BAB I PENDAHULUAN 1.1
Gambaran Umum Objek Penelitian Objek studi dalam penelitian ini adalah dua perusahaan sub sektor kayu
dan pengolahannya yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2009-2013 yaitu PT.Sumalindo Lestari Jaya Global Tbk., dan PT.Titra Mahakam Resources Tbk. (Sumber: www.sahamok.com [23 Februari 2015]). Berikut ini pembahasan
mengenai
perusahaan-perusahaan
sub
sektor
kayu
dan
pengolahannya. 1.1.1. PT.Sumalindo Lestari Jaya Global Tbk. PT.Sumalindo Lestari Jaya Global Tbk. (SULI) didirikan pada tanggal 14 April 1980 dengan nama PT.Sumalindo Lestari
Jaya. Sesuai anggaran
dasar secara garis besar SULI berusaha dibidang kehutanan, perindustrian dan bidang pertambangan. Berdasarkan keputusan RUPS-LB SULI tanggal 18 Desember 2012, SULI berganti nama menjadi PT.SLJ Global Tbk. dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Nomor. AHU25591.AH.01.02. Tahun 2013 tertanggal 14 Mei 2013. Sejak awal dibentuk, SULI mengkhususkan diri di bidang kehutanan dan industri perkayuan dengan mengelola 1 (satu) areal IUPHHK-HA (d/h: Hak Pengusahaan Hutan) seluas 132.000 ha dan pabrik kayu lapis dengan kapasitas produksi 66.000 m3/tahun. Sejalan dengan berkembangnya usaha, melalui berbagai corporate action antara lain penggabungan usaha, akuisisi, penambahan investasi dan juga divestasi, saat ini SULI memiliki pabrik kayu lapis berkapasitas terpasang sebesar 190.000 m3/tahun dan pabrik MDF (Medium Density Fiberboard) berkapasitas terpasang 200.000 m3/tahun. SULI dan anak perusahaan saat ini mengelola 6 (enam) areal hutan alam seluas 840.500 ha termasuk IUPHHK-HA atas nama PT.Essam Timber yang masih menunggu perpanjangan izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain itu unit usaha lain adalah pembangkit listrik (Power Plant), yang dikelola oleh anak perusahaan 1
yakni PT.Kalimantan Powerindo berkapasitas total 22,5 MW. Pada bulan Maret 1994 untuk pertama kalinya SULI melakukan penawaran umum saham biasa kepada masyarakat dan mencatatkan seluruh saham yang telah dikeluarkan SULI di Bursa Efek Jakarta (s/i PT Bursa Efek Indonesia). Logo Pada perusahaan PT.Sumalindo Lestarai Jaya Global Tbk. Dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut:
Gambar 1.1 Logo PT.Sumalindo Lestari Jaya Global Tbk. Sumber: www.sljglobal.com [25 Februari 2015] 1.1.2 PT.Titra Mahakam Resources Tbk. PT.Tirta Mahakam Resources Tbk. (TIRT) didirikan berdasarkan pada akta No. 245 tanggal 22 April 1981. Akta perubahan No. 14 tanggal l1 Januari 1982. Akta pendirian TIRT dan perubahannya telah disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam Surat Keputusan No. Y.A 5/48/2 tanggal 8 Mel 1982. TIRT memiliki sebuah pabrik pengolahan kayu terpadu yang didirikan di atas tanah seluas 179.050 m2. Pabrik pengolahan ini terletak di tepi Sungai Mahakam, Desa Bukuan, Kecamatan Palaran, Samarinda, Kalimantan Timur. TIRT bergerak dibidang pengolahan kayu lapis. TIRT mulai beroperasi secara komersial pada tahun 1983 dengan memproduksi regular plywood yang kemudian diikuti oleh seranqkaian program-program ekspansi, yang tumbuh dan berkembang menjadi produsen dari beragam jenis plywood dengan spesialisasi floorbase plywood dan turunannya, serta berbagai special items plywood.
