BAB I PENDAHULUAN
Kesenjangan antara kebutuhan rumah dengan ketersediaan rumah atau backlog perumahan di Indonesia saat ini masih tinggi. Menurut laporan Badan Pusat Statistik, pada tahun 2013 Indonesia mencatat backlog perumahan sebesar 12 juta unit. Pencapaian usaha penyediaan rumah di Indonesia menurut Bank Dunia sebesar 250.000 sampai 400.000 unit per tahun (kompas.com, 2013). Dengan pertumbuhan rumah tangga baru sebesar 900.000 per tahun, kesenjangan antara ketersediaan dengan kebutuhan rumah semakin tinggi. Kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dari angka inflasi rata-rata di Indonesia menjadi salah satu penyebab tingginya backlog perumahan. Kondisi ini sangat memukul keluarga berpenghasilan rendah atau keluarga muda yang pertumbuhan ekonomi keluarganya di bawah angka inflasi. Keluarga dengan posisi ekonomi seperti ini mempunyai pilihan terbatas untuk memilih tempat tinggal. Mereka akan memilih menempati rumah bersama orang tua dan saudara, menyewa rumah murah dengan kondisi tidak layak, atau menyewa kamar kos. Membeli rumah sendiri menjadi mimpi bagi mereka. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jendral Perumahan dan Permukiman Kementrian Pekerjaan Umum telah memiliki program pembangunan rumah dalam bentuk rumah susun sewa atau Rusunawa dan rumah susun sederhana milik atau Rusunami. Program penyediaan rumah tersebut ditujukan untuk keluarga berpenghasilan rendah di Indonesia. Pada periode tahun 2010-2012, Kementrian
1
Pekerjaan Umum telah membangun Rusunawa di beberapa kota di Indonesia sebanyak 110 twin block, dengan jumlah hunian tiap twin block sebesar 98 unit. Perode 2013-2014, Kementrian PU telah meresmikan Rusunawa sebanyak 107 twin block dari 140 twin block yang direncanakan. Program tersebut telah dilaksanakan di kota-kota besar namun belum merata di setiap perkotaan di Indonesia. Pengembang perumahan swasta saat ini sebagian besar fokus membangun perumahan kelas menengah atas. Kenaikan harga tanah dan material bangunan yang tinggi menjadi alasan umum keengganan pengembang swasta membangun perumahan terjangkau. Pengembang yang membangun perumahan terjangkau saat ini mengandalkan program subsidi dari pemerintah dalam bentuk subsidi uang muka dan subsidi bunga. Subsidi pemerintah tersebut belum banyak mempengaruhi perbaikan backlog perumahan. Usaha pengembangan perumahan terjangkau untuk masyarakat kelas menengah bawah saat ini masih minim. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi pemerintah dan swasta dalam mencukupi kebeutuhan rumah tinggal adalah kebutuhan dana investasi yang yang tinggi. Tantangan lain adalah ketersediaan lahan yang terbatas bagi pembangunan perumahan. Selain itu, fluktuasi suku bunga bank, inflasi harga tanah dan bahan bangunan menjadi tantangan lain yang sulit dielakkan. Apabila belum ada usaha lebih kuat dan inovasi dalam usaha penyediaan rumah bagi masyarakat, akses masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah menjadi semakin terbatas. Melihat permasalahan dan tantangan di atas, pengembangan solusi alternatif penyediaan perumahan terjangkau sangat dibutuhkan untuk menjawab kesenjangan
2
kebutuhan rumah yang tinggi. Melalui proyek pembangunan Rumah Sewa Kricak, Yayasan Yogyakarta KotaKITA berusaha membangun model alternatif solusi penyediaan
rumah
terjangkau.
