BAB II NEGARA DAN PEREMPUAN
1.KONFIGURASI POLITIK DAN KARAKTER PRODUK HUKUM Fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik. Sepanjang sejarah Indonesia ternyata telah terjadi tolaktarik atau dinamika antara konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter ( non demokratis ). Demokrasi dan otoriterisme muncul secara bergantian dengan kecenderungan linear di setiap periode pada konfigurasi otoriter. 30 Sejalan dengan tolak-tarik konfigurasi politik itu, perkembangan karakter produk hukum memperlihatkan keterpengaruhannya dengan terjadinya tolak-tarik antara produk hukum yang berkarakter responsif dan produk hukum yang berkarakter konservatif dengan kecenderungan linear yang sama. 31 Konsep demokratis dan otoriter ( non-demokratis ) diidentifikasi berdasarkan tiga indikator yaitu sistem kepartaian, dan peranan badan perwakilan, peranan
eksekutif,
dan
kebebasan
pers
sedangkan
konsep
hukum
responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum.
30
Moh.Mahfud, “ Tampilnya Negara Kuat Orde Baru, Studi Teoretis dan Konstitusional tentang Perkembangan Peranan Negara di Indonesia,” tesis S-2 Ilmu Politik, Fakultas Pascasarjana UGM, 1989, hal.169. 31 Moh.Mahfud, Pergulatan Poliik dan Hukum di Indonesia,Yogyakarta : Gama Media, 1999, hal.11.
Berdasarkan indikator-indikator tersebut, konsep-konsep itu kemudian diberi pengertian konseptual yang khusus dipakai tulisan yaitu 32 : 1. Konfigurasi Politik Demokratis adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut menentukan kebijakan negara. Di dalam konfigurasi yang demikian pemerintah lebih merupakan “ komite “ yang harus melaksanakan kehendak-kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis, badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan negara. 2. Konfigurasi Politik Otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi sangat dominan dengan sifat yang intervensi dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan justifikasi ( rubber stamps ) atas kehendak pemerintah. 3. Produk Hukum Responsif/Otonom adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat. Proses pembuatan hukum responsif ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat dan lembaga peradilan, hukum diberi fungsi sebagai alat pelaksana bagi kehendak masyarakat, sedangkan rumusannya biasanya
32
Moh.Mahfud, Ibid.,hal.8-9.
cukup rinci sehingga tidak terbuka untuk dapat diinterpretasi berdasarkan kehendak dan visi pemerintah sendiri. 4. Produk Hukum Konservatif/Ortodoks adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominant sehingga pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh.
Biasanya bersifat formalitas
sehingga hukum diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah Semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia menjadikan “demokrasi“ sebagai salah satu asasnya yang menonjol tetapi tidak semua konstitusi mampu melahirkan konfigurasi politik yang demokratis. Artinya, sebuah konstitusi yang jelas-jelas menganut paham demokrasi dapat melahirkan konfigurasi politik yang tidak demokratis atau otoriter. Bahkan, di bawah sebuah konstitusi yang sama dapat lahir konfigurasi politik yang berbeda-beda pada periode yang berbeda-beda pula. UUD 1945 yang berlaku pada periode 1945-1949 melahirkan konfigurasi yang jauh berbeda dengan konfigurasi politik pada saat UUD tersebut berlaku pada periode 1959-1966 untuk selanjutnya melahirkan konfigurasi politik yang berbeda lagi pada periode setelah 1966. Secara lebih rinci, perkembangan konfigurasi politik dari periode-periode adalah sebagai berikut 33 :
33
Moh.Mahfud, Ibid., hal.11-12.
PERIODE 1945-1959 Pada periode 1945-1959 konfigurasi politik yang tampil adalah konfigurasi politik yang demokratis. Kehidupan politik pada periode ini dicirikan sebagai demokrasi liberal. 34 Di dalam konfigurasi yang demikian tampak bahwa partai-partai memainkan peranan yang sangat dominan dalam proses perumusan kebijakan negara melalui wadah konstitusionalnya ( parlemen ). 35 Seiring dengan itu lembaga eksekutif berada pada posisi yang ” kalah kuat ” dibandingkan dengan partai-partai sehingga pemerintah senantiasa jatuh bangun dan keadaan politik berjalan secara tidak stabil. 36
PERIODE 1959-1966 Konfigurasi politik yang demokratis berakhir pada tahun 1959, ketika tanggal 5 Juli Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit yang kemudian dianggap sebagai jalan bagi tampilnya demokrasi terpimpin. Pada era demokrasi terpimpin yang berlangsung tahun 1959 sampai 1966 konfigurasi politik yang ditampilkan adalah konfigurasi politik yang otoriter. Di dalamnya Sukarno menjadi aktor utama dalam agenda politik nasional sehingga pemerintahan Sukarno dicirikan sebagai rezim yang otoriter. 37 Tiga kekuatan politik yaitu Sukarno, Angkatan Darat, Partai Komunis Indonesia. Presiden Sukarno mengatasi lembaga-lembaga konstitusional, menekan partai-parati dengan menutup kebebasan pers sambil
34
Moeljarto T., Beberapa Pokok Pikiran tentang Sistem Kepartaian di Indonesia, Yogyakarta : Fakultas Sosiologi UGM, 1969, hal.7. 35 Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, terj.Hasan Basari dan Muhadi Sugiono, Jakarta : LP3ES, 1990, hal.43. 36 Moeljarto, op.cit., hal.7. 37 Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia : Social and Cultural Revolution, terj. Benedict R. Anderson, Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1966, hal.173.
sering membuat peraturan perundang-undangan yang secara konstitusional tidak dikenal seperti Penpres dan Perpres.
PERIODE 1966 – 1998 Pada periode ini, atas dasar logika pembangunan yang menekankan pada bidang ekonomi dan paradigma pertumbuhan, 38 konfigurasi politik didesain untuk negara kuat yang mampu menjamin dan membentuk negara kuat. Pada awalnya Orde Baru memulai langkahnya secara demokratis 39 tetapi secara pasti lamakelamaan membentuk konfigurasi politik yang cenderung otoriter. Eksekutif sangat dominan, kehidupan pers dikendalikan, legislatif dicirikan sebagai lembaga yang lemah karena di dalamnya telah ditanamkan tangan-tangan eksekutif melalui Golongan Karya dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
PERIODE 1998- SEKARANG Pada periode ini, konfigurasi politik yang ditampilkan adalah demokrasi. Demokrasi yang dianut oleh Indonesia adalah demokrasi pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinys terdapat pelbagai tafsiran dan pandangan. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa beberapa nilai tidak poko dari demokrasi konstitusional cukup jelas tersirat dalam Undang-undang Dasar 1945. Sesuai dengan apa makna yang tertuang dalam demokrasi, dimana rakyat menjadi subyek dalam pengambilan kebijakan negara ( Undang-undang ) dan pengambilan keputusan pemerintah. Pemerintah berasal dari rakyat yang 38
Moeljarto T., Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987, hal.106. 39 Amir Effendi Sitegat, Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Jakarta : Karya Unipress, 1983, hal.32,
dipilih melalui proses pemilihan umum dituntut harus dapat melaksanakan apa yang menjadi kehendak rakyat. Jadi dalam hal ini pemerintah bertindak sesuai dengan apa yang menjadi keinginan rakyat yang telah memilihnya.
