbeda-beda tersebut melibatkan dua pihak sekaligus, yaitu partai politik dan kader perempuannya. Sementara itu, PPP sebagai partai lama yang berasaskan Islam agaknya masih sulit mendapatkan perempuan terlibat aktif dalam politik. Kedua pihak, baik pengurus partai terlebih lagi perempuan belum menunjukkan aktivitas yang maksimal dalam pendidikan politik. Hal ini cukup mengherankan oleh sebab partai ini memiliki keterkaitan erat dengan organisasi perempuan, yaitu Muslimat NU dan Fatayat. Dua organisasi ini memang ada akan tetapi keterlibatannya untuk memberikan pendidikan politik bagi perempuan agaknya masih kurang maksimal. Penutup/Simpulan Partai politik yang mengusung keterwakilan perempuan pada Pemilu 2014 dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu pertama, partai politik di bawah asuhan penguasa, dalam hal ini diwakili oleh PAN dan Partai Golkar; dan kedua partai politik yang netral dari pengaruh kekuasaan yang diwakili oleh Partai Gerindra dan PPP. Keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara pada Pemilu 2014 mendudukan 8 orang legislator perempuan dari 45 legislator atau sebanyak 18%, sedikit meningkat dari pemilu 2009 yang hanya mencapai 7 orang legislator perempuan atau 16%. Wakil perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara yang berjumlah 8 orang, 75% atau enam orang anggota legislatif perempuan lahir Vol. 10 No. 1, Juli 2015
AL-IZZAH
34 dari rahim kekuasaan. Mereka berasal dari Partai Nasdem satu orang, Partai Demokrat satu orang, dua orang dari PAN, dan dua orang dari Partai Golkar. Partai dibawah asuhan penguasa mampu mendudukkan perempuanperempuan sebagai anggota legislatif yang semuanya memiliki hubungan emosional dengan kekuasaan, yaitu dua dari PAN yang merupakan istri masing-masing Bupati Buton Utara dan istri Bupati Muna. Dua anggota legislatif perempuan dari Partai Golkar, yaitu masing-masing istri Bupati Konawe Selatan dan istri mantan Bupati Muna.
Daftar Pustaka Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Badan Pusat Statistik (BPS). Sulawesi Tenggara dalam Angka. Kendari: BPS, 2002. Cahyowati, RR. Keterwaklan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Ditinjau dari Prinsip Keadilan, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi). Tesis Universitas Brawijaya, Malang, 2011. Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.Yogyakarta: INSIST Press, 2005. Jagger A. “Political Philosophies of Women’s Liberation”. VeterlingBraggin, M (Ed.).Feminisme and Philosophy. West Hartforth: Kumargian Press, 1977. Laporan KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, Tahun 2014. Laporan DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, Tahun 2012. Mulia, Siti Musdah&Farida, Anik. Perempuan dan Politik. Jakarta: Gramedia, 2005. Pambudi, Mohammad Yusuf. Perempuan dan Politik; Studi tentang Aksesibilitas Perempuan menjadi Anggota legislatif di Kabupaten Sampang. Surabaya: Universitas Airlangga, 2010. Philcher, Jane & Whelehan, Imelda. 50 Key Concepts in Gender Studies. London: Sage Publication, 2004. Salviana, Vina. “Wanita dalam Kehidupan Politik” Suara Wanita. Malang: Pusat Studi Wanita dan Kemasyarakatan Universitas Brawidjaja, 1995. Siagian, Faisal. Keterwakilan Wanita Indonesia di Lembaga Legislatif. Jakarta: Analisis CSIS Tahun XXV , 1996. No.3 Mei-Juni. Soetjipto, Ani Widyani. Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas, 2005. AL-IZZAH
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
35 Uhlin, Anders. Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Terj. Rofik Suhud. Bandung: Mizan, 1997. United Nation Development Project (UNDP). Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pemerintah; Makalah Kebijakan. Jakarta: UNDP Indonesia, 2010. Women Research Institute (WRI)-IDRC. Perempuan dan Politik (Sistem Kuota dan Zipper System). Ringkasan Laporan Penelitian, 2011. Surat Kabar; KendariNews, Tanggal 6-8 Maret 2013. Rakyat Sultra, Tanggal 15 Maret 2013. Kendari Pos, 24 Juli 2013. Kendari Pos, 20 Mei 2014.
Vol. 10 No. 1, Juli 2015
AL-IZZAH