1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan indikator utama dalam menentukan kemajuan suatu negara. Semakin tinggi tingkat pendidikan warga negara maka semakin besar pula peluang bagi negara tersebut untuk menguasai dunia. Pendidikan akan membuka peluang berkarier bagi setiap orang yang mengenyamnya dan dengan pendidikan, manusia dapat mewujudkan mimpi-mimpinya. Selain itu, secara psikologis pendidikan berfungsi dalam membangun kedewasaan emosional seseorang. Oleh sebab itu perjuangan untuk memperoleh pendidikan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah perjuangan hak asasi umat manusia di dunia. Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya.1 Hak atas pendidikan ini merupakan hak dasar yang dimiliki oleh manusia. Perjuangan mengenai hak atas pendidikan secara internasional dapat dilihat pada instrumen hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Universal Declaration of Human Rights yang menyebutkan: (1) Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made
1
Endang Zaelani Sukaya, dkk., 2002, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Paradigma, Yogyakarta, hal. 11.
2
generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit. (2) Education shall be directed to the full development of the human personality and to the strengthening of respect for human rights and fundamental freedoms. It shall promote understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religious groups, and shall further the activities of the United Nations for the maintenance of peace. (3) Parents have a prior right to choose the kind of education that shall be given to their children. (1) Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan jurusan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pengajaran tinggi harus secara adil dapat diakses oleh semua orang, berdasarkan kepantasan. (2) Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta memperkokoh rasa penghargaan terhadap hakhak manusia dan kebebasan asasi. Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian. (3) Orang-tua mempunyai hak utama untuk memilih jenis pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka. Selanjutnya hak atas pendidikan dalam berbagai instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia digolongkan ke dalam hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, social and culture right). Setiap hak akan diikuti dengan kewajiban. Tiada hak yang dapat ada tanpa adanya kewajiban, sehingga antara hak dan kewajiban selalu ada korelasi. Setiap hak akan diikuti dengan kewajiban sehingga tidak ada hak yang akan dipenuhi tanpa adanya kewajiban yang terkait dengan pelaksanaan hak tersebut. Jaminan untuk memperoleh pendidikan menjadi tanggung jawab dari pemerintah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “Pemerintah
3
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
yang
diatur
dengan
undang-undang.”
Sehubungan dengan kewajiban tersebut, Biro Pendidikan Wilayah Asia Pasifik UNESCO mencatat kewajiban hukum dari pemerintah terhadap hak atas pendidikan yang mengacu pada skema 4-A yakni sebagai berikut: a.
Availability (ketersediaan), mengacu pada tiga macam kewajiban pemerintah yaitu: (1) pendidikan sebagai hak sipil dan politik mensyaratkan pemerintah untuk mengizinkan pendirian sekolahsekolah yang menghargai kebebasan terhadap pendidikan dan dalam pendidikan; (2) pendidikan sebagai hak sosial dan ekonomi mensyaratkan pemerintah untuk menjamin pendidikan wajib dan tanpa biaya bagi anak usia sekolah; dan (3) pendidikan sebagai hak budaya mensyaratkan dihargainya keragaman, khususnya hak-hak bagi kelompok minoritas dan penduduk asli.
b.
Accessibility
(keterjangkauan),
berarti
pemerintah
harus
menghapuskan praktik-praktik diskriminasi gender dan rasial dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia secara merata, dan pemerintah tidak sekedar puas dengan hanya pelarangan diskriminasi secara formal. Keterjangkauan itu berkenaan dengan jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi; pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan wajib dan tanpa biaya bagi seluruh anak usia sekolah. Hak atas pendidikan
4
seyogianya diwujudkan secara progresif agar pendidikan wajib dan tanpa biaya dapat dilaksanakan sesegera mungkin, dan mempermudah akses untuk melanjutkan pendidikan setelah wajib belajar. c.
Acceptability (penerimaan), mempersyaratkan penjaminan minimal mengenai mutu pendidikan, misalnya persyaratan kesehatan dan keselamatan atau profesionalisme bagi guru, tetapi cakupan yang sesungguhnya jauh lebih luas dari yang dicontohkan tersebut. Penjaminan tersebut harus ditetapkan, Perjanjian HAM yang utama dimonitor dan dipertegas oleh pemerintah melalui sistem pendidikan, baik pada institusi pemerintah maupun swasta. Penerimaan perjanjian dapat diperluas melalui pemberdayaan peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia: penduduk asli dan minoritas berhak memprioritaskan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Sementara itu, pelarangan terhadap hukuman fisik harus dilakukan dengan mengubah metode-metode pembelajaran dan penerapan disiplin sekolah. Persepsi yang muncul tentang anak-anak sebagai subjek yang berhak atas pendidikan dan berhak dalam pendidikan telah diperluas batasannya dalam hal penerimaannya yang mencakup isi kurikulum dan buku pelajaran, yang sekarang ini lebih dipertimbangkan dalam perspektif hak asasi manusia.
d.
Adaptability (kesesuaian), mempersyaratkan sekolah untuk tanggap terhadap kebutuhan setiap anak, agar tetap sesuai dengan Konvensi
5
tentang Hak-hak Anak. Hal ini mengubah pendekatan tradisional, yakni sekolah yang mengharapkan bahwa anak-anaklah yang harus dapat menyesuaikan terhadap berbagai bentuk pendidikan yang diberikan kepada mereka. Karena HAM tidak berdiri sendiri, kesesuaian menjamin diterapkannya hak asasi manusia dalam pendidikan dan memberdayakan HAM tersebut melalui pendidikan. Hal ini memerlukan analisis lintas sektoral atas dampak pendidikan terhadap hak asasi manusia, misalnya, memonitor tersedianya pekerjaan bagi lulusan dengan cara melakukan perencanaan terpadu antarsektor terkait.2 Dalam memenuhi hak asasi manusia atas pendidikan, pemerintah telah menyelenggarakan berbagai program yang diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi warga negara untuk memperoleh hak asasinya tersebut. Namun kenyataannya masih banyak terjadi angka putus sekolah dan buta huruf. Angka putus sekolah seluruh jenjang pendidikan di Indonesia sejak tahun 2005-2009 masih di atas satu juta siswa per tahun. Sebagian besar (80 persen) adalah mereka yang masih duduk di jenjang pendidikan dasar (SD-SMP). Dilihat secara persentase, jumlah total siswa yang putus sekolah dari SD atau SMP memang hanya berkisar 2 hingga 3 persen dari total jumlah siswa. Namun, persentase yang kecil tersebut menjadi besar jika dilihat angka sebenarnya. Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa.
2
Katarina Tomasevski, Pendidikan Berbasis Hak Asasi Penyederhanaan Persyaratan Hak Asasi Manusia, Global Proyek Kerja Sama antara Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak atas Pendidikan dan Biro Pendidikan Wilayah Asia Pasifik UNESCO, Biro Pendidikan Wilayah Asia Pasifik UNESCO, Bangkok.
6
Sementara itu, jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolahnya di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang.3 Sekitar 8.000 anak di bawah umur yang sudah bekerja mengalami drop out (DO) atau putus sekolah. Akibatnya, mereka tidak bisa menyelesaikan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.4 Untuk daerah Bali, persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang tergolong buta huruf (tidak bisa membaca dan menulis) menurut kabupaten/ kota di Bali tahun 2007 mencapai 14,02% atau dengan kata lain sebanyak 85,98% penduduk usia 15 tahun ke atas mampu membaca dan menulis.5 Menurut data Biro Pusat Statistik Bali, persentase usia sekolah yang dapat membaca dan menulis adalah 89,17% sedangkan 10,83% belum bisa membaca dan menulis.6 Sebanyak 1.798 anak lulusan sekolah dasar di Pulau Dewata kini mengalami putus sekolah akibat berbagai faktor. Kepala bagian Publikasi dan Dokumentasi pada Biro Humas dan Protokol Pemerintah Provinsi Bali sebagaimana yang dilaporkan oleh Metro TV News menyatakan bahwa masalah
3
Palupi Panca Astuti (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), 2009, “Putus Sekolah Masih Menjadi Masalah”, Serial Online Jumat, 13 Februari 2009 07:00 , (cited 2010 Dec. 14), available from : URL: , http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=117:putus-sekolahmasih-menjadi-masalah&catid=39:anak&Itemid=92 4
Republik Indonesia, 2007, “8.000 Pekerja Anak Putus Sekolah”, Serial Online23-03-2007, (cited 2010 Dec. 14), available from : URL: http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=3914&Itemid=712 5
Kondisi Pendidikan di Provinsi Bali sebagaimana yang dilampirkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2013. 6
Biro Pusat Statistik Provinsi Bali, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali 2011.
7
keterbatasan ekonomi, tercatat menjadi penyebab utamanya. Putus sekolah itu sebagian kecil juga akibat adanya kesulitan geografis dan hambatan kultur yang dianut masyarakat setempat. Selain putus setelah tamat sekolah dasar, juga sekitar 5.000 tamatan sekolah menengah pertama (SMP) tidak bisa melanjutkan ke sekolah menengah atas (SMA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK).7 Masalah pendidikan yang terjadi di Bali juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, penduduk perempuan yang buta huruf di Bali tahun 2007 lebih dari dua kali lipat penduduk laki-laki yang buta huruf, yaitu 20,42% berbanding 8,00%. Kondisi ini terjadi di seluruh kabupaten/ kota di mana persentase penduduk perempuan yang buta huruf lebih dari dua kali lipat lebih tinggi berbanding penduduk laki-laki.8 Perbedaan kondisi ini disebabkan karena budaya patriarkhi di Bali yang menjadikan laki-laki sebagai penerus keturunan. Akibatnya orang tua lebih memilih untuk mengekolahkan anak laki-lakinya daripada anak perempuan. Anak laki-laki inilah yang dianggap sebagai tumpuan masa depan orang tua, sedangkan anak perempuan setelah berkeluarga dianggap sebagai milik keluarga suaminya sehingga orang tua merasa rugi jika menyekolahkan anak perempuan. Stereotipe dalam masyarakat yang memandang bahwa “kodrat” perempuan berada di dapur juga menjadi sumber dari rendahnya pendidikan bagi perempuan. 7
Metro TV, 2010, “Ribuan Anak Putus Sekolah di Bali”,Serial Online Selasa, 24 Agustus 2010 17:41 WIB, (cited 2010 Dec. 14), available from : URL: http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newscat/nusantara/2010/08/24/27004/RibuanAnak-Putus-Sekolah-di-Bali 8
Kondisi Pendidikan di Provinsi Bali sebagaimana yang dilampirkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 ahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2013.
8
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat akan berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran. Hal ini juga bertendensi pada kenaikan jumlah kriminalitas. Oleh sebab itu, pemerintah selaku penanggungjawab pelaksanaan
pendidikan
nasional
mengambil
berbagai
kebijakan
dalam
pembangunan di bidang pendidikan. Hal ini sesuai amanat dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.” Untuk melaksanakan amanat tersebut maka Pemerintah Provinsi Bali sendiri telah membuat kebijakan yang berbeda dengan daerah lainnya yakni kebijakan wajib belajar 12 tahun.9 Wajib belajar 12 tahun meliputi jenjang pendidikan dasar dan menengah yakni pada jenjang SD, SMP hingga SMA. Kebijakan wajib belajar 12 tahun yang diformulasikan melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2013. Dalam Lampiran Peraturan Daerah ini dirumuskan visi, misi, strategi dan kebijakan daerah yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2013, termasuk di dalamnya kebijakan/program wajib belajar 12 tahun. Perlu
9
Kewenangan dalam pembangunan pendidikan adalah urusan pemerintah pusat yang diserahkan kepada pemerintah daerah. Provinsi dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan pusat yang diserahkan dan diberi wewenang oleh Pemerintah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang bersifat wajib dengan cakupan yang berskala regional. Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan “Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. Selanjutanya dalam Pasal 22 disebutkan “Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban: e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
9
dipahami bahwa lampiran ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009, sebab Pasal 2 ayat (2) menyatakan sebagai berikut: (1) RPJMD memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program SKPD, lintas SKPD dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif. (2) RPJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pedoman penyusunan RKPD, Renstra-SKPD, Renja-SKPD, dan perencanaan teknis pelaksanan dan pengendalian pembangunan daerah. (3) Rincian RPJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini Dengan
pemahaman
demikian,
maka
dapat
ditegaskan
bahwa
kebijakan/program wajib belajar 12 tahun sudah merupakan ketentuan normatif yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009. Kebijakan/program wajib belajar 12 tahun merupakan kebijakan/program yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Bali untuk mewujudkan visi dan misi pembanguan daerah dalam kurun waktu 2009-2013.
Visi yang hendak dicapai dalam rencana
pembangunan daerah periode 2009-2013, adalah ”Terwujudnya Bali yang maju, Aman, Damai, dan Sejahtera.” Untuk mewujudkan visi tersebut dirumuskan tiga misi pembangunan,
yaitu: pertama, ”Mewujudkan Bali yang Berbudaya,
Metaksu, Dinamis, Maju dan Moderm”; kedua, ”Mewujudkan Bali yang Aman, Damai, Tertib, Harmonis, serta Bebas dari Berbagai Ancaman”; dan ketiga, ”Mewujudkan Bali yang Sejahtera dan Sukerta Lahir Bathin”. Untuk mewujudkan misi yang pertama disebutkan tujuannya, antara lain meningkat pendidikan dengan sasaran ”Meningkatnya akses dan mutu pada
10
layanan pendidikan serta terlaksananya wajib belajar 12 tahun”. Untuk mencapai tujuan itu kemudian dirumuskan strategi dan arah kebijakan pembangunan daerah. Dalam rangka melaksanakan misi dibidang pembangunan daerah pendidikan kemudian dirumuskan arah kebijakan pembangunan di bidang pendidikan yang disebutkan dalam Bab IV, angka 4.3.2.1. butir 1 yang menyatakan: ”Meningkatkan kualitas SDM lahir dan bathin dengan meningkatkan kualitas dan akses pendidikan wajib belajar 12 tahun...”. Dalam lampiran Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 juga telah disusun program-program
prioritas
dalam
bentuk
matrik
yang
merinci
secara
berkesinambungan mulai dari urusan, kebijakan, program, uraian indikator serta target capaian tahunan. Matrik dalam Peraturan daerah Nomor 9 Tahun 2009 ini kemudian diubah dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 110 Tahun 2011 tentang Perubahan Matrik Indikasi Rencana Program Prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 20082013. Terkait dengan program wajib belajar pendidikan menengah 12 tahun, berikut ini disajikan indikator sasarannya dalam 5 tahun, sebagaimana disebutkan dalam Lampiran Peraturan Gubernur Bali Nomor 110 Tahun 2011, sebagai berikut:
11
Tabel 1 Indikator Sasaran Program Wajib Belajar 12 Tahun: Perluasan dan Pemerataan Akses Pendidikan
Target Capaian (dalam %) Uraian Indikator
Awal
2009
2010
2011
2012
2013
Meningkatnya APK SMA/SMK/MA dari 71,90% menjadi 80, 52% dalam 5 tahun
71,90
72,60
74,60
76,56
78,54
80,52
Meningkatnya APM SMA/SMK/MA dari 71,90% menjadi 80, 52% dalam 5 tahun
58,10
60,21
63,24
66,27
69,30
72,33
Seimbangnya proporsi siswa SMA dan SMK:
Menurunnya siswa SMA dari 70% menjadi 52,60% 70% 67,60 63,85 60,10 56,35 dalam 5 athun Meningkatnya siswa SMK dari 30% menjadi 47,40 30 32,40 36,15 39,90 43,65 dalam 5 athun Sumber: Lampiran Peraturan Gubernur Bali Nomor 110 Tahun 2011
52,60
47,40
Indikator-indikator di atas dapat digunakan sebagai parameter (alat ukur) untuk mengukur efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2009 terkait dengan program wajib belajar 12 tahun, sedangkan tingkat efektivitas pelaksanaan program tersebut dapat diukur dari target-target capaian
yang
disebutkan dalam tabel di atas. Hadirnya Peraturan Daerah ini dimantapkan
12
dengan paradigma baru pembangunan pendidikan yang bertumpu pada tiga pilar utama yakni kemandirian dalam pengelolaan, akuntabilitas (accountability) dan jaminan mutu (quality assurance). Lahirnya kebijakan penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah daerah dalam menjamin hak asasi atas pendidikan yang sesuai dengan tujuan negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mendukung program ini maka dilakukan berbagai kebijakan yang mendukung pelaksanaan wajib belajar 12 tahun yakni pembangunan dan perbaikan sekolah, pemberian beasiswa bagi yang kurang mampu, sosialisasi pendidikan, pembukaan sekolah terbuka di daerah terpencil dan sebagainya. Pelaksanaan wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali menjadi cermin dari keberhasilan upaya pemerintah daerah dalam memenuhi hak atas pendidikan bagi semua orang (education for all) sebagaimana yang diatur dalam RPJMD yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 dalam penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun. Efektifnya program wajib belajar 12 tahun juga menjadi cerminan dari pelaksanaan otonomi daerah. Efektivitas tersebut dipengaruhi oleh faktor hukum, faktor sarana dan prasarana faktor penegak hukum, faktor masyarakat dan faktor budaya yang saling terkait satu sama lain. Oleh sebab itu sangat menarik untuk membahas penelitian yang berjudul “PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI
13
NOMOR 9 TAHUN 2009 TERKAIT DENGAN PROGRAM WAJIB BELAJAR 12 TAHUN.”
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: a.
Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali?
b.
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali?
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan Ruang
lingkup
penelitian
merupakan
bingkai
penelitian,
yang
menggambarkan batas penelitian; mempersempit permasalahan dan membatasi area penelitian.10 Adapun ruang lingkup dalam penelitian tesis ini terbatas pada efektivitas pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali dan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah
10
Bambang Sunggono, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 111.
14
Nomor 9 tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali. Pada permasalahan pertama akan dibahas mengenai aktor dalam kebijakan wajib belajar 12 tahun dan implementasi kebijakan wajib belajar 12 tahun. Pada permasalahan kedua akan dibahas tingkat efektivitas pelaksanaan program wajib 12 tahun dan faktor-fakor yang mempengaruhi efektiitas pelaksaaan program wajib belajar 12 tahun.
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian terbagi atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum berkaitan dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses) sedangkan tujuan khusus bertujuan untuk mendalami permasalahan hukum secara khusus. Adapun tujuan umum dan tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1.4.1 Tujuan umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan pogram wajib belajar 12 tahun. 1.4.2 Tujuan khusus Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1)
Untuk mengetahui dan menganalisis secara kritis efektivitas pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali.
15
2)
Untuk mengetahui dan menganalisis secara kritis faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun manfaat tersebut dapat dirinci sebagai berikut: 1.5.1
Manfaat teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan
ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan hukum dan kebijakan publik serta hak asasi manusia. Dengan demikian penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan wajib belajar 12 tahun. 1.5.2
Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
menjadi referensi dari decision maker dan legal drafter dalam (1) menyusun kebijakan publik yang berkaitan dengan pembangunan di bidang pendidikan serta (2) dalam melaksanakan program wajib belajar 12 tahun.
16
1.6 Orisinalitas Penelitian Tulisan mengenai efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 dalam penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun merupakan tulisan baru yang belum pernah dibahas sebelumnya. Kajian tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 Terkait Dengan Pogram Wajib Belajar 12 Tahun baik dari segi kuantitas dan kualitas. Penelitian tesis ini menekankan pada efektivitas pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali dan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali. Tulisan dalam tesis ini memang belum pernah dibahas sebelumnya oleh penulis lain. Untuk membuktikan tulisan original maka disajikan beberapa penelitian yang berkaitan dengan efektivitas dan pendidikan: 1)
Tulisan tentang efektivitas I Made Badra dalam tesis di Program Pascasarjana Universitas Udayana yang berjudul “Efektivitas Pelaksanaan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 394 Tahun 1997 Tentang Pengaturan Kesenian Daerah Di Propinsi Daerah Tingkat I Bali” Dalam penelitian ini dibahas mengenai tingkat efektivitas pelaksanaan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 394 Tahun 1997 tentang Pengaturan Kesenian Daerah di Provinsi Daerah Tingkat I Bali, faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali
17
Nomor 394 Tahun 1997 tentang Pengaturan Kesenian Daerah di Provinsi Daerah Tingkat I Bali dan upaya-upaya Pemerintah Provinsi Bali untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 394 Tahun 1997 tentang Pengaturan Kesenian Daerah di Provinsi Daerah Tingkat I Bali.11 Tesis ini merupakan hasil penelitian yuridis empiris dengan kajian bekerjanya hukum (keputusan gubernur) dalam masyarakat. Dalam tesis tersebut diulas mengenai belum efektifnya Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 394 Tahun 1997 tentang Pengaturan Kesenian Daerah di Provinsi Daerah Tingkat I Bali karena masing-masing stake holder yang terkait seperti Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, para Sekaa Kesenian dan pihak hotel/restoran/stage pertunjukan tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Keputusan Gubernur tersebut. Upaya yang dilakukan adalah dengan sosialisasi, pembinaan dan pengurusan ijin pertunjukan bagi sekaa/organisasi kesenian. 2) Tulisan tentang pendidikan Beberapa tulisan tentang pendidikan diantaranya: a.
Andi Taletting Langi (UI) dalam tesis yang berjudul “Pemenuhan Hak atas Pendidikan Bagi Pengungsi Anak Studi Kasus Pengungsi Anak di Naggroe Aceh Darussalam.” Dalam tesis yang dibuat pada tahun 2008 ini membahas mengenai konsep anak dan gambaran umum konflik di Aceh
11
I Made Badra, 2011, “Efektivitas Pelaksanaan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 394 Tahun 1997 Tentang Pengaturan Kesenian Daerah Di Propinsi Daerah Tingkat I Bali” (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
18
serta upaya pemenuhan hak atas pendidikan bagi pengungsi anak.12 Penelitian ini merupakan penelitian empiris dengan lokasi penelitian di Naggroe
Aceh
Darussalam
dengan
menganalisis
permasalahan
pemenuhan hak anak atas pendidikan dan upaya pemenuhannya bagi pengungsi anak, sehingga yang menjadi objek kajian adalah hak atas pendidikan bagi pengungsi anak. b.
Alizar Isna dalam penelitian yang berjudul “Model Kebijakan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun di era Desentralisasi Pendidikan (Studi di Pondok Pesantren Salafiyah Kabupaten Banyumas).” Dalam penelitian tersebut dibahas mengenai implementasi program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 Tahun di era otonomi daerah pada Pondok Pesantren Salafiyah, permasalahan-permasalahan yang muncul serta kebijakan yang telah dan akan dilaksanakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kajian dilanjutkan dengan membahas mengenai model kebijakan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang dapat diterapkan dan mendukung program tersebut di era otonomi.13 Dalam analisis tesis ini program wajib belajar yang ditelaah adalah wajib belajar 9 tahun, bukan 12 tahun.
