BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Sejak Abraham Lincoln mempopulerkan ungkapan bahwa demokrasi
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people), jargon tersebut kemudian menjadi nilai-nilai universal sebagai indikator demokrasi dimana saja di permukaan bumi. Demokrasi dari rakyat pada intinya menjadikan rakyat sebagai sumber kedaulatan yang disalurkan melalui prosedur pemilu. Demokrasi oleh rakyat mensyaratkan bahwa setiap proses politik, seperti pengambilan kebijakan pemerintah, harus mengikut sertakan rakyat. Dan demokrasi untuk rakyat menjadi tolak ukur dimana tujuan demokrasi itu dievaluasikan. Untuk memilih sebahagian rakyat yang akan duduk di dalam pemerintahan maupun parlemen maka perlu diadakannya suatu proses dan kegiatan, proses dan kegiatan memilih itu disederhanakannya penyebutannya dengan pemilihan. Dalam hal pemilihan itu semua rakyat harus ikut tanpa ada pembedaan, maka dipakailah istilah Pemilihan Umum (Pemilu). 1 Dengan terlibat dalam proses pelaksanaan pemilu, diharapkan warga negara akan mendapatkan pengalaman langsung selayaknya seorang warga negara berkiprah dalam sistem demokrasi. Rakyat diharapkan paham dan memahami posisinya sebagai pemegang kedaulatan yang sangat menentukan gerak serta perjalanan bangsa dan Negara. Pemilihan Umum adalah salah satu pilar penting dari demokrasi, dan merupakan pengejawantahan sistem demokrasi itu sendiri. Melalui Pemilu, rakyat
1
Parulian Donald, Menggugat Pemilu, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
memilih para wakil rakyat untuk duduk dalam parlemen dan dalam struktur pemerintahan. Ada negara yang menyelenggarakan Pemilu hanya apabila memilih wakil rakyat untuk duduk dalam parlemen, namun ada pula negara yang menyelenggarakan Pemilu untuk memilih para pejabat tinggi negara. 2 Di sini wakil rakyat yang muncul adalah atas usungan sebuah partai politik, jadi melalui parpol lah rakyat dapat mengenal calon wakil rakyat tersebut. Tentunya parpol memperkenalkan calonnya dengan memakai fungsi yang ada padanya, setelah itu rakyat selaku pemilih akan berprilaku menentukan siap calon yang berhak lolos melalui pilihannya. Pemilu demokratis di Indonesia dilaksanakan pertama kali sejak tahun 1955 yang diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Pemilu tahun 1955 dikatakan sebagai pemilu paling demokratis yang pernah dilaksanakan. Pemilu tahun 1971 merupakan pemilu pertama zaman Orde Baru diikuti oleh 10 partai politik sampai akhirnya tahun 1975 terjadi fusi partai politik menjadi 3 yaitu : Golkar, Partai Demokrasi Indonesia
& Partai Persatuan Pembangunan.
Selanjutnya Pemilu 1977-1997 sudah tidak ’seru’ lagi alias mengalami kemunduran karena di jaman Orde Baru, slogan pemilu LUBER (Langsung, Umum, Bebas & Rahasia) itu tidak disertai pemilu yang JURDIL (Jujur & Adil) sehingga banyak juga rakyat yang enggan menggunakan hak pilihnya atau golongan putih (golput) karena sering ditemukannya indikasi kecurangan dalam Pemilu. 3 Barulah pada tahun 1999, Indonesia menyelenggarakan lagi Pemilu demokratis yang diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu ini merupakan pemilu
2
Teuku May Rudi, Pengantar Ilmu Politik. Bandung : PT Eresco, 1993, hal. 87 http://www.johanes.org/?p=225. (opini: Pemilu 2009 : “Ajang pembuktian Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia”.) Oleh Yohanes. Diakses pada tanggal 26 oktober 2009.
3
Universitas Sumatera Utara
pertama pasca reformasi yang merupakan suatu perwujudan dari pemilu yang bersih dari kecurangan seperti pemilu sebelumnya. Kemudian pemilu ketiga pasca reformasi tahun 2009 yang baru saja diselenggarakan masyarakat Indonesia pada tanggal 9 April 2009 dengan diikuti oleh 38 partai nasional dan 6 partai lokal yang ada di Aceh dan lebih kurang 11.868 caleg untuk memperebutkan 560 kursi di DPR 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 20092014. 4 Pemilu Legislatif yang dijadwalkan serentak diseluruh Indonesia pada tanggal 9 april 2009, berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya dengan diikuti oleh 38 Partai politik, serta mekanisme tentang sistem suara terbanyak, berdasarkan pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai calon legislatif (caleg) pada Pemilu 2009 ditentukan melalui sistem suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut seperti berlaku selama ini. Dengan keputusan tersebut, memberikan implementasi terhadap kebijakan hukum penetapan suara di setiap propinsi dalam penetapan calon-calon legislatif untuk duduk di DPR, DPD dan DPRD, termasuk juga Propinsi Sumatera Utara dengan tiga zona pemilihan, yaitu : Sumatera Utara 1 (10 kursi) (Kab. Deli Serdang, Serdang Bedagai, Kota Medan, Kota Tebing Tinggi) , Sumatera Utara 2 (10 kursi) (Kab. Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Nias, Labuhan Batu, Toba Samosir, Mandailing Natal, Nias Selatan, Humbang Hasundutan, Samosir, Padang Lawas Utara, Padang Lawas, Kota Sibolga, Kota 4