Proyek
dibangun
dalam
skala
kecil
mempertimbangkan keterbatasan sumber daya dan resiko penerapan model bisnis baru. Pembangunan 4 unit rumah sewa berbentuk flat studio diterima masyarakat dengan baik. Tingkat okupansi setiap unit di atas 90%. Masyarakat membutuhkan solusi baru seperti Rumah Sewa Kricak untuk menjawab kebutuhan rumah layak huni. Pengembangan bisnis perumahan terjangkau melalui pengembangan model bisnis baru menjadi salah satu cara untuk menciptakan solusi kesenjangan kebutuhan rumah di Indonesia. 1.1. Lingkungan Eksternal 1.1.1. Kondisi Perumahan di Yogyakarta dan Indonesia Permasalahan perumahan di Propinsi DI Yogyakarta didominasi oleh kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan perumahan atau disebut dengan backlog perumahan. Backlog perumahan di Propinsi DI Yogyakarta pada tahun 2007 lebih tinggi dari backlog perumahan secara nasional, yaitu sebesar 27,5% dibanding 19%. Kondisi ekonomi keluarga di DIY menjadi salah satu penyebab tingginya angka backlog perumahan dibanding nasional. Pertumbuhan penghasilan keluarga di DIY tidak mampu mengikuti inflasi harga barang secara umum, atau harga tanah dan material bangunan secara khusus. Pertumbuhan upah nominal DIY antara tahun 2008 sampai dengan 2009 antara 2%-3% per tahun (BPS, 2015). Sedangkan angka inflasi di kisaran 4% per tahun. Kondisi pertumbuhan penghasilan keluarga yang hampir selalu di bawah angka inflasi menyebabkan
3
keterjangkauan masyarakat untuk membeli barang pada umumnya, atau tanah dan bangunan pada khususnya semakin sulit. Penyebab lain dari backlog perumahan adalah ketersediaan tanah untuk dijadikan lahan perumahan terjangkau di Propinsi DI Yogyakarta pada umumnya, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul pada khususnya semakin sulit. Saat ini belum ada penelitian yang lebih rinci tentang ketersesiaan tanah untuk perumahan disbanding kebutuhan rumah. Remigius Edi Waluyo sebagai ketua Real Estat Indonesia DI Yogyakarta mendeskripsikan bahwa, “di Yogyakarta, pengembang semakin sulit untuk membangun rumah murah. Harga tanah di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta sudah di atas Rp 1 juta per meter, sedangkan harga tanah di Kabupaten Bantul sudah di atas Rp 500 ribu per meter. Tidak mungkin membangun rumah type 36 dengan harga Rp 88 juta seperti ketentuan Kementrian Perumahan Rakyat. Pengembang lebih memiih membangun perumahan kelas menengah dengan harga di atas Rp 150 Juta untuk daerah tersebut (antaranews.com, 2013). Peluang membangun rumah sekarang bergeser ke Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunung Kidul. Harga tanah di wilayah tersebut masih di bawah Rp 300 ribu per meter” Tahun 2015 harga rumah dengan luas bangunan 45 m2 di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta sudah di atas Rp 400 juta per unit, sedangkan di Kabupaten Bantul sudah di atas Rp 300 juta. Peluang pembangunan perumahan terjangkau lebih besar di kabupaten Kulonprogo dan kabupaten Gunung Kidul. Di kedua wilayah tersebut, harga rumah dengan spesifikasi sama berada di kisaran Rp 200 juta.
4
Kondisi lain yang memperburuk backlog perumahan di DIY adalah arus pembelian rumah dan tanah oleh masyarakat dari luar wilayah. Yogyakarta menjadi magnet yang kuat bagi bisnis pendidikan dan pariwisata. Bisnis pendidikan meskipun pertumbuhannya stagnan namun masih menjadi generator utama bagi pendatang temporer atau mahasiswa dengan jumlah sangat besar. Bisnis pariwisata mengalami pertumbuhan pesat sejak tahun 2010 dengan semakin populernya destinasi wisata di propinsi DI Yogyakarta. Kondisi ini mendorong arus perpindahan penduduk dan investasi ke Yogyakarta. Angka perpindahan penduduk dari luar Yogyakarta diperkirakan tidak begitu besar karena perpindahan penduduk didominasi tinggal secara temporer. Namun pertumbuhan investasi sangat tinggi, terutama sektor perumahan dan properti. Dari sisi pertumbuhan ekonomi dan bisnis, kondisi ini dinilai baik. Namun dari sisi masyarakat Yogyakarta yang membutuhkan tempat tinggal di wilayahnya sendiri, kondisi ini dinilai buruk. Daya saing ekonomi keluarga di Yogyakarta lebih rendah dibanding arus investasi dari luar Yogyakarta. Kondisi ini menyebabkan masyarakat Yogyakarta semakin sulit membeli rumah di wilayahnya sendiri. 1.1.2. Kondisi Ekonomi dan Moneter Pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Brutto (PDRB) propinsi DI Yogyakarta paling rendah disbandingkan dengan propinsi lain di Indonesia. Menurut data dari BPS, pertumbuhan PDRB propinsi DIY sebesar 5,32%, di bawah PDB nasional. Sumber pertumbuhan PDRB disumbang oleh sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran sebesar 1,39%, disusul sektor jasa sebesar 1,22%. Sektor Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan menyumbang pertumbuhan 0,98%.