12
Andi Taletting Langi, 2008, “Pemenuhan Hak atas Pendidikan Bagi Pengungsi Anak Studi Kasus Pengungsi Anak di Naggroe Aceh Darussalam”, (Tesis), Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. 13
Alizar Isna, 2009, “Model Kebijakan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun di Era Desentralisasi Pendidikan (Studi di Pondok Pesantren Salafiyah Kabupaten Banyumas)”, (tesis), Program Studi Magister (S2) Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
19
c.
Komang Merta Dana dari Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Udayana menulis mengenai “Kewenangan Pemerintah Daerah Propinsi Bali Dalam Penanganan Pendidikan Dasar.” Dalam tesis tersebut dibahas mengenai dasar hukum Keputusan Gubernur Bali No. 30 Tahun 2001 tentang Uraian Tugas Dinas Pendidikan dan Implikasi Yuridis Keputusan Gubernur No. 30 Tahun 2001 terhadap pelaksanaan tugas pada Subdin Pendidikan Dasar.14 Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini membahas mengenai dasar pemikiran Keputusan Gubernur Bali No. 30 Tahun 2001 tentang Uraian Tugas Dinas Pendidikan dan implikasinya terhadap pelaksanaan pendidikan dasar yang menjadi tugas Subdin. Pendidikan dasar tersebut merupakan pendidikan wajib belajar 9 tahun.
Penelitian tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 Terkait Dengan Pogram Wajib Belajar 12 Tahun adalah penelitian empiris yang dilakukan di Provinsi Bali, dengan sampel di kota Denpasar dan di Kabupaten Bangli. Pada tesis yang ditulis oleh I Made Badra yang berjudul “Efektivitas Pelaksanaan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 394 Tahun 1997 Tentang Pengaturan Kesenian Daerah Di Propinsi Daerah Tingkat I Bali,” dibahas mengenai perlindungan terhadap organisasi kesenian (sekaa). Perlindungan tersebut mencakup mengenai kewajiban bagi organisasi kesenian
14
Komang Merta Dana, 2007, “Kewenangan Pemerintah Daerah Propinsi Bali Dalam Penanganan Pendidikan Dasar”, (tesis), Program Studi Magister (S2) Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
20
untuk memiliki izin pertunjukan, ketentuan mengenai jenis kesenian yang boleh dan tidak boleh dipertunjukkan, ketentuan mengenai tempat pementasan dan berhias yang layak, konsumsi, transportasi, jaminan sosial (jasa raharja dan kesehatan) serta standar pengupahan bagi sekaa/ organisasi kesenian. Dalam tesis “Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun
2009 Terkait
dengan Program Wajib Belajar 12 Tahun”, fokus kajian adalah mengenai bekerjanya aturan hukum berupa Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 dalam melaksanakan wajib belajar 12 tahun di Bali. Tesis mengenai pendidikan yang dibahas oleh Andi Taletting tentang “Pemenuhan Hak atas Pendidikan Bagi Pengungsi Anak Studi Kasus Pengungsi Anak di Naggroe Aceh Darussalam” merupakan penelitian empiris mengenai upaya pemenuhan hak atas pendidikan bagi pengungsi anak di Aceh sedangkan tesis “Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 Terkait dengan Program Wajib Belajar 12 Tahun” merupakan penelitian empiris yang dilakukan di Bali dengan mengukur indikator efektivitas wajib belajar 12 tahun. Dalam tesis yang ditulis oleh Alizar Isna yang berjudul “Model Kebijakan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun di Era Desentralisasi Pendidikan (Studi di Pondok Pesantren Salafiyah Kabupaten Banyumas)” membahas mengenai model kebijakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun sedangkan tesis “Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 Terkait dengan Program Wajib Belajar 12 Tahun” mengkaji mengenai pelaksanaan wajib belajar 12 tahun di Bali sebagai perwujudan atas amanat dalam eraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009.
21
Tesis “Kewenangan Pemerintah Daerah Propinsi Bali Dalam Penanganan Pendidikan Dasar” yang ditulis oleh Komang Merta Dana mengkaji mengenai pendidikan dasar yakni pada tingkat SD dan SMP sedangkan tesis “Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 Terkait dengan Program Wajib Belajar 12 Tahun” mengkaji mengenai wajib belajar 12 tahun yakni sejak tingkat SD hingga SMA/ sederajat.
1.7
Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.7.1 Landasan teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum, asas hukum serta aturan hukum yang terkait dengan pembahasan dalam penelitian tesis ini. Teori hukum sebagai menyangkut mengenai aturanaturan hukum dan putusan-putusan hukum secara konseptual. Teori-teori sebagai landasan untuk menjelaskan permasalahan penelitian berfungsi sebagai pijakan untuk mewujudkan kebenaran dalam ilmu hukum. Dalam hal ini teori digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah permasalahan yang dikaji. Untuk lebih menjalin validitas dalam penelitian ini, maka digunakan beberapa landasan teori sebagai berikut: 1)
Teori kebijakan publik
2)
Teori hak asasi manusia
3)
Teori efektivitas hukum
22
Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut: 1)
Teori kebijakan publik Kebijakan menurut Thomas R. Dye sebagai pilihan pemerintah untuk menentukan langkah untuk berbuat atau tidak berbuat (do or no to do).15 Dalam ruang lingkup yang lebih luas, D Carl J Friedrich mengatakan kebijakan adalah serangkaian konsep tindakan yang diusulkan oleh seseorang atau sekelompok orang atau pemerintah dalam satu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan peluang, terhadap pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka mencapai tujuan. David Easton menyebutkan kebijakan pemerintah sebagai kewenangan mengalokasikan nilai-nilai bagi masyarakat secara menyeluruh.16 Kebijakan publik dalam makna yang luas meliputi: a) Kebijakan publik pada tataran perumusan haluan negara (state policy, staatspolitiek atau staatsbeleid) oleh lembaga negara... b) Kebijakan publik pada tataran perumusan program legislatif nasional (Prolegnas) dan Rencana legislatif nasional (Relegnas),… c) Kebijakan pada tataran pelaksanaan hukum yang sudah tersedia itu yang biasa disebut penegakan (law enforcement) dalam makna sempit…17
Sejalan dengan pendapat Thomas R. Dye, maka kebijakan di bidang pendidikan yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 merupakan pilihan Pemerintah Provinsi Bali untuk menyelenggarakan wajib belajar 12
tahun.
Dalam merumuskan
kebijakan penyelenggaraan
15
M. Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, hal. 6.
16
Ibid., hal 7- 8.
17
Ibid., hal. 63-64.
23
pendidikan wajib belajar 12 tahun diperlukan politik hukum dari decision maker untuk menciptakan tujuan hukum dalam masyarakat. Politik hukum menganut prinsip double movement yaitu selain sebagai kerangka pikir merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (legal policy) oleh lembagalembaga negara yang berwenang ia juga dipakai untuk mengkritisi produkproduk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy tersebut.18 Politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun materi hukum yang akan dibentuk. Politik hukum menjadi jiwa dari produk hukum itu sendiri. Politik hukum adalah penentuan dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu yang diinginkan oleh masyarakat. Politik hukum adalah alat atau sarana untuk mencapai tujuan nasional yang diinginkan. Oleh sebab itu politik hukum merupakan langkah yang dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Politik hukum dalam hal ini berada pada dimensi ius contituendum. Politik hukum Indonesia bersumber dari Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik dalam pembukaan maupun dalam pasal-pasal. Moh. Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul “Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi” menyatakan bahwa penegasan keduanya sebagai sumber politik hukum nasional didasarkan
18
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 51.
24
pada dua alasan. Pertama, Pembukaan dan Pasal-pasal Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat tujuan, dasar, cita hukum dan norma dasar negara Indonesia yang harus menjadi tujuan dan pijakan dari politik hukum di Indonesia. Kedua, Pembukaan dan Pasal-pasal Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung nilai khas yang bersumber dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyang sejak berabad-abad yang lalu.19 Acuan politik hukum dalam merumuskan kebijakan terkait dengan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar 12 tahun ini bersumber pada: a)
Alenia ke-4 Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b)
Pasal 31 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan-ketentuan normatif yang diatur dalam Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, maka kebijakan penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun merupakan implementasi dari amanat konstitusi. Teori kebijakan ini digunakan dalam menelaah rumusan masalah pertama yakni efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan program wajib belajar 12 tahun.
19
Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, hal. 23, (selanjutnya disebut Mahfud MD I).
25
2)
Teori hak asasi manusia Memperoleh pendidikan hingga jenjang SMA atau sederajat merupakan hak asasi manusia, sehingga kebijakan wajib belajar 12 tahun merupakan suatu upaya pemerintah dalam memenuhi hak asasi manusia bagi warga negaranya. Pengaturan hak asasi manusia secara normatif dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, walaupun pengakuan terhadap hak asasi manusia telah ada jauh sebelum negara ini terbentuk. Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi mendefinisikan hak asasi manusia sebagai “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Mahfud MD memandang hak asasi manusia sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hal tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara.20 Hak-hak asasi pada dasarnya adalah hak-hak dasar yang dimiliki manusia sebagai pembawaan sejak kelahirannya, dimiliki secara alamiah yang sangat berkaitan dengan martabat manusia tersebut.
20
Mahfud MD, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal 127, (selanjutnya disebut Mahfud MD II).
26
Karel Vasak memahami HAM dengan menelaah perkembangan substansi hak-hak yang terkandung daam konsep HAM yakni sebagai berikut: a.
Generasi Pertama Hak Asasi Manusia Kebebasan atau hak-hak generasi pertama sering dirujuk untuk mewakili hak-hak sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang klasik. Hak-hak generasi pertama itu sering pula disebut sebagai hakhak negarif. Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya campur tangan terhadap hak-hak dan kebebasan individu. Pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan dalam generasi pertama ini sangat tergantung pada absen atau minusnya tindakan negara terhadap hak-hak tersebut. Jadi negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya.
b.
Generasi Kedua Hak Asasi Manusia Persamaan atau hak-hak generasi kedua diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai hak-hak positif yang sangat membutuhkan peran aktif negara. Positif disini artinya bahwa pemenuhan hak-hak tersebut sangat membutuhkan peran aktif negara. Keterlibatan negara di sini harus menunjukkan tanda positif, tidak boleh menunjukkan tanda negatif.
c.
Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia
27
Persaudaraan atau hak-hak generasi ketiga diwakili oleh tuntutan hak solidaritas atau hak bersama. Melalui tuntutan aas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hakhak sebagai berikut: (i) hak atas pembangunan, (ii) hak atas perdamaian, (iii), hak atas sumber daya alam sendiri, (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik dan (v) hak atas warisan budaya. 21 Hak asasi atas pendidikan merupakan hak asasi yang lahir dari generasi kedua yang memperjuangkan hak asasi di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Lahirnya hak asasi manusia pada generasi kedua ini merupakan reaksi dari para pekerja di Eropa Timur yang tereksploitasi oleh golongan kapitalis. Jika dicermati dari teori hak asasi manusia maka ada empat acuan yang dapat menjadi standar hak asasi manusia, yakni mencakup: a)
Teori hukum alam/ kodrat; inti pandangannya bahwa hak asasi manusia adalah hak setiap manusia yang bersifat abadi dan universal berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human rights that belong to all human being at all times and all places by vircue of belong born as human being). Hak asasi manusia sebagai hak kodrati, dipengaruhi pandangan John Locke, bahwa standar hak asasi manusia adalah perlindungan atas manusia sebagai pribadi otonom dan kebebasan individu.
21
Rhona K.M. Smith, 2010, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta, hal. 15-16.
28
b) Teori positivist; inti pandangannya bahwa hak asasi manusia adalah hak karena diatur dalam hukum positif atau dijamin undang-undang. Dalam pandangan teori positivist standar hak asasi manusia ditentukan oleh karakter dari undang-undang sebagai produk politik. Dalam sistem politik
demokratis,
karakter
undang-undang
bersifat
responsif,
menjamin perlindungan hak asasi manusia, karena nilai hukum suatu demokrasi adalah rule of law yang menjamin perlindungan hak asasi manusia. Di balik itu sistem politik otoriter, melahirkan undang-undang yang karakternya represif, materi muatan undang-undang membatasi hak individu, memberi peluang yang luas kepada penguasa/ pemerintah untuk mengatur sesuai dengan visi dan misi politik dan kekuasaan. Dengan demikian dalam sistem politik otoriter, undang-undang tidak memenuhi standar hak asasi manusia. c)
Teori relativitas budaya, memandang hak asasi manusia sebagai interaksi sosio-kultural, sehingga pandangan tentang kemanusiaan nonuniversal, tetapi sesuai dengan tradisi masing-masing bangsa. Oleh karena itu standar hak asasi manusia bersifat “partikularis.’ Pandangan ini yang ditengarai menimbulkan “standar ganda” dalam pemajuan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Artinya dengan alasan pembenar, tindakan penguasa yang melanggar hak asasi manusia dan begitu sebaliknya.
d) Teori Marxis, intinya menolak teori hukum alam/ hak kodrati yang dipandang menganut paham metafisik. Bagi Marx, sumber hak asasi
29
manusia adalah negara dan kolektivitas masyarakat. Dengan demikian menurut teori Marxis tidak ada perlindungan terhadap hak individu, yang ada adalah kewajiban individu kepada negara dan kolektivitas, karena tidak ada pula standar hak asasi manusia.22 Teori hak asasi manusia digunakan dalam menganalisis permasalahan pertama yang terkait dengan tanggung jawab pemerintah daerah dalam memenuhi hak asasi atas pendidikan. 3.
Teori efektivitas hukum Kebijakan pemerintah Provinsi Bali dalam menyelenggarakan wajib belajar 12 tahun yang diformulasikan dalam bentuk hukum melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2013. Kebijakan ini telah dilaksanakan oleh pemerintah provinsi Bali melalui Dinas Pendidikan Provinsi Bali. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai efektivitas dari kebijakan wajib belajar 12 tahun dapat diukur melalui teori efektivitas hukum. Telaah mengenai efektivitas hukum sangat terkait dengan faktorfaktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Soerjono Soekanto menyatakan ada 5 faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu: 1) Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja.
22
I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hal. 207-208.
30
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.23 Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum.24 Keterkaitan faktor-faktor tersebut menjadi dasar dalam mengukur keberhasilan suatu penegakan hukum. Achmad Ali dalam bukunya yang berjudul “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence” mengatakan bahwa jika ditelaah dari ketaatan hukum, relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya pada standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat.25 Teori efektivitas hukum juga dibahas oleh Lawrence M. Friedman dalam teori yang dinamakan Three Element of Legal System. Menurut
23
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 8. 24
25
Ibid., hal. 9.
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 376-378.
31
Friedman, tiga unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum adalah struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Struktur hukum berkaitan dengan kelembagaan hukum. Substansi hukum meliputi aturan, norma dan perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum serta produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Budaya hukum merupakan sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum.26 Peraturan daerah merupakan bagian dari peraturan perundangundangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Efektivitas perundang-undangan menurut Achmad Ali tergantung pada beberapa faktor, antara lain: 1)
Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan,
2)
Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
3)
Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di dalam masyarakatnya.
4)
Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai sweep legislation (undang-undang sapu), yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.27
26
H. Salim H.S. dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 305-306. 27
Achmad Ali, op.cit., hal. 378-379.
32
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas dari kebijakan wajib belajar 12 tahun dapat dianalisis melalui substansi hukum dan latar belakang munculnya kebijakan ini, pengetahuan hukum atas kebijakan serta institusi pelaksana kebijakan wajib belajar 12 tahun. Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2013, dijelaskan mengenai agenda-agenda pendidikan yang menjadi target pembangungan. Tindak lanjut atas kebijakan wajib belajar 12 tahun yang sudah berjalan selama 3 tahun ini adalah dengan pembangunan infrastruktur sekolah, pemberian beasiswa, pemerataan rasio guru SMA dan pembukaan sekolah terbuka di wilayah-wilayah terpencil. Keberhasilan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan sangat tergantung banyak faktor. Secara garis besar bekerjanya hukum dalam masyarakat akan ditentukan oleh beberapa faktor utama. Faktor-faktor tersebut dapat: a. b. c.
Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan perundang-undangannya). Penegakannya (para pihak dan peranan pemerintah). Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis (menyangkut pertimbangan ekonomis serta kultur hukum pelaku bisnis)28 Teori-teori mengenai efektivitas hukum ini digunakan untuk
menganalisis
rumusan
masalah
kedua
yakni
faktor-faktor
yang
mempengaruhi efektivitas kebijakan pemerintah provinsi Bali dalam
28
Suteki, 2008, Rekonstruksi Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial (Studi Privatisasi Pengelolaan Sumber Daya Air). Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. hal. 34.
33
menyelenggarakan wajib belajar 12 tahun. Faktor tersebut ditelaah melalui dua aspek yakni efektivitas kebijakan dan efektivitas program wajib belajar 12 tahun.
1.7.2 Kerangka berpikir. Kerangka berpikir atau conceptual framework dalam penelitian mengenai pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan pogram wajib belajar 12 tahun dilandaskan pada teori-teori sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya. Tingginya angka putus sekolah, buta huruf dan kualitas pendidikan yang rendah menjadi masalah di bidang pendidikan yang dihadapi oleh Pemerintah Provinsi Bali. Salah satu substansi dalam Perda Nomor 9 Tahun 2009 mengatur megenai kebijakan di bidang pendidikan. Dalam penelitian ini dibahas mengenai Efektivitas pelaksanaan Perda Nomor 9 Tahun 2009 terkait wajib belajar 12 tahun dan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Perda Nomor 9 Tahun 2009 terkait wajib belajar 12 tahun. Adapun kerangka berpikir dalam tesis ini dijelaskan dalam bentuk bagan sebagaimana yang dapat disimak sebagai berikut:
34
Bagan 1 Kerangka berpikir Teori Kebijakan Publik Efektivitas pelaksanaan Perda Nomor 9 Tahun 2009 terkait wajib belajar 12 tahun
Kebijakan yang mendukung wajib belajar 12 tahun Teori HAM Pemenuhan Hak Asasi atas pendidikan
Putus sekolah Buta huruf Kualitas pendidikan rendah
Perda Nomor 9 Tahun 2009
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Perda Nomor 9 Tahun 2009 terkait wajib belajar 12 tahun
Tuntas wajib belajar 12 tahun Teori efektivitas hukum Faktor hukum Faktor penegak hukum Faktor sarana dan fasilitas Faktor masyarakat Faktor kebudayaan
Masalah pendidikan merupakan salah satu isu penting dalam pembangunan nasional. Banyak permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan seperti tingginya angka putus sekolah, buta huruf dan kualitas pendidikan yang rendah. Merespon hal tersebut
35
maka
pemerintah
provinsi
Bali
mengeluarkan
kebijakan
penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun yang diformulasikan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2013. Dalam pelaksanaannya perlu dikaji mengenai efektivitas dari efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 dalam penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun yang dapat dianalisis melalui teori kebijakan dan teori hak asasi manusia. Teori kebijakan yakni pihak yang berwenang mengeluarkan kebijakan, substansi kebijakan dan kebijakan lain yang mendukung kebijakan penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun. Penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun ini merupakan pelaksanaan dari fungsi negara dalam memenuhi hak dasar atas pendidikan. Hak atas pendidikan merupakan hak asasi yang lahir pada generasi kedua. HAM pada generasi ini dirumuskan dalam bahasa positif yakni the right to atau hak atas. Pemenuhan (to fulfill) akan hak atas pendidikan ini memerlukan peran aktif negara. Hal ini menunjukkan kewajiban negara dalam arti positif. Untuk memenuhi hak atas pendidikan tersebut, maka negara membuat kebijakan publik yang direalisasikan dalam program-program guna melaksanakan kebijakan tersebut, yakni dengan program wajib belajar 12 tahun.
36
Kajian mengenai efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 dalam penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum, oleh sebab itu dalam permasalahan ini digunakan teori efektivitas hukum sebagai pisau analisis. Dalam permasalahan kedua, efektivitas kebijakan penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun ditelaah dari faktor hukumnya, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Dengan adanya peraturan hukum yang responsif dalam memenuhi hak asasi atas pendidikan serta faktor-faktor yang mendukung efektivitas dari penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun maka kebijakan wajib belajar 12 tahun dapat terlaksana (tuntas wajib belajar 12 tahun). 1.8 Metode Penelitian 1.8.1
Jenis penelitian Penelitian dalam tesis ini merupakan penelitian hukum empiris karena
mengkaji bekerjanya hukum di masyarakat yakni mengkaji pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan pogram wajib belajar 12 tahun. Objek pengkajian dalam penelitian ini meliputi peristiwa, kejadian, perbuatan nyata yang terjadi dalam masyarakat dan data serta informasi yang diperlukan baik berbentuk perilaku (behaviour) maupun
37
ketentuan hukum (rule of law) yang terwujud dari perilaku pemerintah dalam melaksanakan kebijakan menyelenggarakan wajib belajar 12 tahun. 1.8.2
Sifat penelitian Penelitian dalam tesis ini bersifat deskriptif analitis di mana karakter
penelitian menunjukkan keadaan hukum yang berlaku di tempat dan dalam rentang waktu tertentu, peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat serta gejala yuridis yang ada dalam masyarakat di Bali. Dalam tesis ini digambarkan secara komprehensif mengenai hak atas pendidikan serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam memperoleh hak atas pendidikan, efektivitas kebijakan penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun dan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kebijakan tersebut. 1.8.3
Data dan sumber data Ciri khas dari penelitian empiris adalah menyangkut data. Data yang
digunakan berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya dari lapangan. Data sekunder adalah data yang bersumber dari studi kepustakaan yang telah terdokumentasi dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun klasifikasi dari bahan hukum yang digunakan adalah sebagai berikut: a) Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah kaidah dasar yakni Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yakni:
38
(1)
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
(2)
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
(3)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan.
(4)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
(5)
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(6)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
(7)
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 ahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2013.
(8)
Peraturan Gubernur Bali Nomor 110 Tahun 2011 tentang Perubahan Matrik Indikasi Rencana Program Proritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2009.
b) Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah hasil penelitian, pendapat pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa, buku-buku hukum, artikel dan jurnal ilmiah.
