1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyakit TBC merupakan penyakit menular yang meyebabkan kematian, dan merupakan penyebab kematian ketiga di Indonesia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 penyakit TBC merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, bahkan peringkat pertama penyebab kematian penyakit menular. Jumlah pasiennya sekitar 500.000 orang/tahun dengan kematian sekitar 175.000/tahun, khususnya di daerah pedesaan miskin dan daerah kumuh perkotaan yang rawan kuman (Depkes, 2005). Di negara Industri di seluruh dunia, angka kesakitan dan kematian akibat penyakit TBC menunjukan penurunan. Tetapi sejak tahun 1980-an , grafik menetap dan meningkat di daerah dengan prevalens HIV tinggi. Morbiditas tinggi biasanya terdapat pada kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi rendah dan prevalensi lebih tinggi pada daerah perkotaan dari pada pedesaan. WHO memperkirakan terjadi kasus TBC sebanyak 9 juta per tahun di seluruh dunia pada tahun 1999, dengan jumlah kematian sebanyak 3 juta orang/tahun. Dari seluruh kematian tersebut 25% terjadi di negara berkembang. Sebanyak 75% dari penderita berusia 15 – 50 tahun. WHO menduga kasus TBC di Indonesia merupakan nomor 3 terbesar di dunia
2
setelah Cina dan India. Prevalents TBC secara pasti belum diketahui. Asumsi prevalensi BTA (+) di Indonesia adalah 130 per 100.000 penduduk. WHO menyatakan 22 negara dengan beban TBC tertinggi di dunia 50% nya berasal dari negara–negara Afrika dan Asia serta Amerika (Brasil). Hampir semua negara ASEAN masuk dalam kategori 22 negara tersebut kecuali Singapura dan Malaysia. Dari seluruh kasus di dunia, India menyumbang 30%, China 15%, dan Indonesia 10%. Penyakit ini menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin, serta mulai menambah tidak hanya pada golongan sosial ekonomi rendah saja. Profil kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan presentasi penderita TBC terbesar adalah usia 25 – 34 tahun (23,67%), diikuti 35 - 44 tahun (20,46%), 5 – 24 tahun (18,08%), 45 – 54 tahun (17,48%), 55 – 64 tahun (12,32%), lebih dari 65 tahun (6,68%), dan yang terendah adalah 0 – 14 tahun (1,31%). Gambaran di seluruh dunia menunjukan bahwa morbiditas dan mortalitas meningkat sesuai dengan bertambahnya umur dan pada pasien berusia lanjut ditemukan bahwa penderita laki–laki lebih banyak dari pada wanita. Laporan dari seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2002 menunjukan bahwa dari 76.230 penderita TBC BTA (+) terdapat 43.294 laki – laki (56,79%) dan 32.936 perempuan (43,21%). Seperti diketahui bahwa penderita TB paru sudah lama terdapat di dunia. Bakteri ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tanggal 24 maret 1882. Bakteri berpindah dari orang ke orang yang menimbulkan akibat yang dapat merugikan penderita, keluarga dan masyarakat yang ada disekitarnya,
3
juga karena kurang adanya pengertian dari masyarakat mengenai penyakit TB Paru sehingga sering merugikan penderita TB. Faktor negatif ini bisa disebabkan oleh rasa takut yang berlebihan yang masih ada sampai sekarang. Menurut profil kesehatan Kabupaten Kebumen hasil SURKESNAS 2001, TB Paru menempati urutan ke tiga penyebab kematian umum, selain menyerang paru, tuberculosis dapat menyerang organ lain (ekstra pulmonary). Dari data yang berhasil dikumpulkan menunjukan kasus BTA (+) pada kohort 2008 sebanyak 552 orang dan yang telah sembuh menurut catatan kohort mulai bulan januari sampai desember 2008 sebanyak 493 orang ( 89,15%). Berdasarkan Profil Puskesmas Sempor I, Wilayah Kerja Puskesmas Sempor I hanya membawaih 10 desa diantaranya desa Jati Negara, Sempor, Beji Ruyung, Selokerto, Sidoharum, Tunjung Seto, Kali Beji, Sampang dan Donorejo. Secara Geografis letak Puskesmas Sempor I tidak terlalu sulit dijangkau dengan kendaraan roda empat / kendaraan umum karena letaknya dekat dengan pasar dan komplek perkantoran di Kecamatan. Jumlah Penduduk 51,152 jiwa. Lokasi Puskesmas yaitu di Jalan Raya Jatinegara. Batas Wilayah Puskesmas Sempor I : 1. Sebelah Utara: Wilayah Kab.Banjarnegara 2. Sebelah Timur: Wilayah Kerja Puskesmas Sempor II 3. Sebelah Selatan: Wilayah Kerja Puskesmas Gombong II 4. Sebelah Barat: Wilayah Kerja Puskesmas Rowokele
4
Adapun program-program TB yang dilakukan di Puskesmas Sempor I meliputi : a.
Kunjungan rumah untuk pasien baru, pasien yang sudah sembuh dan pasien yang putus dalam berobat.
b.
Kontak treacing yaitu pemeriksaan orang-orang yang ada disekitar penderita.
c.
Penyuluhan di Posyandu, di rapat koordinasi masyarakat desa.
d.
Refresing kader kesehatan. Dari hasil studi pendahuluan di Puskesmas Sempor I di peroleh data klien
yang terkena TB Paru positif terdapat 30 orang sedang dalam masa pengobatan, berdasarkan data puskesmas Sempor I. Penyakit TB Paru merupakan salah satu penyakit yang ditakuti oleh masyarakat sehingga masyarakat sering tidak menerima keberadaan dan cenderung untuk mengucilkannya padahal masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu penderita TB Paru dimana sikap masyarakat
mempunyai
pengaruh
terhadap
pembentukan
perilaku
masyarakat. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi. Dalam rangka mencapai tujuan umum pembangunan kesehatan yaitu untuk mencapai derajat kesehatan yang sebaik–baiknya. Maka pemerintah mengusahakan pelayanan yang lebih luas, merata, dan terjangkau oleh
5
masyarakat yang berpenghasilan rendah di desa ataupun di kota, juga peran serta aktif dari masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas khususnya di bidang penyakit TB Paru dirasakan perlunya peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangannya. Peran serta misalnya dengan tidak mengucilkan penderita dan memberikan motivasi untuk berobat. Dengan demikian rasa takut yang berlebihan pada penyakit TB Paru dapat dicegah dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan penyakit TB Paru dapat di tingkatkan, di lain pihak para penderita TB Paru tidak lagi merasa rendah diri dan dapat pemeriksaan diri atau berobat secara teratur pada fasilitas kesehatan yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Masyarakat yang sadar akan bahaya penyakit TB Paru dan mengetahui cara penularannya serta akibat yang ditimbulkan dari penyakit TB Paru akan sangat membantu dalam keberhasilan program pemberantasan penyakit TB Paru. Sikap perilaku dan pengetahuan masyarakat yang baik, bisa membantu penderita dan keluarga akan dapat meningkatkan kepercayaan klien TB Paru untuk melakukan pemeriksaan secepatnya bila mengetahui adanya tanda gejala TB Paru yang dilihatnya. Begitu pula bagi penderita TB Paru bila tanggapan pada penyakit TB Paru baik, maka penderita akan melakukan pengobatan, sampai penderita dinyatakan sembuh oleh petugas kesehatan. Dilihat dari latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul : “Gambaran Pengetahuan dan Sikap
6
klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya di Puskesmas Sempor 1 Kebumen.” B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian diatas maka penulis merumuskan masalah penelitian yaitu “Bagaimanakah gambaran pengetahuan dan sikap klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya di Puskesmas Sempor I Kebumen ?”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan dan Sikap klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya di Puskesmas Sempor I Kebumen. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya di Puskesmas Sempor I Kebumen. b. Untuk mengetahui Gambaran Sikap klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya di Puskesmas Sempor I Kebumen. D. Manfaat Penelitan 1. Bagi Mahasiswa Sebagai informasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan tentang TB Paru pada jurusan ilmu keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhamadiyah Gombong.
