1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG “A man consists of a body, a soul, and a passport.”1 World
at
War,
sebuah
judul
hiperbolik
dari
UNHCR
yang
mempublikasikan laporannya mengenai “displaced person” pada tahun 2015.2 Secara sekilas, judul tersebut cukup layak untuk disematkan dalam jajaran dunia hiburan, khususnya film-film box office. Namun siapa sangka, dibalik judul yang memiliki kesan dekat dengan “dunia hiburan” itu, terdapat beberapa fakta yang cukup mencengangkan bagi nilai-nilai kemanusiaan di dunia ini. Bagaimana tidak, tahun 2014 menjadi momen dimana hampir 60 juta orang terpaksa harus meninggalkan rumahnya karena konflik, penyiksaan, dan bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya. Lebih dari 20 juta diantaranya merupakan pengungsi dan pencari suaka yang mana menjadi fokus dari penelitian ini.3 Kondisi ini diperburuk dengan realitas bahwa hampir sebagian besar negara-negara di dunia memiliki kecenderungan untuk menolak kedatangan pengungsi dan pencari suaka di wilayahnya, terutama pada periode pasca-Perang 1
Diambil dari buku John George Stoessinger, The Refugee and the World Community, (Minneapolis: The University of Minnesota Press, 1956) Hal. 3 2
UNHCR, World at War: UNHCR Global Trends Forced Displacement in 2014. (Geneva: UNHCR, 2015) 3
Ibid. Hal. 2-4
2
Dingin dan peristiwa 9/11 di Amerika Serikat.4 Negara-negara tersebut cenderung menerapkan kebijakan imigrasi yang cukup ketat dan dalam beberapa hal sangat represif, guna menghadang laju dari para pengungsi dan pencari suaka yang akan masuk ke dalam wilayah kedaulatannya melalui berbagai macam cara.5 Kondisi serupa juga terjadi di kawasan Asia Tenggara. Kawasan yang hampir sebagian besar negara-negaranya bukan menjadi pihak atau aktor yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967 ini menjadi kawasan yang memiliki jumlah pengungsi dan pencari suaka yang cukup besar.6 Hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri bagi nasib dan status para pencari suaka dan pengungsi yang akan atau telah datang di negara-negara tersebut. Maka tak heran, perilaku yang jauh dari norma Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh negara-negara kawasan terhadap pengungsi dan pencari suaka yang datang ke wilayahnya menjadi sangat sering terjadi, terutama satu dekade ini. Munculnya kebijakan-kebijakan yang bersifat eksklusif dari negara-negara tersebut terhadap para pengungsi, sangat erat hubungannya dengan proses sekuritisasi yang terjadi di dalam politik domestik suatu negara. Sebagai aktor
4
Lihat analisis dari Geoff Gilbert, “Running Scared Since 9/11: Refugees, UNHCR, and the purposive approach to treaty interpretation” dalam James C. Simeon (ed.), Critical Issues in International Refugee Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2010) Hal. 85-116 5
Scott D. Watson. The Securitization of Humanitarian Migration: Digging Moats and Sinking Boats. (New York: Routledge, 2009) Hal. 16-19 6
Susan Kneebone, “ASEAN and the conceptualization of Refugee Protection in Southeastern Asian States” dalam Ademola Abass dan Francesca Ippolito, Regional Approches to the Protection of Asylum Seekers: An International Legal Perspective (England: Ashgate Publishing Limited, 2014) Hal.295-320
3
utama di dalam logika keamanan internasional, negara memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap penyelesaian permasalahan mengenai pengungsi.7 Seperti yang umum diketahui, migrasi internasional saat ini dikendalikan oleh kebijakan nasional dari sebuah negara dan berbagai macam kesepakatan antar-negara. Lebih lanjut lagi, gagasan mengenai individu-individu “asing” tertentu yang menjadi ancaman bagi negara bukanlah persoalan baru.. Menurut Bourbeau ada tiga faktor yang saat ini dijadikan patokan oleh negara sebagai tanda bahaya yang mengancam keamanan mereka, yang salah satunya adalah migrasi dalam jumlah yang sangat besar.8 Kondisi inilah yang kemudian memicu negara-negara kawasan seakan bersaing untuk mengusir dan menahan laju dari pengungsi dan pencari suaka di kawasan yang datang ke negaranya. Persoalannya kemudian, jika keamanan diterjemahkan dalam sudut pandang negara, tentu individu yang dijadikan ancaman oleh securitizing actor, sebenarnya berada pada posisi yang sangat terancam keberadannnya. Terlebih atmosfer negara-sentris masih mendominasi kontestasi hubungan internasional di kawasan Asia Tenggara. 9 Hal inilah yang membuat proses desekuritisasi terhadap pengungsi dan pencari suaka sulit untuk
7
Barry Buzan, Ole Weaver dan Jaap de Wilde. Security: A New Framework for Analysis (USA: Lynne Rienner Publisher, 1998) Hal. 21 8
Philippe Bourbeau, The Securitization of Migration: A Study of Movement and Order (USA: Routledge, 2011) Hal. 1-2 9
Amitav Acharya. Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and The Problem of Regional Order. (London: Routledge, 2001) Hal. 1-30
4
terjadi. Mengamini argumen dari Weaver, ketika atmosfer negara-sentris masih menghinggapi sebuah negara, posisi audiens akan menjadi pasif, sehingga keberhasilan sekuritisasi oleh negara tidak membutuhkan penerimaan masal dari publik.10 1.2. PERMASALAHAN DAN RUANG LINGKUP PENELITIAN Dengan bangunan latar-belakang diatas, penelitian ini melihat bagaimana sekuritisasi yang dilakukan oleh negara-negara kawasan, khususnya Indonesia, Malaysia dan Thailand terhadap para pengungsi?. Seperti yang kita ketahui, ketiga negara tersebut sampai hari ini belum meratifikasi Konvensi Pengungsi dan Protokol New York 1967. Hal ini mengindikasikan bahwa negara-negara tersebut belum memiliki perangkat hukum domestik untuk mengakui status bagi para pengungsi dan pencari suaka. Sebaliknya, negara-negara tersebut lebih cenderung mempersepsikan “persons of concern” tersebut sebagai sebuah ancaman bagi negaranya. Ada dua pertanyaan turunan dari problem statement diatas yang akan dijawab dalam tesis ini, yakni; 1. Apa saja wujud emergency respons yang dilakukan oleh negara terhadap para pengungsi ? 2. Logika apa saja yang digunakan oleh securitizing actor dalam hubungannya dengan kemunculan existential threat pada proses speech act?