2
TIRT membangun pabrik pengolahan untuk mendaur ulang sisa potongan kayu bulat untuk menghasilkan blackboard dan laminated plywood yang dibangun pada tahun 1986, kemudian pabrik fancywood dan color floor yang masing-masing dibangun pada tahun 1992 dan 1997. Pada akhir tahun 2012, TIRT membangun pabrik Polyester Plywood dan Polyester Blackboard yang beroperasi secara komersial diawal tahun 2013. Produk-produk utama yang dihasilkan yaitu: Floorbase, General Plywood, Laminply/Multiply, Concrete Panel, Blockboard, Polyester Plywood dan Polyester Blackboard. Pada bulan Desember 1999, TIRT menjadi Perusahaan Publik dengan mencatatkan seluruh sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Logo Pada perusahaan PT.Tirta Mahakam Resources Tbk. dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut:
Gambar 1.2 Logo PT.Titra Mahakam Resources Tbk. Sumber: www.tirtamahakam.com [25 Februari 2015] 1.2
Latar Belakang Indonesia dengan hutan tropik kedua terluas di dunia memiliki
keanekaragaman hayati dan nilai ekonomis tinggi bagi negara maupun masyarakat. Kehutanan merupakan salah satu sektor penting dan mempunyai nilai strategis dalam pembangunan nasional mengingat hampir ± 67% luas daratan Indonesia berupa hutan. Sebagai elemen kekayaan alam yang dapat diperbaharui (renewable), maka hutan dapat dijadikan modal bagi pertumbuhan ekonomi dan penopang sistem kehidupan. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun
3
ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Hasil produksi kayu hutan di Indonesia setiap tahunnya meningkat. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut: Tabel 1.1 Produksi Kayu Hutan Menurut Jenis Produksi Tahun 2009-2013 Tahun
Kayu Bulat (m3)
2009
34.320.536
Kayu Gergajian (m3) 710.208
2010
42.114.770
2011
Kayu Lapis (m3)
Total (m3)
3.004.950
38.035.694
885.425
3.324.889
46.325.084
47.429.335
934.757
3.302.843
51.666.935
2012
49.258.255
1.053.408
5.178.252
55.489.915
2013
23.227.012 *)
1.217.868
3.261.970
4.479.838
*) Tidak termasuk Hutan Rakyat Sumber: http://www.bps.go.id/ [26 Februari 2015] Berdasarkan pada Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa produksi hutan pada tahun 2009 total produksi kayu mencapai 38.035.694 m3 dan pada tahun 2010 mencapai 46.325.084 m3 dan terus meningkat setiap tahunnya. Sumber daya hutan yang banyak tersedia dan besarnya permintaan pasar mendorong bermunculannya perusahaan-perusahaan pengolahan kayu, mulai dari industri penggergajian, plywood, pulp dan kertas, furniture serta perusahaan pengolahan lainnya. Perusahaan pada umumnya bertujuan memperoleh keuntungan atau laba dari hasil produksinya baik dalam bentuk barang dan jasa yang besar pengaruhnya terhadap kelangsungan perusahaan. Perusahaan menggunakan laba yang diperolehnya
untuk
mengembangkan
dan
mempertahankan
kontinuitas
perusahaan. Laba yang diperoleh juga dapat digunakan sebagai salah satu ukuran keberhasilan manajemen dalam menjalankan usahanya. Para investor biasanya
4
sangat memperhatikan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba atas penggunaan modalnya. Namun kenyataannya banyak perusahaan yang tidak mampu bersaing atau berkembang, bahkan mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan perusahaan ini disebabkan oleh faktor luar (ekstern) seperti bencana alam dan kondisi perekonomian atau keadaan geografis tertentu. Seperti halnya yang dialami perusahaan-perusahaan diIndonesia akibat krisis ekonomi. Krisis ekonomi ditahun 2008 berpengaruh terhadap Indonesia karena Indonesia masih sangat bergantung dengan
aliran
dana
dari
investor
asing.
