BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Papua adalah salah satu provinsi dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang memiliki potensi kekayaan sumber daya alam yang sangat besar dan merupakan modal dasar bagi pelaksanaan pembangunan nasional, termasuk untuk kemajuan daerah dan masyarakat Papua. Potensi kekayaan sumberdaya alam tersebut, yang salah satunya adalah bahan tambang yang perlu diolah terlebih dahulu melalui berbagai eksplorasi, studi kelayakan sosial dan ekonomi, pembangunan insfrastruktur, penggalian, pengolahan hingga pemasaran agar dapat memberi nilai tambah dan keuntungan bagi Indonesia. Meskipun demikian, pemerintah masih membutuhkan bantuan perusahaan asing dalam mengelola potensi sumberdaya alam berupa bahan tambang tersebut karena kurangnya modal dan fasilitas. Bidang usaha pertambangan merupakan bidang usaha yang mendapat prioritas utama dari pemerintah sebelum dan sesudah diterbitkannya undangundang penanaman modal baik asing maupun dalam negeri. Penyebabnya adalah sudah lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun lamanya bidang usaha pertambangan ini kurang mendapat perhatian dan mendapat garapan bagi penanaman modal khususnya penanaman modal asing. Untuk itu, pemerintah berusaha untuk mengarahkan penanaman modal khususnya penanaman modal
1
asing guna mengaplikasikan modalnya dalam mengusahakan dan mengelola sumber daya alam di bidang pertambangan.1 PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah perusahaan penanaman modal asing pertama dalam era pemerintahan orde baru yang memulai investasi dalam skala besar di Indonesia dalam bidang pertambangan. Pada bulan Juni 1966, tim Freeport diundang ke Jakarta untuk memulai pembicaraan tentang kontrak penambangan Ertsberg. Sesudah Undang-undang Penanaman Modal Asing disahkan pada bulan Januari 1967, Kontrak Karya I ditandatangani dengan pemerintah Indonesia, tepatnya tanggal 7 April 1967. Berbagai negosiasi, studi kelayakan, dan konstruksi dalam skala besar dilakukan hingga akhirnya pada bulan Maret 1973, proyek ini diresmikan oleh Presiden Soeharto dan kota tambang di Kabupaten Mimika Provinsi Papua itu diberi nama Tembagapura. Selanjutnya, pada bulan Juni 1992, Kontrak Karya II ditandatangani oleh pemerintah dan PTFI. Perjanjian ini memberikan hak kepada PTFI untuk beroperasi selama tiga puluh tahun dengan kemungkinan perpanjangan selama dua kali sepuluh tahun. 2 Pada tahun 1969 ketika PTFI mulai beroperasi, kota Tembagapura dan sekitarnya masih merupakan hutan dengan perkampungan kecil yang dihuni tidak lebih dari 400 orang penduduk dan belum ada infrastruktur pembangunan dan fasilitas sosial yang tersedia. Oleh sebab itu, PTFI harus memulai operasinya dengan membangun jalan, pelabuhan kota dan pabrik 1
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, 2007, h. 113-115. 2 August Kafiar, Agus Sumule, Enos Rumbiak, “Peranan PT Freeport Indonesia Company Dalam Pembangunan Masyarakat dan Daerah Irian Jaya”, Makalah, Perpustakaan UNCEN, 1997, h. 1.