10
Ole Weaver, “Securitization and desecuritization” dalam Lipschutz (ed.), On Security (New York: Colombia University Press, 1995) Hal. 58-59
5
Lingkup spasial penelitian ini secara khusus adalah Indonesia, Malaysia dan Thailand. Ketiga negara ini digunakan sebagai representasi dari kawasan Asia Tenggara. Ada dua argumen yang mendasari ketiga negara ini sebagai sampel penelitian mengenai wacana pengungsi di Asia Tenggara. Yang pertama walaupun tidak meratifikasi konvensi pengungsi dan protokolnya, secara tradisionil negara-negara tersebut merupakan negara suaka (country of asylum), terutama pada periode rezim Comprehensive Plan of Action (CPA). Argumen selanjutnya adalah ketiga negara tersebut merupakan tiga negara yang paling besar di kawasan dan eksistensinya sangat mempengaruhi dinamika negara-negara Asia Tenggara lainnya. Sedangkan untuk batasan temporal, penelitian ini akan menggunakan periode setelah Perang Dingin berakhir hingga Tragedi Rohingya yang baru-baru ini terjadi. 1.3. TINJAUAN PUSTAKA Tidak banyak literatur kontemporer yang membahas masalah pengungsi dan pencari suaka di kawasan Asia Tenggara. Kajian mengenai migrasi humaniter di kawasan Asia Tenggara, terutama dalam konteks penanganan pengungsi, di dominasi oleh wacana mekanisme perlindungan terhadap manusia perahu dari Indochina. Selain memang disebabkan oleh jumlah pengungsi yang sangat besar dari beberapa negara seperti Vietnam, Kamboja dan Laos, tema ini juga menjadi menarik secara politik, terutama bagi negara-negara yang menjadi sekutu Amerika Serikat. Maka tak heran kajian-kajian yang muncul membahas isu ini, hampir sebagian besar datang dari negara-negara tersebut. Ada tiga tematik yang akan disajikan dalam tinjauan-pustaka ini. Yang pertama adalah permasalahan
6
pengungsi Indocina, kondisi pengungsi pasca-Perang Dingin di kawasan dan yang terakhir adalah sekuritisasi terhadap migrasi. Mengenai tema pengungsi Indocina, ada beberapa literatur yang cukup menarik. Nghia M. Vo, mantan pengungsi Indochina yang saat ini telah menjadi Warga Negara Australia11, mencoba mengaitkan antara eksodus masyarakat Vietnam Utara menuju Vietnam Selatan tahun 1954, dengan eksodus besarbesaran masyarakat Vietnam 20 tahun setelahnya. Vo memaparkan, lebih dari satu juta manusia bergerak dari Utara menuju Selatan pada tahun 1954 dengan berbagai macam alasan, seperti; menghindari perang, kelaparan dan menjauh dari kampanye reformasi agraria komunis. Pengalaman dari orang-orang yang melakukan eksodus pada tahun 1954 ini, menurut Vo dalam beberapa hal memberikan sebuah dinamikanya tersendiri terhadap eksodus besar-besaran masyarakat Vietnam yang dimulai pada tahun 1975. Tidak hanya berhenti disitu, Vo juga memberikan sebuah eksplanasi yang cukup komprehensif terkait permasalahan yang dihadapi oleh manusia perahu Vietnam, seperti rencana untuk melarikan diri, pemilihan rute, menghadapi bajak laut, dan berjuang untuk bertahan hidup di tenda-tenda penampungan. Pada masa Perang Dingin, praktis hanya Kamboja sebagai satu-satunya negara di Kawasan Asia Tenggara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi dan Protokol New York. Kekosongan rezim migrasi humaniter ini berdampak secara langsung terhadap penanganan pengungsi Indocina di kawasan pada awal
11
Nghia M. Vo, Vietnamese Boat People, 1954 and 1972-1992 (United States of America: Mcfarland and Company, 2006)
7
eksodusnya, sekitar tahun 1976. Setelah beberapa tahun tidak ada koordinasi yang jelas diantara negara-negara kawasan dalam mengatasi permasalahan ini, yang menyebabkan terkatung-katungnya para manusia perahu di laut lepas,
dunia
internasional kemudian mulai menyoroti secara tajam permasalahan manusia perahu tersebut. Sampai pada akhirnya diselenggarakanlah sebuah konferensi internasional pada tahun 1979, yang menghasilkan kesepakatan bersama untuk mengatasi gelombang manusia perahu Indocina. Seperti yang diutarakan oleh Astri Suhrke, pada awalnya mekanisme yang menjadikan negara-negara kawasan sebagai tempat pemberi suaka sementara sekaligus pusat untuk memproses pengungsi sebelum dikirim ke negara ketiga untuk proses resettlement, berjalan dengan lancar.12 Namun pada sekitar tahun 1981, negara-negara tersebut hilang kesabarannya, karena manusia perahu Indocina terus saja berdatangan ke tenda-tenda pengungsian, menggantikan mereka yang sudah dikirim ke negara ketiga. Kesepakatan ulang untuk mengatasi permasalahan manusia perahu Indocina kemudian didiskusikan ulang pada tahun 1989, dengan UNHCR sebagai pihak yang berperan sebagai garda terdepan. Yang menjadi catatan di dalam pembicaraan kali ini adalah hadirnya perwakilan dari negara asal manusia perahu, yakni Vietnam. Diskursus ini kemudian menghasilkan sebuah program yang dinamakan Comprehensive Plan of Action (CPA). Alexander Betts menilai