5
Dari sisi penggunaan, sebagian besar PDRB digunakan untuk konsumsi rumah tangga sebesar 51,46%, disusul investasi fisik sebesar 31,33% dan belanja pemerintah sebesar 25,90%. Dari data di atas dapat dilihat bahwa masyarakat Yogyakarta memiliki daya saing yang rendah disbanding masyarakat dari luar, serta alokasi pendapatan untuk perbaikan fisik juga rendah. Kondisi moneter Indonesia di rentang tahun 2001 sampai dengan 2012 tumbuh dengan baik. Pada tahun 2010-2012, pertumbuhan GDP Indonesia berada di angka 5%-6% per tahun. Angka inflasi berada pada kondisi stabil di angka 4% per tahun. Tingkat suku bunga Bank Indonesia pada tahun 2010-2012 berkisar 5,5% sampai 6,5% per tahun. Kondisi berbalik di tahun 2015. Tahun ini angka inflasi sudah melebihi 5% per tahun dan tingkat suku bunga Bank Indonesia di atas 7% per tahun. Semakin tingginya inflasi dan suku bunga bank semakin memperberat usaha di sektor perumahan. Salah satu kendala utama pembiayaan perumahan di Indonesia adalah sistem pembiayaan perumahan di Indonesia yang buruk. Sistem yang buruk tersebut dapat dilihat dari volatilitas inflasi yang tinggi, pembiayaan yang salah sasaran, sistem manajemen resiko yang rendah, birokrasi dan administrasi yang memakan waktu lama, dan tingginya biaya administrasi kredit (Hoek-Smit, 2006). Kendala pembiayaan perumahan yang lain adalah akses pembiayaan perumahan yang sulit dijangkau, bunga pinjaman yang tinggi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, mayoritas konsumen dengan pendapatan informal, kekhawatiran akan volatilitas bunga dalam jangka panjang, keterbatasan jumlah dan kualitas rumah terjangkau yang dapat dijaminkan, serta pasar rumah sewa yang belum dikembangkan.
6
1.2. Lingkungan Internal Yayasan Yogyakarta KotaKITA Potensi meningkatnya backlog perumahan dan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Yogyakarta menjadi alasan pendirian Yayasan Yogyakarta KotaKITA pada tahun 2008. Pendirian tersebut diprakarsai oleh Pemerintah Kota Yogyakarta bersama Slum Upgrading Facility (SUF) UN Habitat. Yayasan Yogyakarta KotaKITA mengemban misi membantu mengentaskan permukiman kumuh dan meningkatkan kualitas perumahan dan permukiman di Yogyakarta. SUF UN Habitat merupakan divisi di dalam organisasi UN Habitat yang focus pada program pembiayaan untuk perumahan dan permukiman. SUF UN Habitat mendirikan beberapa lembaga fasilitator pembiayaan perumahan dan permukiman di beberapa Negara. KotaKITA menjadi salah satu fasilitator pembiayaan permukiman, oleh UN Habitat disebut Local Finance Facility (LFF). Fungsi utama sebagai LFF adalah menjadi lembaga pendamping masyarakat untuk mengakses pembiayaan dengan tujuan perbaikan kualitas rumah tinggal. KotaKITA telah mengembangkan layanan inti tersebut mejadi tiga program, yaitu Program Perbaikan dan Pembiayaan Rumah, Program Pemberdayaan Masyarakat, dan Program Pengembangan Perumahan. Setiap program telah direalisasikan dalam beberapa proyek dengan lokasi proyek sebagian bersar di wilayah Kota Yogyakarta. Pencapaian tiga program tersebut dapat dilihat dalam tabel 1.1.
7
Tabel 1.1. Pencapaian Yayasan Yogyakarta KotaKITA 2010 -2014 PENCAPAIAN KotaKITA 2010-2014 Proyek A.
