BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Salah satu dampak dari perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) melahirkan sebuah lembaga peradilan baru yang bernama Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK). Munculnya MK ini dilandasi perlunya pengawal konstitusi (guardian of Constitution) yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat terkendali1 dan penguatan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances). Hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang terkontrol dalam hubungan antara lembaga negara satu dengan lembaga yang lain.2 Adanya fungsi tersebut dapat menjamin adanya harmonisasi dalam peraturan perundang-undangan terutama antara UU dengan UU lain maupun UUD 1945. Konsep MK Republik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari model judicial review Austria. Hal tersebut dikarenakan Austria merupakan pelopor dari peradilan khusus yang menangani pengujian peraturan perundang-undangan. Hans Kelsen (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi
1
University
of
Vienna
adalah
orang
yang
pertama
kali
Bactiar, 2015, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian UU terhadap UUD, Raih Asa Sukses, Jakarta hlm. 108 2 Haposan Siallagan, “Masalah Putusan Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang”, Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 1, Februari 2010, hlm. 71.
2
memperkenalkan konsep tersebut.3 Kehadiran MK diharapkan untuk menjamin adanya perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara melalui pengadilan.4 UUD 1945 memberikan beberapa kewenangan kepada MK untuk menjamin terjadi penguatan prinsip checks and balances serta mewujudkan fungsi sebagai pengawal konstitusi. Salah satu kewenangan yang diberikan konstitusi kepada MK adalah kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945.5 Kewenangan tersebut memposisikan MK sebagai penafsir tertinggi konstitusi (the sole and the highest interpreter of the constitution)6, pengawal konstitusi (guardian of constitution) dan juga sebagai negative legislator.7 Adanya kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, MK diharapkan menjadi ujung tombak dalam penegakan keadilan terhadap perlindungan hak-hak konstitusional warga negara.8 MK dalam melaksanakan fungsi dan tujuannya menghadapi beberapa permasalahan terkait dengan efektivitas pelaksanaan dan implementasi putusan yang dikeluarkan. Putusan MK ada yang tidak dapat dilaksanakan sehingga efektivitas putusan tersebut dipertanyakan. Terkait dengan permasalahan 3
Janedri M. Gaffar., 2011, Kedudukan, Fungsi, dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Makalah, hlm. 3. 4 Pengantar Redaksi, Jurnal Konstitusi Vol. 10, No. 1, Maret 2013, hlm. iii 5 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan ke-Tiga (Lembaran Negara tahun 2006 Nomor 13) Pasal 24C ayat (1) menyatakan “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” 6 Mahrus Ali, “Mahkamah Konstitusi dan Penafsiran Hukum yang Progresif”, Jurnal Konstitusi,Vol. 7, No. 1, Februari 2010, hlm. 68. 7 Makna dari negative Legislator adalah dapat membatalkan ketentuan suatu Undangundang. Lihat Simon Butt, “Posisi Hukum Islam di Indonesia berdasarkan Tafsir MK”, Majalah Konstitusi, No. 91, September 2014, hlm. 68 8 Haposan Siallagan, Op. cit, hlm. 72
3
efektivitas putusan MK, Penulis menemukan fakta bahwa permasalahan tersebut juga sering dialami oleh lembaga peradilan sejenis di berbagai belahan dunia. Georg Vanberg dalam “The Politics of Contitutional Review in Germany‖ memaparkan beberapa contoh problem implementasi yang berujung pada efektivitas putusan yang dialami MK dan pengadilan di beberapa negara. Salah satu putusan yang bermasalah adalah putusan final MK Republik Federal Jerman9 (FCC) pada Agustus tahun 1995 dalam perkara Crucifix (salib). Putusan tersebut dikecam oleh pendeta-pendeta gereja yang berkolaborasi dengan politisi di Parlemen. Helmut Kohl yang saat itu menjabat Perdana Menteri Republik Federal Jerman, bahkan menuduh putusan tersebut tidak komprehensif.10 Kejadian sejenis juga pernah terjadi di Amerika Serikat terkait dengan putusan Supreme Court yang tidak implementatif.11 Pada tahun 1983, Supreme Court memutus perkara INS versus Chadha yang berpaut dengan prinsip separation of power (pemisahan kekuasaan). Putusan itu ternyata memunculkan reaksi Kongres yang sarat muatan politis dan potensial masuk ke dalam kategori non-compliance. Menghadapi permasalahan tersebut, Supreme Court segera bertindak untuk memastikan bahwa putusannya ditindaklanjuti organ UU lewat cara menerbitkan injunction.12
9
Federal Constitutional Court (Bundesverfassungsgerich.). Lihat Hans Slomp, 2011, Europe, a Political Profile: An American Companion to European Politics, Volume I, ABCCLIO, Denver, hlm. 368. 10 Fajar Laksono, et. all., “Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUUX/2012 Terkait Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang”, Jurnal Konstitusi,Vol. 12, No. 3, Sepetember 2015, hlm. 544. 11 Ibid. 12 Ibid.
