BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Mahkamah Agung (MA) merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Secara tekstual hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 24 UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945, yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut : (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan yang menegakan hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ketentuan tersebut merupakan hasil amandemen ketiga, dan membawa perubahan
pada
perkembangan
kekuasaan
kehakiman.
Perubahan
ini
dimaksudkan agar kekuasaan kehakiman menjadi kekuasaan yang merdeka. Hal yang demikian, sejalan dengan pemikiran bahwa semua peraturan perundang-
1
undangan yang menghambat terwujudnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman harus ditinjau kembali.1) Pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, peraturan perundang-undangan tentang kekuasaan kehakiman telah mengalami dua kali perubahan, yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Ada perubahan yang signifikan dengan diberlakukannya undang-undang tersebut. Prinsip diberlakukannya undang-undang kekuasaan kehakiman ini (Pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945) adalah menegaskan bahwasanya MA merupakan pengadilan negara tertinggi yang membawahi empat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Bahkan untuk mewujudkan independensi kekuasaan kehakiman, maka organisasi, administrasi, dan finansial keempat lingkungan badan peradilan tersebut berada dalam satu atap, yaitu MA.2) MA sebagai lembaga peradilan negara tertinggi, secara sistematika ketentuan peraturan perundang-undangan, MA mempunyai beberapa fungsi, yaitu : fungsi peradilan (Pasal 28, Pasal 33, dan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004), fungsi pengawasan (Pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009), fungsi mengatur
1)
Muchsan, 1998, Reformasi Hukum Dalam Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa. Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, ISSN : 0852-100X, No : 30/VIII/1998, Edisi Agustus 1998, hlm. 12. 2) Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1) Negara Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
2
(Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985), fungsi nasihat (Pasal 37 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, dan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009), fungsi administrasi (Pasal 21 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009), fungsi informasi (Pasal 32 B Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009) dan fungsi lain-lain (Pasal 39 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan Pasal 20 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). Khusus mengenai fungsi pokok MA yang bersifat peradilan mencakup lima bidang, sebagaimana diuraikan sebagai berikut:3) a. Menjalankan fungsi sebagai lembaga peradilan kasasi. b. Memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili lembaga peradilan dibawahnya. c. Memutus dalam tingkat pertama dan terakhir semua sengketa perampasan kapal asing oleh kapal perang Republik Indonesia. d. Memutus permohonan peninjauan kembali. e. Melakukan hak uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kaitannya dengan kedudukan MA sebagai lembaga peradilan kasasi, maka tujuan pemeriksaan sengketa pada upaya hukum kasasi ini hakikatnya adalah : 1. Mengoreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan di tingkat bawahnya.
3)
Panggabean, Henry Pandapotan., 2005, Peranan Mahkamah Agung Dalam Pembangunan Hukum Melalui Putusan-Putusannya Dibidang Hukum Perikatan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 32.
3
2. Menciptakan dan membentuk hukum baru. 3. Melakukan pengawasan guna terciptanya keseragaman penerapan hukum.4) Meskipun hakikat upaya hukum kasasi bertujuan sangat baik dalam penegakan hukum dan pengembangan ilmu hukum, akan tetapi secara umum fungsi peradilan yang dilaksanakan MA sejak lama selalu mendapat kritikan, karena menurut banyak kalangan penyelesaian sengketanya dirasakan sangat kompleks, lambat, dan berbiaya mahal. Kritikan ini tentunya bukan tanpa alasan, karena faktanya penyelesaian suatu perkara kasasi di MA dapat menghabiskan waktu 2 s/d 3 tahun, bahkan lebih dari pada itu.5) Fakta tersebut berkaitan dengan sebuah penelitian di tahun 1991 s/d 1995 yang menyatakan rata-rata penumpukan perkara di MA mencapai kurang lebih sebanyak 11.000 perkara kasasi setiap tahunnya.6) Selanjutnya di tahun 1995 s/d 2000, khusus perkara kasasi dari perkara yang masuk menyisakan perkara sebanyak 9.707.7) Salah satu faktor terjadinya penumpukan perkara ini sebagai akibat perkara di MA dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan jumlahnya. Secara lebih terperinci lagi, menurut Baqir Manan penyebab penunggakan perkara kasasi ini disebabkan :8)
4)
Yahya Harahap, 2000, Pembahasan dan Permasalahan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 539-542. 5) Ali Budiardjo,dkk, 2000, Reformasi Hukum di Indonesia (Hasil Studi Perkembangan Hukum – Proyek Bank Dunia), PT. Siber Konsultan, Jakarta, hlm. 116. 6) Ibid., hlm. 110. 7) Faisal A. Rani, 2002, Fungsi dan Kedudukan Mahkamah Agung Sebagai Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Sesuai Dengan Paham Negara Hukum, Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung, hlm. 311. 8) Baqir Manan, 2005, Sistim Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 136138.