39
Dalam penelitian ini juga digunakan data sekunder non bahan hukum yaitu literatur-literatur yang membahas mengenai masalah pendidikan dan kebudayaan. 1.8.4 Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Bali. Penentuan lokasi penelitian ini didasarkan pada purposive sampling di mana penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh peneliti yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memiliki karakteristik tertentu yang mewakili populasinya. Provinsi Bali memiliki pertimbangan tertentu untuk dijadikan lokasi penelitian, sebab daerah ini merupakan salah satu provinsi yang memiliki kebijakan wajib belajar 12 tahun, sedangkan wilayah lainnya hanya menetapkan standar minimal yakni wajib belajar 9 tahun sebagaimana standar minimal yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sampel penelitian adalah kabupaten Bangli dengan angka wajib belajar 12 tahun terendah dan Denpasar sebagai wilayah dengan angka wajib belajar tertinggi. Data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
40
Tabel 2 Ijazah Tertinggi yang ditamatkan Ijazah tertinggi yang ditamatkan No
Kabupaten/ Kota
Tidak SD/MI
SLTP/MTs SMA/SMK
punya %
%
%
%
1
Jembrana
14,55
34,14
20,01
26,56
2
Tabanan
12,87
35,52
18,78
26,44
3
Badung
10,20
23,10
16,33
39,48
4
Gianyar
9,45
24,21
19,36
35,13
5
Klungkung
14,10
36,64
17,56
26,23
6
Bangli
17,52
42,52
16,61
18,69
7
Karangasem
19,80
36,64
18,72
20,47
8
Buleleng
21,12
33,84
18,75
22,78
9
Denpasar
6,24
17,12
20,01
39,63
Sumber: Data diolah dari RPJM Provinsi Bali Tahun 2008-2013 1.8.5
Teknik pengumpulan data
Penelitian hukum empiris dalam tesis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
41
1)
Data primer dikumpulkan melalui teknik wawancara.
Wawancara
seringkali dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan. Wawancara dilakukan pada informan Kasi Data dan Pengkajian Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali dan Kasi Statistik Kesejahteraan Rakyat Biro Pusat Statistik Provinsi Bali. Pertanyaan dalam wawancara meliputi kebijakan wajib belajar 12 tahun, penerapan kebijakan hingga evaluasi atas kebijakan tersebut. Wawancara juga dilakukan pada responden yakni siswa putus sekolah. Wawancaran menyangkut perihal pribadi responden mengenai putus sekolah yang dialaminya, pendapat, persepsi dan harapan yang bersangkutan. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur di mana pewawancara hanya menyiapkan pertanyaan-pertanyaan pokok saja, sedangkan pertanyaan lain akan ditanyakan secara spontan sesuai dengan jawaban sebelumnya
dari
narasumber.
Hasil
wawancara
dicatat
dan
dikumpulkan untuk diolah kembali. 2)
Data sekunder dikumpulkan melalui teknik studi kepustakaan. Teknik ini merupakan teknik awal dalam setiap penelitian. Studi kepustakaan yang merupakan bagian penting dalam setiap penelitian, bahkan dapat dikatakan,
bahwa
studi
kepustakaan
merupakan
separuh
dari
keseluruhan aktivitas penelitian itu sendiri. Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan
42
permasalahan penelitian.29 Data sekunder berupa bahan hukum maupun non bahan hukum dikumpulkan baik secara konvensional maupun melalui media elektronik. Pembahasan yang terkait dengan tesis ini dicatat lengkap dengan sumbernya. Sumber ditempatkan dalam catatan kaki dan daftar pustaka. 1.8.6
Teknik pengolahan dan analisis data Data primer dan data sekunder yang telah ada dikumpulkan dirapikan
kembali melalui proses editing. Kemudian data tersebut dikelompokkan melalui proses coding berdasarkan kerangka pembahasan yang telah disusun sebelumnya. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis dengan teori-teori yang relevan secara kualitatif untuk menggambarkan peristiwa, keadaan hukum serta gejala yuridis dari objek penelitian yang dikaji tersebut yakni peristiwa, keadaan dan gejala yuridis dari pelaksanaan wajib belajar 12 tahun. Berdasarkan analisis diketahui kuantitas dan kualitas dari penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun Analisis kualitatif ini didukung dengan data kuantatif sebagai penunjang. Data kuantitatif berupa statistik derajat pembangunan pendidikan dari pemerintah Provinsi Bali. Data kuantatif ini diperoleh dari Dinas Pendidikan Provinsi Bali. Dengan data kuantitatif tersebut dapat dianalisis mengenai efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009
29
Bambang Sunggono, op.cit., hal. 112.
43
dalam penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun melalui angka partisipasi dalam pendidikan menengah tersebut. Proses analisis dilakukan secara terus-menerus sampai menemukan vailidatas dalam penelitian. Setelah dianalisis, maka data disajikan secara deskriptif analisis yang menggambarkan secara menyeluruh mengenai permasalahan dan jawaban atas permasalahan efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 dalam penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun.
44
BAB II TINJAUAN UMUM PERATURAN DAERAH NOMOR 9 TAHUN 2009 DAN PROGRAM PENDIDIKAN WAJIB BELAJAR 12 TAHUN
2.1
Latar Belakang Dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 Peraturan daerah adalah produk hukum yang dibuat bersama oleh legislatif
dan eksekutif di daerah. Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Dalam Pasa1 136 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan: (1) Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. (2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan. (3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-un dangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. (4) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (5) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah.
45
Peraturan daerah merupakan penjabaran dari peraturan perundangundangan yang tingkatannya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah dan substansi materi tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/ atau peraturan perundangan yang lebih tinggi. 30 Dengan demikian peraturan yang lebih tinggi merupakan pedoman dalam pembuatan peraturan daerah. Urutan peraturan perundang-undangan menunjukkan suatu hierarki dalam perundang-undangan tersebut. Hierarki peraturan perundangundangan termuat dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam pasal tersebut dinyatakan: (1). Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2). Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Berdasarkan ketentuan Pasal 7 tersebut maka pembuatan peraturan daerah tidak boleh bertentangan dan selalu berpedoman pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Pemuatan peraturan daerah sebagai suatu peraturan perundangan-undangan merupakan ciri-ciri dari otonomi daerah.
30
Siswanto Sunarno, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 37.
46
Salah satu peraturan daerah yang dibuat di Provinsi Bali adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2013. Latar belakang disusunnya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 dapat dilihat dari dasar menimbang peraturan daerah tersebut. Dalam dasar menimbang dinyatakan: a.
Bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 5 (lima) tahunan sebagai penjabaram dari visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan Kepala Daerah.
b.
Bahwa untuk menciptakan integrasi, sinkronisasi dan mensinergikan perencanaan,
penganggaran,
pelaksanaan
dan
pengawasan
pembangunan dalam kurun waktu 5 tahun perlu menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2013. c.
Bahwa sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Rencana pembangunan jangka menengah daerah adalah dokumen
perencanaan pembagunan daerah untuk periode 5 (lima) tahunan yang merupakan penjabaran dari visi, misi dan program kepala daerah dengan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah serta memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Mengenangah Nasional. Rencana Pembangunan Jangka
47
Menengah Daerah (RPJMD) merupakan bagian yang sangat penting dalam menentukan arah pembangunan daerah. RPJMD menjadi acuan dan panduan utama manajemen pembangunan provinsi. Pembuatan RPJMD tidak lepas dari sistem pembangunan nasional. Dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan: Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk: a. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar Daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Pembangunan daerah berdasarkan Pasal 1 angka 6 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik dalam aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan
kebijakan,
berdaya
saing,
maupum
peningkatan
indeks
pembangunan manusia. Dalam pelaksanaan pembangunan daerah maka perlu terlebih dahulu dibuatkan suatu rencana pembangunan daerah. Rencana pembangunan daerah merupakan tahapan dalam kebijakan publik.
48
2.2
Materi Muatan dan Sistematika Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 merupakan suatu
produk hukum yang dibuat oleh Gubernur bersama DPRD Provinsi dan mulai berlaku sejak 28 April 2009. Pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa “Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.” RPJMD disusun berdasarkan kondisi Bali, keberhasilan dan tantangan yang dihadapi. Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 diatur dalam Pasal 2 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009. Dalam Pasal tersebut ditentukan: a. RPJMD memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program SKPD, lintas SKPD dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan pendanaan yang bersifat indikatif. b. RPJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pedoman penyusunan RKPD, Renstra-SKPD, Renja-SKPD dan perencanaan teknik pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah. c. Rincian RPJMD sebagaimana dimaksud pada ayata (1) tercantum dalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Peraturan Daerah ini. Pengendalian terhadap perencanaan pembangunan daerah lingkup provinsi, antar kabupaten/ kota dalam wilayah provinsi. Pengendalian meliputi
49
kebijakan
perencanaan
pembangunan
daerah
dan
pelaksanaan
rencana
pembangunan daerah. Sistematika Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 diatur dalam Pasal 3 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 yakni: a.
BAB I
Pendahuluan
b.
BAB II
Kondisi Lingkungan Daerah
c.
BAB III
Analisis Lingkungan Strategis
d.
BAB IV
Visi, Misi, Strategi dan Kebijakan Daerah
e.
BAB V
Matrik Indikasi Rencana Program Prioritas
f.
BAB VI
Pedoman Transisi dan Kaidah Pelaksanaan
g.
BAB VII
Penutup
Pada bagian pendahuluan disebutkan bahwa pembangunan daerah Bali pada masa lima tahun mendatang masih menghadap tantangan yang berat mengingat kondisi perekonomian daerah yang belum benar-benar pulh dari kondisi krisis, angka kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi, serta terbatasnya secara nyata sumber-sumber pembiayaan pembangunan. Dengan diberlakukankannya otonomi daerah sejak tahun 1999 serta perubahan lingkungan strategis yang cepat, maka ada dua tantangan yang akan dihadapi Provinsi Bali ke depan. Pertama, kesiapan dalam menghadapai globalisasi dan perdagangan bebas dunia dan kedua, adalah upaya membangun kerjasama antara daerah yang sinerjik dan saling menguntungkan berdasarkan potensi yang dimiliki masing-masing daerah.
50
Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Bali tahun 2008-2013 dimaksud untuk: a.
Menjabarkan visi, misi dan program Kepala Daerah ke dalam rencana pembangunan periode 5 (lima) tahun yang bersifat indikatif.
b.
Menjabarkan kebijakan pembangunan jangka panjang daerah; dan
c.
Mensinergikan
dan
menyelaraskan
kebijakan
dan
program
pembangunan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta mampu menampung aspirasi masyarakat. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan sedangkan misi adalah rumusan umum mengenai upayaupaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan misi. Tujuan Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Bali Tahun 2008-2013 adalah: a.
Mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan, serta menyediakan acuan resmi bagi seluruh satuan kerja perangkat daerah dalam penyusunan Renstra SKPD, Renja SKPD, sekaligus merupakan acuan penentuan prioritas program dan kegiatan tahunan daerah yang akan dibahas dalam forum Musyawarah Pembangunan Daerah secara berjenjang.
b.
Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antara daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah, maupun antara pusat dengan daerah.
51
c.
Menjamin
keterkaitan
dan
konsistensi
antara
perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan. d.
Mengoptimalisasi partisipasi masyarakat.
e.
Memudahkan pemahaman bagi seluruh jajaran aparatur pemerintah daerah dan DPRD dalam menentukan program-program pembangunan ang ditindaklanjuti dengan kegiatan yang diukur dengan indikatorindikator.
f.
Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Secara garis besar RPJM Daerah Provinsi Bali Tahun 2008-2013 memuat
tentang kondisi umum daerah, analisis lingkungan strategis, visi, misi, kebijakan dan strategi, matrik indikasi rencana program prioritas serta pedoman transisi dan kaidah pelaksanaan. Penyusunan RPJM Provinsi Bali 2008-2013 telah dilaksanakan melalui berbagai tahapan yang melibatkan berbagai stakeholder baik dari pihak pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan kota, dunia usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat serta masyarakat. Penyusunan dokumen RPJMD didasarkan pada beberapa pendekatan yaitu: a.
Politik. Pendekatan ini memandang bahwa pemilihan Kepala Daerah adalah proses penyusunan, perencanaan, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan para calon kepala daera. Oleh karena itu, rencana pembangunan adalah penjabaran dari agenda-agenda pembangunan
52
yang ditawarkan Kepala Daerah saat kampanye ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengahh Daerah. b.
Teknokratik. Pendekatan ini dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga yang secara fungsional bertugas untuk itu.
c.
Partisipatif. Pendekatan ini dilaksanakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) terhadap pembangunan. Pelibatan ini adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki.
d.
Atas-bawah (top down) dan bawah-atas (bottom-up). Pendekatan topdown dan bottom-up
dilaksanakan menurut jenjang pemerintah.
Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas tersebut diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Bali Tahun 2008-2013 disusun melalui tahapan perencanaan partisipatif dengan mengedepankan proses evaluasi, proyeksi dan analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap pembangunan daerah Provinsi Bali. Penyusunan RPJM Provinsi Bali 2008-2013 telah dilaksanakan melalui berbagai tahapan yang melibatkan berbagai stakeholder baik dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan kota, dunia usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaaya masyarakat dan
53
masyarakat. Proses penyusunannya secara rinci dapat dilihat pada bagan di bawah ini:
Bagan 2 Proses Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2013 RPJPD Provinsi Bali
Evaluasi Pembangunan Daerah
Rancangan Awal RPJM oleh Bapperda Visi, Misi, Program KDH
Mengacu kepada RPJM
Musrenbang RPJM
Perumusan Rancangan Akhir RPJM hasil Musrenbang RPJM
RPJM ditetapkan menjadi Perda setelah konsultasi dengan Menteri
Sistematika peulisan RPJM Provinsi Bali tahun 2008-2013 terdiri dari bagian pendahuluan, kondisi umum daerah, analisis lingkungan strategis, visi,
54
misi, strategi dan kebijakan daerah, matrik indikasi rencana program prioritas, pedoman transisi dan kaidah pelaksanaan serta penutup. 2.3
Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 Sebagai Instrumen Yuridis Kebijakan Publik di Bidang Pendidikan
1.
Pengertian, Aktor Kebijakan Publik dan Tahapan Kebijakan Publik Pengertian mengenai kebijakan publik dapat diketahui dari beberapa
pendapat ahli yang menyatakan mengenai definisi dan batasan kebijakan publik. Kebijakan publik adalah setiap program yang berisi tujuan, nilai-nilai dan caracara untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Kebijakan publik merupakan program terarah dari suatu tujuan, nilai dan kenyataan. Abidin menyatakan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat.31 Menurut Amara Raksasataya kebijakan adalah suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Ada 3 unsur dalam kebijakan menurut Amara:32 a.
Identifikasi tujuan yang akan dicapai.
b.
Strategi untuk mencapai.
c.
Penyediaan
berbagai
input
atau
masukan
yang
memungkinkan
pelaksanaannya.
31
Syafaruddin, 2008, Efektivitas Kebijakan Pendidikan Konsep, Strategi, dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 75. 32
M. Solly Lubis, op.cit., hal. 7.
55
Jika definisi Amara itu digambarkan dala skema berupa chart maka akan terlihat sebagai berikut: 33 Bagan 3 Kebijakan Publik Menurut Amara
Potensi dan sumber daya
Identifikasi dasar-dasar filosofi
Interaksi
Program strategi dan taktik yang jelas
Identik tujuan (goal)
Moneva
Input tentang Situasi dan kondisi
Menurut James Anderson kebijakan publik adalah kebijakan negara (state policy) adalah kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga pejabat pemerintah dengan ciri-ciri khas berikut: 34 a. b. c. d. e.
Kebijakan itu mempunyai tujuan. Kebijakan itu berisi pula tindakan. Kebijakan itu ada tindakan yang nyata bukan sekedar harapan. Kebijakan itu mungkin positif mungkin negatif. Kebijakan itu selalu dituangkan pada sesuatu peraturan yang otoritatif.
33
M. Solly Lubis, op.cit., hal. 7.
34
M. Solly Lubis, op.cit., hal. 8.
56
Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh administratur negara, dan administrasi publik. Jadi kebijakan adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. Kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, bukan kehidupan orangseorang atau golongan. Kebijakan publik mengatur semua yang ada di domain lembaga administratur publik. Kebijakan publik mengatur masalah bersama, atau masalah pribadi atau golongan, yang sudah menjadi masalah bersama dari seluruh masyarakat. Dikatakan sebagai kebijakan publik jika manfaat yang diperoleh masyarakat yang bukan pengguna langsung dari produk yang dihasilkan jauh lebih banyak atau lebih besar dari pengguna langsungnya. Konsep ini disebut konsep externality atau dijadikan istilah serapan menjadi eksternalitas.35 Berdasarkan beberapa definisi yang dinyatakan para ahli mengenai pengertian kebijakan publik maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud kebijakan publik adalah tindakan pemerintah yang memiliki tujuan dan sasaran guna kepentingan umum baik pada level pusat maupun pada level daerah. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 merupakan kebijakan pada level daerah yang dituangkan dalam bentuk hukum. Kebijakan publik yaitu peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi secara formal dan legal. Setiap peraturan dari tingkat “Pusat” atau “Nasional” hingga tingkat Desa atau
35
Riant Nugroho D., 2006, Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang Modelmodel Perumusan, Implementasi dan Evaluasi, Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta, 2327.
57
Kelurahan adalah Kebijakan Publik.36 Dilihat dari kelompok kebijakan publik, ada tiga kelompok kebijakan publik yakni: 1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu kelima peraturan yang disebut diatas. 2. Kebijakan publik yang bersifat mesa atau menengah, atau penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota. Kebijakannya dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB antar Menteri, Gubernur, dan Bupati atau Walikota. 3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota.37
Berdasarkan kelompok kebijakan publik ini maka Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 merupakan kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar. Aktor kebijakan publik dari kebijakan tersebut adalah Gubernur dan seluruh SKPD terkait. Dalam arti luas, aktor kebijakan publik juga dapat diartikan dengan strong civil society yang diserahkan kepada pasar melalui mekanisme contracting out, kerjasama ataupun privatisasi. Mereka adalah kelompok yang turut menentukan pelaksanaan kebijakan program wajib belajar 12 tahun. Kelompok yang mendukung pelaksanaan kebijakan program wajib belajar 12 tahun ini adalah pihak sekolah, tokoh masyarakat dan lembaga masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia dan pendidikan.
36
Ibid., hal. 30-31.
37
Riant Nugroho D. op.cit., hal 31.
58
Tahapan kebijakan publik dimulai dari perumusan, implementasi kebijakan dan evaluasi. Perumusan permasalahan publik merupakan fundamen dasar dalam merumuskan kebijakan publik sehingga arahnya menjadi benar, tepat dan sesuai. Perumusan masalah menurut William Dunn akan sangat membantu para analis kebijakan untuk menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mediagnosis penyebagian-penyebagian masalah publik, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang berseberangan/ bertentangan
dan merancang peluang-peluang kebijakan baru. Melalui fase
problem search (pencarian masalah), problem definition (pendefinisian masalah), problem spesification (menyespesifikasikan masalah), dan problem sensing (pengenalan masalah).38 Mazmanian dan Sabatier mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Katanya, “Implementation is the carrying out of basic policy decission, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executives order of court decission. Ideally, that decission indentifies the problem(s) to be addressed, stipulates the objective(s) to be pursued, and, in a vaiety of ways, “structures” the implementation process.”39 Tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah melakukan intervensi. Oleh karena itu, implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan
38
Leo Agustino, 2006, Dasar-dasar Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung, hal. 97.
39
Ibid., hal. 119.
59
(action) intervensi itu sendiri. Intervensi atau implementasi kebijakan dalam langkah berurutan sebagai berikut:40 Bagan 4 Langkah implementasi kebijakan Identifikasi masalah yang harus diintervensi
Menegaskan tujuan yang hendak dicapai
Merancang struktur proses implementasi
Pelaksanaan atau implementasi kebijakan dalam konteks manajemen berada dalam kerangka organizing-leading-controlling. Jadi, ketika kebijakan sudah dibuat, tugas selanjutnya adalah mengorganisasikan, melaksanakan kepemimpinan untuk memimpin pelaksanaan, dan melakukan pengendalian pelaksanaan tersebut.41 Gubernur Bali sebagai penyelenggara pemerintah daerah tertinggi di Provinsi Bali berwenang untuk menunjuk Kepala SKPD terkait untuk melaksanakan program wajib belajar 12 tahun. George Edward III, menegaskan bahwa masalah utama dari administrasi publik adalah lack of attention to implementation. Dikatakannya bahwa without efective implementation the decission of policymakers will not be carried out 40
Leo Agustino, op.cit., hal. 144.
41
Leo Agustino, op.cit., hal. 144.
60
successfully.42 Edward menyarankan untuk memerhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication, resource, disposition or attitudes bureaucratic structures. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.43 Evaluasi kebijakan publik mempunyai tiga ruang lingkup yaitu evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan dan evaluasi lingkungan kebijakan. Ketiga komponen ini menentukan apakah kebijakan publik tersebut berhasil guna atau tidak. Bagan 5 Evaluasi Kebijakan Publik.44
Kebijakan Publik (itu sendiri)
Kinerja Kebijakan Publik
Implementasi Kebijakan Publik
Lingkungan Kebijakan Publik
42
Leo Agustino, op.cit., hal. 140.
43
Leo Agustino, op.cit., hal. 140-141.
44
Leo Agustino, op.cit., hal. 154.
61
Evaluasi pada perumusan dilakukan pada sisi post-tindakan, yaitu lebih pada proses perumusan daripada muatan kebijakan yang biasanya hanya menilai apa prosesnya sudah sesuai dengan prosedur yang sudah disepakati. Evaluasi kebijakan memiliki pelbagai fungsi. Adapun fungsi evaluasi kebijakan yaitu: a. Eksplanasi. Melalui evaluasi kebijakan ini maka dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengindentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan. b. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan. c. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakh output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan atau justru ada penyimpangan. d. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.45
Evaluasi implementasi kebijakan publik, menurut Sofyan Effendi, tujuan evaluasi implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok: a. Bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik? Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi publik. b. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan variasi itu. Jawabannya berkenaan dengan faktor kebijakan itu sendiri, organisasi dan lingkungan. c. Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan publik. Tugas dari pengevaluasi.46
45
Leo Agustino, op.cit., hal. 156-157.
46
Leo Agustino, op.cit., hal. 160.
62
Evaluasi lingkungan formulasi kebijakan menghasilkan sebuah deskripsi bagaimana lingkungan kebijakan dibuat dan kenapa kebijakan seperti itu.
47
Evaluasi lingkungan implementasi kebijakan berkenaan dengan faktor-faktor lingkungan
apa
saja
yang
membuat
kebijakan
gagal
atau
berhasil
dimplementasikan.48 Evaluasi pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun diukur dari evaluasi atas pemenuhan indikator target capaian. 2.
Kebijakan Pendidikan Menurut Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 Pendidikan merupakan salah satu faktor utama untuk dapat mencapai
kemakmuran suatu negara. Indonesia menempatkan pendidikan pada prioritas pertama dengan mengalokasikan anggaran terbesar dari semua sektor. Pendidikan merupakan sektor yang memang perlu diprioritaskan negara karena menyentuh langsung hak masyarakat, dan sangat terkait erat dengan pembangunan sumber daya manusia masa depan.49 Kebijakan pendidikan menjadi bagian penting untuk merealisasikan tujuan pendidikan. Kebijakan pendidikan terutamanya mengarah pada anak.
