BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penelitian Perempuan dalam perspektif sejarah merupakan proses permajinalan
dalam sistem masyarakat, di dalam struktur sosial ekonomi maupun politik, permarjinalan tersebut kemudian secara bertahap melahirkan komunitas perempuan yang terjebak dalam suatu kondisi yang rumit dan mengakibatkan perempuan berada pada posisi perangkap “kemiskinan”. Kemiskinan yang dialami perempuan bukan saja pada dataran ekonomi semata, melainkan juga terkekangnya hak ataupun kemerdekaan dalam berekspresi serta dinamika hidupnya. Wacana yang berkembang dewasa ini menempatkan perempuan pada tempat eksploitasi “korban” dari seluruh proses sosial. “Fenomena bias gender dalam konteks hubungan antara perempuan dan laki-laki akhirnya direspons dengan memunculkan suatu opini yang mengatakan bahwa dunia yang kita huni adalah dunia laki-laki, yang dibentuk dan ditata sedemikian rupa dengan norma atau nilai laki-laki” (Nugroho, 2008: 41). Beragam tanggapan menurut (Fakih, 2008: 143-144) mengenai peran penting perempuan dalam sistem sosial, baik pembentukan norma, maupun dalam pembangunan suatu bangsa menentukan arah karakter
dan
kepribadian yang dimilikinya. “Pertama, perempuan dipandang sebagai sosok
1
perempuan tidak punya masalah sehingga sistem hubungan antara laki-laki dan perempuan saat ini adalah yang terbaik dan karena itu posisi dan kondisi kaum perempuan tidak perlu dipersoalkan. Kedua, anggapan bahwa kaum perempuan
berada
dalam
kondisi
dan
posisi
yang
tertindas
dan
dieksploitasi”. Perbedaan ini dalam persoalan pembangunan suatu bangsa mengakibatkan lahirnya setereotipe ketentuan pergolakan kodrati atau bahkan ketentuan Sang Pencipta. Dalam proses selanjutnya pergolakan ini melahirkan juga terkondisikannya sebagian posisi perempuan yang dilahirkan oleh konstruksi ataupun upaya rekayasa sosial yang terbangun atas kondisi kodrat kultural, kondisi ini yang kemudian dijadikan manifestasi politik lakilaki. Perempuan dalam perjalanan pembangunan merupakan bagian terpenting, dalam kajian perspektif liberalis, radikalis, marxis dan sosialis, perempuan sebagai kaum tertindas dan tereksploitasi. Wacana perempuan begitu penting untuk dibahas, dianalisis dan dicarikan solusinya, mengingat posisi perempuan begitu sentral dalam pembangunan bangsa. Wacana perempuan menjadi isu yang selalu dinamis dan reaktif dewasa ini dalam kajian media, media menjadi ajang, sarana dan wahana yang tepat untuk mengusung pemikiran-pemikiran dan konstruksi mengenai peran dan posisi perempuan dalam pembangunan. Anderson dalam Alimi (2004: 26) menjelaskan tentang “pentingnya media massa dalam pembentukan identitas nasional berkaitan dengan
2
globalisasi, terutama media televisi (audio-Visual), penekanannya yakni pada konsumsi ritual yang terus menerus, surat kabar dan media televisi (audiovisual) ialah „pembukaan” (preamble) atau penyela (break) dalam rutinitas sehari-hari”.
Dalam
konteks
tersebut,
representasi
perempuan
dan
seksualitas telah terstruktur pada tataran identitas nasional dengan pola kontinuitas media yang mengakibatkan timbulnya ketimpangan identifikasi konsumsi bentuk natural identitas kolektif. Film sebagai media audio visual dan banyak dijadikan alat propaganda dalam sejarah perkembangannya merupakan momentum alat ketimpangan identitas nasional bagi perempuan. Situasi perempuan dalam media mengalami kontes wacana yang telah mendefinisikannya sebagai bisnis nilai, makna dan pandangan hidup materialis. Galliano dalam Ibrahim (2007: 4) menjelaskan bahwa “media dianggap sebagai agen sosialisasi gender yang penting dalam keluarga dan masyarakat. Media mengungkapkan kepada kita tentang peran perempuan dan laki-laki dari sudut pandang tertentu. media menentukan
dan
mengukuhkan
ideologi
“sistem
kepercayaan”
atau
pandangan dunia tertentu”. Menurut Julia T. Wood dalam Ibrahim (2007: 5) “secara hitoris, media mempengaruhi bagaimana media telah merepresentasikan baik perempuan maupun laki-laki dalam cara-cara yang sangat bersifat setereotipe. Pertama, media memupuk ideal-ideal gender yang realistis tentang perempuan dan laki-laki. Kedua, media mendorong kita untuk mempatologissasikan fungsi
3
dan tubuh manusia normal. Ketiga, media menormalisasikan kekerasan terhadap
perempuan”.