Selain
faktor luar
(ekstern) tersebut juga bisa disebabkan oleh faktor dalam (intern) perusahaan, seperti kurangnya kerjasama didalam manajemen perusahaan dan lain sebagainya. Pada tahun 2013, bisnis kehutanan khususnya sektor pengolahan kayu lapis tengah mengalami ketidakstabilan nilai ekspor. Hal tersebut sejalan dengan jumlah ekspor kayu lapis yang berfluktuasi. Sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut: Tabel 1.2 Ekspor Kayu Lapis Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Pada Tahun 2009-2013 2009
2010 2011 2012 Berat Bersih (Ribu Ton)
2013
Jepang
529.8
610.3
664.2
625.2
670.6
Hongkong
9.3
10.5
9.6
12.3
12.5
Arab Saudi
80.7
210.4
172.3
184.4
167.3
Kuwait
15.7
13.0
12.7
11.5
15.2
Yordania
44.9
44.2
36.8
41.4
40.6
Uni Emirat Arab
55.6
84.3
48.3
37.5
26.4
Australia
14.5
24.8
22.5
23.4
20.8
Amerika Serikat
86.6
119.9
91.9
111.5
133.4
Belanda
16.7
14.1
14.9
14.0
11.5
Negara Tujuan
Bersambung…
5
Jerman
31.1
40.9
33.5
Sambungan… 35.2 28.0
Belgia
30.5
35.4
28.0
20.8
13.5
Taiwan
135.1
154.3
138.0
139.0
151.1
Cina
77.0
146.3
282.8
393.1
486.7
Lainnya
212.9
244.2
251.3
226.4
212.2
Sumber: http://www.bps.go.id/ [26 Februari 2015] Berdasarkan dari tabel 1.2 dapat dilihat bahwa jumlah ekspor kayu lapis Indonesia berdasarkan tujuannya mengalami fluktuasi. Dari 14 negara tujuan ekspor kayu lapis Indonesia hanya ekspor kenegara Cina yang terus mengalami peningkatan dari tahun 2009 sampai dengan 2011, sedangkan 13 negara lainnya dari tahun 2009-2013 mengalami penurunan dan peningkatan nilai ekspor. Industri berbasis kayu dan hasil hutan dalam melaksanakan produksinya, kini tidak lagi bebas menggunakan bahan baku. Sebagai pengolah kayu dan hasil hutan, para pengusaha industri disektor ini perlu pula mencermati dan memahami perubahan yang terjadi terkait dengan regulasi dibidang bahan baku dan hasil hutan. Peraturan tentang persyaratan pengadaan dan perdagangan kayu dan hasil hutan, tentu secara langsung maupun tidak langsung, akan dapat mempengaruhi industri berbasis kayu dan hasil hutan. Sesuai peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 1 Januari 2015, seluruh produk berbasis kayu termasuk mebel dan kerajinan harus mengantongi sertifikat legalitas kayu (SLK) berdasarkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dikembangkan untuk mendorong implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia. Sistem verifikasi legalitas kayu diterapkan di Indonesia untuk memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki status legalitas yang meyakinkan. Konsumen di luar negeri pun tidak perlu lagi meragukan legalitas kayu yang 6
berasal dari Indonesia. Unit manajemen hutan tidak khawatir hasil kayunya diragukan keabsahannya. Industri berbahan kayu yakin akan legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri. Pertumbuhan permintaan sertifikasi kayu kepada badan resmi sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) dari berbagai pelaku bisnis perkayuan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam dua setengah tahun terakhir. Dari situs resmi FSC, pertumbuhan luasan kawasan produksi yang masuk dalam sertifikasi FSC berkembang dari 833.000 hektar di bulan Januari 2011 menjadi 1.679.117 hektar di bulan Juli 2013 ini. Namun kenaikan produk kayu bersertifikasi tersebut jutsru tidak diiringi oleh kenaikan ekspor produk kayu Indonesia ke Eropa. Hingga