BAB I PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG Secara umum stroke merupakan penyebab kematian yang ketiga
terbanyak di Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker, demikian juga diberbagai negara di dunia dan setiap tahunnya 700.000 orang akan mengalami stroke baru atau berulang. Kira-kira 500.000 merupakan serangan pertama dan 200.000 merupakan serangan ulang (Hacke dkk,2003; William dkk, 2000; Rosamond dkk,2007). Meskipun data studi epidemiologi stroke secara komprehensif dan akurat belum ada di Indonesia, dengan meningkatnya harapan hidup orang Indonesia tendensi peningkatan kasus stroke akan meningkat pada masa yang akan datang. Di Indonesia, menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dilaporkan bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 -1986 meningkat yaitu 0,72 per 100 penderita tahun 1984 dan naik menjadi 0,89 per 100 penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100 penderita pada tahun 1986. Dilaporkan pula bahwa prevalensi stroke pada tahun 1986 adalah 35,6 per 100.000 penduduk, sedangkan di Jogyakarta pada penelitian Lamsudin dkk (Sjahrir,2003), dilaporkan bahwa proporsi morbiditas stroke di rumah sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan kecenderungan meningkat hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita) dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per 100 penderita).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh Survei ASNA (ASEAN Neurological Association) di 28 rumah sakit di seluruh Indonesia, pada penderita stroke akut yang dirawat di rumah sakit, dan dilakukan survei mengenai faktor-faktor resiko, lama perawatan, mortalitas dan morbiditasnya. Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan profil usia di bawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,7% dan diatas usia 65 tahun 33,5% (Misbach,2007). Sedangkan untuk RSUP.H.Adam Malik proporsi kejadian stroke perdarahan intraserebral tahun 2007 sebesar 11% dan tahun 2008 sebesar 16% (catatan medial record RSUP.H.Adam Malik). Stroke juga merupakan penyebab utama gangguan fungsional dengan 20% penderita yang masih bertahan hidup membutuhkan perawatan institusi setelah 3 bulan dan 15-30% menjadi cacat permanen. Stroke juga merupakan kejadian yang dapat merubah kehidupan, bukan hanya mengenai seseorang yang dapat menjadi cacat tetapi juga seluruh keluarga dan pengasuh yang lain (Goldstein dkk,2006). Heterogenitas stroke menyebabkan sulitnya memprediksi outcome fungsional yang terjadi secara akurat dan prediktor apa yang paling menentukan outcome. Sejumlah prediktor untuk outcome fungsional telah diajukan dan pengukuran outcome stroke mempunyai berbagai masalah tergantung pada perjalanan penyakitnya (Caplan,2000). Pada uji klinis terhadap stroke akut, berbagai pengukuran dilakukan dalam menentukan outcome dan sering timbul hasil dengan interpretasi yang berbeda. Belum ada konsensus mengenai pada tingkat mana outcome digunakan, metode
Universitas Sumatera Utara
pengukuran yang digunakan, ataupun waktu serta cut off point yang paling tepat. Beberapa laporan studi terbaru mengenai terapi akut stroke telah melahirkan kontroversi oleh karena terdapat ketidakkonsistenan antara berbagai outcome pada tiap-tiap studi. Untuk menentukan berhasil atau tidaknya outcome sering cut off point dipilih secara berubah-ubah. Dan bila ingin menentukan saat penilaian outcome harus dipertimbangkan perjalanan waktu pemulihan suatu stroke. Lima hingga 6 bulan setelah stroke merupakan waktu yang tepat dalam mengukur outcome neurologis dan fungsional (Duncan dkk,2000). Untuk stroke perdarahan intraserebral (PIS), ada sejumlah model prognostik untuk mortalitas dan outcome fungsional setelah terjadinya PIS. Model-model instrumen ini biasanya berhubungan dengan kondisi neurologis, parameter
klinis
dan
laboratorium
lainnya
yang
bervariasi,
dan
hasil
neuroimejing. Model-model instrumen ini memang dapat memprediksi outcome secara akurat, namun cukup bervariasi dalam kemudahan penggunaannya, khususnya bagi orang yang tidak dilatih khusus dalam neuroimejing dan analisa statistik. Walaupun ketepatan dari beberapa model ini, tidak ada skala untuk PIS yang konsisten digunakan untuk triase dan invertensi akut, apakah sebagai bagian dari penanganan klinis ataupun penelitian (Hemphill dkk,2001). The Intracerebral Hemorrhage Score (the ICH score) telah dikembangkan sebagai suatu skala klinis sederhana yang dapat dipakai untuk memprediksi outcome fungsional atau mortalitas dalam 30 hari pada pasien PIS. Komponen prediktor yang digunakan dalam skala ini ada 5 karakteristik yaitu nilai Skala Koma Glasgow (SKG), volume perdarahan, perdarahan intraventrikular, lokasi perdarahan yang berasal dari infratentorial, dan usia ( Hemphi11,2001).
