BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Pemilihan umum untuk selanjutnya disebut pemilu yang diselenggarakan secara langsung merupakan perwujutan kedaulatan rakyat. Pengakuan tentang kedaulatan rakyat ini juga dicantumkan didalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan
“pemilihan umum untuk selanjutnya disebut
pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Makna dari kedaulatan rakyat tersebut adalah: 1 pertama rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintah guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat. Kedua rakyat memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masingmasing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.
1
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836.
Universitas Sumatera Utara
Tujuan pemilu menurut ketentuan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tujuan pemilu legislatif tahun 2009 menurut ketentuan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebutnya sebagai negara yang demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu. 2 Komisi Pemilihan Umum untuk selanjutnya disebut KPU adalah suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sebagaimana diatur pada Pasal 22E, Angka 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilu oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mendiri merupakan amanat konstitusi. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi
2
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar HTN Indonesia, (Jakarta: CV. Sinar Bakti, Pusat Study HTN Fakultas Hukum UI, 1988), hlm. 329.
Universitas Sumatera Utara
perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat, dan perkembangan demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemikiran Hatta tentang demokrasi (untuk Indonesia), yaitu kedaulatan rakyat atau demokrasi dalam kehidupan politik dan ekonomi, berdasarkan nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan, yang menunjukan perbedaannya yang nyata dengan demokrasi barat. 3 Pemilihan umum di Indonesia sebagai salah satu upaya mewujudkan negara yang demokrasi haruslah dapat dilaksanakan dengan baik, wilayah Negara Indonesia yang luas dan jumlah penduduk yang besar dan menebar di seluruh nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara pemilihan umum yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan. 4 Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas, sebagaimana dimaksud pada huruf (b) Pertimbangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam hal ini diharapkan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dapat melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu terlepas dari pengaruh serta kepentingan dari pihak manapun. 3
Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara),
hlm. 183. 4
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721.
Universitas Sumatera Utara
Adapun yang menjadi peserta pada pemilu legislatif tahun 2009 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota adalah partai politik. Sedangkan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. Ketentuan tentang peserta pemilu ini diatur pada Pasal 7 dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008. Dalam pelaksanaan pemilu meskipun telah ada undang-undang serta peraturan yang khusus mengatur tentang pelaksanaan pemilu supaya dapat berjalan dengan baik namun masih juga terjadi pelanggaran dan kecurangan. Pelanggaran dan kecurangan ada yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, oleh peserta pemilu dan bahkan oleh masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu pengawasan supaya pemilu benar-benar dapat dilaksanakan berdasarkan asas pemilu sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Adapun yang menjadi pengawas untuk selanjutnya disebut panwaslu dalam penyelenggaraan pemilu diatur dalam ketentuan Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa pengawasan penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Paswaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
Universitas Sumatera Utara
Fungsi pengawasan intern oleh KPU dilengkapi dengan fungsi pengawasan ekstern yang dilakukan oleh Bawaslu serta Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Pembentukan Pengawas Pemilu tersebut tidak dimaksudkan untuk mengurangi kemandirian dan kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilu. 5 Dengan adanya pengawasan terhadap penyelenggara pemilu dari dalam dan dari luar lembaga penyelenggara diharapkan pemilu dapat terlaksana dengan demokratis dan memenuhi asas pemilu. Pada tahapan pelaksanaan pemilu, Panwaslu baik di pusat maupun di daerah berhak melakukan pengawasan terhadap peserta pemilu dan juga terhadap penyelenggara pemilu. Apabila dalam tahapan pemilu ditemukan adanya pelanggaran maka panwaslu akan melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya. Jika dari data dan fakta yang ditemukan panwaslu menganggap telah terjadi pelanggaran administrasi maka persoalan tersebut dapat dilimpahkan kepada KPU, Jika panwaslu menemukan adanya pelanggaran pidana maka perkara tersebut akan dilanjutkan kepada pihak kepolisian selaku penyidik. Pada pemilu legislatif tahun 2009 KPU telah menetapkan partai politik yang menjadi peserta pemilu yaitu terdiri dari 34 (tiga puluh empat) partai politik nasional dan 6 (enam) partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam.