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Padang Sidempuan ), Sumatera Utara 3 (10 kursi) (Kab. Langkat, Karo, Simalungun, Asahan, Dairi, Pakpak Bharat, Batubara, Kota Pematangsiantar, Kota Tanjungbalai, Kota Binjai). 5 Berdasarkan pertarungan besar memperebutkan kursi legislatif masih didominasi oleh partai-partai politik besar. Survei-survei nasional yang dilakukan lembaga-lembaga survei pada tahun 2007, 2008, dan 2009 menunjukkan tiga tempat teratas kemungkinan akan diperebutkan oleh PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Demokrat, diikuti partai-partai Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan, serta partai baru yakni Partai Hati Nurani Rakyat. 6 Dari prediksi tersebut, kemungkinan di setiap daerah di Indonesia partaipartai politik tersebut akan saling mendominasi dalam proses perolehan suara, walaupun tingkat persentase suara disetiap daerah pastinya akan berbeda-beda. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi masing-masing partai politik untuk bersaing dengan berbagai ideologi platform yang mereka usung. Salah satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi, khususnya di Sumatera Utara adalah keragaman suku bangsa yang tercermin dalam pengelompokan berdasar agama dan wilayah permukiman terlihat cukup nyata pula pengaruhnya dalam kehidupan sosial politik masyarakat Sumatera Utara. Implikasi paling nyata terlihat dalam pergeseran komposisi penguasa politik di wilayah Sumut sepanjang penyelenggaraan pemilu di wilayah ini. 5
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_Umum_Anggota_DPR,_DPD,_dan_DPRD_Indonesia_200 9. diakses pada tanggal 27 November 2009. 6 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten Madina merupakan sebuah kabupaten yang masih berumur muda di Indonesia. Setelah dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Selatan, Madina mencoba berdiri sendiri dengan memajukan potensi daerahnya dan menjadi tuan di ranah sendiri. Mandailing Natal sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Utara adalah suatu daerah dengan jumlah persentase penduduk muslim di Sumut. Mandailing Natal dengan mottonya “Madina yang Madani” jelas terlihat mencitacitakan sebuah pencapaian tujuan dengan dilandaskan pada semangat kekuatan religius yang fundamental, karena itulah relevan atau tidak maka Kab. Mandailing Natal diberi julukan dan dikenal sebagai Serambi Makkahnya Sumut, pemberian nama ini menjadi semakin relevan karena Madina merupakan tempat dimana berdiri banyak pondok-pondok pesantren. Karena itulah Panyabungan sebagai ibukota kabupaten dan kota-kota di Mandailing Natal dapat dikatakan sebagai rangkaian kota santri di ruas jalur Lintas Sumatera. Dengan jumlah mayoritas penduduknya adalah muslim, Madina dengan tegas dikatakan merupakan basis dari Partai Persatuan Pembangunan bahkan semenjak kebijaksanaan politik Orde Baru melakukan fusi-fusi terhadap partai politik. Bahkan dapat dikatakan hampir dari seluruh pelaksanaan pemilu yang pernah dilaksanakan, PPP di Madina selalu menjadi penyumbang suara yang sangat signifikan. Karena itulah ketika reformasi digulirkan dengan tidak ingin secara ekstrim menuduh bahwa pada masa lampau pelaksanaan pemilu adalah merupakan sebuah dagelan politik semata, maka Madina dengan spontan pada Pemilu 1999 meraup sembilan kursi di DPRD. Bahkan memasuki Pemilu 2004, PPP berhasil mendudukkan kadernya sebagai ketua DPRD Kab. Madina dan memiliki kekuatan satu fraksi di gedung DPRD.
Universitas Sumatera Utara
Daya pikat Partai Persatuan Pembangunan di Madina dapat dikatakan kental terasa, hal ini dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan seperti “Ka’bah I ma ita pili amang arana I do na maroban ita tu sarugo” ungkapan ini berarti (Ka’bah/PPP itulah yang kita pilih nak karena itulah sebagai penghantar kita tuk sampai ke surga), dari ungkapan tadi dapat kita tangkap betapa ideologisnya rakyat Madina dengan PPP. Namun realita di lapangan sangat jelas berbeda dan banyak sekali ditemui perbedaan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang jelas merupakan partai politik yang berplatform Islam, nyatanya hanya mendulang suara sangat kecil, dan anehnya ini justru terjadi di daerah dengan basis massa Islam Tradisional. Di kabupaten Mandailing Natal,
yang notabene daerah basis terbesar suara di
Sumatera Utara perolehan suara PPP jatuh merosot drastis dari dua Pemilu sebelumnya. Pada Pemilu Legislatif kemarin, PPP hanya mampu meraih 2 kursi, Golkar berhasil meraih 6 kursi, Demokrat 5 kursi, Hanura 4 kursi, PKS 4 kursi, PKB 4 kursi, PAN 3 kursi, PKPI 2 kursi, PDI Perjuangan 2 kursi, PDK 2 kursi, Barnas 1 kursi, PKNU 1 kursi, pelopor 1 kursi, PBR 1 kursi, PMB 1 kursi dan 1 kursi untuk RepublikaN. Pada pemilu sebelumya (tahun 2004) keberadaan PPP di Sumatera Utara dan Kabupaten Mandailing Natal yang menjadi basis PPP ternyata goyah pada Pemilu 2009. Posisi PPP di daerah ini turun ke nomor dua dengan perolehan 17.814 suara. Padahal, pada Pemilu 1999 Mandailing Natal bisa mendulang suara untuk PPP hingga 47.231 suara. 7
7
http://klikpolitik.blogspot.com/2008/01/analisis-partai.html. (opini oleh Sultani : PPP dan Eksistensinya Yang Kian tergerus ) diakses pada tanggal 27 Oktober 2009.