4
MK Russia13 juga sering dihadang oleh problem ketidakpatuhan. Putusan MK Federasi Rusia kerap sulit diimplementasikan setelah ditolak oleh otoritas regional. Realitas ini cenderung melahirkan pertentangan akut antara Pemerintah Moskwa dan pemerintah negara-negara bagian. Salah satu alasannya, karena pemerintah negara bagian terus menerus berupaya memperluas otonomi mereka.14 Terkait dengan permasalahan efektivitas putusan MK, Penulis menemukan 21 (dua puluh satu) putusan MK yang efektivitasnya bermasalah. Adapun Putusan-putusan yang bermasalah antara lain:
Tabel 1.1 Putusan MK yang Efektivitasnya Diragukan
NO
NOMOR PUTUSAN 1 49/PUU-X/2012
13
URAIAN Putusan MK tentang pengujian UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Notaris. Pengujian ini bertujuan untuk membatalkan ketentuan mengenai persetujuan Majenis Notaris Daerah terkait dengan pengambilan alat bukti terkait dengan minuta dan pemanggilan notaris untuk hadir dalam pemeriksaan. MK mengabulkan permohonan tersebut. Putusan ini diduga tidak efektif karena pada UU perubahan (UU Nomor 2 tahun 2014) memunculkan norma yang telah dibatalkan oleh MK.15
Constitutional Court of the Russian Federation (Конституционный Суд Российской Федерации). Lihat Magdalena Forowicz, 2010, The Reception of International Law in the European Court of Human Rights, Oxford University Press, New York, hlm. 349. 14 Fajar Laksono, Op. Cit. 15 Dasar permohonan pemohon pada putusan MK nomor 72/PUU-XII/2014 ―Kedua aturan tersebut (yaitu: Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 02 Tahun 2014 dan Pasal 66 ayat(1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris) dengan terang dan
5
2 013/PUU-IV/2006 3 022/PUU-IV/2006
4 34/PUU-XI/2013
5 137/PUU-VII/2009
Putusan MK mengenai pengujian UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP terhadap UUD 1945. Putusan 013-22/PUU-IV/2006 dimohonkan terkait dengan adanya ketentuan mengenai tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Putusan ini diduga tidak efektif terkait dengan wacana munculnya kembali pasal penghinaan Presiden pada RUU KUHP.16 Putusan MK mengenai pengujian UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945. Pengujian ini dimohonkan terkait dengan pembatasan permohonan peninjauan kembali satu kali saja. Putusan ini diduga tidak efektif mengingat dimunculkan kembali ketentuan yang dibatalkan MK dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang hanya memperbolehkan peninjauan kembali sebanyak satu kali.17 Putusan MK mengenai pengujian UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan
jelas mengatur substansi yang sama persis, yaitu tentang pengambilan fotokopi munita akta dan pemanggilan Notaris, dimana ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris harus dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD), sedangkan menurut ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2014 harus dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN).‖ Lihat Putusan MK Nomor 72/PUU-XII/2014 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 26 Agustus 2015, hlm. 12. 16 Lihat Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Buku kedua, Bab II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden Dan Wakil Presiden pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 264. Pasal 263 (1)Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2)Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Pasal 264 Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. 17 Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. Pada poin ketiga berbunyi: “Berdasarkan hal tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 (satu) kali.”