4
1. Tidak ada ketentuan yang membatasi perkara-perkara yang dapat dimohonkan kasasi. 2. Badan peradilan tingkat pertama yang menerima permohonan kasasi tidak mempunyai wewenang untuk tidak meneruskan setiap permohonan kasasi. 3. MA tidak mengadakan tata cara khusus untuk memeriksa permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. 4. Tata administrasi mulai dari saat penerimaan permohonan, distribusi, dan penyelesaian perkara, harus melalui alur yang sangat panjang, sehingga tidak efisien. 5. Sikap para pihak yang mengulur-ulur kewajiban menjalani hukuman atau melaksanakan putusan. 6. Produktifitas kerja aparatur peradilan sangat rendah. 7. Fasilitas kerja yang tidak memadai. 8. Kurang di dukung anggaran. Terhadap kondisi yang demikian, para pencari keadilan harus menunggu waktu yang cukup lama, tanpa kejelasan kapan perkaranya berkekuatan hukum tetap dan dapat mempunyai nilai eksekutorial. Akibatnya, timbul kerugian yang dialami pencari keadilan, yaitu selain bersifat materiil juga bersifat moril, dan
5
yang bersifat moril ini mempunyai tekanan yang berkelanjutan bagi para pencari keadilan.9) Permasalahan penyerapan perkara di MA tersebut, di awal era reformasi dikatakan sebagai era bencana bagi pemberian keadilan (era of disaster in justice dispenser), yaitu sesuai dengan ungkapan justice delayed is justice denied. Artinya, keadilan yang diberikan terlambat atau ditunda, adalah sama saja dengan mengingkari atau menyangkal terhadap keadilan itu sendiri.10) Banyaknya kritikan dan saran dari pihak di luar institusi MA, mendorong MA mengambil kebijakan dalam bentuk rekomendasi. Isi pokoknya bahwa untuk meningkatkan peran dan fungsi MA sebagai badan peradilan negara tertinggi, dan terwujudnya asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, maka dituntut adanya pembatasan upaya hukum kasasi. Selain itu, dengan adanya pembatasan upaya hukum kasasi, MA akan lebih berkonsentrasi pada pemeriksaan perkara tertentu sehingga dapat berpengaruh pada perkembangan dan unifikasi hukum melalui yurisprudensi.11) Terhadap
permasalahan
menumpuknya
perkara
di
MA,
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) berdasarkan keputusannya berpendapat bahwa terjadinya penumpukan perkara tersebut dikarenakan :
9)
Panggabean, Henry P., 2001, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari – Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm.xxix. 10) Ibid., hlm. xxvii dan xxxii. 11) Mahkamah Agung RI, 1999, Pernyataan Hukum Mahkamah Agung RI Dalam Rangka Pelaksanaan TAP MPR-RI NOMOR : X/MPR/1998, MARI, Jakarta, hlm. 5.
6
a) Adanya kecenderungan pengajuan upaya hukum ke tingkat kasasi yang tidak di imbangi dengan kecepatan putusan perkara. b) Kelambanan dan kurang profesionalnya aparatur peradilan di MA. c) Terdapatnya indikasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). d) Belum adanya peraturan yang tegas mengenai pembatasan perkara kasasi. 12) Dari adanya pendapat-pendapat tersebut, khususnya untuk mencari solusi terhadap masalah penumpukan perkara di MA, maka Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meresponsnya pada saat membahas mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Agung, yaitu untuk mengurangi penumpukan perkara di MA, diwujudkan melalui pengaturan mengenai pembatasan perkara kasasi. Kemudian RUU tersebut disahkan dan diundangkan pada tanggal 15 Januari 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini membentuk norma hukum baru mengenai pembatasan upaya hukum kasasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 45A ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang menyatakan : (1) Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya. (2) Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
12)
Lampiran Keputusan MPR No.5/MPR/2003 Tentang Penugasan Kepada Pimpinan MPR RI untuk menyampaikan saran atas laporan pelaksanaan putusan MPR RI oleh Presiden, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2003.
7
a. Putusan tentang praperadilan. b. Perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau diancam pidana denda. c. Perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. Apabila mencermati tujuan penormaan pembatasan hak kasasi, secara eksplisit ditegaskan pada bagian Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tersebut, pada pokoknya menyatakan : Dalam Undang-Undang ini diadakan pembatasan terhadap perkara yang dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pembatasan ini disamping dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas putusan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat. Ironisnya, implementasi ketentuan pembatasan hak kasasi tersebut justru menimbulkan masalah yang berkenaan dengan nilai-nilai hukum dan keadilan bagi pencari keadilan. Apabila diklasifikasi, problem-problem yang ada yaitu : Pertama, adanya ketidak adilan dalam menyikapi objek sengketa TUN yang sama. Hal ini terjadi di PTUN Yogyakarta, yaitu terhadap sengketa TUN yang objeknya Surat
Keputusan Kepala Dinas
Nomor : 0112/TR/2010 tertanggal 0836/01
Perizinan Pemerintah 10
Kota Yogyakarta
Februari 2010 tentang Pemberian
Izin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB) yang terletak di Perumahan Jatimulya Baru Blok H/18, RT. 27/RW.06, Kelurahan Kricak, Kecamatan Tegalrejo, Kota
8
Yogyakarta, dalam perkara Nomor : 05/G/2010/PTUN-YK setelah di putus oleh PTUN Yogyakarta dan dimenangkan pihak Penggugat, kemudian diajukan upaya hukum banding dan di putus oleh PTTUN Surabaya dalam perkara Nomor : 14/B/2011/PT.TUN.SBY yang dimenangkan pihak Tergugat (Kepala Dinas Perizinan Pemerintah Kota Yogyakarta), akan tetapi ketika adanya upaya hukum kasasi yang diajukan pihak Penggugat oleh PTUN Yogyakarta tetap dilaksanakan, padahal pihak Tergugat berkeberatan karena perkara tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 termasuk perkara yang dibatasi tidak bisa diajukan upaya kasasi. Sebaliknya terhadap sengketa TUN yang objek sengketanya adalah Surat Walikota Yogyakarta Nomor : 503/687 tertanggal 22 Februari 2011 tentang Pemberitahuan Penutupan Usaha, dalam perkara Nomor : 06/G/2011/PTUN-YK yang telah di putus dan dimenangkan oleh pihak Penggugat, kemudian ada upaya hukum banding oleh pihak Tergugat (Walikota Yogyakarta) dan di putus oleh PTTUN Surabaya dengan Putusan Nomor : 104/B/2011/PT.TUN.SBY yang isinya tetap menguatkan putusan PTUN Yogyakarta, akan tetapi ketika pihak Tergugat akan mengajukan upaya hukum kasasi oleh pihak PTUN Yogyakarta dinyatakan perkara
tersebut
terkena
ketentuan
pembatasan
kasasi,
sehingga
yang
bersangkutan tidak diperkenankan melakukan upaya hukum kasasi. Adanya dualisme due process of law bagi pencari keadilan tersebut, dapat dikatakan bertentangan dengan prinsip fair trial (asas peradilan yang jujur dan tidak
9
memihak) terutama prinsip equality of arms (asas persamaan) meliputi hak-hak prosedural yaitu jaminan minimal para pencari keadilan.13) Selain itu, dampak negatif dari penerapan ketentuan tersebut dapat menimbulkan subjektifitas Ketua PTUN dalam menyikapi pembatasan hak kasasi dan adanya intervensi dari pihak yang diuntungkan (terutama yang dimenangkan pada
tingkat
banding).