akhir Juni 2013 silam, berbagai media internasional memperkirakan ekspor kenaikan produk kayu dari Indonesia ke Eropa mencapai 114%, di kuartal pertama tahun ini. Namun asumsi ini ternyata tidak dapat dipenuhi. Dari penurunan total ekspor kayu lapis keluar negeri akan sangat jelas memberikan dampak terhadap pendapatan perusahaan yang bergerak di sector kayu dan pengolahannya di Indonesia. Menurut Ketua Umum Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC), Dradjad H. Wibowo Indonesia terancam kehilangan nilai ekspor sampai Rp 65 triliun per tahun karena tidak tersertifikasinya hutan sebagai syarat ekspor yang ditetapkan sejumlah negara. Angka ekspor yang dipastikan hilang yakni Rp 15 triliun - 20 triliun per tahun. Hal ini karena Indonesia mendapat tekanan dunia internasional karena dianggap gagal mengatasi pembalakan liar (illegal logging) dan perdagangan hasil hutan ilegal (ilegal trade). Dalam artikel berikut dijelaskan bahwa: “…Hutan Indonesia semakin hari semakin terancam keberadaannya, akibat deforestasi dan perburuan liar. Perusakan hutan tanpa belas kasihan demi memperoleh keuntungan dari kertas dan bubur kertas, kelapa sawit, serta pertambangan menyebabkan tutupan hutan di Indonesia hanya tinggal 48% dalam dekade terakhir. Terlebih, hutan Indonesia
7
memiliki tingkat deforestasi yang paling cepat dibandingkan negara lain di seluruh dunia…”(www.greenpeace.org [26 Februari 2015]) Pelaku usaha bidang kehutanan dan industri pengolahan hasil hutan pun terkena imbasnya. Perusahaan kayu semakin sulit menjual produknya ke pasar dunia, kecuali mereka bisa membuktikan bahwa produknya berasal dari hutan yang dikelola mengikuti sustainable forest management (SFM). Dari penurunan total ekspor kayu lapis keluar negeri akan sangat jelas memberikan dampak terhadap pendapatan perusahaan yang bergerak di sector kayu dan pengolahannya di Indonesia. Dalam website resmi Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id) pada tahun 2014 ada dua perusahaan yang terdaftar sebagai perusahaan sub sektor kayu dan pengolahannya yaitu PT. Sumalindo Lestari Jaya Global Tbk (SULI) dan PT. Tirta Mahakam Resources Tbk (TIRT) Berikut ini peneliti menampilkan tabel pendapatan perusahaan subsektor kayu dan pengolahannya. Tabel 1.3 Pendapatan Perusahaan di Industri Kayu dan Pengolahannya Tahun 2009-2013 (Dalam Juta Rp) No
Tahun
Nama Perusahaan
2009
2010
2011
2012
2013
SULI
667.300
592.238
408.172
303.056
177.698
617.040 575.548 621.721 Sumber: Data diolah dari laporan keuangan perusahaan
651.825
740.840
1 2
TIRT
Pada Tabel 1.3 terlihat bahwa kedua perusahaan mengalami kenaikan ataupun penurunan pendapatan dari tahun ke tahun. SULI sejak tahun 2009 telah mengalami penurunan pendapatan hingga tahun 2013. Sedangkan TIRT mengalami penurunan pendapatan dari tahun 2009 sampai 2011 dan kembali dapat meningkatkan pendapatannya pada 2012 dan 2013. Selain hal tersebut diatas, terdapat juga isu-isu yang beredar di masyarakat yang mendorong peneliti untuk meneliti kedua perusahaan kayu dan pengolahannya tersebut antara lain:
8
