1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Anak merupakan karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada kedua orang tuanya. Setiap anak tidak hanya tumbuh dan berkembang dalam sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Kelahiran seorang anak menimbulkan hak dan kewajiban yang dimilikinya sebagai subjek hukum bahkan sebelum anak tersebut dilahirkan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang selanjutnya disebut KUHPerdata, menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan anak menghendakinya. Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri. Lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak pada tanggal 20 November 1989 menandai adanya perhatian terhadap anak secara internasional. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Konvensi tersebut memuat kewajiban Negara-negara yang meratifikasinya untuk menjamin terlaksananya hak-hak anak.1
1
Darwan Prinst, 1997, Hukum Anak Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.5
2
Berbagai macam hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tetap membatasi hak seorang anak untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. Salah satunya dalam melakukan peralihan hak atas tanah melalui jual beli. Peralihan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak, antara lain jual beli, hibah, tukar menukar, pemisahan dan pembagian harta bersama, dan pemasukan dalam perusahaan atau inbreng.2 Tanah memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan, salah satunya sebagai tempat tinggal. Kepemilikan hak atas tanah oleh seorang anak berasal dari berbagai sumber, baik yang berasal dari pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat warisan, hibah dari orang tua maupun orang lain kepadanya. Peralihan hak atas tanah melalui jual beli dapat diawali dengan pembuatan akta perikatan jual beli yang dibuat dihadapan Notaris. Istilah perjanjian pengikatan jual beli tanah dengan akta perikatan jual beli memiliki makna yang sama yakni dibuat dihadapan Notaris dan bersifat sementara atau sebagai perjanjian pendahuluan karena untuk kepentingan pendaftaran peralihan hak atas tanah harus dituangkan dalam akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT. Oleh karena itu, untuk selanjutnya dalam penelitian ini digunakan istilah akta perikatan jual beli. Perikatan
yang berasal dari perjanjian jual beli ini harus memenuhi
syarat sah jual beli yang tunduk pada Pasal 1320 KUHPerdata, sedangkan untuk proses pembuatan akta jual beli dibuat dihadapan PPAT serta 2
John Salindeho, 1987, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.37
3
penyerahan yuridis mengenai pendaftaran peralihan hak atas tanahnya tunduk pada Hukum Agraria, yaitu meliputi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan peraturan pertanahan lainnya. Adapun ketentuan yang berkaitan dengan tanah sebagaimana diatur dalam Buku II KUHPerdata telah dihapuskan dan tidak berlaku lagi. Peralihan hak atas tanah tersebut tidak dapat dilakukan sendiri oleh seorang anak karena tidak adanya kecakapan yang dimiliki oleh seorang anak sebagai subjek hukum dalam melakukan perbuatan hukum tersebut. Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta perikatan jual beli yaitu mengenai kecakapan bertindak. Pasal 39 Undang-undang Nomor 02 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengatur bahwa yang dapat memenuhi syarat sebagai penghadap adalah seseorang dengan minimal berusia 18 tahun dan cakap melakukan perbuatan hukum. Terkait dengan hal tersebut, seorang anak di bawah umur atau belum dewasa tidak memiliki kecakapan untuk melakukan sebuah perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1330 KUHPerdata, sehingga peralihan hak tersebut harus dilakukan oleh seseorang yang mewakili anak di bawah umur baik oleh orang tua maupun orang lain yang diangkat sebagai wali sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Hal tersebut bertujuan agar kelak tidak terjadi tuntutan maupun gugatan dari
4
pihak lain mengenai sah tidaknya kepemilikan tanah oleh pemegang hak yang baru. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh seorang anak diatur dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Pada ayat (2) Undangundang tersebut mengatur bahwa orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. Pengaturan lebih lanjut diatur dalam Pasal 48 yang menyebutkan bahwa orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan,
kecuali
apabila
kepentingan
anak
itu
menghendakinya. Perwakilan oleh orang tua tersebut tidak serta merta berlaku dalam hal adanya pelepasan hak atas tanah yang dimiliki oleh seorang anak. Hal tersebut perlu diperhatikan karena dalam pelepasan hak atas tanah akan mengurangi hak seorang anak sehingga perlu ada perlindungan hukumnya. Batas umur kedewasaan seseorang untuk cakap bertindak diatur dalam berbagai
macam
peraturan
perundang-undangan
yang
penerapannya
disesuaikan dengan perbuatan hukum apa yang hendak dilakukan. Usia 21 tahun merupakan ukuran kedewasaan menurut Pasal 330 KUHPerdata,
5
sedangkan usia 18 tahun merupakan ukuran kedewasaan menurut Pasal 48 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait adanya pemindahan hak oleh orang tua terhadap barang-barang tetap yang dimiliki anaknya, Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terkait pengertian seorang anak, dan Pasal 39 ayat (1) a Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris terkait syarat usia penghadap dalam pembuatan akta notaris. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa pelepasan hak atas tanah merupakan kegiatan peralihan hak yang harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah atau yang selanjutnya disebut PPAT. Hal ini dilakukan sebagai syarat pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan. Proses pelepasan hak tersebut harus memperhatikan kedudukan hak atas tanah, apabila kepemilikannya bersama, maka harus mendapat persetujuan dari semua yang berhak atas tanah tersebut untuk dapat dilakukan jual beli termasuk juga adanya kepemilikan hak atas tanah oleh anak di bawah umur. Oleh karena itu, pada prakteknya, untuk melindungi kepentingan anak di bawah umur diperlukan adanya penetapan pengadilan terkait perwakilan seseorang untuk bertindak dalam hal adanya pelepasan hak yang dimiliki oleh anak tersebut.