7
2. Bagi Puskesmas Memberi masukan pada pelaksana program pemberantasan penyakit TB Paru khususnya dalam meningkatkan mutu pelayanan di Puskesmas Sempor I Kebumen. 3. Bagi Pasien Sebagai sumber motivasi dan informasi serta promosi kesehatan tentang penyakit TB Paru. 4. Bagi Peneliti Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya tentang bagaimana penanganan klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya. E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis, penelitian ini belum pernah dilakukan di Puskesmas Sempor 1 Kebumen. Namun ada beberapa penelitian di tempat lain sebelumnya yang hampir sama dengan penelitian ini, antara lain : 1. Penelitian oleh Hariza (2006) dengan judul “Hubungan Kondisi Rumah Dengan Penyakit TBC Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2003-2006”. Jenis Penelitian ini merupakan penelitian observasional mengunakan case control study (penelitian kasus pembanding), yang hasilnya akan dianalisa secara deskriptif dan analitik. Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa :
8
Pertama, ada Hubungan Kondisi Rumah dengan Penyakit TBC Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2003-2006. Kedua, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang langit-langit rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 5 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang langitlangit rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Ketiga, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang dinding rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 6 - 7 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang dindingnya memenuhi syarat kesehatan. Keempat, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 3 - 4 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang lantainya memenuhi syarat kesehatan. Kelima, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang jendela kamar tidurnya tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 6 - 7 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang jendela kamar tidurnya memenuhi syarat kesehatan.
9
Keenam, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang jendela ruang keluarganya tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 7 - 8 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang jendela ruang keluarganya memenuhi syarat kesehatan. Ketujuh, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 5 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang ventilasinya memenuhi syarat kesehatan. Kedelapan, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang lubang asap dapurnya tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 4 -5 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang lobang asap dapurnya memenuhi syarat kesehatan. Kesembilan, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang pencahayaan rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko terkena TBC Paru sebesar 9 kali lebih tinggi jika dibanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang pencahayaan rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Kesepuluh, besarnya risiko penghuni rumah penderita TBC Paru maupun pembanding yang penguninya padat mempunyai risiko terkena
10
TBC Paru sebesar 1 kali atau sebanding pada penduduk yang tinggal pada rumah yang penghuninya tidak padat. Persamaan dalam penelitian ini adalah pada sasaran penelitian yaitu penderita TB paru. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya, jenis penelitian deskriptif kuantitatif, dengan pendekatan survey, sedangkan pada penelitian yang di lakukan oleh Hariza (2006) bertujuan untuk mengetahui hubungan kondisi rumah dengan penyakit TB Paru, jenis penelitiannya merupakan observasi menggunakan case control study (penelitian kasus pembanding), selain itu penelitian ini juga mempunyai perbedaan dalam hal lokasi penelitian, waktu penelitian. 2. Penelitian oleh Murtiwi (2006) dengan judul “Keberadaan Pengawas Minum Obat (PMO) Pasien Tuberkulosis Paru di Indonesia”. Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang menyebabkan kematian, dan merupakan penyebab kematian ketiga di Indonesia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, TBC merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, bahkan peringkat pertama penyebab kematian penyakit menular. Jumlah pasien sekitar 500.000 orang/tahun dengan kematian sekitar 175.000/ tahun, khususnya didaerah pedesaan miskin dan daerah kumuh perkotaan yang rawan kuman (Depkes
11
RI 2005). Sampai saat ini diseluruh Indonesia program penanggulangan penyakit TBC masih tinggi. Oleh karena itu, masalah kepatuhan pasien dalam menyelesaikan program pengobatan merupakan prioritas paling penting. Desain penelitian adalah penelitian analitik dengan tekhnik potong lintang. Pada desain penelitian ini informasi mengenai perilaku kepatuhan pasien Tuberkulosa Paru diperoleh secara bersamaan dengan daya perilaku yang lain. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa keberadaan PMO terhadap kepatuhan berobat pasien TBC paru tidak efektif, hal in ditunjukan oleh data 66,6% pasien tidak pernah diingatkan minum obat, 98,5% tidak diawasi saat menelan obat. Pasien berpendapat bahwa tidak perlu ada PMO. Hasil penelitian menunjukan bahwa pasien memiliki potensi untuk diberdayakan, oleh karena itu temuan ini membuktikan pentingnya pemerdayaan masyarakat yang dapat diawali dengan memfasilitasi terbentuknya kelompok pasien TBC. Persamaan dengan penelitian ini adalah sarana penelitian yaitu penderita TB Paru. Perbedaan dari penelitian ini adalah penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap klien dalam menghadapi proses penyakitnya, jenis penelitian deskriptif kuantitatif, dengan pendekatan survey, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Murtiwi (2006) bertujuan untuk mengetahui Keberadaan Pengawas minum obat (PMO) pasien Tuberkulosis Paru di Indonesia, desain penelitian merupakan penelitian analitik dengan tekhnik potong lintang, selain itu
12
penelitian ini juga mempunyai perbedaan dalam hal lokasi penelitian, waktu penelitian. 3. Penelitian oleh Susetyo (2011) dengan judul “Hubungan pengetahuan tentang penyakit TBC dengan Kecemasan pada penderita TBC di Puskesmas Kertasura”. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Metode yang digunakan adalah non experimental dengan rancangan deskriptif korelatif. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah pasien yang didiagnosa dokter sudah menderita TBC dan sedang di rawat di puskesmas Kartasura. Sebanyak 30 orang responden. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan pengetahuan tentang penyakit TBC dengan kecemasan pada penderita TBC di Puskesmas Kartasura. Hasil penelitian menunjukkan 10 responden (33,3%) memiliki pengetahuan rendah, 8 responden (26,7%) dengan pengetahuan cukup, dan 12 responden (40%) dengan pengetahuan tinggi. Dari data kecemasan diperoleh hasil 16 responden (53,3%) dengan cemas ringan dan 14 responden (46,7%) dengan cemas sedang. Hasil uji korelasi korelasi Kendall tau t menunjukkan nilai r = -0,128 dengan p = 0,366, sehingga disimpulkan tidak ada hubungan pengetahuan tentang penyakit TBC dengan kecemasan pada penderita TBC di Puskesmas Kartasura. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada sasaran penelitian yaitu penderita TB Paru dan jenis penelitian kuantitatif.
13
Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap klien TB Paru dalam menghadapi Proses Penyakitnya, Jenis penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan survey, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Nasiin Tri Susetyo (2011) yang bertujuan mengetahui hubungan pengetahuan penyakit TBC dengan kecemasan pada penderita TBC di Puskesmas Kartasura. Metode yang digunakan adalah non experimental dengan rancangan deskriptif korelatif. Selain itu penelitian ini juga mempunyai perbedaan dalam hal lokasi penelitian, waktu penelitian.
