1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Infeksi dan sepsis termasuk salah satu dari penyebab
kematian yang tertinggi seluruh dunia. Sepsis merupakan penyebab kematian yang ke-10 terbesar di Amerika Serikat, dengan jumlah kasus sekitar 750.000 pertahun dan angka kematian rata-rata 28,6 %. Insidensinya diproyeksikan meningkat sekitar 1,5 % pertahun. Kerugian yang ditimbulkan diperkirakan mencapai US $ 22.000 per kasus. Data dari Center for Disease Control (CDC) USA menunjukkan peningkatan dari 82,7/100.000 penduduk tahun 1979 menjadi 240,4/100.000 penduduk
pada
tahun 2000. Penyebab kematian dari sepsis ini biasanya adalah kegagalan organ multipel (Multiple Organ Failure / MOF) yang sebelumnya didahului dengan adanya sindroma disfungsi organ multipel (Multiple Organ Dysfunction Syndrome / MODS). Di beberapa negara Eropa insidens MODS terjadi sekitar 15-27 % dari pasien yang masuk di unit perawatan intensif (Intensive Care Unit / ICU) dengan angka kematian sekitar 40 % untuk gangguan organ tunggal dan hampir 100 % untuk gangguan 3 organ atau lebih. Kombinasi gagal ginjal akut dan sepsis menghasilkan mortalitas 70 % dibandingkan 45 % mortalitas pada pasien gagal ginjal akut tanpa sepsis. (Balk et al, 2004; Dellinger et al, 2008; Qureshi and Rajah, 2008; Reinhart and 1 Universitas Sumatera Utara
2
Sakr, 2003; Shavdia, 2007). Sepsis, syok sepsis dan MODS banyak dijumpai setelah trauma, luka bakar dan infeksi biasa. Dasar utama dari mekanisme yang menyebabkannya adalah hipoksia jaringan yang
merusak
integritas
mukosa
gastrointestinal
dan
menyebabkan translokasi bakteri (gut origin). Sekarang telah diketahui bahwa berdasarkan patofisiologinya sepsis merupakan rangkaian interaksi yang kompleks antara inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis. Inflamasi adalah respon tubuh yang normal terhadap infeksi. Pada respon awal tubuh mengeluarkan mediator-mediator proinflamasi : Tumor Necrosis Factor (TNF)-α, Interleukine (IL)-1, IL-6, IL-8 dan Platelets Activating Factor (PAF). Berikutnya tubuh mengeluarkan mediator-mediator anti inflamasi (IL-4, IL-10) untuk melawan perubahan keseimbangan tersebut. Pada kondisi normal,dalam tubuh terdapat mekanisme lingkaran proses timbal balik (feed back) yang mengatur pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi dan anti-inflamasi tersebut, namun proses timbal balik ini pada sepsis mengalami gangguan. Mediator-mediator pro-inflamasi yang berlebihan inilah yang akan menyebabkan aktivasi respon sistemik terutama pada paruparu, hati, ginjal, usus dan organ lainnya sehingga dapat terjadi apoptosis, nekrosis jaringan, sepsis, sepsis berat, syok septik dan dapat berakhir dengan kematian (Balk et al, 2004; Dellinger et al, 2008; Qureshi and Rajah, 2008; Reinhart and Sakr, 2003;
Universitas Sumatera Utara
3
Shavdia, 2007). Ditingkat seluler ataupun molekuler saat ini dikenal komunikasi inter ataupun antar sel melalui berbagai jalur sinyal (signaling
pathway)
yang
menjelaskan
tentang
proses
pertumbuhan dan metabolisme yang terjadi baik dalam kondisi normal ataupun patologis. Salah satu jalur (pathway) yang berperan penting dalam pertumbuhan dan metabolisme sel dikenal adalah jalur sinyal Mammalian Target of Rapamycin (mTOR) Signaling Pathway, mTOR adalah suatu enzim serine / threonine kinase yang berperan dalam sejumlah proses seluler penting, misalnya sintesa dan translasi protein dengan cara memfosforilasi
molekul
-
molekul
lintasannya (Fang et al, 2001), protein
dibawah
(downstream)
sedangkan p70 ribosomal S6
Kinase (p70S6K) adalah suatu protein ribosom yang