5
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Adapun nama dan nomor urut partai politik nasional pada pemilu legislatif tahun 2009 adalah : 6 1. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 2. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) 3. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) 4. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) 5. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 6. Partai Barisan Nasional (Barnas) 7. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 9. Partai Amanat Nasional (PAN) 10. Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) 11. Partai Kedaulatan 12. Partai Persatuan Daerah (PPD) 13. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 14. Partai Pemuda Indonesia (PPI) 15. Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenis 16. Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) 17. Partai Karya Perjuangan (PKP) 18. Partai Matahari Bangsa (PMB) 19. Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) 20. Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) 21. Partai Republika Nusantara (PRN) 22. Partai Pelopor 23. Partai Golkar 24. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 25. Partai Damai Sejahtera (PDS) 26. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI) 27. Partai Bulan Bintang (PBB) 28. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) 29. Partai Bintang Reformasi (PBR) 30. Partai Patriot 31. Partai Demokrat 32. Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) 33. Partai Indonesia Sejahtera (PIS) 34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Partai Politik sebagai peserta pemilu menunjuk anggota ataupun kader partai untuk menjadi calon legislatif. Untuk dapat memperoleh kursi legislatif partai politik
6
Kompas, hari Kamis, tanggal 10 Juli 2008, hlm. 1
Universitas Sumatera Utara
dan calon legislatif harus bisa mendapatkan dukungan suara dari pemilih. Untuk mendapatkan perolehan suara yang maksimal dari pemilih, partai politik dan calon legislatif akan melakukan berbagai upaya diantaranya dengan melakukan kampanye atau sosialisasi kepada pemilih. Menurut ketentuan Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 pelaksana kampanye pada pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota terdiri dari pengurus partai politik, calon anggota legislatif, juru kampanye, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Selanjutnya menurut ketentuan pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008, kampanye pemilu dapat dilaksanakan melalui: a. pertemuan terbatas; b. pertemuan tatap muka; c. media massa cetak dan media massa elektronik; d. penyebaran bahan kampanye kepada umum; e. pemasangan alat peraga ditempat umum; f. rapat umum, dan g.kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan perundangundangan; Pada Pemilu Legislatif tahun 2009, Partai Keadilan Sejahtera nomor urut (8) sebagai salah satu partai peserta pemilu mengajukan kader partai sebagai calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Partai Keadilan Sejahtera untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Utara II adalah H. Iskan Qolba Lubis, MA. H. Iskan Qolba Lubis, MA, sebagai salah seorang calon legislatif dalam upaya untuk mendapatkan dukungan suara dari masyarakat pernah melakukan kampanye dan sosialisasi kepada masyarakat disekitar rumah orang tuanya di pasar Sibuhuan, Kecamatan Ulu Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara. Salah satu bentuk sosialisai yang dilakukan adalah memperagakan cara mencontreng pada saat pemilu dengan menunjukan contoh surat suara yang berlogo KPU, nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA Calon Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada urutan ke-1. Pada hari Sabtu, tanggal 31 Januari 2009 Ketua Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun menerima laporan bahwa di kedai kopi milik Nazaruddin Nasution di Desa Pasar Ipuh, Kecamatan Ulu Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara dan di kedai kopi milik Indo Hasibuan, di Desa Paringgonan, Kecamatan Ulu Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara telah terpasang selebaran contoh cara mencontreng surat suara pemilu tahun 2009, berlogo KPU, kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera nomor (8) terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA sebagai calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesi pada urutan ke-1.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun pemasangan contoh cara mencontreng surat suara pemilu legislatif tahun 2009, berlogo KPU, kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera, nomor (8) terdapat nama H. Iskan Qolba Lubis, MA calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesi pada urutan ke-1, hal tersebut termasuk pelanggaran terhadap larangan kampanye sebagaimana dimaksud Pasal 84 ayat (1) huruf i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan “Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang: membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu lain yang bersangkutan”. Temuan Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun ini kemudian diberitahukan kepada Panwaslu Kabupaten Padang Lawas. Panwaslu Kabupaten Padang Lawas berpendapat bahwa temuan Panwaslu Kecamatan Ulu Barumun berupa pemasangan contoh cara mencontreng surat suara pemilu legislatif tahun 2009, berlogo KPU, kemudian nama dan logo semua partai peserta pemilu, dan pada kolom Partai Keadilan Sejahtera, nomor (8) terdapat nama H.Iskan Qolba Lubis, MA sebagai calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada urutan ke-1, merupakan tindak pidana pemilu. Kemudian persoalan tersebut dilimpahkan kepada Kepolisian Resort Tapanuli Selatan untuk proses penyidikan. Kepolisian Resort Tapanuli Selatan setelah menerima laporan dari Panwaslu Kabupaten Padang Lawas kemudian menjadikan H.Iskan Qolba Lubis, MA sebagai tersangka dalam perkara pidana melanggar larangan kampanye pemilu membawa
Universitas Sumatera Utara
atau menggunakan tanda gambar dan atau atribut lain selain dari tanda gambar dan atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 84 ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008. Kemudian perkara pidana pemilu ini oleh Kepolisian Resor Tapanuli Selatan dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan. Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan kemudian menetapkan H. Iskan Qolba Lubis, MA sebagai terdakwa dalam perkara tindak pidana pemilu “membawa atau menggunakan tanda gambar dan atau atribut lain selain dari tanda gambar dan atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 84 ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008. Pengadilan Negeri Padangsidimpuan telah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana atas nama terdakwa H. Iskan Qolba Lubis,MA, dalam putusannya menyatakan terdakwa H. Iskan Qolba Lubis,MA tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana membawa atau menggunakan tanda gambar dan atau atribut lain selain dari tanda gambar dan atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 84 ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 (Putusan No: 116/Pid.B/2009/PN Psp). Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan kemudian mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Pengadilan Tinggi Medan menyatakan menolak permohonan banding Jaksa Penuntut Umum, (Putusan Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN).