47
Leo Agustino, op.cit., hal. 171.
48
Leo Agustino, op.cit., hal. 172.
49
Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2009, “Kebijakan Pemerintah di Bidang Pendidikan,” Serial Online Senin, 11 Mei 2009, (cited 2013 Nov. 28), available from : URL: http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3647
63
Pendidikan merupakan kebutuhan dalam usia anak. Anak adalah bagian yang cukup besar dalam komposisi penduduk. Secara umum, jumlah anak mencapai sepertiga dari total penduduk seluruhnya. Bagan 6 Penduduk Provinsi Bali Menurut Kelompok Usia Hasil Sensus Penduduk 2010
Pendidikan mencakup berbagai elemen baik hak ekonomi, sosial dan budaya dan juga hak sipil dan politik. Hak atas pendidikan itu sendiri adalah hak asasi manusia dan merupakan suatu sarana yang mutlak diperlukan untuk mewujudkan hak-hak lain. Penyelesaian suatu program pendidikan yang sudah
64
ditetapkan dengan memuaskan merupakan prasyarat yang sangat penting untuk akses mendapatkan pekerjaan sehingga pendidikan terlihat sebagai gerbang menuju keberhasilan. Kesejahteraan yang kuat dapat dilihat sebagai gerbang menuju keberhasilan.50 Arti penting pendidikan ini juga sangat disadari oleh Pemerintah Provinsi Bali, yang secara nyata dituangkan menjadi kebijakan program wajib belajar 12 tahun sebagaimana yang tercantum dalam bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009. Program wajib belajar 12 tahun merupakan implementasi dari 5 kluaster hak anak dari Konvensi Hak Anak yakni kluster 4 “Pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni budaya.” Adapun substansi dari kluster 4 yakni:51 a. Angka partisipasi pendidikan anak usia dini b. Persentase Wajib belajar pendidikan 12 tahun c. Persentase sekolah ramah anak d. Jumlah sekolah yang memiliki program, sarana dan prasarana perjalanan anak ke dan dari sekolah e. Tersedia fasilitas untuk kegiatan kreatif dan rekreatif yang ramah anak, di luar sekolah, yang dapat diakses semua anak Kebijakan pendidikan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 tertuang dalam Lampiran Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 tentang Sosial Dasar dan Sosial Budaya. Kondisi pendidikan 50
51
Rhona K.M. Smith, op.cit., hal. 114-115.
Laurike, “Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI 2013”, Bahan Seminar Pembentukan Gugus Tugas Kota Layak Anak, Denpasar, 28-31 Oktober 2013.
65
diuraikan ke dalam empat kajian yaitu tingkat pendidikan yang ditamatkan, penduduk buta huruf, pemerataan pendidikan dan tingkat kependidikan. Kebijakan pendidikan tertuang dalam pelaksanaan Misi Pertama yakni “Mewujudkan Bali yang Berbudaya, Metaksu, Dinamis, Maju dan Modern” yang tercantum pada tujuan dan arah kebijakan pembangunan untuk melaksnaakan Misi Pertama. 3.
Program Wajib Belajar 12 tahun, Indikator dan Target Capaian RPJMD Provinsi Bali 2008-2013 yang merupakan tujuan kedua dari RPJP
Provinsi Bali 2005-2025 adalah dalam rangka untuk membuat Bali ke depan menjadi lebih baik dengan mencermati isu-isu strategis Bali baik yang bersifat internal (kekuatan dan kelemahan) maupun bersifat eksternal. Kebijakan wajib belajar 12 tahun sejalan dengan kebijakan pusat dalam bidang pendidikan. Dalam dasar menimbang Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan “Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan
pembaharuan
pendidi
kan
secara
terencana,
terarah,
dan
berkesinambungan.” Program wajib belajar 12 tahun berada pada misi pertama. Misi Pertama adalah “Mewujudkan Bali yang Berbudaya, Metaksu, Dinamis, Maju dan Modern.” Tujuan dari misi tersebut adalah “Meningkatkan dan mutu pendidikan,
66
kesehatan, IPTEK, peran perempuan, kelestarian budaya Bali, daya saing, kecerdasan masyarakat dalam berpolitik dan pemerintahan yang bersih serta sehat da berwibawa. Tujuan tersebut dijabarkan melalui 11 sasaran yaitu: 1.
Meningkatnya akses dan mutu pada layanan pendidikan serta terlaksananya wajib belajar 12 tahun.
2.
Meningkatnya derajat kesehatan masyarakat.
3.
Meningkatnya IPTEK dan daya saing sumber daya manusia.
4.
Meningkatnya perlindungan terhadap perempuan dan anak dalam pendidikan dan kesehatan.
5.
Meningkatnya peran gender dalam pembangunan.
6.
Meningkatnya kualitas tenaga kerja dan lembaga pendidikan ketenagakerjaan.
7.
Terwujudnya pelestarian nilai-nilai budaya dan kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat.
8.
Meningkatnya kecerdasan masyarakat dalam berpolitik.
9.
Terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
10. Meningkatnya
kinerja
dan
pelayanan
pemerintah
kepada
masyarakat. 11. Terwujudnya pelayanan publik yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Program wajib belajar 12 tahun merupakan sasaran pertama dalam RPJMD. Arah kebijakan pembangunan untuk melaksanakan Misi Pertama di bidang pendidikan adalah meningkatkan kualitas SDM lahir dan batin dengan
67
meningkatkan kualitas dan akses pendidikan melalui wajib belajar 12 tahun serta meningkatkan penguasaan dan penerapan IPTEK. Keberhasilan program wajib belajar 12 tahun merupakan urusan wajib pendidikan yang dilaksanakan melalui kebijakan memantapkan paradigma baru pembangunan pendidikan yang bertumpu pada tiga pilar utama yakni kemandirian dalam pengelolaan, akuntabilitas (accountability) dan jaminan mutu (quality assurance). Menurut matrik indikasi rencana program, wajib belajar 12 tahun dilaksanakan melalui program perluasan dan pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan serta akuntabilitas dan pencitraan publik. Program-program tersebut dilaksanakan selama lima tahun dengan evaluasi yang dilakukan per tahun pencapaian. Dalam perjalanan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2008-2009, terdapat perubahan matrik indikasi Rencana Program Proritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2008-2009 yang diatur dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 110 Tahun 2011 tentang Perubahan Matrik Indikasi Rencana Program Proritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 2008-2009. Perubahan matrik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Peraturan Gubernur Bali Nomor 110 Tahun 2011 dimaksudkan untuk mejaga kesinambungan perencanaan pembangunan lima tahunan, yang memberikan arah sekaligus acuan bagi seluruh komponen pelaku pembangunan
daerah
berkesinambangunan.
dalam
mewujudkan
pembangunan
daerah
68
Peraturan Gubernur Bali Nomor 110 Tahun 2011 mulai berlaku pada tanggal diundangkan yakni mulai 28 November 2011. Perubahan indikator pencapaian merupakan upaya pemerintah daerah untuk selalu meningkatkan keberhasilan dalam memeratakan pendidikan melalui program wajib belajar 12 tahun. Ruang lingkup perubahan matrik indikasi rencana program orioritas RPJMD Provinsi Tahun 2008-2013 meliputi: a. Tahun ke-4 (keempat) dan ke-5 (kelima) RPJMD Provinsi Tahun 2008-2013, dengan mempertimbangkan hasil kajian konsepsi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Tahun 2005-2025. b. Pelaksanaan kegiatan oleh SKPD dan seluruh komponen pelaku pembangunan daerah secara berkesinambungan. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan dilakukan dengan peningkatan APK dan APM SMA/MA serta dengan menyeimbangkan proporsi SMK dengan SMA. Penyeimbangan proporsi ini dilakukan dengan menurunkan jumlah siswa SMA dan meningkatkan jumlah siswa SMK. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan dilakukan dengan target pencapaian prestasi baik di bidang akademik maupun di bidang non akademik. Program akuntabilitas dan pencitraan publik dilakukan dengan meningkatkan pelayanan pendidikan dan meningkatkan sistem informasi manajemen. Program wajib belajar 12 tahun ini dijabarkan lebih lanjut dalam program-program dari SKPD terkait.
69
BAB III EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2009 TERKAIT DENGAN PENYELENGGARAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR 12 TAHUN DI PROVINSI BALI
3.1 Aktor dalam Kebijakan Wajib Belajar 12 Tahun Pendidikan menjadi bagian yang sangat penting dalam membangun sebuah negara. Kebijakan di bidang pendidikan adalah kebijakan pada tataran pelaksanaan hukum yang sudah tersedia. Konsep pembangunan pendidikan manusia seutuhnya berwawasan global dan bertumpu pada kearifan budaya Bali merupakan suatu strategi yang tepat dalam pembangunan pendidikan Bali ke depan. Wawasan global memberikan penekanan pada kemampuan kompetisi dan daya saing (competitiveness) manusia Bali di tingkat Nasional, regional dan internasional. Hal ini juga menuntut pengemangan pendidikan berorientasi pada kecerdasan Era Abad ke-21 yaitu: 1)
Kecerdasan era digital (digital literacy) yang tidak hanya meliputi kecerdasan dasar seperti membaca, menulis dan menghitung, tetapi termasuk juga kecerdasan dalam memahami isu-isu perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS) yang berkembang pesat, isu ekonomi global, kemampuan menganalisis dan menggunakaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT).
70
2)
Kecerdasan berpikir dan berdaya cipta (inventive thinking) merupakan kemampuan yang diperlukan bukan saja untuk mengolah berbagai informasi yang berlimpah ruah dalam era global-digital ini, tetapi juga meliputi kemampuan untuk berpikir lebih tinggi (higher-order thinking), kemampuan memecahkan masalah, berpikir kritis, dan kemampuan menumbuhkan kemandirian, fleksibelitas, rasa ingin tahun dan kreativitas.
3)
Kecerdasan berkomunikasi efektif (effective communication) meliputi kemampuan untuk berkolaborasi dalam berbagai aktivitas dengan memanfaatkan ketrampilan pribadi dan antar pribadi, dan pengetahuan kemasyarakatan serta tanggungjawab sosial.
4)
Kecerdasan berproduktivitas tinggi (high productivity) yang meliputi kemampuan untuk merencanakan, memprioritaskan dan mewujudkan ide dan gagasan secara sistematik dan berkelanjutan, kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan secara efektif, serta kemampuan untuk menghasilkan karya atau produk berkualitas tinggi. Namun demikian, konsep pengembangan pendidikan berwawasan global, tidak boleh menjadikan manusia Bali memiliki daya saing internasional, tetapi menjadi orang asing di tanah leluhurnya sendiri. Untuk itu konsep pembangunan pendidikan berwawasan global ini harus dibingkai dengan landasan filosofis Budaya Bali yang adiluhung, yaitu pembangunan pendidikan berbudaya. Hal ini dimaksudkan bukan hanya sekedar memberikan perhatian dan kepedulian untuk melestarian
71
kearifan lokal Budaya Bali, namun justru secara aktif, ilmiah, sistematis, dan sistemik, serta berkelanjutan membangun konsisten antara Budaya Bali dengan budaya global lainnya, bahkan diusahakan untuk menjadikan ikon dalam pengembangan keunggulan pendidikan global. 52 Pembangunan pendidikan di Provinsi Bali direalisasikan dengan program wajib belajar 12 tahun. Aktor kebijakan publik dalam pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun yang menentukan langkah berbuat atau tidak berbuat sebagaimana yang dijelaskan dalam teori kebijakan Thomas R. Dye yang sudah adalah Pemerintah Daerah Provinsi Bali melalui Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga beserta dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. SKPD terkait diantaranya adalah Bappeda yang bertugas menganggarkan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Biro Kesejahteraan Sosial dan Dinas Sosial. Masing-masing tugas dilaksanakan sesuai dengan politik hukum dari Pemerintah Daerah Provinsi Bali. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga mempunyai kedudukan sebagai unsur pelaksana Pemerintah Provinsi di Bidang Pendidikan, Pemuda dan Olahraga. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang dalam menjalankan tugasnya berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. SKPD ini mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah dalam bidang pendidikan, pemuda dan olahraga, serta melaksanakan kewenangan desentralisasi dan tugas
52
Pemerintah Provinsi Bali, op.cit., hal. 13-14.
72
dekonsentrasi di bidang pendidikan, pemuda dan olahraga. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga mempunyai fungsi:53 1)
Perumusan kebijakan teknis bidang pendidikan, pemuda dan olahraga;
2)
Pengelolaan sarana prasarana bidang pendidikan, pemuda dan olahraga;
3)
Pemberian rekomendasi dan pelaksanaan pelayanan umum sesuai bidang pendidikan, pemuda dan olahraga
4)
Pembinaan pelaksanaan tugas sesuai dengan bidang pendidikan, pemuda dan olahraga;
5)
Pelaksanaan urusan Tata Usaha. Aktor kebijakan wajib belajar 12 tahun melaksanakan program tersebut
dengan bertumpu pada visi, misi dan tujuan Pemerintah Daerah Provinsi Bali. Pembangunan pendidikan di Provinsi Bali memiliki visi, misi dan tujuan yang sejalan dengan visi, misi dan tujuan Pemerintah Provinsi Bali. Adapun visi dan misi pembangunan pendidikan di Provinsi Bali adalah: Visi: Mewujudkaan sumber daya manusia yang cerdas, kompetitif, dan berwawasan global. Serta bertumpu pada kearifan budaya Bali, dalam rangka mewujudkan Bali Dwipa Jaya berlandaskan Tri Hita Karana. Misi: 53
Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali, 2013, “Tugas Pokok dan Fungsi,”, Serial Online, (cited on 28 Nov. 2013), available from URL: http://www.disdikpora.baliprov.go.id/menu/2010/10/struktur
73
a.
Membangun sistem pendidikan berbudaya, demokratis dan bermutu untuk semua.
b. Menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas, kompetitif dan berwawasan global. c.
Menghasilkan manusia yang sehat jasmani dan rohani, cinta tanah air, berkepribadian luhur yang bertumpu pada kearifan budaya Bali.
Tujuan: 1. Tujuan untuk misi pertama a. Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat dalam membangun sistem pendidikan berbudaya, demokratis dan bermutu untuk semua. b. Mengembangkan
manajemen
pendidikan
berbudaya,
demokratis, dan bermutu untuk semua secara efektif dan efesien. c. Meningkatkan kualitas program pemerataan dan perluasan akses pendidikan. d. Meningkatknya kualitas dan acuan standar (brenchmark) pendidikan Provinsi Bali, baik sesuai dengan tuntutan standarstandar pendidikan nasional maupun internasional. e. Mengembangkan dan menerapkan aspek-aspek kearifan budaya Bali yang dapat berupa ilmu, teknologi, seni, budaya dan nilai-nilai kearifan dan keunggulan sosial adiluhung lainnya yang dapat dijadikan wahana untuk mendukung
74
pembangunan sistem pendidikan berbudaya, demokratis dan bermutu untuk semua.
2. Tujuan untuk misi kedua a. Meningkatnya
pengembangan
dan
penerapan
ilmu
pengetahuan modern, bahasa internasional serta teknologi dan informasi
untuk
mendukungpembentukan
sumber
daya
manusia yangcerdas, kompetitif dan berwawasan global. b. Meningkatkan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan berorientasi
pada
pengembangan
professionalism
berkelanjutan. c. Mengembangkan sekolah-sekolah bertaraf internasional dan/ atau
berbasis
keunggulan
lokal
untuk
mendukung
pembentukan sumber daya manusia yang cerdas, kompetitif dan berwawasan global. d. Meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan yang berorientasi pengembangkan kecapakan hidup. e. Meningkatnya kerjasama nasional, regional, dan internasional untuk mempercepat pembentukan sumber daya manusia yang cerdas, kompetitif dan berwawasan global.
3. Tujuan untuk misi ketiga
75
a. Meningkatkan revitalisasi nilai-nilai budaya adiluhung da kearifan lokal dalam kehidupan bermasyarakat. b. Meningkatnya perlindungan terhadap perempuan dan anak dalam pendidikan. c. Meningkatnya
peran
dan
persamaan
gender
dalam
pembangunan umumnya dan pendidikan khususnya. Guru-guru di sekolah juga menjadi aktor dalam menentukan efektivitas kebijakan wajib belajar 12 tahun. Peran para guru ini adalah dengan memberikan motivasi kepada anak didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka juga dapat merekomendasikan siswa yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan dengan program beasiswa. Pihak sekolah juga dapat mengeluarkan kebijakan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu agar terhindar dari putus sekolah. Salah satu asas dan pendekatan pembangunan secara reformasi ini adalah partisipasinya pemerintah dalam memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipas baik mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan, keterlibatan masing-masing dalam proses pembangunan sangat penting artinya sebagai upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna bagi masyarakat. Dalam arti luas aktor kebijakan publik adalah masyarakat. Masyarakat dapat diartikan sebagai sekumpulan dari sejumlah orang yang tergabung dalam suatu kelompok yang berada dalam suatu tempat tertentu. Kelompok tersebut kemudian membuat suatu karakteristik dan memiliki normanorma untuk mengatur kehidupannya.
76
Masyarakat merupakan sekelompok orang yang mempunyai identifikasi sendiri yang membedakan dengan kelompok lain dan hidup di dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini, baik sempit maupun luas mempunyai kesadara akan adanya persatuan di antara kelompok itu sebagai hasil dari proses interaksi. Sekelompok orang dapat dikatakan sebagai masyarakat jika di dalamnya ada proses saling ketergantungan dan membutuhkan satu sama lain. Pembangunan dilaksanakan pada hakekatnya adalah untuk mensejahterakan masyarakat, sehingga peran masyarakat untuk mensukseskan pelaksanaan program pembngunan adalah sangat penting. Partisipasi masyarakat meliputi beberapa hal seperti pikiran, tenaga, barang atau jasa, uang, keahlian dan pengetahuan. Dalam konteks pelaksanaan wajib belajar 12 tahun, masyarakat sangat menentukan keberhasilan program ini melalui cara pandang mereka terhadap arti penting pendidikan. Tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan akan meningkatkan tingginya partisipasi sekolah.
3.2 Implementasi Kebijakan Wajib Belajar 12 Tahun Sejarah telah membuktikan bahwa hanya dengan pendidikan yang bermutulah, dapat menunjang proses pencerdasan kehidupan bangsa. Bahkan UNESCO dalam studinya yang akhirnya merekomendasi pendidikan untuk abad ke-21, menemukan bahwa kebanyakan Negara berkembang mengutamakan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan (Education for All) tetapi masih
77
mengabaikan mutu, akibatnya pendidikan tidak berpengaruh kepada kemajuan bangsa.54 Menurut I Nyoman Suparta, arah kebijakan pembangunan pendidikan di Bali memperhatikan dua hal yakni kuantitas dan kualitas pendidikan. Pembangunan pendidikan memang harus memperhatikan mutu sehingga kualitas pendidikan dan mutu lulusan dapat bersaing dalam dunia kerja (I Nyoman Suparta, Kasi Data dan Pengkajian Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali, wawancara pada 7 November 2012). Kebijakan wajib belajar 12 tahun yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali mempercepat tercapainya empat tujuan dasar pendidikan. Nowak menyimpulkan bahwa terdapat empat tujuan dasar pendidikan yang telah disepakati secara universal: (1) memungkinkan umat manusia secara bebas mengembangkan kepribadian dan martabatnya; (2) memungkinkan umat manusia berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat yang bebas dalam semangat saling bertoleransi dan penghormatan pada perabadan, kebudayaan, dan agama lain; (3) untuk mengembangkan penghormatan kepada orang tua, nilai kebangsaan dan lingkungan alam; (4) mengembangkan penghormatan pada hak asasi manusia, kebebasan dasar dan pemeliharaan perdamaian.55 Pendidikan akan menentukan tingkat peradaban hidup manusia. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan menjadi wacana penting dalam pembangunan pendidikan di Bali. Penekanan pada pemberian pendidikan
54
Pemerintah Provinsi Bali, 2013, Informasi Data Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Provinsi Bali, Pemerintah Provinsi Bali Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Denpasar, hal. 1 55
Rhona KM. Smith et.al., op.cit., hal. 122.
78
untuk semua dan dengan demikian akses ke pendidikan merupakan isu utama. Pendidikan
harus
tersedia
untuk
semua
tanpa
diskriminasi.
Konsep
nondiskriminasi dalam pendidikan juga dijelajahi dengan lebih rinci di Konvensi UNESCO tahun 1960 yakni Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan.56
Konvensi tersebut merupakan komitmen internasional untuk
memerangi tindakan diskriminatif. Konsep non diskriminasi adalah konsep hukum memiliki arti penting dalam penyelesaian permasalahan pendidikan. Ake Frandberg menuliskan bahwa “Concepts of and about law have no given meaning that is fixed for all time. They are concepts that have a function in legal argumentation, either by reason of their inclusion in the formulation of legal problems or their solutions, or because they provide the very framework for legal argumentation.”57 Konsep hukum dan konsep tentang hukum tidak memiliki arti baku yang sama di setiap waktu. Konsep tersebut adalah konsep-konsep yang memiliki fungsi alam argumentasi hukum baik melalui alasan dari suatu inklusi dalam memformulasikan masalahmasalah hukum atau solusinya, atau karena konsep tersebut menyediakan kerangka kerja untuk argumentasi hukum. Terkait dengan konsep non diskriminasi tersebut, ditemukan adanya ketidaksesuaian antara konsep dengan kenyataan di lapangan. Menurut Anak Agung Gede Dirga Kardita, Kasi Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS Provinsi 56
57
Rhona K.M.. Smith et.al., op.cit., hal. 117.
Ake Frandberg, “An Essay on Legal Concept Formation”, Jaap C. Hage dan Dietmar Von Der Pfordten (ed.), 2009, Concepts in Law, Springer, London-New York, hal. 1.