Hal
ini
terjadi
dalam
Putusan
Nomor
:
04/G/2009/PTUN.Smg yang memenangkan pihak Penggugat, akan tetapi ketika mengajukan upaya hukum banding pihak Tergugat dimenangkan dengan Putusan Nomor : 138/B/2009/PT.TUN.SBY. Permasalahan muncul ketika pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dan pihak Tergugat kemudian keberatan melalui surat tercatat kepada PTUN Semarang karena dianggap objek yang disengketakan termasuk dalam ketentuan yang tidak bisa diajukan kasasi, akan tetapi Ketua PTUN Semarang tetap mengirimkan berkas kasasi tersebut, sehingga pihak Tergugat mengintervensi dengan cara melaporkan Ketua PTUN Semarang kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial. Masalah lainnya, pemberlakuan pembatasan hak kasasi tidak dapat berjalan dengan
baik,
seperti
yang terjadi
di
PTUN
Medan
yaitu
semenjak
diberlakukannya pengaturan pembatasan kasasi (tahun 2004) hingga akhir tahun 2013, baru satu kali melakukan penerapan ketentuan pembatasan kasasi, sekalipun banyak perkara yang disengketakan memenuhi unsur dibatasi upaya hukum kasasinya.
13)
Lihat Ahmad Fauzan (Penerjemah), 1997, Fair Trial (Prinsip-Prinsip Peradilan yang Adil dan Tidak Memihak), YLBHI, Jakarta, hlm. 16-17.
10
Kedua, banyak pihak pencari keadilan (justitiabelen) merasa dilanggar haknya untuk mengajukan upaya hukum kasasi. Bahkan beberapa pencari keadilan sudah berupaya mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), akan tetapi upaya mencari keadilan tersebut tidak diperolehnya. Tidak diperolehnya keadilan bagi pihak pemohon, dikarenakan Putusan MK Nomor : 23/PUU-V/2007, yang dimohon oleh salah satu perusahaan swasta di Kabupaten Kutai Timur dan Putusan MK Nomor : 28/PUU-X/2012, yang dimohon oleh seorang mantan Kepala Desa di Kabupaten Pasuruan, sama-sama memperkuat eksistensi pembatasan hak kasasi dalam ruang lingkup sistem peradilan TUN. Adanya dua pengujian terhadap ketentuan yang sama yaitu Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, membuktikan bahwa norma hukum tersebut dianggap merugikan hak para pencari keadilan. Meskipun MK berpendapat tidak bertentangan dengan konstitusi, dengan argumentasi bahwa pemeriksaan perkara di tingkat kasasi tidak lagi menjadi kebutuhan yang mendesak apabila kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding telah mencerminkan nilai-nilai hukum dan keadilan yang berlaku dalam masyarakat, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang tentang MA di atas. Oleh karena itu, dorongan ke arah peningkatan kualitas putusan pengadilan yang demikian justru harus di dukung oleh semua pihak, termasuk dan terutama oleh pembentuk undang-undang bukan hanya terhadap perkara yang merupakan kompetensi absolut dari pengadilan dalam lingkungan peradilan TUN melainkan juga dalam semua lingkungan peradilan. MK berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak ada sangkut-pautnya dengan hak atas perlakuan yang sama dalam pemerintahan.