6
Pengambilan
keputusan
yang
dilakukan
oleh
hakim
menjadi
yurisprudensi dalam penerapan batas usia kedewasaan seseorang. Berbagai macam peraturan mengenai batas usia dewasa yang ada menyebabkan tidak adanya kepastian hukum sehingga penerapannya disesuaikan dengan perbuatan hukum apa yang hendak dilakukan. Peranan hakim sebagai aparat kekuasaan kehakiman, pada prinsipnya tidak lain dari pada melaksananakan fungsi peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukum hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya. Untuk dapat menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau sengketa setepat-tepatnya hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara objektif tentang duduk perkara sebenarnya sebagai dasar putusannya dan bukan secara a priori menemukan putusannya sedangkan pertimbangannnya baru kemudian dikonstruir. Peristiwa yang sebenarnya diketahui oleh hakim dari pembuktian. Jadi bukannya putusan itu lahir dalam proses secara apriori dan kemudian baru dikonstruksi atau direka pertimbangan pembuktiannya, tetapi harus dipertimbangkan lebih dahulu tentang terbukti tidaknya baru kemudian sampai pada putusan.3 Kasus jual beli hak atas tanah yang terdaftar atas nama anak di bawah umur pernah terjadi di Kabupaten Sleman. Kesepakatan jual beli hak atas 3
Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Kedelapan, Liberty,Yogyakarta, hlm. 201
7
tanah berupa Hak Guna Bangunan atas nama anak di bawah umur yang terjadi antara seorang pembeli dan penjual yang dalam hal ini di wakili oleh salah satu orang tua dari ketiga anak di bawah umur tersebut dituangkan dalam Akta Perikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan Notaris tertanggal 15 Agustus 2012. Proses perikatan jual beli tersebut berjalan lancar dengan pembayaran lunas dan obyek berada dalam penguasaan pembeli, namun ketika diminta untuk melakukan penandatanganan akta tersebut, pihak penjual tidak dapat dihubungi dan tidak diketahui lagi keberadaannya. Kendala lainnya yakni saat pembeli hendak melakukan proses pendaftaran peralihan hak atas tanah, namun Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman menolak permohonannya. Hal tersebut terjadi karena tidak terpenuhinya dokumen berupa penetapan pengadilan mengenai tindakan yang dilakukan oleh salah satu orang tua selaku penjual yang mewakili ketiga anaknya yang masih di bawah umur sebagai pemegang hak yang sah. Surat Pernyataan Perwalian tertanggal 15 Agustus 2012 yang telah dilegalisasi Notaris tidak memenuhi syarat dalam proses peralihan hak atas sebidang tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman. Pembeli dengan itikad baik telah memintakan dokumen tersebut, namun pihak penjual tidak dapat memenuhinya. Tidak adanya itikad baik dari pihak penjual dalam membantu proses peralihan hak atas tanah mengakibatkan pihak pembeli melakukan gugatan melalui Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sleman. Hakim menjatuhkan putusan verstek dalam perkara ini dikarenakan pihak Tergugat selaku penjual tidak
8
hadir
selama
persidangan
berlangsung
dan
tidak
diketahui
lagi
keberadaannya. Putusan dari proses pengajuan gugatan tersebut, tentunya akan membawa konsekuensi yuridis tertentu kepada pihak-pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian jual beli hak atas tanah. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan anak di bawah umur dalam proses jual beli tanah menjadi sangat penting dan perlu diperhatikan untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak selaku penjual dan pembeli. Saat ini terhadap gugatan tersebut telah mendapat Putusan Pengadilan pada
tanggal
12
Februari
2014
dengan
nomor
perkara
165/Pdt.G/2013/PN.Slmn. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.