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori 1. Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007). Menurut Taufik, dalam bukunya Notoatmojo 2007, pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). Penelitian Rogers (1974) dalam Notoadmojo (2003), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : a. Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
15
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul. c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. d. Trial dimana subjek mulai mencoba untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. e. Adoption dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Pengetahuan yang lebih menekankan pengamatan dan pengalaman inderawi dikenal sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Pengetahuan ini bisa didapatkan dengan melakukan pengamatan dan observasi yang dilakukan secara empiris dan rasional. Pengetahuan empiris tersebut juga dapat berkembang menjadi pengetahuan deskriftif bila seseorang dapat melukiskan dan menggambarkan segala ciri, sifat dan gejala yang ada pada objek empiris tersebut. Pengetahuan empiris juga bisa didapatkan melalui akal budi yang kemudian dikenal sebagai rasionalisme. Rasionalisme lebih menekankan pengetahuan yang bersifat apriori, tidak menekankan pada pengalaman (Meliono,dalam bukunya Notoatmojo 2003)
16
Pengetahuan merupakan proses kognitif dari seseorang atau individu untuk memberi arti terhadap lingkungan, sehingga masing-masing individu akan memberi arti sendiri-sendiri terhadap stimuli yang diterimanya meskipun stimuli itu sama. Pengetahuan merupakan aspek pokok untuk mengubah perilaku seseorang yang disengaja (Nurhidayati, dalam bukunya Notoatmojo 2003). a. Tingkatan Pengetahuan Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan (Notoatmodjo, 2003) yaitu : 1) Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari
antara
lain
menyebutkan,
menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. 2) Memahami (comprehension) Memahami
diartikan
sebagai
suatu
kemampuan
untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
17
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. 3) Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4) Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,
seperti
dapat
menggambarkan
(membuat
bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. 5) Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasiformulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan,
18
dapat meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. 6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. b. Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu (Notoatmodjo, 2007): 1)
Pendidikan. Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan
pendidikan
dimana
diharapkan
seseorang
dengan
pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang
19
berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu obyek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari obyek yang diketahui, akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek tersebut. Pembagian tingkat pendidikan di Indonesia menurut Depdiknas (2003), pendidikan dapat dibagi menjadi : a) Pendidikan formal yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terjadi atas pendidikan dasar menegah dan pendidikan tinggi. Pendidikan formal dibagi menjadi : (1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) / Madrasah Ibtidaiyah) atau sederajat, dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) / Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang sederajad. (2) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan
dasar. Pendidikan menegah berbentuk Sekolah Menengah Atas
(SMA).
sederajatnya.
Madrasah
Aliyah
(MA)
atau
yang
20
(3) Pendidikan tinggi merupakan jenjang setelah menengah
yang mencakup pendidikan Diploma, Sarjana, Magister, Spesialis dan Dokter yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi (PT). b) Pendidikan
non
formal
yaitu
jalur
pendidikan
diluar
pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. c) Pendidikan
informal
yaitu
pendidikan
keluarga
dan
lingkungan. Pendidikan merupakan proses pengoperasian secara urut mengenai pengetahuan, ide-ide, dari satu pihak ke pihak lain yang menyebabkan seseorang memilki cakrawala yang luas, maka akan terjadi perubahan-perubahan pada diri seseorang baik perilaku dalam berfikir, sikap mental, maupun nilai-nilai, maka yang demikian diharapkan semakin tinggi pengabdian masyarakat, maka semakin mudah masyarakat untuk mengubah tingkah laku. 2)
Mass media / informasi. Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk
21
media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lainlain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal
memberikan landasan
kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut (Notoatmodjo, 2007). 3)
Sosial budaya dan ekonomi. Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui
penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk.
Dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2007). 4)
Lingkungan. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan
22
direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu (Notoatmodjo, 2007). 5)
Pengalaman. Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan
memberikan
pengetahuan
dan
keterampilan
professional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan
kemampuan
mengambil
keputusan
yang
merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya (Notoatmodjo, 2007). 6)
Usia. Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. (Notoatmodjo, 2007).
c. Pengukuran Tingkat Pengetahuan Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau kuesioner yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.
23
Skala pengetahuan ini menggunakan data kuantitatif yang berbentuk orang-orang yang menggunakan alternatif jawaban yang menggunakan peringkat yaitu setiap kolom menunjukkan nilai tertentu. Dengan demikian analisa dilakukan dengan mencermati benar atau salahnya jawaban yang dipilih oleh responden. Prosedur perskala (scalling) yaitu penentuan pemberian angka atau skor yang harus diberikan pada setiap jawaban. Untuk Nilai jawaban yang “Benar” diberi nilai 1 (satu), dan untuk jawaban yang “Salah” diberi nilai 0 (nol). Pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu : 1)
Baik
: Hasil presentase 76-100%
2)
Cukup : Hasil presentase 56-75%
3)
Kurang : Hasil presentase < 56% (Arikunto, 2006).
2. Sikap / Attitude Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap adalah keadaan mental dan syaraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya (Widayatun,1999). Sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak ( Purwanto, 1999). Jadi sikap senantiasa terarah terhadap sesuatu hal, suatu objek, tidak ada sikap yang tanpa obyek.
24
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan
tertentu
sebagai
suatu
penghayatan
terhadap
objek.
Allport,1959 menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yaitu: a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (final to behave). Ketiga komponen secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Ada 4 (empat) tingkatan dalam sikap, yaitu : 1)
Menerima (Receiving) Diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
2)
Merespon (Responding) Memberikan
jawaban
apabila
ditanya,
mengerjakan,
dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
25
3)
Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
4)
Bertanggung Jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah diplihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Sikap dapat dibentuk atau berubah melalui 4 macam cara : a) Adopsi
: Kejadian-kejadian yang berulang-ulang dan terus–
menerus, lama kelamaan secara bertahap diserap kedalam diri individu dan mempengaruhi terbentuknya sikap. b) Deferensiasi :
Dengan
berkembangnya
intelegensi,
bertambahnya pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-hal yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri lepas dari jenisnya. Terdapat objek tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula. c) Integrasi : Pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap, dimulai dengan
berbagai pengalaman yang berhubungan
dengan satu hal tertentu. d) Trauma : Pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan yang meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa yang bersangkutan. Mengukur sikap seseorang adalah berupaya menempatkan posisinya dalam suatu rentang afektif yang berkisar dari sikap
26
sangat positif dan hingga negatif terhadap suatu objek sikap. Sikap dapat diukur dengan melakukan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian. Prosedur perskala (scalling) yaitu penentuan pemberian angka atau skor yang harus diberikan pada setiap jawaban. Untuk nilai jawaban sikap favourable dengan Sangat setuju diberi nilai 4, Setuju nilai 3, Tidak setuju nilai 2, Sangat tidak setuju nilai 1, nilai jawaban sikap unfavourabel dengan sangat tidak setuju nilai 4, Tidak setuju nilai 3, Setuju nilai 2, Sangat setuju 1, Sikap seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu : 1) Sangat Baik
: Hasil presentase 76-100%
2) Baik
: Hasil presentase 51-75%
3) Tidak Baik
: Hasil presentase 26-50%
4) Sangat Tidak Baik
: Hasil presentase 0-25%
3. Gambaran Umum Penyakit TB Baru a. Pengertian Penyakit Tuberculosis paru atau yang sering disingkat TB Paru atau TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman mikrobakterium tuberculosis. Kuman ini merusak jaringan paru secara pelan-pelan. Paru ialah bagian tubuh yang terdapat dalam rongga dada. Paru berbentuk seperti jala berguan sebagai alat bernafas. Kuman
27
mikrobacterium tuberculosis berwarna merah sangat kecil hanya bisa dilihat dengan mikroskop. Adapun bentuknya seperti berikut : Kuman ini selain dapat menyerang paru juga sering menyerang tulang, sendi, usus, selaput otak dan kelenjar limfe. (Depkes, 2002) Tubeculosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh microbacterium kuman TBC yang masuk ke udara lewat cairan dari mulut atau hidung penderita saat mereka batuk, bersin atau bicara. Sedikit saja kuman terhirup, mampu membuat seseorang terinfeksi TBC (Depkes RI,2005). Dari kedua pendapat tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh microbacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat dapat menyerang seluruh organ, terutama paru-paru. Penyakit ini ditularkan melalui inhalasi percikan ludah yang mengandung bakteri tuberkulosis. b. Penyebab Penyakit TB paru disebabkan oleh microbacterium tuberkulosis yaitu bakteri batang yang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan oleh karena itu disebut BTA (Basil Tahan Asam). Kuman tersebut mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar fecal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Bakteri ini mati pada pemanasan 100°C selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60°C
28
selama 30 menit, dan dengan alcohol 70-95 % selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara. Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam. c. Patofisiologi 1) Infeksi Primer Infeksi Primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4–6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada
29
beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dorman (tidur).
