BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum menyatakan bahwa pemilihan umum (pemilu) secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (KPU, 2009). Pemilu secara langsung ini memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih secara langsung pilihannya baik dalam pemilu presiden, kepala daerah, maupun anggota legislatif. Babak baru pemilu langsung di Indonesia dimulai pada pemilu legislatif 2009. Jika di pemilu sebelumnya rakyat hanya bisa memilih partai politik, di pemilu kali ini rakyat bisa langsung memilih anggota legislatif yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (Zheng, 2009). Pemilu 2009 diikuti sebanyak 44 partai yang terdiri dari partai nasional dan partai lokal. Dengan sistem pemilu langsung dan jumlah partai yang besar maka pemilu legislatif memberikan peluang yang besar pula bagi rakyat Indonesia untuk berkompetisi menaikkan diri menjadi anggota legislatif baik melalui partai (untuk DPR, DPRD tingkat I, & DPRD tingkat II) maupun independen (untuk DPD). Berdasarkan data yang didapat dari media center KPU (Komisi Pemilihan Umum), pada pemilu legislatif 2009 terdapat 44.598 caleg dari 44 partai yang memperebutkan puluhan ribu kursi anggota dewan (tidak termasuk DPD/Dewan
Universitas Sumatera Utara
Perwakilan Daerah), dengan total jumlah kursi anggota dewan yang tersedia hanya sekitar 854 untuk seluruh Indonesia (Media Center KPU, 2009). Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan bahwa calon anggota legislatif (caleg) yang terpilih adalah caleg yang mendapatkan suara terbanyak, sehingga nomor urut caleg menjadi tidak terlalu berpengaruh. Hal ini berarti bahwa caleg dengan nomor urut bawah akan tetap terpilih jika caleg dapat meraih suara lebih banyak daripada caleg yang memiliki urutan teratas tapi memperoleh suara lebih sedikit. Sistem suara terbanyak ini menuntut caleg secara individual untuk lebih banyak proaktif berkampanye daripada mengandalkan kampanye partai (Surya, 2009). Ketetapan MK tersebut
membuat
banyak
caleg
berlomba-lomba
mempublikasikan dirinya agar kelak banyak yang memilihnya saat pemungutan suara. Hal ini tentunya membutuhkan dana yang sangat besar. Caleg yang berasal dari status ekonomi menengah ke bawah akan mengupayakan dana dari manapun agar wajahnya dapat dikenali oleh orang banyak. Mereka melakukan berbagai macam cara diantaranya menjual mobil, rumah, dan menggadaikan barang-barang berharga seperti tanah, sepeda motor, dan perhiasan (Sunardi dalam Sumut Pos, 2009). Sunardi (dalam Sumut Pos, 2009) menyatakan nilai transaksi yang diperoleh pegadaian meningkat 41 % atau Rp. 7,5 miliar selama masa pesta demokrasi dibanding periode 2008 dan tidak menutup kemungkinan faktor kenaikan tersebut diakibatkan suasana kampanye menjelang pemilu yang ditandai dengan adanya beberapa caleg yang mendatangi pegadaian untuk menggadaikan
Universitas Sumatera Utara
benda berharga. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan pimpinan pegadaian cabang Medan berikut: “Rata-rata barang berharga yang digadaikan adalah emas. Beberapa kali para nasabah dan pegawai di sini melihat ada caleg yang datang dan menggadaikan emasnya. Mungkin mereka kenal para caleg tersebut dari poster para caleg yang banyak terpampang di jalan.” (Sunardi dalam Sumut Pos, 2009) Pegadaian tidak hanya ramai sebelum pemilu legislatif terjadi, pasca pemilu pun banyak caleg yang mendatangi pegadaian untuk menggadaikan barang berharga mereka. Begitu juga dengan showroom, yang sebelumnya didatangi para caleg dengan tujuan membeli mobil untuk mendukung kegiatan kampanyenya, usai pemilu legislatif banyak caleg yang mengembalikan mobilnya ke showroom. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan salah seorang pengusaha showroom mobil di jalan Karya Jasa berikut : “Kemarin ada caleg dari Siantar yang hendak menjual mobil Avanza tahun 2006 dengan harga murah, tapi saya menolaknya karena saat itu saya lagi tidak memiliki uang .” (Idris dalam Sumut Pos, 2009) Pemilu legislatif 2009 menjadi sebuah ajang kompetisi bagi para caleg dalam memperebutkan kursi dewan, dan layaknya dalam suatu kompetisi, ada yang menang dan ada yang kalah. Kekalahan dalam pemilu legislatif dapat memberikan kontribusi bagi para caleg untuk mengalami stres. Stres merupakan sebuah gejala yang timbul akibat adanya kesenjangan antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi (Lazarus dalam Musbikin, 2005). Kegagalan dalam pemilu legislatif dapat dikatakan sebagai peristiwa yang penuh dengan stres (stresful), jika peristiwa tersebut dipersepsikan oleh individu sebagai suatu peristiwa yang dapat menimbulkan stres (Lazarus dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Taylor, dkk (2009), ada beberapa tipe dari suatu peristiwa yang dapat dinilai sebagai suatu peristiwa yang dapat menimbulkan stres diantaranya adalah peristiwa yang tidak menyenangkan, tidak dapat dikontrol ataupun diprediksi, peristiwa yang ambigu, dan kejadian yang tidak dapat diselesaikan masalahnya. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan peristiwa yang dapat menimbulkan stres bagi para caleg adalah peristiwa yang menimbulkan perasaan negatif atau peristiwa yang tidak menyenangkan dan peristiwa yang tidak dapat diprediksi atau dikontrol. Beberapa data yang didapat dari wawancara awal dan harian Sumut Pos (2009), menunjukkan ada beberapa caleg yang tidak menyangka dengan suara yang diperolehnya dalam pemilu legislatif 2009. Hal ini dapat dilihat dari komentar seorang caleg gagal yang berasal dari Tebing Tinggi : ”Secara keseluruhan saya hanya mendapatkan 100-an suara. Sementara di TPS daerah rumah saya, saya hanya mendapatkan 17 suara. Ini kan berarti hanya 17 orang tetangga saya yang percaya dengan saya. Yang saya tidak dapat percaya lagi, para preman yang banyak dapat suara. Sementara saya yang kerjanya memang mengabdi untuk masyarakat hanya mendapatkan 17 suara di sini.” (Sani, komunikasi personal, 9 Mei 2009) Hal serupa juga terjadi pada Toni (bukan nama sebenarnya), ia mengaku tak habis pikir dengan hasil perhitungan suara. Prediksi raihan suara di daerah pemilihannya melenceng dari apa yang diperkirakan sebelumnya. Toni mengaku sudah menghabiskan dana lebih dari seratus juta rupiah untuk mengupayakan duduk di kursi dewan. Kini ia lebih banyak uring-uringan dan berteriak menyalahi masyarakat yang dia anggap telah membodohi dia (dalam Sumut Pos, 2009). Dari kedua pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kegagalan meraih suara dalam pemilu legislatif 2009 merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
perasaan negatif karena kegagalan atau kekalahan tersebut merupakan peristiwa yang tidak dapat diprediksi ataupun dikontrol. Dana dan tenaga yang dikerahkan untuk kampanye juga berpengaruh dalam tingkat stres bagi para caleg. Semakin banyak dana dan tenaga yang dikeluarkan caleg maka secara umum semakin tinggi tingkat stres jika tidak terpilih. Sebaliknya, semakin sedikit dana dan pikiran yang dicurahkan seorang caleg untuk merebut kursi dewan, tingkat stresnya cenderung rendah (Riyanto, dalam Surya, 2009). Pernyataan di atas sesuai dengan apa yang terjadi pada Zul (bukan nama sebenarnya). Selepas perhitungan suara Zul terlihat lebih banyak bolak-balik keluar masuk rumah, yang diikuti dengan bahasa tubuh memegang kepala dan berkacak pinggang, serta lebih sering terlihat di warung tuak. Zul mengaku telah menghabiskan dana lebih dari delapan ratus juta rupiah, namun hanya memperoleh 5 suara. Zul menganggap warga telah menipu dan memanfaatkan dia tapi tidak memilih dia dalam pemilu (dalam Sumut Pos, 2009). Warjio (dalam Sumut Pos, 2009) menyatakan bahwa banyak caleg yang terlanjur mimpi indah