Universitas Sumatera Utara
Jika dilihat dari contoh kasus tindak pidana pada pemilu legislatif tahun 2009 sebagaimana diuraikan diatas, kemudian dibandingkan dengan upaya penegakan hukum yang dilakukan, terlihat begitu rumitnya upaya penegakan hukum yang dilakukan mulai dari penyidikan dikepolisian, penututan oleh Jaksa Penuntut Umum, persidangan di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, kemudian upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Medan. Demikian juga H. Iskan Qolba Lubis,MA, sebagai calon legislatif semestinya konsentrasi dalam melaksanakan kampanye kepada masyarakat, akan tetapi akhirnya disibukan oleh proses hukum dalam perkara pidana pemilu tersebut mulai dari penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan. Dari uraian yang telah penulis kemukakan tentang pemilu di Indonesia khususnya tentang pemilu legislatif tahun 2009 beserta tahapannya dan upaya penegakan hukum yang dilakukan dengan mengajukan contoh kasus, memotifasi penulis untuk melakukan penelitian dan menganalisis terhadap penegakan hukum tindak pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan kampanye. Dalam perkara pidana atas nama terdakwa H. Iskan Qolba Lubis, MA Nomor: 116/pid.B/2009/PN Psp di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Jo. Perkara pidana Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN. di Pengadilan Tinggi Medan, tentang membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada pasal 84 ayat (1) huruf i Jo pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008.
Universitas Sumatera Utara
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana
kewenangan
dari
Pengawas
Pemilihan
Umum dalam
menangani perkara tindak pidana Pemilihan Umum tentang pelanggaran larangan kampanye. 2.
Bagaimana sistem pengaturan tindak pidana pemilihan umum dalam penegakan hukum di Indonesia.
3.
Bagaimana akibat hukum terhadap calon legislatif yang menjadi tersangka dalam mengikuti tahapan pemilihan umum.
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui kewenangan dari Pengawas Pemilu dalam menangani perkara tindak pidana Pemilu tentang pelanggaran larangan kampanye.
2.
Untuk mengetahui system pengaturan tindak pidana pemilu dalam penegakan hukum di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui akibat hukum terhadap calon legislatif yang menjadi tersangka dalam mengikuti tahapan pemilu.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memeberikan manfaat dalam bentuk sumbangan pemikiran dan saran demi kemajuan dan perkembangan ilmu hukum khususnya yang berhubungan dengan upaya penegakan hukum dalam perkara tindak pidana pemilu legislatif tentang pelanggaran larangan kampanye. 2. Secara praktek penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, menjadi masukan dan membantu semua lapisan masyarakat terutama pengurus partai politik, calon legislatif, para penegak hukum untuk lebih memahami tentang tindak pidana pemilu pada pemilu legislatif, khususnya tentang pelanggaran larangan kampanye. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada dan yang sedang dilaksanakan pada Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Tesis mengenai “Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilihan Umum Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 Tentang Pelanggaran Larangan Kampanye (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Nomor: 116/Pid.B/2009 PN Psp Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 199/PID/2009/PT.Mdn)” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori menurut Bruggink dalam bukunya “Refleksi tentang hukum”, adalah keseluruhan pernyataan (statement, claim, bewenngen) yang saling berkaitan. 7 Sedangkan kerangka teori merupakan” kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui. 8 Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis, menurut Soerjono Soekamto untuk penelitian hukum normatif, diperlukan kerangka teoritis lain, yang khas ilmu hukum. 9 Kerangka teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonsrtuksi keterkaitan antara konsep secara dedukatif ataupun indukatif. Dalam membahas mengenai analisis penegakan hukum tindak pidana pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan kampanye, penulis terlebih dahulu akan mengemukakan tentang penegakan hukum. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang dimaksudkan adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakan 7
M. Solly Lubis, Modul Teori Hukum, (Medan: Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 3. 8 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80 9 Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI press, Universitas Indonesia, 1986), hlm.127
Universitas Sumatera Utara
kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Aristoteles dalam bukunya berjudul Politics menyimpulkan bahwa negara memang harus diperintah oleh kepala negara yang tunduk kepada hukum yang berlaku (rule of law). 10 Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, kita melihat bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Didalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri adanya: 11 1.
jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2.
kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;
3.
legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum; Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide,
cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata 12.
10
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm. 27 11 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI 2008), hlm. 46-47 12 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. Vii
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal penegakan hukum sehubungan terjadinya tindak pidana pemilu maka upaya penegakan hukum yang akan dilakukan semestinya melihat kembali apa yang menjadi tujuan dari pemilu tersebut, bagaimana pengaruh pelanggaran hukum yang terjadi dihubungan dengan tujuan yang hendak dicapai pada pemilu. Pemilu di Indonesia merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada negara yang demokrasi pemilu ditandai dengan keikutsertaan partai politik sebagai peserta pemilu. Dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki kedudukan (status) dan peranan (role) yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai politik biasa disebut sebagai pilar demokrasi, karena mereka memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintah negara (the state) dengan warga negaranya (the citizens). 13 Menurut Schattscheider (1942) didalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, pasca Reformasi dikatakan “Political parties created democracy” partai politiklah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, partai politik merupakan pilar atau tiang yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. 14
13
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, pasca Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 709, 710. 14 Ibid, hlm. 710.
Universitas Sumatera Utara
Penegakan hukum dalam perkara tindak pidana pemilu di Indonesia haruslah disesuaikan dengan tujuan negara hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia terkait erat dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum materil. Pelaksanaan paham negara hukum materil akan mendukung dan mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan di Indonesia. 15 Hukum itu tidak akan bisa tegak dengan sendirinya, artinya hukum itu tidak akan mampu mewujudkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur didalam undangundang dengan sendiri, akan tetapi dalam penegakan hukum selalu melibatkan manusia yakni para penegak hukum dan juga masyarakat. Ketika terjadi suatu peristiwa pidana dalam upaya melakukan penegakan hukum, tidak bisa terlepas dari politik kriminal atau criminal policy yaitu berupa usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana. Politik kriminal atau criminal policy merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Politik kriminal atau criminal policy pernah dikemukakan oleh Marc Ancel dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by society, Sedangkan G. Peter Hoefnagels bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”. 16
15
Op. Cit. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 48 16 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta, Kencana, 2008), hlm. 1 dan 2.
Universitas Sumatera Utara
Adapun sejarah timbulnya criminal policy adalah dari usulan negara-negara dalam beberapa pertemuan internasional diantaranya: 17 1. Kongres PBB Ke- 4 Tahun 1970 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Kyoto Jepang; 2. Kongres Ke- 5 PBB Tahun 1975 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Geneva; 3. Kongres Ke- 6 PBB Tahun 1980 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Caracas; 4. Kongres Ke- 7 PBB Tahun 1985 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Milan; 5. Kongres Ke- 8 PBB Tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di Havana; 6. The International Seminar Course 1973 di Jepang tentang Reform in Criminal Justice. Kebijakan kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari kebijakan sosial. Kebijakan sosial dapat dimaknai sebagai suatu kebijakan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Hubungan antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial dapat digambarkan dengan skematis sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief berikut ini: 18 Social Welfare Policy Social Policy
Tujuan Social Defence Penal Criminal Non-Penal
17
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 51,52, 53, 54. 18 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Op. Cit, hlm.3.