2. KEBIJAKAN NEGARA TERHADAP PEREMPUAN 2.1.DISKRIMINASI PEREMPUAN Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial penting yang perlu ditangani negara dan juga sangat membutuhkan partisipasi dari semua elemen masyarakat untuk terlibat menanganinya. Dalam arti yang luas kemiskinan dapat meliputi ketidakcukupan yang lain, seperti rendahnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya kapasitas sumber daya manusia, situasi rentan yang membuat orang jatuh miskin, lemahnya dukungan kelembagaan, atau lemahnya akses mengartikulasikan suara dan kepentingannya dalam proses-proses politik. 40 Dalam hal ini, situasi kemiskinan sebenarnya dapat dialami oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang berbeda. Dampak yang diakibatkan oleh kemiskinan terhadap kehidupan laki-laki juga berbeda daripada perempuan. Sumber dari permasalahan patriarki,
kemiskinan
yaitu
nilai-nilai
perempuan yang
hidup
terletak di
pada
budaya
masyarakat
yang
memosisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara dan menjadi sumber
40
Muhadjir , Op.cit.,hal.161.
pembenaran
terhadap
sistem
distribusi
kewenangan,
sistem
pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi risorsis yang bias gender. Muara dari masalah kultural ini adalah kecenderungan terjadinya pelecehan, diskriminasi, marginalisasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan. 41 1.
Marginalisasi ( Pemiskinan ekonomi ) perempuan
Proses marginalisasi ( pemiskinan ekonomi ) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang seperti penggusuran dari kampung halamannya, eksplotasi dan lain sebagainya. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan karena jenis kelaminnya adalah salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya memfokuskan pada laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki oleh laki-laki. Selain itu, perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki. Sebaliknya, banyak pula lapangan pekerjaan yang menutup pintu bagi laki-laki karena anggapan bahwa mereka kurang teliti dalam melakukan pekerjaan yang memerlukan kecermatan dan kesabaran.
41
Muhadjir, Ibid., hal.166.
2. Subordinasi Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Banyak kasus bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan diberbagai kehidupan. Sebagai contoh, apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas belajar atau hendak bepergian ke luar negeri, ia harus mendapat izin dari suami. Tetapi apabila suami yang akan pergi, ia bisa mengambil keputusan sendiri tanpa harus mendapat izin dari istri. Kondisi semacam ini telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting sehingga karena kemampuannya perempuan bisa menempati posisi penting sebagai pemimpin, bawahannya yang berjenis kelamin laki-laki seringkali merasa tertekan.
3. Pandangan Stereotip Pelabelan atau penadaan ( stereotip ) yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender, karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya, pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik, sebagai akibatnya ketika berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah merupakan ’perpanjangan’ peran domestiknya itu.
4. Kekerasan Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata ” kekerasan ” yang merupakan terjemahan dari ” violence ” artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu, kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti pemerkosaan, pemukulan dan penyiksaan tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya. Kekerasan yang dialami oleh perempuan baik di ranah domestik maupun di ranah publik, dapat lebih parah manakala negara tidak mempunyai keberpihakan yang kuat terhadap perempuan. Ketika negara secara tidak disadari terbangun oleh kultur patriarkis yang sejak lama telah mengakar di masyarakat, negara menjadi tidak sensitif terhadap fenomena kekerasan yang dialami oleh perempuan. Hukum negara yang patriarkis cenderung memberi sanksi yang lebih ringan kepada pelaku kekerasan terhadap dan tidak memberi perlindungan serta pelayanan yang memadai kepada perempuan korban kekerasan. Sistem pemerintahan yang hirarkis, hegemonis dan patriarkis telah meminggirkan perempuan secara sistematis melalui kebijakan, program dan lembaga yang tidak responsif gender. Data statistik tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan perempuan – lakilaki sehingga kebijakan, program dan lembaga yang dirancang menjadi buta gender ( gender blind ) dan menimbulkan kesenjangan gender di berbagai bidang kehidupan. Peminggiran perempuan oleh
negara ini pada gilirannya akan dapat menghambat optimalisasi pencapaian kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. 42 Banyak masalah sosial yang terkait dengan kesejahteraan perempuan bermuara pada kultur patriarki. Untuk menyebut diantaranya adalah angka kematian ibu yang masih tinggi, keluarga berencana dan aborsi yang tidak aman, ketidakcukupan konsumsi nutrisi perempuan, khususnya perempuan hamil dan menyusui, pengiriman TKW yang sarat dengan penipuan, eksploitasi, pelecehan seksual, perdagangan perempuan dan buruknya sanitasi air bersih. Masalah-masalah tadi tidak akan terpecahkan dengan baik jika akar permasalahannya yaitu ketidakadilan dan ketimpangan gender di masyarakat, tidak di atasi terlebih dahulu.
2.2.TINJAUAN KEBIJAKAN Apabila konsep gender telah dipahami, maka kriteria peraturan perundangundangan yang berwawasan gender adalah kriteria yang tidak bias gender yang dimana salah satu jenis kelamin tidak dirugikan karena pemberlakukan sistem dan/atau struktur tersebut. Peraturan perundang-undangan bias gender adalah peraturan perundangan-undangan yang pendulumnya berat sebelah dan tidak mentransformasikan keadilan kepada perempuan, sekalipun perempuan adalah pihak yang berhak atas keadilan tersebut. Peraturan perundang-undangan bias gender adalah peraturan perundangundangan yang pendulumnya berat sebelah dan tidak mentransformasikan
42
Muhadjir, Ibid.,hal.167.
keadilan kepada perempuan, sekalipun perempuan adalah pihak yang berhak atas keadilan tersebut. Untuk menentukan apakah suatu peraturan perundang-undangan tersebut bias gender tertentu diperlukan pengkajian yang komprehensif obyektif dengan menggunakan tolak-ukur minimal sebagai berikut : 1. Faktor Akses Apakah
perempuan
dan
laki-laki
memperoleh
akses
dan
dapat
mempergunakannya dengan cara yang sama pula dalam implementasi peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. 2. Faktor Kontrol Apakah perempuan dan laki-laki memiliki kontrol ( penguasaan ) yang sama terhadap sumber-sumber daya guna implementasi dan/atau pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan. 3. Faktor Partisipasi Apakah partisipasi atau peran serta perempuan dan laki-laki telah dibuka dengan peluang-peluang yang sama sejak rumusan awal ( rancangan ), pembahasan, pengesahan dan kemudian pelaksanaan peraturan perundangundangan tersebut. 4. Faktor Manfaat Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh dan/atau menikmati manfaat yang sama dengan pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Metode Penafsiran Peraturan Perundang-undangan yang Berperspektif Gender adalah tool atau alat yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk melakukan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan.
A. MASA SOEKARNO Kepedulian negara terhadap perempuan dapat dirunut sejak masa pemerintahan Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno. Pada masa itu, perempuan telah diakui haknya dalam Politik, baik hak pilih dalam pemilihan umum 1955, maupun untuk duduk sebagai anggota parlemen. Sesudah kemerdekaan, pemilihan umum mula-mula diatur dalam UU No.27 Tahun 194843 berhubung dengan UU No.12 Tahun 1949 kemudian dalam UU No.7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ). Hasil Pemilihan Umum 1955 : Anggota :
DPR
17 Wanita;
255 Pria
Konstituante 30 Wanita;
490 Pria
Keputusan 19 Tahun 1952 44 tentang Tunjangan Pensiun diberikan dua kali bagi janda-jandanya yang tidak lebih dari empat ( 4 ) orang. Pada masa itu juga telah ada Undang-undang yang bernuansa keadilan gender, yaitu UU No.80 Tahun 1958.45 Undang-undang tersebut menentukan prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama. Perempuan dan lakilaki tidak dibedakan dalam sistem penggajian.
43
Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984, hal.159-160. 44 Muhadjir, Op.cit., hal.47. 45 Muhadjir, Ibid., hal.47.
UU NO.68 Tahun 1958 tentang Hak Politik Perempuan 46 Pasal 1 menetapkan bahwa: Wanita mempunyai hak untuk memilih dalam semua pemilihan atas dasar yang sama dengan pria tanpa diskriminasi Pasal 2 menentukan bahwa : Wanita mempunyai hak untuk dipilih dalam semua “ publicly elected bodies “ yang dibentuk berdasarkan perundang-undangan nasional, atas dasar yang sama dengan pria, tanpa diskriminasi apa pun. Pasal 3 menentukan bahwa : Wanita mempunyai hak untuk duduk dalam jabatan pemerintahan dan melaksanakan semua fungsi pemerintahan, tanpa diskriminasi apa pun, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional.