79
Bali, BPS sebagai lembaga penyedia data dalam perencanaan statistik berusaha melaksanakan kegiatan statistik, salah satunya adalah dengan menyediakan data tentang kondisi pendidikan di Bali. Berdasarkan hasil penghitungan data terpilah antara laki-laki dan perempuan menunjukkan trend yang sama. Trend menunjukkan angka artisipasi pendidikan perempuan selalu lebih rendah dari dari laki-laki (Anak Agung Gede Dirga Kardita, Kasi Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS Provinsi Bali, wawancara pada 13 November 2013). Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 3 Laki-laki dan perempuan dalam akses pendidikan
Tipe Daerah/Jenis Kelamin
Masih Sekolah
Pernah Sekolah Total Putus Sekolah
Tamat Sekolah
Perkotaan : Laki-laki
92,72
2,78
4,49
100,00
Perempuan
92,82
1,74
5,44
100,00
Lk + prp
92,77
2,84
4,95
100,00
88,99
4,36
6,65
100,00
Perdesaan: Laki-laki
80
Perempuan
90,55
2,57
6,88
100,00
Lk + prp
89,73
3,51
6,76
100,00
Laki-laki
90,79
3,60
5,61
100,00
Perempuan
91,66
2,17
6,17
100,00
Lk + prp
91,21
2,91
5,88
100,00
Perkotaan +Perdesaan:
Sumber: BPS Provinsi Bali
Dilihat dari angka partisipasi sekolah di seluruh Kabupaten dan Kota di Bali menunjukkan sebagian besar persentase laki-laki yang mengenyam pendidikan lebih tinggi dari perempuan. Kondisi tersebut berlaku di semua golongan umur. Hanya sedikit saja yang menunjukkan angka partisipasi perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki yakni Kabupaten Jembrana pada kelompok usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun, Buleleng dan Denpasar pada kelompok usia 13-15 tahun, Tabanan, Klungkung dan Denpasar pada kelompok usia 16-18 tahun. Untuk kelompok usia 18-24 tahun yang diasumsikan sebagai usia untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi hanya Badung dan Bangli yang menunjukkan persentase angka partisipasi sekolah perempuan yang lebih tinggi daripada laki-laki. Data selanjutnya dapat dilihat pada tabel berikut:
81
Tabel 4 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Provinsi Bali Menurut Kelompok Usia dan Kabupaten/Kota Tahun 201258 Klp. Usia 7 - 12 Th
Klp. Usia 13 - 15 Th
Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Lk + Prp Laki-laki Perempuan Lk + Prp 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
(1) Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Buleleng Denpasar BALI: 2012 2011 2010 2009 2008
(2) 97.75 100.00 99.36 99.39 100.00 100.00 99.17 97.99 100.00
(3) 100.00 100.00 99.20 98.71 100.00 99.14 98.54 98.06 100.00
(4) 98.89 100.00 99.29 99.07 100.00 99.61 98.86 98.02 100.00
(5) 95.82 96.45 94.85 97.93 97.75 95.22 97.82 95.67 93.77
(6) 97.88 86.63 95.49 97.18 89.18 84.32 93.91 96.51 96.41
(7) 96.93 91.92 95.23 97.54 93.84 89.86 95.92 96.07 95.13
99.23 98.56 98.73 98.55 98.44
99.16 98.32 98.65 98.48 98.13
99.20 98.45 98.69 98.52 98.29
95.99 92.01 91.37 90.40 89.94
94.33 92.46 86.90 85.96 84.24
95.15 92.22 89.26 88.34 87.24
Klp. Usia 16 - 18 Th
Klp. Usia 19 - 24 Th
Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Lk + Prp Laki-laki Perempuan Lk + Prp 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
(1) Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Buleleng Denpasar
58
(8) 79.65 61.94 89.23 89.64 69.59 47.46 53.46 73.72 73.08
(9) 68.77 63.93 76.81 79.50 73.55 33.96 51.00 65.69 73.69
(10) 74.79 62.86 83.27 84.55 71.29 41.99 52.45 70.24 73.38
(8) 7.95 10.48 20.04 28.15 17.52 9.54 9.66 23.74 23.23
(9) 5.31 5.69 24.63 21.66 6.41 9.67 2.21 23.07 22.61
(10) 6.54 8.19 22.31 24.99 11.36 9.61 6.16 23.39 22.91
BPS Provinsi Bali, “Angka Partisipasi Sekolah (APS) Provinsi Bali Menurut Kelompok Usia dan Kabupaten/Kota Tahun 2012”, Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=606003&od=6&id=6
82
BALI: 2012 2011 2010 2009 2008
72.71 72.34 67.33 66.76 65.28
68.53 65.42 63.01 60.53 59.92
70.80 68.91 65.22 63.75 62.71
19.48 20.28 -
17.78 15.49 -
18.62 17.83 -
Sumber : Bali Dalam Angka 2013
Dilihat dari persentase angka melek huruf Provinsi Bali, persentase angka melek huruf laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Hal ini terjadi di seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Bali dari tahun 2008 sampai tahun 2012. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5 Angka Melek Huruf Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin Tahun 201259
Kabupaten / Kota
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki dan Perempuan
(1)
(2)
(3)
(4)
1. Jembrana
96.68
86.21
91.36
2. Tabanan
95.84
85.34
90.50
3. Badung
95.95
86.42
91.22
4. Gianyar
94.83
85.89
90.38
5. Klungkung
92.22
76.42
84.15
6. Bangli
91.81
78.62
85.24
7. Karangasem
86.61
68.30
77.41
59
BPS Provinsi Bali, “Angka Melek Huruf Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin Tahun 2012,” Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=606002&od=6&id=6
83
8. Buleleng
96.37
83.64
89.94
9. Denpasar
99.13
95.71
97.46
2012
95.30
85.03
90.17
2011
94.60
83.84
89.17
2010
93.01
83.79
88.40
2009
92.92
81.80
87.22
2008
92.80
81.20
86.94
BALI:
Sumber : Bali Dalam Angka 2013
Diukur dari pelaksanaan wajib belajar 12 tahun, dapat diketahui bahwa Bangli adalah kabupaten dengan angka partisipasi pencapaian wajib belajar 12 tahun yang paling rendah. Kondisi ini ditunjukkan dengan rendahnya persentase angka partisipasi pendidikan yakni 41.99%. Persentase penduduk dengan kepemilikan ijazah tertinggi di tingkat SMA adalah Denpasar yakni dengan persentase 43.91%. Kepemilikin ijazah di atas jenjang SMA yakni DIV, S1, S2 dan S3 juga adalah Denpasar yakni 13.49%. Secara lengkap Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Ijasah Tertinggi yang Ditamatkan dan Kabupaten/Kota di Bali Tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
84
Tabel 6 Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Ijasah Tertinggi yang Ditamatkan dan Kabupaten/Kota di Bali Tahun 201260
Ijasah Tertinggi yang Dimiliki Kabupaten / Kota (1)
Tidak Punya
SD SLTP SLTA DI / DII / Sederajat Sederajat Sederajat DIII
DIV / S1 / S2 / S3
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1. Jembrana
13.86
30.19
24.46
25.76
2.39
3.35
2. Tabanan
12.88
27.65
17.95
32.00
3.59
5.94
3. Badung
7.50
17.67
20.43
40.36
6.34
7.70
4. Gianyar
8.06
22.30
17.95
38.49
4.78
8.42
5. Klungkung
15.98
27.22
20.25
27.06
2.60
6.90
6. Bangli
16.35
39.42
20.70
18.22
1.75
3.56
7. Karangasem
23.93
32.50
19.85
18.48
1.80
3.44
8. Buleleng
19.10
29.55
18.69
24.89
2.95
4.82
9. Denpasar
4.27
12.79
18.43
43.91
7.11
13.49
2012
11.85
23.68
19.37
33.10
4.46
7.54
2011
13.81
24.30
19.12
31.62
4.47
6.68
BALI:
Sumber: Bali Dalam Angka 2013
60
BPS Provinsi Bali, “Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Ijasah Tertinggi yang Ditamatkan dan Kabupaten/Kota di Bali Tahun 2012,” Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=606001&od=6&id=6
85
Indikator ukuran mutu di Jerman adalah di bidang kognitif. Ukuran yang pertama adalah memiliki prestasi tinggi di SMA dan dapat masuk ke perguruan tinggi. Ukuran kedua adalah anak-anak memiliki kemandirian belajar dan disiplin yang tinggi dan yang ketiga adalah tumbuh sikap pantang menyerah.61 Dilihat dari indikator peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, perolehan nilai UN tertinggi di Bali di dominasi oleh siswa Denpasar. Peraih UN tertinggi dalam tahun ajaran 2012/2013 se-Indonesia pada tingkat SMP adalah Anak Agung Ayu Vira Sonia dari SMP Negeri 1 Denpasar yakni 39,60 dan tingkat SMA, diraih oleh siswa asal SMA Negeri 4 Denpasar yakni Ni Kadek Vani Apriyanti yakni 9,87. Untuk seluruh Indonesia, Bali juga masih menduduki posisi ke-4 dalam perolehan UN tertinggi yakni Made Hyang Wikananda, SMA Negeri 4 Denpasar Bali, 9,76. Pada posisi ke-5 diraih oleh Luh Putu Lindayani, SMA Negeri 4 Denpasar Bali, 9,76. Di posisi ke-8 diperoleh oleh Putu Siska Apriliyani, SMA Negeri 4 Denpasar Bali, 9,75. Dilihat dari 10 sekolah dengan rata-rata nilai Ujian Nasional tertinggi, Bali menduduki posisi yang sangat baik. Perolehan nilai rata-rata tersebut dapat dilihat pada urutan sebagai berikut:62 1. SMA Negeri 4 Denpasar, 296 Siswa, 100 persen lulus, nilai 9,17 2. MA Negeri Insan Cendikia, Ciater, Serpong, 116 siswa, 100 persen lulus, 8,93.
61
M. Sukardjo dan Ukim Komarudin, 2009, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 82. 62
Sundari, “Inilah 12 Siswa Peraih Nilai UN Tertinggi,” Serial Online Kamis, 23 Mei 2013 | 19:45 WIB,, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://www.tempo.co/read/news/2013/05/23/079482801/
86
3. SMA Kristen 1 BPK Penabur Jakarta, 295 siswa,100 persen lulus, 8,88 4. SMA Santa Ursula, 205 siswa, 100 persen lulus, 8,87 5. SMA Negeri 1 Denpasar, 512 siswa, 100 persen lulus, 8,81 6. SMA Negeri 3 Lamongan, 230 siswa, 100 persen lulus, 8,81 7. SMA Negeri 1 Babat Lamongan, 300 siswa, 100 persen lulus, 8,81 8. SMA Negeri 10 Fajar Harapan Banda Aceh, 75 siswa, 100 persen lulus, 8,79 9. SMA Negeri 1 Kembangbahu Lamongan, 124 siswa, 100 persen lulus, 8,78. 10. SMA Negeri 8 Jakarta, 417 siswa, 100 persen lulus, 8,74. Peningkatan prestasi masih di dominasi oleh siswa Denpasar yang memang selama ini menjadi barometer pendidikan di Bali. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 7 Pemenang olimpiade IPA dan Matematika Sekolah Dasar Tingkat Provinsi Bali Tahun 2012
No
1
Kabupaten Nama Siswa
Asal
/ Kota
Sekolah
Tabanan
Putu Dewi
Emilia SD Bintang Persada
Peringkat Mata Pelajaran I IPA
87
Denpasar
IGAB Adnyana SD Paramata
II
Saraswati Denpasar
Buleleng
I Ketut Trisna SD 5 Les
III
Paramata 2
Denpasar
Kadek Bagus
Dwi SD
I
Ananda Saraswati
Udayana
4 Denpasar
Denpasar
Novi Rilinda
SD Santo
II
Yoseph 1
Matemati ka
Denpasar Denpasar
I Nengah Raka SDK Swastika
III
Harapan Denpasar
Sumber: Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali Prestasi di bidang akademik juga diikuti dengan prestasi di bidang non akademik. Kegiatan non akademik yang dilaksanakan setiap tahun oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali adalah kegiatan porsenijar yakni kompetisi di bidang olahraga dan pelajar. Adapun peroleh medali di masingmasing kabupaten dapat dilihat sebagai berikut:
88
Tabel 8 Perolehan Medali Porsenijar 2011 No Kab/Kota
Tkt
Jumlah Medali
Total Medali
Emas Perak Perunggu Emas Perak Peruggu 1
2
Denpasar
Badung
SD
28
17
32
144
0
0
SMP
61
26
28
0
75
0
SMA/K 55
32
25
0
0
85
SD
18
18
20
46
0
0
SMP
10
30
43
0
70
0
SMA/K 3
4
5
6
Gianyar
Buleleng
Bangli
Klungkung
18
22
43
0
0
106
5
21
10
32
0
0
SMP
10
19
29
0
58
0
SMA/K
17
18
19
0
0
58
SD
10
5
15
37
0
0
SMP
18
11
18
0
37
0
SMA/K
9
21
13
0
0
46
SD
7
2
5
35
0
0
SMP
13
10
15
0
21
0
SMA/K
15
9
11
0
0
31
SD
5
4
8
21
0
0
SMP
6
14
20
0
36
0
10
18
34
0
0
62
3
7
12
13
0
0
SD
SMA/K 7
Tabanan
SD
89
8
9
Jembrana
SMP
5
12
24
0
31
0
SMA/K
5
12
20
0
0
56
SD
8
7
7
23
0
0
SMP
6
9
10
0
25
0
SMA/K
9
9
14
0
0
31
4
7
8
17
0
0
SMP
6
4
3
0
15
0
SMA/K
7
4
17
0
0
28
368
368
503
368
368
503
Karangasem SD
SD Jumlah
SMP SMA/K
Sumber: Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali Pengembangan sekolah bertaraf internasional menjadi salah satu uraian indikator peningkatan mutu dan relevansi pendidikan pada program wajib belajar 12 tahun. Sekolah bertaraf internasional merupakan amanat dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal tersebut dinyatakan “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.” Untuk merealisasikan ketentuan tersebut, maka masing-masing pemerintah daerah telah menetapkan sekolah berstandar internasional. Provinsi Bali sendiri memiliki beberapa sekolah yang berstandar internasional. Adapun sekolah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
90
Tabel 9 SD Bertaraf Internasional di Bali63
NO
NAMA SEKOLAH
KABUPATEN/ KOTA
1
SDN Tualangampiang
Denpasar
2
SD Muhammadyah II
Denpasar
3
SD Negeri 3 Banjar Jawa
Buleleng
4
SD Negeri 4 Tuban
Badung
5
SD Negeri 1 Karangasem
Karangasem
6
SD Negeri BI Bangli
Bangli
Sumber: Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali
Tabel 10 SMP Bertaraf Internasional di Bali64 TAHUN NO
NAMA SEKOLAH
KABUPATEN PENETAPAN
1
SMP 1 Bangli
Bangli
2008
2
SMP 1 Singaraja
Buleleng
2008
3
SMP 1 Gianyar
Gianyar
2009
63
Pemerintah Provinsi Bali Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, 2012, Informasi Data Pendidikan Pemuda dan Olah Raga, Pemerintah Provinsi Bali Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga , Denpasar, hal 83. 64
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, “Daftar SMP Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SMP-RSBI),” Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://dikdas.kemdikbud.go.id/application/media/file/DAFTAR%20SMP%20RINTISAN%20SEK OLAH%20BERTARAF%20INTERNASIONAL%20%28SMP-RSBI%29a.pdf
91
4
SMP 1 Negara
Jembrana
2009
5
SMP 2 Amlapura
Karangasem
2009
6
SMP 2 Semarapura
Klungkung
2008
7
SMP 1 Tabanan
Tabanan
2008
8
SMP 1 Denpasar
Denpasar
2007
9
SMP 3 Denpasar
Denpasar
2008
10
SMP 1 Kuta
Badung
2011
Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tabel 11 SMA Bertaraf Internasional di Bali
NO.
NAMA
KABUPATEN/KOTA
TAHUN PENETAPAN
1
SMA Negeri 1 Singaraja
Kabupaten Buleleng
2006
2
SMA Negeri 1 Gianyar
Kabupaten Gianyar
2006
3
SMA Negeri 1 Ubud
Kabupaten Gianyar
2006
4
SMA Negeri 4 Denpasar
Kota Denpasar
2006
5
SMA Negeri 1 Denpasar
Kota Denpasar
2006
6
SMA Negeri 1 Tabanan
Kabupaten Tabanan
2007
7
SMA Negeri 2 Semarapura
Kabupaten Klungkung
2007
8
SMA Negeri 1 Bangli
Kabupaten Bangli
2007
9
SMA Negeri 5 Denpasar
Kota Denpasar
2007
10
SMA Negeri 1 Kuta Utara
Kabupaten Badung
2009
92
NO.
NAMA
TAHUN PENETAPAN
KABUPATEN/KOTA
11
SMA Negeri 2 Amlapura
Kabupaten Karangasem
2009
12
SMA Negeri 3 Denpasar
Kota Denpasar
2009
13
SMA Negri 8 Denpasar
Kota Denpasar
2011
Sumber: Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali Tabel 12 SMK Bertaraf Internasional di Bali65 No
Nama Sekolah
Kabupaten/ Kota
1
SMK Negeri 1 Denpasar
Denpasar
2
SMK Negeri 3 Denpasar
Denpasar
3
SMK Negeri 3 Singaraja
Singaraja
4
SMK Negeri 1 Singaraja
Singaraja
5
SMK Negeri 1 Tabanan
Tabanan
6
SMK Traitmajaya Dalung
Badung
7
SMK Negeri 1 Sukawati
Gianyar
8
SMK Negeri 3 Sukawati
Gianyar
9
SMK Negeri 1 Bangli
Bangli
10
SMK Negeri 1 Negara
Jembrana
Sumber: Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali
65
Pemerintah Provinsi Bali Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, 2012, Informasi Data Pendidikan Pemuda dan Olah Raga, Pemerintah Provinsi Bali Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga , Denpasar, hal 84.
93
Sekolah bertaraf internasional kini tidak diperbolehkan lagi dengan keluarnya
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
5/PUU-X/2012
yang
menyatakan Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional inkonstitusional. Dalam amar putusan dinyatakan: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; 1.1. Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.2. Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 maka sekolah bertaraf internasional ditiadakan karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kehadiran Sekolah Bertaraf Internasional dinilai menimbulkan diskriminasi. Discrimination typically refer to the unfair treatment of others based on their group membership.66 Diskriminasi yang diciptakan dari kehadiran sekolah bertaraf internasional dimana sekolah bertaraf internasional hanya dapat dinikmati oleh siswa dari keluarga yang mampu seara finansial saja. Biaya pendidikan di sekolah bertaraf internasional jauh lebih mahal daripada sekolah biasa. Untuk masuk ke sekolah tersebut banyak dikenakan pungutan liar.
66
David Matsumoto and Linda Juang, 2012, Culture and Psychology 4th edition, Cengage Learning, United State, hal. 80-81.
94
Indikator selanjutnya dari program wajib belajar 12 tahun adalah akuntabilitas dan pencitraan publik. Uraian indikator meliputi meningkatkan pelayanan pendidikan dan meningkatkan Sistem Informasi Manajemen. Dilihat dari data BPS jumlah sekolah di Bali banyaknya sekolah dapat dilihat pada tabeltabel berikut:
Tabel 13 Banyaknya Sekolah, Murid, dan Guru Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011/201267 Kabupaten/ Kota (1)
Sekolah
Murid Guru
Negeri Swasta Madrasah Jumlah Laki-laki
Prp.
Jumlah
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
1. Jembrana
181
3
10
194
15 766
14 593
30 359
1 520
2. Tabanan
323
5
2
330
20 786
19 034
39 820
3 548
3. Badung
248
19
2
269
31 977
29 101
61 078
3 526
4. Gianyar
280
6
1
287
25 034
23 639
48 673
3 136
5. Klungkung
138
0
2
140
9 729
8 973
18 702
1 610
6. Bangli
162
0
0
162
12 190
11 445
23 635
1 483
7. Karangasem
355
3
6
364
25 019
23 295
48 314
3 978
8. Buleleng
476
4
21
501
43 681
40 748
84 429
4 657
9. Denpasar
168
44
7
219
41 466
38 358
79 824
3 956
2011/2012
2 331
84
51
2 466
2010/2011
2 368
87
47
2 502
-
-
437 666 26 942
2009/2010
2 376
80
50
2 506
-
-
428 462 25 422
Jumlah :
67
225 648 209 186 434 834 27 414
BPS Provinsi Bali, “Banyaknya Sekolah, Murid, dan Guru Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011/2012,” http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=606007&od=6&id=6
95
2008/2009
2 347
79
48
2 474
-
-
428 546 21 990
2007/2008
2 421
77
28
2 526
-
-
407 457 23 291
Sumber : Bali Dalam Angka 2013 Tabel 14 Banyaknya Sekolah, Murid, dan Guru Sekolah Lanjutan Pertama / Madrasah Tsanawiah Menurut Kab./Kota Tahun 2011/201268 Sekolah
Murid
Kabupaten/ Kota
Guru Negeri Swasta Madrasah Jumlah Laki-laki
(1)
Prp.
Jumlah
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
1. Jembrana
18
8
7
33
6 830
6 200
13 030
849
2. Tabanan
35
3
4
42
9 756
8 965
18 721 1 699
3. Badung
20
31
1
52
13 157
12 200
25 357 1 707
4. Gianyar
22
26
1
49
11 362
10 233
21 595 1 773
5. Klungkung
20
3
1
24
4 358
4 007
8 365
837
6. Bangli
22
5
0
27
5 225
4 740
9 965
772
7. Karangasem
48
6
2
56
10 073
8 794
18 867 1 580
8. Buleleng
54
21
8
83
17 151
15 377
32 528 2 279
9. Denpasar
12
43
4
59
17 509
16 857
34 366 2 378
2011/2012
251
146
28
425
95 421
87 373 182 794 13 874
2010/2011
202
174
-
376
91 864
84 543 176 407 12 910
2009/2010
213
194
-
407
91 708
82 360 174 068 12 920
2008/2009
242
134
-
376
101 811
96110 197 921 11 922
2007/2008
220
134
-
354
79 670
75 375 155 045 10 719
Jumlah :
Sumber : Bali Dalam Angka 2013
68
BPS Provinsi Bali, “Banyaknya Sekolah, Murid, dan Guru Sekolah Lanjutan Pertama / Madrasah Tsanawiah Menurut Kab./Kota Tahun 2011/2012,” Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=606008&od=6&id=6
96
Tabel 15 Banyaknya Sekolah, Murid, dan Guru Sekolah Menengah Umum / Madrasah Aliyah Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011/201269 Sekolah
Murid
Kabupaten/Kota
Guru Negeri Swasta Madrasah Jumlah Laki-laki
(1)
Prp.
Jumlah
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
1. Jembrana
6
8
3
17
3 251
3 371
6 622
603
2. Tabanan
9
8
4
21
3 797
3 771
7 568
1 162
3. Badung
8
12
0
20
4 504
5 115
9 619
809
4. Gianyar
7
10
1
18
4 303
3 857
8 160
789
5. Klungkung
6
5
1
12
2 866
2 287
5 153
510
6. Bangli
5
4
0
9
1 747
1 439
3 186
325
7. Karangasem
9
10
1
20
4 855
3 987
8 842
804
8. Buleleng
17
18
4
39
5 454
4 353
9 807
1 434
9. Denpasar
8
22
2
32
8 645
9 059
17 704 1 462
2011/2012
75
97
16
188
39 422
37 239 76 661 7 898
2010/2011
78
89
-
167
47 129
43 338 90 467 7 505
2009/2010
79
103
-
182
37 561
33 822 71 383 7 553
2008/2009
72
99
-
171
34 251
31 797 66 048 7 022
2007/2008
71
95
-
166
41 211
35 903 77 114 6 508
Jumlah :
Sumber : Bali Dalam Angka 2013
69
BPS Provinsi Bali, “Banyaknya Sekolah, Murid, dan Guru Sekolah Menengah Umum / Madrasah Aliyah Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011/2012,” Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=606009&od=6&id=6
97
Tabel 16 Banyaknya Sekolah, Murid, dan Guru Sekolah Menengah Kejuruan Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011/201270 Sekolah
Murid
Kabupaten/Kota
Guru Negeri
Swasta
Prp.