6
6
7 8 9 10 11
18
dan Kesehatan Hewan terhadap UUD 1945. Putusan ini dimohonkan terkait dengan kewenangan impor hewan ternak. Putusan ini diduga tidak efektif mengingat terdapat norma-norma yang dibatalkan oleh MK dimasukkan kembali dalam UU perubahan.18 92/PUU-X/2012 Putusan MK mengenai pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3) dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan (selanjutnya disebut UU P3) terhadap UUD 1945. Pengujian ini dimohonkan terkait dengan kewenangan DPD dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Putusan ini dinilai tidak efektif karena diduga dimunculkan kembali pasal-pasal yang dibatalkan oleh MK.19 11/PUU-VII/2009 Putusan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 merupakan pengujian 14/PUU-VII/2009 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem 21/PUU-VII/2009 126/PUU-VII/2009 Pendidikan Nasional dan Undang-Undang 136/ PUU-VII/2009 Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Pokok permohonan dalam putusan terkait dengan keberadaan Badan Hukum Pendidikan yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Putusan ini dinilai tidak efektif karena diduga dimunculkan kembali pasal-pasal yang dibatalkan pada UU Pendidikan Tinggi yang kemudian dilakukan pengujian kembali ke MK.20
Mahkamah Konstitusi, Pemerintah: UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tidak Hidupkan Kembali Sistem Zona http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web. Berita&id=12947#.VzFksuSktf4, diakses pada tanggal 30 Maret 2016 Pukul 16.00 WIB. 19 Mahkamah Konstitusi, Lagi, UU MD3 dan UU P3 Terkait Kewenangan DPD Diujikan ke MK, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=7727#.V2SmtqK ktf4, diakses pada tanggal 14 Januari 2016 Pukul 16.00 WIB. 20 Putusan MK Nomor 111/PUU-X/2012 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 12 Desember 2013, hlm. 8.
7
12 45 /PUU-IX/2011
13 19/PUU-X/2012
14 66/PUU-XI/2013
15 002/PUU-I/2003
21
Putusan MK mengenai pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945. Putusan ini tidak efektif karena MK tidak menyediakan pedoman mengenai bagaimana cara, pada praktiknya, mengimplementasikan seluruh ketentuan dalam UU Kehutanan ke depannya.21 Putusan MK mengenai pengujian UU Pasal 7 Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Utara di Provinsi Sulawesi Tenggara terhadap UUD 1945. Pegujian ini dimohonkan terkait dengan penempatan Ibukota Kabupaten Buton Utara. MK menolak permohonan yang diajukan pemohon. Putusan ini diduga tidak efektif mengingat pasca putusan dibacakan tidak ada upaya dari pemerintah Kabupaten untuk melakukan pemindahan Ibukota kabupatan Buton Utara.22 Putusan MK mengenai pengujian UndangUndang Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat terhadap UUD 1945. Putusan ini dimohonkan terkait dengan penempatan Ibukota Kabupaten Maybrat. Putusan ini dinilai tidak efektif mengingat belum dilakukan pemindahan Ibukota kabupatan Maybrat.23 Putusan MK mengenai pengujian Undangundang Republik Indonesia Nomor 22
Philip Wells, et. all., 2012, Kajian atas Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 45/PUU-IX/2011 tentang Kawasan Hutan: Dampak terhadap Hutan, Pembangunan, dan REDD+, Jurnal penelitian, hlm. 9 22 Dirwan Indrahayu, 2015, Konflik Ibukota Di Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Sam Ratulangi, hlm. 2. 23 Mahkamah Konstitusi, Gubernur Papua Barat dan Bupati Maybrat Diminta Patuhi Putusan MK, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=12128#. VzGb1- Sktf4, diakses pada tanggal 25 Februari 2016 Pukul 17.00 WIB.