Penerima Manfaat (KK)
PROGRAM PERBAIKAN dan PEMBIAYAAN RUMAH
1
Proyek Perbaikan Rumah Badran
2
Proyek Bio-septic Tank Komunal Badran
3
Layanan Rumah Bersinar
4
Layanan Rehab Rumah KITA
Jumlah B. PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 1
Nilai (Rp)
Proyek Penyediaan Air Bersih Badran Jumlah
90,000,000
10
7,400,000
3
2,803,000,000
268
48,865,000
3
2,949,265,000
284
112,000,000 112,000,000
40 40
C. PROGRAM PENGEMBANGAN PERUMAHAN 1
Rumah Sewa Kricak
228,000,000
8
2
Pengembangan Kavling Siap Bangun Logandeng, Gunung Kidul Pengembangan Rumah Pajangan, Bantul Jumlah
350,000,000
18
172,000,000 750,000,000
2 28
3
TOTAL
3,811,265,000 Sumber : Laporan Yayasan Yogyakarta KotaKITA 2010-2014
676
1.2.1. Program Perbaikan dan Pembiayaan Rumah Program Perbaikan dan Pembiayaan Rumah merupakan program inti dari KotaKITA. Program ini bertujuan untuk menghapuskan permukiman kumuh dan meningkatkan kualitas rumah dan lingkungan. Skema program ini adalah bantuan akses pembiayaan kepada masyarakat ke lembaga pembiayaan. KotaKITA membantu masyarakat mendapatkan pinjaman dengan memberikan dukungan penjaminan. Bank berperan dalam menyeleksi calon peminjam serta menyalurkan dan mengoleksi pinjaman. Dalam usaha mengimplementasikan program, KotaKITA mengembangkan dan memodifikasi layanan menyesuaikan dengan kondisi di lapangan.
8
Program ini telah dikembangkan menjadi 4 proyek dan layanan, yaitu Proyek Perbaikan Rumah Badran, Proyek Bio-septic Tank Komunal Badran, layanan Rumah Bersinar, layanan Rehab RumahKITA. Proyek Perbaikan Rumah Badran merupakan usaha perbaikan rumah dengan bantuan akses pembiayaan KotaKITA untuk 10 Keluarga (1 dasawisma) di RT 49 RW 11 kampung Badran, Kelurahan Bumijo, Yogyakarta. Proyek Bio-septic tank Komunal Badran merupakan proyek percontohan dalam usaha memperbaiki kualitas lingkungan dengan mengganti kebiasaan membuang limbah MCK ke selokan lingkungan menjadi membuang limbah MCK ke septic tank. Layanan Pembiayaan Rumah Bersinar merupakan proyek kerja sama antara KotaKITA dengan Bank BPR Madani Sejahtera Abadi dengan tujuan memberi bantuan akses solusi finansial kepada masyarakat dalam usaha perbaikan rumah pribadi. Layanan Rehab RumahKITA merupakan layanan KotaKITA untuk pelaksanakan perbaikan dan pembangunan rumah. Melalui 4 proyek ini, KotaKITA telah melayani 284 keluarga dengan total nilai proyek sebesar Rp 2.949.265.000 dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. 1.2.2. Program Pemberdayaan Masyarakat Program ini bertujuan membantu masyarakat menjadi berdaya untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri dalam rangka penyediaan fasilitas umum permukiman. Sasaran program ini adalah penyediaan air bersih, perbaikan dan pembangunan sistem
sanitasi,
penyambungan listrik,
dan permasalahan
infrastruktur permukiman lainnya. Implementasi program ini diwujudkan dalam proyek pembangunan sistem penyediaan air bersih di Kampung Badran RW11.