Jumlah
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
1. Jembrana
3
5
8
2 536
1 632
4 168
311
2. Tabanan
3
10
13
2 913
2 597
5 510
585
3. Badung
2
16
18
5 812
4 051
9 863
847
4. Gianyar
7
20
27
6 031
5 699
11 730
1 320
5. Klungkung
2
4
6
1 470
1 230
2 700
275
6. Bangli
9
3
12
1 572
1 145
2 717
435
7. Karangasem
3
6
9
2 158
1 106
3 264
312
8. Buleleng
9
15
24
5 228
4 038
9 266
1 004
9. Denpasar
5
26
31
10 826
8 001
18 827
1 746
2011/2012
43
105
148
38 546
29 499
68 045
6 835
2010/2011
39
91
130
35 696
27 246
62 942
4 017
2009/2010
40
95
135
24 346
19 015
43 361
2 711
2008/2009
38
75
113
23 282
18 995
42 277
4 166
2007/2008
35
67
102
23 945
18 793
42 738
2 990
(1)
Jumlah Laki-laki
Jumlah :
Sumber : Bali Dalam Angka 2013
Pemanfaatan teknologi informasi kini dipergunakan di sekolah-sekolah. Pada jenjang pendidikan SMA/MA dan SMK, teknologi informasi dijadikan 70
BPS Provinsi Bali, “Banyaknya Sekolah, Murid, dan Guru Sekolah Menengah Kejuruan Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011/2012, Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=606010&od=6&id=6olah Menengah Kejuruan Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011/2012,”
98
sebagai salah satu mata pelajaran dan juga menjadi salah satu ekstrakulikuler. Pemanfaatan teknologi informasi sebagai indikator dalam program wajib belajar 12 tahun ini tidak lepas dari pemenuhan hak atas informasi. Hak informasi menjadi pembuka jendela peradaban dan pengembangan kondisi demokratisasi di dunia pendidikan hingga sektor strategis lainnya.71 Dengan demikian, hak informasi ini dipenuhi melalui pendidikan. Sistem penilaian dan media pembelajaran terpadu berbasis teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka penerapan e-learning. Beberapa sekolah sudah menyiapkan wifi dan komputer yang terkoneksi dengan jaringan internet, namun pemanfaatan teknologi informasi dalam proses pembelajaran ini belum merata pada sekolah-sekolah di Provinsi Bali. Hal ini disebabkan karena keterbatasan anggaran sekolah untuk menyediakan perangkat teknologi informasi dan keterbatasan jaringan internet sampai ke pelosok desa. 3.3 Tingkat Efektivitas Pelaksanaan Program Wajib 12 Tahun Pendidikan merupakan bagian penting dalam menjain keberhasilan pembangunan nasional. Hasil dari penelitian pengendalian mutu pendidikan menyatakan bahwa pendidikan memegang peranan kunci dalam pengembangan sumber daya manusia dan insan yang berkualitas. Memang secara kuantitas, kemajuan pendidikan di Indonesia cukup menggembirakan, namun secara kualitas
71
Abdul Wahid dan Siti Marwiyah, “Hak Kemerdekaan Menulis Buku Menuju Pencerahan Edukasi Masyarakat”, dalam Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 4 Agustus 2011, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 627.
99
perkembangannya masih belum merata.72
Peningkatan kualitas dan kuantitas
pendidikan harus diseimbangkan demi kemajuan bangsa. Disepakati bahwa untuk dapat meningkatkan kualitas pendidikan harus dimulai dari pendidikan dasar. Di banyak negara, pendidikan dasar adalah milik masyarakat (public goods) daripada pendidikan menjadi komoditi yang dapat diperdagangkan. Oleh karena itu, pada pendidikan dasar tujuan utamanya membangun nation dan character building.73 Seiring dengan kemajuan zaman maka pendidikan menengah menjadi hal yang diwajibkan. Pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun merupakan realisasi politik hukum pemerintah daerah dalam memenuhi hak atas pendidikan. Hak atas pendidikan sesuai dengan teori positivis dalam HAM adalah hak asasi manusia karena tercantum dalam hukum positif. Kebijakan wajib belajar 12 tahun telah dibuat oleh Pemerintah Provinsi Bali sejak tahun 2008 dengan berlandaskan pada konsep otonomi daerah. Secara nasional kebijakan wajib belajar 12 tahun ini baru dicanangkan pada tahun 2013. Otonomi daerah di bidang pendidikan ini sejalan dengan otonomi pendidikan. Otonomi pendidikan dipandang sebagai proses kemandirian sebuah sekolah (lembaga) dalam mengelola segenap sumber daya yang ada. Hal ini berarti kebijakan pemerintah di bidang pendidikan berada pada dua aspek yakni aspek kualitas dan aspek kuantitas. Aspek kuantitas ini dapat dilihat dari semain meluasnya akses pendidikan bagi semua orang.
72
Sukmadinata, Nana Syaodih, et al., 2006, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip dan Instrumen), Refika Aditama, Bandung, hal. 3. 73
M. Sukardjo dan Ukim Komarudin, op.cit., hal. 83.
100
Meluasnya akses pendidikan dapat diukur dari partisipasi siswa dalam pelaksanaan wajib belajar 12 tahun. Pengertian tentang partisipasi secara formal adalah turut sertanya seseorang, baik secara fisik maupun psikis dalam memberikan kontribusi pada proses pembuatan keputusan mengenai persoalan di mana keterlibatan pribadi orang yang bersangkutan melaksanakan tanggung jawab untuk melakukannya. Keterlibatan ini dilakukan oleh seseorang di dalam lingkungan komunitasnya. Tingkat efektivitas pelaksanaan wajib belajar 12 tahun dicerminkan dari Angka Partisipasi Sekolah (APS). Angka Partisipasi Sekolah (APS) adalah perbandingan antara jumlah murid sekolah usia tertentu dengan jumlah penduduk usia tertentu. Perhitungan angka partisipasi sekolah dapat dibagi menjadi dua yakni angka partisipasi kasar dan angka partisipasi murni. APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana
untuk mengukur daya serap penduduk usia
sekolah di masing-masing jenjang pendidikan.
APK didapat dengan membagi
jumlah penduduk yang sedang bersekolah (atau jumlah siswa), tanpa memperhitungkan umur, pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tersebut. APK dapat dihitung dengan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dari Keterangan Pendidikan. APK adalah ukuran partisipasi sekolah, maka kita hanya akan melihat mereka yang sedang sekolah pada saat survei. Untuk itu, digunakan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
101
- Untuk pembilang, digunakan pertanyaan tentang partisipasi sekolah dan dipilih kategori 2, yaitu penduduk yang saat survei masih bersekolah Kemudian penduduk yang masih sekolah dikelompokkan menurut pertanyaan tentang Jenjang dan Jenis Pendidikan Tertinggi. - Untuk penyebut, digunakan pertanyaan usia responden dari seksi "Keterangan Anggota Rumah Tangga" untuk mengelompokkan penduduk sedang sekolah berdasarkan kelompok usia yang berkaitan dengan tingkat pendidikan.
Pada data mengenai APK yang disajikan oleh BPS Provinsi Bali, jenjang pendidikan dibedakan menjadi 4 yakni SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan Perguruan Tinggi. Untuk mengukur wajib belajar 12 tahun maka kelompok data utama yang digunakan adalah kelompok SMA/MA. APK siswa di tingkat SMA/MA yang terendah adalah Kabupaten Bangli yakni dengan APK siswa lakilaki yakni 58.99, siswa perempuan 54.16. Rata-rata APK di Kabupaten Bangli adalah 57.03. Adapun data mengenai APK dapat dilihat sebagai berikut:
102
Tabel 17 Angka Partisipasi Kasar (APK) Provinsi Bali Menurut Jenjang Pendidikan dan Kabupaten/Kota Tahun 201274 SD / MI
SMP / MTs
Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Lk + Prp Laki-laki Perempuan Lk + Prp 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
(1) Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Buleleng Denpasar BALI: 2012 2011 2010 2009 2008
(2) 104.75 101.21 96.22 97.37 108.75 105.99 109.39 104.76 96.60
(3) 100.49 87.93 99.56 94.08 107.08 95.25 100.31 95.40 93.85
(4) 102.60 94.75 97.71 95.85 107.87 101.15 104.89 100.17 95.27
(5) 78.14 91.54 111.34 103.04 76.75 86.92 96.64 78.22 96.95
(6) 75.44 121.05 83.49 105.45 73.27 91.90 93.67 104.58 119.11
(7) 76.68 105.18 94.90 104.28 75.16 89.37 95.19 90.81 108.34
101.42 101.28 111.12 110.43 100.54
96.11 98.45 112.03 111.24 98.27
98.87 99.95 111.56 110.81 99.41
91.92 85.99 77.75 77.22 77.86
99.43 98.53 75.51 78.43 78.04
95.73 91.71 76.69 77.78 77.95 berlanjut......
SMA / MA
Perguruan Tinggi
Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Lk + Prp Laki-laki Perempuan Lk + Prp 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
(1) Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Buleleng 74
(8) 107.07 82.35 92.57 93.08 101.79 58.99 59.48 96.82
(9) 127.46 70.41 118.82 94.15 101.14 54.16 68.39 83.31
(10) 116.18 76.85 105.18 93.62 101.51 57.03 63.12 90.96
(8) 6.37 13.67 34.98 33.78 20.42 8.17 8.19 26.82
(9) 6.48 18.05 23.93 23.90 8.80 10.23 3.55 27.46
(10) 6.43 15.76 29.52 28.96 13.98 9.26 6.02 27.16
BPS Provinsi Bali, “Angka Partisipasi Kasar (APK) Provinsi Bali Menurut Jenjang Pendidikan dan Kabupaten/Kota Tahun 2012,” Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://www.datastatistikindonesia.com/portal/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=711
103
9. Denpasar BALI: 2012 2011 2010 2009 2008
82.17
71.48
77.01
30.01
31.23
30.63
86.15 90.64 85.00 87.35 73.20
86.85 77.91 79.60 76.65 67.09
86.47 84.33 82.36 82.18 70.28
25.05 26.61 -
22.49 21.07 -
23.76 23.78 -
Sumber : Bali Dalam Angka 2013
Secara umum, APK SMA/MA dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dari kurun 2008-2012 terdapat peningkatan yang cukup berarti. Pada tahun 2008 APK SMA/MA adalah 70,28%, pada tahun 2009 meningkat menjadi 82,18%, pada tahun 2010 mengalami sedikit peningkatan menjadi 82,36%. Di tahun 2011 dan 2012 masing-masing 84.33% dan 86.47%.
Pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun juga diukur dari Angka Partisipasi Murni (APM). APM adalah perbandingan antara jumlah siswa usia sedang sekolah di jenjang tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia tertentu. Angka Partisipasi Murni (APM) SMA/MA adalah adalah perbandingan antara siswa 16 – 18 tahun di SMA/MA dengan jumlah penduduk usia 16 – 18 tahun. Adapun data APM menurut BPS dapat dilihat sebagai berikut:
104
Tabel 18 Angka Partisipasi Murni (APM) Provinsi Bali Menurut Jenjang Pendidikan dan Kabupaten/Kota Tahun 201275
SD / MI
SMP / MTs
Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Lk + Prp Laki-laki Perempuan Lk + Prp 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
(1) Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Buleleng Denpasar BALI: 2012 2011 2010 2009 2008
(2) 92.26 93.20 89.86 93.65 65.60 98.04 95.89 95.33 91.40
(3) 92.61 81.50 90.11 88.46 96.51 88.54 92.73 86.90 86.98
(4) 92.44 87.50 89.97 91.24 96.08 93.75 94.32 91.19 89.27
(5) 67.48 73.40 81.36 83.04 70.44 82.38 86.19 68.19 71.20
(6) 62.93 76.25 65.60 82.50 66.61 68.29 75.29 76.26 84.74
(7) 65.03 74.72 72.05 82.76 68.69 75.45 80.88 72.05 78.16
93.42 91.57 96.23 95.98 95.36
88.51 89.06 94.79 93.86 94.26
91.06 90.39 95.53 94.99 94.82
75.53 65.99 69.54 69.11 68.48
74.62 72.94 65.93 65.37 65.42
75.07 69.16 67.83 67.38 67.03
SMA / MA
Perguruan Tinggi
Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Lk + Prp Laki-laki Perempuan Lk + Prp 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
(1) Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Buleleng 75
(8) 79.65 53.43 77.60 73.11 64.40 45.77 49.38 65.19
(9) 68.77 58.76 69.89 69.19 73.55 29.59 47.14 59.37
(10) 74.79 55.88 73.89 71.14 68.33 39.21 48.46 62.67
(8) 5.06 8.24 18.53 28.15 9.85 7.04 5.85 17.46
(9) 5.31 5.69 19.95 19.17 6.41 9.67 0.00 21.77
(10) 5.19 7.02 19.23 23.77 7.94 8.43 3.11 19.72
BPS Provinsi Bali, “Angka Partisipasi Murni (APM) Provinsi Bali Menurut Jenjang Pendidikan dan Kabupaten/Kota Tahun 2012,” Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=606005&od=6&id=6
105
9. Denpasar BALI: 2012 2011 2010 2009 2008
66.26
61.13
63.78
22.41
22.12
22.26
65.01 63.56 59.46 58.79 58.21
61.23 57.47 54.72 52.49 51.58
63.28 60.54 57.14 55.75 55.04
17.26 19.06 -
16.32 14.31 -
16.79 16.63 -
Sumber : Bali Dalam Angka 2013 Dilihat dari APM SMA/MA terendah adalah di Kabupaten Bangli yakni 39.21. APM di Provinsi Bali dari tahun 2008-2012 juga mengalami peningkatan sebagaimana halnya APK. Pada tahun 2008 APM berjumlah 55,04%, pada tahun 2009 berjumlah 55,75%, pada tahun 2010 adalah 57,14%, pada tahun 2011 adalah 60,54% dan pada tahun 2012 adalah 63,28%. Data terpilah yang disajikan oleh BPS Provinsi Bali dihitung dari wilayah asal siswa sedangkan data dari Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali, data dihitung dari wilayah dimana siswa tersebut bersekolah. Sebagai perbandingan maka dapat dilihat data dari Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali yakni sebagai berikut:
106
Tabel 19 Data APK, APN SMA/MA, SMK76 N
Kabupat
Pendud
Muri
Murid
Lulusa
Murid
APK
APM
AT
o
en/ Kota
uk usia
d Usia
SMTA/
n
Baru
5:3x1
4:3x1
7:6x1
16-18
16-18
MA
SMTP/
TK I
00
00
00
tahun
tahun
seluruhn
MTS
SM/M
SMT
ya
(N+S)
A/K
A.
2011-
(N+S)
MA
2012
2011-
64.63
62.93
105.7
2012 1
Buleleng
29.524
18.58
19.080
8.093
8.554
0
0
2
Jembrana
14.602
8.606
10.814
6.834
3.878
74.06
58.94
56.75
3
Tabanan
15.984
10.25
13.672
6.087
4.615
85.54
64.15
75.82
19.803
7.828
7.428 132.21
91.09
94.89
19.899
6.736
7.191
74.54
106.7
4 4
Badung
14.978
13.64 3
5
Gianyar
20.528
15.30
96.94
1 6
Klungkun
7.139
5.550
5 7.853
g
76
Pemerintah Provinsi Bali, op.cit. hal. 25.
2.310
2.776
110.0
77.74
12.17
107
7
Bangli
8
Karangas
8.871
4.274
6.242
3.074
2.195
70.36
48.18
71.41
20.353
8.423
12.115
5.180
3.860
59,52
41.38
74.52
35.315
25.75
36.799
9.621
12.390 104.20
72.93
128.7
em 9
Kota Denpasar Jumlah
5 167.294
110.3
8 146.277
55.763
52.887
87.44
65.98
94.84
86 Sumber: Pemerintah Provinsi Bali Data yang disajikan oleh BPS Provinsi Bali dan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali memang memiliki perbedaan dari segi angka. Namun jika dilihat secara umum terdapat persamaan dimana Badung dan Denpasar tetap menjadi wilayah dengan angka partisipasi dalam golongan yang tinggi sedangkan wilayah dengan angka partisipasi yang rendah adalah Bangli, Karangasem, Buleleng dan Jembrana. Salah satu indikator dalam pencapaian wajib belajar 12 tahun adalah penyeimbangan proporsi antara siswa SMA dan SMK. Pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan ini merupakan istilah yang terdapat pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 18 ayat (2) disebutkan Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Selanjutnya dalam ayat (3) disebutkan Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
108
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Sekolah Menengah Atas, yang selanjutnya disingkat SMA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs. Madrasah Aliyah, yang selanjutnya disingkat MA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs. Siswa SMA/MA mendapatkan pelajaran umum yang dididik untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Dari segi pelajaran, siswa di SMA/ MA lebih banyak mendapatka teori sehingga lulusannya belum siap untuk bekerja. Tempat belajat hanya terpusat di sekolah saja. Adapun jumlah data SMA/MA di seluruh Bali dapat dilihat pada tabel berikut:
109
Tabel 20 Banyaknya Sekolah, Murid, dan Guru Sekolah Menengah Umum / Madrasah Aliyah Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011/201277 Sekolah
Murid
Kabupaten/Kota
Guru Negeri Swasta Madrasah Jumlah Laki-laki
(1)
Prp.
Jumlah
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
1. Jembrana
6
8
3
17
3 251
3 371
6 622
603
2. Tabanan
9
8
4
21
3 797
3 771
7 568
1 162
3. Badung
8
12
0
20
4 504
5 115
9 619
809
4. Gianyar
7
10
1
18
4 303
3 857
8 160
789
5. Klungkung
6
5
1
12
2 866
2 287
5 153
510
6. Bangli
5
4
0
9
1 747
1 439
3 186
325
7. Karangasem
9
10
1
20
4 855
3 987
8 842
804
8. Buleleng
17
18
4
39
5 454
4 353
9 807
1 434
9. Denpasar
8
22
2
32
8 645
9 059
17 704 1 462
2011/2012
75
97
16
188
39 422
37 239 76 661 7 898
2010/2011
78
89
-
167
47 129
43 338 90 467 7 505
2009/2010
79
103
-
182
37 561
33 822 71 383 7 553
2008/2009
72
99
-
171
34 251
31 797 66 048 7 022
2007/2008
71
95
-
166
41 211
35 903 77 114 6 508
Jumlah :
Sumber : Bali Dalam Angka 2013
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang
77
BPS Provinsi Bali, “Banyaknya Sekolah, Murid, dan Guru Sekolah Menengah Umum / Madrasah Aliyah Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011/2012,” Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=606009&od=6&id=6.
110
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Sekolah Menengah Kejuruan, yang selanjutnya disingkat SMK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs. Madrasah Aliyah Kejuruan, yang selanjutnya disingkat MAK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs. Siswa SMK dan MAK dididik dengan pelajaran teori dan praktik. Tempat pendidikan ada di dalam sekolah dan di luar sekolah yakni di tempat praktik kerja lapangan. Lulusan SMK/ MAK ini siap dipasarkan di dunia kerja. Dilihat dari jumlah siswa SMK di kabupaten dan kota se-provinsi Bali dapat diketahui bahwa jumlah siswa SMK tertinggi ada di Kota Denpasar yakni sebanyak 18.827, di tempat kedua yakni Kabupaten Gianyar yakni 11.730. Jumlah siswa SMK terendah ada di kabupaten Klungkung yakni 2.700 siswa dan hanya selisih sedikit dengan Kabupaten Bangli yakni 2.717 siswa. Data selengkapnya mengenai data siswa SMK dapat dilihat pada tabel berikut:
111
Tabel 21 Banyaknya Sekolah, Murid, dan Guru Sekolah Menengah Kejuruan Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011/201278 Murid Kabupaten/Kota Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1. Jembrana
2 536
1 632
4 168
2. Tabanan
2 913
2 597
5 510
3. Badung
5 812
4 051
9 863
4. Gianyar
6 031
5 699
11 730
5. Klungkung
1 470
1 230
2 700
6. Bangli
1 572
1 145
2 717
7. Karangasem
2 158
1 106
3 264
8. Buleleng
5 228
4 038
9 266
9. Denpasar
10 826
8 001
18 827
2011/2012
38 546
29 499
68 045
2010/2011
35 696
27 246
62 942
2009/2010
24 346
19 015
43 361
2008/2009
23 282
18 995
42 277
2007/2008
23 945
18 793
42 738
Jumlah :
Sumber : Bali Dalam Angka 2013
Siswa SMK dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hanya pada tahun 2008/2009 mengalami sedikit penurunan. Jumlah siswa SMK selama kurun waktu 5 tahun mengalami kenaikan yang siginifikan yakni dari 42.738 sampai
78
BPS Provinsi Bali, “Banyaknya Sekolah, Murid, dan Guru Sekolah Menengah Kejuruan Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011/2012,” Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=606010&od=6&id=6
112
68.045 siswa. Hal ini disebabkan karena semakin tingginya kesadaran akan pendidikan keterampilan sehingga dapat langsung terserap di dunia kerja. Pemerintah memiliki kebijakan untuk menyeimbangkan proporsi jumlah siswa SMA/MA dan SMK/MAK yakni dengan menurunkan jumlah siswa SMA/MA dan menaikkan jumlah siswa SMK/MAK. Perbandingan antara jumlah siswa SMA/MA dengan SMK/MAK dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 22 Perbandingan antara jumlah siswa SMA/MA dengan SMK/MAK SMA/MA
SMK/MAK
N Tahun
Jumla
Persentas
h
e
Target
Jumla
Persentas
h
e
Target
o
1 2 3 4
2011/201 52,98% 56,35 76 661 68 045 2 % 2010/201 58,97% 60,10 90 467 62 942 1 % 2009/201 62,21% 63,85 71 383 43 361 0 % 2008/200 60,97% 67,60 66 048 42 277 9 % Sumber: Diolah dari data BPS Provinsi Bali
47,02% 41,03% 37,79% 39,03%
43,65 % 39,90 % 36,15 % 32,40 %
Dilihat dari persentase riil dengan target pencapaian penyeimbangan antara siswa SMA/MA dengan SMK/MAK sampai saat ini belum memenuhi target. Hal ini disebabkan karena masih banyak yang merasa genggi untuk sekolah di SMK/MAK. SMK/MAK masih dipandangan sebagai jenis pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu.