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan penanggulangan tindak pidana menurut Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana diluar hukum pidana (non-penal policy) 19 Dari uraian diatas dapat dilihat dengan jelas bahwasanya kebijakan penaggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: A.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy)
B.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana diluar hukum pidana (non-penal policy). Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana
(penal policy) berawal dari bagaimana hukum pidana itu dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (legislatif). Kebijakan yang dilakukan oleh pembuat undang-undang (legislatif) sangat berpengaruh dan menentukan kepada tahapan-tahapan penegakan hukum berikutnya. Dalam hal ini lembaga legislatif yang merumuskan apakah sesuatu perbuatan itu merupakan perbuatan kriminal atau tidak. Sudarto berpendapat kriminalisasi dapat diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses itu diakhiri 19
Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.17.
Universitas Sumatera Utara
dengan terbentuknya undang-undang, dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. 20 2.
Kerangka Konsepsi Supaya konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian, terutama konsep-
konsep yang terkait langsung dengan variabel penelitian tidak ditafsirkan berbeda, maka perlu dirumuskan kerangka konsep atau dengan menggunakan model defenisi operasional. 21 Sedangkan pentingnya defenisi operasional menurut Tan Kamelo, “Untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. 22 Selanjutnya penulis akan mencantumkan beberapa defenisi operasional sebagai berikut: a. Penegakan hukum Menurut Andi Hamzah penegakan hukum merupakan tindakan untuk mencapai kebenaran dan keadilan. 23 b. Tindak pidana pemilu Menurut Topo Santoso tindak pidana pemilu adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur didalam UU Pemilu maupun didalam UU Tindak Pidana Pemilu 24. Dengan cakupan dan
20
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 39-40. Pedoman penulisan usulan penelitian dan tesis, (Medan: Universitas Sumatera Utara),
21
hlm. 72. 22
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm. 31. 23 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 158. 24 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
pengertian seperti ini akan dengan mudah mencari tindak pidana pemilu, yaitu didalam undang-undang pemilu. c. Pemilihan umum (pemilu) Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Defenisi tentang pemilu ini disebutkan pada pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008. d. Kampanye Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu. Defenisi tentang kampanye pemilu ini disebutkan pada pasal 1 angka (26) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008. e. Pelanggaran Pelanggaran overtrading; violation; contravention. Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang oleh undang-undang pidana ditentukan lebih ringan pidananya daripada kejahatan. Pelanggaran undang-undang, wetschending perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan undang-undang; misalnya, orang yang melanggar larangan, atau tidak melakukan kewajiban hukum pidana. 25 f. Legislatif Legislatif dapat diartikan yang berkuasa dalam merancang undang-undang. Badan legislatif berarti dewan yang berkuasa dalam merancang undang-
25
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Op Cit, hlm. 95.
Universitas Sumatera Utara
undang. Legislator berarti perancang undang-undang, penyusun undangundang. 26 G. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal reaserch) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). 27 Adapun data yang digunakan dalam menyusun tulisan ini diperolah dari penelitian penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data lainnya yang dibahas oleh penulis. Tentang penggunaan pendekatan yuridis normatif pada penelitian ini karena masalah yang akan diteliti berkisar mengenai keterkaitan beberapa peraturan undang-undang sehubungan dengan penegakan hukum tindak
26
Peter Salim, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta : Modern English Press, 2002) hlm. 848. 27 Ronal Dworkin Dalam Bismar Nasution, Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, (Medan: Fakultas Hukum USU, 2003), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan kampanye. 2.
Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif maksudnya penelitian dengan menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teoriteori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penerapan peraturan perundang-undangan dalam kasus tindak pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 tentang pelanggaran larangan kampanye. (Studi kasus perkara pidana Nomor: 116/pid.B/2009/PN Psp di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Jo. Perkara pidana Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN. di Pengadilan Tinggi Medan).
3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisantulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan pengadilan dalam perkara pidana Nomor: 116/Pid.B/2009/PN Psp di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Jo. Putusan Nomor: 199/PID/2009/PT.MDN di Pengadilan Tinggi Medan, yang berkaitan dengan penelitian.
Universitas Sumatera Utara
4.
Analisis Data Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan ditelaah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan: 1.
Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.
2.
Mengelompokan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah aspek hukum pidana terkait dalam penegakan hukum tindak pidana pemilu tentang pelanggaran larangan kampanye dalam hal menggunakan tanda gambar dan atau atribut selain partai yang bersangkutan.
3.
Menemukan hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah.
4.
Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai peraturan perundang-undangan dengan permasalahan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan berupa kesimpulan dari permasalahan.
Universitas Sumatera Utara