Undang-undang Kerja No. 12 Tahun 194847 Republik Indonesia yang kemudian dinyatakan berlaku dengan Undang-undang No.1 Tahun 1951. Disamping itu ditetapkan Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya beberapa pasal dari Undang-undang Kerja Tahun 1948 untuk seluruh Indonesia. Adapun pasal-pasal tentang pekerjaan wanita adalah : Pasal 7 UUK :
Wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh seorang wanita.
46
Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan, Jakarta : Yayasan Obor, 2007, hal.198. 47 Nani Soewondo, Op.cit., hal.296-298.
Pasal 8 UUK :
Wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam tambang, lubang di dalam tanah atau tempat lain untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari tanah.
Pasal 9 UUK :
Wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan, demikian pula pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaannya berbahaya bagi kesusilaannya.
Pasal 13 ayat ( 1 ) UUK :
Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua haid ( datang bulannya )
Mengenai hal itu majikan dianggap tidak mengetahui tentang keadaan haid dari buruhnya wanita, bilamana yang berkepentingan tidak memberitahukan hal itu kepadanya. ( Pasal ayat ( 1 ) PP No.4 Tahun 1954 ). Pasal 13 Ayat ( 2 ) UUK :
Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur kandungan.
Pasal 13 Ayat ( 3 ) UUK :
Waktu istirahat sebelum saat pekerja menurut perhitungan akan melahirkan anak, dapat diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan, jikalau di dalam suatu keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.
Pasal 1 Ayat ( 4 ) PP No.4 Tahun 1954 : Kepada wanita yang diberi istirahat menurut aturan-aturan tersebut diberi upah penuh
untuk waktu istirahat itu, kecuali jika dalam pada itu untuk wanita tadi berlaku peraturan khusus tentang kedudukan dan gaji pegawai/pekerja negeri.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata buku ketiga titel 7A48 tentang perjanjian untuk melakukan pekerjaan terdapat pasal-pasal sebagai berikut: 1. Terhadap perjanjian kerja yang diadakan oleh seorang wanita yng bersuami sebagai buruh, undang-undang menganggap bahwa ia telah mendapat izin dari suaminya. 2. Oleh karena itu, ia dapat melakukan sendiri semua tindakan yang berkenaan dengan perjanjian itu, termasuk pula memberi tanda pelunasan dan menghadap di pengadilan tanpa bantuan suaminya. 3. Ia berhak menggunakan apa yang diterimanya atau apa yang ia berhak menuntut berdasarkan perjanjian kerja tersebut, guna kepentingan keluarga ( Pasal 1601 f ) Namun berbeda lagi kebijakan terhadap pegawai wanita atau kata lain pekerja wanita yang terpelajar. Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, diperlakukan satu aturan untuk semua pegawai negeri wanita di seluruh Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 1951.
48
Nani Soewondo, Ibid., hal.299.
Adapun Pokok-pokok Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 1951 ialah sebagai berikut 49 : 1. Pegawai wanita yang telah kawin dan bekerja pada jabatan negeri maupun dalam jabatan tetap atau sementara, yang telah bekerja sedikit-dikitnya 1 tahun lamanya, dapat diberikan istirahat karena hamil dengan syarat, bahwa pegawai itu berjanji siap sedia akan bekerja kembali setelah istirakatnya berakhir. Istirahat tersebut hanya akan diberikan kepada pegawai wanita yang pada waktu permulaan hamil telah kawin dengan cara yang sah. 2. Lamanya istirahat itu adalah 1 1/2 bulan sebelum tiba waktunya melahirkan anak dan 1 1/2 bulan sesudah melahirkan anak atau gugur kandung 3. Selama waktu istirahat itu pegawai wanita yang bersangkutan mendapat gaji penuh serta penghasilan-penghasilan yang sah 4. Bila pegawai wanita yang bersangkutan mengabaikan perjanjiannya dan tidak bekerja kembali dalam masa 6 bulan setelah istirahatnya berakhir, maka semua gaji dan penghasilan lain yang telah diterimanya selama masa istirahat itu, dengan tidak bersyarat ditagih kembali dan istirahatnya itu dianggap seolah-olah diberikan sebagai istirahat di luar tanggungan negeri.
49
Nani Soewondo, Ibid., hal.302-303.
MASA SOEHARTO ( ORDE BARU ) Pada masa Soeharto ada juga kemajuan penting yang dicapai perempuan. Salah satu kemajuan yang perlu dicatat adalah dijadikannya masalah perempuan sebagai masalah publik dan adanya kebijakan-kebijakan publik yang secara eksplisit bertujuan untuk menangani masalah-masalah perempuan. Adapun salah satu bentuk kebijakan atau respon negara terhadap perempuan selama masa pemerintahan Soeharto adalah terbentuknya Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 50 Adapun di dalam Pasal 9 Ayat ( 2 ) menyatakan bahwa “ Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarga. “ Pasal ini sudah sangat maju, yang menentukan hak, kesempatan dan manfaat yang sama dan adil, mengenai pemilikan dan pemanfaatan tanah, bagi perempuan dan laki-laki. Pekerjaan kaum ibu akan bertambah berat jika banyak anak yang harus diurusnya dan dididik. Karena itu kesehatan ibu sangat mempengaruhi kesehatan keturunannya. Dalam usaha memperbaiki kesehatan maka pemerintah pada masa Soeharto telah mengaturnya dalam suatu bentuk kebijakan.
50
Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal.175.
Dalam Undang-undang Pokok Kesehatan No.9 Tahun 1960 telah ditetapkan sebagai berikut 51 : • Pasal 1 :
Tiap warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dan perlu diikutsertakan dalam usaha kesehatan pemerintah
• Pasal 2 :
Kesehatan adalah meliputi kesehatan badan, rohaniah (mental) dan sosial dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan
Masalah-masalah kesehatan yang memerlukan perhatian kaum ibu ialah masalah Gizi dan ASI.
Instruksi Presiden RI Nomor 14 Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat 52 menyebutkan bahwa : dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan berbagai usaha yang bertujuan untuk mengadakan perbaikan menu makanan rakyat, dengan lebih menganekaragamkan jenis dan meningkatkan mutu gizi, makanan rakyat baik kualitas dan kuantitas. Program meningkatkan pemanfaatan ASI adalah salah satu usaha yang terbentuk dalam Inpres No.14 Tahun 1974 tentang perbaikan menu makanan rakyat. Namun sisi lain ada yang perlu diperhatikan dimana terlampau cepat atau berturut-turut melahirkan anak. Maka Keluarga Berencana ( KB ) sangat diperlukan untuk mengatur dan jika perlu membatasi kelahiran anak, supaya tidak membahayakan kesehatan ibu dan anak. 51
Nani Soewondo, Op.cit., hal.284. Nani Soewondo, Ibid., hal.285.
52
Selain itu terbentuk juga undang-undang lain sebagai suatu bentuk perjuangan perempuan yaitu Undang-undang Perkawinan Tahun 1974. Sangat penting bahwa keluarga mendapat perlindungan menurut undang-undang. Ketentaraman jiwa kaum ibu sangat mempengaruhi kebahagiaan hidup Rumah Tangga. Kaum wanita tidak dapat hidup tenang, bila mereka sewaktu-waktu mereka dapat dicerai meskipun tidak bersalah apapun juga seperi yang sering terjadi. Maka dibentuklah Undang-undang Perkawinan. Pokok-pokok Undang-undang Perkawinan 53: a) Peraturan yang berlaku dalam perkawinan Hukum perkawinan diatur dalam Undang-undang Perkawinan yang disahkan pada akhir tahun 1973 dan diundangkan sebagai Undang-undang No.1 Tahun 1974. Dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Perkawinan ditetapkan pula Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang kewajiban pegawai pencatat nikah dan tata kerja peradilan agama dan Petunjuk Mahkamah Agung MA/Pemb/0807/75. b) Dasar dan tujuan Perkawinan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ( Pasal 1 UUP ) c) Sahnya perkawinan dan Pencatatan Perkawinan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu ( Pasal 2 ayat ( 1 ) UUP ).