Universitas Sumatera Utara
Pada Pemilu legislatif DPRD tahun 2004, PPP di kabupaten Mandailing Natal hanya berhasil meraih 5 kursi sama dengan perolehan partai Golkar dengan jatah 5 kursi juga. Sisanya kursi legislatif dibagi pada partai-partai baru. Hal ini sangat kontras kita lihat pada Pemilu Legislatif 2009 lalu, dimana PPP hanya mampu meraih 9.417 suara atau 5,86 % dengan hanya mendapatkan 2 kursi di DPRD Kabupaten Madina. Dari hasil perolehan suara tersebut, menjadi tanda tanya besar, mengapa justru partai politik yang beraliran nasionalis yang menang di wilayah yang notabene berbasis massa Tradisionalis Islam, Bukan Justru PPP atau partai lainnya yang benar-benar berplatform Islam sebagai ideologi partai. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam dua pemilu terkahir (2004 dan 2009) Golkar yang notabene beraliran nasionalis lah yang menang di daerah yang mayoritas mandailing muslim tersebut. Bukankah selama ini Kabupaten Mandailing Natal merupakan Basis Massa Islam terbesar PPP di Sumatera Utara. Sekilas dari paparan latar belakang diatas, maka ketertarikan saya dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kekalahan PPP sebagai Partai dengan Ideologi Islam di Kabupaten Mandailing Natal yang selama ini menjadi basis massa kekuatan PPP di Sumatera Utara. Penelitian ini selanjutnya difokuskan pada usaha-usaha mengetahui, afiliasi kecenderungan paradigma
perubahan
Perilaku Pemilih masyarakat,
khususnya masyarakat di Kabupaten Mandailing Natal ( Sumatera Utara ). Selanjutnya untuk memperoleh data-data konkret dan signifikan dengan penelitian saya ini, maka lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Mandailing Natal.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicari jalan pemecahannya. Atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah. 8 Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah diatas, maka dalam penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah : “ Faktor-faktor apa yang menyebabkan kekalahan PPP di Kabupaten Mandailing Natal yang selama ini merupakan basis suara dari PPP.”
1.3
Pembatasan Masalah Suatu penelitian membutuhkan pembatasan masalah dengan tujuan untuk
dapat menghasilkan uraian yang sistematis dan tidak melebar. Maka batasan masalah dalam penelitian ini, adalah ; “ Meneliti kecenderungan pergeseran Perilaku Pemilih masyarakat
dari
sebelumnya massa tradisionalis Islam ke massa nasionalis dari tolak ukur Pemilupemilu sebelumnya (2004-2009)” 1.4
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah :
8
Husani Usman dan Purnomo. Metodologi Penelitian Sosial, Bandung : Bumi Aksara. 2004, hal. 26.
Universitas Sumatera Utara
1. Untuk mengetahui, faktor-faktor apa yang mempengaruhi Perilaku Pemilih Masyarakat di Kabupaten Mandailing Natal
terhadap
kecenderungannya memilih Partai beraliran Nasionalis ketimbang Partai yang beraliran Islam. 2. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang terkait sehingga menyebabkan Kekalahan Partai PPP Di Kabuapaten Mandailing Natal yang sebelumnya merupakan lumbung suara dari partai PPP. 3. Secara akademis, hasil penelitian diharapkan ini menjadi media bagi penulis untuk mengaplikasikan pengetahuan yang didapat di Departemen Ilmu Politik dan memberikan kontribusi dalam pengembangan penelitian dalam kajian-kajian Ilmu Politik. 4. Sebagai salah satu persyaratan bagi penulis untuk meraih gelar Sarjana di bidang Ilmu Politik pada Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. 1.4.2 Manfaat Penelitian Setiap penelitian, diharapkan mampu memberikan manfaat, terlebih lagi untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk mengasah kemampuan penulis dalam meneliti Fenomena Politik yang terjadi, sehingga menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang diteliti. 2. Secara teoritis hasil penelitian ini sekiranya dapat bermanfaat menambah Khazanah kepustakaan politik 3. Sebagai rujukan bagi Mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP USU.
Universitas Sumatera Utara
1.5 Kerangka Teori 1.5.1 Partai Politik Menurut Joseph Laporambara dan Myron Weiner yang dikutip oleh Koiruddin dalam bukunya Parai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, partai politik merupakan a creature of modern and modernizing political system. Partai politik memang lahir dan berkembang ketika gejala modernisasi sedang berkembang di Eropa, setelah revolusi industri. Dalam awal perkembangan partai politik dapat diuraikan sebagai berikut : 9 a.
Ia merupakan salah satu indikator gejala modernisasi masyarakat, dimana telah terjadi ledakan partisipasi masyarakat dan pemindahan hak-hak politik kepada masyarakat semakin luas.
b.
Teori situasi historis, dimana kemudian partai politik berkaitan dengan krisis yang terjadi di dalam suatu masyarakat.
Proses pembentukan dan latar belakang berdirinya partai politik menurut Maurice Duverger, dapat dilihat menjadi dua karakter : 1. Partai politik yang berdiri atas dorongan individu per individu yang memiliki kesepahaman, kesamaan pandangan, dan suatu ideologi, maka mereka sepakat mendirikan partai politik tersebut. Keanggotaannya, orang per orang mendaftar mewakili dirinya sebagai unsur insan politik. 2. Partai politik merupakan penjelmaan dari banyak unsur organisasi yang karena merasa perlu untuk membangun kekuatan politik bersama (beraliansi) untuk tujuan suatu perjuangan politik maka organisasiorganisasi yang sepemahaman itu sepakat mendirikan partai politik.
9
Koirudin, Parpol dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hal.5
Universitas Sumatera Utara
Keanggotaannya, semua anggota organisasi-organisasi yang berhimpun tersebut otomatis dinyatakan sebagai anggota partai politik, kecuali secara perorangan yang tidak setuju dapat saja tidak mengakui keberadaan partai politik dan ia menyalurkan aspirasi kepada partai lain.