12
Astri Suhrke, “Indochinese Refugees: The Law and Politics of First Asylum:, dalam Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 467, The Global Refugee Problem: U.S. and World Response, 1983, Hal. 102-105
8
program ini memberikan suatu kemajuan yang positif bagi permasalahan manusia perahu.13 Dalam sebuah studinya, Betts memaparkan kesuksesan rezim CPA ini sebagai wujud keberhasilan UNHCR di dalam mengaitkan isu manusia perahu dengan isu-isu lainnya, yang membuat negara secara sadar atau tidak, menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kesepakatan yang berlaku. Tema berikutnya adalah kondisi pengungsi pasca-Perang Dingin di kawasan. Vitit Muntarbhorn menjelaskan bahwa terjadi sebuah peningkatan jumlah pengungsi dan pencari suaka yang datang ke negara-negara Asia, termasuk kawasan Asia Tenggara, pasca-Perang Dingin.14 Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi negara-negara di kawasan tersebut, yang memiliki kecenderungan negatif di dalam mengkonstruksikan pengungsi. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Sara Davies
15
. Di dalam analisisnya, Sara menjelaskan
mengapa negara-negara Asia Tenggara cenderung bersikap antipati terhadap permasalahan migrasi humaniter sehingga belum memiliki kemauan untuk meratifikasi Konvensi PBB mengenai pengungsi 1951 dan Protokol New York 1967. Salah satu alasan yang dikemukakannya adalah kedua instrumen tersebut merupakan produk Barat dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan Barat. Seperti yang kita ketahui, konvensi pengungsi 1951 memang mendefinisikan
13
Alexander Betts, Protection By Persuasion: International Cooperation In The Refugee Regime, Loc.cit. 14
Vitit Muntabhorn, The Status of Refugee in Asia. (Oxford: Clarendon Press,
1992) 15
Sara E. Davies, Legitimising Rejection: International Refugee Law in Southeast Asia (Leiden: Koninklijke Brill, 2008)
9
bahwa mereka yang diakui sebagai pengungsi adalah mereka yang telah keluar dari batas-batas negaranya karena Perang Dunia Kedua, sebelum tanggal 1 Januari 1950. Namun permasalahannya, konvensi tersebut hanya mengakui orang-orang Eropa yang telah melalui batas negaranya. Untuk tema sekuritisasi dalam wacana migrasi, Scott Watson dengan kritis menganalisa proses perubahan cara berpikir para elit politik di Australia dan Kanada terhadap migran humaniter yang datang ke negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 itu. Watson menambahkan, sekuritisasi diejawantahkan kedalam sebuah peraturan-peraturan negara, terutama kebijakan imigrasinya, yang diperketat untuk mencegah masuknya migran humaniter ke negara-negara tersebut. Setelah kita tinjau beberapa literatur di atas, terdapat kekosongan di dalam melihat perilaku negara-negara kawasan terhadap pengungsi dan pencari suaka, terutama setelah periode Perang Dingin. Tesis ini ditujukan untuk mengisi kekosongan tersebut. Dengan menggunakan Teori Sekuritisasi, penulis berusaha untuk menganalisa dan mengidentifikasi kebijakan-kebijakan keamanan negara kawasan yang direpresentasikan oleh Indonesia, malaysia dan Thailand, terhadap para pengungsi, baik yang telah datang maupun yang akan datang. 1.4. KERANGKA ANALISIS 1.4.1. Konsepsi Pengungsi di Asia Tenggara Secara umum pergerakan migran di seluruh dunia ini dimotivasi oleh berbagai macam faktor, yang kemudian menyebabkan kesulitan untuk
10