2
pengolahan, serta infrastruktur lain yang diperlukan. Keadaan yang sama juga dialami dalam hal kualitas sumberdaya manusia. Selain jumlahnya yang sangat sedikit, kualitasnya juga relatif rendah dalam konteks kualifikasi yang dibutuhkan dalam industri pertambangan. Seiring berjalannya waktu, PTFI yang beroperasi di Papua kurang lebih 40 tahun telah memberikan manfaat maupun peluang yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia khususnya Masyarakat Papua dan Mimika. Berbagai pajak diantaranya Pajak Penghasilan Badan (PPh 22,25, dan 29), pajak atas Bunga dan Dividen (PPh 26), royalti, pajak Bumi dan Bangunan (PBB), iuran tetap, Bea Masuk dan Bea Masuk Tambahan (BM dan BMT), Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM), cukai, pajak daerah, serta sumbangan pendapatan berupa Dividen atas saham yang dimiliki Pemerintah Republik Indonesia yang telah dibayarkan PTFI kepada Pemerintah Indonesia pada tahun 2007 saja mencapai nilai total sekitar 1,8 miliar dolar AS. Di samping itu, lebih dari seratus ribu karyawan PTFI juga menyumbang Pajak Penghasilan atas Gaji (PPh 21), dan sumbangan pembayaran Pajak Penghasilan Badan oleh anak-anak perusahaan serta perusahaan kontraktor. Semenjak diawalinya kontrak karya PTFI yang berlaku saat ini pada tahun 1992, total manfaat langsung tersebut bagi Pemerintah Indonesia mencapai hampir 7 miliar dolar AS. Pada berbagai media diketahui bahwa PTFI telah memberikan kontribusi bagi Indonesia termasuk provinsi Papua sejak tahun 1992. Dukungan sukarela bagi pengembangan masyarakat serta
3
pengeluaran biaya dari PTFI atas program pengelolaan lingkungan hidup secara komprehensif adalah cukup besar. Berbagai kontribusi yang telah dilakukan oleh PTFI tidak lain adalah bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya adalah sebuah kebutuhan bagi perusahaan untuk dapat berinteraksi dengan komunitas lokal sebagai bentuk masyarakat secara keseluruhan. Perusahaan membutuhkan sebuah keuntungan sosial berupa kepercayaan dengan beradaptasi dengan komunitas lokal. Tanggung jawab sosial perusahaan tentunya sangat berkaitan dengan kebudayaan perusahaan dan etika bisnis yang harus dimiliki oleh budaya perusahaan, karena untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan sangat dibutuhkan suatu budaya yang didasari oleh etika yang bersifat adaptif. 3 Salah satu program yang dilakukan perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan adalah program pengembangan bagi masyarakat yang bermukim di wilayah tambang. Program ini merupakan kewajiban hukum dari perusahaan tambang. Ada berbagai macam substansi dalam peraturan perundang-undangan dan substansi kontrak karya yang dibuat pemerintah dengan perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia.4 Salah satunya adalah perjanjian yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan PTFI mengenai program pengembangan masyarakat di wilayah 3
Bambang Rudito dan Melia Famiola, CSR (Corporate Social Responsibility), Penerbit Rekayasa Sains, Bandung, 2013, h. 1. 4 H. Salim, S.H., M.S., Hukum Pertambangan di Indonesia, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, h. 401-404.
4
tambang. PTFI telah menyatakan kesanggupan untuk membangun dan memelihara hubungan yang positif dengan penduduk asli dari daerah-daerah di mana PTFI beroperasi. Bagian dari komitment ini adalah memberi kesempatan dalam pengembangan sosial dan ekonomi bagi penduduk setempat, termasuk usaha-usaha untuk melatih dan mempekerjakan penduduk asli. PTFI berusaha memahami lebih baik adat istiadat penduduk setempat guna mengembangkan suatu pengertian yang lebih mendalam yang diperlukan untuk memelihara dan membangun hubungan yang konstruktif. Salah satu unsur yang paling penting dalam komitmen ini adalah dengan memandang masyarakat setempat dengan rasa hormat. PTFI tidak segan untuk berkonsultasi dengan mereka dalam hal operasi penting yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup masyarakat setempat, karena seperti yang diketahui bahwa lingkungan sekitar masyarakat tadinya merupakan sumber mata pencaharian penduduk setempat.5 Namun demikian hingga saat ini tidak sedikit masyarakat asli Papua khususnya yang berada di Kabupaten Mimika melakukan berbagai aksi protes agar PTFI harus ditutup karena berpendapat perusahaan tambang kelas dunia berskala besar 6 tersebut tidak memberikan manfaat bagi masyarakat asli Papua. Hal serupa tidak hanya terjadi di Papua. Seperti yang dilansir dalam Antara News tanggal 1 Maret 2006, ratusan mahasiswa dan masyarakat Papua
5
AR. Soehoed, Tambang dan Pengelolaan Lingkungannya (Sejarah Pengembangan Pertambangan PT. Freeport Indonesia di Provinsi Papua), Penerbit Aksara Karunia, Jakarta, 2005, h. 138-140. 6 AR. Soehoed, Pertambangan dan Pembangunan Daerah (Sejarah Pengembangan Pertambangan PT. Freeport Indonesia di Provinsi Papua), Penerbit Aksara Karunia, Jakarta, 2005, h. 31.