berperan sama seperti mTOR dan kerjanya dapat dikendalikan oleh mTOR (Brown et al,1995). Pada kondisi sepsis jalur sinyal mTOR akan mengalami hambatan, akibatnya level ekspresi mTOR akan menurun. Gambaran level ekpresi mTOR pada kondisi normal lebih proksimal daripada p70S6K, maka untuk melihat level ekspresi mTOR dapat digunakan p70S6K sebagai penanda (Xu et al, 2010). Hingga saat ini
sepsis masih merupakan salah satu
penyebab kematian yang terbesar pada pasien yang dirawat di
Universitas Sumatera Utara
4
ICU dan sejauh ini juga masih merupakan penyulit yang paling sering timbul pada pasien-pasien sakit kritis. Meskipun telah terdapat banyak kemajuan dalam mengenal patofisiologi sepsis, ketersediaan uji-uji diagnostik yang lebih cepat, sensitif dan spesifik, pencegahan dan pengelolaan pasien sepsis di ICU masih merupakan tantangan yang berat bagi para ahli perawatan intensif (intensivist) (Dellinger et al, 2008; Maxwell et al, 2006). Di Indonesia, sejak di terbitkan panduan Surviving Sepsis Campaign (SSC) tahun 2004 sampai sekarang belum satupun
pedoman
yang
dibuat.
Sepenuhnya
Indonesia
menggunakan pedoman internasional saat ini, yaitu pedoman sepsis dari SSC dimana sudah dibuat revisi sampai 3 kali. Hal ini tentu
menjadi
tantangan
bagi
kita
di
Indonesia
untuk
menjawabnya. Hingga saat ini meskipun petunjuk penatalaksanaan (guidelines) sudah diterapkan pada
pasien-pasien sepsis,
insidens dan angka kematiannya masih juga tinggi hingga saat ini. Untuk itu
berbagai upaya terapi inovatif sedang dijajaki,
salah satunya adalah terapi menggunakan preparat hormon. Beberapa preparat hormon telah banyak dilakukan uji coba klinis pada penderita sepsis dalam upaya menurunkan mortalitas penderitanya (Griffiths, Hinds and Little, 1999). Salah
satu
upaya
yang
banyak
diteliti
adalah
penggunaan preparat hormon Somatotropin (Growth Hormone /
Universitas Sumatera Utara
5
GH) baik pemberian tunggal ataupun kombinasi dengan preparat hormon lainnya (Berghe, 2003, Vanhorebeek and Berghe 2004, 2006). Secara fisiologis menurut mekanisme kerjanya GH akan menstimulasi pembentukan Faktor Pertumbuhan Mirip Insulin (Insulin-Like Growth Factor-1 / IGF-1). Penelitian Balteskard et al, (1998); Berghe et al, (1999) and Hatton et al, (2006), menyimpulkan bahwa pemberian preparat hormon GH dan IGF1 pada sepsis bermanfaat untuk mengatasi proses katabolisme protein yang terjadi. Perubahan hormonal pada pasien kritis bisa berupa : adrenal insufisensi absolut atau relatif,
hiperglikemia akibat
insulin resistens, “Euthyroid Sick Syndrome”, serta keadaan katabolik. Peningkatan hormon pertumbuhan (GH) menurunkan kadar sitokin proinflamasi, sebaliknya sitokin proinflamasi IL-6 menghambat aktivitas hormon pertumbuhan dalam peningkatan pembentukan gen ekspresi pembentukan protein (Ahmed et al, 2007). Pengaruh hormon testosteron terhadap respon imun dapat ditunjukkan pada penelitian Van Eijk et al.(2007) yang menginjeksikan suatu dosis rendah lipopolisakarida (LPS) pada kelompok laki-laki maupun perempuan. Hasil pada kelompok perempuan menunjukan respon proinflammasi yang meningkat ditandai dengan tingginya level TNF-α dan interferon, serta meningkatnya ikatan LPS dengan protein yang dikaitkan dengan
Universitas Sumatera Utara
6
rendahnya kadar testosteron. Pemberian hormon testosteron akan meningkatkan kerja anabolik. Pemanfaatan efek anabolik preparat hormon testosteron
juga banyak diupayakan untuk
mengantisipasi proses katabolisme yang terjadi pada penderita sepsis ataupun syok sepsis (Berghe et al, 1999). Penelitian oleh Yeh et al, (2002) pada pasien-pasien Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) yang dirawat lama di ICU dan diberikan preparat hormon testosteron menunjukkan hasil yang baik dalam hal penyembuhan dan penambahan berat badan. Hingga