mengidentifikasikan motivasi atau alasan para migran melakukan migrasi. Mengikuti logika negara penerima migran, Scott Watson membagi tiga kategori untuk menjelaskan motivasi dari para migran, yakni migrasi ekonomi, migrasi keluarga dan migrasi humaniter.16 Pada penelitian ini saya menggunakan migrasi humaniter sebagai objek penelitian. Mengikuti argumen dari Dauvergne17 dan diperkuat oleh Watson, migrasi humaniter merupakan sebuah pola migrasi yang didasarkan pada gagasan bahwa migran harus diijinkan masuk ke dalam suatu negara, karena penolakan akan menjadi bumerang bagi keselamatan dan eksistensi migran tersebut. Artinya disini motivasi politik migran akan keselamatan dan eksistensinya menjadi sebuah penekanan tersendiri dalam konsep tersebut. Walaupun tidak dapat dipungkiri pula, bahwa hampir sebagian besar migran tetap memiliki motivasi ekonomi dibelakangnya. Jika kita jabarkan lagi definisi umum di atas, konsep migrasi humaniter akan mengarah kepada apa yang kita kenal sebagai “people of concern”, yang terdiri dari kelompok-kelompok manusia paling rentan, seperti pengungsi (refugee), pencari suaka (asylum seeker) dan individu yang tidak memiliki negara (statelessness), terutama yang disebabkan oleh konflik. Ketiga terma ini memiliki
16
Scott D. Watson, The Securitization of Humanitarian Migration: Digging Moats and Sinking Boats (New York: Routledge, 2009) Hal. 2-5 17
Catherine Dauvergne, Humanitarianism, Identity, and Nation: Migration Laws of Australia and Canada (Vancouver: UBC Press, 2005) Hal. 1-20
11
sebuah kondisi yang serupa, hanya yang membedakan adalah status legal yang sudah dimiliki oleh mereka yang sudah ditetapkan sebagai pengungsi. Konvensi mengenai Pengungsi tahun 1951 yang kemudian disempurnakan oleh Protokol New York Tahun 1967, menyatakan bahwa pengungsi adalah individu atau kelompok yang terbukti dengan alasan kuat menjadi bagian (dalam hal ini korban) dari suatu bentuk persekusi atau penyiksaan atas dasar ras, agama, suku bangsa, keanggotaan kelompok sosial tertentu, dan pendapat politik, yang sudah melewati atau berada diluar batas geo-politik negaranya, dan tidak bisa atau tidak bersedia kembali ke negara asalnya karena alasan keselamatan dan keamanan.18 Beberapa kesepakatan regional untuk mengatasi permasalahan pengungsi seperti di Afrika (OAU) dan Amerika Latin (Deklarasi Cartagena) juga memiliki definisi yang menyerupai definisi pengungsi PBB. Hanya saja kedua mekanisme tersebut memberikan tempat kepada mereka yang melewati batas negaranya untuk ditetapkan sebagai seorang pengungsi dengan alasan agresi pihak asing, kekerasan massal, konflik internal, pelanggaran terhadap HAM dan kejadian luar biasa lainnya yang mengganggu tatanan publik.19 Di dalam hukum pengungsi internasional, yang berakar pada Konvensi 1951 dan Protokol 1967, pengungsi merupakan sebuah status legal dan diakui
18
Jane McAdam dan Fiona Chong, Refugees: Why Seeking Asylum is Legal and Australia’s Policies are not (Sydney: University of New South Wales Press, 2014) Hal.37-50
12
secara global keberadaannya. Penentuan para pencari suaka untuk mendapatkan status sebagai pengungsi merupakan wewenang dari negara yang telah meratifikasi konvensi dan protokol pengungsi, serta UNHCR jika negara tersebut belum meratifikasi keduanya.20 Jika pengungsi merupakan status legal, maka pencari suaka dan statelessness merupakan kelompok manusia yang memiliki situasi seperti pengungsi (refugee-like situation), namun belum mendapatkan status sebagai seorang pengungsi. Dalam realitas di kawasan Asia Tenggara, pencari suaka bisa kita bagi kedalam dua kondisi, yakni kondisi legal dan ilegal. Kondisi legal mengacu kepada posisi pencari suaka yang berada di negara transit dan “diamankan” di rumah detensi migrasi, untuk menunggu proses ditetapkan sebagai pengungsi oleh UNHCR. Sedangkan kondisi ilegal adalah orang-orang yang telah keluar karena persekusi dari negara asalnya dan sedang menuju atau berada di negara transit secara ilegal, sehingga belum terdeteksi, baik oleh negara transit maupun UNHCR, sehingga belum bisa diproses untuk menjadi seorang pengungsi. Dalam konteks Asia Tenggara, konsep statelessness yang dimaksud menyerupai posisi etnis Rohingya di dalam Pemerintahan Myanmar saat ini. Di satu sisi, mereka tetap berupaya untuk terus menjadi bagian integral dari negara Myanmar, tapi di sisi lain pemerintah tidak pernah menganggap Rohingya sebagai bagian dari negara-bangsa tersebut. Ini berbeda dengan Moro di Filipina atau
20
Gil Loescher, The UNHCR and World Politics: A Perilous Path (New York: Oxford University Press, 2001) Hal. 21-50
13
Uighur di Cina, yang mana mereka sebenarnya telah diakui menjadi bagian dari kedua negara-bangsa tersebut, hanya saja mereka menginginkan sebuah konsensus dan partisipasi yang lebih didalamnya.