menjadi seorang anggota legislatif. Mimpi-mimpi tersebut telah membuai mereka sehingga hal ini yang mungkin menjadi salah satu dorongan bagi caleg untuk berani mengeluarkan sejumlah dana yang besar agar mimpinya terwujud. Namun mimpi tidak selamanya dapat terwujud sesuai dengan keinginan. Keinginan-keinginan yang tidak dapat diwujudkan akan menimbulkan perasaan negatif yang nantinya berpotensi menimbulkan stres pada diri individu. Hal ini diperkuat dengan pendapat Lahey (2007) yang menyatakan bahwa ketika individu tidak mampu untuk mencapai motifnya, maka individu tersebut akan
Universitas Sumatera Utara
menjadi frustrasi, dimana frustrasi merupakan salah satu faktor yang membuat individu menjadi stres. Berikut dapat dilihat komentar Warjio mengenai caleg gagal (dalam Sumut Pos, 2009) di bawah ini : “Disini terlihat banyak caleg asal comot. Padahal secara mental para caleg belum siap. Wajar saja kita lihat banyak caleg yang berjatuhan. Mulai bunuh diri, stres berat, stroke, dan gegabahnya caleg menarik kembali bantuan materinya dari masyarakat.” Selanjutnya Warjio (dalam Sumut Pos, 2009) menambahkan bahwa mimpi-mimpi tersebut juga membuat para caleg menganggap diri mereka sudah siap, padahal tidak secara ekonomi, mental, psikologi, dan politik. Ketidaksiapan para caleg tersebut dapat dilihat dari komentar ketua seleksi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Tebing Tinggi yang juga merupakan seorang caleg gagal berikut: “Sewaktu masa kampanye, lurah daerah sini mengundang semua caleg dapil (daerah pemilihan, peneliti) sini untuk menyampaikan visi dan misinya. Tapi yang ada malah membuat saya miris. Semua caleg tolaktolakan untuk menyampaikan visi dan misinya. Pada nggak berani. Gimana nanti mau menyampaikan aspirasi rakyat kalau dia jadi anggota dewan, ya kan?” (Sani, komunikasi personal, 9 Mei 2009) Calon anggota legislatif tidak hanya harus cerdas menerima kemenangan dalam pemilihan legislatif, tetapi yang terpenting lagi adalah bagaimana caleg juga harus memiliki kecerdasan untuk mau menerima kekalahan dalam pemilu legislatif. Kecerdasan menerima kekalahan ini sangat perlu dimiliki oleh setiap caleg, sebab yang selama ini timbul adalah ketika petarung kalah dalam pertarungan politik, yang bersangkutan tak mau mengakui kemenangan lawan, namun justru sebaliknya, berbalik mengugat kemenangan lawannya (Peribadi, 2009). Dapat dilihat dari pernyataan salah seorang caleg gagal di bawah ini :
Universitas Sumatera Utara
“Preman-preman itu menang karena mereka main duit. Sampai-sampai masyarakat pada bingung mereka harus milih yang mana, karena banyak yang ngasih mereka duit. Bisa saya pastikan, sebagian besar caleg yang naik itu semuanya pake duit.” (Sani, komunikasi personal, 9 Mei 2009) Setelah individu mengalami kejadian yang membuat stres, individu biasanya berusaha untuk mengatasinya (Sears, 2009). Menurut Lazarus (dalam Sears, 2009), cara untuk mengatasi kondisi stres adalah dengan melakukan coping. Selanjutnya, Lazarus (dalam Sears, 2009) mengatakan bahwa coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dalam penelitian ini, coping stres mengacu pada suatu upaya yang dilakukan individu untuk mengurangi mentoleransi, atau mengatasi stres yang ditimbulkan oleh sumber stres yang dianggap membebani individu. Menurut Aspinwall (dalam Taylor, dkk., 2009) coping terhadap kejadian yang menekan adalah proses yang dinamis. Proses coping tersebut dimulai dengan penilaian terhadap situasi yang harus individu atasi. Penilaian ini penting bagi usaha untuk mengelola situasi yang menekan. Menilai kejadian sebagai tantangan dapat menghasilkan upaya coping yang penuh percaya diri dan emosi positif, sedangkan menganggap kejadian stressor sebagai ancaman dapat menurunkan kepercayaan diri dan menimbulkan emosi negatif (Skinner, dalam Taylor, dkk., 2009). Kedua penilaian ini disebut sebagai penilaian primer (primary appraisal). Selanjutnya langkah penilaian yang kedua adalah penilaian sekunder (secondary appraisal). Pada tahap ini, individu mengevaluasi potensi atau kemampuannya dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian (Lazarus, dalam Santrock,