8
17 9/PUU-VII/2009
18 85/PUU-XI/2013
24
Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi (UU Nomor 22 Tahun 2001) terhadap UUD 1945. Pengujian ini dimohonkan terkait dengan ancaman liberalisiasi migas akibat berlakunya Undang-Undang tersebut. Putusan ini dinilai tidak efektif karena pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 55 tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran BBM Domestikyang bertentangan dengan putusan MK.24 Putusan MK mengenai pengujian UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD 1945 Putusan ini dimohonkan terkait dengan larangan perhitungan cepat (quick count) pada penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif. Putusan MK ini tidak efektif karena diduga dimunculkan kembali pasal-pasal yang dibatalkan oleh MK. Putusan MK mengenai pengujian UndangUndang 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Putusan ini dimohonkan perihal kekahawatiran praktik privatisasi air. Putusan ini diduga tidak efektif karena dalam putusan ini memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan untuk menjamin tidak adanya kekosongan hukum. Perberlakukan tersebut oleh MK tidak memberikan pertimbangan hukum sebagai alasan atau dasar pemberlakuan kembali UU 25 Pengairan. Hal tersebut tentunya mempersulit pelaksanaan putusan tersebut.
Bachtiar, Op. Cit., hlm. 13 Badan Lingkungan Hidup D.I. Yogyakarta, Implikasi Hukum Pembatalan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, http://blh.jogjaprov.go.id/2015/06/ implikasihukum-pembatalan-undang-undang-Nomor-7-tahun-2004-tentang-sumber-daya-air/, diakses pada tanggal 4 Januari 2016 Pukul 20.00 WIB. 25
9
19 18/PUU-I/2003
20 46/PUU-VIII/2010
21 5/PUU-X/2012
26
Putusan MK mengenai pembentukan Provinsi Irian jaya Barat. Putusan MK ini efektivitasnya dipertanyakan karena menimbulkan problem tafsir di lapangan hukum yang ditafsirkan menyebabkan komplikasi yuridis terkait dengan keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat dan Tengah.26 Putusan MK mengenai pengujian UndangUndang Nomor juncto pasal 186 Kompilasi Hukum Islam. Putusan ini dimohonkan status keperdataan anak luar perkawinan yang sah oleh negara. Putusan MK ini efektivitasnya dipertanyakan karena menimbulkan problem tafsir di lapangan hukum terkait dengan pemaknaan kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” membawa perdebatan panjang. Frasa “di luar perkawinan” sangat berbeda maknanya dengan frasa “tanpa perkawinan” menyebabkan sulitnya dilaksanakan putusan tersebut.27 Putusan ini dimohonkan perihal keberadaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Putusan ini efektivitasnya diragukan mengingat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menempuh kebijakan masa transisi, terutama untuk menghapus kebijakan SBI/RSBI.28 Hal tersebut tentunya bertentangan dengan putusan MK mengingat tidak terdapat amar
Bachtiar, Op. Cit. hlm.179. Mengutip dari pendapat Chotib Rasyid yang menyatakan: “Pemahaman yang keliru terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terutama dalam kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan” membawa perdebatan panjang. Frasa “di luar perkawinan” sangat berbeda maknanya dengan frasa “tanpa perkawinan”. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketua agama dan kepercayaannya tapi tidak dicatat pada KUA atau Kantor Catatan Sipil merupakan anak sah secara materiil tetapi tidak sah secara formil. Sedangkan anak yang dilahirkan tanpa perkawinan orang tuanya atau anak yang dilahirkan dari hubungan antara lelaki dan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan merupakan anak yang tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil (anak zina). Jadi putusan yang melatarbelakangi putusan ini hanya berkaitan dengan “pencatatan perkawinan”. Lihat Bachtiar, Op. Cit., hlm. 220. 28 Fajar Laksono, et. all., Implikasi dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)/Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Jurnal Konstitusi,Vol. 10, No. 4, Desember 2013, hlm. 735. 27
10
putusan yang sifatnya menunda pelaksanaan putusan.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Berdasarkan pada putusan-putusan yang bermasalah tersebut, Penulis memilih lima putusan dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai efektivitas pelaksanaan putusan. Hal itu dikarenakan materi yang diujikan dalam putusanputusan tersebut berhubungan dengan materi perkuliahan hukum tata negara di Indonesia. Adapun putusan yang dipilih antara lain: 1. Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 2. Putusan Nomor 19/PUU-X/2012 3. Putusan Nomor 66/PUU-XI/2013 4. Putusan Nomor 18/PUU-I/2003 5. Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009