11
Jadi, sepanjang menyangkut hak atas perlakuan yang sama dalam pemerintahan, dalil Pemohon tidak beralasan, dan jika dalam putusan hakim yang terhadapnya tidak dapat dimohonkan kasasi itu terdapat kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan yang dapat menyebabkan kerugian hak konstitusional Pemohon, maka Pemohon masih dimungkinkan untuk mengajukan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali ke MA yang berwenang memperbaiki kekeliruan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Meskipun putusan MK membenarkan adanya pembatasan hak kasasi, akan tetapi terhadap perkara tersebut salah satu Hakim Konstitusi telah menyatakan perbedaan pendapat (melakukan dissenting opinion), yang pada intinya menyatakan bahwa sebagai negara kesatuan (eenheidsstaat) Republik Indonesia dibangun berdasarkan pemerintahan desentralisasi. Pasal 18 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945, menetapkan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Pemerintahan desentralisasi mempunyai arti adanya penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah sering menimbulkan kasus-kasus (berupa KTUN dan/atau tindakan administrasi pemerintahan) di daerah-daerah otonom. Karena kompleksitasnya aspek rechtmatigheid dari sengketa TUN tersebut, maka membutuhkan upaya peradilan
12
kasasi. Perlunya pemeriksanaan peradilan kasasi dari para judex juris secara menyeluruh, bukan hanya berkenaan dengan aspek fakta hukum. Dengan demikian, pemeriksaan kasasi bagi sengketa TUN di daerah-daerah otonom merupakan keniscayaan hukum. Selain itu, membatasi pemeriksaan kasasi terhadap sengketa TUN yang jangkauan keputusan pejabat daerahnya berlaku di wilayah daerah otonom yang bersangkutan pada hakikatnya merupakan pemberian peradilan secara diskriminatif terhadap para pencari keadilan (justitiabelen) di daerah-daerah otonom. Hal tersebut melanggar persamaan kedudukan dalam hukum bagi para warga negara (equality before the law) yang dijamin Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Para pencari keadilan di daerah otonom tidak akan mendapatkan lagi perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana dijamin dalam konstitusi, khususnya menurut Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Ketiga, ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang menyatakan sengketa TUN yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan, bersifat multi tafsir, karena secara normatif tidak ada limitatifnya. Meskipun pada bagian penjelasan ketentuan tersebut menegaskan KTUN yang dimaksud adalah yang berasal dari kewenangan yang tidak diberikan kepada daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, masih belum ada kejelasan kriteria, apakah termasuk asas desentralisasi atau asas dekonsentrasi
13
atau juga asas tugas pembantuan (sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2014) ? hal ini berkaitan dengan arti norma pembatasan kasasi di PTUN, yaitu “kewenangan yang tidak diberikan kepada daerah” apa juga termasuk makna “diberikan”, karena UU No. 23 Tahun 2014 hanya mengenal istilah “penyerahan wewenang” bagi desentralisasi, “pelimpahan wewenang” bagi dekonsentrasi, dan “penugasan” bagi tugas pembantuan, dengan demikian apakah konsep “diberikan” disama artikan “penyerahan” (desentralisasi) dan apakah “penugasan” (tugas pembantuan) tidak termasuk “diberikan” ? selanjutnya, apakah urusan pemerintahan konkuren atau urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah tersebut hanya meliputi urusan pemerintahan wajib ataukah urusan pemerintahan pilihan (sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014) ? Dengan adanya permasalahan makna tersebut, menjadikan perbedaan pendapat di kalangan praktisi hukum dan para pencari keadilan, sehingga tidak jarang menimbulkan problematika yang berkenaan dengan nilai-nilai hukum dan keadilan. Keempat, kondisi demikian tentunya menggeser tujuan filosofi penegakan hukum dan keadilan dalam sistem peradilan TUN. Pada prinsipnya dalam sistem peradilan TUN bertujuan memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan sengketa TUN dalam kerangka menegakkan hukum dan keadilan. Dalam koridor hukum dan keadilan ini, penegak hukum tidak boleh mengenyampingkan keadilan
14
prosedural dan keadilan substansial.14) Penerapan keadilan prosedural sangat urgen, sehingga menurut Harifin A. Tumpa, keadilan substansial tidak akan bisa dilaksanakan sebelum melalui keadilan prosedural.15) Ada yang mempersepsikan keadilan prosedural adalah keadilan dalam hal menerapkan hukum formil, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur tata cara memeriksa dan mengadili suatu perkara. Sedangkan keadilan substansial diartikan sebagai keadilan dalam menegakan hukum materiil, yaitu hukum yang mengatur akibat hukum dari suatu hubungan hukum atau suatu peristiwa hukum.16) John Rawls menjumbuhkan keadilan prosedural (prosedural justice) dengan prinsip persamaan kesempatan (equal oppurtunity principle) dalam sebuah sistem bersama dan berkaitan erat dengan keadilan distributif (distributive justice).17) Kelima, dikesampingkannya asas peradilan berjenjang dalam hukum acara di peradilan TUN, dengan pertimbangan bahwa pembatasan perkara kasasi adalah karena untuk menghindari penumpukan perkara di MA dan menerapkan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Peradilan berjenjang pada asasnya adalah upaya untuk memberikan putusan yang mengandung keadilan yang mendekati kesempurnaan, sehingga asas ini dikenal juga sebagai tolok ukur atribusi vertikal yang berhubungan dengan tuntutan keadilan dari para pencari keadilan.18) Hal
14)