Pencari Suaka Pengungsi Statelessness
1.4.1.1. Pengungsi Sebagai Prima Facie Jika kita amati, kedatangan para migran humaniter ke dalam suatu negara untuk mencari perlindungan, dalam beberapa kejadian terjadi pada skala yang cukup besar. Hal ini tentu menjadi masalah, baik bagi negara peserta konvensi maupun UNHCR untuk menentukan status mereka sebagai seorang pengungsi.21 Di dalam permasalahan ini, peraturan internasional memiliki suatu mekanisme untuk mengakui mereka sebagai pengungsi Prima Facie. Mekanisme Prima Facie ini sebenarnya berbeda dengan pemberian status pengungsi reguler. Para pengungsi Prima Facie tidak memiliki dokumen atau surat yang dikeluarkan oleh
21
Untuk mendapatkan status pengungsi secara legal, sesuai dengan Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol New York 1967, mereka harus mengikuti syarat-syarat yang diberikan. Ada dua proses yang dilakukan oleh UNHCR didalam menentukan pemberian status kepada pengungsi. Yang pertama adalah pembuktian terhadap hal, kejadian atau peristiwa yang terjadi pada diri pencari suaka. Yang kedua adalah mencari kesesuaian antara definisi pengungsi sebagaimana tercantum dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 dengan fakta-fakta yang diberikan oleh pencari suaka. Lihat Jesuit Refugee Service, Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia (Indonesia: JRS Indonesia, 2013) Hal. 18
14
UNHCR maupun negara pihak, untuk kemudian mendapatkan hak untuk mendapatkan perlindungan sementara atau resettlement di negara ketiga. Penentuan status prima facie pengungsi ini dalam beberapa hal memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang kritis. Beberapa diantaranya seperti prosedur seperti apa yang harus dilakukan untuk melakukan hal tersebut? jika tidak ditentukan secara individu untuk diuji kebenarannya, bagaimana bisa kita membedakan antara mereka yang murni pengungsi dengan mereka para migran yang tidak memiliki unsur keterdesakan kemanusiaan, seperti migran ekonomi? Secara umum “prima facie” memiliki makna “pada kesan atau penampilan pertama”. Buku yang diterbitkan oleh UNHCR dengan judul “Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status” menjelaskan bagaimana kondisi yang memungkinkan terjadinya pengakuan pengungsi secara “prima facie”, yakni; “Situation have....arisen in which entire groups have been displaced under circumstances indicating that members of the group could be considered individually as refugees. In such situations the need to provide assistance is often extremely urgent and it may not be possible for purely practical reason to carry out and individual determination of refugee status for each member of the group. Recourse has therefore been had to so-called “group determination” of refugee status. Whereby each member of the group is regarded prima facie (i.e. in the absence of evidence to the contrary) as a refugee”.22 Selama lima puluh tahun kebelakang, pendekatan prima facie ini telah digunakan secara luas oleh beberapa kawasan di beberapa kesempatan. Seperti pengungsi Hungaria yang meninggalkan negaranya untuk menuju Eropa Barat
22
UNHCR, “Handbook and Guidelines on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951 Convention and the 1967 Protocol Relating to The Status of Refugee”, 2011, HCR/1P/4/ENG/REV.3, Hal. 44
15
pada tahun 1956 karena revolusinya yang gagal. Hal yang sama juga pernah terjadi di Benua Afrika, baik sebelum maupun sesudah Konvensi Pengungsi OAU 1969. Di Asia seperti yang kita ketahui bersama, manusia perahu Indochina (sebagian besar dari Vietnam) pada awalnya juga diakui oleh negara-negara kawasan sebagai pengungsi dengan menggunakan pendekatan prima facie.23 Pemahaman ini menjadi penting, karena hampir sebagian besar migran humaniter yang datang ke Kawasan Asia Tenggara, jika menggunakan analisis di atas, sebenarnya bisa dikategorikan sebagai pengungsi prima facie. Seperti contohnya pengungsi yang berasal dari Myanmar, baik itu Rohingya, Karen dan beberapa suku lainnya, yang sering mendapat berbagai bentuk persekusi di negara asal. Walaupun dari segi jumlah memang tidak sebanding dengan pengungsi yang berasal dari negara-negara seperti Suriah dan Afganistan, namun gelombang pengungsi yang ada di kawasan, terutama yang datang dari Myanmar sangat stabil dan bahkan cenderung meningkat jumlahnya.
1.4.2. Logika Sekuritisasi Konsepsi mengenai sekuritisasi (securitization) lahir dari dialektika mengenai wacana keamanan (security).
Seperti yang jamak diketahui pada
awalnya studi mengenai keamanan sangat state-centris, terutama dalam kaca mata perang dan militer. Hal tersebut sejalan dengan sangat dominannya
23
Pendekatan ini berakhir ketika program Comprehensive Plan of Action mulai berlaku. Hal ini dikarenakan program ini mewajibkan pengungsi harus diseleksi secara individu agar dapat diketahui dengan pasti keabsahannya.