B. Perumusan Masalah Penelitian Dari uraian latar belakang masalah di atas, ada beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan anak dalam akta perikatan jual beli hak atas tanah yang diwakili oleh orang tuanya sebagai pihak penjual menurut Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 165/Pdt.G/2013/PN.Slmn? 2. Mengapa perikatan jual beli dengan obyek hak atas tanah yang terdaftar atas nama anak di bawah umur dalam Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 165/Pdt.G/2013/PN.Slmn sah menurut hakim?
9
C. Keaslian Penelitian Setelah diadakan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, sejauh ini tidak ditemukan penelitian mengenai kedudukan anak di bawah umur dalam akta perikatan jual beli hak atas tanah yang diwakili oleh orangtuanya sebagai pihak penjual, namun peneliti menemukan beberapa penelitian yang membahas sebagian unsur penelitian dengan kajian yang berbeda, yakni: 1. Tesis, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, tahun 2007 dengan judul “Penerapan Batas Kedewasaan dalam Pembuatan Akta Notaris dan Akta PPAT berkaitan dengan Jual Beli Hak Atas Tanah di Kabupaten Tabanan Bali,” ditulis oleh I Ketut Ariyasa, yang mengambil rumusan masalah diantaranya:4 a. Bagaimanakah penerapan batas kedewasaan yang diatur dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan Pasal 330 KUHPerdata dalam pembuatan akta Notaris dan akta PPAT yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah di Kabupaten Tabanan? b. Bagaimanakah implikasi perbedaan batas kedewasaan yang diatur dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan Pasal 330 KUHPerdata dalam pembuatan akta Notaris dan
4
I Ketut Ariyasa, “Penerapan Batas Kedewasaan dalam Pembuatan Akta Notaris dan Akta PPAT berkaitan dengan Jual Beli Hak Atas Tanah di Kabupaten Tabanan Bali,” Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007, hlm.8
10
akta PPAT yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah di Kabupaten Tabanan? Hasil penelitian dari rumusan masalah tersebut, yaitu :5 a. Penerapan batas kedewasaan yang diatur dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan Pasal 330 KUHPerdata dalam pembuatan akta Notaris dan akta PPAT yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah di Kabupaten Tabanan, dalam akta perikatan jual beli hak atas tanah, Notaris menerapkan batas kedewasaan penghadap sesuai dengan Pasal 39 UUJN sedangkan dalam pembuatan akta jual beli hak atas tanah, PPAT menerapkan batas kedewasaan sesuai dengan Pasal 330 KUHPerdata. b. Perbedaan batas kedewasaan yang diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata dan Pasal 39 UUJN dalam pembuatan akta Notaris dan PPAT yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah di Kabupaten Tabanan memberikan implikasi adanya dualisme penerapan batas kedewasaan dalam pembuatan akta Notaris dan akta PPAT yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah. Perbedaan penerapan tersebut juga memberikan implikasi terhadap para pihak, dimana pihak yang berusia 18 tahun yang sebelumnya membuat akta perikatan jual beli hak atas tanah di hadapan Notaris tidak dapat melaksanakan jual beli di hadapan PPAT, sehingga pihak tersebut harus diwakilkan oleh wali. 5
Ibid, hlm.102-103
11
2. Tesis, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, tahun 2008 dengan judul “Kajian Pemberian Hak Tanggungan dengan Objek Tanah Hak Milik Anak Belum Dewasa Sebagai Jaminan Kredit Modal Kerja Pada PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang Sleman,” ditulis oleh Fatah Chotib Uddin, yang mengambil rumusan masalah diantaranya:6 a. Apakah persyaratan khusus yang diperlukan untuk proses pemberian Hak Tanggungan dengan objek tanah hak milik anak belum dewasa sebagai jaminan kredit modal kerja pada PT. Bank Rakyat Indinesia (Persero) Tbk Cabang Sleman? b. Bagaimanakah pandangan instansi yang terkait terhadap batas kedewasaan yang digunakan dalam proses penjaminan tanah hak milik anak belum dewasa serta konsekuensi yuridis dari penerapan ketentuan tersebut? c. Apa fungsi dari penetapan perwalian dari Pengadilan tersebut terhadap tugas Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta Kantor Pertanahan dalam pemberian dan penerbitan Hak Tanggungan? Hasil penelitian dari rumusan masalah tersebut,yaitu:7 a. Persyaratan khusus yang diperlukan untuk proses pemberian Hak Tanggungan dengan objek tanah hak milik anak belum dewasa sebagai