9
Proyek dimulai tahun 2011, diawali dengan sosialisasi dan negosiasi dengan masyarakat, dilanjutkan pembentukan organisasi pengelola sistem penyediaan air bersih Banyu Bening Winongo (B2W). Proyek secara keseluruhan selesai pada pertengahan tahun 2013, dengan fasilitas yang telah dibangun antara lain perlindungan mata air, bangunan menara air, jaringan pemipaan utama, serta koneksi rumah pribadi termasuk instalasi meteran. Sejak bulan Juli 2013, organisasi B2W telah mampu secara mandiri mengelola fasilitas umum tersebut. Fasilitas ini melayani 39 sambungan rumah pribadi dan 1 sambungan MCK umum. Total nilai proyek sebesar Rp 112 juta, dengan sebagian besar sumber dana berasal dari program CSR sebuah Bank Nasional. Proyek ini telah diresmikan oleh Walikota Yogyakarta pada bulan Desember 2013. 1.2.3. Program Pengembangan Perumahan Program Pengembangan Perumahan merupakan usaha KotaKITA untuk menyediakan perumahan sehat dan terjangkau bagi masyarakat. Program ini diwujudkan melalui beberapa skema dan model bisnis. Proyek pertama yang dibangun adalah Rumah Sewa Kricak, sebuah proyek dengan skema Build Offer Transfer (BOT) dengan masa perjanjian 20 tahun. Rumah Sewa Kricak dibangun pada tahun 2011 dan beroperasi mulai awal tahun 2012. Proyek kedua adalah pengembangan rumah di Pajangan, Bantul. Pada proyek ini KotaKITA bertindak seperti pengembang rumah, melakukan investasi pembelian tanah dan pembangunan rumah, untuk kemudian dipasarkan kepada konsumen. Proyek ketiga adalah pengembangan Kavling Siap Bangun (KSB) di Logandeng, Gunung Kidul. Proyek ini mengembangkan sepetak tanah seluas 2683 m2 untuk dipecah menjadi
10
18 unit kavling perumahan. Seluruh proyek bertujuan komersial untuk mendukung keberlangsungan organisasi Yayasan Yogyakarta KotaKITA. Rumah Sewa Kricak diangkat menjadi fokus penelitian ini dengan pertimbangan potensi yang prospektif untuk dikembangkan di tempat lain dengan skala lebih besar. Rumah Sewa Kricak saat ini dibangun dengan skala kecil berupa rumah sewa 4 unit dengan model ruang dan model bisnis yang belum banyak diterapkan di masyarakat umum. Proyek ini dapat diterima masyarakat dengan baik dilihat dari tingkat okupansi yang tinggi. Beberapa kelemahan dari proyek ini masih dapat ditemui, namun peluang perbaikan dan pengembangan masih terbuka luas. 1.2.4. Bisnis Rumah Sewa Kricak Rumah Sewa Kricak merupakan salah satu proyek percontohan Program Penyediaan Perumahan dari Yayasan Yogyakarta KotaKITA. Proyek ini bertujuan menyediakan rumah untuk keluarga berpenghasilan rendah di area perkotaan Yogyakarta. Proyek ini dibangun atas kerja sama antara Yayasan Yogyakarta KotaKITA dengan salah satu warga di Kelurahan Kricak, kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta. Kerja sama proyek dalam bentuk Build Offer Transfer (BOT) selama 20 tahun. Yayasan KotaKITA menyewa tanah seluas 60 m2, untuk kemudian dibangun rumah untuk disewakan. Setelah 20 tahun berjalan sesuai perjanjian, seluruh bangunan rumah akan menjadi milik pemilik tanah. Perjanjian dapat berubah selama masa perjanjian dengan kesepakatan dari kedua belah pihak.
11
Gambar 1.1. Rumah Sewa Kricak Sumber : Laporan Yayasan KotaKITA 2010-2014
Rumah Sewa Kricak dibangun dalam bentuk bangunan dua lantai dengan luas total 110 m2. Bangunan terdiri dari 4 unit apartemen studio seluas 20 m2. Setiap unit terdiri dari satu ruang serba guna, dapur, kamar mandi dan tempat jemur. Ruang serba guna dapat difungsikan sebagai kamar tidur atau ruang keluarga. Tahun 2012 sistem koneksi listrik masih gabungan. Pertengahan tahun 2013 sistem penyediaan listrik sudah terpisah untuk setiap unit. Penyewa membayar listrik sesuai dengan pemakaian masing-masing. Penyedian air bersih sumur dan limbah rumah tangga dikelola secara gabungan dan biaya operasional dimasukkan biaya sewa. Lokasi Rumah Sewa Kricak berada di kampung Jatimulyo, kelurahan Kricak, kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta. Lokasi ini berada di area permukiman di sebelah barat pusat perekonomian jalan Magelang. Jarak antara
12