16
perspektif realisme dan neo-realisme di dalam Ilmu Hubungan Internasional, terutama selama Perang Dingin berlangsung. Pembongkaran kekakuan di dalam memandang keamanan
mulai
dilakukan pada masa akhir Perang Dingin, dan semakin masif ketika Perang Dingin berakhir. Pembongkaran ini didasarkan kepada konsep keamanan manusia (human security) yang tidak hanya dapat dilihat dari sudut pandang negara dan militer saja, akan tetapi mencakup aspek yang lebih luas lagi, seperti penyakit, lingkungan, migrasi dan lain sebagainya.24 Dengan menggunakan model pendekatan diatas, wacana mengenai studi keamanan menjadi semakin luas, baik dalam dimensi vertikal maupun dimensi horizontal.25 Sejalan dengan hal tersebut, konsepsi mengenai teori sekuritisasi mulai menyebar, dipimpin oleh ilmuwan-ilmuwan dari Copenhagen School. Dalam pandangan mereka, sekuritisasi merupakan suatu bentuk atau cara ekstrim politisasi para elit. Sekuritisasi dipahami sebagai sebuah proses politik untuk menjadikan isuisu yang ada di sekitar kita sebagai ancaman dalam wacana keamanan, sehingga isu tersebut dapat menjadi sebuah wacana keamanan nasional. Teori ini sangat bergantung kepada kekuatan ide dan tindakan politis aktor untuk menyebarkan suatu isu untuk kemudian bertransformasi menjadi wacana keamanan. Maka dari 24
Barry Buzan, People, States, and Fear : The National Security Problems in International Relations (USA: The University of North Carolina Press, 1983) Hal. 18-21 25
Barry Buzan, dkk., Security: A New Framework for Analysis (USA: Lynne Rienner Publisher, 1998) Hal. 1-10
17
itu, speech act26 dari aktor yang menyebarkan suatu isu menjadi penting dalam konsep ini. 1.4.2.1. Speech Act dan Penempatan Audiens Argumen yang paling penting dalam Teori Sekuritisasi Konvensional27 adalah keamanan merupakan sebuah produk dari speech act, mengikuti istilah Weaver “it is by labelling something a security that is becomes one”. Dalam memahami speech act, terdapat tiga unit analisis, yaitu;28 1. Referent object: sesuatu yang dilihat kondisinya terancam dan memiliki legitimasi untuk bertahan hidup 2. Securitizing actors : aktor yang mendeklarasikan isu-isu keamanan dan berperan dalam membentuk objek yang terancam 3. Functional actors: aktor yang mempengaruhi dinamika sektor. Tanpa menjadi referent object atau securitizing actor, namun memiliki kapasitas untuk mewacanakan suatu ancaman yang ada di tengah publik. 26
Kemampuan untuk melakukan sosialisasi terhadap ide yang dimiliki, yang sangat berpengaruh terhadap tipologi ancaman, yang bersinggungan dengan keamanan suatu negara. 27
Terminologi sekuritisasi konvensional mengacu kepada pendekatan yang digunakan oleh Copenhagen School, terutama oleh Barry Buzan dan Ole Waever, sebagai pencetus awal ide sekuritisasi dalam diskursus keamanan internasional. Hal ini ditujukan untuk membedakan ide sekuritisasi awal dengan perkembangan teori tersebut di kemudian hari, yang mengalami banyak revisi dari para kritikusnya. Beberapa ilmuwan pengembang Teori Sekuritisasi diantaranya Thierry Balzacq, Didier Bigo, Scott Watson, dan beberapa nama lainnya. 28
Ole Weaver, The UE as a Security Actors: Reflection from Pessimistic Constructivist on Post Sovereign Security Orders. (London: Routledge, 2000) Hal. 286
18
Dalam Teori Sekuritisasi Konvensional, variabel speech act merupakan elemen yang sangat penting di dalam mewujudkan existential threat bagi para securitizing actor. Namun yang cukup disayangkan, jika mengikuti sepenuhnya logika yang diberikan oleh Copenhagen School tersebut, sulit bagi kita untuk menemukan hubungan antara bukti-bukti empiris dengan bentuk-bentuk penerimaan audiens atau referent object terhadap proses speech act yang tengah berlangsung.29 Ada dua hal yang cukup mengganggu pikiran saya dalam hal ini. Yang pertama adalah kita tidak akan pernah mengetahui kapan ide mengenai pengungsi sebagai ancaman masuk ke dalam alam pikir securitizing actor. Apakah ini hasil dari sifat manusia yang cenderung memiliki ketakutan terhadap orang asing atau justru ini sebenarnya merupakan buah dari proses sekuritisasi yang terdahulu?. Lalu yang kedua adalah bagaimana membuktikan secara empiris bahwa securitizing move yang dilakukan oleh securitizing actor diterima atau ditolak secara sukses oleh para audiens?. Hal ini menjadi penting mengingat salah satu kesuksesan dari sekuritisasi adalah bagaimana para securitizing actor mampu untuk mempengaruhi para audiens untuk menerima dan menyetujui pandangan mereka terkait ancaman yang nyata (existential threat). Lantas apa indikator yang digunakan untuk mengetahui bentuk-bentuk penerimaan dan sekaligus bentuk-bentuk penolakan. Sejauh analisa
29
Lihat analisis yang cukup menarik mengenai bahasan ini dari tulisan Sarah Leonard dan Christian Kaunert, “Reconceptualizing the audience in securitization theory” dalam Thierry Balzacq (ed.), Securitization Theory: How Security Problems Emerge and Dissolve (NewYork: Routledge, 2011) Hal. 57-74
19