5
dari perguruan tinggi se-Jawa dan Bali dan Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (Front Pepera-PB), akan kembali melakukan unjukrasa dengan tuntutan yang sama penutupan PTFI, di Plaza 89 Kuningan, Jakarta. Aksi demo ini merupakan gelombang lanjutan pemblokiran PTFI setelahterjadinya kasus penembakan di Mil 74 sejak 23 pada bulan Februari 2006.7 Hal serupa juga terdapat di dalam Harian Jogja tanggal 31 Oktober 2011, puluhan massa yang mengatasnamakan diri Solidaritas Untuk Papua (SUP) menggelar aksi unjuk rasa dan long-march dari Taman Parkir Abu Bakar Ali menuju Simpang Empat Kantor Pos Besar Yogyakarta. Massa berorasi di depan gedung DPRD Provinsi DIY menuntut pengusutan secara tuntas aksi penembakan, pelanggaran HAM di Papua dan penutupan PTFI sebagai biang keladi pelanggaran HAM di Papua.8 Melihat fenomena tersebut dan hubungannya dengan konsep Corporate Social Responsibility (CSR), timbul pertanyaan mendasar mengenai tanggung jawab sosial yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut sudah sesuai dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sebuah perusahaan sudah seharusnya dapat berperan sebagai agen sosial perubahan, karena pada
7
Antara News, “Mahasiswa Papua Kembali akan Unjukrasa Tuntut Penutupan Freeport” diakses dari http://www.antaranews.com/berita/28977/mahasiswa-papua-kembali-akanunjukrasa-tuntut-penutupan-freeport pada tanggal 12 Agustus 2014 pukul 11.21. 8 Harian Jogja, “SUP Tuntut Penutupan Freeport”, diakses dari http://www.harianjogja.com/baca/2011/10/31/sup-tutut-penutupan-freeport-122047 pada tanggal 12 Agustus 2014 pukul 11.52.
6
dasarnya bisnis tidak semata-mata bertujuan untuk mengeruk untung segunung dengan meninggalkan luka sosial pada masyarakat sekitarnya. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, penelitian ini diajukan dengan memilih judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Sosial Perusahaan PT Freeport Indonesia Bagi Masyarakat Asli Papua di Kabupaten Mimika Provinsi Papua”.
B. Perumusan Masalah Adapun permasalahan dari penelitian tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Sosial PT Freeport Indonesia Bagi Masyarakat Asli Papua di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, adalah: 1. Bagaimana pembagian tanggung jawab sosial PTFI yang sangat besar tersebut menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas? 2. Apa kontribusi PTFI bagi masyarakat asli Papua dalam 5 (lima) tahun belakangan sebagai wujud daripada tanggung jawab sosial Perusahaan? 3. Bagaimana pengaturan mengenai sanksi terhadap tanggung jawab sosial perusahaan yang selama ini masih diatur secara umum dan tidak jelas di dalam Kontrak Karya PTFI?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan mengkaji:
7
1. Bentuk pembagian tanggung jawab sosial PTFI yang sangat besar tersebut menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 2. Berbagai bentuk kontribusi PTFI bagi masyarakat asli Papua dalam 5 (lima) tahun belakangan sebagai wujud daripada tanggungjawab sosial Perusahaan; 3. Pengaturan mengenai sanksi terhadap tanggung jawab sosial perusahaan yang selama ini masih diatur secara umum dan tidak jelas di dalam Kontrak Karya PTFI.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari Penelitian tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Sosial PT Freeport Indonesia Bagi Masyarakat Asli Papua di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, adalah: 1. Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat menambah dan memperkaya informasi pengetahuan mengenai tanggung jawab sosial yang wajib dilakukan perusahaan pada umumnya dan khususnya yang dilakukan
oleh
perusahaan
asing
yang
bergerak
di
bidang
pertambangan di Provinsi Papua; 2. Bagi pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pengembangan tambang kelas dunia di daerah terpencil dengan pengelolaan lingkungannya serta kontribusinya bagi pembangunan ekonomi baik secara nasional
8
maupun daerah serta program-program pengembangan berkelanjutan bagi masyarakat di Papua; 3. Selain manfaat tersebut di atas, diharapkan pula melalui penelitian ini tersedia informasi yang dapat diakses oleh publik pada umumnya, khususnya kalangan akademisi maupun praktisi yang tertarik dalam dunia usaha pertambangan, terutama tentang apa yang telah dilakukan PTFI di Papua. Akibatnya, dapat diperoleh informasi berimbang terhadap pemberitaan yang tidak berimbang dan memberikan persepsi yang keliru bahwa kehadiran PTFI menimbulkan konflik di Papua pada umumnya dan khususnya di wilayah operasi perusahaan.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan studi pustaka masalah tanggung jawab sosial PTFI yang selama ini menjadi pemicu konflik bagi masyarakat Papua pada umumnya dan khususnya masyarakat penduduk di daerah penambangan di Kabupaten Mimika belum pernah diteliti. Walaupun telah dilakukan banyak penelitian terhadap masalah-masalah yang dihadapi di Papua atas kehadiran PTFI dan juga penelitian terhadap CSR, namun penelitian-penelitian tersebut lebih banyak dikaji dari aspekaspek yang lain, yaitu ekonomi, sosial antropologi, hukum adat, serta hukum dan hak asasi manusia, dan lingkungan yang tampaknya belum dapat memecahkan persoalan diangkat dalam penelitian ini.