53
Nani Soewondo, Ibid., hal.107-110.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku ( Pasal 2 ayat ( 2 ) UUP ). d) Poligami ( beristri lebih dari satu ) Meskipun diakui asas monogami, tetapi pengadilan dapat memberi izin untuk poligami atas permintaan yang bersangkutan ( Pasal 3 UUP ). Pengadilan hanya dapat memberi izin demikian kepada suami, jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; istri tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal 4 UUP). Suami harus mengajukan permohonan dengan terlebih dahulu memenuhi syaratsyarat: persetujuan istri/ istri-istri; suami mampu menjamin keperluan hidup istriistri dan anak-anak mereka serta jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak ( Pasal 4, 5 UUP ). e) Hak dan Kewajiban Suami Istri Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga ( Pasal 31 UUP ) f) Harta Benda dalam Perkawinan Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah dan warisan, adalah dibawah penguasaan masingmasing sepanjang pihak yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 35
UUP). Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. g) Perceraian Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak ( Pasal 39 ayat ( 1 ) UUP ). Pada masa pemerintahan Soeharto ada suatu kebijakan meningkatkan peranan wanita yang diatur dalam Ketetapan MPR/No.IV/MPR/1973 tentang GBHN, BAB IV, Pola Umum Pelita Kedua, mengenai Pendidikan, Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pembinaan Generasi Muda, 54 sub 8 di cantumkan sebagai berikut : “ Pembinaan keluarga yang sejahtera adalah sarana bagi pembinaan Generasi Muda. Untuk pembinaan keluarga yang demikian itu maka hak-hak wanita dijamin serta kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat dilindungi.” Peranan memperoleh
wanita perhatian
tersebut
dalam
pemerintah
proses
sejak
pembangunan
keikutsertaan
selanjutnya
Indonesia
dalam
Konferensi I Perserikatan Bangsa-bangsa tentang perempuan di Mexico pada tahun 1975. Sebagai tindak lanjutnya, pada tahun 1978 55 telah ditunjuk seorang Menteri Muda Urusan Peranan Wanita sebagai anggota Kabinet Pembangunan III.
54
Nani Soewondo, Ibid., hal.305. Muhadjir, Op.cit., hal.72.
55
Selanjutnya Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara ( GBHN ), Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 antara lain menyatakan mengenai Keluarga Berencana dan Kependudukan, dalam hubungannya pula dengan masalah pembangunan sebagai berikut 56 : “ Agar pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat dapat terlaksana dengan cepat, harus dibarengi dengan pengaturan pertumbuhan jumlah penduduk melalui program Keluarga Berencana, yang mutlak harus dilaksanakan dengan berhasil, karena kegagalan pelaksanaan KB akan mengakibatkan hasil usaha pembangunan menjadi tidak berarti dan dapat membahayakan generasi yang akan datang. Pelaksanaan KB ditempuh dengan cara-cara sukarela, dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu diperlukan pula usaha penyebaran penduduk yang lebih wajar melalui transmigrasi sebagai sarana dalam meningkatkan kegiatan pembangunan secara merata di seluruh tanah air.” ( GBHN BAB III,B,8 )
Kemudian dalam Pola Umum Pelita Ketiga telah dicantumkan juga sebagai berikut : “ Erat hubungannya dengan masalah kependudukan adalah pelaksanaan program KB yang dalam Pelita Kedua telah menunjukkan hasil-hasilnya. Program tersebut perlu diperluas dan diintensifkan agar dalam jangka panjang benar-benar dapat menjamin terkendalikannya pertumbuhan
56
Nani Soewondo, Op.cit., hal. 174.
penduduk Indonesia dan dapat menciptakan keluarga yang sejahtera.” ( GBHN, BAB IV, D, 21 ). Selain mengatur tentang kependudukan pemerintah juga meningkatkan Peranan Wanita dalam Pembangunan dan Pembinaan Bangsa berdasarkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 tentang GBHN, BAB IV, Pola Umum Pelita Ketiga 57 : a) Pembangunan yang menyeluruh mensyaratkan ikut sertanya pria maupun wanita secara maksimal di segala bidang. Oleh karena itu, wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta sepenuhnya dalam segala kegiatan pembangunan. b) Peranan wanita dalam pembangunan tidak mengurangi peranannya dalam pembinaan keluarga sejahtera umumnya dan pembinaan generasi muda khususnya dalam rangka pembinaan manusia Indonesia seutuhnya. c) Untuk lebih memberikan peranan dan tanggung jawab kepada kaum wanita dalam pembangunan, maka pengetahuan dan keterampilan wanita perlu ditingkatkan di berbagai bidang yang sesuai dengan kebutuhannya.
Pada tahun 1981, pemerintah mengeluarkan kebijakan lain diantaranya Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1981 sebagai pelaksanaan dari Undangundang No.80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No.100 mengenai Pengupahan yang sama bagi Buruh laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya. 58
57
Nani Soewondo, Ibid., hal. 305. Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal.247.
58
Pasal 3 menentukan bahwa : Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Selanjutnya dalam GBHN, Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 Pelita Keempat ditegaskan kembali mengenai Kependudukan dan Keluarga Berencana sebagai berikut 59 : a) Kebijaksanaan kependudukan yang menyeluruh dan terpadu perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan serta diarahkan untuk menunjang peningkatan taraf hidup, kesejahteraan dan kecerdasan bangsa serta tujuantujuan pembangunan lainnya. b) Pelaksanaan kebijaksanaan dan program-program kependudukan yang meliputi antara lain pengendalian kelahiran, penurunan tingkat kematian terutama tingkat kematian anak-anak, perpanjangan harapan hidup, penyebaran penduduk dan tenaga kerja yang lebih serasi dan seimbang perlu lebih ditingkatkan. c) Program Keluarga Berencana bertujuan ganda, ialah untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera dengan pengendalian kelahiran, dan untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk Indonesia.
59
Nani Soewondo, Op.cit., hal. 176.
d) Dalam rangka mengendalikan pertumbuhan penduduk perlu diambil langkah-langkah untuk mempercepat turunnya tingkat kelahiran. e) Jumlah peserta keluarga berencana perlu makin ditingkatkan kesadaran dan secara sukarela dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. f) Penerangan dan pendidikan mengenai masalah kependudukan bagi seluruh lapisan masyarakat baik wanita maupun pria, terutama generasi muda, perlu ditingkatkan dan lebih diperluas agar makin disadari mendesaknya masalah kependudukan serta pentingnya keluarga kecil sebagai cara hidup yang layak dan bertanggung jawab.
Terdapat juga didalamnya adanya peningkatan posisi Menteri menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita ( Men UPW ) serta adanya Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 tentang GBHN, BAB IV, Pola Umum Pelita Keempat, peranan wanita dalam pembangunan bangsa adalah 60 : a) Pembangunan yang menyeluruh mensyaratkan ikut sertanya pria maupun wanita secara maksimal di segala bidang. Dalam rangka ini wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta dalam segala kegiatan pembangunan. b) Peranan wanita dalam pembangunan berkembang selaras dan serasi dengan
perkembangan
tanggung
jawab
dan
peranannya
dalam
mewujudkan dan mengembangkan keluarga sehat dan sejahtera, termasuk
60
Nani Soewondo, Ibid., hal. 306.
pembinaan generasi muda anak-anak remaja dan anak-anak di bawah lima tahun, dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. c) Peranan dan tangung jawab wanita dalam pembangunan makin dimantapkan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan di berbagai bidang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. d) Dalam rangka mendorong partisipasi wanita dalam pembangunan perlu makin dikembangkan kegiatan wanita dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga antara lain melalui organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga ( PKK ) Indonesia meratifikasi Konvensi Perempuan dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita 61 (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) dengan persyaratan (resevation) terhadap Pasal 29 ayat (1). 62 Maka dari ratifikasi suatu konvensi internasional dengan undang-undang ialah suatu perjanjian internasional (treaty) yang menciptakan kewajiban dan akuntabilitas Negara yang meratifikasinya. Ratifikasi oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan Konvensi sebagai hukum formal dan bagian dari hukum nasional.