Universitas Sumatera Utara
2003). Penilaian sekunder ini merupakan suatu proses yang terlibat dalam memilih strategi coping yang digunakan untuk merespon situasi stres (Lazarus, dalam Baron & Graziano, 1991). Ada dua strategi coping yang digunakan untuk merespon situasi stres yaitu usaha pemecahan masalah (problem focused coping) dan pengaturan emosi (emotion focused coping) (Lazarus dalam Taylor, dkk., 2009). Stanton (dalam Taylor, dkk., 2009) menyatakan bahwa problem focused coping adalah usaha untuk melakukan sesuatu yang konstruktif guna mengubah situasi stress. Salah satu strategi coping yang dilakukan oleh salah seorang caleg gagal dapat dilihat dari pernyataan di bawah ini : “Tujuan saya menjadi anggota dewan adalah untuk mengabdi pada masyarakat, jadi walaupun sekarang saya tidak terpilih menjadi anggota dewan, saya akan tetap mengabdi pada masyarakat dengan cara yang lain seperti yang sudah saya lakukan selama ini sebagai seorang ustadz.” (Sani, Komunikasi Personal, 9 Mei 2009) Selanjutnya emotion focused coping adalah suatu usaha untuk menata reaksi emosi terhadap kejadian stressor (Stanton, dalam Taylor, dkk., 2009). Coping yang berpusat pada emosi merupakan cara yang cukup baik, dimana individu mencoba merasakan perasaan-perasaan yang positif, menyenangkan, dan dengan berpikir optimis atas peristiwa-peristiwa yang buruk (Chang dalam Baron & Byrne, 2005). Hal ini dapat dilihat dari pernyataan salah satu caleg yang gagal dalam pemilu legislatif 2009 di bawah ini : “Yah, saya pikir ini semua ada hikmahnya. Teman-teman saya juga pada menghibur saya, mereka bilang untung saya nggak jadi naik, kalau nggak saya mungkin ikut-ikutan jadi anggota dewan yang tidak baik. Karena kan kita lihat di Tebing Tinggi ini, caleg yang naik rata-rata preman-preman gitu. Saya pikir pun, jadi anggota dewan malah nambah kerjaan saya.” (Sani, Komunikasi Personal, 9 Mei 2009)
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut Lazarus (dalam Taylor, dkk., 2009) menyatakan bahwa usaha coping umumnya dianggap lebih sukses jika bisa mereduksi kegelisahan psikologis dan indikatornya, seperti detak jantung, denyut nadi, atau gejala lainnya. Kriteria kedua dari coping yang sukses adalah seberapa cepat orang dapat kembali ke aktifitas normalnya. Banyak kejadian yang menekan bisa mengganggu aktifitas normal sehari-hari, mengganggu pekerjaan, dan mengganggu waktu senggang. Hal ini dapat dilihat dalam harian surat kabar Sumut Pos (17 April 2009) yang memberitakan mengenai Yadi (salah satu anggota dewan di Medan) yang pasca pelaksanaan pemilu legislatif 2009 enggan masuk kantor selama beberapa minggu karena tidak percaya dengan hasil suara yang diperolehnya, sehingga beberapa minggu waktu kerjanya dihabiskan untuk memeriksa suaranya di KPU. Hal serupa diperoleh dari hasil wawancara peneliti dengan salah seorang caleg gagal bernama Sani (bukan nama sebenarnya) mengenai Wawan (bukan nama sebenarnya), yang juga salah satu caleg gagal yang dikenal sebagai tokoh masyarakat dan pemuka agama di daerahnya. Karena suara yang diperoleh tidak dapat mengantarkannya menuju kursi dewan, membuat ia memutuskan untuk tidak lagi terlibat aktif dalam mengisi pengajian di daerahnya. Hal ini menimbulkan kekecewaan pada salah satu teman Wawan yang juga merupakan caleg gagal : “Terus terang saya kecewa dengan sikap Wawan. Wawan tidak lagi mau mengisi pengajian karena ia kecewa dengan masyarakat yang tidak mau memilih ia. Padahal ini kan sudah ketentuan Allah. Seharusnya ia bisa mengambil hikmah dari semua ini.”