Harifin A. Tumpa, 2011, Reformasi Mahkamah Agung, Rangkang Education dan Pusat Kajian Politik, Demokrasi, dan Perubahan Sosial (PuKap), Yogyakarta hlm. 44. 15) Ibid, hlm. 45. 16) Ibid, hlm. 41. 17) John Rawls, 1971, A Theory Of Justice, The President and Fellows of Harvard College, The US of America, hlm. 86-87. 18) Tolok ukur atribusi bertujuan untuk membedakan dan memisahkan lingkungan peradilan yang satu dengan peradilan lainnya. Dibedakan menjadi atribusi horisontal yaitu peradilan administrasi murni ditentukan oleh
15
ikhwal demikian dapat dicapai dengan pemeriksaan perkara secara bertingkat yang sesuai dengan jenjang piramidal peradilan, berdasarkan sistem kesatuan peradilan yaitu MA sebagai muara atau pengadilan puncaknya.19) Pada perkembangannya, berdasarkan Keputusan Ketua MA Nomor : 017/KMA/SK/II/2012
Tentang
Perubahan
SK
KMA
Nomor
142/KMA/SK/IX/2011 Tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar pada MA yang ditetapkan pada tanggal 3 Februari 2012, saat ini di MA telah diberlakukan sistem kamar. Artinya, khusus sengketa TUN diselesaikan oleh hakim agung khusus yang menangani sengketa TUN, berbeda dengan sebelum diterapkannya sistem kamar, yaitu para hakim agung Tim C yang sebenarnya khusus menangani perkara TUN, akan tetapi pada kenyataannya juga menangani perkara perdata dan pidana, sehingga perkara TUN menjadi terhambat penyelesaiannya. Dari segi beban perkara, berdasarkan Laporan Tahunan 2013 MA yang disampaikan pada Februari 2014, upaya hukum berupa kasasi dalam lingkup TUN berjumlah 564 perkara (dalam kurun waktu satu tahun yaitu di tahun 2013), ditambah sisa perkara di tahun 2012 berjumlah 212 perkara, sehingga secara keseluruhan beban perkara kasasi berjumlah 776 perkara. Dari jumlah tersebut, yang bisa diselesaikan dalam kurun waktu satu tahun (di tahun 2013) adalah 704
tolok ukur “subjek” dan “pangkal sengketa”, sedangkan tolok ukur atribusi vertikal adalah kemampuan memberi putusan yang mengandung keadilan yang mendekati kesempurnaan (memenuhi tuntutan hati nurani berupa keadilan dilapangan hukum), dikarenakan pengadilan yang lebih tinggi terdiri dari para hakim yang telah memenuhi persyaratan (usia, keahlian, pengalaman, arief-bijaksana, dan berwibawa). Sjahran Basah, 1985, Eksistensi Badan Peradilan Administrasi Dan Tolok Ukur Atribusinya Untuk Indonesia (Suatu Pemikiran), Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, hlm. 266267. 19) Sjahran Basah, 1992, Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Administrasi (HAPLA), Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 12-13.
16
perkara, sedangkan 72 perkara masih tersisa, yang akan diselesaikan pada tahun 2014. Jadi rasio sengketa TUN di tingkat kasasi yang dapat diselesaikan oleh MA adalah 90,72%, dan sisa perkara yang menjadi tunggakan di tahun berikutnya sebanyak 9, 28%. Selain itu, pada umumnya berperkara di pengadilan adalah untuk menemukan atau mencari penyelesaian hukumnya, akan tetapi secara faktual para pencari keadilan tetap berusaha menempuh upaya hukum yang tersedia, seperti PK ke MA oleh karena upaya hukum PK ini secara normatif tidak ada pembatasan hak untuk diajukan. Hal ini tentunya membawa konsekuensi tidak efektifnya upaya mengurangi pemeriksaan perkara kasasi di MA, karena MA kembali dibebani dengan perkara Peninjauan Kembali (PK). Di tahun 2013 upaya PK yang ditangani Hakim Agung Kamar TUN berjumlah 1.180 perkara, di tambah sisa perkara PK di tahun 2012 berjumlah 1.045 perkara, sehingga jumlah keseluruhan perkara PK yang harus diselesaikan adalah 2.225 perkara. Dari jumlah tersebut, yang berhasil diputus berjumlah 1.699 perkara dan sisa perkara yang menjadi tunggakan ditahun 2014 ada 526 perkara, dengan demikian rasio yang dapat diputus ditingkat PK ini adalah 76,36%, dan sisanya 23,64% menjadi tunggakan perkara. Berikutnya, mengenai prinsip persidangan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan dianggap kurang tepat sasaran apabila yang dibatasi adalah KTUN yang bersifat kedaerahan (otonom), karena sengketa TUN yang dilakukan dengan acara cepat justru tidak dibatasi upaya hukum kasasinya. Padahal dilakukannya pemeriksaan dengan acara cepat didasari adanya
17
permohonan yang disebabkan objek sengketa TUN tersebut harus segera dilaksanakan (misalnya : KTUN yang berkenaan dengan pemberhentian Pejabat atau PNS). Selain itu, terhadap sengketa TUN yang memerlukan percepatan penyelesaian sengketanya juga tidak dibatasi, misalnya : sengketa TUN yang berupa KTUN pengadaan barang/jasa dibatasi oleh anggaran keuangan negara yang pada tahun itu juga harus segera dilaksanakan. Keenam, masih adanya perbedaan pandangan, perlunya pengujian suatu sengketa oleh lembaga peradilan yang berwenang atau berkedudukan sebagai judex juris dan judex factie. Permasalahannya, banyak kalangan menyatakan bahwa pengadilan tingkat pertama (PTUN) dan tingkat banding (PTTUN) hanya berkedudukan sebagai peradilan judex factie, sedangkan MA sebagai peradilan judex juris (meskipun ada beberapa ahli yang berpendapat selain sebagai peradilan judex factie
juga sebagai judex juris).20) Jadi, hanya MA yang
berkedudukan sebagai judex juris. Hal ini dikarenakan MA sebagai lembaga peradilan kasasi berdasarkan ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor UU 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, mempunyai wewenang menguji apabila judex factie (pengadilan dibawahnya atau PTUN dan PTTUN) tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, dan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
20)
Marbun, SF., 2011, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif diIndonesia, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 299 dan 303. Bandingkan dengan W. Riawan Tjandra, 2011, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm. 150 dan 154, dan Sjahran Basah, Op.Cit., hlm. 10.