61
Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. 62 Pasal 29 ayat (1) Konvensi Perempuan: “Setiap perselisihan antara dua atau lebih negara mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak diselesaikan melalui perundingan, diajukan untuk arbitrasi atas permohonan salah satu diantara Negara-negara tersebut. Jika enam bulan sejak tanggal permohonan untuk arbitrasi pihak-pihak tidak dapat bersepakat mengenai penyelenggaraan arbitrasi itu, salah satu dari pihak-pihak tersebut dapat menyerahkan perselisihan itu kepada Mahkamah Internasional melalui permohonan yang sesuai dengan peraturan Mahkamah itu.
Konsekuensi dari ratifikasi Konvensi internasional ialah bahwa Negara Peserta (peratifikasi konvensi) memberikan komitmen, mengikatkan diri untuk menjamin melalui peraturan perundang-undangan, kebijakan, program dan tindakan khusus sementara, mewujudkan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perenpuan, serta terhapusnya segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. 1. Prinsip-prinsip Konvensi Perempuan Konvensi Perempuan menekankan pada persamaan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki (equality and equity), yaitu persamaan hak dan kesempatan serta penikmatan mamfaat disegala bidang kehidupan dan segala kegiatan. Konvensi Perempuan mengakui bahwa : •
Ada perbedaan biologis atau kodrati antara perempuan dan laki-laki
•
Ada perbedaan perlakuan yang berbasis gender yang mengakibatkan kerugian pada perempuan. Kerugian itu berupa subordinasi kedudukan dalam keluarga dan masyarakat, maupun pembatasan kemampuan dan kesempatan dalam memamfaatkan peluang yang ada. Peluang itu dapat berupa peluang untuk tumbuh kembang secara optima, secara menyeluruh dan terpadu, peluang untuk menikmati manfaat yang sama dengan lakilaki dari hasil-hasil pembangunan untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
•
Ada perbedaan kondisi dan posisi antara perempuan dan laki-laki, dimana perempuan ada dalam komdisi dan posisi yang lebih lemah karena mengalami diskriminasi atau menanggung akibat karena perlakuan
diskriminatif dimasa lalu, atau karena lingkungan, keluarga dan masyarakat tidak mendukung kemandirian perempuan. Dengan memperhatikan keadaan dan kondisi itu, Konvensi Perempuan menetapkan
prinsip-prinsip
serta
ketentuan-ketentuan
untuk
menghapus
kesenjangan, subordinasi serta tindakan yang merugikan hak dan kedudukan perempuan dalam hukum, keluarga dan masyarakat. Prinsip-prinsip yang dianut oleh Konvensi sebagai alat untuk advokasi. Prinsip-prinsip tersebut merupakan pula kerangka untuk merumuskan strategi pemajuan dan penegakan hak perempuan. Prinsip-prinsip Konvensi Perempuan dapat digunakan pula sebagai alat untuk menguji apakah suatu kebijakan, aturan atau ketentuan mempunyai dampak, dalam jangka pendek atau jangka panjang, yang merugikan perempuan. Konvensi perempuan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut : •
Prinsip Persamaan Substantif, yaitu persamaan hak, kesempatan, akses dan penikmatan mamfaat.
•
Prinsip Non-Diskriminasi
•
Prinsip Kewajiban Negara Prinsip-prinsip tersebut yang berasaskan kemanusiaan (lihat Mukadimah
Konvensi) merupakan suatu kesatuan, saling berkaitan dan tidak dapat dipisahpisahkan.
a. Prinsip persamaan substantif Secara ringkas, prinsip persamaan substantif yang dianut Konvensi Perempuan adalah : •
Langkah tindak untuk merealisasi hak perempua yang ditujukan untuk mengatasi adanya perbedaan, disparitas/kesenjangan atau keadaan yang merugikan perempuan.
•
Langkah-tindak melakukan perubahan lingkungan, sehingga perempuan mempunyai kesempatan dan akses yang sama dengan laki-laki serta mempunyai manfaat yang sama.
•
Konvensi Perempuan mewajibkan negara untuk mendasarkan kebijakan dan langkah-tindakpada prinsip-prinsip : (a) kesempatan yang sama bagi laki-laki, (b) akses yang sama bagi perempuan dan laki-laki, (c) perempuan dan lakilaki menikmati manfaat yang sama dari hasil-hasil menggunakan kesempatan dan akses tersebut.
•
Hak hukum yang sama bagi perempuan dan laki-laki (i) dalam kewarganegaraan,(ii) dalam wadah perkawinan dan hubungan keluarga, (iii) dalam perwalian anak.
•
Persamaan kedudukan dalam hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
b. Prinsip non-diskriminasi Definisi mengenai diskriminasi terhadap perempuan dimuat dalam Pasal 1 Konvensi Perempuan: ”Istilah diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapus pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan” Pasal 1 Konvensi Perempuan merupakan definisi kerja arti diskriminasi terhadap perempuan. Pasal 1 digunakan untuk melakukan identifikasi kelemahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan formal atau netral. 63 Yang tidak dianggap sebagai diskriminasi ialah: -
Langkah-tindak khusus sementara, Pasal 4 (1) Konvensi Perempuan, yaitu langkah-tindak yang dilakukan untuk mencapai persamaan kesempatan dan perlakuan bagi perempuan dan laki-laki, dan mempercepat persamaan de facto antara laki-laki dan perempuan. Dikenal sebagai affirmative action, tetapi sekarang dikenal sebagai langkah-langkah-tindak atau tindakan khusus sementara, temporary special measure.
-
Perlindungan kehamilan Pasal 4 (2), dan kehamilan sebagai fungsi sosial Pasal 5(2) Konvensi Perempuan. Sebaliknya suatu tidakan proaktif, seperti melarang perempuan melakukan
suatu jenis pekerjaan tertentu dapat dianggap sebagai suatu tindak diskriminatif, karena dalam jangka panjang dapat bertentangan dengan kepentingan perempuan.
63
Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal.138.
c. Prinsip kewajiban negara Menurut Konvensi Perempuan prinsip dasar kewajiban negara meliputi hal-hal sebagai berikut: -
Menjamin hak perempuan melalui hukum dan kebijakan, serta menjamin hasilnya.
-
Menjamin pelaksanaan praktis dari hak itu melalui langkah-tindak atau aturan khusus sementara, menciptakan kondisi yang kondusif untuk meningkatkan kesempatan dan akses perempuan pada peluang yag ada, dan menikmati manfaat yang sama/adil dari hasil menggunakan peluang itu.
-
Negara tidak saja menjamin tetapi juga merealisasi hak perempuan.
-
Tidak saja menjamin secara de jure tetapi juga secara de facto.
-
Negara tidak saja harus bertanggung jawab dan mengaturnya di sektor publik, tetapi juga melaksanakanya terhadap tindakan orang-orang dan lembaga di sektor privat (keluarga) dan sektor swasta. Dalam pasal 2-5 Konvensi Perempuan : Pasal 2 mewajibkan Negara : •
Mengetuk diskriminasi, melarang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui peraturan perundang-undangan dan kebijakan serta pelaksanaannya.
•
Menegakkan perlindungan hukum terhadap perempuan melalui peradilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, serta perlindungan yang efektif bagi perempuan dari setiap tindakan diskriminasi.