saat
ini
belum
ada
penelitian
yang
menggabungkan pemberian preparat hormon somatotropin dan testosteron untuk mendapatkan efek metabolik dan anabolik yang sinergis dan dapat memperbaiki fungsi organ organ, sehingga dapat meningkatkan survival penderita sepsis dan akhirnya akan menurunkan insidens dan angka kematiannya. Untuk membuktikan hal tersebut peneliti ingin mengetahui lebih jauh efek pemberian preparat hormon somatotropin dan atau testosteron terhadap survival pada kondisi sepsis yang akan dilakukan pada hewan coba tikus model sepsis.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan,
dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu : “ Apakah pemberian somatotropin dan atau testosteron dapat berpengaruhi terhadap survival tikus model sepsis yang ditandai
Universitas Sumatera Utara
7
dengan penurunan kadar penanda proinflamasi : IL-6, TNF-α dan peningkatan penanda metabolik : level ekspresi mTOR, p70S6K dan kadar prealbumin ? ”
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum Meneliti pengaruh pemberian somatotropin dan atau
testosteron terhadap tren survival tikus model sepsis yang ditandai dengan perubahan kadar penanda pro-inflamasi : IL-6, TNF-α dan penanda metabolik : level ekspresi mTOR, p70S6K dan kadar prealbumin yang diuji secara serial pada hari keempat (H-4), kesebelas (H-11) dan kedelapan belas (H-18).
1.3.2
Tujuan khusus 1. Meneliti pengaruh pemberian somatotropin dan atau testosteron terhadap kadar penanda pro-inflamasi : TNF-α dan IL-6 pada tikus model sepsis yang diuji secara serial pada hari keempat (H-4), kesebelas (H11) dan kedelapan belas (H-18). 2. Meneliti pengaruh pemberian somatotropin dan atau testosteron terhadap penanda metabolik : level ekspresi mTOR, p70S6K dan kadar prealbumin pada tikus model sepsis yang diuji secara serial pada hari keempat (H-4), kesebelas (H-11) dan kedelapan belas (H-18).
Universitas Sumatera Utara
8
3. Meneliti pengaruh pemberian somatotropin dan atau testosteron terhadap tren survival tikus model sepsis.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan landasan
teori dan pengetahuan untuk penelitian lanjutan pada manusia, bahwa pemberian somatotropin dan atau testosteron dapat berpengaruh terhadap tren survival pasien pasien sepsis.
1.4.2
Manfaat praktis Pemberian somatotropin dan atau testosteron dapat
digunakan pada kasus-kasus penderita sepsis dalam upaya meningkatkan survival pasien sepsis yang masih rendah hingga saat ini, yang ditandai dengan penurunan kadar penanda proinflamasi (IL-6, TNF-α) dan peningkatan penanda metabolik (level ekspresi mTOR, p70S6K dan kadar prealbumin), apabila penelitian lanjutan terhadap manusia terbukti tren ke arah itu.
1.5
Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) 1. Dari penelitian ini akan dapat diketahui bahwa pemberian somatotropin dan atau testosteron akan berpengaruh terhadap kadar penanda pro-inflamasi ; IL-6 dan TNF-α, dan penanda metabolik ; level
Universitas Sumatera Utara
9
ekspresi m-TOR, p70S6K serta kadar prealbumin pada tikus model sepsis. 2. Dari penelitian ini akan dapat diketahui bahwa perubahan kadar penanda pro-inflamasi ; IL-6 dan TNF-α, dan penanda metabolik ; level ekspresi mTOR, p70S6K dan kadar prealbumin dapat menjadi panduan bagi para peneliti selanjutnya dalam menentukan diagnosis, prognosis dan terapi sepsis. 3. Dari penelitian ini akan dapat diketahui bahwa pemberian somatotropin dan atau testosteron akan berpengaruh terhadap tren survival tikus model sepsis.
Universitas Sumatera Utara