Memperhatikan permasalahan efektvitas putusan MK, tentu tidak dapat dilupakan mengenai alasan putusan tidak efektif berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas putusan. Hal tersebut penting karena dapat menjawab penyebab ketidakefektivan putusan MK. Terkait permasalahan efektivitas putusan MK, mengutip pendapat Maruarar Siahaan yang menyatakan bahwa efektivitas checks and balances dapat dilihat dari dilaksanakan atau tidak bunyi putusan MK oleh pembuat undangundang. Maruarar juga menyatakan bahwa standar ukuran UUD 1945 sebagai
11
hukum tertinggi dan menjadi hukum yang hidup didasarkan pada kepatuhan dalam implementasi putusan MK.29 Pendapat Marurar Siahaan tersebut tentunya membutuhkan sebuah solusi yang dapat ditawarkan mengenai sistem yang mendorong putusan MK efektif dan dapat dilaksanakan. Mencermati permasalahan di atas, adanya sifat MK sebagai penafsir konstitusi, negative legislator, maupun guardian of constitution seharusnya memberikan kekuatan pada putusan MK sehingga dipatuhi oleh adressat putusan30. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan kajian ilmiah mengenai efektivitas putusan MK antara lain: Pertama, mengenai bagaimana efektivitas pelaksaaan putusan MK Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, Putusan Nomor 19/PUU-X/2012, Putusan Nomor 66/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 18/PUUI/2003, dan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009? Kedua, mengenai alasan adanya putusan MK yang tidak efektif pelaksanaannya? Ketiga, bagaimana solusi agar putusan MK tetap efektif dan dilaksanakan? B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, Penulis menemukan beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain: 1. Bagaimana efektivitas pelaksaaan Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, Putusan MK Nomor 19/PUU-X/2012, Putusan MK Nomor 66/PUU29
Syukri Asy‟ari, Et Al, “Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012)”, Jurnal Konstitusi,Vol. 10, No. 4, Desember 2013, hlm. 679-680 30 Adressat dapat dimaknai sebagai pihak yang terkena aturan norma tersebut. Mendasarkan dari pengertian tersebut, penulis memaknai adressat putusan adalah pihak yang terkena dampak dari pemberlakukan putusan terutama putusan Mahkamah Konstitusi. Lihat Wafia Silvi Dhesinta R, et. all., 2014, Rasio Legis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUUX/2012 Terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan NasionaL (Pembubaran Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional)
12
XI/2013, Putusan MK Nomor 18/PUU-I/2003, dan Putusan MK Nomor 9/PUU-VII/2009? 2. Mengapa Putusan MK ada yang tidak efektif dalam pelaksanaannya? 3. Solusi apa yang dapat ditawarkan agar Putusan MK efektif? C. Tujuan Penelitian Pada dasarnya, penelitian ini dilakukan untuk menyusun penulisan hukum yang digunakan Penulis sebagai syarat akademis memperoleh gelar Sarjana Hukum pada fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Adapun tujuan lain dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Mengetahui,
memahami,
menelaah,
dan
menganalisis
pelaksaaan
efektivitas putusan MK Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, Putusan Nomor 19/PUU-X/2012, Putusan Nomor 66/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 18/PUU-I/2003, dan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009; 2. mengetahui, memahami, menelaah, dan menganalisis mengapa putusan MK ada yang tidak efektif dalam pelaksanaannya; serta 3. memberikan solusi agar putusan MK tetap efektif dan dilaksanakan.
D. Keaslian Penelitian Bagian ini memuat uraian sistematis tentang laporan hasil penelitian dan/atau pemikiran peneliti sebelumnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian penulisan hukum ini. Adapun penelitianpenelitian yang ada sebelumnya itu dan perbedaannya dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.
13
1. Aan Eko Widiarto pernah menulis sebuah jurnal ilmiah berjudul ―Ketidakpastian Hukum Kewenangan Lembaga Pembentuk UndangUndang Akibat Pengabaian Putusan Mahkamah Konstitusi‖.31 Jurnal ini membahas tiga hal antara lain:32 1. Implikasi putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 terhadap kewenangan lembaga pembentuk Undang-Undang. 2. Pengabaian Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 dan UUD 1945. 3. Ketidakpastian hukum
kewenangan lembaga pembentuk
Undang-Undang akibat pengabaian Putusan MK. Memperhatikan tiga poin pembahasan di atas, memperlihatkan bahwa jurnal penelitian ini tidak mengungkit mengenai solusi yang diterapkan terkait dengan efektivitas putusan MK dan keberlangsungan putusan MK. Hal tersebut tentunya berbeda dengan penelitian hukum ini mengingat penelitian hukum ini tidak hanya melihat dari bentuk ketidakefektivan putusan (salah satunya adanya pengabaian putusan ) namun
secara
lebih
mendetail
mengkaji
penyebab
terjadinya
ketidakefektivan suatu putusan. 2. Bachtiar pernah menulis buku yang berjudul “Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian UU terhadap UUD.”