113
Pelaksanaan kewajiban pemerintah dalam pemenuhan HAM atas pendidikan ini dari segi perluasan dan pemerataan akses pendidikan, jumlah siswa perempuan lebih rendah dibandingkan dengan jumlah siswa laki-laki. Proporsi antara jumlah siswa SMA/MA dan SMK/MAK belum mencapai target. Berdasarkan aspek peningkatan mutu, prestasi akademik yang dapat ditinjau dari nilai UN SMA/K dimana Bali menjadi peringkat pertama dalam perolehan nilai UN, prestasi non akademik ditunjukkan dengan perolehan medali dalam prosenijar. Dilihat dari indikator akuntabilitas dan pencitraan publik, sistem pelayanan sekolah dan sistem informasi manajemen sudah memadai. Pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun efektif di wilayah yang maju yakni Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, namun pemenuhan HAM atas pendidikan melalui pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun belum efektif di beberapa daerah yakni Kabupaten Bangli, Karangasem, Buleleng dan Jembrana.
114
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 9 TAHUN 2009 TERKAIT DENGAN PENYELENGGARAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR 12 TAHUN DI PROVINSI BALI
4.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Kebijakan merupakan tindakan pemerintah dalam satu bidang tertentu. Kebijakan di bidang pendidikan dituangkan dalam program wajib belajar 12 tahun sebagaimana yang dijelaskan dalam Lampiran Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah itu sendiri. Efektivitas pelaksanaan kebijakan dapat diukur melalui 5 faktor yakni dari faktor hukum, penegak hukum, sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum, masyarakat dan kebudayaan. Faktor hukum, kebijakan Pemerintah Provinsi Bali memenuhi syarat keberlakuan hukum baik secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Kebijakan wajib belajar 12 tahun sejalan dengan filosofi pendidikan. Plato mengatakan bahwa tujuan pendidikan sesungguhnya adalah penyadaran terhadap self knowing dan self realization kemudian inquiry dan reasoning and logic. Aristoteles selanjutnya menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah penyadaran terhadap self realization, yaitu kekuatan efektif (virtue) kekuatan untuk menghasilkan (efficacy) dan potensi untuk mencapai kebahagiaan hidup melalui kebiasaan dan
115
kemampuan berpikir rasional.79 Program wajib belajar 12 tahun memberikan kesempatan yang lebih panjang untuk menggali potensi anak untuk dapat bertindak lebih rasional. Dewey, seorang ahli pendidikan dari Amerika Serikat mengemukakan tujuan pendidikan ialah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat berfungsi secara individual dan berfungsi sebagai anggota masyarakat melalui penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang bersifat aktif, ilmiah dan memasyarakat serta berdasarkan kehidupan nyata yang dapat mengembangkan jiwa, pengetahuan, rasa tanggung jawab, keterampilan, kemauan, dan kehalusan budi pekerti.80 Sekolah melalui mata pelajaran budi pekerti dan agama serta guru bimbingan konseling dapat memberikan pendidikan kepada anak. Secara internasional, pengakuan hak atas pendidikan sebagai HAM dan uoaya pemenuhan hak atas pendidikan tersebut diatur dalam Article 13 dan Article 14 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. Article 13 1.
The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to education. They agree that education shall be directed to the full development of the human personality and the sense of its dignity, and shall strengthen the respect for human rights and fundamental freedoms. They further agree that education shall enable all persons to participate effectively in a free society, promote understanding, tolerance and friendship among all nations and all racial, ethnic or religious groups,
79
M. Sukardjo dan Ukim Komarudinop.cit., hal. 14.
80
Ibid.
116
2.
3.
4.
and further the activities of the United Nations for the maintenance of peace. The States Parties to the present Covenant recognize that, with a view to achieving the full realization of this right: (a) Primary education shall be compulsory and available free to all; (b) Secondary education in its different forms, including technical and vocational secondary education, shall be made generally available and accessible to all by every appropriate means, and in particular by the progressive introduction of free education; (c) Higher education shall be made equally accessible to all, on the basis of capacity, by every appropriate means, and in particular by the progressive introduction of free education; (d) Fundamental education shall be encouraged or intensified as far as possible for those persons who have not received or completed the whole period of their primary education; (e) The development of a system of schools at all levels shall be actively pursued, an adequate fellowship system shall be established, and the material conditions of teaching staff shall be continuously improved. The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to choose for their children schools, other than those established by the public authorities, which conform to such minimum educational standards as may be laid down or approved by the State and to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions. No part of this article shall be construed so as to interfere with the liberty of individuals and bodies to establish and direct educational institutions, subject always to the observance of the principles set forth in paragraph I of this article and to the requirement that the education given in such institutions shall conform to such minimum standards as may be laid down by the State.
Article 14 Each State Party to the present Covenant which, at the time of becoming a Party, has not been able to secure in its metropolitan territory or other territories under its jurisdiction compulsory primary education, free of charge, undertakes, within two years, to work out and adopt a detailed plan of action for the progressive implementation, within a reasonable number of years, to be fixed in the plan, of the principle of compulsory education free of charge for all. Terjemahan Pasal 13 1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada
117
perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Mereka selanjutnya setuju bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian. 2. Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh: (a) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang; (b) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-Cuma secara bertahap; (c) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap; (d) Pendidikan mendasar harus sedapat mungkin didorong atau ditingkatkan bagi orang-orang yang belum mendapatkan atau belum menyelesaikan pendidikan dasar mereka; (e) Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus secara aktif diupayakan, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk dan kondisi-kondisi materiil staf pengajar harus terus menerus diperbaiki. 3. Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan wali yang sah, bila ada, untuk memilih sekolah bagi anakanak mereka selain yang didirikan oleh lembaga pemerintah, sepanjang memenuhi standar minimal pendidkan sebagaimana ditetapkan atau disetujui oleh negara yang bersangkutan, dan untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka. 4. Tidak satupun ketentuan dalam Pasal ini yang dapat ditafsirkan sebagai pembenaran untuk mencampuri kebebasan individu dan badan-badan untuk mendirikan dan mengurus lembaga-lembaga pendidikan sepanjang prinsip-prinsip yang dikemukakan ayat 1 Pasal ini selalu diindahkan, dan dengan syarat bahwa pendidikan yang diberikan dalam lembaga-lembaga itu memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh Negara. Pasal 14 Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini yang pada saat menjadi Pihak belum mampu menyelenggarakan wajib belajar tingkat dasar secara cuma-cuma di wilayah perkotaan atau wilayah lain di bawah yurisdiksinya, harus berusaha dalam jangka waktu dua tahun, untuk menyusun dan menetapkan rencana kegiatan rinci untuk diterapkan secara progresif, dan dalam beberapa tahun
118
yang layak harus melaksanakan prinsip wajib belajar dengan cuma-cuma bagi semua orang, yang harus dimasukkan dalam rencana kegiatan tersebut.
Pendidikan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Legitimasi yuridis dari suatu kebijakan sangat penting dalaam negara hukum. Pada negara yang berdasarkan atas hukum maka hukum ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahannya (supremasi hukum). Arief Sidharta mengusulkan bahwa hukum nasional Indonesia harus mengandung ciri: a. b. c. d. e. f.
81
Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara. Mampu mengakomodasikan kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan. Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi. Bersifat nasional yang mencakup rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai. Aturan prosedural yang menjamin transparansi yang memungkinkan kajian nasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah. Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.81
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, op.cit., hal. 70-71.
119
Secara yuridis, kebijakan wajib belajar 12 tahun merupakan bentuk konkret dari tujuan negara sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alenia ke-4 yakni: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.... Arti penting pendidikan dirumuskan dalam Pasal 31 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Hak atas pendidikan adalah hak yang lahir pada generasi kedua, sehingga dalam pemenuhannya menuntut peran aktif dari negara. Konstitusi mengamatkan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk pendidikan.
120
Hak atas pendidikan itu sendiri adalah hak asasi manusia dan merupakan sarana yang mutlak diperlukan untuk mewujudkan hak-hak lain. Penyelesaian suatu program pendidikan yang sudah ditetapkan dengan memuaskan merupakan prasyarat yang sangat penting untuk akses mendapatkan pekerjaan, sehingga pendidikan dilihat sebagai gerbang menuju keberhasilan.82
Pendidikan sebagai
hak asasi manusia secara normatif dapat diihat pada ketentuan Pasal 12 Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan: Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Pasal 60 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya. Pada masa setelah kemerdekaan, perlindungan hak asasi manusia semakin dirasakan perlu untuk dilegitimasi melalui keputusan-keputusan politik yang dituangkan dalam peraturan perundang-perundangan. Peran penguasa/ pemerintah menjadi mutlak karena hukum adalah suatu norma yang diam dan lemah. Hukum hanya dapat bergerak dan hanya dapat digerakkan oleh penguasa atau orang yang mempunyai tangan kuat/ the strong arms. Di tangan-tangan kuat sajalah hukum
82
Rhona K.M Smith et.al., op.cit., hal. 115.
121
dapat berjalan dan efektif.83 Oleh sebab itu kebijakan pendidikan memang selayaknya dituangkan dalam suatu produk hukum. Hukum sebagai teks itu diam dan hanya melalui perantaraan manusialah ia menjadi ‘hidup.’ Dalam kepustakaan sosiologi hukum, Black menyebut perantaraan seperti itu disebut sebagai mobilisasi hukum. Perilaku atau tindakan manusia itu dapat menambah dan mengubah teks. Penegakan hukum dalam konsep normatif, di mana orang hanya tinggal mengaplikasikan apa yang ada dalam perundang-undangan. Praksis yang demikian itu juga disamakan dengan kerja mesin otomat (automaton).84 Terjaminnya efektivitas kebijakan wajib belajar 12 tahun ditentukan dari faktor penegak hukum yang baik di tingkat pusat maupun pada tingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terkait. Kebijakan wajib belajar 12 tahun memang menjadi kebijakan pusat yang dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Guna menyiapkan generasi emas Indonesia pada 2045, mulai tahun 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meluncurkan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) atau wajib belajar 12 tahun. Program ini sebagai wujud komitmen kesinambungan dengan wajib belajar sembilan tahun yang telah dicanangkan pada era Presiden Soeharto. Kebijakan ini didukungan Komisi X DPR. Secara nasional, Angka Partisipasi Kasar (APK) saat ini 78,7% dan masih ada 13% anak-anak yang hanya lulusan SMP. Jika tidak menggunakan PMU, 83
Masykur Effendi,2005, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HakHAM), Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 33. 84
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku, Kompas, Jakarta, hal. 21, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I).
122
maka APK 97% baru bisa tercapai pada 2040, sementara bonus demografi berada pada periode 2010-2035. Agar tidak kehilangan momentum, maka percepatan program PMU harus dilaksanakan sehingga target APK bisa tercapai tepat waktu.85 Direktur Jenderal Pendidikan Menengah menyatakan alasan di balik rintisan Wajib Belajar 12 Tahun tersebut, disebabkan karena saat ini banyak institusi baik negeri maupun swasta yang sudah tidak lagi merekrut lulusan SMP. Selain itu dikarenakan Angka Partisipasi Kasar Wajib Belajar 9 Tahun sudah mencapai 100 persen. Saat ini terdapat sekitar sejuta anak lulusan SMP/MTs yang tidak melanjutkan ke SMA/SMK. Seandainya para lulusan SMP tersebut tidak bekerja maka akan menjadi beban negara dan masyarakat.86 Kewenangan untuk menuangkan kebijakan pendidikan ke dalam suatu produk hukum merupakan kewenangan dari penegak hukum yang dalam konteks ini adalah Pemerintah Daerah dan Kepala SKPD terkait sebagai pelaksananya. Dilihat dari segi efektivitas kebijakan, Pemerintah Daerah telah responsif dalam mewujudkan program wajib belajar 12 tahun. Hukum responsif, hukum diarahkan untuk menawarkan sesuatu yang lebih baik daripada keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil; hukum semacam itu seharusnya
85
Syarief Oebaidillah, Metrotvnews.com, 2013, “Kemendikbud Luncurkan Wajib Belajar 12 Tahun,” Serial Online Selasa, 25 Juni 2013 | 16:19 WIB, (cited 28 th Nov. 2013), available from URL: http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/06/25/3/163936/KemendikbudLuncurkan-Wajib-Belajar-12-Tahun 86
Republika, “Kemendiknas Dorong Wajib Belajar 12 Tahun,” WIB, Serial Online Rabu, 28 September 2011, 17:17, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/11/09/28/ls89xa-kemendiknasdorong-wajib-belajar-12-tahun
123
mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.87 Pemerintah Daerah telah menentukan indikator, uraian indikator dan target pencapaian dari program wajib belajar 12 tahun yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 110 Tahun 2011 tentang Perubahan Matrik Indikasi Rencana Program Prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bali Tahun 20082013. Untuk daerah Bali, program wajib belajar 12 tahun dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga. Menurut I Nyoman Suparta, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga telah melaksanakan kebijakan wajib belajar dengan merealisasikan indikator pencapaian sasaran. Data tersebut kemudian didokumentasikan dalam data informasi. Efektivitas kebijakan wajib belajar 12 tahun juga dilakukan dengan berkoordinasi dengan SKPD lain yakni Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi Bali dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana yakni melalui kebijakan kota layak anak. Wajib belajar 12 tahun menjadi indikator dalam penetapan kota layak anak (I Nyoman Suparta, Kasi Data dan Pengkajian Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali, wawancara pada 7 November 2012). Secara birokratis perencanaan suatu kebijakan sangat terkait dengan penganggaran. Adapun alur sinkronisasi perencanaan dan penganggaran dapat dilihat pada bagan sebagai berikut: 87
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage., 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, hal 84.
124
Bagan 7 Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran88 Renst ra KL Pedom an RPJP Nasion al
Diacu
Pedo man
RPJM Nasio nal
Pedo man
Renja - KL
Pedo man
Dija bar kan
RKP
Rincia n APBN
Pedom an
RAPB N
RKP Daera h
APBN
Pedom an
RAPB D
APBD Peme rintah Daerah
Diacu
Renst Pedom Renja ra an SKPD SKPD
Pedo man
RKA SKPD
Rincia n APBD
Berdasarkan ketentuan-ketentuan mengenai kebijakan wajib belajar 12 tahun, maka Kepala SKPD terkait wajib memiliki sarana dan fasilitas untuk merealisasikan kebijakan dengan membuat perencanaan dan penganggaran. Konstitusi mengamanatkan agar Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
88
pendapatan
dan
Peme rintah Pusat
Diserasikan melalui Musrenbang
RPJM Dija Daera bark h an
Pedom an
RKAKL
Diacu
Diperhatikan
RPJP Daerah
Pedo man
belanja
daerah
untuk
memenuhi
kebutuhan
A.A. Rai Kartini, “Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Anak, Bappeda Provinsi Bali,” Bahan dalam Fasilitasi Penyusunan Data dan Informasi Anak, Denpasar, 13 November 2012, Denpasar.
125
penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Faktor masyarakat menjadi bagian penting dalam menentukan efektivitas kebijakan. Laura Beth Nelsen sebagaimana dikutip Achmad Ali menjelaskan bahwa walaupun public opinion adalah penting sebagai a measure of attitudes and the relationship of public opinion to public policy) sebuah ukuran dari sikap dan hubungan dari opini publik ke kebijakan publik) yang adalah penting bagi pemahaman, namun kajian tentang kesadaran hukum membutuhkan sikap pendokumentasian yang lebih mendalam tentang bagaimana orang berpikir tentang hukum. Laura Beth Nielsen mendefinisikan legal consciousness sebagai how people think about the law, its prevailing norms, everyday practices and common ways of dealing with the law or legal problems (kesadaran hukum sebagai ‘bagaimana orang berpikir tentang hukum, tentang norma-norma umum dari hukum, tentang praktik hukum setiap hari dan tentang tata cara yang umum digunakan dalam berhubungan dengan hukum atau permasalahan hukum.89 Masyarakat di daerah perkotaan pada umumnya mendukung kebijakan wajib belajar 12 tahun. Hal ini dapat dilihat dari angka partisipasi sekolah yang tinggi di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Masyarakat bahkan terlibat dalam pemajuan pendidikan dengan mengefektifkan komite sekolah yang tediri dari orang tua murid dan tokoh masyarakat. Masyarakat juga memandang bahwa
89
Achmad Ali, op.cit., hal. 338.
126
pendidikan sangat penting. Orang tua bahkan menfasilitasi anak-anak mereka untuk mendapatkan pelajaran tambahan di luar jam sekolah. Persepsi mengenai pentingnya pendidikan bagi masyarakat di daerah pedesaan berbeda dengan masyarakat kota. Penduduk di daerah pedesaan masih memandang bahwa pendidikan kurang penting. Anak akan dikatakan mandiri jika mereka sudah bekerja. Mereka masih memandang bahwa banyak orang yang bersekolah tetapi tidak mendapatkan pekerjaan, sehingga untuk apa sekolah. Kelompok ini terlihat pada daerah-daerah seperti Bangli, Karangasem dan Buleleng. Pemahaman mengenai pelaksanaan kebijakan memang tidak dapat dipisahkan dari faktor manusia. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa mengutamakan faktor manusia daripada hukum, membawa kita untuk memahami hukum sebagai suatu proses dan proyek. Di muka hal tersebut berkali-kali dikemukakan, hukum selalu dalam proses membangun dirinya. Karl Renner merumuskan hal tersebut dengan sangat bagus pada waktu mengatakan “the development of the law gradually works out what is socially reasonable.”90 Manusia membentuk suatu budaya. Pembangunan hukum secara bertahap bekerja dari alasan-alasan sosial. Kebudayaan adalah faktor terakhir untuk mengukur efektivitas kebijakan. Pierre Legrand memandang bahwa Cultures may have differing ideas of what is
90
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 39, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II).
127
meant by “law” (and what law is “for”), of where and how it is to be found (types of legal reasoning, the role of case law and precedent, of general clauses as compared to detailed drafting, of the place of “law” and “fact”).91 Budaya dapat memberikan pemahaman mengenai apa yang diartikan oleh hukum, apa guna hukum, dimana dan bagaimana hukum ditemukan. Budaya memberikan pengaruh terhadap argumentasi hukum, peranan dalam yurisprudensi, klausa umum dalam pembuatan dokumen hukum, tempat daripada hukum dan fakta. Budaya berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Kesadaran akan pendidikan untuk semua (education for all) semakin tinggi dengan meningkatnya pemahaman bahwa pendidikan akan menentukan masa depan seseorang. Banyaknya konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai hak atas pendidikan sedikit demi sedikit mengikis anggapan bahwa pendidikan tidak menentukan orang sukses atau tidak. Dahulu, memang masih ada anggapan bahwa kesuksesan ditentukan oleh nasib sehingga orang yang tidak bersekolah pun pasti bisa sukses jika nasib memang menentukannya. 4.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Program Wajib Belajar
12 tahun Efektivitas program wajib belajar 12 tahun dipengaruhi oleh faktor hukum. Pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun secara substansial merupakan
91
Pierre Legrand, “What “Legal Transplants”?” David Nelken and Johannes Feest, (ed.), Adapting Legal Cultures, 2001, Hart, Oxford – Portland Oregon, hal. 25.
128
implementasi dari prinsip penyelenggaraan pendidikan. Dalam Pasal 4 Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa:
Pasal 4 (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Faktor hukum sangat mendukung program wajib belajar 12 tahun. Program ini secara khusus diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 110 Tahun 2011. Kebijakan wajib belajar 12 tahun sesungguhnya didukung dengan kebijakan lain seperti pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). BOS adalah program pemerintah yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya operasi nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar. Namun demikian, ada beberapa jenis pembiayaan investasi dan personalia yang
129
diperbolehkan dibiayai dengan dana BOS. Secara khusus program BOS bertujuan untuk:92
a.
Membebaskan pungutan bagi seluruh siswa SD/SDLB negeri dan SMP/SMPLB/SMPT (Terbuka) negeri terhadap biaya operasi sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Sumbangan/pungutan bagi sekolah RSBI dan SBI harus tetap mempertimbangkan fungsi pendidikan sebagai kegiatan nirlaba, sehingga sumbangan/pungutan tidak boleh berlebih;
b.
Membebaskan pungutan seluruh siswa miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri maupun swasta;
c.
Meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa di sekolah swasta.
Dana BOS dipergunakan untuk menunjang aktivitas pendidikan wajib belajar. Penggunaan dana BOS adalah untuk:
1. 2. 3.
4. 5.
92
Pembelian/penggandaan buku teks pelajaran, yaitu untuk mengganti yang rusak atau untuk memenuhi kekurangan. Pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru; Pembiayaan kegiatan pembelajaran remedial, PAKEM, pembelajaran kontekstual, pembelajaran pengayaan, pemantapan persiapan ujian, olahraga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan sejenisnya; Pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar siswa; Pembelian bahan-bahan habis pakai;
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, “Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2012,” Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://bos.kemdikbud.go.id/home/about
130
6.
7.
8. 9. 10.
11. 12.
13.
Pembiayaan langganan daya dan jasa, yaitu listrik, air, telepon, internet, modem, termasuk untuk pemasangan baru jika sudah ada jaringan di sekitar sekolah.; Pembiayaan perawatan sekolah, yaitu pengecatan, perbaikan atap bocor, perbaikan sanitasi/WC siswa, perbaikan pintu dan jendela, perbaikan mebeler, perbaikan sanitasi sekolah, perbaikan lantai ubin/keramik dan perawatan fasilitas sekolah lainnya; Pembayaran honorarium bulanan guru honorer dan tenaga kependidikan honorer.; Pengembangan profesi guru; Pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi masalah biaya transport dari dan ke sekolah, seragam, sepatu/alat tulis sekolah bagi siswa miskin yang menerima Bantuan Siswa Miskin; Pembiayaan pengelolaan BOS; Pembelian komputer (desktop/work station) dan printer untuk kegiatan belajar siswa, masing-masing maksimum 1 unit dalam satu tahun anggaran; Bila seluruh komponen 1 s.d 12 di atas telah terpenuhi pendanaannya dari BOS dan masih terdapat sisa dana, maka sisa dana BOS tersebut dapat digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran, mesin ketik, peralatan UKS dan mebeler sekolah. 93
Penggunaan dana BOS dibatasi untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Adapun larangan penggunaan dana BOS yakni:
1. 2. 3.
4.
5. 6. 7. 8.
93
Disimpan dalam jangka waktu lama dengan maksud dibungakan. Dipinjamkan kepada pihak lain. Membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memerlukan biaya besar, misalnya studi banding, studi tour (karya wisata) dan sejenisnya. Membiayai kegiatan yang diselenggarakan oleh UPTD Kecamatan/ Kabupaten/kota/Provinsi/Pusat, atau pihak lainnya, walaupun pihak sekolah tidak ikut serta dalam kegiatan tersebut. Sekolah hanya diperbolehkan menanggung biaya untuk siswa/guru yang ikut serta dalam kegiatan tersebut. Membayar bonus dan transportasi rutin untuk guru. Membeli pakaian/seragam bagi guru/siswa untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah). Digunakan untuk rehabilitasi sedang dan berat. Membangun gedung/ruangan baru.