Film
sebagai
media
massa
berfungsi
untuk
mencerminkan kode-kode budaya dalam masyarakat tempat film di produksi. Cerminan dimana nilai-nilai yang diangkat menjadi tema merupakan mitos pada masanya. Perkembangan perfilman Indonesia dewasa ini cukup pesat, walaupun beberapa dekade sebelumnya sempat mengalami kemandekan, banyak orang tidak percaya pada media film sebagai media komunikasi dan sekaligus sebagai media kesenian, jika kita bandingkan dengan media kesenian yang telah populer lebih dulu seperti, musik, teater sastra dan lainlain. Film dikenal sebagai bentuk hiburan murni tempat setiap orang untuk mencari hiburan semata, bukan sebagai wahana orang untuk mendapatkan suatu pesan bagi dirinya dan juga bagi orang lain. Selanjutnya film dikenal sebagai media propaganda pada perang dunia II dan memiliki fungsi dan tujuan yang beragam, film bisa juga berfungsi sebagai gambaran kehidupan nyata, kritik, dan eksistensi jiwa berkesenian yang sejajar dengan seni-seni lainnya. Sederet film Indonesia yang pada masanya Berjaya seperti; Ratu Amplop (1974), Inem Pelayan Seksi (1976), Akibat Pergaulan Bebas (1977), Gita Cinta dari SMA (1979) dengan tema yang beragam yang dilahirkan para sutradara pada masanya. Tema yang diangkat dalam produksi film berkaitan dengan sutradara, sutradara ialah orang yang bertanggung jawab penuh dari mulai praproduksi;
4
pemilihan tema, riset, hingga persiapan skenario. Produksi, pada tahapan ini sutradara
mengkoordinasi
seluruh
jalannya
produksi
dengan
mempertimbangkan produser sebagai penyandang dana. Pada tahap pasca produksi, sutradara mendampingi editor sebagai penyunting gambar untuk bisa mengarahkan rangkaian cerita dalam bentuk gambar dan suara yang harmonis. Tema dan sutradara menjadi bagian yang menarik untuk dibicarakan, sebagai contoh sutradara besar seperi Garin Nugroho yang karya-karyanya mampu menempus festival film internasional berlandaskan pada tema persoalan sosial, politik, budaya dan agama. Detail film yang disutradarainya menghasilkan detail antropologi kebudayaan yang sarat dengan persoalanpersoalan ruang ketertidasan dan kekuasaan dominan. Karya-karya Garin Nugroho yang diperhitungkan pada dunia perfilman internasional seperti; Cinta dalam Sepotong Roti (1991), Surat untuk Bidadari (1994), Bulan Tertusuk Ilalang (1996), Daun Diatas Bantal (1998-1999), Puisi tak Terkuburkan (2000), Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002), serta film musical Opera Jawa (2006) yang diadaptasi dari Kisah Ramayama menjadi tema yang Kontroversial serta Under The Tree (2008) yang berusaha mengetengahkan tiga persoalan perempuan dengan latar belakang nuansa kebudayaan Bali. Berbeda dengan Garin Nugroho sutradara muda berbakat Riri Reza yang mengusung tema Cinta dan harapan (Asa), Riri Reza dengan debutnya
5
yang mengukir sejarah perfilman Indonesia setelah dikatakan mati suri dengan mengetengahkan kisah petualangan anak dengan memproduksi Petualangan Sherina (2000), Eliana (2002), Gie (2005), Untuk Rena (2005), Tiga Hari untuk Selamanya (2007), Laskar Pelangi (2008), dan Sang Pemimpi (2009). Sutradara yang mengukir sejarah setelah perfilman Indonesia mengelami kemerosotan tema, Rudi Soejarwo memanfaatkan momen dengan mengusung tema persahabatan seperti tergambar dalam film-film yang disutradarainya; Ada Apa dengan Cinta (2002), Rumah Ketujuh (2003), Mengejar Matahari (2004), Sembilan (9) Naga (2005), Tentang Dia (2005), Mendadak Dangdut (2006) dan lain-lain. Tema perempuan dan permasalahannya diangkat oleh sutradara perempuan, Nia Dinata yang konsisten memproduksi film yang mengisahkan tentang perempuan diantaranya; Cau Bau Kan (2001), Arisan (2003), Berbagi Suami (2005). Kemudian tema perempuan secara serentak diikuti oleh sutradara lainnya seperti Hanung Bramantyo lewat film Perempuan Berkalung Surban, dan munculnya Ratna Sarumpaet dengan film Jamila dan Sang Presiden. “Perempuan seakan-akan hanya „di-skenariokan” sebagai artis panggung (media) teater yang diarahkan oleh seorang sutradara lakilaki, dengan skenario yang dibuat laki-laki serta ditampilkan untuk memuaskan selera penonton yang kebetulan juga laki-laki” (Nugroho, 2008: 41).