18
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Dengan demikian, tidak adanya upaya hukum kasasi, dapat dianggap pencari keadilan telah kehilangan tahap pengujian secara judex juris. Lebih merugikan lagi, adanya pendapat ahli hukum yang menyatakan pada prinsipnya perkara yang dimaksud dalam ketentuan pembatasan hak kasasi ini juga diartikan sebagai tidak dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali.21) Adanya penormaan pembatasan upaya hukum kasasi, akan ada paradigma baru dalam penyelesaian sengketa TUN. Paradigma baru tersebut setidaknya dalam dua hal, yaitu adanya sistem penyelesaian sengketa TUN dalam dua tingkat dan kewenangan Pengadilan Tingggi TUN tidak hanya sebagai judex factie saja, melainkan dapat juga berkedudukan sebagai judex juris. Oleh karenanya, perlu dalam penelitian ini, mengkaji pergeseran paradigma tersebut. Gambar 1. Bentuk Piramida Atau Skema Hirarkhi Lembaga Peradilan TUN
MA Judex Factie
Judex Factie
Judex Juris
PTTUN PTUN
Ps 45A ayat (2) huruf C UU No. 5 Tahun 2004 : Membatasi perkara TUN yang dapat diajukan Kasasi, yaitu perkara TUN yang objek gugatannya berupa keputusan Pejabat Daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah yang bersangkutan.
Penjelasan Ps 45A ayat (2) huruf C UU No. 5 Tahun 2004 : Dalam ketentuan ini tidak termasuk keputusan Pejabat TUN yang kewenangan yang tidak diberikan kepada daerah sesuai peraturan perundang-undangan
(Sumber : diolah peneliti dari Muchsan, 2007, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 50., Soehino, 2000, Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 242., dan Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah, 2011, Perbedaan Pendapat Dalam Putusan Pengadilan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hlm.4.)
21)
Eko Sugitario dan Tjondro Tirtamulia, 2012, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Brilian Internasional, Surabaya, hlm. 117.
19
Disamping itu, dengan adanya pembatasan hak kasasi ini memerlukan sebuah lembaga baru yang melakukan pengawasan agar terwujud unifikasi hukum dan kepastian hukum, sehingga apabila terdapat sengketa hukum yang objek sengketanya ada titik singgung antar lembaga peradilan, karena sebelumnya lembaga untuk melaksakan fungsi pengawasan tersebut adalah peradilan kasasi. Permasalahan ketidakpastian hukum dapat terjadi apabila masing-masing peradilan TUN tingkat pertama dan banding mempunyai persepsi yang berbeda terhadap suatu objek sengketa. Beranjak dari adanya pengaturan pembatasan hak kasasi sebagaimana telah diuraikan tersebut, pada implementasinya menimbulkan permasalahan yang berkenaan dengan nilai hukum dan keadilan,22) khususnya bagi kepentingan pencari keadilan. Kepentingan di sini kaitannya dengan hukum administrasi negara mengandung dua arti, yaitu menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum dan kepentingan proses atau apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan. Selain permasalahan pembatasan hak kasasi yang sudah berjalan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, dalam perkembangannya pada tanggal 17 Oktober 2014
22)
Nilai di sini bermakna sesuatu yang diinginkan atau sesuatu yang tidak diinginkan, yang bertumpu pada sesuatu yang positif, benar, baik, dan bagus. Nilai mempunyai sifat idiil, sedangkan yang tampak hanyalah fakta (benda/peristiwa/sikap tindak atau perilaku) yang mengandung nilai. Dengan demikian, nilai merupakan suatu keputusan yang dihasilkan pertimbangan manusia setelah menghayati akan sesuatu dengan cara merenungkan sedalam-dalamnya terhadap sesuatu itu. Abubakar Busro, 1989, Nilai dan Berbagai Aspeknya Dalam Hukum : Suatu Pengantar Studi Filsafat Hukum, Bharata, Jakarta, hlm. 1-2. Nilai dalam hal ini dapat berasal dari kelompok masyarakat yang merupakan resultante dari nilai yang terdapat pada perseorangan (individual), ataupun berasal dari kelompok orang-orang yang memegang wewenang (authority). Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 22.
20
telah diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, yang di dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1), (2), dan (6) pada pokoknya menyatakan bahwa “Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara terhadap permohonan ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan / atau tindakan badan dan / atau tindakan pejabat pemerintahan bersifat final dan mengikat”. Meskipun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 telah berlaku, akan tetapi Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang di dalamnya terdapat hukum formil, belum menyesuaikan undang-undang yang menjadi hukum materiil hukum administrasi negara tersebut, begitupun dengan peraturan pelaksanaannya, yang berdasar ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, peraturan pelaksanaannya harus sudah ditetapkan dalam waktu 2 (dua) tahun semenjak di undangkannya undang-undang ini. Dengan adanya ketentuan baru tersebut, yang pelaksanaannya belum sepenuhnya dapat ditindak lanjuti dalam praktek, maka peneliti tidak akan mengkajinya lebih lanjut.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian tersebut, maka dapat di identifikasikan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan dan pelaksanaan pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN apabila dikaitkan dengan prinsip keadilan prosedural dan keadilan substansial ?
21
2. Faktor-faktor apa yang menjadi hambatan pada pelaksanaan pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN dan konsekuensi hukumnya bagi pencari keadilan ? 3. Langkah hukum apa yang dapat dilakukan agar pengaturan pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN memberikan perlindungan hukum bagi pencari keadilan ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan yang bersifat deskriptif, yaitu untuk mengidentifikasi, mendeskripsi, dan mengevaluasi pengaturan maupun pelaksanaan pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN di Indonesia, kaitannya dengan keadilan prosedural dan keadilan substansial. 2. Tujuan yang bersifat kreatif, yaitu menganalisis dan mengevaluasi faktorfaktor yang menjadi hambatan pada pelaksanaan pembatasan hak kasasi dalam sistem Peradilan TUN dan konsekuensi hukumnya bagi pencari keadilan. 3. Tujuan yang bersifat inovatif, yaitu mencari solusi untuk menemukan bentuk pengaturan kriteria pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN guna dalam pelaksanaannya memberikan perlindungan hukum bagi pencari keadilan sesuai prinsip keadilan prosedural dan keadilan substansial.