9
Hasil-hasil penelitian yang dimaksud, antara lain: 1. Karel Sesa, 2004, “Analisis Manfaat Ekonomi dan Dampak Lingkungan PT. Freeport Indonesia Company (PTFI) Tembagapura Timika Kabupaten Mimika Provinsi Papua”. 9 Melalui penelitian tersebut peneliti mencoba mengimplementasikan model dan teori ekonomi terhadap pembangunan dan dampak PTFI, baik ekonomi maupun lingkungan. Permasalahan yang dikaji adalah sebagai berikut : a. Apakah pengganda investasi sebagai akibat adanya kegiatan sektor pertambangan PTFI dapat mendorong pembangunan wilayah kabupaten Mimika? b. Apakah daya tarik dan daya dorong sektor pertambangan PTFI terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya cukup signifikan? c. Apakah pengganda tenaga kerja sebagai akibat adanya sektor pertambangan PTFI terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya cukup signifikan? d. Apakah pengganda pendapatan sebagai akibat adanya kegiatan sektor pertambangan PTFI dapat meningkatkan pendapatan? e. Apakah
dampak
lingkungan
yang
ditimbulkan
oleh
sektor
pertambangan PTFI cukup besar atau memprihatinkan?
9
Karel Sesa, Analisis Manfaat Ekonomi dan Dampak Lingkungan PT. Freeport Indonesia Company Tembagapura Timika Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Penerbit PT. Fajar Utama Intermedia. Makassar. h. 10.
10
Hasil penelitian yang dilakukan Karel Sesa dalam tesisnya memberi kesimpulan bahwa peran PTFI tidak begitu mendorong pembangunan wilayah dan sektor ekonomi serta sektor tenaga kerja di kabupaten Mimika. Namun sebaliknya, dampak lingkungan yang diberikan PTFI adalah relatif tinggi baik pada dampak fisik, kimia, biologi, sosial ekonomi maupun sosial budaya. 2. Dewinta Garnis Ekawati, 2011, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) ditinjau dari Prinsip Good Corporate Governance pada BUMN PT. Batubara Bukit Asam Persero Tbk”. 10 Melalui penelitian tersebut peneliti mencoba melakukan penelitian secara empiris mengenai implementasi tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh PT. Batubara Bukit Asam Persero Tbk dengan penerapan prinsip Good Corporate Governance. Permasalahan yang dikaji adalah sebagai berikut : a. Bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan ditinjau dari prinsip Good Corporate Governance? b. Bagaimana CSR pada PT. Batubara Bukit Asam Persero Tbk ditinjau dari prinsip Good Corporate Governance? Berdasarkan penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa pada umumnya CSR telah dikenal terlebih dulu melalui pelaksanaan PKBL pada BUMN. CSR pada BUMN berhubungan erat dengan penerapan prinsip GCG 10
Dewinta Garnis Ekawati, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) ditinjau dari Prinsip Good Corporate Governance pada BUMN PT. Batubara Bukit Asam Persero Tbk”, Tesis Sarjana Hukum, Perpustakaan Pusat UGM Yogyakarta. h. 8.