•
Mencabut semua aturan dan kebijaksaan dan praktik yang diskriminatif terhadap perempuan. Selanjutnya
Pasal 3 menentukan kewajiban Negara untuk melakukan
langkah-langkah proaktif di semua bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, serta menciptakan lingkungan dan kondisi yang menjaminkan pengembangan dan kemajuan perempuan. Pasal 4 mewajibkan Negara untuk melakukan langkah-tindak khusus sementara untuk mempercepat persamaan de-facto, serta mencapai perlakuan dan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Peraturan dan tidakan khusus yang ditujukan untuk melindungi kehamilan tidak dianggap sebagai diskriminasi ( ayat 2 ) Dan Pasal 5 mewajibkan Negara melakukan langkah-tindak yang tepat untuk: • Mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka dan kebiasan dan segala praktik lainnya yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran stereotipe bagi laki-laki dan perempuan • Menjamin bahwa pendidikan keluarga memberikan pengertian yang tepat mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam membesarkan anak-anak mereka, dan bahwa anak-anak adalah pertimbangan utama dalam segala hal. Perhatikan Pasal 23 Konvensi Perempuan yang menentukan bahwa : ”Apapun dalam konvensi ini tidak akan mempengaruhi ketentuan manapun yang lebih baik bagi tercapainya persamaan antara pria dan wanita, yang mungkin terdapat : (a) dalam perundang-undangan suatu Negara Peserta, atau
(b) dalam Konvensi, perjanjian atau persetujuan internasional maupun yang berlaku bagi negara itu”. Demikian pula Pasal 24 yang menentukan bahwa : ”Negara-negara Peserta mengusahakan untuk mengambil segala langkah yang perlu pada tingkat nasional yang ditujukan pada tercapainya perwujudan sepenuhnya dari hak-hak yang diakui dalam konvensi itu”. Konvensi mewajibkan negara mewujudkan persamaan substansif antara perempuan dan laki-laki dalam bidang-bidang 64 : Kehidupan politik dan publik ( Pasal 7 ) Mewakili negara di tingkat internasional dan berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi internasional ( Pasal 8 ) Memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya (Pasal 9 ) Pendidikan, termasuk turut serta dalam kurikulum dan ujian yang sama serta staf pengajar, gedung dan peralatan sekolah dengan mutu yang sama ( Pasal 10 ) Ketenagakerjaan, termasuk bekerja sebagai hak asasi manusia, hak atas kesempatan kerja yang sama, secara bebas memilih profesi dan pekerjaan, upah yang sama termasuk tunjangan dan perlakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan yang sama nilainya maupun hak atas jaminan sosial, perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja dan perlindungan fungsi reproduksi ( Pasal 11 ) Pemeliharaan kesehatan, termasuk hak untuk mendapatkan pelayanan yang berkaitan dengan keluarga berencana, kehamilan dan menyusui (Pasal 12) 64
Achie Sudiarti Luhulima, Ibid., hal. 141-142.
Hak atas tunjangan keluarga, pinjaman bank dan bentuk-bentuk lain kredit permodalan, kegiatan rekreasi, olahraga dan lain-lain ( Pasal 13 ) Perkawinan dan keluarga, termasuk hak untuk memasuki jenjang perkawinan, memilih pasangan serta hak dan kewajiban yang sama sebagai orangtua dalam urusan yang berkaitan dengan anak-anak mereka ( Pasal 16 ) Konvensi memberikan perhatian pada masalah-masalah khusus yang dihadapi oleh perempuan pedesaan dan menghapus diskriminasi terhadap perempuan di daerah pedesaan sehingga mereka dapat turut serta dalam dan menikmati manfaat dari pembangunan desa ( Pasal 14 ) Menjamin persamaan hak perempuan dan laki-laki di muka hukum, kecakapan hukum yang sama dan menghormati mobilitas orang-orang serta pilihan tempat tinggal dan domisili ( Pasal 15 ) Dapat juga diperhatikan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 7 tahun 1984 tentang
Pengesahan
Konvensi
Mengenai
Penghapusan
Segala
Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) serta Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia No.7 tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984. 65
65
Hak Asasi Perempuan, Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Kelompok Kerja Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 1-34. Lihat pula instrument hukum lainnya dalam buku tersebut. Lihat pula Achie Sudiarti Luhulima, Kovensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita , dalam Prof. Dr. Tapi Omas Ihroni, SH, MA, dkk (Penyunting). Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Penerbit Alumni, 2000, Bandung, hal. 24-62.
Pada tahun 1992 adanya suatu perlindungan negara terhadap tenaga kerja yang diatur dalam Undang-undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja 66 Pasal 3 Ayat ( 2 ) menentukan bahwa : Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja. Pasal 7 Ayat ( 2 ) menentukan bahwa : Jaminan sosial tenaga kerja berlaku pula untuk keluarga tenaga kerja.
MASA REFORMASI Pada tanggal 23 September diundangkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 67 maka adanya jaminan atau perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita yang terdapat pada Bagian Kesembilan. Pasal 45 : “ Hak wanita dalam undang-undang ini adalah hak asasi manusia.”
*Hak Pekerja Wanita Pasal 38 menentukan bahwa : ( 1 ) Setiap warga negara sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan berhak atas pekerjaan yang layak ( 2 ) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil
66
Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal.249. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 45-51.
67
*Bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja Pasal 49 ( 2 ) Wanita berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan dan profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita ( 3 ) Hak khusus
yang melekat pada diri
wanita dikarenakan
fungsi
reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum
*Bidang Kewarganegaraan Pasal 47 menentukan bahwa seorang wanita : • Yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti kewarganegaraan suaminya. • Mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti atau memperoleh status kewarganegaraannya.
*Bidang Politik Pasal 23 ( 1 ) menentukan bahwa : Setiap orang bebas memilih dan mempunyai keyakinan politiknya Pasal 43 ( 1 ) menentukan bahwa : Setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, berdasarkan persamaan hak, melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 46 menentukan bahwa : Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. Pasal 49 ( 1 ) menentukan bahwa : Wanita berhak memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan profesi dan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.
*Bidang Pendidikan Pasal 11 menentukan bahwa : Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak Pasal 12 menentukan bahwa : Setiap orang behak atas perlindungan bagi penegmbangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia. Pasal 48 menentukan bahwa : Wanita berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pasal 51 ( 1 ) menentukan bahwa : Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hak yang berkenaan dengan
kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya dan hak pemilikan serta pengelolaan hak bersama. Pasal 51 ( 2 ) menentukan bahwa ” Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Pasal 51 ( 3 ) menentukan bahwa : Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan perundangundangan.
* Bidang Perdagangan Perempuan Pasal 20 menentukan bahwa : 1. Tidak seorangpun boleh diperbudak dan diperhamba 2. Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya, serupa, dilarang Pasal 65 menentukan bahwa : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari kegiatan ekspolitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikoterapi dan zat adiktif lainnya.
Selanjutnya dalam GBHN 1999-2004 menetapkan dua arah kebijakan Pemberdayaan Perempuan 68 yakni : 1. Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yan diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. 2. Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan perempuan dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Dengan demikian pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan Keadilan dan Kesetaraan Gender ( KKG ) merupakan komitmen bangsa Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara keseluruhan. Sesuai dengan dua arah kebijakan itu, pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional maupun daerah, yang pelaksanaannyadapat memberikan hasil terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan pembangunan. Berdasarkan arah kebijakan yang dimandatkan oleh GBHN 1999-2004 untuk butir pemberdayaan perempuan, Propenas 2000-2004 yang diatur dalam UU NO. 25 Tahun 2000 telah melakukan mainstreaming kebijakan dan program pembangunan pemberdayaan perempuan. Selanjutnya Propenas telah dirumuskan
68
Muhadjir, Op.cit., hal.79.
secara lebih rinci setiap tahun ke dalam Rencana Pembangunan Tahunan ( Repeta ), untuk tahun 2001 ( Repeta 2001 ).
Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG). Instruksi Presiden ini sesuai dengan amanat GBHN serta Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas yaitu dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Pengarusutamaan Gender merupakan salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender
melalui
pengintegrasian
pengalaman,
aspirasi,
kebutuhan
dan
permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan pelaksanaan dan pemantauan serta evaluasi dari seluruh kebijakan program, proyek dan berbagai kegiatan bidang kehidupan dan pembangunan.