31
Aan Eko Widiarto, Ketidakpastian Hukum Kewenangan Lembaga Pembentuk UndangUndang Akibat Pengabaian Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No. 4, Desember 2015, hlm. 735 32 Ibid., hlm. 738-753.
14
Rumusan masalah dalam buku ini memuat 2 (dua) permasalahan utama yaitu:33 a. Apakah yang menyebabkan implementasi dari putusan MK pada pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar tidak implementatif? b. Bagaimana solusi hukumnya dalam upaya mewujudkan Negara hukum yang demokratis? Terkait dengan penulisan hukum ini penulis menemukan tiga aspek pembeda antara penulisan hukum ini dengan buku karya Bachtiar. Adapun aspek pembeda yang penulis temukan antara lain: a. Penulisan hukum ini memiliki fokus permasalahan pada efektivitas putusan dengan melihat efektivitas hukum pada putusan Nomor 92/PUU-X/2012, putusan Nomor 19/PUU-X/2012, putusan Nomor 17/PUU-VI/2008, putusan Nomor 66/PUU-XI/2013, putusan Nomor 18/PUU-I/2003, dan putusan Nomor 9/PUU-VII/2009. Berbeda dengan penulisan hukum yang penulis lakukan, buku ini lebih mengkaji pada permasalahan dan solusi pada implementasi putusan secara umum dengan mengkaji dua putusan yaitu putusan Nomor 18/PUU-I/2003 dan putusan Nomor 16/PUU-VIII/2010. b. Buku karya Bachtiar ini pada dasarnya hanya melihat alasan penyebab ketidakefektivan putusan MK didasarkan pada kesulitan menafsirkan putusan MK. Penulisan hukum ini tidak hanya
33
Bachtiar, 2015, Op.Cit., hlm. 20.
15
membahas penyebab ketidakefektivan putusan dari sulitnya menafsirkan putusan MK, melainkan juga membuka peluang adanya penyebab lain ketidakefektivan putusan berdasarkan putusan yang dijadikan sebagai bahan kajian. c. Buku karya Bachtiar ini menawarkan solusi terkait dengan permasalahan putusan MK agar putusan tetap efektif dan dapat dilaksanakan dalam bentuk penyertaan judicial order, adanya kolaborasi antara lembaga Negara, serta putusan MK mendasarkan pada kondisi realitas masyarakat, psikologis masyarakat dan sejalan dengan isi atau politik hukum Undang-Undang Dasar. Pada penulisan hukum ini berupaya mengelaborasi solusi yang ditawarkan oleh para ahli hukum namun juga memberikan gagasan dan ide dari penulis terkait solusi agar putusan tetap efektif dan dapat dilaksanakan. 3. M. Solly Lubis pernah menulis jurnal penelitian yang berjudul ―MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PUTUSANNYA: Antara Harapan dan Kenyataan‖.34 Jurnal ini juga membahas pelaksanaan putusan MK yang tidak implementatif dan efektif sebagai salah satu permasalahan yang dihadapi oleh MK. Jurnal hukum ini hanya memperlihatkan secara sekilas dan tidak mendetail mengenai permasalahan tersebut. Hal tersebut tentunya berbeda dengan penulisan hukum ini mengingat permasalahan efektivitas putusan MK merupakan permasalahan utama sehingga 34
M. Solly Lubis, Mahkamah Konstitusi dan Putusannya: Antara Harapan dan Kenyataan Jurnal Konstitusi, Vol. 3, No. 4, Desember 2006, hlm. 58.