22
D. Manfaat Penelitian Faedah dalam penelitian ini diharapkan ada manfaatnya bagi ilmu pengetahuan secara teoretis dan secara praktis, yang diuraikan sebagai berikut : 1. Secara teoretis : Memberikan kontribusi terhadap hukum kenegaraan khususnya hukum administrasi negara, yaitu dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan konsep maupun kriteria atau karakteristik hak kasasi yang dapat dibatasi dan tidak dapat dibatasi dalam sistem peradilan TUN sesuai prinsip keadilan prosedural dan keadilan substansial. Selain itu, penelitian ini juga diorientasikan untuk menguraikan makna pembatasan hak kasasi dalam sistem peradilan TUN di Indonesia dan urgensinya bagi pencari keadilan. 2. Secara praktis : Memberikan hasil pemikiran yang konseptual dan merekomendasikannya agar terwujud penegakan hukum administrasi negara yang konsisten, valid, efektif dan efisien dalam sistem Peradilan TUN, yaitu ketika menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN tanpa melanggar prinsip keadilan prosedural dan keadilan substansial. Dengan demikian, selain tidak menghambat pelaksanaan keputusan atau tindakan administrasi pemerintahan yang digugat, karena dilakukan pemerintah dalam rangka pembangunan atau untuk kepentingan umum, juga memberikan perlindungan hukum bagi pencari keadilan. Bahkan, diharapkan mempunyai nilai guna pengembangan kebijakan dan hukum agar ada singkronisasi ketentuan
23
mengenai kriteria atau karakteristik pembatasan hak kasasi dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dapat mewujudkan suatu kepastian hukum yang berkeadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai falsafah Pancasila dan UUD 1945.
E. Keaslian Penelitian Penelitian disertasi yang pernah dilakukan dan berkenaan dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah disertasi Willibrordus Riawan Tjandra di Universitas Gadjah Mada dengan judul “Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Mendorong Terwujudnya Pemerintahan Yang Bersih Dan Berwibawa (Clean and Strong Government)” yang telah diujikan pada bulan Agustus tahun 2009. Permasalahan yang diteliti adalah pertama, bagaimana putusan PTUN dapat mendorong terwujudnya pemerintah yang bersih dan berwibawa ? Kedua, kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh PTUN dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan putusan PTUN untuk mendorong terwujudnya pemerintah yang bersih dan berwibawa ? Ketiga, langkah-langkah apa yang dilakukan supaya PTUN mampu melaksanakan
fungsinya untuk
mendorong terwujudnya
pemerintah yang bersih dan berwibawa ? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif, dan melakukan kajian terhadap putusanputusan PTUN, dengan lokasi penelitian di wilayah hukum PTUN Yogyakarta. Hasil dari penelitian disertasi ini diperoleh kesimpulan umum bahwa fungsi peradilan tata usaha negara dalam mendorong terwujudnya pemerintah yang
24
bersih dan berwibawa telah dapat dilaksanakan, hanya saja pelaksanaan fungsi tersebut belum sepenuhnya optimal. Upaya untuk mengoptimalisasikan fungsi peradilan tata usaha negara tersebut dapat dilakukan dengan memperkuat landasan negara hukum demokratis dan keseimbangan kekuasaan diantara unsur-unsur kekuasaan negara sesuai dengan prinsip pembagian kekuasaan negara (distribution of power) baik di Pusat maupun Daerah. Disertasi lainnya yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui peradilan tata usaha negara di Indonesia, pernah ditulis oleh Lintong Oloan Siahaan yang telah diujikan pada bulan Juni tahun 2004 di Universitas
Indonesia,
dengan judul
“Prospek PTUN Sebagai
Pranata
Penyelesaian Sengketa Administrasi Di Indonesia”. Dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan pokok yaitu apakah perlu mempertahankan PTUN ? Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yuridis-normatif
dengan
fokus
penelitian
terhadap
dokumen-dokumen
perkembangan PTUN di Indonesia berupa ketentuan peraturan perundangundangan, putusan-putusan dan yurisprudensi yang di dapat melalui kearsipan di beberapa Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung. Selain itu juga melakukan studi komparatif di beberapa negara yaitu Perancis, Nederland, Amerika Serikat dan Australia. Disertasi ini menghasilkan temuan diantaranya bahwa Peradilan Tata Usaha Negara masih tetap diperlukan di tengah-tengah keberadaan pranata-pranata lain yang juga menyelesaikan sengketa administrasi. Antara peradilan tata usaha negara dengan pranata-pranata lain tersebut tidak
25