Kadang–kadang
daya
tahan
tubuh
tidak
mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit diperkirakan sekitar 6 bulan. 2) Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB) Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberculosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Kontak erat, kontak yang relatif erat antara penderita TB Paru BTA (+) dengan orang– orang sehat yang ada di sekitarnya akan mempercepat adanya penularan, sehingga hal ini menjadi faktor resiko terjadinya TB paru yang penting, terutama jika sumber ini tidak terobati. Penderita TB Paru yang tidak di obati, menurut pernyataan WHO 50% akan meninggal setelah 5 tahun, 25% akan sembuh dengan sendirinya dengan daya tahan tubuh yang tinggi, 25% akan menjadi penderita kronik sebagai carier. Banyak dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa kontak di infeksi oleh kasus indeks sebelum kasus itu di diagnosa dan di obati. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
30
terjadinya infeksi pada orang yang pernah kontak dengan penderita TB Paru, yakni : a) Di ketahuinya reaksi tes kulit positif pada penderita TB Paru sebelum kontak dengan orang sehat akan mengurangi resiko keterpajanan. b) Infeksi akan terjadi lebih besar jika hubungan kontak dengan penderita TB Paru meningkat. c) Infeksi akan mungkin terjadi karena adanya hubungan yang erat antara penderita dengan kontak. d. Manifestasi klinis 1) Manifestasi klinis penderita TBC Secara umum batuk terus menerus dan berdahak selama 3 ( tiga ) minggu atau lebih. Sedangkan gejala lain yang sering dijumpai : a) Dahak bercampur darah b) Batuk darah c) Sesak nafas dan rasa nyeri dada d) Badan lemah e) Nafsu makan menurun f) Berat badan menurun g) Rasa kurang enak badan (malaise) h) Berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan i) Demam meriang lebih dari sebulan
31
Gejala–gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain tuberculosis. Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas harus dianggap sebagai seorang “Suspek Tuberculosis” atau tersangka penderita TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung. Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan penyakit Tuberkulosis Paru : (1) Kontak penderita Tuberculosis Paru Microbakterium tuberculosis yang berjuta-juta banyaknya yang berasal dari dahak yang mengering, berterbangan dengan debu-debu di udara dan dihirup yang akan menambah jumlah penderita. Meningkatnya jumlah penderita penyakit TB paru disebabkan adanya kontak antara sumber penularan dan orang yang rentan dalam masyarakat yang didukung dengan adanya sarana yang mempermudah seorang terjadinya kontak dengan penderita. Kerentanan ini terjadi karena daya tahan tubuh yang rendah yang disebabkan gizi yang buruk. (2) Status Gizi Kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (18 tahun ke atas) merupakan masalah penting karena selain mempunyai resiko penyakit-penyakit tertentu juga dapat mempengaruhi
produktivitas
kerja.
Oleh
karena
itu
pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan oleh setiap orang
32
secara berkesinambungan. Orang dengan status gizi kurang baik akan mengakibatkan produksi antibody dan limfosit terhambat, sehingga proses penyembuhan menjadi terhambat. Pencegahan penyakit TB paru dan pemulihan kembali penderita dalam keadaan sehat dibutuhkan makanan yang bergizi yang mengandung karbohidrat, pritein, lemak, vitamin maupun mineral dalam jumlah yang cukup dan perbandingan seimbang. (3) Pendidikan Tingkat pendidikan diperoleh seseorang dari bangku sekolah dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang. Makin tinggi
tingkat
pendidikan
seseorang
makin
tinggi
pengetahuannya tentang kesehatan terutama dalam upaya pencegahan penyakit seperti penyakit TB paru. Keterbatasan untuk memperoleh pendidikan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan serta upaya pencegahan penyakit.
Pada
kelompok
masyarakat
dengan
tingkat
pendidikan yang rendah pada umumnya dengan status ekonomi rendah pula sehingga slit untuk menyerap informasi mengenai mencukupi diperlukan.
kesehatan gizi
dan
di
samping
pengadaan
tidak sarana
mampu sanitasi
untuk yang
33
(4) Penghasilan Secara ekonomi, penyebab utama berkembangnya kumankuman tuberculosis di Indonesia disebabkan karena masih rendahnya pendapatan per orang, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi serta hal-hal ini yang menyangkut buruknya lingkungan seperti keadaan perumahan yang kurang sesuai dengan kaidah kesehatan, keadaan sanitasi yang masih kurang sempurna dan lain sebagainya. (5) Kebiasaan merokok Merokok merupakan faktor resiko yang paling penting untuk terjadinya TB paru oleh bahan-bahan karsinogenik yanga ada dalam asap rokok. Dalam jangka panjang yaitu 1020 tahun pengaruh resiko merokok terhadap TB paru, bila merokok 1-10 batang per hari meningkatkan resiko 15 kali, bila merokok 20-30 batang per hari meningkatkan resiko 40-50 kali, faktor yang erat hubungannya untuk terjadinya infeksi basil tuberculosis adalah salah satunya adanya bahan toksis yaitu merokok. (6) Sanitasi perumahan Hygiene dan sanitasi lingkungan adalah pengawasan linngkungan fisik, biologis dan ekonomis yang mempengaruhi kesehatan
manusia,
dimana
lingkungan
yang
berguna
ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan
34
diperbaiki
atau
dihilangkan.
Pemukiman
yang
sehat
dirumuskan sebagai tempat tinggal secara permanen, berfungsi sebagai tempat berlindung dari pengaruh lingkungan yang memenuhi persyaratan fisiologis, psikologis, bebas dari penularan penyakit dan kecacatan. Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya di dalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusak mata. Pencahayaan yang baik bagi tiap-tiap tempat mempunyai standar yang berbeda-beda sesuai dengan peruntukan tempat tersebut. Untuk kamar keluarga dan tidur, standar cahaya alami yang optimal adalah 60-120 lux. Cahaya dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : (a) Cahaya alami yakni matahari. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri pathogen di dalam rumah seperti baksi TBC. (b) Cahaya buatan yaitu menggunakana sumber cahaya yang bukan alamiah seperti lampu minyak tanah, listrik dan sebagainya.
35
e. Pemeriksaan penunjang 1) Pemeriksaan Bakteriologis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menetukan potensi penularan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam 2 hari kunjungan yang berurutan berupa sewaktu–pagi–sewaktu
(SPS).
Pemeriksaan
dahak
dengan
mikroskopik merupakan inti dari penegakan diagnosis TB paru. Pemeriksaan dahak secara mikrokopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien mudah dan murah, hampir setiap unit laboratorium dapat melaksanakannya. Basil baru kelihatan bila jumlah kuman paling sedikit 5.000 kuman dalam satu mili liter dahak (Depkes RI, 2001). Untuk mengetahui secara pasti, penderita penyakit Tuberculosis paru, harus dilakukan pemeriksaan terhadap dahak (cairan dari paru) di laboratorium dengan mikroskop. Dahak ( cairan dari dalam paru ) diambil 3 kali selama 2 hari yaitu : a) Dahak sewaktu datang di Puskesmas atau rumah sakit. b) Dahak pagi hari ketika bangun tidur. c) Dahak sewaktu datang ke puskesmas atau rumah sakit pada hari kedua.