Universitas Sumatera Utara
Apabila coping bisa mengembalikan ke situasi semula, maka dapat dikatakan coping itu sukses. Terakhir, dan yang paling umum, coping dinilai berdasarkan efektifitasnya dalam mengurangi tekanan psikologis, seperti kecemasan dan depresi (Lazarus dalam Taylor, dkk., 2009). Efektifitas dari proses coping dipengaruhi oleh beberapa sumber daya. Hal ini diperkuat oleh pendapat Taylor (2009) yang menyatakan bahwa coping melibatkan dua sumber daya coping, yaitu sumber daya internal dan sumber daya eksternal. Sumber daya internal adalah gaya coping dan atribut personal. Sedangkan sumber daya eksternal meliputi uang, waktu, dukungan sosial, dan kejadian lain yang mungkin terjadi pada saat yang sama. Semua faktor ini saling berinteraksi dalam mempengaruhi proses coping. Dalam hal mengurangi tekanan psikologis, kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain (Baron & Byrne, 2005) adalah hal yang bermanfaat tatkala individu mengalami stres, dan sesuatu yang sangat efektif terlepas dari strategi mana yang digunakan untuk mengatasi stres (Frazier dalam Baron & Byrne, 2005). Hal ini adalah karena berhubungan dengan orang lain merupakan sumber dari rasa nyaman ketika individu merasa tertekan. Kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain disebut dengan dukungan sosial. Kebutuhan untuk mendapatkan dukungan sosial agar mengurangi rasa tertekan tersebut dapat dilihat dari pernyataan salah satu caleg berikut ini : “Sudahlah saya sedih karena pemilu kemaren, anak dan cucu saya pulang pula ke Aceh dan Jakarta. Semakin sedih lah saya.” (Sani, Komunikasi Personal, 9 Mei 2009)
Universitas Sumatera Utara
Menurut Setiawan (2009), anggota keluarga memiliki peran dengan menghibur dan menasihati caleg yang gagal terpilih pada pemilu 9 April 2009, sehingga dapat mencegah kemungkinan depresi berat bagi caleg yang bersangkutan. Selanjutnya ia menyatakan bahwa tidak perlu dikhawatirkan caleg yang gagal terpilih akan menderita depresi, karena masih ada keluarga dan kelompok masyarakat terdekat yang mampu membantu mencegah timbulnya depresi. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan istri dari seorang caleg yang gagal dalam pemilu legislatif 2009 : “Munafik lah kalau saya bilang saya nggak kecewa. Tapi saya tidak mau menunjukkan kekecewaan saya yang terlalu berlebihan, karena kalau kayak gitu nanti suami saya malah semakin down dan stres.” (Komunikasi Personal, 9 Mei 2009) Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial baik dari keluarga maupun teman sejawat dapat membantu caleg yang mengalami stres untuk melewati masa stresnya bahkan dapat mengatasi stres tersebut. Hal inilah yang membuat individu yang mengalami peristiwa yang dipersepsikan negatif atau stres harus melakukan coping agar dapat menjalani aktifitas harian seperti biasanya. Selanjutnya faktor lain yang dapat mempengaruhi coping individu dalam menangani peristiwa yang stressful adalah adanya stressor lain seperti gangguan sehari-hari dan persepsi masyarakat. Dalam penelitian ini, persepsi masyarakat dapat dikatakan sebagai stressor karena pengetahuan para caleg mengenai persepsi masyarakat terhadap kegagalannya dapat mempengaruhi kepercayaan diri caleg dalam usaha copingnya.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa persepsi atau penilaian masyarakat terhadap kegagalan yang dialami oleh para caleg dapat dilihat di bawah ini: ”Mereka sih terlalu berambisi kali jadi anggota dewan. Muluk-muluk waktu kampanye. Jadinya kalau kalah ya gitulah, kalang kabut mikirin utang yang dah numpuk. Tuh ada caleg yang jual rumah gara-gara mau bayar hutang. Kasian jadi ngelihat anak dan istrinya.” (mahasiswa, 10 Juni 2009) ”Seharusnya para caleg yang sudah kalah, ya sudahlah ikhlas saja menerima kekalahannya. Toh dengan mereka minta kembali dana dan barang yang sudah mereka berikan kepada masyarakat malah membuat harga diri mereka jatuh di depan masyarakat.” (Karyawan, 10 Juni 2009) Beberapa caleg yang mengalami perasaan tertekan dan