Kemudian adanya Tujuan Pembangunan Millenium ( Millenium Development Goals – MDGs ) tahun 2000 mengenai pendidikan 69, maka : *Tujuan 2 : Target 3 :
Mencapai pendidikan dasar secara universal Menjamin bahwa pada tahun 2015, semua anak dimana saja, laki-laki dan perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasar.
*Tujuan 3 :
Meningkatkan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan
69
Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal.233.
Target 4 :
Menghapuskan kesenjangan gender dalam pendidikan dasar
dan menengah pada tahun 2005 dan pada seluruh jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015
UU NO.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh 70 sebagai pelaksanaan dari UU No.18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No.98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar dari Hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama.
Pasal 12 menentukan bahwa : Serikat
Pekerja/Serikat
Buruh,
federasi
dan
konfederasi,
serikat
pekerja/serikat buruh harus terbuka untuk menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku, bangsa dan jenis kelamin.
Pada tahun 2001 dirumuskan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
Selanjutnya dalam Rencana Strategi Kementerian Pemberdayaan Perempuan (Renstra) 2001-2004, program yang disusun terdiri dari program dalam rangka pembangunan perempuan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak dan upaya peningkatan kemampuan, mencakup Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Pemberdayaan Perempuan; Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan; Program Peningkatan Peran Masyarakat
70
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja, Pasal 12.
Pemampuan Kelembagaan Pengarasutamaan Gender; Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak; Program Sumber Daya, Sarana dan Prasarana. Dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui program yang peka akan permasalahan gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah bekerjasama dengan UNFPA dalam melaksanakan serangkaian kegitan Mainstreaming Gender Issues in Reproduktive Health and Population Policies and Programmes. Tujuan utama program ini adalah tercapainya perbaikan status kesehatan reproduksi kaum perempuan dan laki-laki melalui kebijakan program kesehatan reproduksi dan kependudukan yang sensitif gender. Hal ini akan dicapai melalui penguatan kapasitas nasional untuk melakukan pengarusutamaan gender, serta melalui aplikasi konsep gender dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan dan program untuk kesehatan reproduksi dan kependudukan. Upaya mengaktualisasikan dan memanifestasikan dan mengakselerasikan PUG di sektor strategis, propinsi dan kabupaten/kota, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga telah melaksanakan program dan langkah konkrit antara lain : • Program pengembangan dan keserasian kebijakan pemberdayaan perempuan serta serangkaian koordinasi telah dilakukan dalam upaya perbaikan undang-undang yang masih bias gender seperti UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No.62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. • Program
peningkatan
peran
serta
masyarakat
dan
penguatan
kelembagaan PUG dilakukan melalui sosialisasi, advokasi dan pelatihan analisis gender baik di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota
• Pengembangan modul sosialisasi/advokasi gender • Pengembangan alat untuk analisis gender yang digunakan dalam perencanaan program dan dikenal dengan Gender Analysis Pathway (GAP) dan Problem Base Analysis (PROBA) • Pengembangan Homepage untuk penyediaan data dan informasi program pembangunan pemberdayaan perempuan, konsep kesetaraan dan keadilan gender dan jaringan informasi dengan website • Penyusunan profil gender untuk 26 propinsi • Fasilitas bantuan teknis kepada daerah propinsi, kabupaten dan kota • Tersedianya data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin secara berskala dan berkesinambungan dari propinsi dan kabupaten/kota mengenai pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah
Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2002 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja 71 Pasal 22 Ayat ( 1 ) menentukan bahwa : Jaminan kematian dibayar sekaligus kepada janda atau duda atau anak dan meliputi : a) Santunan kematian diberikan sebesar Rp 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah) b) Biaya pemakaman sebesar Rp 1.000.000,- ( Satu Juta Rupiah )
71
Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Pasal 22 Ayat 1.
Undang-undang No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik72 terdapat pada Pasal 7e menentukan bahwa : Partai politik berfungsi sebagai sarana : Rekruitmen politik dalam proses pengisian
jabatan
politik
melalui
mekanisme
demokrasi
dengan
memperlihatkan kesetaraan gender. Pasal 10 Ayat ( 2 ) menentukan bahwa : Keanggotaan partai politik bersifat sukarela, terbuka dan tidak diskriminastif bagi setiap warga negara Indonesia yang menyetujui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai yang bersangkutan. Pasal 13 Ayat ( 3 ) menentukan bahwa : Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Keputusan Presiden No.88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan ( Trafiking ) Perempuan dan Anak 73 Pada tanggal 30 Desember 2002, diterbitkan Keputusan Presiden No.88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Traffiking) Perempuan dan Anak. Keputusan Presiden ini lahir karena didorong oleh keprihatinan yang mendalam terhadap berbagai kasus trafiking yang terjadi di Indonesia. Hal ini terbukti dalam Trafficking in Persons Report ( Juli 2001 ) yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan Komisi 72
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal. 184-188.
73
Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik ( Economy and Social Commission for Asia Pacific ) yang menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga atau terendah dalam upaya penanggulangan trafiking perempuan dan anak. Adapun yang menjadi tujuan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan ( Trafiking ) Perempuan dan Anak Tujuan Umum :
Terhapusnya segala bentuk perdagangan ( Trafiking ) perempuan dan anak
Tujuan Khusus : a) Adanya norma hukum dan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan ( trafiking ) perempuan dan anak b) Terlaksananya rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban perdagangan ( trafiking ) perempuan dan anak yang dijamin secara hukum c) Terlaksananya
pencegahan
segala
bentuk
praktek
perdagangan ( trafiking ) perempuan dan anak di keluarga dan masyarakat. Pada tahun 2002 terlihat landasasan hukum yang menjamin keadilan dan kesetaraan gender dirumuskan dalam UUD 1945 hasil amandemen pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia 74. Di dalamnya kita dapat mengetahui bahwa adanya jaminan hak perempuan. Dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hak perempuan dan laki-laki dijamin dalam dasar Negara Republik Indonesia... Kemanusiaan yang adil dan beradab ... dan ... Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Manusia terdiri atas laki-laki
74
Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen.
dan perempuan, demikian pula seluruh rakyat Indonesia. Hal ini ditetapkan dalam pasal-pasal terutama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara dan penduduknya. UUD 1945 Hasil Amandemen Pasal 27 ( 1 ) menentukan bahwa : Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 27 ( 2 ) menentukan bahwa : Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bab XA Hak Asasi Manusia ( Pasal 28A-28J ) Pasal 28 menentukan bahwa : Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28A menentukan bahwa : Setiap orang berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28C ( 1 ) menentukan bahwa : Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Pasal 28C ( 2 ) menentukan bahwa : Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Pasal 28D ( 1 ) menentukan bahwa : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pasal 28D ( 2 ) menentukan bahwa : Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Pasal 28D ( 3 ) menentukan bahwa : Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pasal 28D ( 4 ) menentukan bahwa : Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Pasal 28E ( 1 ) menentukan bahwa : Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan
dan
pengajaran,
memilih
pekerjaan,
memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkanya serta berhak kembali. Pasal 28H ( 1 ) menentukan bahwa : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pasal 28H ( 2 ) menentukan bahwa : Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal 28H ( 3 ) menentukan bahwa : Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Pasal 28I ( 1 ) menentukan bahwa : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 28I ( 2 ) menentukan bahwa : Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Pasal 28I ( 4 ) menentukan bahwa : Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 ( 1 ) menentukan bahwa : Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Pasal 31 ( 2 ) menentukan bahwa : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 75
*Bidang Hubungan kerja Pasal 5 menentukan bahwa : Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Pasal 6 menentukan bahwa : Setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Pasal 32 Ayat ( 1 ) menentukan bahwa : Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, objektif serta adil dan setara tanpa diskriminasi Pasal 153 Ayat ( 1 ) butir e menentukan bahwa : Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja atau buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya.