Adapun pengertian partai politik dari berbagai tokoh dapat disebutkan antara lain menurut Miriam Budiarjo, yaitu :
”Suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) secara konstitusional untuk melaksanakan beberapa 10 kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.” Sedangkan menurut Sigmund Newman, partai politik adalah “organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.”11 Pengertian tentang partai politik lainnya secara normatif dimuat dalam berbagai peraturan kepartaian yang ada dan pernah ada. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 pasal 1 ayat 1 pada Bab I ( Ketentuan Umum), yang bunyinya sebagai berikut : ” Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggotanya, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia 10
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1978, hal 160 11 Ibid., hal. 161
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945”.12
Dasar
1.5.2 Sistem Kepartaian Sistem kepartaian adalah pola prilaku dan interaksi di antara sejumlah partai politik dalam sebuah sistem politik. Mengacu pada pendapat Maurice Duverger dalam bukunya yang berjudul Political Parties, 13 menggolongkan sistem kepartaian menjadi tiga, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwi partai, dan sistem multi partai. Penggolongan sistem kepartaian berdasarkan jumlah partai dapat dikemukakan seperti berikut. Bentuk partai tunggal (totaliter, otoriter dan dominan), sistem dua partai dominan dan bersaing dan sistem multi partai. Dalam negara yang menerapkan bentuk partai tunggal totaliter terdapat satu partai yang tak hanya memegang kendali atas militer terdapat satu partai yang tidak hanya memegang kendali atas militer dan pemerintah, tetapi juga menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Partai tunggal totaliter biasanya merupakan partai doktriner dan diterapkan di negara-negara komunis dan fasis. Bentuk partai tunggal otoriter adalah suatu sistem partai yang di dalamnya terdapat lebih dari satu partai besar yang digunakan oleh penguasa sebagai alat untuk memobilisasi masyarakat dan mengesahkan kekuasaannya sedangkan partai-partai lain kurang dapat menampilkan diri karena ruang gerak dibatasi oleh penguasa. Bentuk partai tunggal yang otoriter biasanya diterapkan di negaranegara berkembang yang menghadapi masalah-masalah integrasi nasional dan keterbelakangan ekonomi. Partai tunggal yang otoriter digunakan sebagai wadah persatuan segala lapisan dan golongan masyarakat, dan sebagai alat untuk 12 13
UU Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Koirudin, Op.Cit., hal.167
Universitas Sumatera Utara
memobilisasi masyarakat untuk mendukung kebijakan yang dibuat oleh penguasa. Apabila dalam bentuk partai tunggal totaliter, partailah yang menguasai pemerintahan dan militer maka dalam bentuk tunggal otoriter pemerintahan dan militer yang menguasai partai. Partai Uni Nasional Afrika Tanzania (UNAT), dan Partai Aksi Singapura merupakan contoh partai otoriter. Bentuk partai tunggal dominan tetapi demokratis adalah suatu sistem kepartaian yang di dalamnya terdapat lebih dari satu partai, namun satu partai saja yang dominan (secara terus menerus mendapat dukungan untuk berkuasa), sedangkan partai-partai lain tidak mampu menyaingi partai yang dominan, walaupun terdapat kesempatan yang sama untuk mendapatkan dukungan melalui pemilihan umum. Partai yang dominan itu biasanya lebih dahulu muncul untuk membina bangsa dan mengorganisasikan pembangunan ekonomi, dibandingkan dengan partai-partai lain yang muncul beberapa dekade kemudian untuk mengoreksi dan menyaingi partai dominan. Ketika partai-partai oposisi muncul, partai dominan sudah berakar dalam masyarakat dan organisasinya sudah melembaga. Partai liberal di Jepang merupakan contoh partai dominan tetapi demokratik. Sistem dua partai merupakan sistem kepartaian yang di dalamnya terdapat dua partai yang saling bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kewenangan pemerintah melalui pemilihan umum. Dalam sistem ini terdapat pembagian tugas diantara kedua partai yaitu partai yang memenangkan pemilihan umum menjadi partai yang memerintah, sedangkan partai yang kalah dalam pemilihan umum mengambil peran sebagai kekuatan oposisi yang loyal sebagai kontrol atas partai yang menang. negara yang menerapkan sistem dua partai
Universitas Sumatera Utara
bersaing adalah Amerika Serikat (Partai Republik dan Partai Demokrat) dan Australia (Partai Liberal dan Partai Buruh). Sistem multipartai merupakan suatu sistem yang terdiri atas dua partai yang dominan. Sistem ini merupakan produk sari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan masyarakat cederung memelihara keterkaitan dengan asal-usul budaya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik sendiri. Karena banyak partai bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilihan umum maka yang sering terjadi adalah pemerintahan koalisi dengan dua atau lebih partai yang sama-sama dapat mencapai mayoritas di parlemen. Untuk mencapai konsensus diantara partai yang berkoalisi itu memerlukan tawarmenawar (bargaining) dalam hal program dan kedudukan menteri. Partai politik pada umumnya juga dapat diklasifikasikan menurut komposisi dan fungsi keanggotaannya ke dalam dua bagian, yaitu : a. Partai Massa Partai massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota dengan elite kepemimpinan yang diseleksi secara ketat, oleh karena itu partai ini biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari aliran-aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung dibawahnya dalam memperjuangkan program yang biasanya luas dan agak kabur. Kelemahan dari partai massa adalah bahwa masing-masing aliran atau kelompok yang bernaung di bawah partai ini cenderung untuk memaksakan kepentingan masing-masing, terutama pada saat krisis, sehingga persatuan dalam partai
Universitas Sumatera Utara
dapat melemah atau hilang sama sekali sehingga salah satu golongan memisahkan diri dan mendirikan partai baru.