Rumah Sewa Kricak dengan kawasan Tugu atau pasar Kranggan hanya 1 km. Aksesbilitas menuju lokasi mudah dan dapat dilalui kendaraan roda empat. Meskipun tidak menyediakan parkir untuk mobil, halaman Rumah Sewa Kricak dapat diparkir mobil dan beberapa motor. Di kampung Jatimulyo, Kricak, mudah dijumpai penyediaan kamar kos dan rumah disewakan. Situasi lokasi yang mendukung ini yang menjadi pertimbangan pemilihan lokasi pembangunan Rumah Sewa Kricak. Perencanaan dan pembangunan Rumah Sewa Kricak dimulai bulan Juli 2011 dan selesai pada bulan Januari 2012. Sewa lahan selama 20 tahun disepakati sebesar Rp 20 juta. Total biaya pembangunan fisik dan perijinan sebesar Rp 208 juta. Sumber dana pembangunan Rumah Sewa Kricak berasal dari dana CE Fund dari UN Habitat yang dikelola Yayasan Yogyakrta KotaKITA. Meskipun pengelolaan Rumah Sewa Kricak memiliki misi sosial, namun bisnis ini ditargetkan dapat menunjang keberlangsungan organisasi secara finansial. Dari sisi sosial, Rumah Sewa Kricak membantu masyarakat mendapatkan solusi alternatif penyediaan rumah terjangkau. Dari sisi finansial, bisnis ini membantu Yayasan Yogyakarta KotaKITA mendapatkan saluran pendapatan baru meskipun nilainya masih kecil. Salah satu kendala bisnis ini adalah penyerapansumber daya finansial yang besar. Yayasan Yogyakarta KotaKITA mempertimbangkan untuk mengalihkan kepemilikan aset Rumah Sewa Kricak kepada pemilik tanah agar dana yang didapat bisa digunakan untuk mengembangkan bisnis rumah sewa seperti ini di tempat lain. Saat ini KotaKITA
13
membutuhkan rujukan dan evaluasi untuk mengembangkan Rumah Sewa Kricak agar dapat diduplikasi di lokasi lain. 1.3. Rumusan Masalah Yayasan Yogyakarta KotaKITA belum mendapatkan gambaran umum atau model bisnis dari Rumah Sewa Kricak sebagai basis untuk menentukan kebijakan dan strategi menghadapi tahun-tahun selanjutnya. Model bisnis ini dibutuhkan Yayasan untuk melihat cara bisnis ini beroperasi dan mengetahui keterlibatan beberapa stakeholder. KotaKITA juga membutuhkan gambaran kekuatan dan kelemahan bisnis Rumah Sewa Kricak dibanding bisnis sejenis. KotaKITA membutuhkan evaluasi kinerja Rumah Sewa Kricak secara komersial dan sosial. Evaluasi ini berguna bagi Yayasan untuk mengukur manfaat bisnis bagi organisasi dan masyarakat. Hasil evaluasi ini dapat digunakan organisasi untuk menentukan kebijakan bagi bisnis Rumah Sewa Kricak pada tahun berikutnya. KotaKITA membutuhkan model bisnis baru sebagai acuan dalam mengembangkan bisnis rumah sewa yang bertujuan sosial. Model bisnis Rumah Sewa Kricak dan evaluasi kinerjanya dapat dijadikan rujukan pengembangan model bisnis. Hasil pengembangan tersebut diharapkan menjadi model baru bisnis sosial rumah sewa yang dapat diterapkan di lokasi lain dengan kinerja yang lebih baik. 1.4. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh Yayasan Yogyakarta KotaKITA sebagai pemilik bisnis Rumah Sewa Kricak, pertanyaan penelitian yang dapat diangkat sebagai berikut :
14
1.
Bagaimana gambaran bisnis Rumah Sewa Kricak saat ini?
2.
Bagaimana kinerja bisnis Rumah Sewa Kricak saat ini bagi organisasi dan masyarakat?
3.
Apa hasil dari pengembangan model bisnis agar bisa diterapkan di lokasi lain dengan kinerja lebih baik?
1.5. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan model bisnis Rumah Sewa Kricak yang sedang dijalankan saat ini. Model bisnis merupakan gambaran umum bagaimana bisnis Rumah Sewa Kricak beroperasi, bekerja sama beberapa stakeholder, dan berusaha mencapai tujuan bisnis. Tujuan berikutnya adalah mengevaluasi bisnis dari sisi komersial dan sosial. Evaluasi dari sisi komersial ditujukan untuk mengukur manfaat finansial bisnis bagi organisasi. Evaluasi dari sisi sosial untuk menghitung manfaat bisnis bagi masyarakat pada umumnya, stakeholder pada khususnya. Tujuan utama dari penelitian ini adalah memodifikasi model bisnis lama menjadi model bisnis baru yang dapat dikembangkan di lokasi lain dengan kinerja yang lebih baik. Model bisnis baru dihasilkan dari pembandingan model bisnis sejenis,
evaluasi kinerja bisnis, dan inovasi model bisnis yang melibatkan
stakeholder. Model bisnis saat ini diharapkan dapat dikembangkan menjadi model bisnis baru yang lebih baik, dapat diterapkan di lokasi lain, dan memiliki kinerja yang lebih baik bagi organisasi dan mayarakat.