6
Perempuan dalam sinematografi Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan, baik dari segi pekerja sutradara, T Nan Achnas, Lola Amariah, Nia Dinata, Upi, Ratna Sarumpaet, maupun tema film. Tema perempuan menjadi isu penting untuk diangkat kepermukaan oleh para sineas perempuan Indonesia sebagai kampanye untuk menyuarakan persoalan ketimpangan sosial. Indonesia sebagai negara berkembang dan segudang permasalahan anak-anak dan perempuan menjadi isu dan tema yang tidak ada habisnya untuk dibicarakan. Sederet catatan perdagangan manusia yang melibatkan anak-anak dan perempuan yang diperdagangkan dengan berbagai modus didalamnya dengan melibatkan berbagai kalangan, baik dari orang terdekat hingga aparatur negara dan penegak hukum. Ratna
Sarumpaet
ialah
seniman
Teater
yang
mencoba
mengetengahkan cerita dari panggung teater untuk memberikan nuansa berkesenian panggung yang diproduksi pada kemampuan film sebagai media yang mudah menyampaikan pesan kepada khalayak. Film ini berkisah tentang
seorang
perempuan
yang
berjuang
melawan
ketidakadilan
lingkungan dan sistem sosial yang membelenggunya. Ratna memberikan bobot tema tentang perempuan yang begitu berat dan sekaligus tema perempuan sebagai mitos dari kehidupan nyata. Persoalan kehidupan dan realitas tentang perdagangan manusia terutama anak-anak dan perempuan menghadirkan kemunafikan kehidupan.
7
Perjalanan
Ratna
Sarumpaet
sebagai
aktivis
perempuan
menjadikannya konsisten memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, beberapa kasus besar melibatkan dirinya, bahkan ketika persoalan perdagangan manusia (artis-perempuan), antara Manohara-Bangsawan negeri Jiran. Selain hal itu, sederet karya Ratna Sarumpaet dalam seni pertunjukan yang mengilustrasikan kehidupan dan perjuangan perempuan untuk dapat diakui keberadaannya yang menjadi tema setiap pertunjukan panggung seniman dan sekaligus aktivis ini. Bahkan pertunjukan monolog Ratna yang menggambarkan kisah Marsinah, seorang perempuan pejuang kaum buruh yang meninggal secara misterius, mendapat tekanan dari berbagai pihak, namun Ratna terus memperjuangkannya. Pola seni pertunjukan terlalu kecil untuk mendengungkan dan mengkampanyekan persoalan yang sering menimpa anak-anak, baik dari segi
pelecehan
seksual,
perdagangan
anak,
pelacuran,
dan
ketidakberdayaan perempuan dalam sistem sosial membuat Ratna berani untuk menampilkan detail mitos perempuan dalam kisah pelacur dan kepentingan dan kehidupan berbangsa, bernegara. Sebuah kisah yang dikemas dengan alur sinematografi yang mapan guna memberikan tontonan yang cerdas dan mudah dipahami secara logis. Bagaimanakah mitos perempuan dalam media film?
8
1.2.