b. Partai Kader Partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja anggotanya. Proses seleksi terhadap anggota-anggota partai dilakukan secara ketat dengan memperhatikan berbagai aspek seperti keterampilan, prestise, pengalaman politik, serta pengaruh-pengaruhnya yang diharapkan bisa menarik pendukung/pemilih sebanyak-banyaknya dalam pemilu. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggotanya yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan. 14 1.5.3 Prilaku Politik Prilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Prilaku politik dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Dalam suatu negara, ada pihak yang memerintah, ada pula yang menaati pemerintah, yang satu mempengaruhi, yang lain menentang, dan hasilnya kompromi, yang satu menjanjikan, yang lain merasa kecewa karena janji tidak dipenuhi, berunding dan tawar menawar, yang satu memaksakan putusan berhadapan dengan pihak yang lain, yang mewakili kepentingan rakyat yang berusaha membebaskan, yang satu menutupi kenyataan yang sebenarnya (yang merugikan masyarakat atau yang akan mempermalukan), pihak lain berupaya memaparkan yang sesungguhnya, dan mengajukan tuntutan,
14
Ibid., hal.166
Universitas Sumatera Utara
memperjuangkan kepentingan, mencemaskan apa yang akan terjadi. Semua hal diatas merupakan prilaku politik. 15 Dalam pelaksanaan pemilu di suatu negara ataupun dalam pelaksanaan pilkada langsung di suatu deaerah, prilaku politik dapat berupa prilaku masyarakat dalam menentukan sikap dan pilihan dalam pelaksanaan pemilu atau pilkada tersebut hal ini juga yang membuat digunakannya teori prilaku politik dalam proposal penelitian ini. Prilaku politik dapat dibagi menjadi dua, yaitu :16 1. Prilaku politik lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah 2. Prilaku politik warga negara biasa (baik individu maupun kelompok) Yang disebutkan pertama bertanggung jawab membuat, melaksanakan dan menegakkan keputusan politik, sedangkan yang kedua berhak mempengaruhi pihak yang pertama dalam melaksanakan fungsinya karena apa yang dilakukan pihak pertama menyangkut kehidupan pihak kedua. Kegiatan politik yang dilakukan oleh warga negara biasa (individu maupun kelompok) disebut sebagai partisipasi politik. Dalam melakukan kajian terhadap prilaku politik, dapat dipilih tiga unit analisis, yakni : 1.
Aktor Politik yang meliputi aktor politik, aktivis politik, dan individu warga negara biasa.
2.
Agregasi Politik yaitu individu aktor politik secara kolektif seperti partai politik, birokrasi, lembaga-lembaga pemerintah.
15 16
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Grasindo, 1999, hal 15-16 Ibid., hal 16
Universitas Sumatera Utara
3.
Tipologi Kepribadian Politik yaitu kepribadian pemimpin, seperti otoriter, Machiavelist dan demokrat.
Ada empat faktor yang mempengaruhi prilaku politik aktor politik (pemimpin, aktivis, dan warga biasa). Pertama, lingkungan tidak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa. Faktor kedua, lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor politik seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu merupakan faktor yang ketiga, faktor keempat adalah faktor sosial politik langsung yang berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika akan melakukan suatu kegiatan seperti cuaca, keadaan keluarga, kehadiran seseorang, keadaan ruang, suasana kelompok, dan ancaman dengan segala bentuknya. 17
1.5.4 Partisipasi Politik Digunakannya teori partisipasi politik dalam proposal penelitian ini adalah karena, tingkat partisipasi politik adalah yang menentukan apakah pemilu ataupun pilkada yang berlangsung berhasil atau tidak, semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih, maka tingkat keberhasilan pemilu ataupun pilkada semakin tinggi. Dalam analisa politik modern, partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting dan banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan negaranegara berkembang. Pada awalnya studi mengenai partisipasi politik hanya memfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama, akan tetapi dengan berkembangnya demokrasi, banyak muncul kelompok masyarakat yang juga ingin 17
Ibid., hal 132
Universitas Sumatera Utara
berpartisipasi dalam bidang politik khususnya dalam hal pengambilan keputusankeputusan mengenai kebijakan-kebijakan umum. 18 Secara umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik. Herbert McClosky berpendapat bahwa : ”partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian-bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.”19 Berikut ini dikemukakan sejumlah ”rambu-rambu” dalam proses Partisipasi Politik : 20 Pertama, partisipasi politik berupa kegiatan atau prilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan prilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi. Karena sikap dan orientasi tidak selalu termanifestasikan dalam prilakunya. Kedua, kegiatan tersebut diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Seperti mengajukan alternatif kebijakan umum, dan kegiatan mendukung atau menentang keputusan politik yang dibuat pemerintah. Ketiga,
kegiatan berhasil (efektif) maupun gagal mempengaruhi
pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik. Keempat, kegiatan mempengaruhi kebijakan pemerintah secara langsung yaitu mempengaruhi pemerintah tanpa menggunakan perantara, sedangkan
18
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2008. hal 367 Ibid. 20 Ramlan Surbakti. Op.Cit., hal.141 19
Universitas Sumatera Utara
dengan
cara
tidak
langsung
yaitu
mempengaruhi
pemerintah
dengan
menggunakan perantara yang dapat meyakinkan pemerintah. Kelima, mempengaruhi pemerintah melalui prosedur yang wajar dan tanpa kekerasan seperti ikut memilih dalam pemilu, mengajukan petisi, bertatap muka, dan menulis surat atau dengan prosedur yang tidak wajar seperti kekerasan, demonstrasi, mogok, kudeta, revolusi, dan sebagainya. Pada negara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat, lebih baik. Dalam alam pikiran ini, tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu, tingginya tingkat partisipasi politik juga menunjukkan bahwa rezim yang sedang berkuasa memiliki keabsahan yang tinggi. Dan sebaliknya, rendahnya partisipasi politik di suatu negara dianggap kurang baik karena menunjukkan rendahnya perhatian warga terhadap masalah politik, selain itu rendahnya pastisipasi politik juga menunjukkan lemahnya legitimasi dari rezim yang sedang berkuasa. Partisipasi sebagai suatu bentuk kegiatan dibedakan atas dua bagian, yaitu : 21 1. Partisipasi aktif, yaitu kegiatan yang berorientasi pada output dan input politik. Yang termasuk dalam partisipasi aktif adalah mengajukan usul mengenai suatu kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan.