Universitas Sumatera Utara
Dalam perkembangannya, penggunaan ICH score telah mengalami modifikasi dengan tujuan untuk mencari model prediktor mana yang paling akurat dalam memprediksi mortalitas pada pasien PIS. Adapun variasi model prediktor yang dipakai dalam beberapa studi klinis dalam ICH score seperti suhu tubuh saat masuk rumah sakit, tekanan darah saat masuk, tekanan nadi, lokasi PIS, intraventricular hemorrhage (IVH), volume perdarahan, adanya perdarahan subarakhnoid, adanya efek massa, hidrosefalus, dan kadar gula darah saat masuk (Cheung, 2003; Jamora, 2003; Godoy, 2006; Ruiz-Sandoval,2007). Ariesen, dkk (2005) mengidentifikasi beberapa model prognostik yang digunakan dalam memprediksi outcome jangka pendek setelah terjadinya PIS , mengevaluasi apakah model-model ini dapat dengan cepat dan mudah digunakan pada saat kejadian, mengevaluasi apakah prediksi yang dibuat dari model tersebut cukup akurat. Dari 18 model prognostik yang diamati antara tahun 1966 - 2003, terdapat 14 model yang cukup mudah untuk digunakan. Pada model yang divalidasi, proporsi pasien dengan probabilitas kematian ≥ 95% atau outcome jelek berkisar 0% - 43% (median 23%). Kasus kematian dalam 30 hari berkisar 75% - 100% (median 93%). Penelitian ini menyimpulkan banyak model prognostik yang dapat dengan mudah digunakan dan dapat memprediksi kematian atau outcome buruk dengan probabilitas yang tinggi. Namun, pasien yang memiliki probabilitas tinggi proporsinya kecil, dan kasus kematian dalam 30 hari tidak selalu diprediksi dengan benar. Walaupun model-model terbaru memiliki
keterbatasan,
tetapi
dapat
digunakan
untuk
memperkirakan
kemungkinan pasien dapat bertahan.
Universitas Sumatera Utara
Jamora, dkk (2003) melakukan studi kohort untuk membuktikan validitas dari ICH score untuk memprediksi bukan saja mortalitas tetapi juga outcome fungsional pada popoulasi Asia. Pada 243 pasien PIS, tidak ditemukan pasien dengan ICH score 6. Hanya 3 pasien dengan skor 5 (1%), 18 pasien dengan skor 4 (7%), 28 pasien dengan skor 3 (12%), 52 pasien dengan skor 2 (21%), 70 pasien dengan skor 1 (29%), dan 72 dengan skor 0 (30%). Penelitian ini menemukan validitas ICH score dalam memprediksi mortalitas sekaligus outcome fungsional. Studi konsekutif pada 378 pasien PIS oleh Ruiz-Sandoval,dkk (2007) dengan menggunakan ICH grading scale (ICH-GS) untuk memprediksi outcome setelah terjadinya PIS berdasarkan hasil evaluasi pada saat tiba di rumah sakit, menemukan bahwa ICH-GS merupakan suatu metode yang cukup kuat yang dapat dipakai untuk memprediksi outcome. Instrumen ini diniliai sederhana dan dapat dipercaya. Zahuranec, dkk (2007) dalam studinya terhadap 270 pasien PIS menyimpulkan bahwa keterbatasan penanganan di awal terjadinya PIS memiliki hubungan tidak langsung dengan semua penyebab mortalitas baik jangka pendek
maupun
jangka
panjang
setelah
terjadinya
PIS.
Keterbatasan
penanganan saat awal terjadinya PIS ini dapat dipakai sebagai prediktor mortalitas pada PIS. Halievy, dkk (2002) dalam studi retrospektif terhadap 180 pasien menggunakan 6 kriteria prognostik sebagai ICH score dalam memprediksi outcome fungsional jangka pendek pada pasien PIS yaitu umur, kelumpuhan
Universitas Sumatera Utara
pada tungkai, tingkat kesadaran, efek massa, tuas perdarahan dan perdarahan intraventrikular. Kriteria ini cukup mudah dinilai saat pasien PIS tiba dirumah sakit. Bagaimanapun terdapat beberapa keterbatasan yang penting dalam penggunaan instrumen-instrumen dalam memprediksi mortalitas pasien PIS. Faktor bias yang signifikan seperti penghentian pengobatan/penanganan rnerupakan prediktor paling potensial dalam kematian pasien PIS, sebab semua nilai-nilai yang diuji dan divalidasi pada penelitian kohort sering didapati penghentian pengobatan/penanganan. Keterbatasan lain adalah instrumeninstrumen tersebut tidak memberikan informasi kepada keluarga sebagai pihak yang paling membantu dalam mencapai pemulihan fungsional, lebih dari sekedar kemungkinan pasien selamat (Rost, 2008).