36
2) Pemeriksaan Radiologi Untuk melengkapi dapat dilakukan pemeriksaan tambahan Foto Rontgent Paru, dari foto akan dapat dilihat bagian-bagian yang diserang. Orang yang dianggap sebagai penderita penyakit tuberculosis paru yaitu orang yang pada pemeriksaan dahaknya dua diantara 3 kali pemeriksaan terlihat kuman mikrobakterium tuberculosis di mikroskop, dengan ciri-ciri berwarna merah, berbentuk batang yang berlekuk-lekuk seperti ulat. Cara mengeluarkan dahak adalah minum air teh manis 1 gelas, jalan-jalan atau naik turun tangga, berjemur di panas matahari, minum obat gliseril gwayakolat 1 gelas, kemudian batukkan yang dalam, maka akan keluarlah dahak dari dalam paru. Sebenarnya tidak ada pola rontgen yang khas untuk menggambarkan penyakit TB Paru. 10-15% dari penderita TB Paru yang pasti (dengan biakan positif) tidak terdetreksi pada rontgen. 50% dari penderita yang didiagnosis TB Paru melalui rontgen, ternyata bukan TB paru. Kesimpulannya X-Ray ternyata tidak reliable untuk diagnosis dan monitoring pengobatan TB paru. f. Diagnosis Penyakit Tuberculosis Paru Hal-hal yang diperlukan untuk menegakan diagnosis TB Paru yaitu : gambaran klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan radiologik.
37
1) Gambaran klinis tuberculosis paru yaitu gejala sistemik dan gejala respiratorik. Gejala sistemik seperti demam dapat mencapai suhu 4041°C dengan malaise. Gejala respiratorik seperti batuk, batuk berdahak sesak nafas, nyeri dada. 2) Pemeriksaan fisik Pada daerah lesi terdengar suara ronkhi basah halus waktu inspirasi dalam yang diikuti ekspirasi dalam. 3) Gambaran radiologi Karakteristik penyakit tuberculosis paru : a) Apabila lesi terdapat terutama di lapangan atas paru. b) Bayangan berawan atau bercak. c) Terdapat kavitas tunggal atau multiple. d) Terdapat klasifikasi. e) Lesi bilateral terutama pada lapangan atas paru. f) Bayangan abnormal yang menetap pada foto toraks setelah foto ulang beberapa minggu kemudian. 4) Pemeriksaan Laboratorium Diagnosa pasti ditegakkan bila pada biakan ditemukan kuman tuberculosis. Diagnosis Tuberkulosis pada orang dewasa. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua atau tiga specimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang
38
positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. a) Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. b) Kalau hasil rontgen tidak mendukung, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi. Apabila fasilitas
memungkinkan,
maka
dapat
dilakukan
pemeriksaan lain, misalnya biakan. Bila ketiga specimen dahak hasilnya negative, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. (1) Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. (2) Kalau hasil SPS tetap negative, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis. g. Pengobatan Tuberkulosis 1) Jenis dan dosis OAT a) Iosianid (H) Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolic aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang
39
dianjurkan 5 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB. b) Rifampsin (R) Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10mg/ kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu. c) Pirasinamid (Z) Bersifat bakteriasid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB. d) Streptomisin (S) Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari. e) Etambutol (E) Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.
40
2) Prinsip Pengobatan Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6 – 8, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Observed Treatment) oleh seorang Pengawas menelan Obat (PMO ). a) Tahap Intensif Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif, menjadi BTA negative (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. b) Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
41
penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. c) Panduan obat OAT di Indonesia Jenis OAT yang tersedia di Indonesia ada tiga kategori yaitu : (1) Kategori 1 (2HRZE / 4H3R3) Artinya selama 3 bulan tahap intensif penderita setiap hari minum obat Isoniasid (H), Rifampicin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) atau disingkat 2HRZE. Tahap lanjutan penderita minum obat selama 4 bulan Isoniasd (H) 3 hari perminggu, Rifampicin (R) 3 hari perminggu atau disingkat 4H3R3. Kategori ini di berikan pada penderita baru dan sakit berat. (2) Kategori 2 (2HRZES / 1HRZE / 5H3R3E3) Artinya selama 2 bulan
tahap intensif penderita setiap
hari minum obat Isoniasid (H), Rifampicin (R), Pirasinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan Streptomicin (S) atau disingkat 2HRZES. Dilanjutkan Isoniasid (H), Rifampicin (R), Pirasinamid (Z), Etambutol (E) setiap hari selama 1 bulan disingkat HRZE. Tahap lanjutan penderita minum obat selama 5 bulan Isoniasid (H) 3 hari perminggu atau disingkat 5H3R3E3. Kategori ini diberikan pada penderita kambuh, gagal dan lalai.
42
(3) Kategori 3 (2HRZ / 4H3R) Kategori 3 diberikan rontgen positif ringan dan penderita ekstra paru ringan. Setelah penderita minum obat akan terjadi gejala samping obat sebagai berikut : (a) Air kencing berwarna merah, hal ini tidak berbahaya. (b) Dapat timbul pusing, sakit kepala dan mual. (c) Keringat
berwarna
kemerah–merahan,
hal
ini
tidak
berbahaya. (d) Kulit terasa gatal, hal ini tidak berbahaya. (e) Air mata berwarna kemerah–merahan, hal ini tidak berbahaya. Tanda–tanda penyakit tuberculosis paru sudah sembuh dapat dilihat pada bulan ke – 5 dan ke – 6 pengobatan, bila bakteri tahan asam (BTA) sudah negatif yaitu melalui pemeriksaan ulang terhadap dahak dan sudah tidak terlihat lagi kuman–kuman mikrobakterium tuberculosis di mikroskop dan dinyatakan BTA negatif. 3) Strategi Stop TB a) Mencapai,
mengoptimalkan
dan
mempertahankan
kwalitas
DOTS. b) Merespon masalah TB-HIV, MDR TB dan tantangan lainnya. c) Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
43
d) Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta. e) Memberdayakan pasien dan masyarakat. f)Melaksanakan dan mengembangkan riset. 4) Kegagalan pengobatan pada klien TB paru Oleh karena tidak diawasi dengan ketat, banyak penderita yang menghentikan pengobatannya setelah kurang lebih 3 bulan menjalani pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena penderita belum memahami bahwa obat harus dihabiskan dalam waktu yang telah ditentukan. h. Bahaya / komplikasi bagi penderita Tuberkulosis Paru Bahaya penyakit TB adalah mudahnya menular ke orang lain sehingga semua anggota masyarakat harus ikut berupaya agar tidak terjadi penularan. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita (dinkes kab.keb 2002) adalah : 1) Perdarahan dari saluran nafas bawah yang berat yang dapat menyebabkan kematian 2) Paru menjadi kempis 3) Saluran nafas dan paru menjadi keras dan kaku 4) Paru menjadi kolaps ( tidak berfungsi) secara spontan 5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. 6) Lemah jantung
44
i. Usaha-usaha pencegahan dan penanggulangan penyakit tuberkulosis 1) Usaha yang dilakukan oleh perorangan / penderita a) Jika batuk tutup mulut dengan sapu tangan b) Dahak ditampung di tempat dan diberi deterjen agar kuman mati c) Istirahat cukup d) Makan-makanan yang bergizi seperti telur,ayam, daging,sayuran dll. e) Diusahakan agar sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah atau kamar untuk mematikan kuman mikrobakterium f) Tidak merokok g) Tidak tidur satu kamar dengan penderita penyakit Tuberkulosis paru. 2) Usaha yang dilakukan masyarakat : a) Ikut aktif dalam menjaga kebersihan lingkungan b) Mengikuti penyuluhan yang dilakukan oleh tenaga kesehtan c) Melaporkan jika menemukan anggota masyarakat yang dicurigai menderita TB d) Mengingatkan penderita yang dalam pengobatan untuk teratur minum obat. e) Saling
memberikan
informasi
dan
pengetahuan
terutama
menyadarkan masyarakat bahwa TB bukan penyakit memalukan dan tidak bisa disembuhkan tetapi penyakit yang berbahaya dan bisa di sembuhkan.