21
Ibid., hal.143
Universitas Sumatera Utara
2. Partisipasi pasif, yaitu kegiatan yang hanya berorientasi pada output politik. Pada masyarakat yang termasuk ke dalam jenis partisipasi ini hanya menuruti segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tanpa mengajukan kritik dan usulan perbaikan. Kemudian terdapat masyarakat yang tidak termasuk ke dalam kedua kategori ini, yaitu masyarakat yang menganggap telah terjadinya penyimpangan sistem politik dari apa yang mereka cita-citakan. Kemudian kelompok tersebut apatis (golput). Kategori partisipasi politik menurut Milbrath adalah sebagai berikut : 1. Kegiatan Gladiator meliputi : a. memegang jabatan publik atau partai b. menjadi calon pejabat c. menghimpun dana politik d. menjadi anggota aktif suatu partai e. menyisihkan waktu untuk kampanye politik 2. Kegiatan transisi meliputi : a.mengikuti rapat atau pawai politik b. memberi dukungan dana partai atau calon c. jumpa pejabat publik atau pemimpin politik 3. Kegiatan menonton meliputi : a. memakai simbol/identitas partai/organisasi politik b. mengajak orang untuk memilih c. menyelenggarakan diskusi politik d. memberi suara
Universitas Sumatera Utara
4. Kegiatan apatis/masa bodoh. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik seseorang adalah : 1. kesadaran politik, yaitu kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara 2. kepercayaan politik, yaitu sikap dan kepercayaan orang tersebut terhadap pemimpinnya. Beradasarkan dua faktor tersebut, terdapat empat tipe partisipasi politik yaitu : 22 1. Partisipasi politik aktif kiha memiliki kesadaran dan kepercayaan politik yang tinggi 2. Partisipasi politik apatis jika memiliki kesadaran dan kepercayaan politik rendah 3. Partisipasi politik pasif jika memiliki kesadaran politik rendah, sedangkan kepercayaan politiknya tinggi. 4. Partisipasi politik militan radikal jika memiliki kesadaran politik tinggi, sedangka kepercayaan politiknya rendah.
1.5.5 Perilaku Pemilih Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. 23 Dinyatakan sebagai pemilih dalam pilkada yaitu mereka yang telah mendaftar sebagai peserta pemilih oleh petugas pendata peserta pemilih. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi 22 23
Ibid., hal.144 Firmanzah, Marketing Politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007, hal.102
Universitas Sumatera Utara
tertentu yang kemudian termanifestasikan dalam institusi politik seperti partai politik dan seorang pemimpin. 24 Menurut Brennan dan Lomasky serta Fiorina menyatakan bahwa keputusan memilih selama pemilu adalah perilaku ”ekspresif”. Perilaku ini tidak jauh berbeda dengan perilaku suporter yang memberikan dukungan pada sebuah tim sepakbola. Menurut mereka, perilaku pemilih sangat dipengaruhi oleh loyalitas dan ideologi. 25 Keputusan politik untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan terjadi apabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada calon pemimpin jagoannya. Begitu juga sebaliknya, pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau mereka menganggap bahwa sebuah partai atau calon pemimpin tidak loyal serta tidak konsisten dengan janji dan harapan yan telah mereka berikan. Perilaku pemilih juga syarat dengan ideologi antara pemilih dengan partai politik atau kontestan pemilu. Masing-masing kontestan membawa ideologi yang saling berinteraksi. Selama periode kampanye pemilu, muncul kristalisasi dan pengelompokan antara ideologi yang dibawa kontestan. Masyarakat akan mengelompokkan dirinya kepada kontestan yang memiliki ideologi yang sama dengan yang mereka anut sekaligus juga menjauhkan diri dari ideologi yang berseberangan dengan mereka. Him Melwit menyatakan bahwa perilaku pemilih merupakan pengambilan keputusan yang bersifat instan, tergantung pada situasi sosial politik tertentu, tidak
24 25
Ibid., Ibid., hal. 105
Universitas Sumatera Utara
berbeda dengan pengambilan keputusan lain. 26 Jadi tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh dari faktor-faktor tertentu dalam mempengaruhi keputusan memilih, seperti faktor partai politik yang mendukung pasangan calon, citra kandidat ataupun figur kandidat tersebut.