saya terhadap buku ini, mereka tidak memberikan jawaban yang pasti dan cenderung mengakui kelemahan ini. 30 Untuk mengurai masalah ini, dalam beberapa hal Ole Weaver mengajukan suatu tawaran yang cukup diplomatis terkait peran dari referent object. Seperti yang dinyatakan dalam bukunya, kesuksesan sekuritisasi tidak selalu membutuhkan penerimaan massal dari para audiens secara harfiah, akan tetapi cukup dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara (emergency respons) terhadap ancaman, tidak menimbulkan eskalasi perdebatan yang cukup tinggi di kalangan publik.31 Argumen ini mengindikasikan bahwa keberadaan audiens untuk menerima ataupun mengetahui securitizing move tidak terlalu diperhitungkan selama mereka tidak menempatkan dirinya sebagai oposisi di ruang publik dan mempengaruhi kontestasi tersebut. Bahkan adapula akademisi yang sama sekali menghilangkan peran dari masyarakat dengan menjadikan pemerintah yang berkuasa sebagai referent object/audiens yang relevan dan agen keamanan khusus sebagai securitizing actor.32 Namun hal ini dibantah secara tegas oleh Balzacq, yang menyatakan bahwa masyarakat atau publik adalah satusatunya audiens yang relevan dalam proses sekuritisasi dan memiliki dua peran utama, yakni mendukung secara moral atau mengevaluasi legitimasi politik dari
30
Ibid., Hal. 25
31
Ole Waever, “Securitization and desecuritization” dalam Lipschutz (ed.), On Security (New York: Columbia University Press, 1995) Hal. 58 32
Didier Bigo, “When Two Become One” dalam Kelstrup, Morten dan Michael Williams (eds.), International Relations Theory and the Politics of European Integration, Power, Security and Community (London: Routledge, 2000) Hal. 195
20
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara terhadap suatu ancaman yang dikonstruksikan.33 Maka dari itu, mengikuti diskusi di atas speech act yang dilakukan oleh securitizing actor dalam tesis ini bukan ditujukan untuk membentuk ancaman yang nyata, tetapi digunakan untuk melegitimasi tindakan yang negara lakukan terhadap para pengungsi. Ukuran yang digunakan bukanlah penerimaan secara harfiah masyarakat terhadap speech act yang dilakukan oleh securitizing actor, melainkan tidak adanya penolakan yang masif terkait dengan emergency responses yang dilakukan oleh negara. Namun speech act disini bukannya tidak memiliki peran yang penting dalam logika sekuritisasi yang digunakan tesis ini. Variabel tersebut digunakan oleh penulis untuk mendefinisikan secara utuh sejauh-mana pengungsi dikonstruksikan sebagai sebuah ancaman oleh para elit politik yang notabenenya adalah securitizing actor. Seperi yang disebutkan oleh Bigo secara jelas;34 “it is possible to securitise certain problem without speech or discourse and the military and the police have known that for a long time. The practical work, dicipline and expertise are as important as all forms of discourse”.
33
Thierry Balzacq, “The Three Faces of Securitisation: Political Agency, Audience and Context” dalam European Journal of International Relations, No. 11, 2005, Hal. 195 34
Didier Bigo, Op.cit. Hal. 194
21
Berulang kali Buzan, dkk menyatakan dalam bukunya mengenai posisi sentral dari emergency respons di dalam logika sekuritisasi. Bahkan, ketika existential threat sudah terbentuk namun belum ada respon atau kebijakan terkait ancaman, hal ini belum bisa dikategorikan sebagi sekuritisasi yang berhasil. Dalam bahasa Buzan dkk, fenomena tersebut hanya akan menjadi securitizing move.35 Selanjutnya, sekuritisasi juga tidak akan terjadi hanya karena respon atau kebijakan yang dilakukan untuk mengatasi ancaman cenderung untuk melanggar norma-norma domestik atau internasional. Melainkan, masih menurut Buzan dkk., hadirnya ancaman memiliki legitimasi yang kuat untuk melanggar norma-norma tersebut.36 1.4.2.2. Pembentukan Existential Threat dan Institusionalisasi Keamanan Pada intinya, Teori Sekuritisasi lebih menitik-beratkan kepada kebijakan atau aksi yang dilakukan untuk mengamankan mereka dari ancaman yang dikonstruksikan. Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan pemahaman konvensional yang lebih menitik-beratkan kepada pembangunan ancaman itu 35
Barry Buzan, dkk., Op.cit. Hal. 25
36
Ibid.
22
sendiri. Argumen ini secara gamblang dijelaskan oleh Buzan dkk yang menyebutkan bahwa; “what is essential is the designation of an existential threat requiring emergency action or special measures and the acceptance of that designation by a significant audience”37
Jika kita kaitkan hal di atas dengan logika speech act yang digunakan di dalam tesis ini, menjadi jelas bahwa pembentukan ide mengenai ancaman bukanlah sebuah variabel tunggal yang memiliki hukum kausalitas. Maksudnya, jika A mengatakan bahwa LGBT berbahaya, tidak lantas membuat B menerima dan mengamini argumen tersebut. Pembentukan ide mengenai ancaman sangat erat kaitannya dengan dialektika ruang dan waktu seorang manusia. Dalam konteks ini akan menjadi dilematis ketika pemaksaan ide mengenai ancaman disematkan kedalam satu entitas kolektif individu. Namun, hal inilah yang terjadi di dalam alam pikir warga negara yang berada pada sebuah negara. Pengkonstruksian pengungsi menjadi sebuah ancaman merupakan proses yang sangat dialektis, seiring dengan sejarah persepsi negara terhadap kelompok tersebut, atau dalam bahasa Copenhagen School Constant drama does not have to be present.38
Oleh sebab itu, Barry Buzan dkk, menyediakan alternatif lain
mengenai permasalahan “ancaman terus-menerus” (persistent threat), bahwa sekuritisasi bisa diejawantahkan dalam bentuk ad hoc maupun institusional.39
37
Ibid., Hal. 27
38
Ibid.