11
sebagai landasan operasional BUMN, terutama prinsip responsibility karena bersifat stakeholder-driven dibandingkan prinsip lainnya. Dari korelasi keduanya dapat disimpulkan bahwa CSR merupakan salah satu bentuk implementasi prinsip responsibility. PTBA sebagai BUMN ikut menerapkan prinsip GCG secara konsisten dan PTBA juga menerapkan CSR secara berkelanjutan. CSR pada PTBA juga merupakan bagian dari penerapan GCG, hal ini dapat dilihat adanya unsur CSR pada visi dan misi Persero dan terdapat pada pedoman GCG PTBA yaitu dalam Code of Conduct, GCG Code dan laporan tahunan. Adanya implementasi GCG dan CSR ini akan berjalan beriringan memberikan keuntungan dan juga mewujudkan pembangunan berkelanjutan bagi PTBA dan tentunya bagi semua BUMN yang menjalankan keduanya secara konsekuen dan konsisten. 3. Hayatullah Kurniadi, 2014, “Corporate Social Responsibilty (CSR) Industri Ekstraktif di Indonesia (Studi Kasus CSR PT Chevron Pacific Indonesia pada Masyarakat Minas di Provinsi Riau)”. 11 Melalui penelitian tersebut peneliti mencoba melakukan penelitian secara empiris mengenai implementasi tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh PT Chevron Pacific Indonesia kepada masyarakat sekitar perusahaan. Permasalahan yang dikaji adalah : Bagaimana praktik Corporate Social Responsibility (CSR) pada masyarakat di sekitar
11
Hayatullah Kurniadi, “Corporate Social Responsibilty (CSR) Industri Ekstraktif di Indonesia (Studi Kasus CSR PT Chevron Pacific Indonesia pada Masyarakat Minas di Provinsi Riau)”, Tesis Sarjana Ilmu Komunikasi. Perpustakaan Pusat UGM Yogyakarta. h. 11.
12
wilayah operasi PT. Chevron Pacific Indonesia wilayah Minas, Provinsi Riau? Berdasarkan
penelitian,
kesimpulan
yang
diperoleh
adalah
sensitifitas terhadap kebutuhan masyarakat, upaya perkembangan daerah dan penciptaan kemandirian masyarakat membuat perusahaan melakukan CSR dengan menggunakan terma investasi sosial (social investment/ SI). Social investment dijalankan pada tiga fokus utama, yakni basic human need, education and vocational training dan economic development. Selain itu perhatian pada bidang-bidang lain, seperti seni dan budaya lokal, perlindungan lingkungan dan tanggap bencana alam. Social investment dilakukan dengan prinsip kemitraan dan kesetaraan dalam membangun mentalitas dan kapasitas masyarakat untuk maju dan berkembang dengan perusahaan. 4. Tony Arifuddin Sirait, 2013, “Pertanggungjawaban Direksi Atas Pelaksanaan Corporate Social Responsibilty di Indonesia”. 12 Melalui penelitian tersebut peneliti mencoba melakukan penelitian secara normatif yang bertujuan mengetahui sejauh mana tanggung jawab direksi atas pelaksanaan CSR menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 yang sesuai dengan prinsip dasar pelaksanaannya. Permasalahan yang dikaji adalah sebagai berikut : a. Bagaimana prinsip dasar pelaksanaan CSR di Indonesia? b. Bagaimana pertanggungjawaban direksi atas pelaksanaan CSR? 12
Tony Arifuddin Sirait, “Pertanggungjawaban Direksi Atas Pelaksanaan Corporate Social Responsibilty di Indonesia”, Tesis Sarjana Hukum, Perpustakaan Pusat UGM Yogyakarta. h. 8.
13
c. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat terhadap direksi atau perseroan yang melakukan kesalahan dalam pelaksanaan CSR-nya? Melalui penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan kewajiban hukum (mandatory) terhadap pelaksanaan CSR akan lebih efektif dan terukur dibandingkan dengan penerapan CSR secara sukarela (voluntary) karena CSR sebenarnya adalah cerminan sebuah perseroan dalam menaati hukum dan pelaksanaan CSR merupakan bagian dari bentuk pertanggungjawaban direksi dalam melaksanakan pengurusan perseroan sesuai dengan undang-undang dan anggaran dasar. Bila tidak melaksanakan CSR, maka perseroan telah melakukan perbuatan melawan hukum dan masyarakat dapat melakukan upaya hukum berupa gugatan perdata biasa, class action, legal standing citizen lawsuit maupun tuntutan pidana terhadap perseroan melalui kejaksaan. Demikian beberapa penelitian yang dilampirkan guna mendukung keaslian penelitian yang dilakukan. Informasi lain yang juga mendukung penelitian ini adalah berdasarkan hasil wawancara dengan General Superintendent di Stakeholder Relations & Visitor Support Departement PTFI bahwa penelitian yang selama ini telah dilakukan terhadap PTFI, belum pernah ada yang melakukan penelitian terhadap kontribusi tanggung jawab sosial PTFI dan pengaruh terhadap pengembangan masyarakat lokal ditinjau dari aspek hukum serta sanksi-sanksi yang berlaku.
14