45
f) Ikut menjadi pengawas minum obat ( PMO) g) Tidak mengucilkan penderita TB 3) Usaha yang dilakukan oleh tenaga kesehatan a) Meningkatkan penemuan penderita dan mengobati sesuai standar. b) Mengadakan penyuluhan ke masyarakat, kordinasi dengan mitra potensial dan melakukan advokasi ke pengambil keputusan. c) Meningkatkan kemampuan dalam pemeriksaan laboratorium sehingga mengurangi tingkat kesalahan. d) Membangkitkan peran serta masyarakat. 4. Konsep sehat sakit a. Sehat Sehat adalah suatu keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan (Depkes,2002). Mengandung 3 karakteristik meliputi : 1) Merefleksikan perhatian pada individu sebagai manusia 2) Memandang sehat dalam kontek lingkungan internal dan eksternal 3) Sehat adalah hidup yang kreatif dan produktif. Sehat bukan merupakan suatu kondisi tapi merupakan penyesuaian bukan merupakan suatu keadaan tapi merupakan proses. Proses beradaptasi individu yang tidak hanya terhadap fisik tetapi terhadap lingkungan sosialnya. Aktualisasi merupakan perwujudan yang diperoleh individu melalui kepuasaan dalam berhubungan dengan orang lain, perilaku
46
yang sesuai dengan tujuan, perawatan diri yang kompeten. Penyesuaian diperlukan untuk mempertahankan stabilitas dan integralitas structural. Fungsi efektif dari sumber – sumber perawatan diri yang menjamin tindakan untuk perawatan diri secara adekuat. Faktor – faktor yang mempengaruhi diri seseorang tentang sehat : a) Status perkembangan Kemampuan mengerti tentang keadaan sehat dan kemampuan berespon terhadap perubahan kesehatan dikaitkan dengan usia. b) Pengaruh sosial dan kultural Masing – masing kultur mempunyai pandangan tentang sehat, diturunkan dari orang ke anak. c) Pengalaman masa lalu Seseorang dapat mempertimbangkan rasa sakit atau disfungsi karena pengalaman sebelumnya membantu menetukan definisi sesorang tentang sehat. d) Harapan seseorang tentang dirinya Seseorang mengharapkan dapat berfungsi pada tingkat yang tinggi baik fisik maupun psikososial jika mereka sehat. Bagaimana individu menerima dirinya dengan baik secara utuh. Jika ada ancaman anxiety (cemas ).
47
b. Sakit Sakit adalah gangguan dalam fungsi normal individu sebagai totalitas termasuk keadaan organisme
yaitu system biologis dan
penyesuaian sosialnya ( person ). Dampak – dampak dari sakit ( Sick Role Behavior ) 1)
Perubahan peran
2)
Meningkatkan stress dan kecemasan pada penyakit.
3)
Masalah keuangan.
4)
Kesepian sebagai akibat dari perpisahan
5)
Perubahan dalam kebiasaan sosial.
Tahapan sakit a. Tahapan mengalami gejala 1) Tahap transisi yaitu individu percaya bahwa ada kelainan pada tubuhnya merasa dirinya tidak sehat, adanya bahaya dan berbagai gejala. 2) Mempunyai tiga aspek : fisik, kognitif, respon emosi terhadap ketakutan. 3) Konsultasi dengan orang terdekat : gejala dan perasaan, kadang – kadang mencoba pengobatan di rumah. b. Tahap asumsi terhadap peran sakit ( Sick Role ) 1) Tahap penerimaan terhadap sakit 2) Mencari kepastian sakit 3) Mencari pertolongan dari profesi kesehatan
48
4) Akhir tahap ini yaitu : gejala telah berubah dan merasa lebih baik rencana penmgobatan dipenuhi atau dipengaruhi. c. Tahap kontak dengan pelayanan kesehatan 1) Individu yang sakit meminta nasehat dari profesi kesehatan. 2) Jika tidak ada gejala individu mempersepsikan dirinya sembuh d. Tahap ketergantungan 1) Jika profesi kesehatan menvalidasi seseorang sakit menjadi pasien yang tergantung untuk memperoleh bantuan. 2) Setiap orang mempunyai tingkat ketergantungan yang berbeda. e. Tahap penyembuhan 1) Pasien belajar untuk melepas peran sakit 2) Kesiapan untuk fungsi social.
49
B. Kerangka teori Berdasarkan
teori
Notoatmojo
(2007),
Depkes
RI
2002
yang
dikemukakan diatas maka peneliti mengambil salah satu konsep untuk terjadinya pengetahuan dan sikap klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya di Puskesmas Sempor 1 yang di gambarkan seperti bagan di bawah ini : Pengetahuan tentang penyakit TB Paru : a.Pengertian Penyakit TB Paru b.Tanda dan gejala c. Cara Penularan d.Pengobatan
Sikap : 1.Menerima 2.Merespon 3.Menghargai 4.Bertanggung Jawab
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan : 1. Pendidikan 2. Mass media / informasi 3. Sosial budaya dan ekonomi 4. Lingkungan 5. Pengalaman 6. Usia
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Proses Penyakitnya ( Konsep Sehat Sakit dan Penyakit )
50
C. Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori di atas, maka dapat disusun kerangka konsep sebagai berikut:
Baik
Pengetahuan Cukup Kurang
Pasien TB
1. Pendidikan 2. Mass media / informasi 3. Sosial budaya dan ekonomi 4. Lingkungan 5. Pengalaman 6. Usia
Paru positif
Sangat baik Sikap
Baik Tidak baik Sangat tidak baik
Keterangan :
Diteliti Tidak diteliti
Bagan 2.2 kerangka konsep
51
D. Pertanyaan penelitian 1.
Bagaimanakah gambaran pengetahuan klien TB Paru
di Puskesmas
Sempor 1 Kebumen dalam menghadapi proses penyakitnya? 2. Bagaimanakah gambaran sikap klien TB Paru di Puskesmas Sempor 1 Kebumen dalam menghadapi proses penyakitnya?
52
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian Jenis desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif, yaitu metode yang tujuannya memberikan gambaran atau deskriptif tentang suatu keadaan secara objektif, dengan menunjukan angka, tabel atau grafik, mulai dari pengumpulan data sampai hasil (Arikunto, 2006). Ditinjau dari pendekatannya penelitian ini menggunakan pendekatan survey.
B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Menurut Arikunto (2006), populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Yang dijadikan populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru di Puskesmas Sempor 1 berjumlah 30 orang. 2. Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan tekhnik total sampling yaitu pengambilan sampel dengan mengambil semua anggota populasi menjadi sampel. Cara ini dilakukan bila populasinya kecil, seperti bila sampelnya kurang dari seratus maka anggota populasi tersebut diambil seluruhnya untuk dijadikan sampel penelitian. Sampel
53
dalam penelitian ini sebanyak 30 orang yang menderita TB Paru dalam masa pengobatan.
Sampel penelitian adalah penderita TB Paru BTA
positif di Puskesmas Sempor 1 Kebumen. Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah : a. Responden penderita TB Paru yang telah di data di Puskesmas Sempor I Kebumen. b. Bersedia dijadikan responden.
C. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap Responden klien TB Paru sejumlah 30 orang di Puskesmas Sempor 1 Kabupaten Kebumen. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari – Maret 2012.
D. Variabel Variabel penelitian adalah suatu variabel yang digunakan sebagai ciri/ sifat/ukuran yang dimiliki/didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu/variabel penelitian (Notoatmodjo, 2005). Variabel
dalam
penelitian
ini
adalah
variable
tunggal
yaitu
menggambarkan pengetahuan dan sikap klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya di Puskesmas Sempor 1 Kebumen.