15
1.6. Manfaat Penelitian Manfaat utama penelitian adalah menjadi landasan praktis bagi Yayasan Yogyakarta KotaKITA dalam usaha mengembangkan bisnis Rumah Sewa Kricak di lokasi lain. Hasil penelitian ini dapat dikembangkan menjadi rencana bisnis pengembangan rumah sewa di lokasi lain. Hasil penelitian juga bermanfaat sebagai rujukan bagi pemerintah, lembaga non profit, perusahaan swasta, dan organisasi lainnya dalam usaha penyediaan perumahan terjangkau sejalan dengan misi sosial mengurangi kesenjangan kebutuhan dan ketersediaan rumah. Hasil penelelitian ini diharapkan menjadi solusi alternatif bagi usaha penyediaan rumah terjangkau selain yang telah dilakukan pemerintah dan pengembang pada umumnya. Penelitian bermanfaat pula secara teoritis sebagai rujukan dan pijakan bagi akademisi dan peniliti dalam usaha melanjutkan pengembangan model bisnis penyediaan rumah yang lebih baik. Pengembangan model bisnis selanjutnya diharapkan dapat menjawab tantangan kebutuhan rumah di Indonesia yang semakin sulit. 1.7. Sistematika Penulisan BAB I Pendahuluan menjelaskan latar belakang, tujuan, dan manfaat penulisan tesis. Latar belakang diurai melalui lingkungan eksternal dan internal yang alasan pemelitian ini dilakukan. Lingkungan eksternal terdiri dari kondisi perumahan di Propinsi DI Yogyakarta, kondisi ekonomi dan moneter secara nasional, dan lingkungan internal Yayasan Yogyakarta KotaKITA di mana bisnis ini menjadi salah satu proyeknya. Lingkungan internal menjelaskan pula tentang
16
bisnis Rumah Sewa Kricak yang menjadi fokus penelitian. Permasalahan dalam mengembangkan bisnis Rumah Sewa Kricak oleh Yayasan KotaKITA menjadi dasar munculnya pertanyaan penelitian. Tujuan penelitian ditentukan dari usaha menciptakan solusi dari permasalahan sebelumnya. Manfaat penelitian digunakan secara langsung oleh Yayasan KotaKITA, lembaga pemerintah, swasta dan nirlaba, serta peneliti dan akademisi. BAB II Landasan Teori menjelaskan dasar-dasar teori tentang model bisnis, kanvas model bisnis, bisnis sosial, dan perumahan. Rujukan bisnis sejenis menjadi acuan penulisan pada bab strategi dan rencana. Landasan teori tersebut diambil dari produk kebijakan pemerintah, jurnal, buku, dan media publikasi lain. BAB III Metoda Penelitian menjelaskan tentang desain penelitian, metoda pengumpulan data, instrument penelitian, dan metoda analisis data. Desain penelitian difokuskan pada Rumah Sewa Kricak sebagai unit bisnis. Metoda pengumpulan data terdiri dari studi literatur, observasi, dan wawancara. BAB IV Strategi dan Rencana menjelaskan model bisnis Rumah Sewa Kricak yang sedang dijalankan saat ini, evaluasi bisnis dari sisi komersial dan sosial, dan proses pengembangan model bisnis baru. Model bisnis Rumah Sewa Kricak dijelaskan melalui kanvas model bisnis serta dibandingkan dengan bisnis sejenis. Evaluasi secara komersial dan sosial dijelaskan dengan kalkulasi SROI. Hasil perbandingan dan evaluasi tersebut dikembangkan menjadi model bisnis baru dan dilakukan dengan strategi Blue Ocean.
17
BAB V Rencana Aksi menjelaskan tentang model bisnis baru hasil pengembangan model bisnis pada proses sebelumnya. Hasil ini dilengkapi dengan kinerja dan rekomendasi.
18