malu terhadap keluarga besar, tetangga, maupun masyarakat sekitar membuat beberapa caleg gagal sering mengurung diri di kamar dan memutuskan untuk tidak terlibat aktif dalam kegiatan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari data yang dikumpulkan oleh Bahari (2009) berikut ini: ”Seorang caleg di Cirebon, Jawa Barat, kini sering melamun dan mengurung diri. Nasib ini menimpa Iwan Setiawan, caleg Partai Patriot asal Kabupaten Kuningan. Apa yang dialami Iwan ini bisa jadi hanya satu dari banyak kasus yang bakal terjadi. Setelah mengetahui hasil penghitungan suara tidak sesuai harapan, pria berusia 29 tahun ini mendadak menjadi pendiam dan sering mengurung diri di kamar. Keluarganya menduga, perilaku Iwan Setiawan terjadi karena kekalahannya dalam pemilu 9 April lalu. Iwan Setiawan memang telah menghabiskan uang yang banyak untuk kampanye. Setidaknya Rp 300 juta ludes dibuyurkan.” Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa banyak hal yang sangat mungkin terjadi pada caleg setelah gagal dalam pemilu legislatif 2009. Hal inilah yang membuat peneliti ingin menggali lebih dalam dan komprehensif mengenai bagaimana stres yang dialami caleg gagal dan bagaimana strategi coping yang dilakukan dalam menghadapi kegagalannya dengan melihat
Universitas Sumatera Utara
peranan dukungan sosial dan sumber daya uang dan waktu berdasarkan teori proses coping yang dikemukakan oleh Taylor (2009).
B. RUMUSAN MASALAH Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Untuk itu, peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut yaitu : 1. Bagaimana stres yang dialami oleh caleg gagal? 2. Bagaimana strategi coping yang dilakukan oleh caleg gagal? 3. Mengapa mereka menggunakan strategi coping tersebut? 4. Bagaimana peranan dukungan sosial dalam proses coping yang dilakukan caleg gagal? 5. Bagaimana peranan dari ketersediaan sumber daya uang dan waktu dalam proses coping caleg gagal? 6. Bagaimana pengaruh dari persepsi masyarakat terhadap proses coping caleg gagal?
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh pemahaman mengenai bagaimana coping stres pada caleg yang gagal dalam pemilu legislatif 2009.
Universitas Sumatera Utara
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi di bidang psikologi khususnya psikologi sosial, terutama yang berkaitan dengan coping stres pada caleg yang gagal dalam pemilu legislatif.
2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain: a. Menjadi informasi bagi masyarakat ataupun caleg-caleg selanjutnya mengenai strategi coping stres. b. Memberikan informasi pada masyarakat, khususnya bagi caleg-caleg selanjutnya, mengenai peranan dukungan sosial dalam proses coping c. Menjadi informasi bagi keluarga atau lingkungan sekitar caleg gagal agar dapat lebih memahami caleg bersangkutan. d. Dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian ini.
E. SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penelitian sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
BAB I
:
Pendahuluan Bab I berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II
:
Landasan Teori Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain mengenai definisi stres, sumber-sumber stres, penilaian terhadap stres, faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi terhadap stres, definisi coping stres, proses coping, strategi coping, definisi calon legislatif, definisi pemilu legislatif, dan paradigma penelitian.
BAB III
:
Metode Penelitian Bab III membahas mengenai metode penelitian kualitatif yang digunakan, termasuk di dalamnya membahas mengenai metode pengumpulan data, lokasi penelitian, responden penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.
Bab IV
:
Analisa Data dan Hasil Analisa Data Bab ini berisi deskripsi data responden, analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.
Universitas Sumatera Utara
Bab V
:
Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran mengenai coping stres pada caleg yang gagal dalam pemilu legislatif 2009.
Universitas Sumatera Utara