Ibid.
131
9. Membeli bahan/peralatan yang tidak mendukung proses pembelajaran. 10. Menanamkan saham. 11. Membiayai kegiatan yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah pusat atau pemerintah daerah secara penuh/wajar, misalnya guru kontrak/guru bantu. 12. Kegiatan penunjang yang tidak ada kaitannya dengan operasi sekolah, misalnya iuran dalam rangka perayaan hari besar nasional dan upacara keagamaan/acara keagamaan. 13. Membiayai kegiatan dalam rangka mengikuti pelatihan/sosialisasi/ pendampingan terkait program BOS/perpajakan program BOS yang diselenggarakan lembaga di luar Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/ Kota dan Kementerian Pendidikan Nasional. 94 Pengunaan dana BOS untuk pendidikan akan meringankan biaya pendidikan yang dibebankan kepada orang tua murid. Kondisi tersebut akan memperluas akses pendidikan sehingga dapat dinikmati pula oleh anak-anak dari keluarga yang kurang mampu.
Faktor penegak hukum dalam program wajib belajar 12 tahun adalah Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/ Kota serta sekolah yang bersangkutan. Wayan Temu Karmawan, anak putus sekolah di Kabupaten Bangli menjelaskan keinginannya untuk sekolah, namun kondisi keluarga yang membuatnya harus berhenti sampai SMP. Sejak duduk di bangku SD ayahnya terserang stroke dan sudah tidak dapat bekerja lagi, sedangkan ibunya bekerja serabutan sebagai buruh cuci. Saat SMP, Temu Karmawan seringkali ditegur oleh guru di sekolah karena selalu terlambat membayar uang sekolah. Ia pun menceritakan kondisi keluarganya yang serba kekurangan. Guru sekolah mau mengerti, namun memang ia tidak pernah
94
Ibid.
132
mendapatkan tawaran untuk memperoleh beasiswa (Wayan Temu Karmawan, anak putus sekolah di Bangli, wawancara pada 9 November 2013). Pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun memerlukan koordinasi dari beberapa SKPD terkait seperti Bappeda, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Dinas Sosial. Koordinasi ini yang sering tidak terlaksana dengan baik, kadang terjadi tumpang tindih kewenangan atau justru tidak ada yang berwenang sama sekali. Konsep siapa berbuat apa belum terlaksana dengan baik. Apalagi jika terjadi mutasi kepegawaian. Pegawai baru yang memerlukan waktu untuk belajar dan berkoordinasi. Pelaksanaan wajib belajar 12 tahun perlu didukung oleh sensitivitas dari penegak hukum dalam mendata anak-anak yang kurang mampu untuk diberikan beasiswa. Program beasiswa bagi anak yang kurang mampu belum dapat menyentuh semua pihak yang membutuhkan. Secara faktual, beasiswa seringkali diberikan tidak tepat sasaran, dimana yang mendapatkan beasiswa bukanlah anakanak yang membutuhkan namun anak-anak yang memiliki kedekatan dengan guru atau tokoh masyarakat setempat (Anak Agung Gede Dirga Kardita, Kasi Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS Provinsi Bali, wawancara pada 13 November 2013). Untuk mendukung pemenuhan hak atas pendidikan maka pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai pemberian dana BOS. Dana BOS memang disediakan untuk keperluan penyelenggaraan pendidikan namun realisasinya masih banyak sekolah yang mengenakan pungutan-pungutan lain dengan nama
133
yang berbeda dari SPP seperti uang sumbangan komite, kas kelas, sumbangan pembangunan dan lain-lain yang tentu saja memberatkan orang tua siswa. Tidak terlaksananya program wajib belajar 12 tahun juga disebabkan karena faktor sarana dan fasilitas dalam penyelenggaraan wajib belajar 12 tahun. Akses terhadap sekolah masih sulit untuk dijangkau di daerah-daerah terpencil seperti di Bangli, Karangasem dan Singaraja. Bahkan masih banyak rumah-rumah penduduk yang belum mendapat listrik. Jarak sekolah dengan rumah mereka cukup jauh, sehingga mereka memutuskan untuk tidak bersekolah. Terdapat anak-anak penyandang disabilitas yang tidak bersekolah di Kabupaten Bangli. Hal tersebut disebabkan karena tidak tersedianya sekolah luar biasa (SLB) di daerah mereka. Sekolah luar biasa, sekolah kejar paket dan sekolah terbuka hanya terpusat di kota Bangli saja, sehingga penduduk desa tidak dapat bersekolah di sana. Untuk mencari sekolah di kota, orang tua bukan hanya perlu mengeluarkan biaya untuk pembayaran sekolah saja namun juga biaya untuk transportasi. Sementara penghasilan mereka sangat terbatas. Tidak terlaksananya program wajib belajar 12 tahun juga disebabkan karena anak berhadapan dengan hukum baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Adapun data anak sebagai pelaku dapat dilihat pada tabel berikut:
134
Tabel 23 Data Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana di Indonesia. 95
Status
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Narapidana
3.038
274
3.312
Tahanan
49.238
2.162
51.400
Jumlah
52.276
2.436
54.712
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Anak sebagai pelaku sejak penyidikan seringkali mendapatkan sanksi dari sekolah yaitu dikeluarkan dari sekolah. Anak tersebut dipandang sebagai anak yang telah mencoreng nama baik sekolah. Padahal kesalahan anak sebenarnya merupakan kesalahan lembaga sekolah yang tidak mampu mendidik anak didiknya. Cara cepat yang digunakan oleh sekolah untuk menyelamatkan citra sekolah adalah dengan mengeluarkan anak tersebut. Untuk pindah ke sekolah lain tentu tidak mudah, apalagi jika anak tersebut berada di kelas ujung (6 SD, 3 SMP atau 3 SMA). Sekolah penerima pun akan mencari tahu mengapa anak tersebut pindah, jika sekolah penerima mengetahui maka kemungkinan besar anak tersebut akan ditolak. Narapidana anak juga cenderung mengalami putus sekolah. Hal ini disebabkan karena minimnya lapas anak. Narapidana anak masih ditempatkan
95
Taufieq Uwaidha, “Penyusunan Data dan Informasi Anak,” Bahan dalam Fasilitasi Penyusunan Data dan Informasi Anak, Denpasar, 13 November 2012, Denpasar.
135
bersama dengan narapidana dewasa. Hak atas pendidikan bagi mereka pun sering terabaikan. Untuk daerah Bali hanya dua lapas yang kooperatif untuk memberikan kesempatan bagi anak untuk bersekolah meskipun anak tersebut masih dibina di dalam lapas yakni lapas Karangasem dan lapas Gianyar. Petugas lapas setiap hari mendampingi anak bersekolah di sekolah umum. Sepulang sekolah maka anak akan kembali dibina di lapas. Berdasarkan Susenas 2011, anak yang menjadi korban kejahatan selama 2011 sekitar 385,5 ribu anak. Tertinggi di provinsi Kalimantan Barat (20,7 persen), Sulawesi Utara (20,0 persen), Kepulauan Bangka Belitung (19,7 persen), Papua (19,5 persen) dan Maluku Utara (18,6 persen). Terkecil di provinsi Bali (3,0 persen), Sulawesi Barat (3,9 persen), Kepulauan Riau (5,1 persen), Yogyakarta (6,5 persen) dan Kalimantan Timur (7,0 persen).96 Ada beberapa anak yang menjadi korban kejahatan yang tidak melanjutkan pendidikan karena malu diejek oleh teman-teman sekoahnya, bahkan oleh guru-gurunya. Ada pula yang memang dikeluarkan dari sekolah karena dianggap mencoreng nama sekolah. Hal ini biasanya terjadi pada anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual dan perkosaan. Masyarakat berperan penting dalam menjamin efektivitas program wajib belajar 12 tahun. Menurut Satjipto Rahardjo untuk mengerti hukum dengan baik kita perlu mengawalinya dengan perbincangan mengenai masyarakat. Hukum bermula dari masyarakat dan sepanjang waktu akan terus seperti itu. Persoalan-
96
Taufieq Uwaidha, Penyusunan Data dan Informasi Anak, Bahan dalam Penyusunan Data dan Informasi Anak, Denpasar, 13 November 2012, Denpasar.
Fasilitasi
136
persoalan timbul manakala hukum diabstrakkan, yaitu dengan mengabaikan konteks kemasyarakatannya. Masyarakat manusia itu adalah otentik, sedang hukum itu institut yang lebih artifisial. Maka tidak baiklah manakala kita mendahulukan dan mengutamakan sesuatu yang artifisial untuk sesuatu yang lebih otentik.97 Tidak efektifnya pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun terlihat di beberapa kabupaten yang memang menjadi tempat kantong-kantong kemiskinan. Apalagi bagi keluarga dengan penghasilan yang terbatas tetapi memiliki banyak anak. Data kemiskinan di Bali dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 24 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009 - 201198 Jumlah Penduduk Miskin (000) Persentase Penduduk Miskin Kabupaten / Kota 2009
2010
2011
2009
2010
2011
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1. Jembrana
17.6
21.3
17.6
6.80
8.11
6.56
2. Tabanan
20.8
29.3
24.2
4.99
6.96
5.62
3. Badung
14.0
17.7
14.6
3.28
3.23
2.62
4. Gianyar
25.5
31.5
26.0
5.76
6.68
5.40
5. Klungkung
8.8
12.9
10.7
5.23
7.58
6.10
6. Bangli
11.4
13.8
11.4
5.18
6.41
5.16
7. Karangasem
24.7
31.6
26.1
6.37
7.95
6.43
8. Buleleng
37.7
45.9
37.9
5.95
7.35
5.93
(1)
97
98
Satjipto Rahardjo I, op.cit., hal. 9.
BPS Provinsi Bali, “Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009 -2011,” Serial Online, (cited 2013 Nov. 20), available from : URL: http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=615004&od=15&id=15
137
9. Denpasar BALI
13.3
17.5
14.5
2.20
2.21
1.79
173.6
221.6
183.1
4.88
5.67
4.59
Sumber: Bali Dalam Angka 2013 (berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional - Juli)
Masyarakat di daerah kantong kemiskinan memiliki pandangan bahwa anak
harus secepat mungkin dapat bekerja sehingga dapat membantu
perekonomian keluarga. Mereka juga beranggapan bahwa pendidikan yang tinggi tidak akan menjamin anaknya mendapatkan pekerjaan nantinya. Anak lebih baik bekerja dulu, apabila nanti sudah memiliki uang maka anak boleh melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ada pula pandangan bahwa banyak anak banyak rezeki. Pandangan ini direalisasikan dengan menjadikan anak sebagai sumber rezeki yakni membiarkan anak melakukan pekerjaan terburuk untuk membiayai keluarganya. Anak-anak usia sekolah di beberapa kabupaten di Bali sering menjadi pembantu rumah tangga, pengemis dan menggelandang. Penghasilan sebagai pembantu rumah tangga diberikan ke kampung untuk membiayai orang tua dan adik-adiknya. Sementara orang tuanya sendiri tidak bekerja. Penyandang disabilitas anak masih terdiskriminasikan oleh masyarakat. Penyandang disabilitas dianggap sebagai kutukan sehingga mereka tidak perlu mendapatkan hak seperti anak lainnya. Bahkan keberadaan mereka seringkali tidak diakui oleh keluarganya sendiri. Sekolah bagi penyandang disabilitas belum dipandang penting karena tidak dianggap berguna. Mereka tidak perlu sekolah
138
karena sepanjang hidup mereka akan ditanggung oleh keluarganya yang lain yang normal. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan manusia lainnya. Sebagai dasar penataan hubungan dengan manusia lain itu diperlukan aturan yang merupakan cerminan dari sistem nilai. Aturan dalam bentuk konkret yang bersumber pada sistem nilai disebut norma hukum. Sistem nilai menjadi dasar kesadaran masyarakat untuk mematuhi norma hukum yang diciptakan.99 Sensitivitas manusia untuk membantu sesamanya sangat diperlukan untuk mendukung hak atas pendidikan bagi anak, namun sayangnya masyarakat sistem sosial dalam masyarakat yang justru menjadi penyebab dari anak yang putus sekolah. Wayan Temu Karmawan, anak putus sekolah, menyatakan pilihannya untuk bekerja. Ia tidak mampu lagi untuk sekolah karena tidak ada biaya. Penghasilannya sebulan sebagai tukang cetak batako sebesar Rp 900.000,00. Penghasilan tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, membiayai pengobatan orang tuanya dan untuk membayar kewajiban adat (Wayan Temu Karmawan, anak putus sekolah di Bangli, wawancara pada 9 November 2013). Efektivitas kebijakan tidak lepas dari faktor budaya masyarakat mengenai arti penting pendidikan bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Berdasarkan data yang telah dikemukakan dalam latar belakang mengenai rendahnya tingkat
99
8.
Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
139
partisipasi laki-laki dan perempuan dalam mengakses pendidikan. Kondisi ini sudah terjadi sejak dulu. Oleh sebab itu, dalam perkembangan hukum dunia dikenal gerakan feminism. Pergerakan hak-hak wanita atau dalam dunia hukum dikenal dengan istilah “feminis jurisprudensi” muncul dalam bentuk embrionya di Amerika Serikat pada akhir 1980-an. Cukup banyak dan beberapa dari pergerakan ini (tidak semuanya) berakar atau berkaitan dengan hukum kritis (critical legal studies movement).100 Rendahnya akses pendidikan bagi perempuan disebabkan karena budaya patriarki. Patriarki adalah sistem pengelompokan masyarakat sosial yang mementingkan garis keturunan bapak/ laki-laki. Patrilineal merupakan hubungan keturunan yang ditarik melalui garis keturunan kerabat pria atau bapak. Patriarki juga dapat dijelaskan di mana keadaan masyarakat yang menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. Laki-laki dipandang sebagai pemimpin keluarga sehingga apabila laki-laki bependidikan maka derajat keluarga akan meningkat, namun apabila perempuan berpendidikan yang menikmati adalah keluarga suaminya nanti. Oleh sebab itu masih ada pandangan agar mengutamakan anak laki-laki untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Pengaruh budaya patriarki menempatkan perempuan sebagai subordinat dalam keluarga. Perempuan ketika berkeluarga akan menjadi ibu rumah tangga yang kembali ke dapur.
100
Apabila hanya bertugas memasak, mencuci dan
Otje Salman dan Susanto, 2004, Teori Hukum, Rafika Aditama, Bandung , hal. 130.
140
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya maka tidak perlu bersekolah, karena ilmu di sekolah tidak akan berguna untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Kondisi tersebut bahkan masih dipandang sebagai kodrat seorang wanita. Pandangan ini memang sulit untuk ditepis. Stereotipe lain yang juga tergambar dalam sosok perempuan adalah perempuan lebih mengandalkan perasaan sedangkan laki-laki mengandalkan rasio. Sekolah membutuhkan rasio. Berdasarkan pandangan tersebut maka hak atas pendidikan lebih layak untuk diberikan kepada anak laki-laki. Rendahnya pemenuhan hak atas pendidikan bagi anak perempuan akan menyebabkan rendahnya kemampuan perempuan dan rendahnya kepercayaan bagi perempuan untuk melakukan sesuatu. Richard A. Lippa menuliskan “One kind of gender stereotype that may have especially negative consequences for women is that there are differences between men’s and women’s abilities.”101 Salah satu bentuk dari stereotipe gender menimbulkan konsekuensi negatif bagi perempuan dimana terdapat perbedaan antara kemampuan laki-laki dan perempuan. Menurut Anak Agung Gede Dirga Kardita, Kasi Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS Provinsi Bali, rendahnya angka partisipasi perempuan dibandingkan laki-laki dalam mengakses pendidikan terjadi di jampir setiap daerah terutama di daerah terpencil. Ketika keadaan ekonomi keluarga pas-pasan, maka orang tua akan memilih menyekolahkan anak laki-laki, sedangkan anak perempuan diminta untuk bekerja. Tidak tercapainya program wajib belajar 12 tahun bagi perempuan
101
Richard A. Lippa, 2002, Gender, Nature, and Nurture, Lawrence Erlbaum Associates, New Jersey, hal. 90.
141
juga disebabkan karena masih ada perkawinan di usia anak. Anak perempuan cenderung melakukan perkawinan di usia muda, khususnya di daerah-daerah terpencil. Budaya ini memang belum ditinggalkan di sejumlah daerah (Anak Agung Gede Dirga Kardita, Kasi Statistik Kesejahteraan Rakyat, BPS Provinsi Bali, wawancara pada 13 November 2013). Upaya untuk keadilan hak atas pendidikan bagi laki-laki dan perempuan sebenarnya telah diupayakan oleh negara. Kesetaraan gender dalam pendidikan diatur secara normatif dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa “Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.” Ketentuan ini menunjukkan bahwa negara telah berupaya melindungi hak perempuan sebagai kelompok rentan untuk memperoleh pendidikan yang sama, tanpa diskriminasi. Pendidikan memainkan peran sangat penting dalam pemberdayaan perempuan karena pengetahuan seringkali disejajarkan dengan kekuasaan. Tanpa pendidikan mustahil bagi seseorang untuk dapat berpartisipasi dalam pemilihan umum yang demokratis (membaca manifesto, membaca kertas pemilu, memilih dan lain-lain) dan berpartisipasi dalam kehidupan publik (pemerintahan dan lainlain).102 Perempuan juga akan menjadi guru yang pertama bagi anak-anak mereka. Anak-anak yang akan menjadi pemimpin bangsa. Oleh sebab itu pendidikan bagi anak perempuan sama pentingnya dengan pendidikan bagi anak laki-laki.
102
Rhona K.M. Smith et.al., loc.cit.
142
Selain ada beberapa wilayah di kabupaten dan kota di Provinsi Bali yang belum dapat melaksanakan program wajib belajar 12 tahun, namun ada juga daerah dimana program wajib belajar 1 tahun sangat efektif yakni Kabupaten Denpasar dan Kabupaten Badung. Efektifnya program wajib belajar 12 tahun disebabkan karena beberapa faktor. Dilihat dari segi hukumnya, kedua daerah ini menurunkan peraturan mengenai kebijakan pendidikan di tingkat pusat ke kebijakan di tingkat daerah dengan kebijakan Kota Layak Anak. Dalam Kota Layak Anak, salah satu indikatornya adalah terlaksananya wajib belajar 12 tahun. Kepala Daerah memiliki komitmen dalam bidang pendidikan bagi anak. Koordinasi antara SKPD juga cukup baik dilakukan. Sarana dan fasilitas pendidikan di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar jauh lebih baik dari di wilayah Kabupaten lain. Buku-buku di perpustakaan dan akses terhadap internet lebih mudah ditemui di kedua kabupaten tersebut. Jumlah sekolah dan akses menuju sekolah cukup mudah dilakukan. Kota Denpasar sendiri terdapat beberapa Zona Aman Sekolah yakni di Jalan Kamboja, di Jalan Surapati dan di Jalan Sudirman yang merupakan wilayah sekolah. Masyarakat di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar merupakan masyarakat yang heterogen dengan pekerjaan yang baik. Penghasilan mereka cukup untuk membiayai pendidikan bagi anak-anak mereka. Kesadaran akan pentingnya pendidikan juga sudah tinggi. Kebudayaan yang menempatkan lakilaki lebih penting dari perempuan dalam hal memperoleh pendidikan sudah semakin terkikis. Kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan. Hal yang tentunya berbeda terjadi di
143
beberapa kabupaten di Bali seperti Bangli, Karangasem, Singaraja dan Jembrana. Penghasilan yang didapat lebih diprioritaskan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kesadaran akan pendidikan dan pemerataan pendidikan juga masih kurang.
144
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Simpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali belum efektif di beberapa daerah. Efektivitas ini diukur dari 1) perluasan dan pemerataan akses pendidikan, 2) peningkatan mutu dan relevansi pendidikan serta akuntabilitas dan 3) pencitraan publik. Pelaksanaan kewajiban pemerintah dalam pemenuhan HAM atas pendidikan belum efektif yang dapat dilihat dari jumlah siswa perempuan lebih rendah dibandingkan dengan jumlah siswa laki-laki, proporsi antara jumlah siswa SMA/MA dan SMK/MAK belum mencapai target. Pelaksanaan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun efektif di wilayah yang maju yakni Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, namun pemenuhan HAM atas pendidikan melalui pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun belum efektif di beberapa daerah yakni Kabupaten Bangli, Karangasem, Buleleng dan Jembrana.
b.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2009 terkait dengan penyelenggaraan program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Bali adalah faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor
145
sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Faktor-faktor tersebut seluruhnya mendukung keluarnya kebijakan wajib belajar 12 tahun, namun dalam pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun, ada beberapa faktor yang kurang mendukung. Faktor tersebut meliputi kurangnya pemberian beasiswa bagi siswa yang kurang mampu, koordinasi antara SKPD yang belum terjalin dengan baik, minimnya sekolah biasa, SLB, sekolah kerjar paket dan sekolah terbuka di daerah terpencil, faktor kemiskinan, kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan, anak yang berhadapan dengan hukum yang putus sekolah dan pengaruh budaya patriarki yang menyebabkan pendidikan bagi anak laki-laki lebih penting daripada anak perempuan. 5.2 Saran Untuk mencapai efektivitas wajib belajar 12 tahun, maka disarankan kepada: a.
Kepala daerah hendaknya memiliki komitmen untuk melaksanakan program wajib belajar 12 tahun secara konsisten. Koordinasi antara SKPD terkait untuk melaksanakan program wajib belajar 12 tahun hendaknya lebih intensif dilakukan. Ketersediaan akan akses pendidikan dan sarana penunjang pendidikan perlu ditingkatkan yakni dengan menyiapkan sekolah-sekolah yang memadai dengan biaya pendidikan yang terjangkau. Program beasiswa hendaknya diberikan tepat sasaran. Anak yang berhadapan dengan hukum dan penyandang disabilitas hendaknya diberikan kesempatan untuk
146
melanjutkan pendidikan dan tidak terdiskriminasikan dalam memperoleh akses pendidikan. Pemerintah daerah hendaknya memberikan penghargaan bagi sekolah dan siswa yang berprestasi. b.
Masyarakat
diharapkan
semakin
menyadari
pentingnya
pendidikan.
Pendidikan hendaknya tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan sehingga tidak ada kesenjangan tingkat pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan. Tokoh masyarakat hendaknya memberikan perhatian bagi anak-anak yang putus sekolah dengan membantu mencarikan bantuan dana pendidikan bagi anak-anak tersebut. Komersialisasi pendidikan hendaknya semakin dihindari dengan mengedapankan pandangan bahwa pendidikan untuk semua.