*Paragraf 3 tentang perempuan, bidang kesehatan dan keselamatan kerja Pasal 76 menentukan bahwa : ( 1 ) Pekerja atau buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 – 07.00
75
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
( 2 ) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja atau buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 – 08.00 ( 3 ) Pengusaha mempekerjakan pekerja atau buruh perempuan antara pukul 23.00 – 07.00 WIB : a) Memberikan makanan dan minuman bergizi b) Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. ( 4 ) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja atau buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 – 05.00 Pasal 81 Ayat ( 1 ) menentukan bahwa : Pekerja atau buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid yang pelaksanaanya terhadap hal ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pasal 82 Ayat ( 1 ) dan Ayat ( 2 ) menentukan bahwa : ( 1 ) Pekerja atau buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. ( 2 ) Pekerja atau buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Pasal 83 menentukan bahwa : Pekerja atau buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 76 Dalam pertimbangan : Bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Pasal 4 ( 1 ) menentukan bahwa : Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
76
Ayat 1.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 4
Undang-undang No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum 77 Pasal 65 Ayat ( 1 ) menentukan bahwa : Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Undang-undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri 78 Pasal 2 menentukan bahwa : Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI berasaskan keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi serta anti perdagangan manusia.
Undang-undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional 79 Pasal 3 menentukan bahwa : Sistem jaminan sosial nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan atau anggota keluarga. Pasal 20 Ayat ( 2 ) menentukan bahwa : Anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat jaminan kesehatan.
77
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum, Pasal 65 Ayat 1. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri, Pasal 2. 79 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pasal 3. 78
Rencana Pembangunan Jangka Menengah ( RPJM ) Tahun 2004 – 2009 bidang Pendidikan 80 : Secara eksplisit menyebutkan bahwa pembangunan pendidikan belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak dasar warga negara. Disparitas antara kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, perkotaan dan pedesaan atau antardaerah masih terjadi
Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 81 Pertimbangan diundangkannya UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga : a) Setiap waga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 b) Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dala rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. c) Korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan harus mendapat perlindungan dari negara dan/ atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
80
Achie Sudiarti Luhulima, Op.cit., hal.234. Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
81
Tangga.
d) Dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Undang-undang ini sejumlah hal penting , yaitu : Mengatur secara jelas berbagai pendefenisian bentuk kekerasan, pengertian rumah tangga, dan lain-lain Pengaturan berbagai tindak kekerasan / kejahatan yang termasuk dalam lingkup rumah tangga Mengatur sanksi yang dikenakan pada pelaku kekerasan dan kejahatan dalam rumah tangga Mengatur hak-hak korban
Saat ini telah ada naskah kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tertuang dalam Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan ( SNPK ) yang di susun oleh Bappenas. Di sini dirumuskan rencana aksi pemenuhan hak-hak perempuan berperspektif gender Tahun 2005-2009, sebagai berikut 82 : Menghapus segala bentuk diskriminasi, eksplotasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan baik di ranah domestik maupun publik dan menjamin kesamaan hak perempuan dalam pengambilan keputusan, dalam memperoleh pelayanan publik dan dalam mencapai kesejahteraan sosial. Tujuan tersebut kemudian dijabarkan ke dalam 7 target di bawah ini : 1. tersosialisasinya nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender di masyarakat.
82
Muhadjir, Op.cit., hal.175-177.
2. terwujudnya sistem hukum dan perundang-undangan yang berkeadilan gender 3. terjaminnya hak perempuan untuk bekerja dan perlindungan kerja yang khas perempuan 4. terjaminnya pelayanan publik di berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan,
keluarga berencana,
kesehatan
reproduksi
yang tidak
diskriminatif terhadap perempuan dan yang memenuhi kebutuhankebutuhan spesifik perempuan. 5. peningkatan kesejahteraan perempuan dalam gizi dan nutrisi, kebutuhan air bersih, kesehatan dan pendidikan 6. terlindunginya perempuan dari kemungkinan menjadi korban trafficking dan terlayaninya perempuan yang menjadi korban trafficking 7. terpenuhinya hak perempuan sebagai kepala keluarga ( single headed hoesehold ) dalam memperoleh pekerjaan, dalam pengambilan keputusan public, dalam memperoleh akses perbankan dan dalam memperoleh pelayanan publik. Untuk merealisasikan target-target tersebut dirumuskan sejumlah rencana kebijakan, sebagai berikut : 1. Sosialisasi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender di masyarakat 2. Revisi terhadap sejumlah UU yang masih ada indikasi bias gender 3. Meningkatkan ketersediaan pelayanan kesehatan reproduksi yang bermutu dan terjangkau bagi perempuan miskin 4. Perluasan kesempatan kerja bagi perempuan dan perlindungan kerja kepada perempuan dari diskriminasi upah, gangguan kesehatan reproduksi dan
kemungkinan menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja 5. Peningkatan akses perempuan, apapun status perkawinannya, untuk mendapatkan pelayanan publik di bidang kesehatan, pendidikan, keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, nutrisi dan air bersih. 6. Peningkatan peran perempuan dalam pengambilan keputusan publik dan melakukan kontrol terhadap penyediaan pelayanan publik, sarana dan prasarana publik 7. Memenuhi hak perempuan sebagai kepala keluarga ( single headed hoesehold ) dalam memperoleh pekerjaan, dalam pengambilan keputusan publik, dalam memperoleh akses perbankan dan dalam memperoleh pelayanan publik. 8. Melindungi tenaga kerja perempuan yang bekerja di sektor domestik dalam dan luar negeri 9. Melindungi perempuan korban kekerasan 10. Mengembangkan pemantauan terhadap tindak kekerasan berbasis gender 11. Melindungi perempuan korban dan potensial korban trafficking (perdagangan) 12. Meningkatkan kerja sama global dalam penanggulangan isu gender yang penting untuk ditangani segera.
Pada tahun 2005 ditetapkan Peraturan Pesiden No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ( 2004-2009 ) BAB 9 Pembenahan Sistem dan Politik Hukum menetapkan sebagai sasaran yang akan dilakukan dalam tahun 2004-2009 adalah : Terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif ( termasuk tidak diskriminatif terhadap perempuan atau bias gender ) Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan Kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, profesional dalam memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara kesekuruhan. ( Bagian III : 9 – 1-11 )
BAB 10 Penghapusan Diskriminasi dalam berbagai Bentuk menetapkan sebagai arah kebijakan : Menciptakan penegakkan dan kepastian hukum yang konsisten, adil dan tidak diskrimainatif dengan langkah-langkah: Meningkatkan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi, termasuk ketidakadilan gender, bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum tanpa terkecuali
Menerapkan hukum dengan adil, melalui perbaikan sistem hukum yang profesional, bersih dan berwibawa. ( Bagian III : 10 – 1 – 5 )
BAB 11 Penghormatan, Pengakuan, dan Penegakkan Atas Hukum dan Hak Asasi Manusia, menetapkan sebagai arah kebijakan pembangunan : Mendorong terciptanya penegakkan dan kepastian hukum yang konsisten terhadap hak asasi manusia, perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif, dengan langkah-langkah Meningkatkan upaya pemajuan, perlindungan, penegakkan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif dan memihak pada rakyat kecil Mendorong penggunaan nilai-nilai budaya daerah sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan terciptanya kesadaran hukum masyarakat Meningkatkan kerja sama yang harmonis antara kelompok atau golongan dalam masyarakat, agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi ( Bagian III : 11 – 1- 7 )
BAB 12 Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, menetapkan sebagai berikut : Terjaminnya keadilan gender dalam berbagai perundang-undangan, program pembangunan dan kebijakan publik Menurunnya kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki, yang diukur oleh angka GDI dan GEM Menurunnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak Meningkatnya kesejahteraan dan perlindungan anak ( Bagian III : 12 – 1 – 8 )