54
E. Definisi Operasional Definisi operasional ialah suatu definisi yang didasarkan pada karakteristik yang dapat diobservasi dari apa yang didefinisikan (Al Ummah, 2009). Pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 3.1.Tabel Definisi Operasional Penelitian Variabel
Definisi Operasional
Pengetah uan klien tentang penyakit TB Paru
Pengetahuan tentang Penyakit TB Paru adalah kemampuan responden dalam menjawab pertanyaan mengenai:
Sikap klien TB Paru dalam menghad api proses penyakit nya
Parameter
Alat Ukur Hasil Ukur
Pengetahuan Kuisioner diukur dari kemampuan responden menjawab pertanyaan tentang Pengertian penyakit TB Paru,Tanda gejala,Cara Pengertian penularannya penyakit TB Pengobatan. Paru,Tanda Terdiri dari gejala,Cara 20 penularanya, pertanyaan Pengobatan. dengan Penilaian diberikan 0 bila jawaban salah, nilai 1 bila jawaban benar.
Baik: 76-100% bila menjawab benar
Sikap yang dimiliki klien dalam menghadapi proses penyakitnya meliputi : Pandangan tentang penyakit
Sangat baik: 76-100%
Sikap diukur Kuisioner dari kemampuan responden menjawab pertanyaan tentang Pandangan tentang penyakit TB
Skala Ordinal
Cukup: 56-75% bila menjawab benar. Kurang: <56 % bila menjawab benar
Baik: 51-75% Tidak baik: 26-50%
Ordinal
55
TBParu, Pentingnya PMO untuk memantau pengobatan, Obat gratis yang dapat menyembuh kan dan diperoleh dengan mudah, Cara merespon klien dalam menghadapi proses penyakitnya.
Paru, Pentingnya PMO untuk memantau pengobatan, Obat gratis yang dapat menyembuh kan dan diperoleh dengan mudah, Cara merespon klien dalam menghadapi proses penyakitnya. Terdiri dari 10 pertanyaan dengan Penilaian diberikan nilai 4 bila menjawab Sangat Setuju,nilai 3 Setuju, nilai 2 Tidak Setuju, nilai 1 Sangat Tidak Setuju
Sangat tidak baik: 0-25%
F. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah bagaimana peneliti menentukan metode setepattepatnya untuk memperoleh data, kemudian disusul dengan cara-cara menyusun alat pembantunya yaitu instrumen (Arikunto, 2006).
56
1. Data Primer Menurut
Riwidikdo (2008), data primer adalah secara langsung
diambil dari objek penelitian oleh peneliti perorangan maupun organisasi. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada responden dan observasi. Menurut Notoatmodjo (2007) observasi atau pengamatan adalah suatu hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya rangsangan. Menurut Usman dan Akbar (1996) observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala–gejala yang diteliti. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian (Riwidikdo,2008). Dalam penelitian ini, peneliti memperoleh data sekunder dari Puskesmas berupa jumlah klien yang terkena TB Paru.
G. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik (cermat, lengkap dan sistematis) sehingga lebih mudah diolah (Saryono, 2008). Alat atau instrument yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan kuesioner yang disusun sendiri berdasarkan teori yang ada, kemudian responden hanya menandai jawaban yang dikehendaki oleh responden yaitu dengan tanda check pada kolom yang
57
disediakan. Adapun skoring yang akan digunakan untuk masing – masing variable sebagai berikut : 1. Angket pengetahuan Alat ukur penelitian yang digunakan adalah kuisioner yang telah dikembangkan oleh peneliti dan disesuaikan dengan permasalahan penelitian dengan konsep teorinya. Kuisioner yang akan digunakan adalah kuisioner dichotomous choice (kuisioner tertutup) dengan jawaban, jumlah pertanyaan 20 yang terdiri dari 10 butir favourable (pertanyaan positif) dan 10 butir unfavourable (pertanyaan yang negatif ). Penilaian diberikan dengan skor 0 ( nol) dan satu. Pada pertanyaan favourable skor 0 untuk jawaban salah ( S ) dan skor 1 untuk jawaban benar. 2. Angket Sikap Alat ukur dalam penelitian adalah kuisioner yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan masalah penelitian. Tekhnik yang akan dilakukan adalah memberi pertanyaan yang dapat dijawab sesuai keadaan responden. Jumlah pertanyaan ada 10 butir pertanyaan. Pada pertanyaan favourabel penilaian diberikan dengan nilai 4 bila menjawab sangat setuju, nilai 3 bila menjawab setuju, nilai 2 bila menjawab tidak setuju, nilai 1 bila menjawab sangat tidak setuju. Sedangkan pada pertanyaan unfavourable penilaian diberikan nilai 4 bila menjawab Sangat tidak setuju, nilai 3 Tidak setuju, nilai 2 setuju, nilai 1 Sangat setuju.
58
Adapun kisi-kisi kuisioner pada penelitian sebagai berikut : Tabel 3.2 Gambaran pengetahuan dan sikap klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya. Variabel Penelitian
Indikator
Nomor Pertanyaan
Jumlah
Pengetahuan klien TB Paru
Pengertian Tanda Gejala Cara penularan Pengobatan
1,8 2,3,9 4-7 10-20
2 3 4 11
Sikap klien TB Pandangan tentang 4 penyakit TB Paru. Paru
1
Pentingnya PMO 5 untuk memantau pengobatan. Obat gratis yang 10 diperoleh untuk kesembuhannya. Cara merespon klien dalam 1,2,3,6,7,8,9 menghadapi
1 1
7
Proses penyakitnya.
H. Uji validitas dan Reliabilitas 1. Uji Validitas Instrumen Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto,2006). Uji validitas instrumen ini menggunakan Product Moment. Rumus :
rxy =
[N
N x2
( x)( y ) ( x) ][N y ( xy
2
2
y)
2
]
59
Keterangan: rxy
= koefiesien korelasi
N
= jumlah subyek xy
= jumlah perkalian skor item dengan skor total item
x
= jumlah skor tiap item
y
= jumlah skor total item
x2 y2
= jumlah skor item kuadrat = jumlah skor total skala kuadrat (Arikunto, 2006)
Jika koefisien korelasi
antara skor butir dengan skor total yang
diperoleh > daripada koefisien di tabel nilai-nilai r (r tabel) pada O = 0,05 maka butir tersebut dinyatakan valid dan sebaliknya butir tersebut dinyatakan tidak valid bila
< dari r tabel. Cara yang mudah untuk
menentukan valid tidaknya butir pengujian bila menggunakan komputer adalah mengacu pada nilai signifikan (p) yang diperoleh. Bila nilai signifikan (p) yang diperoleh < daripada 0,05 maka butir yang diujikan dinyatakan valid. Uji validitas dilakukan di Puskesmas Gombong 1 (Wero). Hasil uji validitas diketahui dari 20 item pertanyaan yang digunakan untuk mengukur pengetahuan klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya, item pertanyaan no 1, 5, dan 20 dinyatakan tidak valid karena item tersebut tidak berkorelasi signifikan dengan skor total (dinyatakan tidak valid) karena kurang dari r tabel dengan tingkat
60
signifikansi 0.05 dengan jumlah responden 20 orang untuk uji validitas sebesar 0,444 yaitu (-0,201, -0,115, -0,141) dengan nilai reabilitas Cronbach’s Alpha sebesar 0,944. Penulis melakukan perbaikan ketiga pertanyaan dinyatakan valid dengan nilai reabilitas Cronbach Alpha sebesar 0,940. Semua pertanyaan dari variabel pengetahuan dinyatakan valid semua dan bisa dipergunakan dalam penelitian. Hasil uji validitas sikap diketahui dari 10 item pertanyaan yang digunakan untuk mengukur sikap klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya, semua item pertanyaan dinyatakan valid karena semua item berkorelasi signifikan dengan skor total dan r tabel lebih dari r tabel dengan tingkat signifikansi 0.05 dengan jumlah responden 20 orang untuk uji validitas sebesar 0,444. 2. Uji Reliabilitas Instrumen Untuk reabilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik, reliabel menunjuk pada tingkat keterandalan sesuatu (Arikunto, 2006). Uji reabilitas dalam penelitian ini menggunakan rumus alpha cronbach. Rumus :
r11 =
(k
k
1)
1
2 b 2 t
61
Keterangan: r11
: reliabilitas yang dicari
k
: banyaknya butir pertanyaan 2 b
2
t
: jumlah varians butir : varians total
Menurut (Riwidikdo, 2008) kuisioner atau angket dikatakan reliabel jika memiliki nilai alpha minimal 0,7. 20 pertanyaan yang digunakan untuk mengukur pengetahuan klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya semua dinyatakan reliabel dengan nilai corrected item total correlation yang seluruhnya melebihi r tabel (0,444) dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,940 melebihi apa yang dinyatakan oleh Riwidikdo yang mensyaratkan nilai minimal Cronbach’s Alpha 0,7. 10 pertanyaan yang digunakan untuk mengukur sikap klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya semua dinyatakan reliabel dengan nilai corrected item total correlation yang seluruhnya melebihi r tabel (0,444) dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,892 melebihi apa yang dinyatakan oleh Riwidikdo yang mensyaratkan nilai minimal Cronbach’s Alpha 0,7.