a) Pada SULI. Pada November 2013 memiliki sejumlah kasus konflik antar pemegang saham yang terjadi antara pemegang saham mayoritas (Putera Sampoerna dan Hasan Sunarko) dengan para pemegang saham minoritas. Konflik di Sumalindo dipicu oleh anjloknya kinerja perusahaan, bahkan terus merugi setiap tahunnya. Padahal dalam laporan tahunan perusahaan patungan keluarga Sampoerna dan Sunarko pada 2012, total menguasai lebih dari 840 ribu hektare hutan alam dan 73 ribu hektar hutan tanaman industri (HTI) (www.republika.co.id [1 Maret 2015]) b) Pada SULI. Pada Oktober 2013 penjualan anak perusahaan SULI yaitu PT.Sumalindo Hutani Jaya (SHJ) yang melabrak prosedur dengan harga yang tidak wajar dan sangat murah. Hal ini mengakibatkan kerugian pada SULI. Selain itu, praktek illegal logging yang sangat masif dan sistematis di area SULI tidak tercatat dalam laporan keuangan juga menjadi bukti terjadinya corporate crime di SULI. (www.news.liputan6.com [1 Maret 2015]) c) Pada TIRT. Pada September 2014 PT.Tirta Mahakam Resources Tbk. (TIRT) berencana menjual aset pabrik pengolahan kayu di Gresik, Jawa Timur, kepada PT.Energi Baharu Lestari. Manajemen Tirta Mahakam menuturkan, impor bahan baku menyebabkan biaya produksi engineered flooring terus meningkat. Hal ini menggiring kenaikan harga jual yang tidak sesuai dengan kondisi pasar yang sedang lesu. "Situasi saat ini sedang dipengaruhi oleh tidak membaiknya pasar di Eropa dan Amerika Serikat," kata Manajemen. Menurut Manajemen, penjualan pabrik diyakini dapat memberikan efisiensi biaya perawatan, menghindari resiko likuiditas, serta meningkatkan solvabilitas perseroan. Meski demikian, penjualan pabrik juga disertai oleh resiko kehilangan bisnis engineered flooring.(www.beritasatu.com [1 Maret 2015]) Kemampuan suatu perusahaan untuk dapat bersaing sangat ditentukan oleh kinerja perusahaan itu sendiri. Perusahaan yang tidak mampu bersaing untuk mempertahankan kinerjanya lambat laun akan tergusur dari lingkungan industrinya dan akan mengalami kebangkrutan. Agar kelangsungan hidup suatu 9
perusahaan tetap terjaga. Namun faktanya kinerja pengusahaan hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman memang terus mengalami kemerosotan. Dengan kondisi ini para investor dan kreditur di sektor kayu dan pengolahannya dituntut mengetahui perkembangan yang ada dalam perusahaan untuk membaca tandatanda jika terjadi kesulitan usaha akan mengakibatkan kerugian dalam investasi yang telah dilakukan. Untuk mengantisipasi hal tersebut para investor harus bisa mendeteksi kesulitan keuangan yang dialami oleh perusahaan. Salah satu tanda untuk mendeteksi kemungkinan kesulitan keuangan adalah sinyal dari dalam perusahaan yang berupa indikator kesulitan keuangan. Kesulitan keuangan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban keuangannya pada saat jatuh tempo yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan. Kebangkrutan adalah suatu kondisi disaat perusahaan mengalami ketidakcukupan dana untuk menjalankan usahanya. Menurut Prihadi (2011: 332), kebangkrutan (bankcruptcy) merupakan kondisi di mana perusahaan tidak mampu lagi untuk melunasi kewajibannya. Kondisi ini biasanya tidak muncul begitu saja di perusahaan, ada indikasi awal dari perusahaan tersebut yang biasanya dapat dikenali lebih dini kalau laporan keuangan dianalisis secara lebih cermat dengan suatu cara tertentu. Rasio keuangan dapat digunakan sebagai indikasi adanya kebangkrutan di perusahaan. Untuk memprediksi apakah industri kayu dan pengolahannya di Indonesia dapat tetap bertahan atau mengalami kebangkrutan, maka perlu dilakukan pengukuran
atas
kinerja
perusahaan
kayu
dan
pengolahannya.