bertentangan satu sama lain, bahkan saling isi-mengisi atau saling melengkapi. Mereka mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda satu sama lain, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama, yaitu sama-sama melakukan kontrol terhadap pemerintah / penguasa, demi kemakmuran bersama (welfare state). Temuan lainnya, selama satu dasawarsa keberadaan PTUN dijumpai beberapa hambatanhambatan, akan tetapi dalam penelitian ini sekaligus juga ditemukan “rumusanrumusan maupun konsep-konsep”, yang dapat membuat PTUN itu berkembang, sehingga menjadi lebih efektif. Kedua disertasi tersebut penelitiannya difokuskan pada fungsi dan prospek peradilan tata usaha negara, sedangkan penelitian disertasi mengenai pembatasan upaya hukum kasasi dalam lingkungan peradilan tata usaha negara sepengetahuan peneliti belum ada. Penelitian dengan tema ini sudah diteliti dalam bentuk tesis, yaitu ditulis oleh Kusman dan telah diujikan pada bulan Agustus tahun 2009 di Universitas Gadjah Mada dengan judul “Pembatasan Kasasi Perkara Tata Usaha Negara Dalam Rangka Penegakan Hukum Bagi Pencari Keadilan Dalam Bidang Hukum Administrasi (Administrabelle)”, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, pertama, bagaimana pembatasan kasasi perkara tata usaha negara dalam rangka memberikan penegakan hukum bagi administrabelle? Kedua, mampukan pembatasan kasasi perkara tata usaha negara memberikan penegakan hukum bagi administrabelle? Ketiga, langkah-langkah hukum apa yang dapat ditempuh agar pembatasan kasasi perkara tata usaha negara dapat memberikan penegakan hukum bagi administrabelle? Sifat penelitian ini adalah yuridis-
26
normatif, dengan lokasi penelitian di PTUN Yogyakarta. Kesimpulan pada tesis ini intinya menghasilkan temuan bahwa pembatasan perkara kasasi sebagaimana diatur pada Pasal 45A ayat (2) huruf c sepanjang pembatasan kasasi tersebut telah diatur dalam undang-undang dan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan juga terhadap pihak yang mempunyai kualifikasi sama dihadapan hukum diperlakukan sama, maka ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan hak asasi manusia maupun asas equality before the law. Lebih lanjut, pembatasan kasasi perkara tata usaha negara ternyata belum mampu memberikan penegakan hukum bagi administrabelle dan perlunya penyempurnaan peratuan pembatasan kasasi perkara tata usaha negara khususnya peraturan pelaksana Pasal 45A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Tesis lainnya dengan tema yang sama adalah diteliti oleh Sutiyono dan telah diujikan pada bulan Juli tahun 2007 di Universitas Bengkulu dengan judul “Problematik Pembatasan Upaya Hukum Kasasi Pada Peradilan Tata Usaha Negara”. Ada tiga permasalahan yang diteliti, yaitu : pertama, bagaimana pembatasan upaya hukum kasasi pada peradilan tata usaha negara? Kedua, apa saja problem yang dihadapi dalam penerapan pembatasan upaya hukum kasasi pada peradilan tata usaha negara? Ketiga, bagaimana pandangan kritis terhadap pembatasan kasasi pada peradilan tata usaha negara? Sifat penelitian ini adalah yuridis-normatif, dengan lokasi penelitian di PTUN Bengkulu. Hasil dari penelitian tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa upaya hukum kasasi pada peradilan tata usaha
27
negara secara umum masih
berlaku, ketentuan Pasal 45A ayat (2) c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 merupakan bentuk pengecualian. Dalam penerapan pembatasan upaya hukum kasasi terjadi disparitas antara PTUN yang satu dengan yang lainnya, baik dalam pelaksanaan maupun bentuk atau format penuangannya, selain itu terjadi kenaikan jumlah perkara kasasi dalam lingkup Peradilan Tata Usaha Negara antara periode Januari 2003 sampai dengan Desember 2003 sebelum adanya instrumen pembatasan upaya hukum kasasi. Oleh karenanya, beberapa konsepsi tentang pembangunan hukum nasional yang ada, secara umum telah menyadari terjadi penumpukkan perkara di MA, dan telah disepakati secara konseptual bahwa yang ingin dilaksanakan untuk mengatasi penumpukan perkara di MA tersebut adalah dengan membangun sistem. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini berbeda dengan penelitian dari dua disertasi dan dua tesis tersebut, terutama terhadap dua tesis yang meneliti dengan tema yang sama. Perbedaan dan nilai orisinalitas dari penelitian ini yaitu dalam hal variabel penelitiannya: pertama, variabel bebas (variabel penyebab) penelitian ini adalah pembatasan hak kasasi; kedua, variabel terikat (variabel akibat) adalah konsekuensi hukum pembatasan hak kasasi; dan ketiga, variabel moderator atau penengahnya adalah sistem peradilan TUN. Dari ketiga variabel ini, peneliti akan menganalisa pengaturan dan implementasi pembatasan hak kasasi dalam sistem peadilan TUN yang dikaitkan dengan prinsip keadilan prosedural dan substansial, faktor-faktor penghambat dan konsekuensi hukumnya bagi pencari keadilan, serta tindakan solutif agar pengaturan pembatasan hak
28
kasasi dalam sistem peradilan TUN memberikan perlindungan hukum bagi pencari keadilan sesuai keadilan prosedural dan substansial. Perbedaan selanjutnya, metode atau cara penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat normatif dan empiris, yaitu selain mengkajinya dengan menggunakan bahan pustaka (sebagai data sekunder) berupa bahan hukum (primer, sekunder, dan tersier), juga menggunakan studi empiris berupa data primer untuk mendukung penelitian normatif dalam menganalisa kenyataan yang terjadi, terutama hasil putusan peradilan TUN yang membatasi hak kasasi pencari keadilan, dan nantinya akan dievaluasi pengaturannya. Dalam cara penelitian tersebut, pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian hukum ini, menggunakan pendekatan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan historis (hystorical approach), pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan kasus (case approach). Kemudian, lokasi penelitian ini adalah adalah PTUN Yogyakarta, PTUN Semarang, PTUN Bandung, PTUN Medan, dan Mahkamah Agung.
29