62
I. Pengolahan dan Analisa Data 1. Pengolahan data a. Editing Setelah kuesioner terkumpul maka penulis melakukan seleksi data kuesioner yang telah dibagikan kepada responden dan telah terkumpul kembali kepada penulis. Seleksi data dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui jika ada kuesioner yang belum terisi dengan lengkap b. Koding dan Skoring Yaitu kegiatan memberi kode setiap data yang diperoleh, kemudian memberinya skor dengan tujuan untuk mempermudah analisis data. Untuk data pengetahuan kode yang dipakai ; (3) untuk pengetahauan baik, (2) untuk pengetahuan cukup, dan (1) untuk pengetahuan kurang. Pada data sikap kode yang dipakai pada pertanyaan favourabel: (4) untuk sikap Sangat setuju, (3) untuk sikap Setuju,
(2) untuk Sikap Tidak setuju,(1) untuk Sikap Sangat tidak
setuju. Pada pertanyaan unfavourabel, data sikap kode yang digunakan yaitu (4) untuk sikap Sangat tidak setuju, (3) sikap Tidak setuju, (2) sikap setuju, (1) sikap Sangat setuju. c. Entry data Memasukkan data yang telah diedit dan dikoding dengan
fasilitas
komputer. Adapun program yang dipakai dalam tahap entry data yaitu Microsoft Office 2007 dan SPSS 16.
63
d. Tabulasi data Yaitu kegiatan memasukkan data ke dalam tabel-tabel dan mengatur angka-angka yang diperoleh, sehingga dapat dihitung distribusi dan prosentasenya. e. Cleaning data Koreksi data bila ditemukan penomoran yang salah atau huruf yang kurang jelas. 2. Analisa data a.
Univariat Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa univariat. Analisa univariat disajikan dengan mendeskripsikan semua variabel sebagai bahan informasi dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi (Saryono, 2002). Dinyatakan dengan menggunakan rumus :
Keterangan : P : Persentase fi : Frekuensi Teramati n : Jumlah Responden
64
Analisa data yang digunakan yaitu dengan cara : 1.
Menghitung jumlah angket kembali yang terkumpul dan kelengkapan.
2.
Memberikan skor pada item soal/instrument yaitu untuk pengetahuan diberikan nilai 1 bila jawaban benar dan nilai 0 bila jawaban salah. Untuk data sikap, pertanyaan favourable penilaian sikap diberikan nilai (4) untuk sikap Sangat setuju, (3) untuk sikap setuju,(2) untuk Sikap Tidak setuju, dan (1) untuk Sikap Sangat tidak setuju. Pada pertanyaan unfavourabel, penilaian sikap kode yang digunakan yaitu (4) untuk sikap Sangat tidak setuju, (3) sikap Tidak setuju, (2) sikap setuju, dan (1) sikap sangat setuju.
3.
Menentukan proses dari jawaban dengan kategori menurut Arikunto (2006), dengan kriteria Skor = Nilai yang diperoleh x 100% Skor maksimal
4.
Untuk menentukan skor pengetahuan tentang klien TB Paru, ketentuan skor yang akan digunakan dari 20 butir soal adalah sebagai berikut : a.
Skor < 56% = Kurang
b.
Skor 56-75% = Cukup
65
c. 5.
Skor 76-100% = Baik
Untuk menentukan skor sikap tentang klien TB Paru, ketentuan skor yang akan digunakan dari 10 butir soal adalah sebagai berikut: a. Skor 0 -25% = Sangat tidak baik b. Skor 26-50% = Tidak baik c. Skor 51-75% = Baik d. Skor 76-100% = Sangat baik
J. Etika Penelitian Sebelum melakukan penelitian, penulis menyampaikan surat permohonan penelitian
kepada
pihak
pemerintah
kabupaten
kebumen
melalui
Kesbangpolinmas Kabupaten Kebumen. Selanjutnya surat tembusan dari Kesbangpolinmas disampaikan kepada kepala Puskesmas Sempor 1 Kabupaten Kebumen. Kepada responden diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian, prosedur, serta manfaat-manfaat penelitian,dan hak-hak responden. Responden dianjurkan untuk membaca kembali isi lembar persetujuan responden sebelum ditandatangani. Setelah menyetujui menjadi responden kemudian menandatangani surat persetujuan menjadi responden. Dalam melakukan penelitian ini, masalah etika dalam penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting mengingat keperawatan akan berhubungan langsung dengan manusia, maka peneliti menjamin hak
66
asasi responden dalam penelitian ini. Etika dalam penelitian keperawatan meliputi : 1.
Informed Consent Tujuannya agar responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Jika subyek bersedia menjadi responden, maka harus menandatangani lembar persetujuan menjadi responden. Jika subyek menolak menjadi responden maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya.
2.
Anonimity Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan memberi nama responden kepada lembar pengumpulan data kuesioner yang diisi oleh responden. Lembar tersebut hanya diberi kode tertentu.
3.
Confidentiality Peneliti menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik informasi maupun
masalah-masalah
lainnya,
semua
informasi
yang
telah
dikumpulkan di jamin kerahasiaannya oleh peneliti.
K. Jalannya Penelitian Penelitian ini dimulai dengan melakukan orientasi awal ke lokasi penelitian untuk memastikan apakah permasalahan yang akan diteliti ada di lokasi penelitian. Orientasi ini dilakukan pada tanggal 28 juli 2011. Untuk melakukan penelitian, peneliti melakukan studi pendahuluan tanggal 3 Agustus 2011 di Puskesmas Sempor 1 kebumen dengan melakukan observasi
67
dilapangan dan menanyakan data yang mengenai penyakit TB Paru positif pada tahun ini. Dalam studi pendahuluan itu diperoleh data mengenai permasalahan yang akan diambil dalam penelitian ini. Penyusunan proposal penelitian dilakukan pada bulan Agustus-Januari 2012, termasuk melakukan perbaikan atau revisi proposal. Pengambilan data dilakukan di Puskesmas sempor 1 dengan berkunjung door to door kerumah yang terkena TB Paru. Pengambilan data dilakukan oleh peneliti sendiri dengan tekhnik memberikan kuisioner dan observasi. Instrumen yang digunakan berupa kuisioner yang berisi tentang Pengetahuan dengan sikap klien TB Paru dalam menghadapi proses penyakitnya. Setelah responden di observasi dan mengisi kuisioner kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data. Sebelum peneliti memberikan pertanyaan kepada responden, peneliti membuat formulir persetujuan menjadi responden. Dan instrumen berupa chek- list. Peneliti mengobservasi responden dengan memberikan pertanyaan yang sudah disediakan dan mengisi chek-list. Setelah responden di observasi dan mengisi kuisioner kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data.
L. Personel yang melakukan Personil yang melakukan penelitian ini adalah Yulia Puspita Sari mahasiswa semester VIII STIKES Muhamadiyah Gombong.