Resiko
kebangkrutan bagi perusahaan dapat dilihat dan diukur melalui laporan keuangan, dengan cara melakukan analisis rasio terhadap laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan yang bersangkutan. Analisis kebangkrutan yang sering digunakan adalah metode Altman ZScore dan metode Springate, hal ini karena metode Altman Z-Score dan metode Springate memiliki cara yang mudah, keakuratan dalam menentukan prediksi kebangkrutannya pun cukup akurat. Menggunakan model Altman Z-Score akan menghasilkan keputusan apakah perusahaan berada pada situasi distress zone, grey zone atau safe zone. Model Altman Z-Score memiliki tingkat keakuratan 95
10
% .Sedangkan model Springate membedakan perusahaan yang berada dalam zona bangkrut atau zona sehat. Model Springate memiliki tingkat keakuratan 92,5%. (Purnajaya, 2014:51-52) Analisis kebangkrutan tersebut dilakukan untuk memprediksi suatu perusahaan sebagai penilaian dan pertimbangan akan suatu kondisi perusahaan. Dengan metode tersebut, analisis terhadap laporan keuangan dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan dan kinerja keuangan yang sedang berjalan juga sebagai alat untuk memprediksi kondisi perusahaan di masa yang akan datang. Pada penelitian Ulfah (2013) yang meneliti PT.Sumalindo Lestari Jaya Global Tbk. (SULI) dengan metode Atlman Z-Score menjelaskan prediksi kebangkrutan hanya pada tahun 2011-2012. Dimana dari hasil penelitian disimpulkan bahwa pada periode triwulan I, II, III, IV tahun 2011 dan triwulan I, II, III tahun 2012 pada SULI mengalami potensi kebangkrutan atau perusahaan menghadapi kesulitan keuangan. Hasil analisis dari penelitian ini menghasilkan interprestasi <1,88 yang artinya bahwa perusahaan mengalami kondisi bangkrut atau akan memiliki potensi kebangkrutan. Peneliti ingin melanjutkan dan mengembangkan penelitian ini dengan sampel dan tahun yang berbeda dari penelitian Resti amalia Ulfah (2011), yaitu pada perusahaan kayu dan pengolahannya yang terdaftar di BEI pada tahun 2009-2013, apakah masih memiliki potensi untuk bangkrut atau tidak. Berdasarkan pemaparan yang ada, peneliti ingin melakukan penelitian dengan
mengambil
judul
“ANALISIS
PREDIKSI
TINGKAT
KEBANGKRUTAN PERUSAHAAN DENGAN METODE ALTMAN ZSCORE DAN SPRINGATE” (Studi Pada Perusahaan Sub Sektor Kayu dan Pengolahannya yang Tercatat di Bursa Efek Indonesia Pada Tahun 2009-2013). 1.3
Rumusan Masalah 1. Bagaimana prediksi tingkat kebangkrutan menggunakan metode Altman Zscore pada perusahaan PT.Sumalindo Lestarai Jaya Global Tbk, dan PT.Tirta Mahakam Resources Tbk. yang tercatat di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2013? 11
2. Bagaimana tingkat prediksi kebangkrutan menggunakan metode Springate pada perusahaan PT.Sumalindo Lestarai Jaya Global Tbk, dan PT.Tirta Mahakam Resources Tbk. yang tercatat di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2013? 1.4
Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang ada maka tujuan yang ingin dicapai
peneliti dari penelitian ini adalah: 1. Untuk memprediksi tingkat kebangkrutan menggunakan metode Altman Zscore pada perusahaan PT.Sumalindo Lestarai Jaya Global Tbk, dan PT.Tirta Mahakam Resources Tbk. yang tercatat di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2013. 2. Untuk memprediksi kebangkrutan menggunakan metode Springate pada perusahaan PT.Sumalindo Lestarai Jaya Global Tbk, dan PT.Tirta Mahakam Resources Tbk. yang tercatat di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2013. 1.5
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi pihakpihak yang terkait, yaitu: 1. Kegunaan Teoritis a. Memperkaya ilmu pengetahuan khususnya dibidang keuangan mengenai prediksi kebangkrutan perusahaan. b. Hasil penelitian dapat dijadikan rujukan bagi peneliti selanjutnya yang melaksanakan penelitian dalam bidang yang sama. 2. Kegunaan Praktisi a. Diharapkan dapat menjadi pertimbangan khususnya bagi para investor dalam hal memutuskan untuk melakukan investasi dan memantau kinerja perusahaan. b. Bagi para manajer perusahaan dapat dijadikan proyeksi kinerja dan sebagai pertimbangan dalam menentukan kebijakan strategis masa depan.
12
1.6
Sistematika Penulisan Tugas Akhir
BAB I: PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang gambaran umum objek penelitian, latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA DAN LINGKUP PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang tinjauan pustaka penelitian, penelitian sebelumnya, kerangka pemikiran, hipotesis penelitian, dan ruang lingkup penelitian. BAB III: METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang jenis penelitian, variabel operasional, tahapan penelitian, populasi dan sampel, pengumpulan data, dan teknik analisis data. BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan tentang perkembangan variabel penelitian, deskrispsi statistik hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian. BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dan saran peneliti terhadap hasil temuan penelitian.
13
HALAMAN SENGAJA DIKOSONGKAN
14