Perilaku Pemilih dapat dianalisis dengan menggunakan empat pendekatan, yaitu : 27 1. Pendekatan Sosiologis Di lingkungan ilmuwan sosial di Amerika Serikat, model sosiologis awalnya dikembangkan oleh Mazhab Columbia, yaitu The Columbia School of Electoral Behavior. Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih seseorang. Pendekatan sosiologis dilandasi oleh pemikiran bahwa determinan pemilih dalam respon politiknya adalah status sosio ekonomi, afiliasi religius. Dengan kata lain, pendekatan ini didasarkan pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga dan pertemanan yang dialami oleh agen pemilih secara historis. 2. Pendekatan Psikologis Model ini dikembangkan oleh Mazhab Michigan. The Michigan Survey Research Centre. Pendekatan ini pada dasarnya melihat sosialisasi sebagai determinasi dalam menentukan perilaku politik pemilih, bukan karakter sosiologis. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang merupakan refleksi
26
Muhammad Asfar, Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Prilaku Pemilih, dalam Jurnal Ilmu Politik Edisi no. 16. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal.52 27 Adman Nursal, Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 54
Universitas Sumatera Utara
dan kepribadian seseorang yang menjadi variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang, karena itu pendekatan ini menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, isu-isu dan kandidat-kandidat. 3. Pendekatan Rasional Pendekatan ini menempatkan pemilih pada suatu keadaan yang bebas, di mana pemilih pemilih melaksanakan perilaku politik dengan pikiran rasionalnya dalam menilai calon/kandidat yang terbaik menurut rasionalitas yang dimilikinya. Model ini ingin melihat perilaku pemilih sebagai produk kalkulasi untung rugi. Mayoritas pemilih biasanya selalu mempertimbangkan faktor untung rugi dalam menentukan pilihannya terhadap calon yang dipilih. Seorang pemilih rasional adalah pemilih yang menghitung untung rugi tindakannya dalam memilih calon. Sebuah pilihan tindakan dikatakan menguntungkan bila ongkos yang dikeluarkan untuk mendapatkan hasil dari tindakan tersebut lebih rendah daripada hasil tindakan itu sendiri. Sebaliknya, sebuah tindakan tersebut rugi bila ongkos untuk mendapatkan hasil itu lebih tinggi nilainya ketimbang hasil yang diperoleh. Berbeda dengan 2 pendekatan di atas yang menempatkan pemilih pada ruang kosong, di mana pemilih tidak menentukan perilaku politik pada saat di bilik suara, akan tetapi perilaku politik telah ditentukan jauh-jauh hari sebelumnya dengan mengacu pada dua pendekatan di atas. Pada pendekatan rasional, perilaku politik dapat terjadi kapan saja, dan dapat berubah sesuai dengan rasionalitasnya, bahkan keputusan dalam menentukan pilihan dapat berubah dibalik bilik suara.
Universitas Sumatera Utara
4. Pendekatan Domain Kognitif Model ini dikembangkan untuk menerangkan dan memprediksi perilaku pemilih. Newman dan Sheth mengembangkan model perilaku
pemilih
berdasarkan beberapa domain yang terkait dengan marketing. 28 Menurut model ini, perilaku pemilih ditentukan oleh tujuh domain kognitif yang berbeda dan terpisah, yaitu : a. Isu dan Kebijakan Politik Komponen
ini
mempresentasikan
kebijakan
atau
program
yang
diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat politik jika kelak menang pemilu. b. Citra Sosial Komponen ini adalah citra kandidat dalam pikiran pemilih mengenai ”berada” di dalam kelompok sosial mana atau tergabung sebagai apa sebuah partai atau kandidat politik. Citra sosial dapat terjadi oleh banyak faktor, diantaranya demografi (meliputi usia, gender, dan agama). Sosio ekonomi (meliputi pekerjaan dan pendapatan). Kultural dan etnik dan politis-ideologi. c. Perasaan emosional Yaitu dimensi emosional yang terpancar dari sebuah kontestan atau kontestan yang ditunjuk oleh kebijakan politik yang ditawarkan. d. Citra kandidat Yaitu mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting dan yang dianggap sebagai karakter kandidat.
28
Adman Nursal, Ibid., hal. 69
Universitas Sumatera Utara
e. Peristiwa mutakhir Hal ini mengacu pada himpunan peristiwa, isu dan kebijakan yang berkembang menjelang dan selama kampanye. f. Peristiwa personal Ini mengacu pada kehidupan pribadi dan peristiwa yang dialami secara pribadi oleh seorang kandidat misalnya skandal seksual, bisnis dan sebagainya. g. Faktor-faktor epistemik Yaitu isu-isu pemilihan yang sfesifik yang dapat memicu keingintahuan para pemilih mengenai hal-hal baru. 1.5.6 Orientasi Pemilih29 1. Orientasi Policy-Problem-Solving Ketika pemilih menilai seorang kontestan dari kacamata policy-problemsolving yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana kontestan mampu menawarkan program kerja atau solusi bagi suatu permasalahan yang ada. Pemilih akan cenderung secara objektif memilih partai politik atau kontestan yang memiliki kepekaan terhadap masalah nasional (daerah) dan kejelasan-kejelasan program kerja partai politik atau kontestan pemilu yang arah kebijakannya tidak jelas akan cenderung tidak terpilih. 2. Orientasi Ideologi Pemilih yang cenderung mementingkan ideologi suatu partai atau kontestan, akan lebih mementingkan ikatan ”ideologi” suatu partai atau kontestan, akan lebih menekankan aspek-aspek subjektivitas seperti kedekatan nilai, budaya, norma, emosi dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai atau kontestan 29
Agung Wibawanto, Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat, Yogyakarta : Pembaruan, 2005, hal. 58
Universitas Sumatera Utara
pemilu, pemilih jenis ini akan cenderung memberikan suaranya ke partai atau kontestan tersebut. 1.5.7 Jenis-Jenis Pemilih 30 1. Pemilih Rasional Pemilih jenis ini memiliki orientasi yang tinggi terhadap policy-problemsolving dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon peserta pemilu dalam program kerjanya, mereka melihat program kerja tersebut melalui kinerja partai atau kontestan dimasa lampau, dan tawaran program yang ditawarkan sang calon atau partai politik dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang sedang terjadi. Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Hal yang terpenting bagi pemilih jenis ini adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan pemilu. 2. Pemilih Kritis Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pemilih pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan yang sedang dihadapi sebuah negara atau daerah manapun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Proses untuk menjadi pemilih jenis ini bisa terjadi melalui dua hal yaitu pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai atau kontestan pemilu mana mereka akan berpihak dan 30
Ibid., hal. 65
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya di mana pemilih tertarik terlebih dahulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai politik/kontestan baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai (ideologi) dengan kebijakan yang dibuat. 3. Pemilih Tradisional Pemilih jenis ini memiliki oreintasi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang terpenting
dalam
pengambilan
keputusan.