16
pemaparan dan penyelesaian masalah dilakukan secara mendetail dan dilakukaan berdasarkan beberapa putusan yang dijadikan studi kasus. 4. Ciline Ria Aprillia pernah menulis artikel yang berjudul ―Problematika Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali Lebih dari Satu kali‖.35 Artikel ini membahas menganai permasalahan dari pelaksanaan Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang dihadapkan dengan terbitnya SEMA Nomor 7 tahun 2014. Artikel ini tentunya berbeda dengan penulisan hukum yang penulis lakukan. Hal tersebut dikarenakan walaupun artikel maupun
penulisan
hukum
ini
sama-sama
membahas
mengenai
permasalahan mengenai pelaksanaan putusan MK, ada beberapa aspek yang membedakan artikel dengan penulisan hukum ini antara lain: a. Penulisan hukum ini mengkaji putusan berdasarkan efektivitas hukum. b. Putusan yang dilakukan pengkajian adalah Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, Putusan Nomor 19/PUU-X/2012, Putusan Nomor 66/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 18/PUU-I/2003, dan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009. Pada artikel tersebut hanya membahas Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013. c. Penulisan Hukum ini menawarkan solusi agar putusan MK tetap efektif dan dapat dilaksanakan sedangkan artikel tersebut sama
35
Ciline Ria Aprillia, “Problematika Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali Lebih dari Satu kali”, Artikel, hlm. 2
17
sekali tidak menawarkan solusi atas permasalahan pada putusan Nomor 34/PUU-XI/2013. 5. Ahmad Syahrizal pernah menulis jurnal penelitian yang berjudul “Problem Implementasi Putusan MK” Rumusan masalah dalam jurnal ini memuat 2 (dua) permasalahan utama yaitu:36 a. Faktor-faktor apa saja yang dapat menentukan bahwa putusan final direspon positif oleh DPR dan aktor-aktor negara lainnya? b. Apa yang menyebabkan putusan final MK-RI potensial tidak direspon oleh DPR dan Pemerintah? Terkait dengan penulisan hukum ini penulis menemukan tiga aspek pembeda antara penulisan hukum ini dengan jurnal yang ditulis oleh Ahmad Syahrizal. Pertama, penulisan hukum ini membahas efektivitas pelaksanaan putusan yang dijadikan bahan kajian sedangkan jurnal ini tidak membahas hal tersebut. Kedua, dalam penulisan hukum ini mengkaji penulisan hukum ini memiliki fokus permasalahan pada efektivitas putusan dengan melihat faktor-faktor efektivitas hukum terjadi sedangkan dalam jurnal hukum tersebut hanya terkait dengan penyebab putusan MK tidak direspon positif. Ketiga, penulisan hukum ini juga menawarkan solusi agar putusan tetap efektif serta dapat dilaksanakan sedangkan dalam jurnal hukum ini, hal tersebut sama sekali tidak dibahas.
36
Ahmad Syahrizal, Problem Implementasi Putusan MK, Jurnal Konstitusi, Vol. 4, No 1, Maret 2007, hlm. 114
18
Tidak ada karya yang seratus persen merupakan karya yang baru tanpa memperhatikan karya orang lain. Terkait dengan hal tersebut, untuk menjunjung etika akademisi dengan tidak melakukan plagiarisme karya orang lain dilakukan dengan cara melakukan pengutipan terhadap kutipan atau pemikiran yang penulis tulis dalam bahasa penulis sendiri dengan mencantumkan sumber kutipan. E. Kegunaan Penelitian 1. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Melihat dari sisi kegunaan penelitian bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Penulis memiliki harapan bahwa penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya dalam Hukum Tata Negara. Penulis juga berharap bahwa secara lebih khusus penelitian ini memberikan kajian mengenai efektivitas Putusan MK. 2. Dari Segi Praktis Penulis memiliki harapan bahwa penelitian ini memberikan manfaat dalam konteks kekinian berupa kajian mengenai efektivitas Putusan MK terutama efektivitas putusan MK putusan MK Putusan Nomor 92/PUUX/2012, Putusan Nomor 19/PUU-X/2012, Putusan Nomor 66/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 18/PUU-I/2003, dan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, penyebab putusan MK ada yang tidak efektif dan solusi agar putusan MK menjadi efektif .