6
Fatah Chotib Uddin, “Kajian Pemberian Hak Tanggungan dengan Objek Tanah Hak Milik Anak Belum Dewasa Sebagai Jaminan Kredit Modal Kerja Pada PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang Sleman,” Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2008, hlm.11 7 Ibid,hlm. 92-94
12
jaminan kredit modal kerja pada PT.BRI (Persero) Tbk Cabang Sleman berdasarkan Surat Edaran Direksi BRI Nomor: S.76-DIR/SDH/5/89 tanggal 5 Mei 1989 tentang Barang Jaminan Milik Anak di Bawah Umur adalah Penetapan Wali serta kuasa untuk menjaminkan dari Pengadilan Negeri. b. Terdapat perbedaan pandangan dari berbagai instansi yang terkait terhadap batas kedewasaan yang digunakan dalam proses penjaminan tanah hak milik anak belum dewasa. Pengadilan Negeri Kabupaten Sleman dan Notaris/PPAT menggunakan ketentuan dalam Pasal 330 KUHPerdata yaitu 21 tahun. Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman yang berlaku adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria Nomor Dpt.7/539/7-77 tanggal 13 Juli 1977 tentang Dewasa Hukum yang menentukan batas usia dalam melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah adalah 19 tahun. Berdasarkan asas hukum lex posteriori derogat legi priori konsekuensi yuridis dari penerapan ketentuan Pasal 330 KUHPerdata dalam praktek adalah batal demi hukum. c. Fungsi dari penetapan perwalian dari Pengadilan tersebut terhadap tugas Notaris/PPAT serta Kantor Pertanahan dalam pemberian dan penerbitan Hak Tanggungan adalah sebagai dasar hukum yang sah untuk melakukan suatu perbuatan hukum yaitu penjaminan tanah milik anak belum dewasa. Tetapi apabila orang tua yang hidup terlama menjalankan kekuasaannya
13
sebagai wali maka Penetapan perwalian serta kuasa dari Pengadilan tersebut merupakan sesuatu yang masih perlu mendapat perhatian khusus. Pada penelitian pertama di atas, peneliti terdahulu hanya melakukan penelitian terhadap penerapan batas kedewasaan yang diatur dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan Pasal 330 KUHPerdata dalam pembuatan akta Notaris dan akta PPAT yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah di Kabupaten Tabanan dan implikasinya akibat adanya perbedaan batas kedewasaan yang diatur dalam kedua pasal tersebut. Pada penelitian kedua diatas, peneliti terdahulu hanya memfokuskan penelitiannya
pada persyaratan khusus yang diperlukan dalam proses
pemberian Hak Tanggungan, pandangan instansi terkait batas kedewasaan yang digunakan dalam proses penjaminan tanah milik anak belum dewasa, dan fungsi dari penetapan perwalian dari Pengadilan terhadap tugas Notaris/PPAT serta Kantor Pertanahan dalam pemberian dan penerbitan Hak Tanggungan. Fokus kedua penelitian tersebut berbeda dengan fokus penelitian ini. Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yang berjudul Kedudukan Anak di Bawah Umur dalam Akta Perikatan Jual Beli Hak Atas Tanah (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 165/Pdt.G/2013/PN.Slmn) yang menitikberatkan pada kedudukan anak dan alasan mengapa perikatan jual beli hak atas tanah yang terdaftar atas nama anak di bawah umur dalam Putusan
14
Pengadilan Negeri Sleman Nomor165/Pdt.G/2013/PN.Slmn sah menurut hakim. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum dan literatur di bidang hukum khususnya dalam hal kedudukan anak dalam perikatan jual beli hak atas tanah. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Notaris, PPAT, Hakim, Pemerintah maupun instansi yang berwenang dalam mengambil kebijakan-kebijakan terkait dengan pengaturan hukum yang lebih luas terhadap permasalahan perkara kedudukan anak dalam perikatan jual beli hak atas tanah.
E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh peneliti melalui penelitian ini, yaitu : 1. Untuk mengkaji kedudukan anak dalam akta perikatan jual beli hak atas tanah yang diwakili oleh orang tuanya sebagai pihak penjual berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 165/Pdt.G/2013/PN.Slmn.
15
2. Untuk mengkaji alasan jual beli hak atas tanah yang terdaftar atas nama anak di
bawah
umur
dalam
Putusan
Pengadilan
Nomor165/Pdt.G/2013/PN.Slmn sah menurut hakim.
Negeri
Sleman