Identifikasi dan Rumusan Masalah Tampilan isi cerita dalam media film menyangkut keseluruhan informal
verbal dipengaruhi banyak faktor, pemilihan tema, konsep produksi, konsep dan ideologi penyutardaraan. Kemasan isi media film merupakan pesan dalam sebuah “teks”. Teks yang dikenal dengan istilah semiotika komunikasi adalah dialog antar tokoh dan hasil rekaman gambar, audio, warna serta harmoninasi tentang sebuah peristiwa mitos dalam media film. Peristiwa demi peristiwa diatur dan dikelola sedemikian rupa dalam bentuk scene, scene adalah penggalan suatu adegan yang tercakup dalam sistem sequence, sementara sequence ialah bagian dari babak, dalam mengatur
dan
mengelola
mempengaruhinya.
Proses
peristiwa kerja
tersebut,
pembentukan
dan dan
konsep produksi
ideologi untuk
mendapatkan gambaran yang tepat tentang mitos perempuan dan segala bentuk ideologi dan hegemoninya dalam film bertemakan perempuan, perlu dibuat
rumusan
masalah,
sehingga
dapat
menjadi
panduan
dalam
menemukan hasil penelitian. Untuk itu penelitian akan berjalan menurut panduan problematik berikut: “Bagaimana mitos perempuan dalam film Jamila dan Sang Presiden?
1.3.
Maksud dan Tujuan Penyusunan Tesis Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini
adalah:
9
1. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi mendalam tentang perempuan yang ada dalam film “Jamila dan Sang Presiden”. 2. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh tentang pemaknaan mitos perempuan dalam kajian semiotika Roland Barthes.
1.4. 1.4.1.
Kegunaan Tesis (Penelitian) Kegunaan Teoritis (Akademis) Adapun kegunaan secara akademis penelitian ini meliputi: a. Secara teoritis kegunaan penelitian ini adalah memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan dan perluasan teoriteori komunikasi yang sudah ada. Misalnya, bagaimana kemampuan teoritis
semiotika dari Ronald Barthes yang
digunakan dalam penelitian ini menelisik lekuk seni audiovisual (semiotika komunikasi) secara detail atau menganalisis muatanmuatan “teks” yang bersifat laten. b. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan bacaan dan sumber kajian untuk studi lanjutan mengenai halhal yang berkaitan dengan telaah media massa (film), khususnya dari segi semiotika komunikasi. Kajian-kajian seperti ini perlu dilakukan secara akademis mengingat apa yang terjadi
10
pada opini publik
akibat representasi media (film)
tentang
perempuan dan permasalahannya. 1.4.2.
Kegunaan Praktis Adapun kegunaan praktis penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat
praktis,
penelitian
ini
diharapkan
memberikan
kontribusi positif, minimal bagi eksistensi media film drama yang diteliti, maksimal bagi seluruh media sejenis. Selain bisa dijadikan informasi bagi khalayak media untuk memahami isi media secara kritis dan holistis. Hal lain yang bisa diharapkan ialah dapat membantu meningkatkan pengetahuan pemerhati media film akan makna di balik cerita karena adanya hubungan ideologi media film terhadap cara produksi yang digunakan oleh media film, serta sebagai bahan pelajaran bagi sineas perfilman Indonesia yang memproduksi film, terutama film cerita drama. b. Manfaat
sosial,
signifikansi
penelitian
ini
juga
untuk
membuktikan bahwa realitas perempuan bukan sesuatu yang tunggal dan monolitik. Realitas perempuan dalam media adalah realitas plural sehingga harus dipahami dan dilihat secara menyeluruh.
Hasil
penelitian
ini
bisa
dijadikan
rujukan,
pegangan, dasar argumentasi untuk meningkatkan kesadaran kritis masyarakat terhadap isi cerita film. Dengan demikian
11
masyarakat
diharapkan
menjadi
penonton
yang
cerdas
menyikapi isi cerita dalam suatu film drama. c. Dari sisi pengembangan pemikiran tentang peran perempuan dalam masyarakat, apresiasi film atau apresiasi seni dan kritik yang ditunjukkan kepada tema perempuan dalam film “Jamila dan Sang Presiden”. Apresiasi dan kritik bisa menjadi masukan guna evaluasi internal dan penyempurnaan pemikiran lebih lanjut untuk menentukan tema film yang diproduksi khususnya untuk kepentingan kaum perempuan dan umumnya untuk masyarakat perfilman.
12