FUNC score adalah instrumen penilaian klinis saat pasien stroke perdarahan intraserebral tiba di rumah sakit, yang dapat memprediksi pencapaian kemandirian fungsional setelah 90 hari kemudian ( Rost dkk,2008 ). Skor pada FUNC score dimulai 0 -11, skor ini tidak dikategorikan dalam beberapa kelompok ( misal ringan, sedang atau berat ), tetapi dari hasil studi sebelumnya menunjukkan bahwa nilai 11 mengindikasikan kemungkinan yang sangat kuat bahwa outcome pasien dengan skor ini (11) secara fungsional tidak akan
bergantung
kepada
orang
lain
(independence).
Kenyataan
lain
menunjukkan bahwa tidak ada pasien dengan nilai FUNC Score ≤ 4 yang mampu mencapai kemandirian secara fungsional. Jadi semakin besar nilai
Universitas Sumatera Utara
FUNC score semakin besar pula kemungkinannya pasien akan mencapai kemandirian secara fungsional (Rost dkk,2008) FUNC score terdiri dari 5 komponen utama yaitu volume PIS, umur, lokasi PIS, nilai SKG dan gangguan kognitif sebelum terjadinya PIS (Rost dkk, 2008). Dalam penelitian Rost,dkk (2008), dari 629 pasien PIS yang diamati setelah 90 hari, didapati 162 pasien (26%) mencapai kemandirian (nilai Glasgow Outcome Score (GOS) ≥ 4). Proporsi pasien yang mencapai nilai GOS ≥ 4 meningkat sesuai dengan nilai FUNC score. Tidak dijumpai pasien dengan nilai FUNC score ≤ 4 yang mencapai kemandirian fungsional, dimana > 80% dengan nilai 11 dapat mencapai kemandirian. Ketepatan prediksi dari FUNC score tetap tidak berubah ketika diuji terbatas pada pasien PIS yang selamat saja. Disimpulkan bahwa FUNC score merupakan instrumen penilaian valid yang dapat mengidentifikasi pasien PIS yang dapat mencapai kemandirian fungsional, dan dapat menjadi arahan dalam membuat keputusan klinis serta seleksi pasien dalam penelitian-penelitian klinis.
1.2. PERUMUSAN MASALAH Perdasarkan latar belakang penelitian-penelitian terdahulu seperti yang telah diuraikan diatas, dirumuskan masalah sebagai berikut : Apakah FUNC score dapat digunakan sebagai prediktor outcome fungsional dan bagaimanakah ketepatannya dalam memprediksi outcome fungsional pada pasien stroke perdarahan intraserebral ?.
Universitas Sumatera Utara
1.3. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan : 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui peranan dan ketepatan FUNC score sebagai prediktor terhadap
outcome
fungsional
pada
pasien
stroke
perdarahan
intraserebral.
1.3.2. Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui peranan FUNC score sebagai prediktor terhadap outcome fungsional pada pasien stroke perdarahan intraserebral di RSUP.H.Adam Malik Medan. 2. Untuk mengetahui ketepatan FUNC score dengan menilai sensitifitas dan spesifistasnya dalam memprediksi outcome fungsional sekaligus menilai sensitifitas dan spesifisitas
ICH score dalam memprediksi
outcome mortalitas pada penderita stroke perdarahan intraserebral di RSUP.H.adam Malik Medan. 3. Untuk mengetahui hubungan umur, volume perdarahan, letak lesi, nilai SKG, gangguan kognitif dengan mortalitas dan pemulihan fungsional pada pasien perdarahan intraserebral di RSUP.H.Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara
1.4. HIPOTESIS FUNC score dapat menjadi prediktor terhadap outcome fungsional pada pasien perdarahan intraserebral dan ketepatannya dapat dipercaya.
1.5. MANFAAT PENELITIAN Dengan mengetahui peranan dan ketepatan FUNC score sebagai prediktor terhadap outcome fungsional pada pasien perdarahan intraserebral, maka dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk membuat rencana pengobatan dan keputusan klinis bagi pasien. Dimana dengan kemampuan mengidentifikasi outcome pasien dengan lebih cermat (jadi bukan sekedar bisa bertahan hidup atau tidak, tetapi dapat memprediksi kemandirian pasien), maka dapat memberikan perhatian khusus pada keluarga dan tim medis untuk menetapkan arah penanganan pasien tersebut ( pelayanan intensif invasif, transportasi, fasilitas pelayanan yang tersedia,dll)
Universitas Sumatera Utara