Pemilih
tradisional
sangat
mengutamakan kedekataan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik atau kontestan pemilu. Kebijakan seperti yang berhubungan dengan masalah ekonomi, kesejahteraan, pendidikan, dan lainnya, dianggap sebagai prioritas kedua. Pemilih jenis ini sangat mudah dimobilisasi selama masa kampanye, pemilih jenis ini memiliki loyalitas yang sangat tinggi. Mereka menganggap apa saja yang dikatakan oleh seorang kontestan pemilu atau partai politik merupakan suatu kebenaran yang tidak bisa ditawar lagi. 4. Pemilih Skeptis Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau kontestan pemilu, pemilih ini juga tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam pemilu, biasanya mereka melakukan secara acak. Mereka berkeyakinan
Universitas Sumatera Utara
bahwa siapapun yang menjadi pemenang dalam pemilu, hasilnya sama saja, tidak akan ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi kondisi daerah/negara. Setelah melihat beberapa jenis pemilih, para kontestan pemilu nanti harus bisa memahami segala jenis pemilih dan berusaha merebut suara pemilih tersebut, yaitu tentunya melalui kampanye dalam berbagai cara. Karena dengan memahami jenis pemilih yang ada, kemungkinan untuk memenangkan pemilu menjadi semakin kuat. Mereka harus mampu meraih suara dari setiap jenis pemilih yang ada. Untuk itu mereka pada umumnya membutuhkan dukungan dari tokoh-tokoh ataupun hal-hal yang membuat setiap jenis pemilih diatas mau mendukung mereka dalam pemilu. I. 6 METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian adalah semua asas, peraturan dan teknik-teknik yang perlu diterapkan dan diperhatikan dalam usaha pengumpulan data dan analisis. 31 Pembahasan langkah prosedural yang dapat digunakan untuk mencapai sasaran dan tujuan penelitian harus memasukkan pembenaran atas metode yang dipilih dan juga harus memperlihatkan kesesuaian antara tujuan, metode, dan sumber daya yang tersedia. 32 Oleh sebab itu peneliti menggunakan metodologi penelitian sebagai berikut. 1.6.1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode deskriptif diartikan
sebagai
prosedur
masalah
yang
diselidiki,
dengan
menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian baik individu,
31
Dolet Unaradjan, Pengantar Metode Penelitian Ilmu Sosial, Jakarta: Grasindo, 2000, hal. 1. Bruce A. Chadwick, Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial, oleh Dr. Sulistia, M.L. (penerjemah), (Semarang: IKIP Semarang Press, tp.thn.), hal. 46. 32
Universitas Sumatera Utara
lembaga masyarakat dan sebagainya berdasarkan fakta-fakta yang tampak dan sebagaimana adanya. 1.6.2. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. 33 Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan-kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan responden; dan ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. 34 Penelitian
kualitatif
berakar
pada latar
ilmiah sebagai
keutuhan,
mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak. 35
33
Anslelm Strauss, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 4. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, 1991, hal. 5 35 Ibid, hal. 27. 34
Universitas Sumatera Utara
1.6.3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. 1.6.4. Teknik Pengumpulan Data Data adalah segala keterangan atau informasi yang mengenai segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengmpulkan data antara lain library research (penelitian pustaka) sering juga disebut dengan metode documenter/dokumentasi, dan field research (penelitian lapangan) seperti : wawancara (interview), observasi (observasion) 36. Untuk melakukan pengumpulan data dalam penelitian ini maka dilakukan dengan cara : 1. Observasi: yaitu pengumpulan data dengan cara mengamati secara langsung terhadap kegiatan-kegiatan terjadi dilapangan sehingga didalam penelitian ini didapat gambaran mengenai kondisi objek penelitian. 2. Wawancara mendalam, merupakan upaya menggali informasi dengan melakukan tanya jawab secara lisan dan terhadap individu-individu yang nantinya akan dijawab dengan jawaban-jawaban yang lisan juga. Tanya jawab yang dilakukan bersifat bebas yang dilakukan kepada masyarakat yang bersangkutan
dengan menanyakan pandangan mereka tentang
Pemilu legislatif 2009 3. Dokumentasi adalah data yang mendukung penelitian ini baik berupa buku, bulletin, foto,yang semua untuk memudahkan penulisan ini.
36
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT Grafindo Persada,2000, hal. 130
Universitas Sumatera Utara
1.6.5 Teknik Analisis Data
Analisis dilakukan dengan penyusunan data dengan naratif, dan mereduksi data yang telah didapatkan, menyajikan kembali data, mentabulasi data dengan matrik, dan memverifikasikan data dengan deskriptif.
Data-data dan informasi yang telah didapatkan disusun dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat menemukan tema. Data-data yang diperoleh dari observasi, interview maupun data-data pelengkap, dikumpulkan dan diklasifikasikan sesuai dengan tema kajian permasalahan. Setelah itu dilakukan analisis berupa penginterpretasian data tersebut dengan bantuan datadata sekunder, dan diuraikan dalam bentuk diagram dan matrik sehingga bisa menghasilkan uraian yang terperinci.
Universitas Sumatera Utara
1.7. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan yang akan dilakukan dalam pembuatan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Pada bab ini memuat latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
: DESKRIPSI UMUM OBJEK PENELITIAN Bab ini akan menguraikan tentang gambaran umum deskripsi lokasi penelitian seperti sejarah PPP, ideologi, keanggotaan, struktur organisasi DPC PPP Kabupaten Madina Sumatera Utara, pengambilan keputusan pada. Serta juga turut melampirkan kondisi objektif di Kabupaten Madina
BAB III
: ANALISA HASIL PENELITIAN Bab ini berisikan hasil analisa dari penelitian yang telah dilakukan, antara lain tentang analisa mengapa terjadi kekalahan di tubuh PPP dalam Pemilu Legislatif 2009 di Kab. Madina.
BAB IV
: PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan.
Universitas Sumatera Utara