39
Ibid., Hal. 28
23
Watson juga menambahkan, bahwa dalam spektrum ini peran audiens dibatasi dan speech act dari securitizing actor hanya ditujukan untuk elit-elit pemerintahan yang berwenang. Lebih lanjut Watson berargumen, dalam proses institusionalisasi keamanan ini proses identifikasi dan respon yang dikeluarkan terhadap existential threat sering kali diimplementasikan tanpa mempertanyakan legitimasi dari tindakan yang diambil.40
KERANGKA KONSEPTUAL the influx of stable refugee/asylum seeker
Securitizing Move by Securitizing Actor
TheEmergence emergence Existential Thr of of Existential Threat
Logic of Economic
Logic of Politic
Logic of Societal
Emergency Respons by States
Institutionalized Respons
Emergency Measures
Breaking Free of Rules
Successful Securitization
40
Scott D. Watson, The Securitization of Humanitarian Migration: Digging Moats and Sinking Boats (USA: Routledge, 2009) Hal. 23
24
1.5. METODE PENELITIAN Untuk menganalisa dan menjelaskan permasalahan yang telah dipaparkan, penulis menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-analitis. Hal tersebut diperlukan guna menggambarkan fakta-fakta yang ada dengan menganalisa dan menginterpretasikan data-data yang telah terkumpul.41 Ada dua pendekatan yang dilakukan oleh penulis untuk mengumpulkan data. Pendekatan pertama adalah field research atau penelitian lapangan. Pada proses ini penulis mendapatkan dua jenis data, yakni data wawancara dan data tertulis. Data wawancara diperoleh khususnya dari lembaga-lembaga seperti International Organization for Migration (IOM) dan Je Suit Refugee Service (JRS). Selain menjadi fakta pembanding, secara pribadi pendekatan ini juga sangat berguna untuk menambah rasa exposure dan insight penulis di dalam melakukan analisis mengenai permasalahan pengungsi. Selain itu, hampir sebagian besar data tertulis yang penulis dapat merupakan laporan tahunan yang dikeluarkan oleh organisasi-organisasi tersebut. Pendekatan kedua adalah library research. Ada beberapa perpustakaan di daerah Jakarta dan Yogyakarta, yang penulis kunjungi sebagai sebuah upaya untuk mendapatkan data. Yang pertama adalah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Ada beberapa literatur klasik yang menurut penulis sangat penting sebagai salah satu fondasi penelitian ini yang ditemukakan disini. Salah satunya adalah buku dari Vitit Muntarbhorn yang berjudul “the status of refugee
41
Nawawi Hadari, Metode Penelitian Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003) Hal. 63
25
in Asia”. Selanjutnya, perpustakaan yang cukup penting lainnya bagi penelitian ini adalah Perpustakaan UPT UGM dan Perpustakaan Fisipol UGM. Beberapa buku penunjang penelitian ini dapat ditemukan di dua perpustakaan ini. 1.6. ARGUMEN UTAMA Pasca-Perang Dingin, kawasan Asia Tenggara cenderung menjadi salah satu tempat yang tidak bersahabat dengan pengungsi dan pencari suaka. Seiring dengan semakin membesarnya gelombang pengungsi dan pencari suaka yang datang ke kawasan ini, negara-negara tersebut justru semakin gencar untuk memperketat kebijakan imigrasinya sebagai sebuah sikap untuk menolak kedatangan orang-orang tersebut ke negaranya. Rasa penolakan ini bisa kita lihat dari emergency respon yang seakan-akan sudah menjadi kebijakan normal karena sudah dilakukan oleh negara-negara tersebut secara berulang kali. Seperti diantaranya adalah melakukan sergapan secara mendadak bagi manusia perahu yang akan masuk ke dalam wilayah perairannya, pendetensian pengungsi dan pencari suaka yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, dan operasi jaring pengungsi yang bertujuan untuk menangkap para pengungsi dan pencari suaka di negara masing-masing, sebelum ditempakan di rudenim (rumah detensi imigrasi). Upaya-upaya represif yang dilakukan oleh negara di atas, sebenarnya sejalan dengan proses speech act yang dilakukan oleh negara terhadap pengungsi dan pencari suaka. Negara melalui elit-elit politiknya memandang dan mengkonstruksikan bahwa pengungsi dan pencari suaka merupakan sebuah
26
ancaman bagi keamanan mereka. Ada tiga persepsi yang paling menonjol dalam proses speech act yang dilakukan oleh elit-elit negara, yakni pengungsi sebagai ancaman politik, pengungsi sebagai ancaman ekonomi dan pengungsi sebagai ancaman sosial. 1.7. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I merupakan bagian pendahuluan, dimana berguna sebagai fondasi dari penelitian ini. Bab ini terdiri dari Latar-Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, Argumen Utama dan Sistematika Penulisan. Bab II memberikan gambaran mengenai eksistensi pengungsi dan pencari suaka di kawasan Asia Tenggara, terutama dalam dua periode, yakni ketika Perang Dingin dan pasca-Perang Dingin. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran pra-kondisi, sebelum menjelaskan terjadinya sekuritisasi yang dilakukan oleh negara-negara kawasan. Bab III mengidentifikasi usaha-usaha atau emergency respons yang dilakukan oleh negara untuk menghalangi dan menolak kedatangan serta keberadaan pengungsi di wilayahnya. Hal ini menjadi penting sebagai tolak ukur kesuksesan sekuritisasi terhadap pengungsi secara keseluruhan. Bab IV menangkap ide-ide dari proses speech act yang dilakukan oleh securitizing actor, dalam upayanya melegitimasi tindakan serta membuat sebuah persepsi terhadap audiens, bahwa pengungsi dan pencari suaka merupakan ancaman bagi negara dan masyarakat.
27
Bab V menghadirkan suatu kesimpulan bahwa sekuritisasi yang dilakukan oleh negara-negara asia tenggara terhadap pengungsi dan pencari suaka cukup berhasil. Sesuai dengan arahan copenhagen school di dalam menilai pola sekuritisi, yakni existential threat, emergency respons dan breaking free of rules, ketiga gejala sekuritisasi tersebut hadir secara nyata sebagaimana kita saksikan pada bab-bab yang disajikan dalam penelitian ini.